Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Ny.

S DENGAN DIAGNOSA
KEPERAWATAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI
PENGLIHATANDI RUANG NUSA INDAHRUMAH SAKIT JIWA
Dr. RADJIMANWEDIODININGRAT
LAWANG

OLEH:
Vini Widia Putri
2019.NS.07.065

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM PROFESI NERS
TAHUN 2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa merupakan bagian yang integral dari kesehatan. Kesehatan jiwa

bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, akan tetapi merupakan suatu hal yang di

butuhkan oleh semua orang. Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta

mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagai mana adanya.

Serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. (Menkes, 2015)

Pada study terbaru WHO di 14 negaramenunjukkanbahwapadanegara-

negaraberkembang, sekitar 76 – 85 % kasus gangguan jiwa parah tidak dapat

pengobatan apapun pada tahun utama (Hardian, 2008). Masalah kesehatan jiwa

merupakan masalah kesehatan masyarakat yang demikian tinggi dibandingkan

dengan masalah kesehatan lain yang ada dimasyarakat. Dari 150 juta populasi orang

dewasa Indonesia, berdasarkan data DepartemenKesehatan (Depkes), ada 1,74 juta

orang mengalamigangguan mental emosional. Sedangkan 4 % darijumlah tersebut

terlambat berobat dan tidak tertangani akibat kurangnya layanan untuk penyakit

kejiwaan ini.Data rekam medik di RSJD Surakarta menunjukan pasien pada tahun

2012 diantaranya rawat jalan 26.449 klien, rawat inap 2.906 klien, dari rawat inap

yang mengidap penyakit skizofrenia 2.233 klien, laki-laki 1.495 (66,9%)  perempuan

738 (33,1%) (Medical record, 2016). Berdasarkan laporan periode  bulan April 2013,

pasien yang dirawat di ruang Abimanyu RSJD Surakarta di dapatkan dari 32 klien

yang mengalami gangguan jiwa terdapat 16 klien yang mengalami gangguan persepsi

sensori: halusinasi yang rata-rata berumur antara 23 tahun sampai 65 tahun

Sehubungan dengan hal tersebut diatas peran dan fungsi perawat sangatlah

penting dalam hal memperbaiki derajat kesehatan khususnya mengatasi masalah

penyakit Halusinasi Pendengaran. Dalam hal pelaksanaan asuhan keperawatan

meliputi aspek promotif ( memberikan penyuluhan kesehatan untuk meningkatkan


status kesehatan ), preventif ( untuk mencegah atau mengontrol halusinasi antara lain

menutup kedua mata dan mengatakan pergi...., pergi.....,) kuratif ( memperhatikan

dan mengatur klien untuk minum obat), dan rehabilitatif ( Dokter, Perawat dan peran

serta keluarga agar lebih memperhatikan dalam perbaikan fisik dan perawatan diri

yang optimal ).Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat studi kasus

tentang bagaimana pelaksanaan “Asuhan Keperawatan pada pasien dengan

Perubahan persepsi sensori : Halusinasi Penglihatan Di Rumah Sakit Jiwa Dr.

Radjiman Wediodiningrat Lawang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah, maka dirumuskan “Bagaimana
pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada Ny. Sdengan Perubahan persepsi sensori :
Halusinasi Penglihatan Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat
Lawang.”
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan
Perubahan persepsi sensori : Halusinasi Penglihatan Di Rumah Sakit Jiwa Dr.
Radjiman Wediodiningrat Lawang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien Ny. S
dengan gangguan Perubahan persepsi sensori : Halusinasi Penglihatan Di
Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.
1.3.2.2 Mahasiswa mampu menentukan masalah keperawatan pada pasien Ny.
Sdengan gangguan Perubahan persepsi sensori : Halusinasi Penglihatan Di
Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.
1.3.2.3 Mahasiswa mampu merencanakan asuhan keperawatan pada pasien Ny.
Sdengan gangguan Perubahan persepsi sensori : Halusinasi Penglihatan Di
Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.
1.3.2.4 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien Ny.
Sdengan gangguan Perubahan persepsi sensori : Halusinasi Penglihatan Di
Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Teoritis
Dengan adanya penulisan studi kasus ini diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan dan memperkuat teori tentang bagaimana proses keperawatan dan
asuhan keperawatan pada Ny. Sdengan gangguan Perubahan persepsi sensori :
Halusinasi Penglihatan Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.

1.4.2 Praktis
1.4.2.1 Bagi Institusi
Sebagai tolak ukur kemampuan mahasiswa dalam penguasaan terhadap ilmu
keperawatan, proses keperawatan dan pendokumentasian proses keperawatan
sehingga dapat memberikan umpan balik terhadap efektivitas pengajaran dan
bimbingan yang telah diberikan dan diterapkan untuk kemajuan dimasa mendatang.
1.4.2.2 Bagi Rumah Sakit
Menyediakan kerangka berfikir secara ilmiah yang bermanfaat bagi rumah
sakit dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi
Penglihatan. Serta menyediakan referensi bagi perawat Di Rumah Sakit Jiwa Dr.
Radjiman Wediodiningrat Lawang dalam melakukan asuhan keperawatan secara
komprehensif.
1.4.2.3 Bagi Penulis
Sebagai salah satu pengalaman berharga dan nyata yang didapat dari lapangan
praktik yang dilakukan sesuai dengan ilmu yang didapatkan serta sebagai acuan
dalam menghadapi kasus yang sama sehingga dapat memberikan asuhan
keperawatan yang lebih baik
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Halusinasi


2.1.1 Definisi
Halusinasi adalah Persepsi tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indra
seseorang, yang terjadi pada keadaan sadar atau bangun dasarnya mungkin organik,
fungsional, psikotik ataupun histerik (Maramis, 2017).
Halusinasi adalah persepsi sensorik (penglihatan, sentuhan, pendengaran,
penghidu, atau pengecap) tanpa rangsangan luar (Kamus Saku Kedokteran Dorland,
489).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi
persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang
nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang
yang banyak berbicara (Kusumawati F, Yudi Hartono, 2015).
Halusinasi merupakan salah satu gangguan persepsi, dimana terjadi pengalaman
panca indera tanpa adanya rangsangan sensorik (persepsi indra yang salah). Menurut
Cook dan Fotaine (2016), halusinasi adalah persepsi sensorik tentang suatu objek,
gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang
dapat meliputi semua system penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman,
perabaan atau pengecapan), sedangkan menurut Wilson (2016), halusinasi adalah
gangguan penyerapan/persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang
dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu
itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat
menerima rangsangan dari luar dan dari individu. Dengan kata lain klien berespon
terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak
dapat dibuktikan.
Menurut Cook and Fotaine (2016) Halusinasi adalah persepsi sensorik tentang
suatu objek, gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari
luar yang dapat meliputi semua system pengindraan ( pengindraan, penglihatan,
penciuman, perabaan atau pengecap.
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh
pasien gangguan jiwa, klien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus nyata. ( Dr. Budi Anna Keliat
2012).
Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa adanya stimulus
yang nyata, artinya klien mengidentifikasi sesuatu yang nyata tanpa stimulus dari luar
( Stuart and Laraia, 2015 ).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan halusinasi adalah suatu
keadaan dimana seseorang mengalami satu gangguan sensori persepsi terhadap
lingkungan sekitar tanpa ada stimulus luar baik secara penglihatan, pendengaran,
pengecapaan, perabaan dan penciuman.
2.1.2 Klasifikasi Halusinasi
Menurut Stuart dan sundeen, 2016 halusinasi dapat di klasifikasikan menjadi 5
(lima) jenis antara lain :
1. Halusinasi pendengaran (akustik)
Yaitu klien mendengar suara atau bunyi yang tidak ada hubungannya dengan
stimulus yang nyata/lingkungan. Dengan kata lain orang berada di sekitar klien
tidak mendengar suara atau bunyi yang di dengar klien.
Perilaku yang diamati :
a. Melirik mata kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau apa yang sedang
berbicara.
b. Mendengar dengan penuh perhatian pada orang lain yang sedang tidak
berbicara atau kepada benda mati.
c. Terlibat dalam percakapan dengan benda mati atau dengan rangsangan yang
tidak nampak.
2. Halusinasi penglihatan (visual)
Yaitu klien melihat gambaran yang jelas atau samaran tanpa adanya stimulus
yang nyata dari lingkungan, dengan kata lain orang yang berada di sekitar klien
tidak melihat gambaran seperti apa yang di katakana klien.
3. Halusinasi penciuman (olfaktori)
Yaitu klien mencium sesuatu bau yang muncul dari sumber tertentu. Tanpa
stimulus yang nyata artinya oaring berada disekitar klien tidak mencium sesuatu
seperti apa yang di rasakan klien.
4. Halusinasi pengecapan ( gustatori)
Yaitu klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata biasanya rasa makanan yang
tidak enak.
5. Halusinasi perabaan atau taktil
Klien merasakan sesuatu pada kulit, perilakunya menampar diri sendiri sedang
memadamkan api, melompat-lompat di lantai seperti sedang menghindari nyeri
atau stimulus lain pada kaki.

2.1.3 Rentang Respon Neurobiologi


Respon perilaku klien dapat di identifikasi sepanjang rentang respon
neurobiologik dari yang adaftif ke maldaptif.
Pikiran logis distorsi pikiran waham
Persepsi akurat ilusi halusinasi
Emosi konsisten menarik diri sulit berespons
Perilaku sesuai reaksi emosi prilaku
disorganisasi
Hubungan sosial perilaku tidak biasa isolasi sosial.
  (Stuart and Laraia, 2015) Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima
oleh norma-norma social dan budaya secara umum yang berlaku didalam masyarakat,
dimana individu menyelesaikan masalah dalam batas normal yang meliputi :
1. Pikiran logis adalah segala sesuatu  yang diucapkan dan dilaksanakan oleh
individu sesuai dengan kenyataan.
2. Persepsi akurat adalah penerimaan pesan yang disadari oleh indra perasaan,
dimana dapat membedakan objek yang satu dengan yang lain dan mengenai
kualitasnya menurut berbagai sensasi yang dihasilkan.
3. Emosi konsisten dengan pengalaman adalah respon yang diberikan individual
sesuai dengan stimulus yang datang.
4. Prilaku sesuai dengan cara berskap individu yang sesuai dengan perannya.
5. Hubungan social harmonis dimana individu dapat berinteraksi dan berkomunkasi
dengan orang lain tanpa adanya rasa curiga, bersalah dan tidak senang.
Sedangkan mal adaptif adalah suatu respon yang tidak dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan budaya secara umum yang berlaku dimasyarakat, dimana
individu dalam menyelesaikan  masalah tidak berdasarkan norma yang sesuai
diantaranya :
1. Gangguan proses pikir / waham adalah ketidakmampuan otak untuk memproses
data secara akurat yang dapat menyebabkan gangguan proses pikir, seperti
ketakutan, merasa hebat, beriman, pikiran terkontrol, pikiran yang terisi dan lain-
lain.
2. Halusinasi adalah gangguan identifikasi stimulus berdasarkan  informasi yang
diterima otak dari lima indra seperti suara, raba, bau, dan pengelihatan.
3. Kerusakan proses emosi adalah respon yang diberikan Individu tidak sesuai
dengan stimulus yang datang.
4. Prilaku yang tidak terorganisir adalah cara bersikap individu yang tidak sesuai
dengan peran.
5. Isolasi social adalah dimana individu yang mengisolasi dirinya dari lingkungan
atau tidak mau berinteraksi dengan lingkungan.
2.1.4 Etiologi
Menurut Farida (2015,108): beberapa faktor penyebab yaitu :
1. Faktor predisposisi
1) Genetika
2) Neurobiologi
3) Neurotransmiter
4) Abnormal perkembangan saraf
5) Psikologis
2. Factor presipitasi
1) Proses pengolahan informasi yang berlebihan
2) Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal
3) Adanya gejala pemicu
Menurut Townsend (2018), etiologi pada klien dengan halusinasi adalah :
1. Panik
2. Menarik diri
3. Stres berat yang mengancam ego yang lemah
Menurut Mary Durant Thomas (2016), Halusinasi dapat terjadi pada klien
dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia
dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lainnya.
Halusinasi adapat juga terjadi dengan epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan
gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari
berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan
antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi
sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan
individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik
seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada
pembicaraan. Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun
banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis , sosial
budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan , biologis , pemicu masalah
sumber-sumber koping dan mekanisme koping.

Faktor pencetus :
1. Biologis
Abnormalitas otak yang menyebabkan respon neurobiologi yang maladptif yang
baru mulai dipahami, yang termasuk dalam hal ini adalah sebagai berikut :
1) Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan keterlibatan otak yang
lebih luas dalam perkembangan Skizoprenia.Lesi pada area kontrol, temporal
dan limbik paling berhubugan dengan prilaku psikotik.
2) Beberapa kimia otak dikaitkan dengan Skizoprenia, hasil penelitian
menunjukkan bahwa :
- Dopamin neurotransmitter yang berlebihan
- Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter lain
- Masalah – masalah pada reseptor dopamin.
Para ahli biokimia mengemukakan bahwa halusinasi merupakan hasil dari respon
metabolik terhadap stres yang menyebabkan lepasnya neurokimia halusinogenik
(Stuart dan Sundeen, 1991).
2. Psikologis
Teori psikodinamik untuk terjadinya respon neurobiologik yang maladaptif belum
didukung oleh penelitian (Stuart dan Sundeen, 2014).
3. Sosio Budaya
Stres yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan Skizoprenia dan
gangguan psikotik lain tapi tidak diyakini sebagai penyebab utama gangguan
(Stuart dan Sundeen, 2016).
Menurut Yosep (2015) ada beberapa faktor yang menyebabkan halusinasi yaitu:
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi penyebab halusinasi adalah :
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat
yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif.Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya.Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia.Hasil studi menunjukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini.
2. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2017) yang dikutip oleh Jallo (2018), faktor presipitasi terjadinya
gangguan halusinasi adalah :
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
Pada halusinasi terdapat 3 mekanisme koping yaitu :
(1) With Drawal  : Menarik diri dan klien sudah asyik dengan pengalaman
internalnya.
(2) Proyeksi : Menggambarkan dan menjelaskan persepsi yang
membingungkan ( alam mengalihkan respon kepada sesuatu atau
seseorang ).
(3) Regresi : Terjadi dalam hubungan sehari-hari untuk memproses
masalah dan mengeluarkan sejumlah energi dalam mengatasi cemas.
Pada klien dengan halusinasi, biasanya menggunakan pertahanan diri dengan
menggunakan pertahanan diri dengan cara proyeksi yaitu untuk mengurangi
perasaan emasnya klien menyalahkan orang lain dengan tujuan menutupi
kekurangan yang ada pada dirinya.
2.1.5 Patofisiologi
Halusinasi  pendengaran paling sering terdapat pada klien Skizoprenia.
Halusinasi terjadi pada klien skizoprenia dan gangguan manik. Halusinasi dapat
timbul pada skizofrenia dan pada psikosa fungsional yang lain, pada sindroma otak
organik, epilepsi (sebagai aura), nerosa histerik, intoksikasi atropin atau kecubung,
zat halusinogenik dan pada deprivasi sensorik (Maramis 2018).
Menurut Barbara ( 2017 ) klien yang mendengar suara – suara misalnya suara
Tuhan, iblis atau yang lain. Halusinasi yang dialami berupa dua suara atau lebih yang
mengomentari tingkah laku atau pikiran klien. Suara– suara yang terdengar dapat
berupa perintah untuk bunuh diri atau membunuh orang lain.
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia
(2018) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
1. Fase I : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa
yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat,
diam dan asyik sendiri.
2. Fase II : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber
yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom
akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan
dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan
kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
3. Fase III : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang
lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan
berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan
dengan orang lain.
4. Fase IV : Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu
berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari
1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.
2.1.6 Tanda dan gejala
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering di dapatkan duduk
terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau bicara
sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan
gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri
tentang halusinasi yang di alaminya (apa yang di lihat, di dengar atau di rasakan).
Tahap I
1. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
2. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
3. Gerakan mata yang cepat
4. Respon verbal yang lambat
5. Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan
Tahap II
1. Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya
2. Peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah
3. Penyempitan kemampuan konsenstrasi
4. Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan
5. untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.
Tahap III
1. Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya dari
2. Pada menolaknya
3. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain
4. Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik
5. Gejala fisik dari ansietas berat seperti berkeringat, tremor, ketidakmampuan
untuk mengikuti petunjuk
Tahap IV
1. Perilaku menyerang teror seperti panik
2. Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
3. Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi,
4. Menarik diri atau katatonik
5. Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks
Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang
Menurut Hamid (2017), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai
berikut:
1. Bicara sendiri
2. Senyum sendiri
3. Ketawa sendiri
4. Menggerakkan bibir tanpa suara
5. Pergerakan mata yang cepat
6. Respon verbal yang lambat
7. Menarik diri dari orang lain
8. Berusaha untuk menghindari orang lain
9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata
10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah
11. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik
12. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori
13. Sulit berhubungan dengan orang lain
14. Ekspresi muka tegang
15. Mudah tersinggung, jengkel dan marah
16. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat
17. Tampak tremor dan berkeringat
18. Perilaku panic
19. Agitasi dan kataton.
20. Curiga dan bermusuhan
21. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan
22. Ketakutan
23. Tidak dapat mengurus diri
24. Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang
Menurut Stuart dan Sundeen (2016) yang dikutip oleh Nasution (2014), seseorang
yang mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang khas yaitu:
1. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
2. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
3. Gerakan mata abnormal
4. Respon verbal yang lambat
5. Diam
6. Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan
7. Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya
peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah
8. Penyempitan kemampuan konsenstrasi
9. Dipenuhi dengan pengalaman sensori
10. Mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan
realitas
11. Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada
menolaknya
12. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain
13. Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik
14. Berkeringat banyak
15. Tremor
16. Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk
17. Perilaku menyerang teror seperti panic
18. Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
19. Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk dan agitasi
20. Menarik diri atau katatonik
21. Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks
22. Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik.
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat
halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual
dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di
pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat
masuk ke kamar atau mendekati pasien, berbicara dengan pasien. Begitu juga
bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu dan Pasien di beritahu
tindakan yang akan di lakukan.Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang
dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan
realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan
permainan.
2. Melaksanakan program terapi dokter.
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan
halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi
instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya,
serta reaksi obat yang di berikan.
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada.
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali
masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu
mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui
keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
4. Memberi aktivitas pada pasien.
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya
berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu
mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang
lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan. Keluarga pasien
dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan
pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari
percakapan dengan pasien diketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar
laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu
tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan
menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini
hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugas lain agar tidak
membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.
6. Hospitalisasi perawatan rumah sakit
7. Terapi ECT, merupakan kejang listrik dan pengobatan fisik dengan mengunakan
arus listrik antara 70-150 volt
8. Psikotrapi (menurut Dadang Hawari,2015)
Tujuan psikoterapi
1) Menurukan rasa takut klien
2) Mengembalikan proses pikiran yang luhur
1. Psikoterapi Re-edukatif memberikan pendidikan ulang yang maksudnya
memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu dan juga mengubah pola
pendidikan yang lama dengan yang baru sehingga penderita lebih adaftif
dengan dunia luar.
2. Psikoterapi rekonstruktif memperbaiki kembali (re-konstruksi) kepribadian
yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian yang utuh seperti
semula sebelum sakit.
3. Psikoterapi Kognetif : memulihkan kembali fungsi kognitif ( daya pikir dan
daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai
moral etika, mana yang baik dan yang buruk, yang boleh dan tidak.
4. Psikoterapi Psiko-dinamik : menganalisa dan menguraikan proses dinamika
kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk
mencari jalan keluarnya.
5. Psikoterapi Perilaku : memulihkan ganguan perilaku yang terganggu
(maladaptife) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).
6. Psikoterapi keluarga ; memulihkan hubungan penderita dengan
keluarganya.
7. Terapi psikososial : dimaksudkan penderita agar mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri,
mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi
beban bagi keluarga dan masyarakat.
8. Terapi Psikoreligius : dimaksudkan agar keyakinan atau keimanan
penderita dapat di pulihkan kembali.
2.1.8 Komplikasi
Dampak dari gangguan sensori persepsi : Halusinasi ( Stuart and Laraia, 2015 ) :
1. Risiko perilaku kekerasan
Hal ini terjadi bahwa klien dengan halusinasinya cenderung untuk marah-marah
dan mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
2. Isolasi sosial
Hal ini terjadi karena prilaku klien yang sering marah-marah dan risiko prilaku
kekerasan maka lingkungan akan menjauh dan mengisolasi.
3. Harga diri rendah
Hal ini terjadi karena klien menjauhi dan mengisolasi dari lingkungan klien
beranggapan dirinya merasa tidak berguna dan tidak mampu.
4. Defisit perawatan diri : kebersihan diri
Hal ini terjadi karena klien merasa tidak berguna dan tidak mampu sehingga klien
mengalami penurunan motivasi dalam hal kebersihan dirinya.

2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Klien Halusinasi


Proses keperawatan merupakan metode pemberian asuhan keperawatan yang
logis, sistemati dinamis dan terorgenisasi yang digunakan perawat untuk memenuhi
kebutuhan klien dalam mencapai atau mempertahankan keadaan biologis, fisiologi,
sosial, dan spiritual.
Langkah-langkah proses keperawatan dilakukan secara berurutan yang terdiri
dari:
2.2.1 Pengkajian
2.2.1.1 Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data diperoleh data sebagai berikut.
1. Fisik
1) Bicara, senyum, dan tertawa sendiri
2) Mengerakan bibirnya tanpa menimbulkan suara
3) Gerakan mata cepat
4) Respon verbal yang lambat
5) Peningkatan system syaraf otonom yang menujukan ansietas.
6) Misalnya ; nadi, pernapasan nadi, tekanan darah.
7) Gejala fisik dan ansietas berat seperti berkeringat, tremor, ketidak mampuan
mengikuti petunjuk.
8) Perilaku panik, agitasi menarik diri atau katotonik.
2. Emosi
1) Diam dan di penuhi sesuatu yang mengasikkan
2) Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan untuk
membedakan antara halusinasinya dan realitas.
3) Ekspresi muka tegang mudah tersinggung, jengkel, marah.
4) Curiga bermusuhan, menarik diri, orang lain, dan lingkungan.
5) Lebih cenderung mengikuti petujuk yang diberikan oleh halusinasinya dari
pada menolaknya.
3. Sosial
1) Menarik diri, dan menghindar dengan orang lain.
2) Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.
3) Perhatian dan lingkungan kurang atau hanya beberapa detik.
4) Tidak mampu mengikuti perinta dari perawat.
4. Intelektual
1) Biasanya terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.
2) Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks
5. Aktivitas sehari-hari
Tidak dapat mengurus diri
Dalam pengkajian juga di kaji tentang :
1. Faktor predisposisi. Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
Diperoleh baik dari pasien maupun keluarganya, mengenai factor perkembangan
sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu factor resiko yang
mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu
untuk mengatasi stress.
2. Faktor Perkembangan. Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan
hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan.
3. Faktor Sosiokultural.Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan
seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di
besarkan.
4. Faktor Biokimia.Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Dengan adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).
5. Faktor Psikologis.Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya
peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan
mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan
orientasi realitas.
6. Faktor genetik. Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui,
tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan
yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
7. Faktor Presipitasi. Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman / tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping.
Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga
suasana sepi / isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena
hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik.
8. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak
aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak
nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 2016 mencoba memecahkan masalah
halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai
mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga
halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu :
1. Dimensi Fisik. Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi
rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa,
penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan
kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2. Dimensi Emosional. Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem
yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut
klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3. Dimensi Intelektual. Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa
individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien
dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
4. Dimensi Sosial. Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan
adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan
akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam
dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut,
sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain
individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam
melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu
proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang
memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu
berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
5. Dimensi Spiritual. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial,
sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang
mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas
tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi
menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai
dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
9. Sumber Koping. Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi
seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan
sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk
menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat
membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress
dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
10. Mekanisme Koping. Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan persepsi sensori: halusinasi penglihatan

2. Isolasi sosial.

3. Harga diri rendah


BAB 3
TINJAUAN KASUS

Tanggal MRS : 28 Maret 2020

Tanggal Dirawat di Ruangan : 28 Maret 2020

Tanggal Pengkajian : 30Maret 2020

3.1 Identitas Klien

Nama : Ny. S

Umur : 59Tahun

Pendidikan :-

Agama : Islam

Status : Menikah

Alamat : Pacitan

Pekerjaan :-

Jenis Kel. : Perempuan

No. RM : 122xx

3.2 Alasan Masuk

Data Primer

Klien mengatakan“saya masuk RSJ karena suka teriak-teriak.

Data Sekunder

Pada tanggal 29 Maret 2020 klien diantar oleh keluarga ke RSJ karena suka

teriak-teriak tidak jelas.

Keluhan Utama Saat Pengkajian

Klien mengatakan sering melihat suaminya yg sudah meninggal.

3.3 Faktor Presipitasi

Pada tanggal 29 Maret 2020 klien marah-marah dan teriak-teriak tidak jelas.

Sehingga klien dibawa oleh keluarga ke RSJ Lawang.

Diagnosa Keperawatan : Resiko Perilaku Kekerasan

3.4 Faktor Predisposisi

3.4.1 Pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya

Klien baru pertama kali masuk RSJ, klien sering teriak-teriak.


Diagnosa Keperawatan: Regiment terapeutik inefektif

3.4.2 Faktor Penyebab/Pendukung

3.4.2.1 Riwayat Trauma

Tidak ada.

3.4.2.2 Pernah melakukan upaya / percobaan /bunuh diri

Klien mengatakan tidak ada niat untuk bunuh diri.

3.4.2.3 PengalamanMasaLalu yang TidakMenyenangkan (peristiwa kegagalan,

kematian, perpisahan)

Klien mengatakansuami saya meninggal dan saya mersa sangat sedih.

3.4.2.4 Pernah mengalami penyakit fisik (termasuk gangguan tumbuh kembang)

Tidak ada.

3.4.2.5 Riwayat Penggunaan NAPZA

Tidak ada.

3.4.3 Upaya yang telah dilakukan terkait kondisi diatas dan hasilnya :

Tidak ada upaya yang telah dilakukan terkait kondisi diatas.

3.4.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat penyakit keluarga.

3.5 Pengkajian Psikososial

3.5.1 Genogram

59

Keterangan:

: Laki-laki

: Perempuan

: Pasien

: Satu rumah
Jelaskan: klienadalah anak kedua dari 3 saudara. Klien masih tinggal bersama

kedua orang tuanya. Klien mengatakan pola asuh kedua orang tuanya baik, karena

tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Klien mengatakan memiliki orang terdekat,

yaitu ibu karena ayah nya sudah lama meninggal, dan klien juga kehilangan sang

suami (meninggal).

3.5.2 Konsep Diri

3.5.2.1 Citra tubuh

Klien mengatakan menyukai semua bagian anggota tubuhnya, dari ujung

rambut hingga kaki karena anggota tubuhnya membuat dirinya cantik.

3.5.2.2 Identitas

Klien mengatakan nama saya “s” dan berasal dari desa Pacitan. Klien adalah

seorang perempuan dan ia menerima gendernya.

3.5.2.3 Peran

Klien menyadari perannya sebagai seorang ibu dari anaknya sebelum masuk ke

rumah sakit jiwa. Klien juga menyadari bahwa perannya sebagai klien di RSJ.

3.5.2.4 Ideal diri

Dengan keadaan klien seperti ini dimana dirinya ingin cepat sembuh dan cepat

berkumpul bersama keluarganya.

3.5.2.5 Harga diri

Klien mengatakan bahwa “saya sering merasa tidak dihargai dilingkungan

tempat tinggal saya”.

Masalah keperawatan: Harga diri rendah

3.5.3 Hubungan Sosial

3.5.3.1 Orang terdekat

Klien mengatakan orang yang berarti bagi klien adalah ibunya dan anaknya.

3.5.3.2 Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat

Klien mengatakan tidak pernah mengikuti kegiatan kelompok/masyarakat.

3.5.3.3 Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain

Klien mengatakan lebih suka sendiri.

Masalah keperawatan: isolasi sosial


3.5.4 Spiritual

3.5.4.1 Agama

Klien mengatakan tau cara beribadah tetapi klien tidak pernah

melaksanakannya.

3.5.4.2 Pandangan terhadap gangguan jiwa

Klien mengatakan tidak tau.

3.6 Pemeriksaan Fisik

3.6.1 Keadaan Umum

Keadaan klien cukup rapi. Klien tampak diam dan melamun.

3.6.2 Kesadaran

Kesadaran klien Cm. GCS: E:4, V:5, M:6., ekstermitas atas dan bawah (+)

3.6.3 Tanda Vital

Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, suhu 36oC, dan pernafasan

20x/menit.Tinggi badan 158 cm dan berat badan 55 kg

3.6.4 Keluhan Fisik

Tidak ditemukan keluhan fisik pada klien.

3.7 Status Mental

3.7.1 Penampilan

Penampilan klien cukup rapi, rambut klien disisir, baju yang digunakan adalah

baju dari ruangan.

Masalah keperawatan: tidak ada masalah keperawatan

3.7.2 Pembicaraan

Klien mampu memulai pembicaraan, intonasi suara rendah dan pelan, bicara

singkat dan pendek. Klien berbicara menggunakan bahasa indonesia. Klien hanya

mau berbicara saat ditanya, namun sering kurang fokus saat menjawab, jawaban yang

diberikan singkat, lambat dengan suara pelan.

Masalah keperawatan : Isolasi Sosial

3.7.3 Aktivitas motorik/psikomotor

Klien tampak lesu, klien selalu menyendiri. Klien tampak diam dan jarang

berkumpul dengan klien lain.


3.7.4 Mood dan Afek

Mood : Saat pengkajian klien terlihat sedih dan ingin cepat pulang kerumah

dan makam suami nya.

Afek : Afek klien labil terkadang dapat berbicara komunikatif secara

kooperatif, tiba-tiba dapat menjadi pendiam.

Masalah keperawatan: Perubahan proses pikir

3.7.5 Interaksi selama wawancara

Selama melakukan perbincangan dengan klien, kontak mata aktif. Menatap

mata perawat saat berbicara.

Masalah keperawatan: Tidak ada

3.7.6 Persepsi – Sensori

Klien mengatakan melihat suami nya disekitar bangsal. Suami nya itu sering

muncul pada malam hari dan muncul kira-kira 10 menit. Perasaan yang dirasakan

klien saat suami nya itu muncul adalah tenang. Yang dilakukan klien saat melihat

suami nya itu adalah berbicara dengan suami nya.

Masalah Keperawatan: gangguan sensori persepsi: halusinasi penglihatan

3.7.7 Proses Pikir

3.7.7.1 Arus pikir

Arus pikir klien adalah perseverasi. Klien selalu berulang-ulang berkata “saya

mau pulang & ke makam suami saya.”

3.7.7.2 Isi pikir

Isi pikir klien yaitu preokupasi. Karena isi pikir klien hanya ingin pulang.

3.7.7.3 Bentuk pikir

Bentuk pikir kliennon realistik. Klien mengatakan melihat suami nya.

Masalah Keperawatan: Perubahan proses pikir

3.7.8 Kesadaran

Orientasi

Waktu : Saat ditanya “bu sekarang pagi/sore?” Klien menjawab pagi saat

pengkajian.
Tempat : “Bu, sekarang berada dimana?” Klien menjawab berada diteras

bangsal.

Orang : Klien dapat menyebutkan profesi perawat saat diminta menunjuk

perawat saat pengkajian.

Kesadaran berubah : klien tampak lesu dan sering berubah-ubah konsetrasinya.

3.7.9 Memori

3.7.9.1 Gangguan daya ingat jangka panjang

Klien mengatakan tidak ingat dulu dimana dia bersekolah.

3.7.9.2 Gangguan daya ingat jangka menengah

Klien mengatakan dia tidak ingat kapan ia masuk RSJ.

3.7.9.3 Gangguan daya ingat pendek

Klien mengatakan bahwa mengingat nama mahasiswa praktek, mba Vini.

Masalah Keperawatan: Gangguan proses pikir

3.7.10 Tingkat Konsentrasi dan berhitung

Saat diwawancarai klien mudah beralih dari pertanyaan perawat. Klien dapat

berhitung saat diuji, klien dapat menjawab dengan benar 4+5 = 9, 7-2 = 5.

3.7.11 Kemampuan penilaian

Gangguan ringan. Ketika klien ditanya antara berteman dengan orang lain dan

sendirian klien mengatakan lebih memilih sendiri.

Masalah Keperawatan: Isolasi sosial

3.7.12 Daya tilik diri

Mengingkari penyakit yang diderita. Klien mengatakan dirinya tidak sakit dan

tidak tahu mengapa ia dibawa ke RSJ.

Masalah keperawatan: Gag. Proses pikir

3.8 Kebutuhan Persiapan Pulang

3.8.1 Kemampuan klien memenuhi kebutuhan

Dari data yang didapat klien tidak mampu memenuhi kebutuhan seperti

perawatan kesehatan, transportasi, tempat tinggal, keuangan dan kebutuhan

lainnya karena klien tinggal dengan keluarga.


3.8.2 Kegiatan Hidup Sehari-hari

3.8.2.1 Mandi

Klien membutuhkan bantuan minimal. Klien mau mandi apabila disuruh mandi.

Saat mandi juga harus diawasi agar klien mau menggunakan sabun, sampo, dan

menyikat gigi.

3.8.2.2 Berpakaian/berhias

Klien membutuhkan bantuan minimal. Klien bisa menggunakan pakaian

dengan baik, hanya saja menyisir rambut dan berdandan masih dibantu.

3.8.2.3 Makan

Klien masih mendapatkan bantuan minimal karena klien mampumakan

sendiri yang sudah disiapkan.

3.8.2.4 BAB/BAK

Klien membutuhkan bantuan minimal. Klien mengatakan “bisa” saat ditanya

apakah bisa ke kamar mandi sendiri untuk BAB/BAK.

3.8.3 Nutrisi

Frekuensi makan dan frekuensi kudapan dalam sehari ada 3 kali/hari, nafsu

makan klien baik, berat badannya 42 kg.

3.8.4 Istirahat dan tidur

Klien tidur siang, lamanya 13.00 WIB - 16.00 WIB dan tidur malam, lamanya

20.00 WIB - 06.00 WIB. Aktivitas klien sebelum/sesudah tidur hanya duduk

Klien tidak mengalami gangguan tidur.

3.8.5 Kemampuan lain – lain

Klien tidak bisa mengantisipasi kebutuhan hidup, membuat keputusan, dan

mengatur penggunaan obat sendiri tanpa semuanya klien masih dibantu oleh

petugas kesehatan.

3.8.6 Sistem Pendukung

Sistem pendukung untuk klien saat ini adalah terapis. Sistem pendukung saat

berperan dalam ADL klien, dari makan/minum sampai pemberian obat.


3.9 Mekanisme Koping

Klien mengatakan jika ada masalah klien selalu memendamnya sendiri dan

tidak mau berbagi dengan orang lain.

Masalah keperawatan: koping individu inefektif

3.10 Masalah Psikososial dan Lingkungan

3.10.1 Masalah dengan dukungan kelompok

Klien mengatakan tidak ada keluarga yang menjenguknya di RSJ.

3.10.2 Masalah dengan lingkungan

Klien tampak acuh dengan lingkungan, teman dan perawat. Klien tidak

berinteraksi dengan klien lain dan hanya duduk sendiri.

3.10.3 Masalah dengan pendidikan

Klien menjawab tidak ingat saat ditanya tentang pendidikan terakhir.

3.10.4 Masalah dengan pekerjaan

Klien mengatakan tidak ada pekerjaan.

3.10.5 Masalah dengan perumahan

Klien mengatakan rumahnya di pondok gede.

3.10.6 Masalah dengan ekonomi

Klien mengatakan mendapatkan uang dari keluarganya.

3.10.7 Masalah dengan pelayanan kesehatan

Klien mengatakan tidak pernah periksa terhadap kesehatannya.

3.10.8 Masalah lainnya

Klien tidak memiliki masalah lain.

Masalah keperawatan: Tidak ada

3.11 Pengetahuan Kurang Tentang

Klien mengatakan tidak mengetahui tentang gangguan jiwa, perawatan dan

penatalaksaannya serta obat-obatannya. Klien perlu untuk diberikan tambahan

pengetahuan yang berkaitan dengan masalah tersebut.

Masalah keperawatan: Kurang pengetahuan


3.12 Aspek Medis

3.12.1 Diagnosa medik

Diagnosa medik Ny. Sadalah F.20.1 (Skizofrenia Hebefrenic)

3.12.2 Terapi medik

Terapi yang didapat klien yaitu:

1) Haloperidol 5 mg (PO) 2x2,5 mg

2) Chlorpromazine 100 mg (PO) 0 0 ½

3) Hemapord (PO) 2x1 tablet

3.13 Analisis Data

No Data Diagnosa Keperawatan


.
1 DS: Gag. Sensori Persepsi:
Klien mengatakan melihat Halusinasipenglihatan
seorang perempuan berdiri
dibelakang suster. Perempuan itu
sering muncul pada malam hari.
Perempuan itu muncul kira-kira 10
menit. Perasaan yang dirasakan klien
saat perempuan itu muncul adalah
takut. Yang dilakukan klien saat
melihat perempuan itu adalah diam.
DO:
 Klien tampak diam
 Klien tampak melamun
 Klien menyendiri
2 DS:
Klien mengatakanlebih nyaman Isolasi Sosial
sendiri.

DO:
 Sering melamun
 Klien berbicara pelan dan lambat
 Klien lesu

3
DS: -
DO: Resiko Perilaku Kekerasan
Pada tanggal 16 November 2017
klien marah-marah dan teriak-teriak
tidak jelas. Sehingga klien dibawa
oleh dinsos ke RSJ Lawang.
3.14 Pohon Masalah

Resiko tinggiperilaku kekerasan


Effect

Gangguan sensoripersepsi: halusinasi penglihatan


Core Problem
Isolasisosial
Etiologi

Koping individu tidak efektif Regiment terapeutik inefektif

3.15 Daftar Masalah Keperawatan

1) Gangguansensoripersepsi: halusinasi penglihatan

2) Isolasisosial

3) Resiko perilaku kekerasan

4) Harga diri rendah

5) Koping individu inefektif

6) Regiment terapeutik inefektif

3.16 Prioritas Masalah Keperawatan

1) Gangguan sensori persepsi: halusinasi penglihatan

Lawang, 30 Maret 2020


Perawat yang mengkaji

Vini Widia Putri


BAB 4
PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan diuraikan mengenai hasil dan pembahasan dari praktik
profesi yaitu Ny. S, klien masuk RSJ pada tanggal 29 Maret 2020. Klien sudah sering
bolak-balik RSJ dan ini yang ke 3 kalinya klien masuk,klien marah-marah dan sering
teriak-teriak tidak jelas. Klien jarang kontrol dan malas minum obat, klien terlihat
suka menyendiri.
4.1 Pengkajian
Pada kasus Ny. S dengan masalah keperawatan utama Perubahan Persepsi
Sensori: Halusinasi Penglihatan, terdapat kesesuaian antara teori tentang perubahan
persepsi sensori: halusinasi Penglihatan dengan fakta yang terjadi. Menurut Nita
Fitria (2016) perubahan persepsi sensorial adalah salah satu gejala gangguan jiwa
dimana klien mengalami perubahan persepsi sensori seperti merasakan sensasi palsu
salah satunya berupa penglihatan. Klien melihat gambaran yang jelas atau samar-
samar tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak melihatnya. Hal ini terjadi pada
Ny. S yang mana klien mengungkap bahwa sering melihat seorang perempuan.
Klien sebelumnya pernah masuk RSJ lawang sebanyak 3 kali, akan tetapi
pengobatannya kurang berhasil sehingga klien mengalami kekambuhan. Klien masuk
ke RSJ Lawang karena keluhan marah-marah dan teriak-teriak tidak jelas. Hal ini
juga sesuai dengan teori yang terdapat di buku Fitria Nita (2010) yang menyebutkan
stressor sosial budaya: pernah dirawat di rumah sakit sebagai faktor presipitasi.
Pengkajian dilakukan berfokus pada persepsi Penglihatan.
Dilihat dari hasil teori dan opini didapatkan bahwa terdapat kesesuaian antara
keduanya, sesuai dengan yang ada pada teori bahwa klien mengalami perubahan
persepsi sensori seperti merasakan sensasi palsu salah satunya berupa penglihatan.
Seperti marah-marah tanpa sebab. Hasil pengkajian didapatkan bahwa klien melihat
seorang perempuan. Hal tersebut terjadi karena koping individu, ketidakefektifan
penatalaksanaan regimen terapeutik, sehingga mengakibatkan terjadinya kekambuhan
pada klien dengan perubahan persepsi sensori: halusinasi Penglihatan.

4.2 Diagnosa Keperawatan


Berdasarkan data yang terkaji didapatkan klien mengatakan “Ny. S yang mana
klien mengungkap bahwa sering melihat seorang perempuan”. Dapat ditarik
diagnosa keperawatan perubahan persepsi sensori : halusinasi Penglihatan.

4.3 Intervensi
Intervensi yang diangkat diambil sesuai dengan diagnosa keperawatan
gangguan persepsi sensori halusinasi Penglihatan yang ada di buku Fitria Nita (2010)
dikarenakan lebih mudah dan memiliki kesamaan dengan format intervensi yang ada
di format asuhan keperawatan yang diberikan.Hasil teori dan fakta terdapat
kesesuaian, intervensi yang diberikan pada klien dengan diagnosa perubahan persepsi
sensori: halusinasi Penglihatan sesuai dengan intervensi yang ada pada teori menurut
Fitria Nita (2010), hal tersebut karena hasil pengkajian tersebut sesuai tanda gejala
yang terdapat pada teori.
4.4 Implementasi
Langkah awal dalam asuhan keperawatan yang diberikan pada Ny. S adalah
penerapan SP1 dimana dilakukan intervensi membina hubungan saling percaya
dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik dan mengenal halusinasi serta
menghardik. SP1 dapat melakukan langkah: mengucap salam, menyapa klien dengan
ramah, memperkenalkan nama dan tujuan berkenalan, menanyakan nama lengkap dan
nama panggilan klien, menciptakan lingkungan yang tenang, nyaman dan bersahabat,
menunjukan sikap jujur, empati dan menerima klien apa adanya, memberikan
perhatian dan penghargaan serta menemani klien walaupun tidak menjawab. Proses
klien pada BHSP antara perawat dan klien berlangsung lancar, tidak ada gangguan
dari luar, ada respon verbal dari klien, komunikasi non-verbal yang dapat terkaji yaitu
ekspresi klien bersahabat, ada kontak mata, mau berjabat tangan, klien mau
menyebutkan nama, mau menjawab salam, dan klien bersedia mengungkapkan
masalah yang dihadapinya. Sedangkan langkah pada mengenal masalah halusinasi,
klien dapat menyebutkan isi, jenis, frekuensi dan respon klien terhadap halusinasi
serta menyebutkan cara menghardik halusinasinya. Tahap ini terlihat klien mau
berinteraksi dengan orang lain. Setelah satu hari Intervensi SP1 mengenal halusinasi
klien serta menghardik mulai memberikan respon verbal yaitu menyebutkan namanya
“S (nama diinisialkan). Pada pelaksanaan SP1 BHSP dan mengenal masalah
halusinasi serta cara menghardik tanggal 24 November 2017, berjalan sesuai
intervensi. Respon non verbal yang terkaji yaitu klien menjawab salam, saat
dihampiri klien bertatap muka, ketika ditanya klien menjawab sesuai dengan
pertanyaan perawat, klien mengenal halusinasi serta klien belum mampu menghardik.
Berdasarkan respon ini perawat menyimpulkan bahwa telah terjadi hubungan saling
percaya dengan klien dan klien mengenal halusinasi serta klien belum mampu
menghardik halusinasinya.

Langkah selanjutnya dalam asuhan keperawatan yang diberikan pada Ny. S


adalah penerapan SP1 dimana dilakukan intervensi membina hubungan saling
percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik tetap dilakukan dan
mengontrol halusinasi. Karena dalam penerapannya SP1 Ny.S tidak mampu dalam
mengontrol halusinasi, maka dari itu intervensi SP1 akan diulangi terus hingga Ny.S
mampu untuk mengontrol halusinasi.

4.5 Evaluasi
Setiap pelaksanaan SP1, perawat selalu memvalidasi terhadap interaksi
sebelumnya.Klien memberikan respon verbal yang diharapkan. Klien mau
terbukadengan perawat. Klien terlihat antusias dengan percakapan dan tidak hanya
menjawab seperlunya saja.
SP1 diterapkan pada tanggal 30 Maret hingga 4 kali pertemuan dengan klien sudah
melaksanakan kriteria evaluasi. Hasil observasi perawat klien mampu dan sangat
kooperatif, sehingga memungkinan untuk dilakukan pertemuan yang sering dalam 1
hari utuk mengajari cara mengontrol halusisasinya.
BAB 5
PENUTUP

5.1 Simpulan
5.1.1 Pengkajian
Pada pengkajian menurut fakta dan teori terdapat kesesuaian bahwa klien pada
resiko kekambuhan perubahan persepsi sensori halusinasi Penglihatan akan
merasakan sensasi palsu berupa penglihatan. Hal ini merupakan gejala gangguan jiwa
berupa stimulus yang sebenarnya tidak ada. Gangguan ini terjadi karena sistem
penginderaan pada kesadaran individu tersebut menerima rangsangan yang tidak
nyata yang disebabkan oleh banyak faktor. Seperti faktor predisposisi, faktor
presipitasi, perilaku, sumber koping dan mekanisme koping.
Hasil pengkajian didapatkan bahwa klien mengungkap bahwa sering melihat
sering melihat seorang perempuan. Hal tersebut terjadi karena koping individu yang
tidak efektif, ketidakefektifan penatalaksanaan regimen terapeutik sehingga
mengakibatkan terjadinya kejadian berulang pada klien dengan perubahan persepsi
sensori: halusinasi Penglihatan.
5.1.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada askep ini adalah perubahan persepsi sensori:
halusinasi Penglihatan.
5.1.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi yang diangkat pada kasus ini sesuai dengan diagnosa keperawatan
gangguan persepsi sensori halusinasi Penglihatan yang ada di buku Fitria Nita (2010).
Intervensinya adalah SP 1 klien dapat mengenal halusinasinya, klien dapat
mengontrol halusinasinya.
5.1.4 Implementasi
Implementasi yang di lakukan terhadap Ny. S yaitu SP 1 dimana perawat dan
klien saling berkenalan dan mengetahui nama dari perawat maupun klien dan dapat
mengenal halusinasinya serta belajar menghardik bayangan yang dilihat, di sini
perawat melakukan interaksi dengan klien untuk mengetahui penyebab dari halusinasi
yang terjadi pada klien dan belajar mengontrol halusinasi dengan cara menghardik.
5.1.5 Evaluasi
SP1 diterapkan pada tanggal 30 Maret 20120 sampai tanggal 3 April 2020 / 4 kali
pertemuan dengan klien sudah melaksanakan kriteria evaluasi. Sehingga
memungkinan untuk dilakukan pertemuan yang sering dalam 1 hari utuk mengajari
cara mengontrol halusinsasinya.
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Nita. (2016). Prinsip Dasar dan aplikasi penulisan laporan pendahuluan dan
strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (LP dan SP) untuk 7 diagnosa
keperawatan jiwa berat bagi program S-1 keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.

Keliat, Budi Anna dkk. (2019). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN
(Basic Course). Jakarta: EGC.

Kusumawati, Farida dan Yudi Hartono. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.
Yosep, Iyus. (2017). Keperawatan Jiwa. Jakarta : Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai