Anda di halaman 1dari 160

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN HALUSINASI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Jiwa

Program Profesi Ners Angkatan XI

Disusun oleh :

AKBAR NAZUDA

KHGD21003

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XI

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

TA 2021-2022
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN HALUSINASI

A. Pengertian

Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa


adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh
pancaindra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien
mengalami perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan
stimulus yang sebetulnya tidak ada (Yusuf, 2015)

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien


mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren/ persepsi palsu (Maramis,
2005).

Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah


(Stuart, 2007). Menurut Varcarolis (2006: 393), halusinasi dapat didefenisikan
sebagai terganggunya proses sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus.

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Faktor Predisposisi
a. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
yang dapat meningkatkan stres dan ansietas yang dapat berakhir
dengan gangguan persepsi. Pasien mungkin menekan perasaannya
sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang merasa
disingkirkan atau kesepian, selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga
timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi.
c. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis, serta peran ganda atau
peran yang bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir
dengan pengingkaran terhadap kenyataan, sehingga terjadi halusinasi.
d. Faktor biologis
Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien gangguan
orientasi realitas, serta dapat ditemukan atropik otak, pembesaran
ventikal, perubahan besar, serta bentuk sel kortikal dan limbik.
e. Faktor genetik
Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi umumnya ditemukan
pada pasien skizofrenia. Skizofrenia ditemukan cukup tinggi pada
keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami skizofrenia,
serta akan lebih tinggi jika kedua orang tua skizofrenia.
2. Faktor Presipitasi
a. Stresor sosial budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas
keluarga, perpisahan dengan orang yang penting, atau diasingkan dari
kelompok dapat menimbulkan halusinasi.
b. Faktor biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamin, norepinetrin, indolamin, serta
zat halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas
termasuk halusinasi.
c. Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan
berkembangnya gangguan orientasi realitas. Pasien mengembangkan
koping untuk menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan.
d. Perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi
realitas berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi,
motorik, dan sosial.

C. Data Yang Perlu Dikaji

Tanda dan gejala gangguan sensori persepsi halusinasi dapat ditemukan


dengan wawancara, melalui pertanyaan sebagai berikut

1. Dari pengamatan saya sejak tadi, bapak/ibu tampak seperti bercakap-cakap


sendiri apa yang sedang bapak/ibu dengar/lihat?
2. Apakah bapak/ibu melihat bayangan-bayangan yang menakutkan?
3. Apakah ibu/bapak mencium bau tertentu yang menjijikkan?
4. Apakah ibu/bapak meraskan sesuatu yang menjalar ditubuhnya?
5. Apakah ibu/bapak merasakan sesuatu yang menjijikkan dan tidak
mengenakkan?
6. Seberapa sering bapak//ibu mendengar suara-suara atau melihat bayangan
tersebut?
7. Kapan bapak/ ibu mendengar suara atau melihat bayang-bayang?
8. Pada situasi apa bapak/ibu mendengar suara atau melihat bayang-bayang?
9. Bagaimana perasaaan bapak/ibu mendengar suara atau melihat bayangan
tersebut?
10. Apa yang sudah bapak/ibu lakukan, ketika mendengar suara dan melihat
bayangan tersebut?

Tanda dan gejala halusinasi yang dapat ditemukan melalui observasi


sebagai berikut:

1. Pasien tampak bicara atau tertawa sendiri


2. Marah-marah tanpa sebab
3. Memiringkan atau mengarahkan telinga ke arah tertentu atau menutup
telinga.
4. Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
5. Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
6. Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
7. Menutup hidung.
8. Sering meludah
9. Muntah
10. Menggaruk permukaan kulit

Akibat adanya gangguang persepsi sensori halusinasi dapat beresiko


mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat, B.A, 2006). Menurut
Townsend, M.C suatu keadaan dimana seseorang melakukan sesuatu tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik pada diri sendiri maupuan orang lain.

Seseorang yang dapat beresiko melakukan tindakan kekerasan pada diri


sendiri dan orang lain dapat menunjukkan perilaku :

 Data subjektif :

a. Mengungkapkan mendengar atau melihat objek yang mengancam


b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir

 Data objektif :

a. Wajah tegang, merah


b. Mondar-mandir
c. Mata melotot rahang mengatup
d. Tangan mengepal
e. Keluar keringat banyak
f. Mata merah
POHON MASALAH
D. Diagnosa Keperawatan

1. Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan


dengan halusinasi.
2. Perubahan persepsi sensor: halusinasi berhubungan dengan menarik diri.

E. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan tindakan
a. Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya
b. Pasien dapat mengontrol halusinasinya
c. Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
2. Tindakan keperawatan
a. Membantu klien mengenali halusinasinya
Untuk membantu pasien mengenali halusinasinya dapat dilakukan dengan
cara berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang
didengar/lihat, waktu terjadi halusinasi, frekwensi terjadi halusinasi, situasi
yang menyebabkan halusinasi muncul dan respon pasien saat halusinasi
muncul.
b. Melatih klien mengontrol halusinasinyaw
Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi dengan melatih
pasien 4 (empat) cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi,
yaitu :

1) Menghardik halusinasi
Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap
halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih
untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak
memperdulikan halusinasinya. Sehingga klien mampu mengendalikan
diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinai
tetap ada, namun dengan kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk
menuruti apa yang ada dalam halusinainya.
Tahapan tindakan meliputi:

a) Menjelaskan cara menghardik halusinasi


b) Memperagakan cara menghardik
c) Meminta pasien memperagakan ulang
d) Memantau penerapan cara ini, menguatkan perilaku pasien
2) Bercakap-cakap dengan orang lain
Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan
orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi
distraksi; fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke
percakapan yang dilakukan dengan orang lain tersebut. Sehingga salah
satu cara yang efektif untuk mengontrol halusinasi adalah dengan
bercakap-cakap dengan orang lain.

3) Melakukan aktivitas yang terjadwal


Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan
menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas
secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang yang
seringkali mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien yang mengalami
halusinasi bisa dibantu untuk mengatasi halusinasinya dengan cara
beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh
hari dalam seminggu.

Tahapan intervensinya sebagai berikut:

a. Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi


halusinasi.
b. Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh pasien
c. Melatih pasien melakukan aktivitas
d. Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang
telah dilatih. Upayakan pasien mempunyai aktivitas dari bangun pagi
sampai tidur malam, 7 hari dalam seminggu.
e. Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan; memberikan penguatan
terhadap perilaku pasien yang positif.
4) Menggunakan obat secara teratur
Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih untuk
menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Pasien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah seringkali mengalami putus obat
sehingga akibatnya pasien mengalami kekambuhan. Bila kekambuhan
terjadi maka untuk mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit.
Untuk itu pasien perlu dilatih menggunakan obat sesuai program dan
berkelanjutan.
Berikut ini tindakan keperawatan agar pasien patuh menggunakan obat:
a. Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa
b. Jelaskan akibat bila obat tidak digunakan sesuai program
c. Jelaskan akibat bila putus obat
d. Jelaskan cara mendapatkan obat/berobat
e. Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat,
benar pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis)

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


1. Tujuan Tindakan
a. Keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik dirumah sakit maupun
dirumah
b. Keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien.
2. Tindakan Keperawatan
a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam mera-wat pasien.
b. Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusi-nasi, jenis
halusinasi yang dialami pasien, tanda dan geja-la halusinasi, proses
terjadinya halusinasi, dan cara mera-wat pasien halusinasi.
c. Berikan kesempatan pada keluarga untuk memperagakan cara merawat
pasien dengan halusinasi langsung dihadapan pasien.
d. Buat perencanaan pulang dengan keluarga

F. STRATEGI PELAKSAAN TINDAKAN KEPERAWATAN


KEMAMPUAN S1

1. Untuk Klien
a. Masalah : Halusinasi
1) Pertemuan : Ke 1

a) Proses Keperawatan
Kondisi : Klien mengatakan sering mendengar suara-suara. Suara itu
kadang-kadang membuat dirinya sangat takut. Klien terlihat
sering bicara sendiri, tertawa sendiri dan suka menyendiri
Diagnosa : Perubahan sensori Persepsi: Halusinasi pende-ngaran
TUK :
(a) Membina hubungan saling percaya
(b) Membantu klien mengenali halusinasinya
(c) Mengajarkan klien mengontrol halusinasinya dengan menghardik
halusinasi.
b) Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan
Orientasi :
(a) Salam terapeutik
“Selamat pagi ! perkenalkan, nama saya Asep Edyana, biasa
dipanggil Pak Asep, Namanya siapa ? Senang dipanggil apa ?”
(b) Evaluasi / validasi
“Bagaimana perasaan M hari ini ? Apa keluhan M saat ini ?”
(c) Kontrak

“Baiklah, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang


selama ini M dengar tetapi tak tampak wujudnya? Di mana kita
duduk ? Di ruang tamu? Berapa lama? Bagaimana kalau 20
menit?“

Kerja :
“Apakah D mendengar suara tanpa ada wujudnya? Apa yang
dikatakan suara itu?”
“Apakah terus-menerus terdengar atau sewaktu-waktu? Kapan yang
paling sering D dengar suara? Berapa kali sehari D alami? Pada
keadaan apa suara itu terdengar? Apakah pada waktu sendiri?”
“Apa yang D rasakan pada saat mendengar suara itu?”
“Apa yang D lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan
cara itu suara-suara itu hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-
cara untuk mencegah suara-suara itu muncul?”
“D, ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul.
Pertama, dengan menghardik suara tersebut. Kedua dengan cara
bercakap-cakap dengan orang lain. Ketiga, melakukan kegiatan
yang sudah terjadwal, dan yang ke empat minum obat dengan
teratur.”
“Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan
menghardik”
“Caranya sebagai berikut: saat suara-suara itu muncul, langsung D
bilang, pergi saya tidak mau dengar, ….. Saya tidak mau dengar .
Kamu suara palsu. Begitu diulang-ulang sampai suara itu tak
terdengar lagi. Coba D peragakan! Nah begitu ….bagus! Coba lagi!
Ya bagus D sudah bisa”
Terminasi:
(a) Evaluasi Subjektif
“Bagaimana perasaan D setelah peragaan latihan tadi?”
(b) Evaluasi Objektif
”Coba sebutkan 4 cara untuk mencegah suara itu muncul lagi.”
(c) Rencana tindak lanjut

”Kalau suara-suara itu muncul lagi, silahkan coba cara tersebut!


Bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya. Mau jam berapa saja
latihannya?(Saudara masukkan kegiatan latihan menghardik
halusinasi dalam jadwal kegiatan harian pasien).
(d) Kontrak

Topik: “Bagaimana kalau kita bertemu untuk belajar dan latihan


mengendalikan suara-suara lama kita akan berlatih?

Tempat: “Dimana tempatnya”

Waktu: Jam berapa D bisa.

“Baiklah, sampai jumpa. Assalamu’alaikum”

2) Pertemuan: Ke 2 (Masalah: Halusinasi)

a) Proses Keperawatan
Kondisi: Klien mengatakan sering mendengar suara-suara. Suara itu
kadang-kadang membuat dirinya sangat takut. Klien terlihat sering
bicara sendiri, tertawa sendiri dan suka menyendiri.
Diagnosa: Gangguan persepsi sensori : Halusinasi pendengaran
TUK : Melatih klien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
dengan orang lain
b) Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan
Orientasi :
(a) Salam terapeutik
“Assalamualaikum D.”
(b) Evaluasi/validasi
”Bagaimana perasaan D hari ini? Apakah suara-suaranya masih
muncul? Apakah sudah dipakai cara yang telah kita latih?
Berkurangkan suara-suaranya Bagus!”
(c) Kontrak

Sesuai janji kita tadi saya akan latih cara kedua untuk mengontrol
halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Kita akan
latihan selama 2 menit. Mau di mana? Di sini saja ?“

Kerja :
“Cara kedua untuk mencegah/mengontrol halusinasi yang lain adalah
bercakap-cakap dengan orang lain. Jadi kalau D mulai mendengar
suara-suara, langsung saja cari teman untuk diajak ngobrol. Minta
teman untuk ngobrol dengan D. Contohnya begini;…. Tolong , saya
mulai dengar suara-suara. Ayo ngobrol dengan saya! Atau kalau ada
orang dirumah misalnya Kakak D katakan : Kak, ayo ngobrol dengan
D. D sedang dengar suara-suara. Begitu D, Coba D lakukan seperti
saya tadi lakukan. Ya, begitu. Bagus! Coba sekali lagi! Bagus! Nah,
latih terus ya D!”
Terminasi:
(a) Evaluasi Subjektif

“Bagaimana perasaan D setelah latihan ini?”


(b) Evaluasi Objektif

”Jadi sudah ada berapa cara yang D pelajari untuk mencegah


suara-suara itu? Bagus, cobalah kedua cara ini kalau D mengalami
halusinasi lagi”.

(c) Rencana tindak lanjut

“Bagaimana kalau kita masukan dalam jadwal kegiatan harian D.


Mau jam berapa latihan bercakpa-cakap? Nah nanti lakukan secara
teratur serta sewaktu-waktu suara itu muncul! Besok pagi saya akan
ke mari lagi”.

(d) Kontrak

Topik : Bagaimana kalau kita latih cara yang ketiga yaitu


melakukan aktivitas terjadwal?
Tempat : “Mau di mana. Di sini lagi?”

Waktu : ”Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 10.00?.

Sampai besok ya. Assalamualaikum”

2. Untuk Keluarga

a. Masalah: Halusinasi
1) Pertemuan: Ke 5
a) Proses Keperawatan
Kondisi : Klien mengatakan sering mendengar suara-suara. Suara itu
kadang-kadang membuat dirinya sangat takut. Klien terlihat
sering bicara sendiri, tertawa sendiri dan suka menyendiri.
Diagnosa : Gangguan persepsi sensori : Halusinasi pendengaran
TUK : Pendidikan Kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi
dan cara-cara merawat pasien halusinasi.

b) Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan


(1) Orientasi :
(a) Salam terapeutik
“Assalamualaikum Bapak/Ibu!”” Saya SS, perawat yang merawat
anak Bapak?Ibu.”

(b) Evaluasi/validasi

“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini? Apa pendapat Bapak/Ibu


tentang anak Bapak/Ibu?”

(c) Kontrak

 Topik
“Hari ini kita akan mendiskusi tentang apa masalah yang anak
Bapak?ibu alami dan bantuan apa yang Bapak/Ibu bisa berikan.”

 Tempat
“Kita mau diskusi di mana? Bagaimana kalau di ruang wawancara?

 Waktu
“Berapa lama waktu Bapak/Ibu? Bagaimana kalau 30 menit”

(2) Kerja :
“Ya, gejala yang dialami oleh anak Bapak/Ibu itu dinamakan
halusinasi, yaitu mendengar atau melihat sesuatu yang sebetulnya
tidak ada bedanya.

“Tanda-tandanya bicara dan tertawa sendiri atau marah-marah


tanpa sebab”

“ Jadi kalau anak Bapak/Ibu mengatakan mendengar suara-suara,


sebenarnya suara itu tidak ada.”

“Kalau anak Bapak/Ibu mengatakan melihat bayangan-bayangan,


sebenarnya bayangan itu tidak ada.”

“Untuk itu kita diharapkan dapat membantunya dengan beberapa


cara. Ada beberapa cara untuk membantu anak Bapak/Ibu agar
bisa mengendalikan halusinasi. Cara-cara terebut antara lain:
Pertama, dihadapkan anak Bapak/Ibu, jangan membantah
halusinasi atau menyokongnya. Katakan saja Bapak/Ibu percaya
bahwa anak tersebut memang mendengar atau melihatnya.”

“Kedua, jangan biarkan anak Bapak/Ibu melamun dan sendiri,


karena kalau melamun halusinasi akan muncul lagi. Upayakan ada
orang mau bercakap-cakap denganya. Buat kegiatan keluarga
seperti makan bersama, sholat bersama-sama.Tentang kegiatan,
saya telah melatih anak Bapak/Ibu untuk membuat jadwal
kegiatan sehari-hari. Tolong Bapak/Ibu pantau pelaksanaannya,
ya dan berikan pujian jika dia lakukan!”

”Ketiga, bantu anak Bapak/Ibu minum obat secara teratur. Jangan


menghentikan obat tanpa konultasi. Terkait dengan obat ini, saya
juga sudah melatih anak Bapak/Ibu untuk minum obat secara
teratur. Jadi Bapak/Ibu dapat mengingatkan kembali. Obatnya ada
3 macam , ini yang orange namanya CPZ gunanya untuk
menghilangkan suara-suara atau bayangan. Diminum 3x seari
pada jam 7 pagi, jam 1 siang dan jam 7 malam. Yang putih
namanya THP gunanya membuat rileks, jam minummya sama
dengan CPZ tadi. Yang biru namanya HP gunanya menenangkan
cara berpikir, jam minumnya sama dengan CPZ. Obat perlu selalu
dimunum untuk mencegah kekambuhan”

“Terakhir, bila ada tanda-tanda halusinasi mulai muncul, putus


halusinasi anak Bapak/Ibu dengan cara menepuk punggung anak
Bapak/Ibu . Kemudian suruhlah anak Bapak/Ibu menghardik suara
tersebut. Anak Bapak/Ibu sudah aya ajarkan cara menghardik
halusinasi.”

“Sekarang, mari kita latihan memutus halusinasi anak Bapak/Ibu,


Sambil menepuk punggung anak Bapak/Ibu, katakan: D, sedang
apa kamu? Kamu ingatkan apa yang diajarakan perawat bila
suara-suara itu datang? Ya, Usir suara itu, Ucapkan berulang-
ulang, D”

“Sekarang coba Bapak/Ibu praktekkan cara yang barusan saya


ajarkan “

“Bagus Pak/Bu”

(3) Terminasi:
(a) Evaluasi Subjektif

“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah kita berdiskusi dan


latihan memutuskan halusinasi anak Bapak/Ibu ?”
(b) Evaluasi Objektif

“Sekarang coba Bapak/Ibu sebutkan kembali tiga cara merawat


anak Bapak/Ibu”
“Bagus sekali Pak/Bu.
(c) Rencana tindak lanjut

Baiklah, nanti dirumah bapak/ibu ingat lagi apa yang sudah kita
bicarakan sehingga nanti dapat kita praktekkan pada anak
bapak/ibu.
(d) Kontrak

Topik: Bagaimana kalau dua hari lagi kita bertemu untuk


mempraktekkan cara memutus halusinasi langsung dihadapkan
anak Bapak/Ibu

Tempat: “Di sini lagi ya!”

Waktu: Jam berapa bapak/ibu bias datang ke rumah sakit ini


lagi? Bagaimana kalau jam 10.00.

Sampai jumpa. Wassalammualaikum


DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A., et al. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Nurhalimah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta : Pusdik

SDM Kesehatan

Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga

University Press.

Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa (Terjemahan).

Jakarta: EGC.

Yusuf. A, Fitriyasari R, Nihayati H.E. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan

Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.


LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN

DENGAN HARGA DIRI RENDAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Jiwa


Program Profesi Ners Angkatan XI

Disusun oleh :

AKBAR NAZUDA
KHGD21003

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XI

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

TA 2021-2022
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN HDR

G. Pengertian

Menurut Nanda (2005),harga diri rendah adalah berkembangnya persepsi diri


yang negatif dalam berespon terhadap situasi yang sedang terjadi. Sedangkan
menurut CMHN (2006), harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak
berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuan diri. Harga diri rendah adalah suatu kondisi dimana
individu menilai dirinya atau kemampuan dirinya negatif atau suatu perasaan
menganggap dirinya sebagai seseorang yang tidak berharga dan tidak dapat
bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.
Herdman (2012), mengatakan bahwa, harga diri rendah kronik merupakan
evaluasi diri negatif yang berkepanjangan/ perasaan tentang diri atau kemampuan
diri Harga diri rendah yang berkepanjangan termasuk kondisi tidak sehat mental
karena dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan lain, terutama kesehatan
jiwa.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat kita simpulkan bahwa: harga diri rendah
dikarenakan penilaian internal maupun penilaian eksternal yang negatif. Penilaian
internal merupakan penilaian dari individu itu sendiri, sedangkan penilaian
eksternal merupakan penilaian dari luar diri individu (seperti orang tua, teman
saudara dan lingkungan) yang sangat mempengaruhi penilaian individu terhadap
dirinya.
H. Proses Terjadinya Masalah

Proses terjadinya harga diri rendah dijelaskan oleh Stuarat dan Laraia (2008)
dalam konsep stress adapatasi yang teridiri dari faktor predisposisi dan presipitasi.
1. Faktor Predisposisi yang menyebabkan timbulnya harga diri rendah meliputi:
a. Biologis
Faktor heriditer (keturunan) seperti adanya riwayat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa Selain itu adanya riwayat penyakit kronis atau
trauma kepala merupakan merupakan salah satu faktor penyebab gangguan
jiwa.
b. Psikologis
Masalah psikologis yang dapat menyebabkan timbulnya harga diri rendah
adalah pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, penolakan dari
lingkungan dan orang terdekat serta harapan yang tidak realistis.
Kegagalan berulang, kurang mempunyai tanggungjawab personal dan
memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain merupakan faktor
lain yang menyebabkan gangguan jiwa. Selain itu pasien dengan harga diri
rendah memiliki penilaian yang negatif terhadap gambaran dirinya,
mengalami krisis identitas, peran yang terganggu, ideal diri yang tidak
realistis.
c. Faktor Sosial Budaya
Pengaruh sosial budaya yang dapat menimbulkan harga diri rendah adalah
adanya penilaian negatif dari lingkungan terhadap klien, sosial ekonomi
rendah, pendidikan yang rendah serta adanya riwayat penolakan
lingkungan pada tahap tumbuh kembang anak.
2. Faktor Presipitasi yang menimbulkan harga diri rendah antara lain:
a. Riwayat trauma seperti adanya penganiayaan seksual dan pengalaman
psikologi yang tidak menyenangkan, menyaksikan peristiwa yang
mengancam kehidupan, menjadi pelaku, korban maupun saksi dari
perilaku kekerasan.
b. Ketegangan peran: Ketegangan peran dapat disebabkan karena
1) Transisi peran perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan
dengan pertumbuhan seperti transisi dari masa kanak-kanak ke
remaja.
2) Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
3) Transisi peran sehat-sakit: merupakan akibat pergeseran dari kondisi
sehat kesakit. Transisi ini dapat dicetuskan antara lain karena
kehilangan sebahagian anggota tuhuh, perubahan ukuran, bentuk,
penampilan atau fungsi tubuh.Atau perubahan fisik yang berhubungan
dengan tumbuh kembang normal, prosedur medis dan keperawatan.

Pohon masalah

HDR ← Isolasi sosial : menarik diri → Halusinasi


Gangguan konsep diri : Harga diri rendah


Berduka disfungsional, Ideal diri yang tidak realistik, koping tidak effektif

I. Data Yang Perlu Dikaji

1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasiendan
keluarga (pelaku rawat).Tanda dan gejala harga diri rendah dapat ditemukan
melalui wawancara dengan pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana penilaian Anda tentang diri sendiri?
b. Coba ceritakan apakah penilaian Anda terhadap diri sendiri
mempengaruhi hubungan Anda dengan orang lain?
c. Apa yang menjadi harapan Anda?
d. Apa saja harapan yang telah Anda capai?
e. Apa saja harapan yang belum berhasil Anda capai?
f. Apa upaya yang Anda lakukan untuk mencapai harapan yang belum
terpenuhi?
2. Tanda dan Gejala
Ungkapan negatif tentang diri sendiri merupakan salah satu tanda dan gejala
harga diri rendah. Selain itu tanda dan gejala harga diri rendah didapatkan
dari data subyektif dan obyektif, seperti tertera dibawah ini
Data Subjektif: Pasien mengungkapkan tentang:
a. Hal negatif diri sendiri atau orang lain
b. Perasaan tidak mampu
c. Pandangan hidup yang pesimis
d. Penolakan terhadap kemampuan diri
e. Mengevaluasi diri tidak mampu mengatasi situasi
Data Objektif:
a. Penurunan produktivitas
b. Tidak berani menatap lawan bicara
c. Lebih banyak menundukkan kepala saat berinteraksi
d. Bicara lambat dengan nada suara lemah
e. Bimbang, perilaku yang non asertif
f. Mengekspresikan tidak berdaya dan tidak berguna
Akibat dari harga diri rendah
Harga diri rendah dapat beresiko terjadinya isolasi sosial : menarik diri.
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).
Tanda dan gejala :
 Rasa bersalah
 Adanya penolakan
 Marah, sedih dan menangis
 Perubahan pola makan, tidur, mimpi, konsentrasi dan aktivitas
 Mengungkapkan tidak berdaya
 Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
 Menghindar dari orang lain (menyendiri)
 Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan
klien lain/perawat
 Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk
 Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas
 Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan
atau pergi jika diajak bercakap-cakap
 Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari.
(Keliat BA, 1999)
J. Diagnosa Keperawatan

3. Isolasi sosial : menarik diri


4. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
5. Berduka disfungsional

K. Rencana Tindakan Keperawatan

Tindakan Keperawatan untuk Pasien Harga Diri Rendah


1. Tujuan: Pasien mampu:
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
c. Menilai kemampuan yang dapat digunakan
d. Menetapkan/ memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
e. Melatih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
f. Merencanakan kegiatan yang telah dilatihnya
2. Tindakan Keperawatan:
1) Membina hubungan saling percaya, dengan cara:
a) Ucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan klien.
b) Perkenalkan diri dengan klien: perkenalkan nama dan nama panggilan
yang Perawat sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan
pasienyang disukai.
c) Tanyakan perasaan dan keluhan pasiensaat ini.
d) Buat kontrak asuhan: apa yang Perawat akan lakukan bersama klien,
berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya dimana.
b) Jelaskan bahwa Perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh
untuk kepentingan terapi.
c) Tunjukkan sikap empati terhadap klien.
d) Penuhi kebutuhan dasar pasienbila memungkinkan
2) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki klien
Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah :
a) Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek positif pasien
(buat daftar kegiatan)
b) Beri pujian yang realistik dan hindarkan memberikan penilaian yang
negatif setiap kali bertemu dengan klien.
3) Membantu pasiendapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah :
a) Bantu pasien menilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini (pilih dari
daftar kegiatan): buat daftar kegiatan yang dapat dilakukan saat ini.
b) Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan klien.
4) Membantu pasiendapat memilih/menetapkan kegiatan berdasarkan daftar
kegiatan yang dapat dilakukan.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah :
a) Diskusikan kegiatan yang akan dipilih untuk dilatih saat pertemuan.
b) Bantu pasienmemberikan alasan terhadap pilihan yang ia tetapkan.
c) Latih kegiatan yang dipilih (alat dan cara melakukannya).
d) Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan dua kali per hari.
e) Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan yang
diperlihatkan klien.
5) Membantu pasiendapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuannya dan
menyusun rencana kegiatan.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah :
a) Beri kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilatihkan.
b) Beri pujian atas aktivitas/kegiatan yang dapat dilakukan pasiensetiap
hari.
c) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap aktivitas.
d) Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama pasiendan
keluarga.
e) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya setelah
pelaksanaankegiatan.
f) Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang dilakukan
klien.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga dengan Pasien Harga Diri


Rendah
Keluarga diharapkan dapat merawat pasienharga diri rendah di rumah dan
menjadi sistem pendukung yang efektif bagi klien.
1. Tujuan: Keluarga mampu:
a. Mengenal masalah harga diri rendah
b. Mengambil keputusan untuk merawat harga diri rendah
c. Merawat harga diri rendah
d. Memodifikasi lingkungan yang mendukung meningkatkan harga diri
klien
e. Menilai perkembangan perubahan kemampuan klien
f. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan
2. Tindakan Keperawatan:
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat klien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya harga diri
rendah dan mengambil keputusan merawat klien
c. Melatih keluarga cara merawat harga diri rendah
b. Membimbing keluarga merawat harga diri rendah
c. Melatih keluarga menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang
mendukung meningkatkan harga diri klien
d. Mendiskusikan tanda dan gejala kekambuhan yang memerlukan rujukan
segera ke fasilitas pelayanan kesehatan
e. Menganjurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan secara teratur.

L. Strategi Pelaksaan Tindakan Keperawatan

Masalah : Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah


Pertemuan ke I (satu)
1. Proses Keperawatan
a. Kondisi
1) Klien mengatakan malu dan tidak berguna
2) Klien mengatakan ekspresi wajah malu
3) Klien mengatakan “tidak bisa” ketika diminta melakukan sesuatu
4) Klien tampak kurang bergairah
5) Klien selalu mengungkapkan kekurangannya dari pada
kelebihannya.
b. Diagnosa Keperawatan
Risiko isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga
diri rendah
c. Tujuan Khusus
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki
2. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)
a. Orientasi
1) Salam Terapeutik
“Selamat pagi Bu, saya Siti Rahmalia, saya mahasiswa STIKes
Karsa Husada yang sedang praktek dirumah sakit ini”, “Ibu
bisa panggil saya Rahma”. ”Nama ibu siapa?”. “........” “Ibu
lebih senang dipanggil siapa?”“o ibu D”. “saya akan
menemani ibu selama 2 minggu, jadi kalau ada yang
mengganggu pikiran ibu bisa bilang ke saya, siapa tahu saya
bisa bantu”
2) Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasaan ibu saat ini? ......... o begitu”
“Coba ceritakan pada saya, apa yang dirasakan dirumah,
hingga dibawah ke RSJ”
3) Kontrak
a) Topik
“Maukah ibu D bercakap – cakap dengan kemampuan yang
dimiliki serta hobi yang sering dilakukan dirumah”
b) Tempat
“Ibu D lebih suka bercakap – cakap dimana?, o ditaman,
baiklah”
c) Waktu
“kita mau becakap – cakap berapa lama?, Bagaimana kalau
10 menit saja”

b. Kerja

“Kegiatan apa saja yang sering ibu D lakukan


dirumah?”......... “memasak, mencuci pakaian, bagus itu bu”.
“Terus kegiatan apalagi yang ibu lakukan?”. “kalau tidak salah
ibu juga senang menyulam ya?”, wah bagus sekali!
“Bagaimana kalau ibu D menceritakan kelebihan
lain/kemampuan lain yang dimiliki?” kemudian apa lagi.
“Bagaimana dengan keluarga ibu D, apakah mereka menyenangi
apa yang ibu lakukan selama ini, atau apakah mereka sering
mengejek hasil kerja ibu?”
c. Terminasi
1) Evaluasi subyektif
“Bagaimana perasaan ibu D selama kita bercakap –
cakap?”, “Senang terima kasih”
2) Evaluasi Obyektif
“Tolong ibu D ceritakan kembali kemampuan dan kegiatan
yang sering ibu lakukan? ........ Bagus”, “terus bagaimana
tanggapan keluarga ibu terhadap kemampuan dan
kegiatan yang ibu lakukan?”.
3) Rencana Tindak Lanjut
“baiklah Bu D, nanti ibu ingat ingat ya, kemampuan ibu yang
lain dan belum sempat ibu ceritakan kepada saya?”, “besok
bisa kita bicara lagi”.
4) Kontrak
a) Topik
“Bagaimana kalau besok kita bicarakan kembali
kegiatan/ kemampuan yang dapat ibu D lakukan di rumah dan
di RSJ”
b) Tempat
“Tempatnya mau dimana Bu? ”
c) Waktu
“Berapa lama kita akan bercakap – cakap?”. “Bagaimana
kalau 15 menit” “Setuju!” “Sampai bertemu lagi besok ya, Bu
D”
Pertemuan ke II (dua)
1. Proses Keperawatan
a. Kondisi
1) Klien telah terbina hubungan saling percaya dengan perawat
2) Klien telah mengetahui/dapt mengenal beberapa kemampuan
dan aspek positif yang dimiliki
b. Diagnosa Keperawatan
Risiko isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga
diri rendah
c. Tujuan Khusus
1) Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
2) Klien dapat merencanakan kegiatan di rumah sakit sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki
2. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)
a. Orientasi
1) Salam terapeutik
“Selamat pagi Bu D”, “Masih ingat saya?” “................ Bagus!”
2) Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasan Ibu D sekarang?”
“................ O ............. ya bagaimana, apakah ada kemampuan
lain yang belum ibu D ceritakan kemarin”
3) Kontrak
a) Topik
“Apakah ibu D masih ingat apa yang akan kita bicarakan
sekarang?”. “ya............ bagus”
b) Tempat
“Kalau tidak salah, kemrin kita sudah sepakat akan bercakap
– cakap di taman benar kan?”
c) Waktu
“kita mau becakap – cakap berapa lama?, Bagaimana kalau
10 menit saja”
b. Kerja
“Kita akan bercakap – cakap selama 15 menit, atau mungkin bu D
ingin bercakap – cakap lebih lama lagi?”
“Kegiatan apa saja yang sering ibu D lakukan
dirumah?”......... “memasak, mencuci pakaian, bagus itu bu”.
“Terus kegiatan apalagi yang ibu lakukan?”. “kalau tidak salah
ibu juga senang menyulam ya?”, wah bagus sekali!
“Bagaimana kalau ibu D menceritakan kelebihan lain/kemampuan
lain yang dimiliki?” kemudian apa lagi.
“Bagaimana dengan keluarga ibu D, apakah mereka menyenangi
apa yang ibu lakukan selama ini, atau apakah mereka sering
mengejek hasil kerja ibu?”
c. Terminasi
1) Evaluasi Subyektif
“Bagaimana perasaan ibu D setelah berhasil membuat
jadwal kegiatan yang dapat dilakukan di rumah sakit”

2) Evaluasi Obyektif
“Coba ibu bacakan kembali jadwal kegiatan yang telah
dibuat tadi!”. “Bagus”
3) Rencana Tindak Lanjut
“Ibu D mau kan melaksanakan jadwal kegiatan yang telah ibu
buat tadi!” “.........nah nanti kegiatan – kegiatan yang telah
dilakukan bersama – sama dengan teman – teman yang lain
ya!”. “Bagaimana kalau nanti siang?”
4) Kontrak
a) Topik
“Baiklah besok kita bertemu lagi, bagaimana kalau
kita bercakap – cakap tentang kegiatan yang dapat
dilakukan di rumah”. “Bagaimana menurut ibu D?”.
“Setuju”
b) Tempat
“Ibu ingin bercakap – cakap dimana besok?”, “........o di
taman, baiklah.”
c) Waktu
“Bagaimana kalau kita bercakap – cakap 10 menit?”
Pertemuan ke III (tiga)
1. Proses Keperawatan
a. Kondisi
1) Klien telah mampu mengenal menyusun jadwal kegiatan
yang dapat dilakukan di rumah sakit
2) Klien telah berhasil melaksanakan kegiatan sesuai
dengan jadwal yang telah dibuat
b. Diagnosa Keperawatan
Risiko isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga
diri rendah
c. Tujuan Khusus
6) Klien dapat mengenal kegiatan yang dapat dilakukan di rumah
7) Klien dapat menyusun jadwal kegiatan yang dapat dilakukan
sesuai kemampuan di rumah
2. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)
a. Orientasi
1) Salam terapeutik
“Selamat pagi,ibu D sedang apa?”
2) Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasan Ibu D sekarang?”
“Apakah ibu D sudah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan jadwal yang telah dinuat kemarin?”. “Bagus ibu
sudah dapat membantu membersihkan lingkungan”
“Coba saya lihat jadwal kegiatannya, wah hebat sekali,
sudah diberi tanda semua!”, “Nanti dikerjakan lagi ya bu!”
3) Kontrak
a) Topik
“Nah bagaimana kalau kita bercakap – cakap tentang
kegiatan yang dapat dilakukan di rumah?”.
b) Tempat
“Kalau tidak salah, kemrin kita sudah sepakat akan bercakap
– cakap di taman benar kan?”
c) Waktu
“Mau berapa lama?, Bagaimana kalau 15 menit lagi”
b. Kerja
“Kemarin ibu telah membuat jadwal kegiatan di rumah sakit,
sekarang kita buat jadwal kegiatan dirumah ya!. Ini kertas dan
bolpointnya, jangan khawatir nanti saya bantu, kalau kesulitan,
Bagaimana kalau kita mulai?”
“Ibu mulai dari jam 05.00 WIB?.............. ya, tidak apa-apa,
bangun tidur......... terus ya sholat shubuh, terus masak (samapi
jam 20.00 WIB), bagus tapi jangan lupa minum obatnya, ya Bu!”
c. Terminasi
a) Evaluasi Subyektif
“Bagaimana perasaan ibu D setelah dapat membuat jadwal
kegiatan di rumah”
b) Evaluasi Obyektif
“Coba ibu sebutkan lagi susunan kegiatan dalam sehari yang
dapat dilakukan di rumah”
c) Rencana Tindak Lanjut
“Besok kalau sudah dijemput oleh keluarga dalam sehari apa
yang dapat dilakukan di rumah?”
d. Kontrak
a) Topik
“Nah, bagaimana besok kita bercakap – cakap tentang
perlunya dukungan keluarga terhadap kesembuhan Bu D”
b) Tempat
“Bagaimana kalau kita bercakap – cakap di teras, setuju!, atau
mungkin ibu ingin di tempat lain?”
c) Waktu
“Kita mau bercakap–cakap berapa lama, bagaimana kalau 10
menit?”

Pertemuan ke IV (empat)
1. Proses Keperawatan
a. Kondisi
Klien telah mampu menyusun kegiatan yang sesuai kemampuan yang
dapat dilakukan di rumah.
b. Diagnosa Keperawatan
Risiko isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri
rendah
c. Tujuan Khusus
Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang dimiliki di rumah.
2. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)
a. Orientasi
1) Salam terapeutik
“Selamat pagi, Bu!”
2) Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasan Ibu D hari ini, baik baik saja?”. “Syukurlah”
“Masih ibu simpan jadwal kegiatan yang telah dibuat kemarin?”
3) Kontrak
a) Topik
“Hari ini kita akan bercakap – cakap tentang sistem
pendukung yang dapat membantu ibu D di rumah?”.
b) Tempat
“Sesuai kesepakatan kemarin kita bercakap–cakap di teras
ya?”
c) Waktu
“Kita bercakap – cakap berapa lama?”. “10 menit saja
ya boleh!”
b. Kerja

“Apakah ibu tahu artinya sistem pendukung?”.“Baiklah akan


saya jelaskan, sistem pendukung adalah hal-hal yang dapat
membantu di rumah dalam mencapai kesembuhan nantinya,
misalnya: dana, keluarga, teman/tetangga yang mau menerima,
kegiatan bersama, dan tempat yang dapat dikunjungi saat obat habis”
“Ibu di rumah tinggal dengan siapa? ..... terus siapa lagi?” “Apakah
mereka sayang dan memperhatikan kesehatan ibu D?”
“Siapa selama ini yang mengingatkan ibu minum obat
dan mengantarkan control/periksa ke dokter?”. “wah bagus! Terus
selama ini yang mencari nafkah dan mencari biaya pengobatan
unutk ibu siapa?”
“Apakah punya teman atau tetangga yang dekat dengan ibu D?”
“Kegiatan apa saja yang ada di lingkungan ibu D?”. “Oh
pengajian..... Bagus itu, kalau kelompok ibu-ibu arisan ada tidak bu,
oo begitu!”. “selama ini bu D sudah berobat kemana saja, apakah
ada rumah sakit yang paling dekat dengan rumah ibu?”
c. Terminasi
1) Evaluasi Subyektif
“Bagaimana perasaannya setelah bercakap – cakap tentang
sistem pendukung yang ibu D miliki?”
2) Evaluasi Obyektif
“Coba ibu sebutkan kembali sistem pendukung yang ibu miliki
dirumah, satu persatu ya!”
3) Rencana Tindak Lanjut
“Besok kalau sudah pulang, harus mendengarkan nasihat keluarga
ya Bu! Jangan lupa kalau obat hampir habis cepat datangi rumah
sakit!”
4) Kontrak
a) Topik
“Bagaimana besok kita bercakap – cakap lagi, tentang obat-
obatan yang ibu D minum setiap hari”
b) Tempat
“Sebaiknya kita bercakap – cakap di mana bu?”, “ di warung
makan, o.... bisa!”
c) Waktu
“Mau berapa lama bu?”, “15 menit, boleh sampai ketemu lagi
bu!”
DAFTAR PUSTAKA

Keliat BA. 1999. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC.


Keliat, B.A., et al. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Nurhalimah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta : Pusdik

SDM Kesehatan

Yusuf. A, Fitriyasari R, Nihayati H.E. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan

Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.


LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN

DENGAN ISOLASI SOSIAL

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Jiwa

Program Profesi Ners Angkatan XI

Disusun oleh :

AKBAR NAZUDA

KHGD21003

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XI

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

TA 2021-2022
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN ISOLASI
SOSIAL

M. Pengertian

Isolasi sosial adalah keadaan di mana seorang individu mengalami


penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
di sekitarnya. Pasienmungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Nurhalimah, 2016).

Menarik diri merupakan suatu percobaan untuk menghindari interaksi dan


hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993). Isolasi sosial adalah keadaan
seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain (Yusuf, 2015).

Hubungan yang sehat dapat digambarkan dengan adanya komunikasi yang


terbuka, mau menerima orang lain, dan adanya rasa empati. Pemutusan hubungan
interpersonal berkaitan erat dengan ketidakpuasan individu dalam proses
hubungan yang disebabkan oleh kurang terlibatnya dalam proses hubungan dan
respons lingkungan yang negatif. Hal tersebut akan memicu rasa tidak percaya
diri dan keinginan untuk menghindar dari orang lain (Yusuf, 2015).

N. Rentang Respon Sosial


Manusia sebagai makhluk sosial adalah memenuhi kebutuhan sehari – hari,
tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada hubungan dengan
lingkungan sosialnya. Hubungan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya
menimbulkan respon– respon sosial pada individu. Rentang respon sosial
individu berada dalam rentang adaptif sampai dengan maladaptif.
1. Respon Adaptif

Respon adaprif yaitu respon individu dalam penyesuaian masalah yang


dapat diterima oleh norma – norma sosial dan kebudayaan, meliputi :

a. Solitude (Menyendiri)
Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yng telah dilakukan di lingkungan sosialnya, dan merupakan suatu
cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah – langkah
selanjutnya.
b. Autonomy (Kebebasan)
Respon individu untuk menentukan dan menyampaikan ide – ide
pikiran dan perasaan dalam hubungan sosial
c. Mutuality
Respon individu dalam berhubungan interpersonal dimana individu
saling memberi dan menerima.
d. Interdependence (Saling Ketergantungan)
Respon individu dimana terdapat saling ketergantungan dalam
melakukan hubungan interpersonal.
2. Respon Antara Adaptif dan Maladaptif
a. Aloness (Kesepian)
Dimana individu mulai merasakan kesepian, terkucilkan dan
tersisihkan dari lingkungan.
b. Manipulation (Manipulasi)
Hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain dan
individu cenderung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan bukan
pada orang lain.
c. Dependence (Ketergantungan)
Individu mulai tergantung kepada individu yang lain dan mulai tidak
memperhatikan kemampuan yang dimilikinya.
3. Respon Maladaptif
Respon maladaftif yaitu respon individu dalam penyelesaian masalah yang
menyimpang dari norma – norma sosial dan budaya lingkungannya.

a. Loneliness (Kesepian)
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak
berhubungan dengan orang lain atau tanpa bersama orang lain untuk
mencari ketenangan waktu sementara.
b. Exploitation (Pemerasan)
Gangguan yang terjadi dimana seseorang selalu mementingkan
keinginannya tanpa memperhatikan orang lain untuk mencari
ketenangan pribadi.
c. Withdrawl (Menarik Diri)
Gangguan yang terjadi dimana seseorang menentukan kesulitan dalam
membina hubungan saling terbuka dengan orang lain, dimana individu
sengaja menghindari hubungan interpersonal ataupun dengan
lingkungannya.
d. Paranoid (Curiga)
Gangguan yang terjadi apabila seseorang gagal dalam
mengembangkan rasa percaya pada orang lain.

O. Proses Terjadinya Masalah


Proses terjadinya Isolasi sosial pada pasienakan dijelaskan dengan
menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor
predisposisi dan presipitasi.
1. Faktor predisposisi
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya isolasi sosial, meliputi:
a. Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter
dimana ada riwayata anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Adanya risiko bunuh diri, riwayat penyakit atau trauma kepala, dan
riwayat penggunaan NAPZA. Selain itu ditemukan adanya kondisi
patologis otak, yang dapat diketahui dari hasil pemeriksaan struktur otak
melalui pemeriksaan CT Scan dan hasil pemeriksaan MRI untuk melihat
gangguan struktur dan fungsi otak.
b. Faktor Psikologis
Pasien dengan masalah isolasi sosial, seringkali mengalami kegagalan
yang berulang dalam mencapai keinginan/harapan, hal ini
mengakibatkan terganggunya konsep diri, yang pada akhirnya akan
berdampak dalam membina hubungan dengan orang lain. Koping
individual yang digunakan pada pasiendengan isolasi sosial dalam
mengatasi masalahnya, biasanya maladaptif. Koping yang biasa
digunakan meliputi: represi, supresi, sublimasi dan proyeksi. Perilaku
isolasi sosial timbul akibat adanya perasaan bersalah atau menyalahkan
lingkungan, sehingga pasienmerasa tidak pantas berada diantara orang
lain dilingkungannya.
c. Faktor Sosial Budaya
Faktor predisposisi sosial budaya pada pasien dengan isolasi sosial,
seringkali diakibatkan karena pasien berasal dari golongan sosial
ekonomi rendah hal ini mengakibatkan ketidakmampuan pasien dalam
memenuhi kebutuhan. Kondisi tersebut memicu timbulnya stres yang
terus menerus, sehingga fokus pasien hanya pada pemenuhan
kebutuhannya dan mengabaikan hubungan sosialisasi dengan
lingkungan sekitarnya.
2. Faktor Presipitasi
Ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan
struktur otak.Faktor lainnya pengalaman abuse dalam keluarga. Penerapan aturan
atau tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan pasien
dan konflik antar masyarakat.Selain itu Pada pasienyang mengalami isolasi sosial,
dapat ditemukan adanya pengalaman negatif pasienyang tidak menyenangkan
terhadap gambaran dirinya, ketidakjelasan atau berlebihnya peran yang dimiliki
serta mengalami krisis identitas. Pengalaman kegagalan yang berulang dalam
mencapai harapan atau cita-cita, serta kurangnya penghargaan baik dari diri
sendiri maupun lingkungan. Faktor-faktor diatas, menyebabkan gangguan dalam
berinteraksi sosial dengan orang lain, yang pada akhirnya menjadi masalah isolasi
sosial (Nurhalimah, 2016).

3. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala isolasi sosial dapat dinilai dari ungkapan pasienyang
menunjukkan penilaian negatif tentang hubungan sosial dan didukung dengan
data hasil observasi.
a. Data subjektif
Pasien mengungkapkan tentang :
1) Perasaan sepi
2) Perasaan tidak aman
3) Perasan bosan dan waktu terasa lambat
4) Ketidakmampun berkonsentrasi
5) Perasaan ditolak
b. Data Objektif
1) Banyak diam
2) Tidak mau bicara
3) Menyendiri
4) Tidak mau berinteraksi
5) Tampak sedih
6) Ekspresi datar dan dangkal
7) Kontak mata kurang

4. Pohon Masalah
Efek Risiko perubahan persepsi sensori : halusinasi

Masalah Isolasi Sosial : menarik diri

Penyebab Gangguan konsep diri : harga diri rendah
P. Data Yang Perlu Dikaji
Pengkajian pasien isolasi sosial dapat dilakukan melalui wawancara dan
observasi kepada pasiendan keluarga. Tanda dan gejala isolasi sosial dapat
ditemukan dengan wawancara, melelui bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana perasaan Anda saat berinteraksi dengan orang lain?
2. Bagaimana perasaan Anda ketika berhubungan dengan orang lain? Apa
yang Anda rasakan? Apakah Anda merasa nyaman ?
3. Bagaimana penilaian Anda terhadap orang-orang di sekeliling Anda
(keluarga atau tetangga)?
4. Apakah Anda mempunyai anggota keluarga atau teman terdekat? Bila
punya siapa anggota keluarga dan teman dekatnya itu?
5. Adakah anggota keluarga atau teman yang tidak dekat dengan Anda? Bila
punya siapa anggota keluarga dan teman yang tidak dekatnya itu?
6. Apa yang membuat Anda tidak dekat dengan orang tersebut?
Tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan melalui observasi
adalah sebagai berikut:
1. Pasien banyak diam dan tidak mau bicara
2. Pasien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat
3. Pasien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal
4. Kontak mata kurang

Q. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan sensori persepsi halusinasi b/d menarik diri
b. Isolasi sosial menarik diri b/d harga diri rendah (Prabowo, 2014)

R. Rencana Asuhan Keperawatan


Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
Setelah tindakan keperawatan, pasien mampu melakukan hal berikut.
a. Membina hubungan saling percaya.
b. Menyadari penyebab isolasi sosial.
c. Berinteraksi dengan orang lain.
2. Tindakan
a. Membina hubungan saling percaya.
1) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
2) Berkenalan dengan pasien, seperti perkenalkan nama dan nama panggilan
yang Anda sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien.
3) Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
4) Buat kontrak asuhan, misalnya apa yang Anda akan lakukan bersama
pasien, berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya di mana.
5) Jelaskan bahwa Anda akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan terapi.
6) Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap pasien.
7) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
b. Membantu pasien menyadari perilaku isolasi sosial.
1) Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang
lain.
2) Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi
dengan orang lain.
3) Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman dan bergaul
akrab dengan mereka.
4) Diskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan tidak
bergaul dengan orang lain.
5) Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik pasien.
c. Melatih pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.
1) Jelaskan kepada pasien cara berinteraksi dengan orang lain.
2) Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain.
3) Beri kesempatan pasien mempraktikkan cara berinteraksi dengan orang
lain yang dilakukan di hadapan Anda.
4) Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang teman/anggota
keluarga.
5) Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi
dengan dua, tiga, empat orang, dan seterusnya.
6) Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh
pasien.
7) Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi
dengan orang lain. Mungkin pasien akan mengungkapkan keberhasilan
atau kegagalannya. Beri dorongan terus-menerus agar pasien tetap
semangat meningkatkan interaksinya.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Tujuan
Setelah tindakan keperawatan, keluarga mampu merawat pasien isolasi sosial
di rumah.
2. Tindakan
Melatih keluarga merawat pasien isolasi sosial.
a. Menjelaskan tentang hal berikut.
1) Masalah isolasi sosial dan dampaknya pada pasien.
2) Penyebab isolasi sosial.
3) Sikap keluarga untuk membantu pasien mengatasi isolasi sosialnya.
4) Pengobatan yang berkelanjutan dan mencegah putus obat.
5) Tempat rujukan bertanya dan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi
pasien.
b. Memperagakan cara berkomunikasi dengan pasien.
c. Memberi kesempatan kepada keluarga untuk mempraktikkan cara
berkomunikasi dengan pasien
S. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)
Pertemuan : 1
SP 1 Klien : Membina hubungan saling percaya, membantu klien mengenali
penyebab isolasi sosial, membantu klien mengenal keuntungan berhubungan
dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain dan mengajarkan pasien
berkenalan
1. Orientasi
a. Salam terapeutik “Selamat pagi ibu, perkenalkan nama saya ..., saya
dipanggil ..., saya perawat yang akan merawat ibu pagi ini. Nama ibu
siapa dan senang dipanggil siapa ?”
b. Evaluasi
1) Bagaimana perasaan ibu S saat ini ?
2) Masih ingat ada kejadian apa sampai ibu S dibawa kerumah sakit
ini ?
3) Apa keluhan ibu S hari ini ? Dari tadi saya perhatikan ibu S duduk
menyendiri, ibu S duduk menyendiri, ibu S tidak tampak ngobrol
dengan teman-teman yang lain ? Ibu S sudah mengenal teman-
teman yang ada disini ?
c. Kontrak
1) Topik “Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga
dan teman-teman ibu S ? Juga tentang apa yang menyebabkan ibu
S tidak mau ngobrol dengan temanteman ?”
2) Waktu “Ibu mau berapa lama bercakap-cakap ? Bagaimana kalau
15 menit.”
3) Tempat “Dimana enaknya kita duduk untuk berbincang-bincang
ibu S ? Bagaimana kalau disini saja ?”
2. Fase kerja
a. Siapa saja yang tinggal satu rumah dengan ibu S ? siapa yang paling
dekat dengan ibu S ? siapa yang jarang bercakap-cakap dengan ibu S ?
Apa yang membuat ibu S jarang bercakap-cakap denganya ?
b. Apa yang ibu S rasakan selama dirawat disini ? O... ibu S merasa
sendirian ? Siapa saja yang ibu S kenal diruangan ini ? O... belum ada ?
Apa yang menyebabkan ibu S tidak mempunyai teman disini dan tidak
mau bergabung atau ngobrol dengan temanteman yang ada disini ?
c. Kalau ibu S tidak mau bergaul dengan teman-teman atau orang lain,
tanda-tandanya apa saja ? mungkin ibu S selalu menyendiri ya... terus
apalagi bu... .
d. Ibu S tahu keuntungan kalau kita mempunyai banyak teman ? coba
sebutkan apa saja ? keuntungan dari mempunyai banyak teman itu bu S
adalah... .
e. Nah kalau kerugian dari tidak mempunyai banyak teman ibu S tahu tidak
? coba sebutkan apa saja ? Ya ibu S kerugian dari tidak mempunyai
banyak teman adalah... .. Jadi banyak juga ruginya ya kalau kita tidak
punya banyak teman. Kalau begitu inginkan ibu S berkenalan dan
bergaul dengan orang lain ?
f. Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita belajar berkenalan dengan orang
lain.
g. Begini lo ibu S, untuk berkenalan dengan orang lain caranya adalah :
pertama kita mengucapkan salam sambil berjabat tangan, terus bilang “
perkenalkan nama lengkap, terus bilang “ perkenalkan nama lengkap,
terus nama panggilan yang disukai, asal kita dan hobby kita. Contohnya
seperti ini “ assalamualaikum, perkenalkan nama saya Febriana, saya
lebih senang dipanggil Febri, asal saya dari Bandung dan hobby nya
membaca.
h. Selanjutnya ibu S menanyakan nama lengkap orang yang diajak kenalan,
nama panggilan yang disukai, menanyakan juga asal dan hobbynya.
Contohnya seperti ini nama ibu siapa? Senang dipanggil apa ? asalnya
dari mana dan hobbynya apa ?
i. Ayo ibu S dicoba ! misalnya saya belum kenal dengan ibu S. Coba
berkenalan dengan saya ! ya bagus sekali ! coba sekali lagi bu S. Bagus
sekali !
j. Setelah ibu S berkenalan dengan orang tersebut, ibu S bisa melanjutkan
percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan misalkan tentang
cuaca, hobi, keluarga, pekerjaan dan sebagainya
3. Terminasi
a. Evaluasi respon
1) Evaluasi subyektif
Bagaimana perasaan ibu S setelah berbincang-bincang tentang
penyebab ibu S tidak mau bergaul dengan orang lain dan berlatih
cara berkenalan ?
2) Evaluasi obyektif
Coba ibu S ibu sebutkan kembali penyebab ibu S tidak mau bergaul
dengan orang lain ? apa saja tanda-tandanya bu ? terus
keuntungan dan kerugianya apa saja ?
Coba ibu S sebutkan cara berkenalan dengan orang lain, yaitu...
ya bagus
Nah sekarang coba ibu S praktikkan lagi cara berkenalan dengan
saya. Iya bagus !
b. Kontrak
1) Topik
“Baik bu S sekarang bincang-bincangnya sudah selesai,
bagaimana kalau 2 jam lagi sekitar jam 11 saya akan datang kesini
lagi untuk melatih ibu S berkenalan dengan perawat lain yaitu
teman saya perawat N”
2) Waktu
“ ibu mau bertemu lagi jam berapa ? bagaimana kalau jam 9 ? “
3) Tempat
“ ibu mau bercakap-cakap dimana ? “
c. Rencana tindak lanjut
1) Selanjutnya ibu S dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari
tadi. Sehingga ibu S lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain.
Ibu S bisa praktikkan pasien pasien lain.
2) Sekarang kita buat jadwal latihannya ya bu, berapa kali sehari ibu
mau berlatih berkenalan dengan orang lain, jam berapa saja bu ?
coba tulis disini. Oh jadi mau tiga kali ya bu.
3) Ya bagus bu S dan jangan lupa dilatih terus ya bu sesuai jadwal
latihanya dan ibu S bisa berkenalan dengan teman-teman yang ada
di ruangan ini.
Pertemuan : 2
SP 2 Klien : Mengajarkan klien berinteraksi secara bertahap (berkenalan
dengan orang pertama, yaitu seorang perawat)
1. Orientasi
a. Salam terapeutik “Assalamualikum ibu S, sesuai dengan janji saya 2 jam
yang lalu sekarang saya datang lagi. Ibu S masih ingatkan dengan saya ?
coba siapa ? iya bagus. Tujuan saya sekarang ini akan mengajarkan cara
berkenalan dengan perawat lain.”
b. Evaluasi
1) Bagaimana perasaan ibu S saat ini ?
2) Apakah ibu S sudah hapal cara berkenalan dengan orang lain ?
apakah ibu S sudah mempraktikkannya dengan pasien lain ?
bagaimana perasaan ibu S setelah berkenalan tersebut ?
3) Coba ibu S praktikkan lagi cara berkenalan dengan saya. Ya bagus
c. Kontrak
1) Topik “baik sekarang kita akan berlatih berkenalan dengan orang
pertama yaitu perawat lain”
2) Waktu “Mau berapa lama berlatihnya ? bagaiman kalau 10 menit ?”
3) Tempat “Dimana tempatnya ? disini saja ya. Tapi nanti kita temui
perawat N di ruanganya ya ! ”
2. Fase kerja
a. “ Ibu S, sudah tahu ya tadinya caranya berkenalan ? ya bagus ! ”
b. “ Tadi caranya bagaimana ya bu ? yang pertama dilakukan adalah... ..
Bagus bu S .”
c. “ Sekarang kita keruangnya suster N ya.” (Bersama-sama mendekati
suster N) “ Selamat pagi suster N, ini ibu S ingin berkenalan dengan
suster N “
d. “ Baiklah ibu , sekarang ibu S bisa berkenalan dengan suster N seperti
yang sudah kita praktikkan. Ya bagus ibu S . ”
e. “ Ada lagi yang ingin ibu S tanyakan kepada suster N. Coba tanyakan
tentang keluarganya “
f. “ Kalau memang tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, ibu S bisa sudahi
perkenalan ini. lalu ibu S bisa buat janji untuk bertemu lagi dengan suster
N, misalnya jam 1 siang nanti ”
g. “ Baiklah suster N, karena ibu S sudah selesai brkenalan, saya dan ibu S
akan kembali ke ruangan ibu S. Selamat pagi (bersama-sama pasien
meninggalkan ruangan suster N) ”
h. “ Bagaimana perasaan ibu S setelah berkenalan dengan suster N. Ibu S
merasa senang ? iya, ibu S jadi mempunyai banyak teman ya ”
3. Terminasi
a. Evaluasi respon
1) Subyektif “Bagaimana perasaan ibu S setelah kita berkenalan
dengan suster N”
2) Obyektif “Coba ibu S sebutkan lagi cara berkenalanya. Ya bagus bu”
b. Kontrak
1) Topik “Besok pagi kita ketemu lagi ya, kita akan berkenalan dengan
orang kedua “
2) Waktu “Mau jam berapa bu ? Baik jam 08.00 pagi. Waktunya berpa
lama ? ya 10 menit”
3) Tempat “Tempatnya dimana ? Baiklah disini saja ya“
c. Rencana tindak lanjut
“Mari sekarang kita masukan dalam jadwal kegiatan harian ibu S. Mau
jam berapa bu S berkenalan ? Bagaimana kalau tiga kali sehari / Baik
jadi jam 08.00 pagi, jam 10.00 dan jam 15. 00 sore. Jangan lupa
dipraktikan terus ya bu. Dan pertahankan terus apa yang sudah ibu S
lakukan tadi. ” Jangan lupa untuk menanyakan topik lain supaya
perkenalan berjalan lancar. Misalnya menanyakan hobby, keluarga dan
sebagainya.
Pertemuan : 3
SP 3 Klien : Mengajarkan klien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan
perawat dan klien lain )
1. Orientasi
a. Salam terapeutik “Selamat pagi ibu S, sesuai dengan janji saya kemarin
sekarang saya datang lagi. Ibu S masih ingatkan dengan saya ? coba
siapa ? iya bagus”
b. Evaluasi “Apakah ibu S sudah hapal cara berkenalan dengan orang lain
? Apakah ibu S sudah mempraktikkanya dengan pasien lain ? siapa saja
yang yang sudah ibu S ajak berkenalan ? coba sebutkan namanya ? iya
bagus sekali ibu S sudah mempraktikanya ya. Bagaimana perasaan ibu S
setela berkenalan tersebut”
c. Kontrak
1) Topik “Baik sekarang kita akan berlatih lagi berkenalan dengan 2
orang ya bu, yaitu perawat lain dan klien lain teman ibu yang ada di
ruangan ini”
2) Waktu “Mau berapa lama berlatihnya bu S ? bagaimana kalau 10
menit“
3) Tempat “Dimana tempatnya ? disini saja ya. Tapi nanti kita temui
perawat D dan klien yang belum dikenal bu S dirumahnya”
2. Fase kerja
a. “Ibu S, sudah tahu ya tadinya caranya berkenalan ? ya bagus”
b. “Tadi caranya bagaimana ya bu ? yang pertama dilakukan adalah...
Bagus bu S .”
c. “Sekarang kita keruangnya suster D ya.” (Bersama-sama mendekati
suster D)
d. “Selamat pagi suster N, ini ibu S ingin berkenalan dengan suster D”
e. “Baiklah ibu , sekarang ibu S bisa berkenalan dengan suster D seperti
yang sudah kita praktikkan. Ya bagus ibu S .”
f. “Ada lagi yang ingin ibu S tanyakan kepada suster D. Coba tanyakan
tentang keluarganya”
g. “Kalau memang tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, ibu S bisa sudahi
perkenalan ini. lalu ibu S bisa buat janji untuk bertemu lagi dengan
suster N, misalnya jam 1 siang nanti ”
h. “Baiklah suster N, karena ibu S sudah selesai brkenalan, saya dan ibu S
akan kembali ke ruangan ibu S. Selamat pagi (bersama-sama pasien
meninggalkan ruangan suster N) ”
i. “Bagaimana perasaan ibu S setelah berkenalan dengan suster N. Ibu S
merasa senang ? iya, ibu S jadi mempunyai banyak teman ya ”
3. Fase terminasi
a. Evaluasi respon
1) Subyektif “Bagaimana perasaan ibu S setelah kita berkenalan
dengan suster D dan ibu K”
2) Obyektif “ Coba ibu S sebutkan lagi cara berkenalanya. Ya bagus
bu, jadi sekarang teman ibu S sudah berapa ? namanya siapa saja ?
iya bagus sekali bu S ”
b. Kontrak
1) Topik “ Besok pagi pagi kita ketemu lagi ya, kita akan berkenalan
dengan dua orang atau lebih”
2) Waktu “ Mau jam berapa bu ? Bik jam 08.00 pagi. Waktunya
berapa lama ? ya 10 menit”
3) Tempat “ Tempatnya dimana ? Baiklah disini saja ya”
c. Rencana tindak lanjut
“Mari sekarang kita masukan dalam jadwal kegiatan harian ibu S. Mau
jam berapa bu S berkenalan lagi ? Bagaimana kalau tiga kali sehari ?
Baik jadi jam 09.00 pagi, jam 11.00 dan jam 16.00 sore. Jangan lupa
dipraktikkan terus ya bu. Dan pertahankan terus apa yang sudah ibu S
lakukan tadi.” Jangan lupa untuk menanyakan topik lain supaya
perkenalan berjalan lancar. Misalnya menanyakan hobby, keluarga dan
sebagainya.
Pertemuan : 4
SP 4 klien : Mengajarkan klien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan 2
orang atau lebih / kelompok)
1. Orientasi
a. Salam terapeutik
“Assalamualaikum ibu S, sesuai dengan janji saya kemarin sekarang saya
datang lagi. Ibu S masih ingatkah dengan saya ? coba siapa ? iya bagus,
tujuan saya sekarang ini akan mengajarkan cara berkenalan dengan 2
orang atau lebih teman ibu S yang ada diruangan ini”
b. Evaluasi
“ Bagaimana perasaaan ibu S saat ini ” “ Apakah ibu S sudah hapal cara
berkenalan dengan orang lain ? Apakah ibu S sudah mempraktikanya
dengan pasien lain ? siapa saja yang sudah ibu S ajak berkenalan ? coba
sebutkan namanya ? iya bagus sekali ibu S sudah mempraktikkanya ya.
Bagaimana perasaan ibu S setelah berkenalan tersebut ? ”
c. Kontrak
1) “ Baik sekarang kita akan berlatih lagi berkenalan dengan 2 orang
atau lebih ya bu, yaitu teman-teman ibu yang ada di ruangan ini ”
2) “ Mau berapa lama berlatihnya bu S ? Bagaimana kalau 10 menit “
3) “ Dimana tempatnya ? Disini saja ya. Tapi nanti kita temui teman-
teman ibu yang belum dikenal bu S diruangan ini ya bu ”
2. Fase kerja
a. “ Ibu S, sudah tahu ya tadinya caranya berkenalan ? ya bagus ”
b. “ Tadi caranya bagaimana ya bu ? yang pertama dilakukan adalah....
Bagus bu S”
c. “ Sekarang kita hampiri teman-teman ibu yang sedang duduk disana ya.”
(Bersamasama mendekati klien lain yang sedang duduk menonton televisi)
d. “ Selamat pagi ibu-ibu, ini ibu S ingin berkenalan dengan ibu-ibu disini ”
e. “ Baiklah ibu S, sekarang ibu S bisa berkenalan dengan ibu-ibu disini
semuanya seperti yang sudah kita praktikkan. Ya bagis ibu S ”
f. “ Ada lagi yang lain ibu S tanyakan kepada teman-teman ibu. Coba
tanyakan tentang keluarganya ”
g. “ Kalau memang tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, ibu S bisa sudahi
perkenalan ini. Lalu ibu S bisa buat janji untuk bertemu lagi dengan
teman-teman semua, misalnya jam 1 siang nanti ”
h. “ Baiklah ibu-ibu, karena ibu S sudah selesai berkenalan, saya dan ibu S
akan kembali ke ruangan ibu S. Selamat pagi (bersama-sama pasien
meninggalkan ibuibu) ”
i. “ Bagaimana persaan ibu S setelah berkenalan dengan teman-teman
semua. Ibu S merasa senang ? iya, ibu S jadi mempunyai banyak teman
ya”
3. Fase terminasi
a. Evaluasi respon
1) Subyektif “Bagaimana perasaan ibu S setelah kita berkenalan dengan
suster D dan ibu K ”
2) Obyektif “Coba ibu S sebutkan lagi cara berkenalanya. Ya bagus bu,
jadi sekarang teman ibu S sudah berapa ? namanya siapa saja ? iya
bagus sekali bu S ”
b. Kontrak
1) Topik “ Besok pagi kita ketemu lagi ya bu, saya akan menjelaskan
manfaat obat yang ibu S minum selama ini ”
2) Waktu “ Mau jam berapa bu ? Baik jam 08.00 pagi. Waktunya berapa
lama ? ya 10 menit ”
3) Tempat “ Tempatnya dimana ? Baiklah disini saja ya ”
c. Rencana tindak lanjut
“Mari sekarang kita masukan dalam jadwal kegiatan harian ibu S. Mau
jam berapa bu S berkenalan lagi ? Bagaimana kalau tiga kali sehari ?
Baik jadi jam 09.00 pagi, jam 11.00 dan jam 16.00 sore. Jangan lupa
dipraktikkan terus ya bu. Dan pertahankan terus apa yang sudah ibu S
lakukan tadi” Jangan lupa untuk menanyakan topik lain supaya perkenalan
berjalan lancar. Misalnya menanyakan hobby, keluarga dan sebagainya.
Pertemuan : 5
SP 5 klien : Diskusi menggunakan obat secara teratur
1. Fase orientasi
a. Salam terapeutik
1) “ Assalamualaikum ibu S, sesuai dengan janji kemarin, sekarang saya
datang lagi ”
2) “ Ibu S masih ingatkan dengan saya ? coba siapa ? iya bagus ”
3) “ Tujuan saya sekarang ini akan mengajarkan cara menggunakan atau
minum obat
b. Evaluasi
1) “ Bagaiamana perasaan ibu S saat ini, apakah ibu S sudah tidak sedih
lagi ? apakah ibu S suka mengobrol dengan teman-teman ? Apa yang
ibu bicarakan dengan teman-teman ? Apakah jadwal kegiatanya sudah
dilaksanakan ? Coba saya lihat jadwalnya ya. Ya bagus ibu S ”
2) “ Ibu S masih ingatkan apa yang sudah kita latih ? ya bagus ! Coba
praktikkan lagi bu ! ya bagus bu ”
3) “ Apakah ibu S pagi ini sudah minum obat ? nama obatnya apa saja ?
oh ibu S belum tahu ya nama obatnya ”
c. Kontrak
1) “ Baik sekarang kita akan belajar cara menggunakan atau minum obat
dengan benar “
2) “ Mau berapa lama berlatihnya bu S ? Bagaimana kalau 15 menit “
3) “ Dimana tempatnya ? Disini saja ya. Tapi nanti kita temui teman-
teman ibu yang belum dikenal bu S diruangan ini ya bu ”
2. Fase kerja
a. “ Ibu S sudah minum obat hari ini ? Berapa macam obat yang ibu S minum
? warnanya apa saja ? Bagus ! jam berapa saja ibu minum ? Bagus ! ibu S
sudah tahu nama obat yang diminumnya ? oh belum ya. Baiklah saya akan
jelaskan ya ! ”
b. “ Ibu S apakah ada bedanya setelah minum obat secara teratur ? Apakah
perasaan sedih tersebut berkurang atau hilang ? ya, minum obat sangat
penting supaya ibu S tidak merasa sedih dan lesu lagi ”
c. “ Obat yang ibu S minum ada 3 macam bu, yang warnanya orange
namanya CPZ atau Clorpromazine, yang merah jambu ini namanya HLP
atau halopreridol, sedangkan yang putih ini namanya THP atau
trihexiphenidil ”
d. “ Semuanya harus ibu S minum 3 kali sehari, yaitu CPZ 3x1 tablet, HLP
3x1 tablet dan THP 3x1 tablet, diminumnya pagi jam 7, siang jam 1 dan
sore jam 5 ”
e. “ Bu S manfaat obat ini, yang orange atau CPZ dan yang merah muda atau
HLP gunanya adalah untuk menenangkan pikiran, menghilangkan rasa
gelisah, membuat ibu S bisa tidur dengan nyaman, membantu
menghilangkan perasaan sedih bu S, membantu ibu S untuk bersemangat
lagi. Sedangkan yang putih ini atau THP adalah untuk merilekskan otot-otot
tubuh ibu supaya tidak kaku dan gemetar, dan mencegah dampak akibat
dari minum obat CPZ dan HLP, seperti hipersaliva atau ngances, badan
kaku, pusing ”
f. “ Jadi ibu S jangan merasa takut untuk minum obat CPZ dan HLP ya
bu...karena dampaknya yang tadi tidak akan terjadi pada ibu, kalau ibu S
minum THP ”
g. “ Bagaimana bu S...ibu sudah mengerti belum...ya bagus sekali ibu S sudah
mengerti ya ”
h. “ Menurut ibu, boleh tidak berhenti minum obat sebelum di ijinkan dokter ?
ya betul bu tidak boleh. Akibatnya apa bu kalau berhenti minum obat tanpa
ijin dokter ? ya betul karena akan mengakibatkan ibu S perasaanya tidak
tenang, merasa gelisah, sedih dan sulit tidur ya bu, juga sakitnya akan
kambuh lagi ya bu ”
i. “ Ibu S sebelum minum obat ini, baik disini maupun nanti di rumah, ibu S
harus cek dulu, yaitu perhatikan prinsip lima benar minum obat. Jadi
sebelum minum obat, yang pertama ibu S harus lihat dulu apakah betul obat
ini buat ibu S, yang kedua lihat apakah benar yang diminumnya itu HLP
warna merah muda, CPZ warna orange dan THP warn putih, kalau beda
warna atau nama obatnya beda, ibu S harus tanyakan ke perawatnya ya.
Yang ketiga obat ini diminumnya 3 kali sehari 1 tablet, HLP 1 tablet, CPZ 1
tablet, THP 1 tablet, jadi kalau dikasih setengah ibu S harus tanyakan lagi
ke perawatnya. Yang ke empat obat ini diminumnya harus tepat waktu yaitu
jam 7 pagi setelah makan pagi, jam 1 sian setelah makan siang dan jam 5
sore setelah makan sore. Yang kelima semua obat ini harus langsung
diminum ya bu, kjangan disimpan dibawah lidah atau dibuang ”
j. “ Bagaimana bu S... sudah mengerti? Aa yang mau ibu tanyakan kepda
saya ”
k. “ Nanti setelah minum obat ini, mulut ibu S akan terasa kering, ngantuk,
dan lemas. Untuk membantu mengatasinya ibu S harus banyak minum air
putih, minimal 8 gelas, dan setelah minum obat ibu S juga jangan jalan-
jalan tetapi tiduran saja ”
l. “ Apabila sudah waktunya ibu S minum obat, langsung saja minta pada
perawat ruangan ya bu, begitu juga nanti dirumah, jadi ibu S jangan
nunggu disuruh ”
m. “ Terus apabila ibu S setelah minum ketiga obat ini kepalanya terasa
pusing, badan sempoyongan, tangan gemetar, maka ibu harusn segera
lapor atau bilbu S sudah mengerang kepada perawat ruangan atau dokter ”
n. “ Bagaimana ibu S, apakah sudah mengerti ? Ya bagus sekali kalau ibu S
sudah mengerti ”
3. Fase terminasi
a. Evaluasi repon
1) Subyektif “ Bagaimana perasaan ibu S setelah kita bercakap-cakap
tentang obat-obat yang ibu minum ”
2) Obyektif “Coba ibu S sebutkan lagi nama-nama obat yang
diminumnya manfaatnya apa saja, berapa kali minumnya dalam sehari,
apa efek samping dari obat-obat tersebut...apa kerugianya bila berhenti
minum obat, apa yang harus dilakukan kalau ibu mau minum obat, apa
yang harus dilakukan kalu ibu au minum obat, ya bagus bu. Ibu S
sekarang sudah tahu ya tentang obat-obat yang harus diminumnya ”
b. Kontrak
1) Topik “ Baik ibu S sekarang bincang-bincang sudah selesai, bagaimana
kalu 2 jam lagi sekitar jam 11 saya datang kesini untuk bincang-bincang
tentang penyebab ibu malu dan tidak mau bergaul dengan orang lain ”
2) Waktu “ Waktunya mau berapa lama bu ? iya 10 menit saja dan
tempatnya mau dimana ? ya bagaimana kalau disini saja ya ! ”
3) Tempat
“ Baiklah bu sya permisi dulu ya, jangan lupa ibu berlatih dan
mempraktikanya cara berkenalan ya, ibu S juga harus sering berkumpul
dan mengobrol ya...Assalamualikum”
c. Rencana tindak lanjut
“ Mari sekarang kita masukan dalam jadwal kegiatan harian ibu S ya.
Berapa kali dalam sehari minum obatnya bu. Kjam berapa saja. Coba tulis
ya bu, ya jam 7 pagi, jam 1 siang, dan jam 5 sore. Bagus bu, jadi kalau
sudah jamnya ibu S minum obat, langsung minta ke pada perawatnya ya bu.
Jangan sampai nunggu di panggil ”
DAFTAR PUSTAKA

Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.

Keliat, B.A., et al. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Nurhalimah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta : Pusdik

SDM Kesehatan

Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta: Salemba Medika.

Yusuf. A, Fitriyasari R, Nihayati H.E. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan


Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

.
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN

DENGAN PERILAKU KEKERASAN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Jiwa

Program Profesi Ners Angkatan XI

Disusun oleh :

AKBAR NAZUDA

KHGD21003

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XI

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

TA 2021-2022
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN PK

A. Pengertian

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku


seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku
kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau
membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang
adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain.
Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan,
melempar kaca, genting, dan semua yang ada di lingkungan.

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan
kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995). Perilaku
kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain (Yosep,
2007; hal, 146). Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Depkes, RI, 2000 ; hal.
147 )

B. Proses Terjadinya Masalah

Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien akan dijelaskan dengan


menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi faktor predisposisi dan
presipitasi :
1. Faktor Predisposisi
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan, meliputi :
a. Faktor Biologis
b. Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter
yaitu adanya anggota keluarga yang sering memperlihatkan atau
melakukan perilaku kekerasan, adanya anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, adanyan riwayat penyakit atau trauma
kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA (narkoti, psikotropika dan zat
aditif lainnya).
c. Faktor Psikologis
Pengalaman marah merupakan respon psikologis terhadap stimulus
eksternal, internal maupun lingkungan.Perilaku kekerasan terjadi
sebagai hasil dari akumulasi frustrasi.Frustrasi terjadi apabila keinginan
individu untuk mencapai sesuatu menemui kegagalan atau
terhambat.Salah satu kebutuhan manusia adalah “berperilaku”, apabila
kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui berperilaku konstruktif,
maka yang akan muncul adalah individu tersebut berperilaku destruktif.
d. Faktor Sosiokultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory)menyatakan bahwa
lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah.Norma budaya dapat mendukung individu
untuk berespon asertif atau agresif.Perilaku kekerasan dapat dipelajari
secara langsung melalui proses sosialisasi (social learning theory).
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat unik,
berbeda satu orang dengan yang lain.Stresor tersebut dapat merupakan
penyebab yang brasal dari dari dalam maupun luar individu. Faktor dari
dalam individu meliputi kehilangan relasi atau hubungan dengan orang yang
dicintai atau berarti (putus pacar, perceraian, kematian), kehilangan rasa
cinta, kekhawatiran terhadap penyakit fisik, dll. Sedangkan faktor luar
individu meliputi serangan terhadap fisik, lingkungan yang terlalu ribut,
kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan.
3. Rentang Respon Marah
Marah yang dialami setiap individu memiliki rentang dimulai dari respon
adaptif sampai maladaftif. Sekarang marilah kita bersama-sama
mempelajarinya untuk mempermudah pemahaman Anda dibawah ini akan
digambarkan rentang respon perilaku kekerasan.
Keterangan
Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan karena tidak realistis/ terhambat
Pasif : Respon lanjutan dimana pasien tidak mampu mengungkapkan
perasaannya
Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol
Amuk : Perilaku destruktif dan tidak terkontrol
4. Gejala marah
Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang menimbulkan
pengrusakan, tetapi ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Gejala-gejala
atau perubahan-perubahan yang timbul pada klien dalam keadaan marah
diantaranya adalah ;
a. Perubahan fisiologik : Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan
pernapasan meningkat, pupil dilatasi, tonus otot meningkat, mual,
frekuensi buang air besar meningkat, kadang-kadang konstipasi, refleks
tendon tinggi.
b. Perubahan emosional : Mudah tersinggung , tidak sabar, frustasi, ekspresi
wajah nampak tegang, bila mengamuk kehilangan kontrol diri.
c. Perubahan perilaku : Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis,
curiga, mengamuk, nada suara keras dan kasar.

C. Data yang Perlu Dikaji


Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasien
dan keluarga. Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan dapat ditemukan dengan
wawancara melalui pertanyaan sebagai berikut:

1. Coba ceritakan ada kejadian apa/apa yang menyebabkan Anda marah?


2. Coba Anda ceritakan apa yang Anda rasakan ketika marah?
3. Perasaan apa yang Anda rasakan ketika marah?
4. Sikap atau perilaku atau tindakan apa yang dilakukan saat Anda marah?
5. Apa akibat dari cara marah yang Anda lakukan?
6. Apakah dengan cara yang digunakan penyebab marah Anda hilang?
7. Menurut Anda apakah ada cara lain untuk mengungkapkan kemarahan Anda
Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan yang dapat ditemukan melalui
observasi adalah sebagai berikut:

1. Wajah memerah dan tegang


2. Pandangan tajam
3. Mengatupkan rahang dengan kuat
4. Mengepalkan tangan
5. Bicara kasar
6. Mondar mandir
7. Nada suara tinggi, menjerit atau berteriak
8. Melempar atau memukul benda/orang lain

D. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan


2. Perilaku kekerasan

E. Rencana Tindakan

 Tindakan Keperawatan untuk Pasien

1. Tujuan
a. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
c. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
d. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
e. Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku
kekerasannya.
f. Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,
spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
2. Tindakan
a. Bina hubungan saling percaya.
1) Mengucapkan salam terapeutik.
2) Berjabat tangan.
3) Menjelaskan tujuan interaksi.
4) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu
pasien.
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan
masa lalu.
c. Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
1) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
2) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.
3) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
4) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.
5) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.
d. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
pada saat marah secara verbal, terhadap orang lain, terhadap diri
sendiri, terhadap lingkungan.
e. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
f. Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
 Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah raga,
memukul bantal / kasur atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.
 Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal/
tersinggung.
 Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara – cara marah yang
sehat, latihan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan.
 Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan
untuk diberi kesabaran.
g. Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu latihan
napas dalam dan pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal, secara
spiritual, dan patuh minum obat.
h. Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
mengontrol perilaku kekerasan.

 Tindakan Keperawatan untuk Keluarga

1. Tujuan
Keluarga dapat merawat pasien di rumah.
2. Tindakan
a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
b. Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab,
tanda dan gejala, serta perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku
tersebut).
c. Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul
benda/orang lain.

d. Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan.


1) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan
yang telah diajarkan oleh perawat.
2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila
pasien dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila
pasien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.
e. Buat perencanaan pulang bersama keluarga.
F. Strategi Pelaksaan Tindakan Keperawatan (SP)

1. SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab


perasaan marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang
dilakukan, akibatnya serta cara mengontrol secara fisik I

a. ORIENTASI:
“Selamat pagi pak, perkenalkan nama saya nurhakim yudhi wibowo, panggil saya
yudi, saya perawat yang dinas di ruangan 9 ini, Nama bapak siapa, senangnya
dipanggil apa?”

“Bagaimana perasaan bapak saat ini?, Masih ada perasaan kesal atau marah?”

“Baiklah kita akan berbincang-bincang sekarang tentang perasaan marah bapak”

“Berapa lama bapak mau kita berbincang-bincang?” Bagaimana kalau 10 menit?

“Dimana enaknya kita duduk untuk berbincang-bincang, pak? Bagaimana kalau di


ruang tamu?”

b. KERJA:
“Apa yang menyebabkan bapak marah?, Apakah sebelumnya bapak pernah marah?
Terus, penyebabnya apa? Samakah dengan yang sekarang?. O..iya, apakah ada
penyebab lain yang membuat bapak marah”

“Pada saat penyebab marah itu ada, seperti bapak stress karena pekerjaan atau
masalah uang(misalnya ini penyebab marah pasien), apa yang bapak
rasakan?” (tunggu respons pasien)

“Apakah bapak merasakan kesal kemudian dada bapak berdebar-debar, mata melotot,
rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal?”

“Setelah itu apa yang bapak lakukan? O..iya, jadi bapak marah-marah, membanting
pintu dan memecahkan barang-barang, apakah dengan cara ini stress bapak hilang?
Iya, tentu tidak. Apa kerugian cara yang bapak lakukan? Betul, istri jadi takut barang-
barang pecah. Menurut bapak adakah cara lain yang lebih baik? Maukah bapak
belajar cara mengungkapkan kemarahan dengan baik tanpa menimbulkan kerugian?”

”Ada beberapa cara untuk mengontrol kemarahan, pak. Salah satunya adalahlah
dengan cara fisik. Jadi melalui kegiatan fisik disalurkan rasa marah.”

”Ada beberapa cara, bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu?”

”Begini pak, kalau tanda-tanda marah tadi sudah bapak rasakan maka bapak berdiri,
lalu tarik napas dari hidung, tahan sebentar, lalu keluarkan/tiupu perlahan –lahan
melalui mulut seperti mengeluarkan kemarahan. Ayo coba lagi, tarik dari hidung,
bagus.., tahan, dan tiup melalui mulut. Nah, lakukan 5 kali. Bagus sekali,
bapak sudah bisa melakukannya. Bagaimana perasaannya?”

“Nah, sebaiknya latihan ini bapak lakukan secara rutin, sehingga bila sewaktu-waktu
rasa marah itu muncul bapak sudah terbiasa melakukannya”

c. TERMINASI
“Bagaimana perasaan bapak setelah berbincang-bincang tentang kemarahan
bapak?”

”Iya jadi ada 2 penyebab bapak marah ........ (sebutkan) dan yang bapak rasakan
........ (sebutkan) dan yang bapak lakukan ....... (sebutkan) serta akibatnya
......... (sebutkan)

”Coba selama saya tidak ada, ingat-ingat lagi penyebab marah bapak yang lalu, apa
yang bapak lakukan kalau marah yang belum kita bahas dan jangan lupa latihan
napas dalamnya ya pak. ‘Sekarang kita buat jadual latihannya ya pak, berapa kali
sehari bapak mau latihan napas dalam?, jam berapa saja pak?”

”Baik, bagaimana kalau 2 jam lagi saya datang dan kita latihan cara yang lain untuk
mencegah/mengontrol marah. Tempatnya disini saja ya pak, Selamat pagi”

2. SP 2 Pasien: Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik ke-2


a. Evaluasi latihan nafas dalam
b. Latih cara fisik ke-2: pukul kasur dan bantal
c. Susun jadwal kegiatan harian cara kedua
1) ORIENTASI
“Selamat pagi pak, sesuai dengan janji saya tiga jam yang lalu sekarang saya
datang lagi”

“Bagaimana perasaan bapak saat ini, adakah hal yang menyebabkan bapak
marah?”

“Baik, sekarang kita akan belajar cara mengontrol perasaan marah dengan
kegiatan fisik untuk cara yang kedua”

“sesuai janji kita tadi kita akan berbincang-bincang sekitar 20 menit dan
tempatnya disini di ruang tamu,bagaimana bapak setuju?”

2) KERJA
“Kalau ada yang menyebabkan bapak marah dan muncul perasaan kesal,
berdebar-debar, mata melotot, selain napas dalam bapak dapat melakukan
pukul kasur dan bantal”.

“Sekarang mari kita latihan memukul kasur dan bantal. Mana kamar bapak?
Jadi kalau nanti bapak kesal dan ingin marah, langsung ke kamar dan
lampiaskan kemarahan tersebut dengan memukul kasur dan bantal. Nah, coba
bapak lakukan, pukul kasur dan bantal. Ya, bagus sekali bapak melakukannya”.

“Kekesalan lampiaskan ke kasur atau bantal.”

“Nah cara inipun dapat dilakukan secara rutin jika ada perasaan marah.
Kemudian jangan lupa merapikan tempat tidurnya”

3) TERMINASI
“Bagaimana perasaan bapak setelah latihan cara menyalurkan marah tadi?”

“Ada berapa cara yang sudah kita latih, coba bapak sebutkan lagi?Bagus!”

“Mari kita masukkan kedalam jadual kegiatan sehari-hari bapak. Pukul kasur
bantal mau jam berapa? Bagaimana kalau setiap bangun tidur? Baik, jadi jam
05.00 pagi. dan jam jam 15.00 sore. Lalu kalau ada keinginan marah sewaktu-
waktu gunakan kedua cara tadi ya pak. Sekarang kita buat jadwalnya ya pak,
mau berapa kali sehari bapak latihan memukul kasur dan bantal serta tarik
nafas dalam ini?”

“Besok pagi kita ketemu lagi kita akan latihan cara mengontrol marah dengan
belajar bicara yang baik. Mau jam berapa pak? Baik, jam 10 pagi ya. Sampai
jumpa&istirahat ya pak”

3. SP 3 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal:


a. Evaluasi jadwal harian untuk dua cara fisik
b. Latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak dengan baik,
meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik.
c. Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal

1) ORIENTASI
“Selamat pagi pak, sesuai dengan janji saya kemarin sekarang kita ketemu
lagi”

“Bagaimana pak, sudah dilakukan latihan tarik napas dalam dan pukul kasur
bantal?, apa yang dirasakan setelah melakukan latihan secara teratur?”

“Coba saya lihat jadwal kegiatan hariannya.”

“Bagus. Nah kalau tarik nafas dalamnya dilakukan sendiri tulis M, artinya
mandiri; kalau diingatkan suster baru dilakukan tulis B, artinya dibantu atau
diingatkan. Nah kalau tidak dilakukan tulis T, artinya belum bisa melakukan

“Bagaimana kalau sekarang kita latihan cara bicara untuk mencegah marah?”

“Dimana enaknya kita berbincang-bincang?Bagaimana kalau di tempat yang


sama?”

“Berapa lama bapak mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15


menit?”
2) KERJA
“Sekarang kita latihan cara bicara yang baik untuk mencegah marah. Kalau
marah sudah dusalurkan melalui tarik nafas dalam atau pukul kasur dan bantal,
dan sudah lega, maka kita perlu bicara dengan orang yang membuat kita
marah. Ada tiga caranya pak:

1. Meminta dengan baik tanpa marah dengan nada suara yang rendah serta
tidak menggunakan kata-kata kasar. Kemarin Bapak bilang penyebab
marahnya larena minta uang sama isteri tidak diberi. Coba Bapat minta
uang dengan baik:”Bu, saya perlu uang untuk membeli rokok.” Nanti bisa
dicoba di sini untuk meminta baju, minta obat dan lain-lain. Coba bapak
praktekkan. Bagus pak.”
2. Menolak dengan baik, jika ada yang menyuruh dan bapak tidak ingin
melakukannya, katakan: ‘Maaf saya tidak bisa melakukannya karena
sedang ada kerjaan’. Coba bapak praktekkan. Bagus pak”
3. Mengungkapkan perasaan kesal, jika ada perlakuan orang lain yang
membuat kesal bapak dapat mengatakan:’ Saya jadi ingin marah karena
perkataanmu itu’. Coba praktekkan. Bagus”
3) TERMINASI
“Bagaimana perasaan bapak setelah kita bercakap-cakap tentang cara
mengontrol marah dengan bicara yang baik?”

“Coba bapak sebutkan lagi cara bicara yang baik yang telah kita pelajari”

“Bagus sekal, sekarang mari kita masukkan dalam jadual. Berapa kali sehari
bapak mau latihan bicara yang baik?, bisa kita buat jadwalnya?”

Coba masukkan dalam jadual latihan sehari-hari, misalnya meminta obat,


uang, dll. Bagus nanti dicoba ya Pak!”

“Bagaimana kalau dua jam lagi kita ketemu lagi?”

“Nanti kita akan membicarakan cara lain untuk mengatasi rasa marah bapak
yaitu dengan cara ibadah, bapak setuju? Mau di mana Pak? Di sini lagi? Baik
sampai nanti ya”
4. SP 4 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
a. Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik dan
sosial/verbal
b. Latihan sholat/berdoa
c. Buat jadwal latihan sholat/berdoa

1) ORIENTASI
“Selamat pagi pak, sesuai dengan janji saya dua jam yang lalu sekarang saya
datang lagi” Baik, yang mana yang mau dicoba?”

“Bagaimana pak, latihan apa yang sudah dilakukan?Apa yang dirasakan


setelah melakukan latihan secara teratur? Bagus sekali, bagaimana rasa
marahnya”

“Bagaimana kalau sekarang kita latihan cara lain untuk mencegah rasa
marah yaitu dengan ibadah?”

“Dimana enaknya kita berbincang-bincang?Bagaimana kalau di tempat


tadi?”

“Berapa lama bapak mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15


menit?

2) KERJA
“Coba ceritakan kegiatan ibadah yang biasa Bapak lakukan! Bagus. Baik,
yang mana mau dicoba?

“Nah, kalau bapak sedang marah coba bapak langsung duduk dan tarik napas
dalam. Jika tidak reda juga marahnya rebahkan badan agar rileks. Jika tidak
reda juga, ambil air wudhu kemudian sholat”.

“Bapak bisa melakukan sholat secara teratur untuk meredakan kemarahan.”

“Coba Bpk sebutkan sholat 5 waktu? Bagus. Mau coba yang mana?Coba
sebutkan caranya (untuk yang muslim).”
3) TERMINASI
“Bagaimana perasaan bapak setelah kita bercakap-cakap tentang cara yang
ketiga ini?”

“Jadi sudah berapa cara mengontrol marah yang kita pelajari? Bagus”.

“Mari kita masukkan kegiatan ibadah pada jadual kegiatan bapak. Mau
berapa kali bapak sholat. Baik kita masukkan sholat ....... dan ........ (sesuai
kesepakatan pasien)

“Coba bapak sebutkan lagi cara ibadah yang dapat bapak lakukan bila bapak
merasa marah”

“Setelah ini coba bapak lakukan jadual sholat sesuai jadual yang telah kita
buat tadi”

“Besok kita ketemu lagi ya pak, nanti kita bicarakan cara keempat mengontrol
rasa marah, yaitu dengan patuh minum obat.. Mau jam berapa pak? Seperti
sekarang saja, jam 10 ya?”

“Nanti kita akan membicarakan cara penggunaan obat yang benar untuk
mengontrol rasa marah bapak, setuju pak?”

5. SP 5 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan obat


a. Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien untuk cara mencegah marah yang
sudah dilatih.
b. Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar (benar
nama pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu
minum obat, dan benar dosis obat) disertai penjelasan guna obat dan
akibat berhenti minum obat.
c. Susun jadual minum obat secara teratur

1) ORIENTASI
“Selamat pagi pak, sesuai dengan janji saya kemarin hari ini kita ketemu lagi”
“Bagaimana pak, sudah dilakukan latihan tarik napas dalam, pukul kasur
bantal, bicara yang baik serta sholat?, apa yang dirasakan setelah melakukan
latihan secara teratur?. Coba kita lihat cek kegiatannya”.

“Bagaimana kalau sekarang kita bicara dan latihan tentang cara minum obat
yang benar untuk mengontrol rasa marah?”

“Dimana enaknya kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau di tempat


kemarin?”

“Berapa lama bapak mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15


menit?”

2) FASE KERJA (perawat membawa obat pasien)


“Bapak sudah dapat obat dari dokter?”

Berapa macam obat yang Bapak minum? Warnanya apa saja? Bagus! Jam
berapa Bapak minum? Bagus!

“Obatnya ada tiga macam pak, yang warnanya oranye namanya CPZ
gunanya agar pikiran tenang, yang putih ini namanya THP agar rileks, dan
yang merah jambu ini namanya HLP agar pikiran teratur dan rasa marah
berkurang. Semuanya ini harus bapak minum 3 kali sehari jam 7 pagi, jam 1
sian g, dan jam 7 malam”.

“Bila nanti setelah minum obat mulut bapak terasa kering, untuk membantu
mengatasinya bapak bisa minum air putih yang tersedia di ruangan”.

“Bila terasa mata berkunang-kunang, bapak sebaiknya istirahat dan jangan


beraktivitas dulu”

“Nanti di rumah sebelum minum obat ini bapak lihat dulu label di kotak
obat apakah benar nama bapak tertulis disitu, berapa dosis yang harus
diminum, jam berapa saja harus diminum. Baca juga apakah nama obatnya
sudah benar? Di sini minta obatnya pada suster kemudian cek lagi apakah
benar obatnya!”

“Jangan pernah menghentikan minum obat sebelum berkonsultasi dengan


dokter ya pak, karena dapat terjadi kekambuhan.”
“Sekarang kita masukkan waktu minum obatnya kedalam jadwal ya pak.”

3) TERMINASI
“Bagaimana perasaan bapak setelah kita bercakap-cakap tentang cara minum
obat yang benar?”

“Coba bapak sebutkan lagijenis obat yang Bapak minum! Bagaimana cara
minum obat yang benar?”

“Nah, sudah berapa cara mengontrol perasaan marah yang kita pelajari?.
Sekarang kita tambahkan jadual kegiatannya dengan minum obat. Jangan lupa
laksanakan semua dengan teratur ya”.

“Baik, Besok kita ketemu kembali untuk melihat sejauhma ana bapak
melaksanakan kegiatan dan sejauhmana dapat mencegah rasa marah. Sampai
jumpa”
DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo, 2003
Nurhalimah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta : Pusdik

SDM Kesehatan

Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.).


St.Louis Mosby Year Book, 1995
Yusuf. A, Fitriyasari R, Nihayati H.E. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan

Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.


LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN

DENGAN RESIKO BUNUH DIRI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Jiwa

Program Profesi Ners Angkatan XI

Disusun oleh :

AKBAR NAZUDA

KHGD21003

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XI

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

TA 2021-2022
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN RESIKO
BUNUH DIRI

A. Pengertian
Bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri
kehidupan individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya
untuk mati. Perilaku bunuh diri meliputu isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman
verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka atau mernyakiti diri sendiri.
Resiko bunuh diri adalah resio untuk menciderai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya (Stuart, 2006) Bunuh diri
adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan.Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).

Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan (Wilson dan Kneisl, 1988). Bunuh diri merupakan
kedaruratan psikiatri karena pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan
menggunakan koping yang maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat
ide bunuh diri timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik atau percobaan
bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri. Oleh karena itu,
diperlukan pengetahuan dan keterampilan perawat yang tinggi dalam merawat
pasien dengan tingkah laku bunuh diri, agar pasien tidak melakukan tindakan
bunuh diri.

Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat 3 jenis bunuh diri, meliputi:

1. Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasarkan oleh
faktor lingkungan yang penuh tekanan sehingga mendorong seseorang
untuk bunuh diri.
2. Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3. Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor
dalam diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.

Bunuh diri dikempompokkan menjadi 3, yaitu :

1. Isyarat bunuh diri


Ditunjukkan dengan perilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri. Dalam
kondisi ini klien mungkin sudah mempunyai ide untuk mengakhiri hidupnya
tetapi tidak disertai dengan ancaman bunuh diri. Klien umunya
mengungkapkan rasa bersalah, bersedih, marah, putus asa, klien juga
mengungkapkan hal-hal negative tentang dirinya yang menggambarkan
harga diri rendah.
2. Ancaman bunuh diri
Klien secara aktif telah memiliki rencana bunuh diri, tetapi tidak diserta
dengan rencana bunuh diri.Klien memerlukan pengawasan yang ketat
karena dapat setiap saat memanfaatkan kesempatan yang ada untuk
melaksanakan rencana bunuh diri.
3. Percobaan bunuh diri
Adalah tindakan klien mencederai atau melukai diri untuk mengakhiri
kehidupannya. Pada kondisi ini, klien aktif mencoba bunuh diri dengan
berbagai cara. (Yusuf, 2015)

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Penyebab Bunuh Diri
a. Faktor genetik dan teori biologi
Faktor genetik mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada
keturunannya. Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat
menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko buuh diri.
b. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi bunuh diri dalam 3 kategori yaitu : Egoistik
(orang yang tidak terintegrasi pada kelompok sosial), atruistik
(Melakukan bunuh diri untuk kebaikan masyarakat) dan anomik
(Bunuh diri karena kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain dan
beradaptasi dengan stressor).
c. Teori psikologi
Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa bunuh diri
merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri.
d. Penyebab lain :
1) Adanya harapan yang tidak dapat di capai
2) Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan
ketidakberdayaan
3) Cara untuk meminta bantuan
4) Sebuah tindakan untuk menyelesaikan masalah

2. Faktor-faktor yang mempegaruhi terjadi resiko bunuh diri


Adapun faktor-faktor yang mempegaruhi terjadi resiko
bunuh diri ada 2 faktor, yaitu:

a. Faktor predisposisi (faktor resiko)


Menurut Stuart (2005), faktor predisposisi yang menunjang perilaku resiko
bunuh diri antara lain:
1) Diagnostik Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri, mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa
yang dapat membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan
apektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Seseorang dengan pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial,
kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan atau
perceraian, kehilangan yang dini dan berkurangnya dukungan sosial
merupakan faktor penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor resiko penting untuk prilaku destruktif.
5) Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan
depominersik menjadi media proses yang dapat menimbulkan prilaku
destrukif diri.
b. Faktor Presipitasi

Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa


kejadian yang memalukan, seperti masalah interpersonal,
dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan, atau
ancaman pengurungan. Faktor pencetus seseorang melakukan
percobaan bunuh diri adalah:

1) Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan


interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
2) Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3) Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada
diri sendiri.
4) Cara untuk mengakhiri keputusan.
3. Rentang Bunuh Diri
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara
ekspresi orang yang penuh stress. Perilaku bunuh diri
berkembang dalam rentang diantaranya :
a. Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses kontemplasi dari
bunuh diri, atau sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/
tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan
idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian, perawat perlu
menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran tentang
keinginan untuk mati
b. Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah
melakukan perencanaan yang konkrit untuk melakukan bunuh diri
c. Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan
dan hasrat yan dalam , bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya
d. Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif
yang diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya
mengancam kehidupannya tetapi sudah pada percobaan untuk
melakukan bunuh diri. Hal ini terjadi karena individu mengalami
ambivalen antara mati, hidup dan tidak berencana untuk mati. Individu
ini masih memiliki kemauan untuk hidup, ingin di selamatkan, dan
individu ini sedang mengalami konflik mental. Tahap ini sering di
namakan “Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan
stres yang tidak mampu di selesaikan
e. Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang
mempunyai indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan
misalnya minum obat yang mematikan, walaupun demikian banyak
individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.

4. Pohon Masalah
Akibat Kematian Isolasi sosial HDR

Masalah Utama Resiko Bunuh Diri

Penyebab Isolasi sosial, HDR, Halusinasi, Waham, dlsb

C. Masalah dan Data yang Perlu dikaji


Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :
1. Riwayat masa lalu :
a. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
b. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
c. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia
d. Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
e. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline,
paranoid, antisosial, gangguan persepsi sensori, gangguan proses
pikir, dlsb
f. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka.
2. Symptom yang menyertainya
a. Apakah klien mengalami :
1) Ide bunuh diri
2) Ancaman bunuh diri
3) Percobaan bunuh diri
4) Sindrom mencederai diri sendiri yang disengaja
b. Derajat yang tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan dan
anhedonia dimana hal ini merupakan faktor krusial terkait dengan
resiko bunuh diri.
3. Bila individu menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk membunuh
diri mereka sendiri. Perlu dilakukan penkajian lebih mendalam lagi
diantaranya :
a. Cari tahu rencana apa yang sudah di rencanakan
b. Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya atau
perencanaan untuk melakukan aksinya yang sesuai dengan
rencananya.
c. Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai pasien untuk
merencanakan dan mengagas akan bunuh diri
d. Menentukan bagaiamana metoda yang mematikan itu mampu
diakses oleh klien.
e. Hal – hal yang perlu diperhatikan didalam melakukan pengkajian
tentang riwayat kesehatan mental klien yang mengalami resiko
bunuh diri :
f. Menciptakan hubungan saling percaya yang terapeutik
g. Memilih tempat yang tenang dan menjaga privasi klien
h. Mempertahankan ketenangan, suara yang tidak mengancam dan
mendorong komunikasi terbuka.
i. Menentukan keluhan utama klien dengan menggunakan kata – kata
yang dimengerti klien
j. Mendiskuiskan gangguan jiwa sebelumnya dan riwayat
pengobatannya
k. Mendaptakan data tentang demografi dan social ekonomi
l. Mendiskusikan keyakinan budaya dan keagamaan
m. Peroleh riwayat penyakit fisik klien

D. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada perilaku percobaab
bunuh diri:
1. Resiko bunuh diri
2. Harga diri rendah
3. Koping yang tak efektif

E. Rencana Tindakan Keperawatan


 Resiko Bunuh Diri
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
Pasien tetap aman dan selamat.
2. Tindakan
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka
Anda dapat melakukan tindakan berikut.
a. Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ke
tempat yang aman.
b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet, gelas,
tali pinggang.
c. Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika
pasien mendapatkan obat.
d. Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa Anda akan melindungi
pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Tujuan
Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam atau
mencoba bunuh diri.
2. Tindakan
a. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan pernah
meninggalkan pasien sendirian.
b. Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-
barang berbahaya di sekitar pasien.
c. Mendiskusikan dengan keluarga ja untuk tidak sering melamun sendiri.
d. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara
teratur.

 Isyarat Bunuh Diri


Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
a. Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya.
b. Pasien dapat mengungkapkan perasaanya.
c. Pasien dapat meningkatkan harga dirinya.
e. Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik
1. Tindakan
a. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu
dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman.
b. Meningkatkan harga diri pasien dengan cara berikut.
1) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.
2) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.
3) Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting.
4) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh
pasien.
5) Merencanakan aktivitas yang dapat pasien lakukan.
c. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara berikut.
1) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya.
2) Mendiskusikan dengan pasien efektivitas masing-masing cara
penyelesaian masalah.
3) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang
lebih baik.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga dengan Klien Isyarat Bunuh Diri
1. Tujuan
Keluarga mampu merawat pasien dengan risiko bunuh diri.
2. Tindakan
a. Mengajarkan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri.
1) Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang
pernah muncul pada pasien.
2) Mendiskusikan tentang tanda dan gejala yang umumnya muncul
pada pasien berisiko bunuh diri.
b. Mengajarkan keluarga cara melindungi pasien dari perilaku bunuh diri.
1) Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila
pasien memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri.
2) Menjelaskan tentang cara-cara melindungi pasien, antara lain
sebagai berikut.
a) Memberikan tempat yang aman. Menempatkan pasien di tempat
yang mudah diawasi. Jangan biarkan pasien mengunci diri di
kamarnya atau meninggalkan pasien sendirian di rumah.
b) Menjauhkan barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh
diri. Jauhkan pasien dari barang-barang yang bisa digunakan
untuk bunuh diri, seperti tali, bahan bakar minyak/bensin, api,
pisau atau benda tajam lainnya, serta zat yang berbahaya seperti
obat nyamuk atau racun serangga.
c) Selalu mengadakan dan meningkatkan pengawasan apabila
tanda dan gejala bunuh diri meningkat. Jangan pernah
melonggarkan pengawasan, walaupun pasien tidak
menunjukkan tanda dan gejala untuk bunuh diri.
3) Menganjurkan keluarga untuk melaksanakan cara tersebut di atas.
c. Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila
pasien melakukan percobaan bunuh diri, antara lain sebagai berikut.
1) Mencari bantuan pada tetangga sekitar atau pemuka masyarakat
untuk menghentikan upaya bunuh diri tersebut.
2) Segera membawa pasien ke rumah sakit atau puskesmas
mendapatkan bantuan medis.
d. Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang tersedia
bagi pasien.
1) Memberikan informasi tentang nomor telepon darurat tenaga
kesehatan.
2) Menganjurkan keluarga untuk mengantarkan pasien
berobat/kontrol secara teratur untuk mengatasi masalah bunuh
dirinya.
3) Menganjurkan keluarga untuk membantu pasien minum obat sesuai
prinsip lima benar yaitu benar orangnya, benar obatnya, benar
dosisnya, benar cara penggunakannya, dan benar waktu
penggunaannya
F. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)
SP 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik :
- Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun nonverbal
- Perkenalkan nama, nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan
- Tanyakan nama lengkap dan nama penggilan yang disukai klien
- Buat kontrak yang jelas
- Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi
- Tunjukan sikap empati dan menerima apa adanya
- Beri perhatian kepada klien dan masalah yang dihadapi klien
- Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien

SP 2 : Klien dapat mengenal penyebab resiko perilaku bunuh diri


Bantu klien mengungkapkan perasaan yang menyebabkan klien mempunyai ide
serta melakukan percobaan bunuh diri :
- Motivasi klien untuk menceritakan penyebab klien mempunyai ide bunuh diri
- Dengarkan tanpa menyela atau memberi penilaian setiap ungkapan perasaan
klien

SP 3 : Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku bunuh diri


Bantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku bunuh diri yang dialaminya :
- Motivasi klien menceritakan kondisi emosionalnya
- Motivasi klien menceritakan kondisi sosialnya

SP 4 : klien dapat mengidentifikasi perilaku percobaan bunuh diri yang pernah


dilakukan
Diskusikan dengan klien percobaan bunuh diri yang dilakukannya selama ini :
- Motivasi klien menceritakan tindakan apa saja yang sudah pernah dilakukan
untuk mengakhiri hidup
- Motivasi klien menceritakan perasaan setelah tindakan tersebut

Diskusikan apakah dengan tindakan tersebut masalah yang dialami klien teratasi
SP 5 : Klien dapat mengidentifikasi akibat tindakan yang sudah dilakukan untuk
bunuh diri
Diskusikan dengan klien akibat negatif cara yang dilakukan pada :
- Diri sendiri
- Orang lain
- Lingkungan

SP 6 : Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif untuk menghilangkan


keinginannya untuk bunuh diri
Diskusikan dengan klien :
- Apakah klien mau mempelajari cara baru untuk menghilangkan keinginannya
tanpa melakukan tindakan destruktif terhadap dirinya
- Jelaskan berbagai alternatif yang dapat dilakukan jika keinginan bunuh diri
muncul
- Jelaskan cara-cara sehat untuk menghilangkan keinginan untuk bunuh diri :
melakukan hobi klien, berdoa, minta bantuan orang lain jika muncul
keinginan bunuh diri, dan TAK

SP 7 : Klien dapat mendemonstrsikan cara mengontrol keinginan untuk bunuh


diri
- Diskusikan cara yang akan dipilih dan anjurkan klien memilih cara yang
mungkin sesuai dengan kondisi klien
- Bantu klien jika klien kesulitan untuk melakukan apa yang sudah dipilihnya

SP 8 : Klien mendapat dukungan keluarga untuk mengontrol perilaku bunuh diri


- Diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung klien untuk
mengatasi perilaku bunuh diri
- Diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi perilaku bunuh
diri
- Jelaskan pengertian, penyebab, akibat, dan cara merawat klien resiko bunuh
diri yang dapat dilakukan keluarga
- Peragakan cara merawat klien
- Beri kesempatan keluarga untuk memperagakan ulang
- Beri pujian pada keluarga setelah peragaan
- Tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatih

SP 9 : KLien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan


Jelaskan pada klien :
- Manfaat minum obat
- Kerugian tidak minum obat
- Nama obat
- Bentuk dan warna obat
- Dosis yang diberikan
- Waktu pemakaian
- Cara pemakaian
- Efek yang dirasakan
- Minta dan menggunakan obat tepat waktu
- Lapor ke perawat/dokter jika mengalami efek yang tidak biasa
- Beri pujian
- terhadap kedisiplinan klien menggunakan obat
DAFTAR PUSTAKA

Stuart, GW and Laraia (2005). Principles and practice of psychiatric nursing,


8ed. Philadelphia : Elsevier Mosby.
Captain, C, (2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume
6(3), May/June 2008, p 46–53. Philadelphia : Elsevier Mosby.
Stuart, GW and Laraia (2005). Principles and practice of psychiatric nursing,
8ed. Philadelphia : Elsevier Mosby.
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika
Aditama.
Yusuf. A, Fitriyasari R, Nihayati H.E. 2015. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN WAHAM

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Jiwa

Program Profesi Ners Angkatan XI

Disusun oleh :

AKBAR NAZUDA

KHGD21003

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XI

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

TA 2021-2022
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN WAHAM

A. Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat
atau terus-menerus, tapi tidak sesuai dengan kenyataan. Waham adalah termasuk
gangguan isi pikiran. Pasien meyakini bahwa dirinya adalah seperti apa yang ada
di dalam isi pikirannya. Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan
beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada penderita
skizofrenia (Yusuf, 2015)
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-
menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006)
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang
salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya klien (Aziz R, 2003).

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Fase terjadinya Waham
a. Fase kebutuhan manusia rendah (lack of human need)
Waham diawali dengan terbatasnya berbagai kebutuhan pasien baik secara
fisik maupun psikis. Secara fisik, pasien dengan waham dapat terjadi pada
orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya pasien
sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Hal itu
terjadi karena adanya kesenjangan antara kenyataan (reality), yaitu tidak
memiliki finansial yang cukup dengan ideal diri (self ideal) yang sangat
ingin memiliki berbagai kebutuhan, seperti mobil, rumah, atau telepon
genggam.
b. Fase kepercayaan diri rendah (lack of self esteem)
Kesenjangan antara ideal diri dengan kenyataan serta dorongan kebutuhan
yang tidak terpenuhi menyebabkan pasien mengalami perasaan menderita,
malu, dan tidak berharga.
c. Fase pengendalian internal dan eksternal (control internal and external)
Pada tahapan ini, pasien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia
yakini atau apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan,
dan tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, menghadapi kenyataan bagi
pasien adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk
diakui, dianggap penting, dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam
hidupnya, sebab kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara
optimal. Lingkungan sekitar pasien mencoba memberikan koreksi bahwa
sesuatu yang dikatakan pasien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan
secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjadi perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan pasien tidak merugikan orang
lain.
d. Fase dukungan lingkungan (environment support)
Dukungan lingkungan sekitar yang mempercayai (keyakinan) pasien
dalam lingkungannya menyebabkan pasien merasa didukung, lama-
kelamaan pasien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai
suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Oleh karenanya, mulai
terjadi kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (superego)
yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
e. Fase nyaman (comforting)
Pasien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat pasien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya, pasien lebih sering
menyendiri dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
f. Fase peningkatan (improving)
Apabila tidak adanya konfrontasi dan berbagai upaya koreksi, keyakinan
yang salah pada pasien akan meningkat. Jenis waham sering berkaitan
dengan kejadian traumatik masa lalu atau berbagai kebutuhan yang tidak
terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
2. Faktor yang mempengaruhi
a. Faktor Predisposisi
1) Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf
yang berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
2) Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks
limbic
3) Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan
glutamat.
4) Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
b. Faktor Presipitasi
1) Proses pengolahan informasi yang berlebihan
2) Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
3) Adanya gejala pemicu
3. Tanda dan Gejala
a. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakinninya (tentang agama,
kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan
b. Klien tampak tidak mempunyai orang lain
c. Curiga
d. Bermusuhan
e. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan
f. Takut dan sangat waspada
g. Tidak tepat menilai lingkungan/realitas
h. Ekspresi wajah tegang
i. Mudah tersingung
4. Klasifikasi Waham
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenisnya meliputi :
1. Waham kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya ini
direktur sebuah bank swasta lho..” atau “Saya punya beberapa perusahaan
multinasional”.
2. Waham curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya, serta diucapkan berulang kali tetapi tidak
sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya tahu..kalian semua memasukkan racun ke
dalam makanan saya”.
3. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, serta diucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Kalau saya mau
masuk surga saya harus membagikan uang kepada semua orang.”
4. Waham somatik
Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang penyakit,
serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya
sakit menderita penyakit menular ganas”, setelah pemeriksaan laboratorium
tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia
terserang kanker.
5. Waham nihilistik
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, serta diucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Ini kan alam kubur ya,
semua yang ada di sini adalah roh-roh”.
5. Rentang

Respon

C. Pohon Masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan

Perubahan Proses Pikir: Waham

Harga Diri Rendah

D. Masalah Keperawatan Dan Data Yang Perlu Dikaji


Menurut Kaplan dan Sadock (1997) beberapa hal yang harus dikaji antara lain
sebagai berikut.
1. Status mental
a. Pada pemeriksaan status mental, menunjukkan hasil yang sangat normal,
kecuali bila ada sistem waham abnormal yang jelas.
b. Suasana hati (mood) pasien konsisten dengan isi wahamnya.
c. Pada waham curiga didapatkannya perilaku pencuriga.
d. Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan
identitas diri dan mempunyai hubungan khusus dengan orang yang
terkenal.
e. Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya
kualitas depresi ringan.
f. Pasien dengan waham tidak memiliki halusinasi yang menonjol/menetap
kecuali pada pasien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa pasien
kemungkinan ditemukan halusinasi dengar.
2. Sensorium dan kognisi (Kaplan dan Sadock, 1997)
a. Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang
memiliki waham spesifik tentang waktu, tempat, dan situasi.
b. Daya ingat dan proses kognitif pasien dengan utuh (intact).
c. Pasien waham hampir seluruh memiliki daya tilik diri (insight) yang jelek.
d. Pasien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya,
keputusan yang terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi pasien
adalah dengan menilai perilaku masa lalu, masa sekarang, dan yang
direncanakan.

Tanda dan gejala waham dapat juga dikelompokkan sebagai berikut.


1. Kognitif
a. Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata.
b. Individu sangat percaya pada keyakinannya.
c. Sulit berpikir realita.
d. Tidak mampu mengambil keputusan.
2. Afektif
a. Situasi tidak sesuai dengan kenyataan.
b. Afek tumpul.

E. Diagnosa Keperawatan
 Perubahan Proses Pikir: Waham
F. Rencana Tindakan Keperawatan
 Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap.
c. Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar.
d. Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.
e. Pasien menggunakan obat dengan prinsip lima benar.
2. Tindakan
a. Bina hubungan saling percaya.
1) Mengucapkan salam terapeutik.
2) Berjabat tangan.
3) Menjelaskan tujuan interaksi.
4) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b. Bantu orientasi realitas.
1) Tidak mendukung atau membantah waham pasien.
2) Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman.
3) Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari.
4) Jika pasien terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa
memberikan dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti
membicarakannya.
5) Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan
realitas.
c. Diskusikan kebutuhan psikologis atau emosional yang tidak terpenuhi
sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah.
1) Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan
emosional pasien.
2) Berdiskusi tentang kemampuan positif yang dimiliki.
3) Bantu melakukan kemampuan yang dimiliki.
4) Berdiskusi tentang obat yang diminum.
5) Melatih minum obat yang benar.
 Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Tujuan
a. Keluarga mampu mengidentifikasi waham pasien.
c. Keluarga mampu memfasilitasi pasien untuk memenuhi kebutuhan yang
dipenuhi oleh wahamnya.
d. Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan pasien secara
optimal..
2. Tindakan
a. Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami pasien.
b. Diskusikan dengan keluarga tentang hal berikut.
1) Cara merawat pasien waham di rumah.
2) Follow up dan keteraturan pengobatan.
3) Lingkungan yang tepat untuk pasien.
c. Diskusikan dengan keluarga tentang obat pasien (nama obat, dosis,
frekuensi, efek samping, akibat penghentian obat).
d. Diskusikan dengan keluarga kondisi pasien yang memerlukan konsultasi
segera.

G. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)

SP 1: Membina hubungan saling percaya; mengidentifikasi kebutuhan yang tidak


terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan; mempraktekkan pemenuhan
kebutuhan yang tidak terpenuhi

ORIENTASI:

“Assalamualaikum, perkenalkan nama saya Ani, saya perawat yang dinas pagi
ini di ruang melati. Saya dinas dari pk 07-14.00 nanti, saya yang akan merawat
abang hari ini. Nama abang siapa, senangnya dipanggil apa?”
“Bisa kita berbincang-bincang tentang apa yang bang D rasakan sekarang?”
“Berapa lama bang D mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15
menit?” “Dimana enaknya kita berbincang-bincang, bang?”
KERJA:

“Saya mengerti bang D merasa bahwa bang D adalah seorang nabi, tapi sulit
bagi saya untuk mempercayainya karena setahu saya semua nabi sudah tidak
adalagi, bisa kita lanjutkan pembicaraan yang tadi terputus bang?”
“Tampaknya bang D gelisah sekali, bisa abang ceritakan apa yang bang D
rasakan?”
“O... jadi bang D merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain dan tidak punya
hak untuk mengatur diri abang sendiri?”
“Siapa menurut bang D yang sering mengatur-atur diri abang?”
“Jadi ibu yang terlalu mengatur-ngatur ya bang, juga kakak dan adik abang yang
lain?”
“Kalau abang sendiri inginnya seperti apa?”
“O... bagus abang sudah punya rencana dan jadual untuk diri sendiri”
“Coba kita tuliskan rencana dan jadual tersebut bang”
“Wah..bagus sekali, jadi setiap harinya abang ingin ada kegiatan diluar rumah
karena bosan kalau di rumah terus ya”

TERMINASI

“Bagaimana perasaan B setelah berbincang-bincang dengan saya?”


”Apa saja tadi yang telah kita bicarakan? Bagus”
“Bagaimana kalau jadual ini abang coba lakukan, setuju bang?”
“Bagaimana kalau saya datang kembali dua jam lagi?”
”Kita bercakap-cakap tentang kemampuan yang pernah Abang miliki? Mau di
mana kita bercakap-cakap? Bagaimana kalau di sini lagi?”

SP 2: Mengidentifikasi kemampuan positif pasien dan membantu


mempraktekkannya

ORIENTASI
“Assalamualaikum bang D, bagaimana perasaannya saat ini? Bagus!”
“Apakah bang D sudah mengingat-ingat apa saja hobi atau kegemaran abang?”
“Bagaimana kalau kita bicarakan hobi tersebut sekarang?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang tentang hobi bang D tersebut?”
“Berapa lama bang D mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 20 menit
tentang hal tersebut?”

KERJA
“Apa saja hobby abang? Saya catat ya Bang, terus apa lagi?”
“Wah.., rupanya bang D pandai main volley ya, tidak semua orang bisa bermain
volley seperti itu lho B”(atau yang lain sesuai yang diucapkan pasien).
“Bisa bang D ceritakan kepada saya kapan pertama kali belajar main volley,
siapa yang dulu mengajarkannya kepada bang D, dimana?”
“Bisa bang D peragakan kepada saya bagaimana bermain volley yang baik itu?”
“Wah..baik sekali permainannya”
“Coba kita buat jadual untuk kemampuan bang D ini ya, berapa kali
sehari/seminggu bang D mau bermain volley?”
“Apa yang bang D harapkan dari kemampuan bermain volley ini?”
“Ada tidak hobi atau kemampuan bang D yang lain selain bermain volley?”

TERMINASI
“Bagaimana perasaan bang D setelah kita bercakap-cakap tentang hobi dan
kemampuan abang?”
“Setelah ini coba bang D lakukan latihan volley sesuai dengan jadual yang telah
kita buat ya?”
“Besok kita ketemu lagi ya bang?”
“Bagaimana kalau nanti sebelum makan siang? Di kamar makan saja, ya
setuju?”
“Nanti kita akan membicarakan tentang obat yang harus bang D minum, setuju?”

SP 3 Pasien :Mengajarkan dan melatih cara minum obat yang benar

ORIENTASI
“Assalamualaikum bang D.”
“Bagaimana bang sudah dicoba latihan volleynya? Bagus sekali”
“Sesuai dengan janji kita dua hari yang lalu bagaimana kalau sekarang kita
membicarakan tentang obat yang bang D minum?”
“Dimana kita mau berbicara? Di kamar makan?”
“Berapa lama bang D mau kita berbicara? 20 atau 30 menit?

KERJA
“Bang D berapa macam obat yang diminum/ Jam berapa saja obat diminum?”
“ Bang D perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya juga
tenang”
“Obatnya ada tiga macam bang, yang warnanya oranye namanya CPZ gunanya
agar tenang, yang putih ini namanya THP gunanya agar rileks, dan yang
merah jambu ini namanya HLP gunanya agar pikiran jadi teratur. Semuanya
ini diminum 3 kali sehari jam 7 pagi, jam 1 siang, dan jam 7 malam”.
“Bila nanti setelah minum obat mulut bang D terasa kering, untuk membantu
mengatasinya abang Disa banyak minum dan mengisap-isap es batu”.
“Sebelum minum obat ini bang D dan ibu mengecek dulu label di kotak obat
apakah benar nama B tertulis disitu, berapa dosis atau butir yang harus diminum,
jam berapa saja harus diminum. Baca juga apakah nama obatnya sudah benar”
“Obat-obat ini harus diminum secara teratur dan kemungkinan besar harus
diminum dalam waktu yang lama. Agar tidak kambuh lagi sebaiknya bang D tidak
menghentikan sendiri obat yang harus diminum sebelum berkonsultasi dengan
dokter”.
TERMINASI
“Bagaimana perasaan bang D setelah kita bercakap-cakap
tentang obat yang bang D minum?. Apa saja nama obatnya? Jam berapa minum
obat?”
“Mari kita masukkan pada jadual kegiatan abang. Jangan lupa minum obatnya dan
nanti saat makan minta sendiri obatnya pada suster”

“Jadwal yang telah kita buat kemarin dilanjutkan ya Bang!”


“bang, besok kita ketemu lagi untuk melihat jadwal kegiatan yang telah
dilaksanakan. Bagaimana kalau seperti biasa, jam 10 dan di tempat sama?”

“Sampai besok.”
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna. 2006. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta :

FIK, Universitas Indonesia

Aziz R, dkk. 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: RSJD Dr.

Amino Gondoutomo.

Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1.

Bandung, RSJP Bandung.

Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta :

Salemba Medika

Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .

Yusuf. A, Fitriyasari R, Nihayati H.E. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan

Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.


LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN

DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Jiwa

Program Profesi Ners Angkatan XI

Disusun oleh :

AKBAR NAZUDA

KHGD21003

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XI

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

TA 2021-2022
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN DEFISIT
PERAWATAN DIRI

A. Pengertian

Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami kelainan


dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, tidak
menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan tidak
rapi. Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah yang timbul pada
pasien gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa kronis sering mengalami
ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif
dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun masyarakat
(Yusuf, 2015).

Herdman (2012) mendefinisi defisit perawatan diri sebagai suatu gangguan


didalam melakukan aktifitas perawatan diri (kebersihan diri, berhias, makan,
toileting). Sedangkan perawatan diri merupakan salah satu kemampuan dasar
manusia untuk memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupan,
kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya (Nurhalimah,
2016).

Klien dengan gangguan jiwa hampir semuanya mengalami defisit


perawatan diri. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan dan ketidakberdayaan
yang berhubungan dengan keadaannya sehingga terjadilah deiisit perawatan diri
(Muslim, 2010).

Menurut Nanda (2018), jenis perawatan diri terdiri dari:

1. Defisit perawatan diri: mandi


Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi
/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
2. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan kegiatan berhias atau berpakaian
untuk diri sendiri.
3. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan aktivitas atau kegiatan makan
untuk diri sendiri.
4. Defisit perawatan diri : eliminasi/toileting
Hambatan kemampuan untuk menyelesaikan kegiatan atau aktivitas
toileting secara mandiri.

B. Proses Terjadinya Masalah


Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi
akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias diri
secara mandiri, dan toileting (buang air besar [BAB] atau buang air kecil [BAK])
secara mandiri (Yusuf, 2015).
Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabakan individu mengalami
defisit perawatan diri, yaitu:
1. Faktor prediposisi
a. Biologis, seringkali defisit perawaan diri disebabkan karena adanya
penyakit fisik dan mental yang menyebabkan pasien tidak mampu
melakukan perawatan diri dan adanya faktor herediter yaitu ada
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
b. Psikologis, factor perkembangan memegang peranan yang tidak kalah
penting hal ini dikarenakan keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan individu sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
Pasien gangguan jiwa mengalamai defisit perawatan diri dikarenakan
kemampuan realitas yang kurang sehingga menyebabkan pasien
tidakpeduli terhadap diri dan lingkungannya termasuk perawatan diri.
c. Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri (Nurhalimah, 2106)
2. Presipitasi
Faktor presiptasi yang dapat menimbulkan defisit perawatan diri adalah
penurunan motivasi, kerusakan kognitif atau persepsi, cemas, lelah, lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri.
3. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

P Kadang perawatan diri tidak R


o seimbang
l
e
a s
4. Pohon Masalah
p
p
e
Resiko Tinggi Isolasi Sosial Effect o
r
a
n
w

a
Defisit Perawatan
t
Diri Core Problem i
a d
n↓
a
Harga Diri
d Rendah Causa
k
i
Pohon Masalah
r Defisit perawatan Diri (Fitria, 2009).
i m
C. Data Yang Perlu Dikaji
s
e
e Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan l
i
m
observasi kepada pasien dan keluarga. Tanda dan gejala defisit a
b perawatan diri yang dapat ditemukan dengan wawancara, k
a
n melalui pertanyaan sebagai berikut: u
g k
a
1. Coba ceritakan kebiasaan/ cara pasien dalam membersihkan diri? n
2. Apa yang menyebabkan pasien malas mandi, mencuci rambut, menggosok
gigi dan,menggunting kuku? p
e
r
a
w
a
t
3. Bagaimana pendapat pasisen tentang penampilan dirinya? Apakah pasien
puas dengan penampilan sehari-hari pasien?
4. Berapa kali sehari pasien menyisir rambut , berdAndan, bercukur (untuk
laki-laki) secara teratur?
5. Menurut pasien apakah pakaian yang digunakan sesuai dengan kegiatan
yang akan dilakukan
6. Coba ceritakan bagaimana kebiasaaan pasien mandi sehari-hari ?
peeralatan mandi apa saja yang digunakan pasien ?
7. Coba ceritakan bagaimana kebiasaan makan dan minum pasien ?
8. Menurut pasien apakah alat makan yang digunakan sesuai dengan
fungsinya ?
9. Coba ceritakan apa yang pasien lakukan ketikan selesai BAB atau BAK ?
10. Apakah pasien membersihkan diri dan tempat BAB dan BAK setelah BAB
dan BAK?
11. Tanyakan mengenai pengetahuan pasien mengenai cara perawatan diri
yang benar

Tanda dan gejala defisit perawatan diri yang dapat


ditemukan melalui observasi adalah sebagai berikut :

1. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.
2. Ketidakmampuan berhias/berdandan, ditandai dengan rambut acak-acakan,
pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki
tidak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
3. Ketidakmampuan makan dan minum secara mandiri, ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan dan minum sendiri, makan
berceceran, dan makan tidak pada tempatnya.

4. Ketidakmampuan BAB dan BAK secara mandiri, ditandai dengan BAB


dan BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik
setelah BAB dan BAK
D. Diagnosa Keperawatan

Defisit perawatan diri : Kebersihan diri, berdandan,


makan dan minum, BAB dan BAK

E. Rencana Tindakan Keperawatan


Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
d. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
2. Tindakan Keperawatan
a. Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
Untuk melatih pasien dalam menjaga kebersihan diri, Anda dapat
melakukan tahapan tindakan berikut.
1) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
2) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri.
3) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri.
4) Melatih pasien mempraktikkan cara menjaga kebersihan diri.
b. Melatih pasien berdandan/berhias.
Anda sebagai perawat dapat melatih pasien berdandan. Untuk pasien
laki-laki tentu harus dibedakan dengan wanita.
1) Untuk pasien laki-laki latihan meliputi:
a) berpakaian,
b) menyisir rambut,
c) bercukur

2) Untuk pasien wanita, latihannya meliputi:


a) berpakaian,
b) menyisir rambut,
c) berhias.
c. Melatih pasien makan secara mandiri.
Untuk melatih makan pasien, Anda dapat melakukan tahapan sebagai
berikut.
1) Menjelaskan cara mempersiapkan makan.
2) Menjelaskan cara makan yang tertib.
3) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan.
4) Praktik makan sesuai dengan tahapan makan yang baik.
d. Pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri.
Anda dapat melatih pasien untuk BAB dan BAK mandiri sesuai
tahapan berikut.
1) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai.
2) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK.
3) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK.

Tindakan Keperawatan pada Keluarga


1. Tujuan
Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah
kurang perawatan diri.
2. Tindakan keperawatan
Untuk memantau kemampuan pasien dalam melakukan cara perawatan
diri yang baik, maka Anda harus melakukan tindakan kepada keluarga
agar keluarga dapat meneruskan melatih pasien dan mendukung agar
kemampuan pasien dalam perawatan dirinya meningkat. Tindakan yang
dapat Anda lakukan antara lain sebagai berikut.
a. Diskusikan dengan keluarga tentang masalah yang dihadapi keluarga
dalam merawat pasien.
b. Jelaskan pentingnya perawatan diri untuk mengurangi stigma.
c. Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang
dibutuhkan oleh pasien untuk menjaga perawatan diri pasien.
d. Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri pasien dan
membantu mengingatkan pasien dalam merawat diri (sesuai jadwal
yang telah disepakati).
e. Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan pasien
dalam merawat diri.
f. Latih keluarga cara merawat pasien dengan defisit perawatan diri.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A., et al. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Nurhalimah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta : Pusdik
SDM Kesehatan

Stuart dan Laraia. 2005. Principles and Pratice of Psychiatric Nursing, 8 th


Edition. St. Louis: Mosby.

Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier

Yusuf. A, Fitriyasari R, Nihayati H.E. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan


Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(Basic


Course). Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN
KECEMASAN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Jiwa


Program Profesi Ners Angkatan XI

Disusun oleh :

AKBAR NAZUDA
KHGD21003

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XI

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

TA 2021-2022

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN KECEMASA


A. Pengertian
Ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan
dengan perasaan tidak pasti dan tidak percaya diri. Keadaan emosi ini tidak
memiliki obyek yang spesifik. Ansietas dialami secara subjektif dan
dikomunikasikan secara interpersonal. Ansietas berbeda dengan rasa takut, yang
merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Ansietas adalah
respon emosional terhadap penilaian tersebut. Kapasitas untuk menjadi cemas
diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat ansietas yang berat tidak sejalan
dengan kehidupan. (Stuart, 2007).
Kecemasan adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar karena
ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu respons (penyebab tidak
spesifik atau tidak diketahui oleh individu). Perasaan takut dan tidak menentu
sebagai sinyal yang menyadarkan bahwa peringatan tentang bahaya akan datang
dan memperkuat individu mengambil tindakan menghadapi ancaman (Yusuf,
2015).
Ansietas adalah perasaan waswas, khawatir, takut yang tidak jelas atau tidak
nyaman atau khawatir yang samar disertai respon otonom (sumber sering kali
tidak spesifik atau tidak diketahui individu); perasaan takut yang disebabkan oleh
antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang
memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk
bertindak menghadapi ancaman (NANDA, 2018)

B. Rentan Respon Tingkat Kecemasan


1. Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-
hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan
lahan persepsinya. Ansietas menumbuhkan motivasi belajar serta
menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
2. Ansietas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan perhatian
pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga
seseorang mengalami perhatian yang selektif tetapi dapat melakukan
sesuatu yang lebih terarah.
3. Ansietas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Adanya
kecenderungan untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik
dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan
untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
4. Tingkat panik dari ansietas berhubungan dengan ketakutan dan merasa
diteror, serta tidak mampu melakukan apapun walaupun dengan
pengarahan. Panik meningkatkan aktivitas motorik, menurunkan
kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi menyimpang, serta
kehilangan pemikiran rasional.
Rentang Respon Ansietas (Stuart, 2007)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Ringan Sedang Berat


Panik

C. Proses Terjadinya Masalah


1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (1998) terdapat beberapa
teori yang dapat menjelaskan ansietas, di antaranya sebagai
berikut:
a. Faktor Biologis
Otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine, yang
membantu mengatur ansietas. Penghambat GABA juga berperan utama
dalam mekanisme biologis timbulnya ansietas sebagaimana halnya
dengan endorfin. Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan
selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor.
b. Faktor Psikologis
1) Pandangan Psikoanalitik. Ansietas adalah konflik emosional yang
terjadi antara antara 2 elemen kepribadian – id dan superego. Id
mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego
mencerminkan hati nurani seseorang yang dikendalikan oleh norma-
norma budaya seseorang. Ego atau aku berfungsi menengahi
tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas
adalah mengingatkan ego bahwa akan bahaya.
2) Pandangan Interpersonal, Ansietas timbul dari perasaan takut
terhadap penerimaan dan penolakan interpersonal. Ansietas
berhubungan dengan kejadian trauma, seperti perpisahan dan
kehilangan dari lingkungan maupun orang yang berarti bagi pasien,.
Individu dengan harga diri rendah sangat mudah mengalami
perkembangan ansietas yang berat.
3) Pandangan Perilaku, Ansietas merupakan produk frustasi yaitu
segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku menganggap
ansietas sebagai dorongan belajar dari dalam diri unntuk
menghindari kepedihan. Individu yang sejak kecil terbiasa
menghadapi ketakutan yang berlebihan lebih sering menunjukkan
ansietas dalam kehidupan selanjutnya dibandingkan dengan individu
yang jarang menghadapi ketakutan dalam kehidupannya.
c. Sosial budaya. Ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam
keluarga. Faktor ekonomi, latar belakang pendidikan berpengaruh
terhadap terjadinya ansietas.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi ansietas dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan
fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk
melakukan aktivitas hidup sehari - hari.
b. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan
identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
Pohon Masalah Ansietas

Risiko mencederai diri sendiri, orang lain


dan lingkungan

Gangguan perilaku : kecemasan Core Problem

Koping individu tak efektif

S
t
D. Data Yang Perlu Dikaji
Berikut adalah data yang harus dikaji pada pasien ansietas :
a. Perilaku
Ditandai dengan produktivitas menurun, mengamati dan waspada,
kontak mata minimal, gelisah, pergerakan berlebihan (seperti; foot
shuffling, pergerakan lengan/ tangan), insomnia dan perasaan gelisah.
b. Afektif
Menyesal, iritabel, kesedihan mendalam, takut, gugup, sukacita
berlebihan, nyeri dan ketidakberdayaan meningkat secara menetap,
ketidakpastian, kekhawatiran meningkat, fokus pada diri sendiri,
perasaan tidak adekuat, ketakutan, khawatir, prihatin dan mencemaskan
c. Fisiologis
Respon fisiologis pada pasien kecemasan tampak dengan adanya suara
bergetar, gemetar/ tremor tangan atau bergoyang-goyang.refleks-refleks
meningkat Eksitasi kardiovaskuler seperti peluh meningkat, wajah
tegang, mual, jantung berdebar-debar, mulut kering, kelemahan, sukar
bernafas vasokonstriksi ekstremitas, kedutanmeningkat, nadi meningkat
dan dilatasi pupil. Sedangkan perilaku pasien akibat respon fisiologis
pada sistem parasimpatis yaitu sering berkemih, nyeri abdomen dan
gangguan tidur. perasaan geli pada ekstremitas, diarhea, keragu-raguan,
kelelahan, bradicardia, tekanan darah menurun, mual, keseringan
berkemih pingsan dan tekanan darah meningkat.
d. Kognitif
Respon kognitif pada pasien ansietas yaitu hambatan berfikir, bingung,
pelupa, konsentrasi menurun, lapang persepsi menurun, Takut terhadap
sesuatu yang tidak khas, cenderung menyalahkan orang lain, sukar
berkonsentrasi, Kemampuan berkurang untuk memecahkan masalah
dan belajar.
E. Diagnosa Keperawatan
Kecemasan
F. Intervensi
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
a. Pasien mampu mengenal ansietas.
b. Pasien mampu mengatasi ansietas melalui teknik relaksasi.
c. Pasien mampu memperagakan dan menggunakan teknik relaksasi
untuk mengatasi ansietas.
2. Tindakan keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan
agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi. Tindakan
yang harus dilakukan dalam membina hubungan saling percaya adalah
sebagai berikut.
1) Mengucapkan salam terapeutik.
2) Berjabat tangan.
3) Menjelaskan tujuan interaksi.
4) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu
pasien.
b. Bantu pasien mengenal ansietas
1) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menguraikan
perasaannya.
2) Bantu pasien menjelaskan situasi yang menimbulkan ansietas.
3) Bantu pasien mengenal penyebab ansietas.
4) Bantu pasien menyadari perilaku akibat ansietas.
c. Ajarkan pasien teknik relaksasi untuk meningkatkan kontrol dan rasa
percaya diri.
1) Pengalihan situasi.
2) Latihan relaksasi dengan tarik napas dalam, mengerutkan, dan
mengendurkan otot-otot.
3) Hipnotis diri sendiri (latihan lima jari).
d. Motivasi pasien melakukan teknik relaksasi setiap kali ansietas
muncul.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


1. Tujuan:
a. Keluarga mampu mengenal masalah ansietas pada anggota
keluarganya.
b. Keluarga mampu memahami proses terjadinya masalah ansietas.
c. Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami ansietas.
d. Keluarga mampu mempraktikkan cara merawat pasien dengan
ansietas.
e. Keluarga mampu merujuk anggota keluarga yang mengalami ansietas.
2. Tindakan keperawatan
a. Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
b. Diskusikan tentang proses terjadinya ansietas serta tanda dan gejala.
c. Diskusikan tentang penyebab dan akibat dari ansietas.
d. Diskusikan cara merawat pasien dengan ansietas dengan cara
mengajarkan teknik relaksasi.
1) Mengalihkan situasi.
2) Latihan relaksasi dengan napas dalam, mengerutkan, dan
mengendurkan otot.
3) Menghipnotis diri sendiri (latihan lima jari).
e. Diskusikan dengan keluarga perilaku pasien yang perlu dirujuk dan
bagaimana merujuk pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A., et al. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Nurhalimah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta : Pusdik
SDM Kesehatan

Stuart dan Laraia. 2005. Principles and Pratice of Psychiatric Nursing,


8thEdition. St. Louis: Mosby.

Suliswati, dkk. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Varcarolis. 2006. Fundamentalis of Psychiatric Nursing Edisi 5. St.Louis;


Elsevier.

Yusuf. A, Fitriyasari R, Nihayati H.E. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan


Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN

DENGAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Jiwa

Program Profesi Ners Angkatan XI

Disusun oleh :

AKBAR NAZUDA

KHGD21003

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XI

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

TA 2021-2022

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN


DENGAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

A. Pengertian

Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu


yang sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit
dihindari (Stuart, 2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang
dicintai, dan kesempatan. Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu
respons emosional normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan
masalah. Seorang individu harus diberikan kesempatan untuk menemukan
koping yang efektif dalam melalui proses berduka, sehingga mampu
menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan berduka dan merupakan
bagian dari proses kehidupan.

Kehilangan dapat terjadi terhadap objek yang bersifat aktual,


dipersepsikan, atau sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari objek
yang hilang, dapat merupakan objek eksternal, orang yang berarti,
lingkungan, aspek diri, atau aspek kehidupan. Berbagai hal yang mungkin
dirasakan hilang ketika seseorang mengalami sakit apalagi sakit kronis
(Yusuf, 2015).

Berduka merupakan respons terhadap kehilangan. Berduka


dikarakteristikkan sebagai berikut.

1. Berduka menunjukkan suatu reaksi syok dan ketidakyakinan.


2. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat kembali
kejadian kehilangan.
3. Berduka menunjukkan perasaan tidak nyaman, sering disertai dengan
menangis, keluhan sesak pada dada, tercekik, dan nafas pendek.
4. Mengenang orang yang telah pergi secara terus-menerus.
5. Mengalami perasaan berduka.
6. Mudah tersinggung dan marah.
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Rentang Respons Emosi
Respon Adaptif Respon Maladaptif

• Menangis, menjerit, menyangkal, • Diam/tidak menangis


menyalahkan diri sendiri, menawar, • Menyalahkan diri
bertanyatanya. berkepanjangan.
• Membuat rencana untuk yang akan • Rendah diri.
datang. • Mengasingkan diri.
• Berani terbuka tentang kehilangan. • Tak berminat hidup.
Situasi emosi sebagai respons kehilangan dan berduka
seorang individu berada dalam rentang yang fluktuatif, dari
tingkatan yang adaptif sampai dengan maladaptif.

2. Tahapan Proses Kehilangan dan Berduka


Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang :
a. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas
tiga proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta
restitusi.
1) Syok dan tidak percaya
Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat
menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya
memang dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi
kepedihan dan secara perlahan untuk menerima kenyataan kematian.
2) Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang
lain, perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui
berbagai cara, dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam
perasaan yang dalam.

3) Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan
kehilangan.
b. Fase jangka panjang
1) Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
2) Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang
tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada
beberapa individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri,
sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan
menggunakan alkohol.
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase
awal, pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan
berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa
kehilangan yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu
memutuskan untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk
melanjutkan kehidupan. Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi
kembali dalam kegiatan sosial.

3. Tahapan Proses Kehilangan


Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial),
marah (anger), penawaran (bargaining),depresi (depression), dan penerimaan
(acceptance) atau sering disebut dengan DABDA. Setiap individu akan
melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui
bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia,
bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi.
a. Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak
percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan,
mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi
apa-apa dan pura-pura senang. Manifestasi yang mungkin muncul antara
lain sebagai berikut.
1) “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
2) “Diagnosis dokter itu salah.”
3) Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam,
panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta
merasa tak nyaman.
4) Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme
pertahanan (defense mechanism) terhadap rasa cemas.
5) Pasien perlu waktu beradaptasi.
6) Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan
menggunakan pertahanan yang tidak radikal.
7) Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan
dengan kematian, tapi tidak demikian dengan emosional.
b. Tahap Marah (Anger)
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan
kehilangan. Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang
diproyeksikan kepada orang lain atau benda di sekitarnya. Reaksi fisik
menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan
mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal seperti berikut.
1) Emosional tak terkontrol.
“Mengapa aku?”
“Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
2) Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan
terhadap orang atau lingkungan.
3) Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik.
“Peraturan RS terlalu keras/kaku.”
“Perawat tidak becus!”
4) Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari
sisi pandang keluarga dan staf rumah sakit.
5) Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan
perasaan yang akan mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.

c. Tahap Penawaran (Bargaining)


Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap
tawar-menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “....seandainya
saya tidak melakukan hal tersebut. mungkin semua tidak akan terjadi
......” atau “misalkan dia tidak memilih pergi ke tempat itu ... pasti semua
akan baik-baik saja”, dan sebagainya. Respons pasien dapat berupahal
sebagai berikut.
1) Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa
bersalah pada masa hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
2) Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan
waktu hidup, terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.
3) Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-
menawar dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau
diungkapkan secara tersirat atau diungkapkan di ruang kerja pribadi
pendeta.
“Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan
tidak menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin
akan lebih berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang
lebih baik.” “Bila saya sembuh, saya akan…….”
4) Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali
perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang lain.
d. Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar
akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu
menarik diri, tidak mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus
asa. Secara fisik, individu menolak makan, susah tidur, letih, dan
penurunan libido.
Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa
yang terjadi pada anak-anak bila saya tidak ada?” atau “Dapatkah
keluarga saya mengatasi permasalahannya tanpa kehadiran saya?”
Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang
penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap
penerimaan dan damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien
yang dapat mengatasi kesedihan dan kegelisahannya.
e. Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus
pemikiran terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan
terhadap kenyataan kehilangan mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang
hilang tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada
objek lain yang baru. Individu akan mengungkapkan, “Saya sangat
mencintai anak saya yang telah pergi, tetapi dia lebih bahagia di alam
yang sekarang dan saya pun harus berkonsentrasi kepada pekerjaan
saya.........”
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan
mengakhiri proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di
satu tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap
penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila
terjadi kehilangan kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai
tahap penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah proses yang
disfungsional.
C. Data Yang Perlu Dikaji
1. Faktor Predisposisi
a. Genetik
Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan dalam
keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan mengalami kesulitan
dalam bersikap optimis dan menghadapi kehilangan.
b. Kesehatan fisik
Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur
mempunyai kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik
dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan fisik.
c. Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat
kepekaan yang tinggi terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk
kambuh kembali.
d. Pengalaman kehilangan sebelumnya
Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di masa kanak-
kanak akan memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi
kehilangan di masa dewasa.
2. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi
individu dan kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit,
kehilangan fungsi seksual, kehilangan harga diri, kehilangan pekerjaan,
kehilangan peran, dan kehilangan posisi di masyarakat.
3. Perilaku
a. Menangis atau tidak mampu menangis.
b. Marah.
c. Putus asa.
d. Kadang berusaha bunuh diri atau membunuh orang lain.
D. Diagnosa Keperawatan
1. Berduka berhubungan dengan kehilangan aktual.
2. Berduka disfungsional.
3. Berduka fungsional

E. Rencana Tindakan Keperawatan


• Prinsip intervensi
1. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial) adalah
memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara
berikut.
a. Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan.
b. Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan
kehilangan pasien secara emosional.
c. Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan menghukum dan
menghakimi.
d. Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran pada individu yang
mengalami kehilangan.
e. Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan, menepuk bahu,
dan merangkul.
f. Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang sederhana, jelas, dan
singkat.
g. Amati dengan cermat respons pasien selama bicara.
2. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah dengan
memberikan dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk
mengungkapkan marahnya secara verbal tanpa melawan kemarahannya.
Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah adalah ekspresi frustasi dan
ketidakberdayaan.
a. Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah, menangis).
b. Dengarkan dengan empati.
c. Jangan mencela.
d. Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung.
3. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bargaining)
adalah membantu pasien mengidentifikasi perasaan bersalah dan perasaan
takutnya.
a. Amati perilaku pasien.
b. Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien.
c. Tingkatkan harga diri pasien.
d. Cegah tindakan merusak diri.
4. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah mengidentifikasi
tingkat depresi, risiko merusak diri, dan membantu pasien mengurangi rasa
bersalah.
a. Observasi perilaku pasien.
b. Diskusikan perasaan pasien.
c. Cegah tindakan merusak diri.
d. Hargai perasaan pasien.
e. Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif.
f. Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan.
g. Bahas pikiran yang timbul bersama pasien.
5. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance) adalah
membantu pasien menerima kehilangan yang tidak dapat dihindari dengan
cara berikut.
a. Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien.
b. Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.
• Tindakan Keperawatan
Tindakan Keperawatan pada Pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
b. Pasien dapat mengenali peristiwa kehilangan yang dialami pasien.
c. Pasien dapat memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan
keadaan dirinya.
d. Pasien dapat mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang
dialaminya.
e. Pasien dapat memanfaatkan faktor pendukung.
2. Tindakan
a. Membina hubungan saling percaya dengan pasien.
b. Berdiskusi mengenai kondisi pasien saat ini (kondisi pikiran, perasaan,
fisik, sosial, dan spiritual sebelum/sesudah mengalami peristiwa
kehilangan serta hubungan antara kondisi saat ini dengan peristiwa
kehilangan yang terjadi).
c. Berdiskusi cara mengatasi berduka yang dialami.
1) Cara verbal (mengungkapkan perasaan).
2) Cara fisik (memberi kesempatan aktivitas fisik).
3) Cara sosial (sharing melalui self help group).
4) Cara spiritual (berdoa, berserah diri).
d. Memberi informasi tentang sumber-sumber komunitas yang tersedia untuk
saling memberikan pengalaman dengan saksama.
e. Membantu pasien memasukkan kegiatan dalam jadwal harian.
f. Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa di puskesmas.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


1. Tujuan
a. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.
b. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.
c. Keluarga dapat mempraktikkan cara merawat pasien berduka
disfungsional.
d. Keluarga dapat memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.
2. Tindakan
a. Berdiskusi dengan keluarga tentang masalah kehilangan dan berduka dan
dampaknya pada pasien.
b. Berdiskusi dengan keluarga cara-cara mengatasi berduka yang dialami
oleh pasien.
c. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan
berdukadisfungsional.
d. Berdiskusi dengan keluarga sumber-sumber bantuan yang dapat
dimanfaatkan oleh keluarga untuk mengatasi kehilangan yang dialami oleh
pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A., et al. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Nurhalimah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta : Pusdik
SDM Kesehatan

Stuart dan Laraia. 2005. Principles and Pratice of Psychiatric Nursing,


8thEdition. St.Loius: Mosby.

Stuart, G. W, dan Sundeen, S. J. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3.


Jakarta: EGC.

Suliswati, dkk. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Yusuf. A, Fitriyasari R, Nihayati H.E. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan


Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN

DENGAN KEPUTUSASAAN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Jiwa

Program Profesi Ners Angkatan XI

Disusun oleh :

AKBAR NAZUDA

KHGD21003

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XI

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

TA 2021-2022
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN
KEPUTUSASAAN DAN KETIDAKBERDAYAAN

A. Pengertian
Keputusasaan merupakan keadaan subjektif seorang individu yang
melihat keterbatasan atau tidak ada alternatif atau pilhan pribadi yang tersedia
dan tidak dapat memobilisasi energy yang dimilikinya (NANDA, 2005).
Keputusasaan merupakan keadaan subjektif seorang individu yang melihat
keterbatasan atau tidak ada alternatif atau pilhan pribadi yang tersedia dan
tidak dapat memobilisasi energy yang dimilikinya (NANDA, 2005).

Keputusaasan merupakan perasaan seorang individu yang melihat


keterbatasan atau tidak adanya alternatif atau pilihan dalam menyelesaikan
masalahnya.

Ketidakberdayaan adalah pengalaman hidup kurang pengendalian


terhadap situasi, termasuk persepsi bahwa tindakan seseorang secara
signifikan tidak akan mempengaruhi hasil (NANDA-I, 2018).
Ketidakberdayaan adalah persepsi seseorang bahwa tindakannya tidak akan
memengaruhi hasil secara bermakna; suatu keadaan ketika individu kurang
dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan
(Stuart, 2016).

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala menurut, Keliat (2005) adalah:
a. Ungkapan klien tentang situasi kehidupan tanpa harapan dan terasa
hampa (”Saya tidak dapat melakukan sesuatu”)
b. Sering mengeluh dan nampak murung
c. Kurang bicara atau tidak mau berbicara sama sekali
d. Menunjukkan kesedihan, afek datar atau tumpul.
e. Menarik diri dari lingkungan
f. Kontak mata kurang
g. Mengangkat bahu tanda masa bodoh
h. Nampak selalu murung atau blue mood
i. Menurun atau tidak adanya selera makan
j. Peningkatan waktu tidur
k. Penurunan keterlibatan dalam perawatan
l. Bersikap pasif dalam menerima perawatan
m. Penurunan keterlibatan atau perhatian pada orang lain yang bermakna
n. Dapat merupakan lanjutan ansietas
2. Faktor penyebab
Beberapa faktor penyebab orang mengalami keputusasaan yaitu :
a. Faktor kehilangan
b. Kegagalan yang terus menerus
c. Faktor Lingkungan
d. Orang terdekat ( keluarga )
e. Status kesehatan ( penyakit yang diderita dan dapat mengancam jiwa)
f. Adanya tekanan hidup
g. Kurangnya iman
3. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon


Maladaptif

R R S R M
e
e
e u a a
a k
s p s n
k
p r i i
4. Faktor Predisposisi s
o gangguan alam
i e k a
a. Faktor genetik , transimisi perasaan diteruskan melalui
e
garis keturunan. n s h /
k i
s , perasaan marah
b. Berbalik pada diri sendiri i
yang dialihkan l
pada diri
e a
i
sendiri. (kehilangan obyek atau orangh ) sehingga menyalahkan diri D
n
f g e
sendiri. i a
l n p
a y r
n a
n
e
g
g s
a
n
m i
e
m
c. Faktor perkembangan , individu tidak berdaya mengatasi kehilangan.
d. Akibat gangguan perkembangan terhadap penilaian diri ( pesimis ,
tidak berharga , tidak ada harapan )
e. Modal belajar ketidakberdayaan adanya pengalaman kegagalan ,
menjadi pasif dan tidak mampu menghadapi masalah .
f. Modal perilaku karena kurang penguatan positif selama bereaksi
dengan lingkungan .
g. Modal biologi , perubahan kimiawi , defisiensi katekolamin , tidak
berfungsinya endokrin dan hipersekresi kortisol.

5. Faktor Presipitasi
a. Faktor biologis
Ketidak seimbangan metabolisme, kususnya obat anti hipertensi dan
zat adiktif
b. Faktor Psikologis
1) Kehilangan kasih sayang (kehilangan cinta, harga diri )
2) Faktor sosiokultural
3) Kejadian penting dalam kehidupan
4) Banyak peran dan konflik peran

C. Data yang harus dikaji


Keputusasaan
1. Data Mayor
a. Subyektif : Mengungkapkan keputusasaan
b. Obyektif : Berprilaku pasif
2. Data Minor
a. Subyektif :
1) Sulit tidur
2) Selera makan menurun
b. Obyektif :
1) Afek datar
2) Kurang inisiatif
3) Meninggalkan lawan bicara
4) Kurang terlibat dalam aktivitas perawatan
5) Mengangkat bahu sebagai respon pada lawan bicara
Ketidakberdayaan
1. Data Subjektif :
a. Mengatakan secara verbal ketidakmampuan mengendalikan atau
mempengaruhi situasi .
b. Mengatakan tidak dapat menghasilkan sesuatu .
c. Mengatakan ketidakmampuan perawatan diri .
2. Objektif :
a. Tidak berpartisipasi dalam pengendalian keputusan saat kesempatan
diberikan.
b. Segan mengekspresikan perasan yang sebenarnya.
c. Apatis, pasif.
d. Ekspresi muka murung.
e. Bicara dengan gerakan lambat.
f. Nafsu makan tidak ada atau berlebihan.
g. Tidur berlebihan.
h. Menghindari orang lain.

D. Diagnosa
Keputusasaan

E. Rencana Tindakan Keperawatan


Tindakan pada klien
1. Tindakan keperawatan ners
a. Kaji tanda dan gejala ketidakberdayaan.
b. Jelaskan proses terjadinya ketidakberdayaan.
c. Latih cara mengendalikan situasi.
1) Diskusikan situasi hidup yang tidak dapat dikendalikan.
2) Diskusikan situasi hidup yang dapat dikendalikan.
3) Latih cara-cara mengendalikan situasi hidup yang dapat dikendali- 3)
kan.
4) Beri penguatan dan pujian.
d. Latih cara mengendalikan pikiran.
1) Diskusikan pikiran negatif dan pikiran tidak rasional.
2) Latih pikiran positif dan rasional.
3) Latih mengembangkan harapan positif dan lakukan afirmasi positif
4) Beri penguatan dan pujian.
e. Latih peran yang dapat dilakukan.
1) Diskusikan peran yang dimiliki, yang dapat dilakukan dan yang tidak
dapat dilakukan.
2) Latih peran yang dapat dilakukan.
3) Beri penguatan dan pujian.
2. Tindakan keperawatan spesialis:
a. Terapi Kognitif:
1) Sesi 1: Mengidentifikasi pengalaman yang tidak menyenangkan dan
menimbulkan pikiran otomatis negatif
2) Sesi 2: Melawan pikiran otomatis negatif
3) Sesi 3: Memanfaatkan sistem pendukung
4) Sesi 4: Mengevaluasi manfaat melawan pikiran negatif
b. Terapi kognitif perilaku
1) Sesi 1: Mengidentifikasi pengalaman yang dan menimbulkan pikiran
otomatis negatif dan perilaku negatif tidak menyenangkan
2) Sesi 2: Melawan pikiran otomatis negatif
3) Sesi 3: Mengubah perilaku negatif menjadi positif
4) Sesi 4: Memanfaatkan sistem pendukung
5) Sesi 5: Mengevaluasi manfaat melawan pikiran negatif dan mengubah
perilaku negatif
c. Logoterapi: Medical ministry
1) Sesi 1: Identifikasi masalah yang dihadapi, perubahan yang ter dan
masalah yang dialami
2) Sesi 2: Identifikasi respons terhadap masalah psikososial dan ca
mengatasinya, tambahkan respons bio dan sosial
3) Sesi 3: Logoterapi dengan teknik medical ministry
4) Sesi 4: Evaluasi manfaat
d. Terapi penerimaan komitmen (acceptance comitment therapy)
1) Sesi 1: Mengidentifikasi pengalaman/kejadian yang tidak
meyenangkan
2) Sesi 2: Mengenali keadaan saat ini dan menemukan nilai-nilai terkait
pengalaman yang tidak menyenangkan
3) Sesi 3: Berlatih menerima pengalaman/kejadian tidak menyenang- kan
dan menggunakan nilai-nilai yang dipilih klien
4) Sesi 4: Berkomitmen menggunakan nilai-nilai yang dipilih klien untuk
mencegah kekambuhan (Keliat, 2019)

Tindakan pada keluarga


1. Tindakan keperawatan ners
a. Kaji masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien yang
mengalami ketidakberdayaan.
b. Jelaskan pengertian, penyebab, tanda dan gejala, serta proses terjadinye
ketidakberdayaan serta mengambil keputusan merawat klien.
c. Latih keluarga cara merawat dan membimbing kdien mengatasi ketida
berdayaan sesuai dengan asuhan keperawatan yang telah diberikan.
d. Latih keluarga menciptakan suasana keluarga yang mendukung meng-
atasi ketidakberdayaan.
e. Diskusikan tanda dan gejala ketidakberdayaan yang memerlukan rujukan
segera serta menganjurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan
secara teratur.
2. Tindakan keperawatan spesialis: Psikoedukasi keluarga (family
psychoeducation)
a. Sesi 1: Mengidentifikasi masalah kesehatan yang dialami klien dan a.
masalah kesehatan keluarga (care giver) dalam merawat klien
b. Sesi 2: Merawat masalah kesehatan klien
c. Sesi 3: Manajemen stres untuk keluarga
d. Sesi 4: Manajemen beban untuk keluarga
e. Sesi 5: Memanfaatkan sistem pendukung
f. Sesi 6: Mengevaluasi manfaat psikoedukasi keluarga

Tindakan pada kelompok klien


Tindakan keperawatan spesialis: Terapi suportif
1. Sesi 1: Identifikasi masalah dan sumber pendukung di dalam dan di luar
keluarga
2. Sesi 2: Latihan menggunakan sistem pendukung dalam keluarga
3. Sesi 3: Latihan menggunakan sistem pendukung luar keluarga
4. Sesi 4: Evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber pendukung

Tindakan Kolaborasi
1. Melakukan kolaborasi dengan dokter menggunakan ISBAR dan TBaK.
2. Memberikan terapi dokter (obat) kepada klien: Edukasi 8 benar prinsip
pemberian obat dengan menggunakan konsep safety pemberian obat.
3. Mengobservasi manfaat dan efek samping obat.
(Keliat, 2019)

F. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan


SP 1 Pasien : Assesmen keputusasaan dan latihan berfikir positif
melalui penemuan harapan dan makna hidup
1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil
pasien sesuai nama panggilan yang disukai
b) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih pengendalian perasaan putis
asa agar proses penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan
pengendalian perasaan putus asa
3) Bantu pasien mengenal keputusasaan:
a) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaan
sedih/ kesendirian/ keputusasaannya.
b) Bantu pasien mengenal penyebab putus asa
c) Diskusikan perbedaan antara perasaan dan pikiran klien terhadap
kondisinya dengan kondisi real kondisi klien
d) Bantu pasien menyadari akibat putus asa
e) Dukung klien untuk mengungkapkan pengalaman yang mendukung
pikiran, perasaan dan perilaku positif
2) Latih restrukturisasi pikiran melalui latihan berpikir positif dengan
mengidentifikasi harapan dan penemuan makna hidup
SP 2 Pasien : Evaluasi keputusaan, manfaat berfikir positif, dan
latihan melakukan aktivitas untuk menumbuhkan harapan dan makna
hidup
1) Pertahankan rasa percaya pasien
a) Mengucapkan salam dan memberi motivasi
b) Asesmen ulang keputusasaan dan kemampuan melakukan
restrukturisasi pikiran
2) Membuat kontrak ulang: cara mengatasi keputusaaan
3) Diskusikan aspek positif diri sendiri, keluarga, dan lingkungan
4) Diskusikan kemampuan positif diri sendiri
5) Latih satu kemampuan positif
6) Tekankan bahwa kegiatan melakukan kemampuan positif berguna
untuk menumbuhkan harapan dan makna hidup

SP1 Keluarga: Penjelasan kondisi pasien dan cara merawat:


1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri
b) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan keputusasaan pasien dan
cara merawat agar proses penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan cara
merawat pasien dengan keputusasaan
3) Bantu keluarga mengenal putus asa pada pasien:
a) Menjelaskan keputusasaan, penyebab, proses terjadi, tanda dan gejala,
serta akibatnya
b) Menjelaskan cara merawat pasien dengan putus asa: menumbuhkan
harapan positif melalui restrukturisasi pikiran melalui penemuan
harapan dan makna hidup serta melatih kemampuan positif
c) Sertakan keluarga saat melatih restrukturisasi pikiran dan latihan
kemampuan positif

SP 2 Keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat pasien, cara merawat


dan follow up
1) Pertahankan rasa percaya keluarga dengan mengucapkan salam,
menanyakan peran keluarga merawat pasien & kondisi pasien
2) Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat dan follow up
3) Menyertakan keluarga saat melatih pasien melatih kemampuan positif
4) Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah follow up dan
kondisi pasien yang perlu dirujuk (muncul ide bunuh diri atau perilaku
pengabaian diri) dan cara merujuk pasien
DAFTAR PUSTAKA

Azis, R. (2003). Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino
Gondoutomo.
Keliat, B.A. (2005). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: EGC
Keliat, B.A., et al. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Stuart, G.W. (2016). Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 6. Jakarta: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN

DENGAN HDR SITUASIONAL

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Jiwa

Program Profesi Ners Angkatan X

Disusun oleh :

SITI RAHMALIA NURAENI

KHGD20006

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN X

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT


TA 2020-2021
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN

HDR SITUASIONAL

A. Pengertian
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berarti, dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi diri negatif terhadap diri sendiri,
penurunan harga rendah ini dapat bersifat situasional maupun kronis atau
menahun (Keliat dkk, 2011). Menurut NANDA (2015) Harga Diri Rendah
didefinisikan sebagai evaluasi diri negatif yang berkembang sebagai respons diri
terhadap hilangnya atau berubahnya perawatan diri pada seseorang yang
sebelumnya memiliki evaluasi diri negatif (Wahyuni, 2017).
Harga diri rendah situasional adalah perasaan diri/ evaluasi diri negatif yang
berkembang sebagai respon terhadap hilangnya atau berubahnya perawatan diri
seseorang yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif dan bila tidak dapat
diatasi dapat menyebabkan harga diri rendah kronis (Suliswati, 2005).
Harga diri rendah situasional terjadi bila seseorang mengalami trauma yang
terjadi secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan, cerai, putus sekolah,
putus hubungan kerja, perasaan malu karena sesuatu terjadi, misalnya korban
pemerkosaan, dituduh KKN, dipenjara secara tiba-tiba (Dalami dkk, 2009).
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Rentang Respon Konsep Diri
Adapun rentang respon gangguan konsep diri: harga diri rendah adalah
transisi antara respons konsep diri adaptif dan maladaptif. Penjabarannya
adalah sebagai berikut.

a. Aktualisasi diri adalah pernyataan tentang konsep diri yang positif


dengan latar belakang pengalaman yang sukses.
b. Konsep diri positif adalah individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam perwujudan dirinya.
c. Harga diri rendah adalah keadaan dimana individu mengalami atau
berisiko mengalami evaluasi diri negatif tentang kemampuan diri.
d. Kekacauan identitas adalah kegagalan individu mengintegrasikan
aspek-aspek identitas masa anak-anak kedalam kematangan
kepribadian oada remaja yang harmonis.
e. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistik dan merasa
asing dengan diri sendiri, yang berhubungan dengan kecemasan,
kesulitan membedakan diri sendiri dari orang lain dan tubuhnya
sendiri tidak nyata dan asing baginya.
2. Faktor Penyebab
a. Faktor predisposisi
1) Faktor yang mempengaruhi harga diri, meliputi penolakan
orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan
yang berulang, kurang memiliki tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak
realistis.
2) Faktor yang memengaruhi performa peran adalah steriotif
peran gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran
budaya. Nilai-nilai budaya yang tidak dapat diikuti oleh
individu.
3) Faktor yang memengaruhi identitas pribadi, meliputi
ketidakpercayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya,
dan perubahan struktur sosial.
b. Stresor pencetus
Stresor pencetus dapat berasal dari sumber internal dan elsternal,
yaitu sebagai berikut:
1) Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau
menyaksikan peristiwa yang mengancam kehidupan.
2) Ketergantungan peran, berhubungand engan peran atau posisi
yang diharapkan dan individu mengalaminya seperti frustasi.
Ada tiga jenis transisi peran:
a) Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif
yang berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk
tahap perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga
dan norma-norma budaya, nilai-nilai, serta tekanan untuk
menyesuaikan diri.
b) Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau
berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran atau
kematian.
c) Transisi peran sehat-sakit, terjadi akibat pergeseran dari
keadaan sehat ke keadaan sakit. Transisi ini dapat dicetuskan
oleh: kehilangan bagian tubuh: perubahan ukuran, bentuk,
penampilan atau fungsi tubuh; perubahan fisik yang
berhubungan dengan tumbuh kembang normal, prosedur
medis, dan keperawatan.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari harga diri rendah pada seseorang berbeda-beda
dan bervariasi antara individu satu dengan lainnya, tetapi biasanya
dimanifestasikan sebagai berikut.
a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit/ tindakan,
misalnya: malu karena alopesia setelah dilakukan tindakan
kemoterapi.
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri, menyalahkan, mengkritik,
mengejek diri sendiri.
c. Merendahkan martabat: saya tidak bisa, saya bodoh, saya tidak
tahu apa-apa, saya tidak mampu.
d. Gangguan hubungan sosial.
e. Percaya diri kurang, sukar mengambil keputusan.
f. Mencederai diri
g. Mudah marah, mudah tersinggung
h. Apatis, bosan, jenuh dan putus asa
i. Kegagalan menjalankan peran, proyeksi (menyalahkan orang lain).
C. POHON DIAGNOSIS
Keputusasaan

Ketidakberdayaan

Harga Diri Rendah Situasional

K G G
Keterangan e a a
t n n
D. i
MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG g PERLU DIKAJI g
d
Masalah keperawatan g sebagai berikut:
yang mungkin timbul adalah g

1. a
Harga diri rendah situasional u u

2. k
Keefektifan koping a a

3. e tubuh
Gangguan citra n n

4. f
Gangguan identitas personal
5. e
Ketidakberdayaan C I
k i d
6. Keputusasaan
t t e
Data yang perlu dikaji untuk klien yang mengalami harga diri rendah
i r n
situasional sebagai berikut.
f a t
1. Data Sujektif:
a i
Contoh:
n T t
“Setelah kaki saya diamputasi saya sudah tidak berharga lagi.”
u a
“Saya tidak mampu menjadi atlet yang dibanggakan keluarga setelah
K b s
kehilangan kaki saya.”
o u
“Saya tidak mampu melakukan peran dan fungsi sebagai kepala
p h P
keluarga lagi.”
i e
2. Data Objektif:
n r
a. Perasaan negatif terhadap diri sendiri
g s
o
n
a
l
b. Menarik diri dari kehidupan
c. Kritik terhadap diri sendiri
d. Destruktif terhap diri sendiri dan orang lain
e. Mudah tersinggung/ mudah marah
f. Produktivitas menurun
g. Penolakan terhadap diri sendiri
h. Keluhan fisik
E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Harga diri rendah situasional
2. Ketidakefektifan koping
3. Gangguan citra tubuh
4. Gangguan identitas personal
5. Ketidakberdayaan
6. Keputusasaan

F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


 Tindakan pada klien
1. Tindakan keperawatan ners
1. Kaji tanda dan gejala harga diri rendah situasional.
2. Jelaskan proses terjadinya harga diri rendah situasional.
3. Latih cara meningkatkan harga diri klien.
1) Membuat daftar aspek positif dan kemampuan yang dimiliki.
2) Menilai aspek positif dan kemampuan yang masih dapat
dilakukan. Bantu melakukan pujian pada diri sendiri (self
reinforcement).
3) Memilih aspek positif dan kemampuan yang masih dapat
dilakukan untuk dilatih.
4) Melatih aspek positif dan kemampuan yang masih dapat
dilakukan untuk dilatih secara pertahap.
5) Membuat rencana latihan yang teratur secara bertahap.
2. Tindakan keperawatan spesialis:
a. Terapi kognitif:
1) Sesi 1: Mengidentifikasi pengalaman yang tidak menyenangkan
dan menimbulkan pikiran otomatis negatif
2) Sesi 2: Melawan pikiran otomatis negatif
3) Sesi 3: Memanfaatkan sistem pendukung
4) Sesi 4: Mengevaluasi manfaat melawan pikiran negatif
b. Terapi kognitif perilaku:
1) Sesi 1: Mengidentifikasi pengalaman yang tidak menyenangkan
dan menimbulkan pikiran otomatis negatif dan perilaku negatif
2) Sesi 2: Melawan pikiran otomatis negatif
 Tindakan pada keluarga
1. Tindakan keperawatan ners
a. Kaji masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
b. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala, serta proses terjadinya harga
diri rendah situasional.
c. Latih keluarga cara merawat dan membimbing klien meningkatkan
harga diri sesuai dengan asuhan keperawatan pada klien. Motivasi
kelu. arga memberikan pujian atas keberhasilan klien (other
reinforcement).
d. Latih keluarga menciptakan suasana keluarga yang mendukung
pening- katan harga diri klien. Diskusikan tanda dan gejala harga diri
rendah situasional yang memerlukan rujukan segera serta
menganjurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan secara
teratur.
2. Tindakan Keperawatan spesialis: Psikoedukasi keluarga (family psycho
education)
a. Sesi 1: Mengidentifikasi maslah kesehatan yang dialami klien dan
masalah kesehatan keluarga (care giver) dalam merawat klien
b. Sesi 2: Merawat masalah kesehatan klien 2.
c. Sesi 3: Manajemen stres untuk keluarga
d. Sesi 4: Manajemen beban untuk keluarga
e. Sesi 5: Memanfaatkan sistem pendukung
f. Sesi 6: Mengevaluasi manfaat psikoedukasi keluarga
3. Tindakan pada kelompok klien
Tindakan keperawatan spesialis: Terapi suportif.
a. Sesi 1: Identifikasi masalah dan sumber pendukung di dalam dan di
luar keluarga.
b. Sesi 2: Latihan menggunakan sistem pendukung dalam keluarga.
c. Sesi 3: Latihan menggunakan sistem pendukung luar keluarga
d. Sesi 4: Evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber
pendukung
4. Tindakan Kolaborasi
a. Kolaborasi dengan dokter.
1) Melakukan kolaborasi dengan dokter dengan menggunakan
ISBAR dan TBAK.
2) Memberikan terapi dokter (obat) kepada klien: Edukasi 8 benar
prinsip pemberian obat dengan menggunakan konsep safety
pemberian obat.
3) Mengobservasi manfaat dan efek samping obat.
b. Kolaborasi dengan psikiater sesuai dengan kebutuhan.

G. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)


 SPTK pada Klien
1. Tujuan
a. Klien mampu meningkatkan kesadaran tentang hubungan positif
antara harga diri dan pemecahan masalah yang efektif
b. Klien mampu melakukan keterampilan positif untuk meningkatkan
harga diri
c. Klien mampu melakukan pemecahan masalah dan melakukan umpan
balik yang efektif
d. Klien mampu menyadari hubungan yang positif antara harga diri dan
kesehatan fisik

2. Tindakan Keperawatan
a. Mendiskusikan harga diri rendah : penyebab, proses terjadinya
masalah, tanda dan gejala dan akibat
b. Membantu pasien mengembangkan pola pikir positif
c. Membantu mengembangkan kembali harga diri positif melalui melalui
kegiatan positif

SP1 Pasien: Asesmen harga diri rendah dan latihan melakukan kegiatan
positif:
1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil pasien
sesuai nama panggilan yang disukai
b) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih pengendalian ansietas agar proses
penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan
pengendalian ansietas
3) Bantu pasien mengenal harga diri rendah:
a) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya.
b) Bantu pasien mengenal penyebab harga diri rendah
c) Bantu klien menyadari perilaku akibat harga diri rendah
d) Bantu pasien dalam menggambarkan dengan jelas keadaan evaluasi diri
yang positif yang terdahulu
4) Bantu pasien mengidentifikasi strategi pemecahan yang lalu, kekuatan,
keterbatasan serta potensi yang dimiliki
5) Jelaskan pada pasien hubungan antara harga diri dan kemampuan
pemecahan masalah yang efektif
6) Diskusikan aspek positif dan kemampuan diri sendiri, keluarga, dan
lingkungan
7) Latih satu kemampuan positif yang dimiliki
8) Latih kemampuan positif yang lain
9) Tekankan bahwa kegiatan melakukan kemampuan positif berguna untuk
menumbuhkan harga diri positif
SP 2 Pasien : Evaluasi harga diri rendah, manfaat latihan melakukan
kemampuan positif 1, melatih kemampuan positif 2
1) Pertahankan rasa percaya pasien
a) Mengucapkan salam dan memberi motivasi
b) Asesmen ulang harga diri rendah dan kemampuan melakukan kegiatan
positif
2) Membuat kontrak ulang: cara mengatasi harga diri rendah
3) Latih kemampuan positif ke 2
4) Evaluasi efektifitas melakukan kegiatan positif untuk meningkatkan harga
diri
5) Tekankan kembali bahwa kegiatan melakukan kemampuan positif
berguna untuk menumbuhkan harga diri
 SPTK Pada Keluarga
1. Tujuan
a. Keluarga mampu mengenal masalah harga diri rendah pada anggota
keluarganya
b. Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami harga
diri rendah
c. Keluarga mampu memfollow up anggota keluarga yang mengalami
harga diri rendah
2. Tindakan Keperawatan
a. Mendiskusikan kondisi pasien: keputusaan, penyebab, proses terjadi,
tanda dan gejala, akibat
b. Melatih keluarga merawat pasien dengan harga diri rendah
c. Melatih keluarga melakukan follow up

SP1 Keluarga: Penjelasan kondisi pasien dan cara merawat:


2) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri
b) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan keputusasaan pasien dan
cara merawat agar proses penyembuhan lebih cepat
3) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan cara
merawat pasien dengan harga diri rendah
4) Bantu keluarga mengenal putus asa pada pasien:
a) Menjelaskan harga diri rendah, penyebab, proses terjadi, tanda dan
gejala, serta akibatnya
b) Menjelaskan cara merawat pasien dengan harag diri rendah:
menumbuhkan harga diri positif melalui melakukan kegiatan positif
c) Sertakan keluarga saat melatih latihan kemampuan positif

SP 2 Keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat pasien, cara merawat


dan follow up
a) Pertahankan rasa percaya keluarga dengan mengucapkan salam,
menanyakan peran keluarga merawat pasien & kondisi pasien
b) Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat dan follow up
c) Menyertakan keluarga saat melatih pasien melatih kemampuan positif
ke 2
d) Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah, follow up dan
kondisi pasien yang perlu dirujuk (kondisi pengabaian diri dan
perawatan dirinya) dan cara merujuk pasien
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, dkk. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Masalah Psikososial.

Jakarta : Trans Info Media.

Keliat, B.A., et al. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Nurhalimah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta : Pusdik

SDM Kesehatan

Stuart, (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi : Lima. Jakarta : EGC

Suliswati, dkk. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta :

EGC.

Yusuf. A, Fitriyasari R, Nihayati H.E. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan

Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai