Anda di halaman 1dari 19

PENERAPAN TEKNIK BERCAKAP CAKAP PADA PASIEN DENGAN

GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI PENDENGARAN DI


WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIMPONG

PROPOSAL STUDI KASUS

AGUSANTO LAGUNI
PO7214421049

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLTEKKES

KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN PRODI DIII

KEPERAWATAN LUWUK

2024
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Menurut WHO 2022 Kesehatan mental adalah keadaan sejahtera mental

yang memungkinkan seseorang mengatasi tekanan hidup, menyadari

kemampuannya, belajar dengan baik dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi

pada komunitasnya. Ini adalah komponen integral dari kesehatan dan

kesejahteraan yang mendasari kemampuan individu dan kolektif kita untuk

mengambil keputusan, membangun hubungan, dan membentuk dunia tempat kita

tinggal. Kesehatan mental adalah hak asasi manusia yang mendasar. Dan ini

penting untuk pengembangan pribadi, komunitas dan sosial-ekonomi.

Kesehatan mental lebih dari sekedar tidak adanya gangguan mental.

Penyakit ini berada dalam sebuah kontinum yang kompleks, yang dialami secara

berbeda dari satu orang ke orang lain, dengan tingkat kesulitan dan tekanan yang

berbeda-beda, serta potensi hasil sosial dan klinis yang sangat berbeda.

Prevalensi gangguan jiwa di seluruh dunia menurut data World Health

Organization (WHO, 2019) terdapat 264 juta orang mengalami depresi, 45 juta

orang menderita gangguan bipolar, 50 juta orang mengalami demensia, dan 20

juta orang jiwa mengalami skizofrenia.

Di Provisnsi Sulawesi Tengah sendiri tercatat terjadi peningkatan dari

tahun 2013 tercatat Sulawesi Tengah menduduki peringkat paling atas dengan
kasus prevalansi gangguan mental emosional pada penduduk berumur >15 tahun

yang awalnya 1.504.000 pada tahun 2013 menjadi 2.772.000 pada tahun 2018

(Kemenkes RI, 2018). kabupaten Banggai terdapat 611 orang penderita

skizofrenia yang terdiri dari 347 laki laki dan 264 perempuan.Untuk wilayah

kerja puskesmas simpong terdapat 30 orang penderita skizofrenia yang terdiri

dari 19 orang laki laki dan 11 orang perempuan (‘Data ODGJ Puskesmas

Simpong Terbaru Skizo’, 2021)

Halusinasi merupakan gejala yang sering muncul pada klien skizofrenia.

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai

dengan perubahan sensori persepsi: merasakan sensasi palsu berupa suara,

penglihatan, pengecapan dan perabaan.

Halusinasi yang terjadi disebabkan karena stimulus yang kurang dari

lingkungan. Halusinasi pendengaran adalah jenis halusinasi yang paling banyak

terjadi, diantaranya mendengar suara-suara, paling sering adalah suara manusia

yang menyuruh untuk melakukan suatu tindakan karena stimulus yang nyata

(Fitria, 2012, p.51). Klien dengan halusinasi pendengaran disebabkan karena

ketidakmampuan klien menghadapi stressor dan ketidakmampuan dalam

mengenal dan cara mengontrol halusinasi. Sehingga klien akan terperangkap

pada halusinasinya. Pengelolaan pada klien halusinasi harus tepat dan segera

dilakukan penanganan lebih lanjut untuk mencegah perilaku menyakiti diri

sendiri maupun orang lain / lingkungan.


Berdasarkan permasalahan diatas penulis tertarik untuk mengelola klien

dengan halusinasi pendengaran sebagai laporan untuk pembuatan studi kasus

karya tulis ilmiah dengan judul “Penerapan Teknik bercakap cakap pada pasien

dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran di wilayah kerja

puskesmas simpong”.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan

bagaimana penerapan Teknik bercakap cakap pada pasien dengan kasus

halusinasi pendengaran.

2. Tujuan Khusus

a. Menggambarkan pengkajian pada kasus gangguan persepsi sensori:

halusinasi pendengaran

b. Menggambarkan rumusan diagnosa keperawatan untuk mengatasi

masalah keperawatan jiwa dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi

pendengaran

c. Menggambarkan rumusan rencana keperawatan bercakap cakap untuk

mengatasi masalah keperawatan jiwa gangguan persepsi sensori:

halusinasi pendengaran

d. Menggambarkan evaluasi asuhan keperawatan dengan masalah

gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran


C. Manfaat Penulisan

1. Bagi klien

Membantu dalam mengenal dan mengontrol gangguan persepsi sensori:

halusinasi pendengaran yang dialaminya

2. Bagi keluarga klien

Mengajarkan pada keluarga cara mengontrol dan merawat anggota keluarga

yang mengalami gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran dengan

cara melakukan strategi pelaksanaan dan terapi psikofarmaka jika

halusinasinya muncul kembali

3. Bagi perawat

Hasil laporan kasus ini, diharapkan sebagai salah satu panduan dalam

memberikan asuhan keperawatan gangguan persepsi sensori: halusinasi

pendengaran Bagi institusi pendidikan

Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan kepustakaan,

khususnya mengenai gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran

1. Definisi

Gangguan persepsi sensori merujuk pada kondisi di mana individu

mengalami distorsi atau kelainan dalam proses persepsi sensori mereka.

Persepsi sensori merupakan kemampuan manusia untuk mendeteksi dan

menginterpretasikan informasi sensori dari lingkungan sekitar, termasuk

informasi yang diterima melalui indera seperti penglihatan, pendengaran,

penciuman, perabaan, dan pengecap.

Gangguan persepsi sensori mencakup berbagai kondisi di mana

individu mengalami ketidaknormalan dalam interpretasi atau pengalaman

sensori mereka. Gangguan ini dapat meliputi halusinasi, distorsi sensori, atau

persepsi yang salah terhadap rangsangan sensori yang sebenarnya tidak ada.

Halusinasi merupakan salah satu persepsi tanpa adanya rangsangan

yang dapat diidentifikasi secara objektif, menggambarkan sifat persepsi yang

konstruktif. Halusinasi dapat dicirikan dengan penyakit mental serius seperti

skizofrenia dan gangguan stress pasca trauma. Halusinasi juga bisa terjadi

dikarenakan penyakit alzheimer, parkinson, epilepsi, gangguan pendengaran,

dan penyakit mata.


Halusinasi adalah distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respon

neurobiologis maladaptif. Pada umumnya orang dengan halusinasi

mengalami distorsi sensori sebagai hal yang nyata dan meresponnya.

Halusinasi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh

proses diterimanya stimulus oleh alat indera, kemudian individu dan

perhatian, lalu diteruskan otak dan baru kemudian individu menyadari

tentang sesuatu yang dinamakan persepsi. Halusinasi disebabkan oleh jenis

dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi

stress.

Halusinasi merupakan kondisi dimana pasien yang mengalami

gangguan jiwa mengalami perubahan sensori persepsi dan merasakan adanya

sensasi palsu seperti suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau

penghiduan dengan persepsi yang salah terhadap lingkungan tanpa stimulus

yang nyata. Halusinasi pendengaran adalah salah satu jenis halusinasi yang

paling banyak terjadi, diantaranya mendengar suara-suara, paling sering

adalah suara manusia yang menyuruh untuk melakukan suatu tindakan

karena stimulus yang nyata

2. Proses Terjadinya Halusinasi

a. Tahap Conforting

Timbul kecemasan ringan disertai gejala kesepian, perasaan

berdosa, klien biasanya mengkompensasikan stressornya dengan koping

imajinasi sehingga merasa senang dan terhindar dari ancaman


b. Tahap Condeming

Timbul kecemasan moderat,cemas biasanya makin meninggi

selanjutnya klien merasa mendengarkan sesuatu, klien merasa takut

apabila orang lain ikut mendengarkan apa-apa yang ia rasakan sehingga

timbul perilaku menarik diri.

c. Tahap Controling

Timbul kecemasan berat, klien berusaha memerangi suara yang

timbul tetapi suara tersebut terus menerus mengikuti, sehingga

menyebabkan klien susah berhubungan dengan orang lain. Apabila suara

tersebut hilang klien merasa sangat kesepian.

d. Tahap Conquering

Klien merasa panik, suara atau ide yang datang mengancam

apabila tidak diikuti perilaku klien dapat bersifat merusak atau dapat

timbul perilaku suicide.

3. Rentang Respon Halusinasi

Halusinasi merupakan gangguan dari persepsi sensori, sehingga

halusinasi merupakan gangguan dari respons neurobiologi. Oleh karenanya

secara keseluruhan rentang respons halusinasi mengikuti kaidah rentang

respons neurobiologi

Rentang respons neurobiologi yang paling adaptif adalah adanya

pikiran logis, persepsi akurat, emosi yang konsisten dengan pengalaman,

perilaku cocok, dan tercipatnya hubungan sosial yang harmonis. Sementara


itu, respons maladaptif meliputi adanya waham, halusinasi, kesukaran proses

emosi, perilaku tidak terorganisasi dan isolasi sosial : menarik diri.

Respon Adaptif Respon Maladaktif

Pikiran logis Pikiran terkadang Gangguan proses piker:


Persepsi akura menyimpang waham Halusinasi
Emosi konsisten Ilusi Ketidakmampuan untuk
dengan Emosi tidak stabil mengalami emosi
pengalaman Perilaku aneh Ketidakteraturan Isolasi
Perilaku sesuai Menarik diri sosial
Hubungan sosial.

4. Akar Masalah

Akar masalah pada pasien halusinasi antara lain sebagai berikut:

Effect Resiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Core Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi


Problem

Cause Isolasi Sosial

5. Etiologi Halusinasi Pendengaran

Etiologi atau penyebab dari halusinasi pendengaran dapat melibatkan

berbagai faktor, termasuk kondisi kesehatan mental, kondisi fisik,

penggunaan zat-zat tertentu, serta faktor lingkungan dan genetik. Berikut

adalah penjelasan lebih lanjut mengenai etiologi halusinasi pendengaran:


b. Gangguan Psikosis: Halusinasi pendengaran sering terkait dengan

gangguan psikosis, seperti skizofrenia, gangguan bipolar, atau gangguan

delusi. Dalam kondisi ini, gangguan dalam fungsi otak dan persepsi

sensori dapat menyebabkan persepsi suara yang tidak ada secara fisik.

c. Gangguan Kesehatan Mental Lainnya: Selain gangguan psikosis,

halusinasi pendengaran juga dapat terjadi pada gangguan kesehatan

mental lainnya, seperti gangguan stres pasca-trauma (PTSD), gangguan

kepribadian, atau depresi berat.

d. Penggunaan Zat: Penggunaan zat-zat tertentu, termasuk narkoba,

alkohol, atau obat-obatan tertentu, dapat menyebabkan halusinasi

pendengaran sebagai efek samping. Misalnya, penggunaan kokain atau

amfetamin dapat memicu halusinasi pendengaran.

e. Stres atau Trauma: Stres yang berat atau pengalaman trauma emosional

yang signifikan juga dapat memicu munculnya halusinasi pendengaran

pada beberapa individu. Ini bisa terjadi dalam konteks kehilangan yang

mendalam, konflik interpersonal, atau pengalaman traumatis lainnya.

f. Faktor Neurobiologis: Ada bukti yang menunjukkan bahwa perubahan

neurobiologis dalam otak, termasuk ketidakseimbangan

neurotransmitter tertentu seperti dopamin, serotonin, atau glutamat,

dapat berperan dalam munculnya halusinasi pendengaran.

g. Genetik: Ada bukti bahwa faktor genetik juga dapat berkontribusi pada

kecenderungan seseorang mengalami halusinasi pendengaran. Orang


dengan riwayat keluarga gangguan psikosis cenderung memiliki risiko

yang lebih tinggi untuk mengalami halusinasi tersebut.

h. Kondisi Fisik: Meskipun jarang, kondisi fisik tertentu seperti gangguan

pendengaran atau gangguan neurologis dapat menyebabkan persepsi

suara yang tidak ada. Misalnya, tumor di otak atau gangguan

pendengaran sensorineural dapat memicu gangguan persepsi sensori.

i. Stimulasi Lingkungan: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

lingkungan yang penuh dengan stres, isolasi sosial, atau paparan yang

berlebihan terhadap rangsangan sensori dapat meningkatkan

kecenderungan seseorang untuk mengalami halusinasi pendengaran.

6. Manifestasi klinis Halusinasi Pendengaran

Manifestasi klinis halusinasi pendengaran bervariasi antara individu

dan dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Berikut

adalah beberapa manifestasi klinis yang umum terkait dengan halusinasi

pendengaran:

a. Mendengar Suara yang Tidak Ada: Individu yang mengalami halusinasi

pendengaran mungkin mendengar suara atau suara-suara yang tidak ada

di lingkungan fisik mereka. Suara-suara ini dapat bervariasi dari

berbagai jenis, seperti suara manusia, suara binatang, atau suara-suara

yang tidak dikenal.


b. Suara Berulang atau Terus-menerus: Halusinasi pendengaran sering kali

bersifat berulang atau terus-menerus, dengan individu yang secara

konsisten mendengar suara yang sama atau serangkaian suara.

c. Isi Suara yang Bermacam-macam: Suara yang didengar dalam

halusinasi pendengaran dapat memiliki berbagai isi, termasuk

percakapan antara orang-orang, komentar negatif atau mengancam, atau

perintah untuk melakukan tindakan tertentu.

d. Respon terhadap Suara: Individu yang mengalami halusinasi

pendengaran dapat memberikan respon terhadap suara yang didengar,

seperti berbicara dengan suara tersebut, merespons perintah yang

diberikan oleh suara, atau merasa terganggu atau takut oleh suara

tersebut.

e. Pengaruh Emosional: Halusinasi pendengaran sering kali terkait dengan

pengaruh emosional yang kuat, termasuk rasa takut, kecemasan, atau

ketidaknyamanan. Suara-suara yang didengar dapat menyebabkan stres

psikologis yang signifikan bagi individu yang mengalaminya.

f. Gangguan pada Kualitas Hidup: Halusinasi pendengaran dapat

mengganggu berbagai aspek kehidupan sehari-hari, termasuk hubungan

sosial, pekerjaan, dan fungsi kesehariannya. Individu yang mengalami

halusinasi pendengaran mungkin mengalami kesulitan berkonsentrasi,

kesulitan tidur, atau isolasi sosial sebagai akibat dari pengalaman

tersebut.
g. Gejala Tambahan: Halusinasi pendengaran sering kali terjadi bersamaan

dengan gejala tambahan dari gangguan mental yang mendasarinya,

seperti skizofrenia, seperti delusi, gangguan pemikiran, atau perubahan

perilaku.

B. Tinjauan Asuhan Keperawatan Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi

Pendengaran

1. Pengkajian Keperawatan

Merupakan Langkah awal dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasien dan

keluarga. Selama pengkajian wawancara, erawat mengumpulkan data baik

subjektif maupun objektif.

Untuk dapat memperoleh data yang di perlukan, dikembangkan

formulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar memepermudah

dalam pengkajian. Isi pengkajian meliputi identitas klien, keluhan utama

atau alasan masuk, factor predisposisi, aspek fisik atau biologis, status

mental, mekanisme koping, masalah pisikososial dan lingkungan,

pengetahuan, dan aspek medik. Kemudian data yang di peroleh dapat

dikelompokkan menjadi dua macam sebagai berikut :

a. Data objektif adalah data yang di temukan secara nyata. Data ini

didapatkan melalui observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat.

Seperti Mendengar suara-suara atau kegaduhan mendengar suara yang


mengajak bercakap-cakap, mendengar suara menyuruh melakukan

sesuatu yang bahaya.

b. Data subjektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan

keluarga. Data ini di peroleh melalui wawancara perawat kepada klien

dan keluarga. Data langsung didapat oleh perawat disebut data perimer,

dan data yang di ambil dari hasil catatan lain sebagai data sekunder,

Seperti Bicara atau tertawa sendiri dan marah-marah tanpa sebab.

pada proses pengkajian, ada data fokus penting yang diperoleh pada

klien dengan gangguan persepsi sensori halusinasi yaitu :

a. Jenis Halusinasi Untuk mendapatkan data jenis halusinasi, data

subjektif, dan data objektif bisa didapatkan berdasarkan pemeriksaan

dan anamnesis yang dilakukan kepada pasien.

b. Isi Halusinasi Data tentang isi halusinasi dapat diketahui dari hasil

pengkajian tentang jenis halusinasi. Misalnya pada pasien halusinasi

penglihatan, pasien melihat sapi yang sedang mengamuk padahal

sesungguhnya adalah pamannya yang sedang bekerja di ladang. Dan

pada pasien halusinasi pendengaran, pasien mendengar suara yang

menyuruh untuk melakukan sesuatu, sedangkan sesungguhnya hal

tersebut tidak ada. Waktu, frekuensi, dan situasi yang menyebabkan

munculnya halusinasi. Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi,

dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh pasien. Kapan

halusinasi terjadi, frekuensi terjadinya apakah terusmenerus atau hanya


beberapa kali saja, situasi terjadinya apakah kalau sendiri atau setelah

terjadi kejadian tertentu. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi

khusus pada waktu terjadinya halusinasi, sehingga pasien tidak larut

dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya

halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk mencegah

terjadinya halusinasi.

c. Respon Halusinasi Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien ketika

halusinasi itu muncul. Perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang

dirasakan atau dilakukan saat halusinasi timbul. Perawat juga dapat

menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat dengan pasien. Selain

itu dapat juga dengan mengobservasi perilaku pasien saat halusinasi

timbul. Kecermatan perawat akan meningkatkan kualitas asuhan

terhadap pasien dengan gangguan ini.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai respon

klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya

baik yang berlangsung actual maupun potensial. Diagnosa keperawatan

bertujuan untuk mengidentifikasi respon klien individu, dan komunitas

terhadap situasi yang berkaitan dengan Kesehatan (PPNI, 2017),

Adapundiagnosa keperawatan jiwa dalam studi kasus ini adalah perubahan

persepsi sensori : halusinasi pendengaran.

3. Rencana Keperawatan
Tindakan keperawatan pada klien dengan halusinasi pendengaran dan

keluarga dengan menggunakan pendekatan strategi pelaksanaan (SP).

4. Tindakan Keperawatan

Tindakan keperawatan pada klien

Dengan tujuan : Klien dapat mengenali halusinasi yang dialami, Klien dapat

mengontrol halusinasinya, dan Klien mengikuti program pengobatan secara

optimal. Adapun strategi pelaksanaan yang dapat dilakukan:

SP 1 Pasien/klien:

a. Membantu klien mengenali halusinasi, perawat dapat berdiskusi dengan

klien tentang isi halusinasi (apa yang didengar), waktu terjadi halusinasi,

frekuensi terjadinya 9 halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi

muncul dan respons klien saat halusinasi muncul.

b. Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik

merupakan cara untuk mengendalikan halusinasi dengan menolak

halusinasi yang muncul. Intervensi yang dilakukan perawat :

1) Menjelaskan cara menghardik halusinasi.

2) Memperagakan cara menghardik.

3) Meminta klien memperagakan ulang.

4) Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku pasien.

SP 2 : Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara bercakap cakap

dengan orang lain. Ketika klien bercakap-cakap dengan orang lain maka
akan terjadi distraksi yaitu perhatian klien akan beralih dari halusinasi ke

percakapan yang dilakukan dengan orang lain.

SP 3 : Melatih klien mengontrol halusinasi dengan melaksanakan aktivitas

secara terjadwal. Aktivitas yang terjadwal dapat membuat klien tidak akan

mengalami banyak waktu luang yang sering kali mencetuskan halusinasi.

Intervensi keperawatan :

a. Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi

halusinasi.

b. Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan klien.

c. Melatih klien untuk melakukan aktivitas.

d. Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang

telah dilatih.

e. Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan dengan memberikan penguatan

terhadap perilaku klien yang positif.

SP 4 : Melatih klien menggunakan obat secara teratur. Intervensi

keperawatan

a. Jelaskan kegunaan obat.

b. Jelaskan akibat jika putus obat.

c. Jelaskan cara mendapatkan obat/berobat.

d. Jelaskan cara minum obat dengan prinsip 5 benar

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah suatu tindakan menilai kemampuan pada klien

halusinasi dan keluarga dalam melakukan kegiatan yang telah diajarkan dan

kemampuan perawat dalam merawat klien halusinasi. Pada evaluasi

keberhasilan tindakan pada klien halusinasi dan keluarga antara lain :

a. Klien memberikan kepercayaan kepada perawat.

b. Klien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada wujudnya dan

merupakan masalah yang harus diatasi.

c. Klien dapat mengontrol halusinasi.

d. Keluarga mampu merawat klien di rumah yang ditandai dengan :

1) Keluarga mampu menjelaskan masalah halusinasi yang dialami oleh

klien.

2) Keluarga mampu menjelaskan cara merawat klien saat dirumah.

3) Keluarga mampu memperagakan cara bersikap terhadap klien.

4) Keluarga mampu menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat

digunakan dalam mengatasi masalah halusinasi klien jika muncul

kembali.

5) Keluarga melaporkan keberhasilannya dalam merawat klien.

6. Dokumentasi Keperawatan

Dokumentasi asuhan keperawatan dilakukan setiap tahap proses

keperawatan, karenanya dokumentasi asuhan dalam keperawatan jiwa

berupa dokumentasi pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan,

implementasi dan evaluasi

Anda mungkin juga menyukai