S DENGAN DIAGNOSA
KEPERAWATAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI
PENGLIHATANDI RUANG NUSA INDAHRUMAH SAKIT JIWA
Dr. RADJIMANWEDIODININGRAT
LAWANG
OLEH:
Vini Widia Putri
2019.NS.07.065
Kesehatan jiwa merupakan bagian yang integral dari kesehatan. Kesehatan jiwa
bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, akan tetapi merupakan suatu hal yang di
butuhkan oleh semua orang. Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta
mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagai mana adanya.
Serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. (Menkes, 2015)
dengan masalah kesehatan lain yang ada dimasyarakat. Dari 150 juta populasi orang
terlambat berobat dan tidak tertangani akibat kurangnya layanan untuk penyakit
kejiwaan ini.Data rekam medik di RSJD Surakarta menunjukan pasien pada tahun
2012 diantaranya rawat jalan 26.449 klien, rawat inap 2.906 klien, dari rawat inap
738 (33,1%) (Medical record, 2016). Berdasarkan laporan periode bulan April 2013,
pasien yang dirawat di ruang Abimanyu RSJD Surakarta di dapatkan dari 32 klien
yang mengalami gangguan jiwa terdapat 16 klien yang mengalami gangguan persepsi
Sehubungan dengan hal tersebut diatas peran dan fungsi perawat sangatlah
dan mengatur klien untuk minum obat), dan rehabilitatif ( Dokter, Perawat dan peran
serta keluarga agar lebih memperhatikan dalam perbaikan fisik dan perawatan diri
yang optimal ).Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat studi kasus
1.4.2 Praktis
1.4.2.1 Bagi Institusi
Sebagai tolak ukur kemampuan mahasiswa dalam penguasaan terhadap ilmu
keperawatan, proses keperawatan dan pendokumentasian proses keperawatan
sehingga dapat memberikan umpan balik terhadap efektivitas pengajaran dan
bimbingan yang telah diberikan dan diterapkan untuk kemajuan dimasa mendatang.
1.4.2.2 Bagi Rumah Sakit
Menyediakan kerangka berfikir secara ilmiah yang bermanfaat bagi rumah
sakit dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi
Penglihatan. Serta menyediakan referensi bagi perawat Di Rumah Sakit Jiwa Dr.
Radjiman Wediodiningrat Lawang dalam melakukan asuhan keperawatan secara
komprehensif.
1.4.2.3 Bagi Penulis
Sebagai salah satu pengalaman berharga dan nyata yang didapat dari lapangan
praktik yang dilakukan sesuai dengan ilmu yang didapatkan serta sebagai acuan
dalam menghadapi kasus yang sama sehingga dapat memberikan asuhan
keperawatan yang lebih baik
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Faktor pencetus :
1. Biologis
Abnormalitas otak yang menyebabkan respon neurobiologi yang maladptif yang
baru mulai dipahami, yang termasuk dalam hal ini adalah sebagai berikut :
1) Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan keterlibatan otak yang
lebih luas dalam perkembangan Skizoprenia.Lesi pada area kontrol, temporal
dan limbik paling berhubugan dengan prilaku psikotik.
2) Beberapa kimia otak dikaitkan dengan Skizoprenia, hasil penelitian
menunjukkan bahwa :
- Dopamin neurotransmitter yang berlebihan
- Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter lain
- Masalah – masalah pada reseptor dopamin.
Para ahli biokimia mengemukakan bahwa halusinasi merupakan hasil dari respon
metabolik terhadap stres yang menyebabkan lepasnya neurokimia halusinogenik
(Stuart dan Sundeen, 1991).
2. Psikologis
Teori psikodinamik untuk terjadinya respon neurobiologik yang maladaptif belum
didukung oleh penelitian (Stuart dan Sundeen, 2014).
3. Sosio Budaya
Stres yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan Skizoprenia dan
gangguan psikotik lain tapi tidak diyakini sebagai penyebab utama gangguan
(Stuart dan Sundeen, 2016).
Menurut Yosep (2015) ada beberapa faktor yang menyebabkan halusinasi yaitu:
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi penyebab halusinasi adalah :
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat
yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif.Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya.Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia.Hasil studi menunjukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini.
2. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2017) yang dikutip oleh Jallo (2018), faktor presipitasi terjadinya
gangguan halusinasi adalah :
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
Pada halusinasi terdapat 3 mekanisme koping yaitu :
(1) With Drawal : Menarik diri dan klien sudah asyik dengan pengalaman
internalnya.
(2) Proyeksi : Menggambarkan dan menjelaskan persepsi yang
membingungkan ( alam mengalihkan respon kepada sesuatu atau
seseorang ).
(3) Regresi : Terjadi dalam hubungan sehari-hari untuk memproses
masalah dan mengeluarkan sejumlah energi dalam mengatasi cemas.
Pada klien dengan halusinasi, biasanya menggunakan pertahanan diri dengan
menggunakan pertahanan diri dengan cara proyeksi yaitu untuk mengurangi
perasaan emasnya klien menyalahkan orang lain dengan tujuan menutupi
kekurangan yang ada pada dirinya.
2.1.5 Patofisiologi
Halusinasi pendengaran paling sering terdapat pada klien Skizoprenia.
Halusinasi terjadi pada klien skizoprenia dan gangguan manik. Halusinasi dapat
timbul pada skizofrenia dan pada psikosa fungsional yang lain, pada sindroma otak
organik, epilepsi (sebagai aura), nerosa histerik, intoksikasi atropin atau kecubung,
zat halusinogenik dan pada deprivasi sensorik (Maramis 2018).
Menurut Barbara ( 2017 ) klien yang mendengar suara – suara misalnya suara
Tuhan, iblis atau yang lain. Halusinasi yang dialami berupa dua suara atau lebih yang
mengomentari tingkah laku atau pikiran klien. Suara– suara yang terdengar dapat
berupa perintah untuk bunuh diri atau membunuh orang lain.
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia
(2018) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
1. Fase I : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa
yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat,
diam dan asyik sendiri.
2. Fase II : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber
yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom
akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan
dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan
kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
3. Fase III : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang
lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan
berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan
dengan orang lain.
4. Fase IV : Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu
berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari
1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.
2.1.6 Tanda dan gejala
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering di dapatkan duduk
terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau bicara
sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan
gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri
tentang halusinasi yang di alaminya (apa yang di lihat, di dengar atau di rasakan).
Tahap I
1. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
2. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
3. Gerakan mata yang cepat
4. Respon verbal yang lambat
5. Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan
Tahap II
1. Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya
2. Peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah
3. Penyempitan kemampuan konsenstrasi
4. Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan
5. untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.
Tahap III
1. Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya dari
2. Pada menolaknya
3. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain
4. Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik
5. Gejala fisik dari ansietas berat seperti berkeringat, tremor, ketidakmampuan
untuk mengikuti petunjuk
Tahap IV
1. Perilaku menyerang teror seperti panik
2. Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
3. Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi,
4. Menarik diri atau katatonik
5. Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks
Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang
Menurut Hamid (2017), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai
berikut:
1. Bicara sendiri
2. Senyum sendiri
3. Ketawa sendiri
4. Menggerakkan bibir tanpa suara
5. Pergerakan mata yang cepat
6. Respon verbal yang lambat
7. Menarik diri dari orang lain
8. Berusaha untuk menghindari orang lain
9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata
10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah
11. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik
12. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori
13. Sulit berhubungan dengan orang lain
14. Ekspresi muka tegang
15. Mudah tersinggung, jengkel dan marah
16. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat
17. Tampak tremor dan berkeringat
18. Perilaku panic
19. Agitasi dan kataton.
20. Curiga dan bermusuhan
21. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan
22. Ketakutan
23. Tidak dapat mengurus diri
24. Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang
Menurut Stuart dan Sundeen (2016) yang dikutip oleh Nasution (2014), seseorang
yang mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang khas yaitu:
1. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
2. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
3. Gerakan mata abnormal
4. Respon verbal yang lambat
5. Diam
6. Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan
7. Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya
peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah
8. Penyempitan kemampuan konsenstrasi
9. Dipenuhi dengan pengalaman sensori
10. Mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan
realitas
11. Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada
menolaknya
12. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain
13. Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik
14. Berkeringat banyak
15. Tremor
16. Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk
17. Perilaku menyerang teror seperti panic
18. Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
19. Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk dan agitasi
20. Menarik diri atau katatonik
21. Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks
22. Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik.
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat
halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual
dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di
pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat
masuk ke kamar atau mendekati pasien, berbicara dengan pasien. Begitu juga
bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu dan Pasien di beritahu
tindakan yang akan di lakukan.Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang
dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan
realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan
permainan.
2. Melaksanakan program terapi dokter.
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan
halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi
instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya,
serta reaksi obat yang di berikan.
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada.
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali
masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu
mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui
keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
4. Memberi aktivitas pada pasien.
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya
berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu
mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang
lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan. Keluarga pasien
dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan
pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari
percakapan dengan pasien diketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar
laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu
tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan
menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini
hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugas lain agar tidak
membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.
6. Hospitalisasi perawatan rumah sakit
7. Terapi ECT, merupakan kejang listrik dan pengobatan fisik dengan mengunakan
arus listrik antara 70-150 volt
8. Psikotrapi (menurut Dadang Hawari,2015)
Tujuan psikoterapi
1) Menurukan rasa takut klien
2) Mengembalikan proses pikiran yang luhur
1. Psikoterapi Re-edukatif memberikan pendidikan ulang yang maksudnya
memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu dan juga mengubah pola
pendidikan yang lama dengan yang baru sehingga penderita lebih adaftif
dengan dunia luar.
2. Psikoterapi rekonstruktif memperbaiki kembali (re-konstruksi) kepribadian
yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian yang utuh seperti
semula sebelum sakit.
3. Psikoterapi Kognetif : memulihkan kembali fungsi kognitif ( daya pikir dan
daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai
moral etika, mana yang baik dan yang buruk, yang boleh dan tidak.
4. Psikoterapi Psiko-dinamik : menganalisa dan menguraikan proses dinamika
kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk
mencari jalan keluarnya.
5. Psikoterapi Perilaku : memulihkan ganguan perilaku yang terganggu
(maladaptife) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).
6. Psikoterapi keluarga ; memulihkan hubungan penderita dengan
keluarganya.
7. Terapi psikososial : dimaksudkan penderita agar mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri,
mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi
beban bagi keluarga dan masyarakat.
8. Terapi Psikoreligius : dimaksudkan agar keyakinan atau keimanan
penderita dapat di pulihkan kembali.
2.1.8 Komplikasi
Dampak dari gangguan sensori persepsi : Halusinasi ( Stuart and Laraia, 2015 ) :
1. Risiko perilaku kekerasan
Hal ini terjadi bahwa klien dengan halusinasinya cenderung untuk marah-marah
dan mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
2. Isolasi sosial
Hal ini terjadi karena prilaku klien yang sering marah-marah dan risiko prilaku
kekerasan maka lingkungan akan menjauh dan mengisolasi.
3. Harga diri rendah
Hal ini terjadi karena klien menjauhi dan mengisolasi dari lingkungan klien
beranggapan dirinya merasa tidak berguna dan tidak mampu.
4. Defisit perawatan diri : kebersihan diri
Hal ini terjadi karena klien merasa tidak berguna dan tidak mampu sehingga klien
mengalami penurunan motivasi dalam hal kebersihan dirinya.
2. Isolasi sosial.
Nama : Ny. S
Umur : 59Tahun
Pendidikan :-
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Pacitan
Pekerjaan :-
No. RM : 122xx
Data Primer
Data Sekunder
Pada tanggal 29 Maret 2020 klien diantar oleh keluarga ke RSJ karena suka
Pada tanggal 29 Maret 2020 klien marah-marah dan teriak-teriak tidak jelas.
Tidak ada.
kematian, perpisahan)
Tidak ada.
Tidak ada.
3.4.3 Upaya yang telah dilakukan terkait kondisi diatas dan hasilnya :
3.5.1 Genogram
59
Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
: Satu rumah
Jelaskan: klienadalah anak kedua dari 3 saudara. Klien masih tinggal bersama
kedua orang tuanya. Klien mengatakan pola asuh kedua orang tuanya baik, karena
yaitu ibu karena ayah nya sudah lama meninggal, dan klien juga kehilangan sang
suami (meninggal).
3.5.2.2 Identitas
Klien mengatakan nama saya “s” dan berasal dari desa Pacitan. Klien adalah
3.5.2.3 Peran
Klien menyadari perannya sebagai seorang ibu dari anaknya sebelum masuk ke
rumah sakit jiwa. Klien juga menyadari bahwa perannya sebagai klien di RSJ.
Dengan keadaan klien seperti ini dimana dirinya ingin cepat sembuh dan cepat
Klien mengatakan orang yang berarti bagi klien adalah ibunya dan anaknya.
3.5.4.1 Agama
melaksanakannya.
3.6.2 Kesadaran
Kesadaran klien Cm. GCS: E:4, V:5, M:6., ekstermitas atas dan bawah (+)
Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, suhu 36oC, dan pernafasan
3.7.1 Penampilan
Penampilan klien cukup rapi, rambut klien disisir, baju yang digunakan adalah
3.7.2 Pembicaraan
Klien mampu memulai pembicaraan, intonasi suara rendah dan pelan, bicara
singkat dan pendek. Klien berbicara menggunakan bahasa indonesia. Klien hanya
mau berbicara saat ditanya, namun sering kurang fokus saat menjawab, jawaban yang
Klien tampak lesu, klien selalu menyendiri. Klien tampak diam dan jarang
Mood : Saat pengkajian klien terlihat sedih dan ingin cepat pulang kerumah
Klien mengatakan melihat suami nya disekitar bangsal. Suami nya itu sering
muncul pada malam hari dan muncul kira-kira 10 menit. Perasaan yang dirasakan
klien saat suami nya itu muncul adalah tenang. Yang dilakukan klien saat melihat
Arus pikir klien adalah perseverasi. Klien selalu berulang-ulang berkata “saya
Isi pikir klien yaitu preokupasi. Karena isi pikir klien hanya ingin pulang.
3.7.8 Kesadaran
Orientasi
Waktu : Saat ditanya “bu sekarang pagi/sore?” Klien menjawab pagi saat
pengkajian.
Tempat : “Bu, sekarang berada dimana?” Klien menjawab berada diteras
bangsal.
3.7.9 Memori
Saat diwawancarai klien mudah beralih dari pertanyaan perawat. Klien dapat
berhitung saat diuji, klien dapat menjawab dengan benar 4+5 = 9, 7-2 = 5.
Gangguan ringan. Ketika klien ditanya antara berteman dengan orang lain dan
Mengingkari penyakit yang diderita. Klien mengatakan dirinya tidak sakit dan
Dari data yang didapat klien tidak mampu memenuhi kebutuhan seperti
3.8.2.1 Mandi
Klien membutuhkan bantuan minimal. Klien mau mandi apabila disuruh mandi.
Saat mandi juga harus diawasi agar klien mau menggunakan sabun, sampo, dan
menyikat gigi.
3.8.2.2 Berpakaian/berhias
dengan baik, hanya saja menyisir rambut dan berdandan masih dibantu.
3.8.2.3 Makan
3.8.2.4 BAB/BAK
3.8.3 Nutrisi
Frekuensi makan dan frekuensi kudapan dalam sehari ada 3 kali/hari, nafsu
Klien tidur siang, lamanya 13.00 WIB - 16.00 WIB dan tidur malam, lamanya
20.00 WIB - 06.00 WIB. Aktivitas klien sebelum/sesudah tidur hanya duduk
mengatur penggunaan obat sendiri tanpa semuanya klien masih dibantu oleh
petugas kesehatan.
Sistem pendukung untuk klien saat ini adalah terapis. Sistem pendukung saat
Klien mengatakan jika ada masalah klien selalu memendamnya sendiri dan
Klien tampak acuh dengan lingkungan, teman dan perawat. Klien tidak
DO:
Sering melamun
Klien berbicara pelan dan lambat
Klien lesu
3
DS: -
DO: Resiko Perilaku Kekerasan
Pada tanggal 16 November 2017
klien marah-marah dan teriak-teriak
tidak jelas. Sehingga klien dibawa
oleh dinsos ke RSJ Lawang.
3.14 Pohon Masalah
2) Isolasisosial
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai hasil dan pembahasan dari praktik
profesi yaitu Ny. S, klien masuk RSJ pada tanggal 29 Maret 2020. Klien sudah sering
bolak-balik RSJ dan ini yang ke 3 kalinya klien masuk,klien marah-marah dan sering
teriak-teriak tidak jelas. Klien jarang kontrol dan malas minum obat, klien terlihat
suka menyendiri.
4.1 Pengkajian
Pada kasus Ny. S dengan masalah keperawatan utama Perubahan Persepsi
Sensori: Halusinasi Penglihatan, terdapat kesesuaian antara teori tentang perubahan
persepsi sensori: halusinasi Penglihatan dengan fakta yang terjadi. Menurut Nita
Fitria (2016) perubahan persepsi sensorial adalah salah satu gejala gangguan jiwa
dimana klien mengalami perubahan persepsi sensori seperti merasakan sensasi palsu
salah satunya berupa penglihatan. Klien melihat gambaran yang jelas atau samar-
samar tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak melihatnya. Hal ini terjadi pada
Ny. S yang mana klien mengungkap bahwa sering melihat seorang perempuan.
Klien sebelumnya pernah masuk RSJ lawang sebanyak 3 kali, akan tetapi
pengobatannya kurang berhasil sehingga klien mengalami kekambuhan. Klien masuk
ke RSJ Lawang karena keluhan marah-marah dan teriak-teriak tidak jelas. Hal ini
juga sesuai dengan teori yang terdapat di buku Fitria Nita (2010) yang menyebutkan
stressor sosial budaya: pernah dirawat di rumah sakit sebagai faktor presipitasi.
Pengkajian dilakukan berfokus pada persepsi Penglihatan.
Dilihat dari hasil teori dan opini didapatkan bahwa terdapat kesesuaian antara
keduanya, sesuai dengan yang ada pada teori bahwa klien mengalami perubahan
persepsi sensori seperti merasakan sensasi palsu salah satunya berupa penglihatan.
Seperti marah-marah tanpa sebab. Hasil pengkajian didapatkan bahwa klien melihat
seorang perempuan. Hal tersebut terjadi karena koping individu, ketidakefektifan
penatalaksanaan regimen terapeutik, sehingga mengakibatkan terjadinya kekambuhan
pada klien dengan perubahan persepsi sensori: halusinasi Penglihatan.
4.3 Intervensi
Intervensi yang diangkat diambil sesuai dengan diagnosa keperawatan
gangguan persepsi sensori halusinasi Penglihatan yang ada di buku Fitria Nita (2010)
dikarenakan lebih mudah dan memiliki kesamaan dengan format intervensi yang ada
di format asuhan keperawatan yang diberikan.Hasil teori dan fakta terdapat
kesesuaian, intervensi yang diberikan pada klien dengan diagnosa perubahan persepsi
sensori: halusinasi Penglihatan sesuai dengan intervensi yang ada pada teori menurut
Fitria Nita (2010), hal tersebut karena hasil pengkajian tersebut sesuai tanda gejala
yang terdapat pada teori.
4.4 Implementasi
Langkah awal dalam asuhan keperawatan yang diberikan pada Ny. S adalah
penerapan SP1 dimana dilakukan intervensi membina hubungan saling percaya
dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik dan mengenal halusinasi serta
menghardik. SP1 dapat melakukan langkah: mengucap salam, menyapa klien dengan
ramah, memperkenalkan nama dan tujuan berkenalan, menanyakan nama lengkap dan
nama panggilan klien, menciptakan lingkungan yang tenang, nyaman dan bersahabat,
menunjukan sikap jujur, empati dan menerima klien apa adanya, memberikan
perhatian dan penghargaan serta menemani klien walaupun tidak menjawab. Proses
klien pada BHSP antara perawat dan klien berlangsung lancar, tidak ada gangguan
dari luar, ada respon verbal dari klien, komunikasi non-verbal yang dapat terkaji yaitu
ekspresi klien bersahabat, ada kontak mata, mau berjabat tangan, klien mau
menyebutkan nama, mau menjawab salam, dan klien bersedia mengungkapkan
masalah yang dihadapinya. Sedangkan langkah pada mengenal masalah halusinasi,
klien dapat menyebutkan isi, jenis, frekuensi dan respon klien terhadap halusinasi
serta menyebutkan cara menghardik halusinasinya. Tahap ini terlihat klien mau
berinteraksi dengan orang lain. Setelah satu hari Intervensi SP1 mengenal halusinasi
klien serta menghardik mulai memberikan respon verbal yaitu menyebutkan namanya
“S (nama diinisialkan). Pada pelaksanaan SP1 BHSP dan mengenal masalah
halusinasi serta cara menghardik tanggal 24 November 2017, berjalan sesuai
intervensi. Respon non verbal yang terkaji yaitu klien menjawab salam, saat
dihampiri klien bertatap muka, ketika ditanya klien menjawab sesuai dengan
pertanyaan perawat, klien mengenal halusinasi serta klien belum mampu menghardik.
Berdasarkan respon ini perawat menyimpulkan bahwa telah terjadi hubungan saling
percaya dengan klien dan klien mengenal halusinasi serta klien belum mampu
menghardik halusinasinya.
4.5 Evaluasi
Setiap pelaksanaan SP1, perawat selalu memvalidasi terhadap interaksi
sebelumnya.Klien memberikan respon verbal yang diharapkan. Klien mau
terbukadengan perawat. Klien terlihat antusias dengan percakapan dan tidak hanya
menjawab seperlunya saja.
SP1 diterapkan pada tanggal 30 Maret hingga 4 kali pertemuan dengan klien sudah
melaksanakan kriteria evaluasi. Hasil observasi perawat klien mampu dan sangat
kooperatif, sehingga memungkinan untuk dilakukan pertemuan yang sering dalam 1
hari utuk mengajari cara mengontrol halusisasinya.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
5.1.1 Pengkajian
Pada pengkajian menurut fakta dan teori terdapat kesesuaian bahwa klien pada
resiko kekambuhan perubahan persepsi sensori halusinasi Penglihatan akan
merasakan sensasi palsu berupa penglihatan. Hal ini merupakan gejala gangguan jiwa
berupa stimulus yang sebenarnya tidak ada. Gangguan ini terjadi karena sistem
penginderaan pada kesadaran individu tersebut menerima rangsangan yang tidak
nyata yang disebabkan oleh banyak faktor. Seperti faktor predisposisi, faktor
presipitasi, perilaku, sumber koping dan mekanisme koping.
Hasil pengkajian didapatkan bahwa klien mengungkap bahwa sering melihat
sering melihat seorang perempuan. Hal tersebut terjadi karena koping individu yang
tidak efektif, ketidakefektifan penatalaksanaan regimen terapeutik sehingga
mengakibatkan terjadinya kejadian berulang pada klien dengan perubahan persepsi
sensori: halusinasi Penglihatan.
5.1.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada askep ini adalah perubahan persepsi sensori:
halusinasi Penglihatan.
5.1.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi yang diangkat pada kasus ini sesuai dengan diagnosa keperawatan
gangguan persepsi sensori halusinasi Penglihatan yang ada di buku Fitria Nita (2010).
Intervensinya adalah SP 1 klien dapat mengenal halusinasinya, klien dapat
mengontrol halusinasinya.
5.1.4 Implementasi
Implementasi yang di lakukan terhadap Ny. S yaitu SP 1 dimana perawat dan
klien saling berkenalan dan mengetahui nama dari perawat maupun klien dan dapat
mengenal halusinasinya serta belajar menghardik bayangan yang dilihat, di sini
perawat melakukan interaksi dengan klien untuk mengetahui penyebab dari halusinasi
yang terjadi pada klien dan belajar mengontrol halusinasi dengan cara menghardik.
5.1.5 Evaluasi
SP1 diterapkan pada tanggal 30 Maret 20120 sampai tanggal 3 April 2020 / 4 kali
pertemuan dengan klien sudah melaksanakan kriteria evaluasi. Sehingga
memungkinan untuk dilakukan pertemuan yang sering dalam 1 hari utuk mengajari
cara mengontrol halusinsasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, Nita. (2016). Prinsip Dasar dan aplikasi penulisan laporan pendahuluan dan
strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (LP dan SP) untuk 7 diagnosa
keperawatan jiwa berat bagi program S-1 keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Keliat, Budi Anna dkk. (2019). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN
(Basic Course). Jakarta: EGC.
Kusumawati, Farida dan Yudi Hartono. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.
Yosep, Iyus. (2017). Keperawatan Jiwa. Jakarta : Refika Aditama.