Disusun oleh:
841214009
2023/2024
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Simanjuntak, 2020 Skizofrenia adalah gangguan mental
kronis dan parah yang ditandai dengan komunikasi yang buruk, realitas
yang berubah, emosi yang tidak biasa atau tumpul, gangguan fungsi
kognitif, dan kesulitan melakukan tugas, aktivitas sehari-hari
(Maulidia,2023). Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang
menyebabkan penyakit otak parah dan persisten yang menyebabkan
perilaku, pemikiran, dan kesulitan mengumpulkan informasi tertentu
(Apriani, 2022).
Skizofrenia menyebabkan distorsi dalam pemikiran, kognisi, emosi
dan perilaku, sehingga pasien dengan skizofrenia berisiko tinggi terhadap
perilaku agresif, di mana terjadi perubahan besar pada gangguan perilaku
yang terjadi selama beberapa hari atau minggu, yang dapat menyebabkan
halusinasi. Skizofrenia memiliki tanda dan gejala positif dan negatif.
Gejala positif yang muncul antara lain halusinasi (90%), delusi (75%),
delusi, perilaku gelisah dan agresif, serta gangguan pola pikir dan bicara.
Gejala negatifnya adalah emosi yang datar, susah tidur (ucapan lembut),
lesu, perhatian menurun dan berkurangnya aktivitas sosial. Halusinasi
terbagi menjadi beberapa jenis yaitu halusinasi pendengaran
(pendengaran), halusinasi penglihatan (penglihatan), halusinasi penciuman
(penciuman), halusinasi sentuhan (sentuhan), halusinasi pengecapan
sensoris (pengasaan) dan kinesthesia (Perdede, Silitonga & Laila, 2020).
Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2019,
skizofrenia adalah gangguan mental yang parah dan kronis, mempengaruhi
450 juta orang di seluruh dunia. Angka kejadian gangguan kesehatan jiwa
di Indonesia, khususnya skizofrenia/psikosis, adalah 6,7 per 1.000 rumah
tangga. Prevalensi skizofrenia di Kalimantan Barat adalah 7,9 penderita
skizofrenia. Di Kota Pontianak, penderita skizofrenia sebanyak 66,3%,
sehingga totalnya ada 933 orang. Angka kejadian tertinggi terdapat di
wilayah Kecamatan Pontianak Selatan, Pasien sehat dengan gangguan jiwa
berat sebanyak 114 orang
Halusinasi merupakan salah satu gejala skizofrenia. Penderita
mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap objek, gambaran, dan
pikiran, seringkali terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar, termasuk
suara dan seluruh sistem sensorik (pendengaran, penglihatan, penciuman,
sentuhan dan rasa). Halusinasi umum sering kali muncul sebagai
halusinasi pendengaran tetapi juga dapat berbentuk halusinasi visual,
penciuman, dan sentuhan. Halusinasi seringkali diidentikkan dengan
perasaan bahwa klien mempunyai kesan melihat, mendengar, mencium,
merasakan sentuhan dan rasa, padahal tidak ada rangsangan yang
diarahkan pada kelima makna tersebut (Simanjuntak, 2020).
Dampak dari halusinasi adalah hilangnya kendali diri yang pada
situasi tertentu dapat berujung pada bunuh diri, orang lain, bahkan
kerusakan lingkungan. Untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan
oleh halusinasi, diperlukan pengobatan yang tepat. Peran perawat adalah
membantu pasien mengendalikan halusinasi. Jika halusinasi tidak diobati,
efek samping juga dapat terjadi, seperti halusinasi yang menyebabkan
pasien melakukan sesuatu, seperti bunuh diri, menyakiti orang lain, atau
menyatu dengan seseorang di antara orang lain. Karena hubungannya
dengan orang lain, respons emosional mereka cenderung tidak stabil,
intens, dan dianggap tidak dapat diprediksi (Nova, 2010).
Efektivitas asuhan keperawatan halusinasi menurut Stuart, Keliat,
dan Pasaribu (2016), model coping stres Stuart berfokus pada respon klien
terhadap stres dan membantu klien memahami tujuan dan proses yang
ingin dicapai dalam kegiatan keperawatan. Nyumirah, Keliat, dan Helena
(2013) menjelaskan bahwa penggunaan pendekatan Stuart efektif karena
perawat dapat menggambarkan kondisi pasien dan menggambarkan proses
gangguan jiwa, khususnya merupakan gangguan mental persepsi sensorik
dan halusinasi.
Pada pertemuan pertama diadakan, telah membangun hubungan
saling percaya dengan pelanggan. Membangun hubungan saling percaya
bisa efektif dengan menggunakan komunikasi terapeutik. Kozier, Berman,
dan Snyder (2012) menjelaskan penerapan komunikasi terapeutik dapat
meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan.
Allender, Rector, dan Warner (2014) menjelaskan bahwa komunikasi
interpersonal yang efektif dapat menciptakan rasa percaya pada klien,
termasuk menunjukkan empati terhadap situasi klien yang ditemui
perawat. Jadi, untuk mendapatkan kepercayaan pasien dan mengatakan
apa yang mereka rasakan, perawat harus menunjukkan empati.
Pengendalian halusinasi yang dapat diterapkan pada pasien antara
lain berteriak, berbicara, melakukan aktivitas terjadwal, dan minum obat
secara teratur (Keliat, 2012). Menegur halusinasi pendengaran yang
muncul dapat dilakukan dengan menutup telinga dan mengingkari adanya
halusinasi tersebut. Selanjutnya dapat dilakukan dengan konsentrasi,
percaya dalam hati bahwa klien dapat menghilangkan halusinasinya,
kemudian menolak halusinasinya. Hal ini juga sesuai dengan penelitian
bahwa teguran dapat menurunkan intensitas halusinasi pada klien (Zelika
& Dermawan 2015; Wati, 2018). Teknik mengendalikan halusinasi
selanjutnya adalah berbicara yang dilakukan pada pertemuan ketujuh.
Direja(2011) menyatakan bahwa dapat mengurangi intensitas halusinasi
melalui interaksi atau percakapan. Berdasarkan penelitian dijelaskan
bahwa dengan berpartisipasi dalam suatu interaksi, Anda dapat
mengalihkan fokus pelanggan dari ilusi ke interaksi yang dilakukan
sedemikian rupa sehingga halusinasi dapat terputus (Chien & Chan 2013;
Zelika & Dermawan 2015; Wat, 2018).
Pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
persepsi sensorik tidak lepas dari pengawasan keluarga. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Videbeck (2011), bahwa keluarga merupakan pihak
terpenting yang membantu pasien mengatasi masalah halusinasinya.
Keluarga juga perlu mengetahui perasaan dan kondisi klien setiap hari
selama berada di rumah. Penegasan tersebut didukung oleh Friedman
(2010) bahwa fungsi emosional dalam keluarga merupakan kebutuhan
psikososial yang diinginkan anggota keluarga, meliputi kehangatan, kasih
sayang, saling mengasuh, dan saling mendukung antar anggota keluarga.
Intervensi lain yang dapat dilakukan terhadap pasien halusinasi
pendengaran berdasarkan AuditoryHallucination Symtomp Management
(AHSM) adalah mendengarkan musik, membaca buku, beraktivitas,
penyumbat telinga, relaksasi nafas dalam dan relaksasi otot tanpa
eliminasi . secara teratur meminum obat (Yang et al., 2015). Tindakan
asuhan keperawatan umum pada pasien gangguan persepsi sensorik
halusinasi memberikan dampak positif yang ditandai denganpenurunan
gejala halu sinasi dan pengembangan kemampuan kognitif dan
psikomotorik Pergerakan klien saat mengalami halusinasi (Nyumirah,
Keliat dan Helena, 2013
Pelatalaksaan halusinasi membantu mengidentifikasi halusinasi
dengan berdiskusi dengan klien tentang halusinasi (apa yang dilihat),
waktu terjadinya, frekuensi halusinasi, dan situasi yang memicu
halusinasi, serta reaksi klien ketika halusinasi terjadi. halusinasi muncul,
untuk dapat mengendalikan halusinasi pelanggan dapat mengontrol
halusinasi bila halusinasi berulang, aplikasi ini dapat menjadi program
aktivitas sehari-hari yang dapat dilakukan pelanggan untuk mengurangi
masalah halusinasi yang dihadapi klien gangguan kognitif, halusinasi
pendengaran (Keliat, 2020).
Berdasarkan data diatas, maka penulis menjadi tertarik dan ingin
membahas lebih lanjut tentang masalah keperawatan pada klien dengan
gangguan persepsi sensori: halusinasi.
B. Batasan Masalah
Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada asuhan keperawataan
klie dengaan gangguan sensori persepsi: Halusinasi pendengaran.
C. Rumusan Masalah
Berdadarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yag
diambil adalah "Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sensori persepsi; halusinasi pendegaran?"
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah adalah memberikan
gambaraasuhan keperawatan pada klien yang mengalai gangguan
sensori persepsi: halusinasi pendengaran.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan tentang konsep dasar gangguan sensori persepsi:
halusinasi pendengaran
b. Memberikan gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada
klien dengan gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran
c. Membandingkan antara teori dan aplikasi di lapangan tentang
asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sensori persepsi
halusinasi pendengaran
d. Menjelaskan tentang penunjang dengan penghambat dalam
pelaksanaan
e. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sensori persepsi:
halusinasi pendengaran
f. Saran atau altematif penyelesaian masalah yang muncul pada
asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sensori persepsi
halusinasi pendengaran
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan ditunjuk untuk pelayanan kesehatan, untuk
perawat, klien, berserta dan bagi institusi keperawatan ataupun ilmu
keperawatan.
1. Fasilitas pelayanan Kesehatan
Sebagai bahan masukan bagi puskesmas dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan, khusus nya dalam pemberian
pelayanan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami gangguan
sensori persepsi: halusinasi yang terkait dengan strategi pelaksanaan
pada klien halusinasi.
2. Tenaga perawat
Sebagai masukan bagi perawat dalam mengaplikasikan asuhan
keperawatan pada klien yang mengalami gangguan sensori persepsi:
halusinasi sesuai perkembangan teori terkini
3. Klien dan keluarga
Penerapan teori pemberian asuhan keperawatan pada klien dan
keluarga diharapkan mempercepat proses penyembuhan klien
4. Pengembangan keilmuan keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan, yang merupakan salah satu sarana pembelajaran dalam
praktik keperawatan dengan mendekatkan riset pada asuhan
keperawatan klien yang mengalami gangguan sensori persepsi:
halusinasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA