Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di masa yang sarat akan nuansa persaingan ini, perkembangan ilmu i

pengetahuan dan teknologi serta perdagangan bebas yang begitu pesat

merupakan ciri globalisasi, realita ini berdampak pada semua sektor termasuk

i sektor kesehatan. Saat ini pemberi pelayanan kesehatan termasuk kesehatan

jiwa harus mampu memberikan pelayanan prima dalam mencegah dani

menanggulangi gangguan jiwa/mental (Yosep, 2007)

Gangguan jiwa adalah bagian dari problematika kesehatan yang

disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis, genetik ,fisik atau

kimiawi dengan jumlah yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun

2014 diperkirakan prevalensi gangguan jiwa di dunia berkisar 516 juta jiwa

(WHO, 2015). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ditahun 2013 sebesar 1,7 juta jiwa

per mil.

Prevalensi gangguan jiwa di Sulawesi Selatan, khususnya di Rumah

Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan cenderung meningkat dari

tahun ke tahun. Jumlah penderita gangguan jiwa di Rumah Sakit Khusus

Daerah Provinsi Sulawesi Selatan ditahun 2016 adalah 15.160 jiwa dimana

penderita halusinasi dengan persentase sekitar 52 % dari sekian diagnosa

1
2

gangguan jiwa lainnya. Dengan demikian pasien halusinasi di Rumah Sakit

Daerah Provinsi Sulawesi Selatan ditahun 2016 sejumlah 7.853 jiwa.

Berdasarkan prevalensi gangguan jiwa yang cukup meningkat,

terutama pada i penderita halusinasi yang diakibatkan tingginya mobilisasi

sosial dan kebutuhan masyarakat, tentunya memengaruhi persepsi individu,

keluarga dan masyarakat dalam memaknai hakikat kehidupan.

Persepsi adalah salah satu elemen yang berpengaruh terhadap

pemaknaan dalam kehidupan ini. Proses diterimanya rangsang sampaii

rangsang tersebut disadari dan dimengerti panca indera atau biasa disebut

dengan persepsi itu pun tidak luput dari gangguan. Gangguan persepsi

ditandai dengan ketidakmampuan individu dalam membedakan antara

rangsangan yang timbul dari sumber internal (pikiran, perasaan) dan stimulus

eksternal seperti dari lingkungan sekitar atau orang lain. Adanya persepsi yang

salah atau tidak sehat secara mental dapat menimbulkan halusinasi.

Menurut Departemen Kesehatan (2001), halusinasi adalah gerakan

penyerapan (persepsi) panca indera tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat

meliputi semua sistem penginderaan yang terjadi pada saat kesadaran individu

penuh/baik. Perubahan dalam jumlah atau pola stimulus yang datang disertai

gangguan respon yang kurang, berlebihan, atau distorsi terhadap stimulus juga

dapat diartikan sebagai halusinasi (Nanda-l, 2012). Salah satu gejala yang

sering ditemukan pada penderita gangguan jiwa adalah halusinasi. Menurut

Yosep (2007), halusinasi yang paling sering djumpai dapat berupa bunyi
3

mendenging atau suara bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering

terdengar sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna.

Pasien yang mengalami halusinasi ini sukar miengontrol diri sehingga

sulit untuk bersosialisasi dan cenderung untuk menarik diri. Selain itu, pasien

halusinasi juga sering berbicara sendiri, terbiasa mengkhayal, sulit tidur,

merasa cemas dan marah-marah tanpa sebab yang jelas, terutama pada tahap

ke-V (Conquering panic level of anciety) dimana pasien mulai merasa

teraricamn dengan datangnya suara-suara sehingga berisiko untuk menciderai

diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Oleh karena itu, perawat jiwa sebagai

pemberi asuhan keperawatan harus profesional dan dapat mempertanggung

awabkan asuhan yang diberikan secara ilmiah dalam membantu klien

mengontrol halusinasi.

Berdasarkan hasil penelitian oleh Purniaty Kamahi, dkik di Rumah

Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan (2015) yang menyimpulkan

bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari ketarampilan pemberian asuhan

keperawatan terhadap kemampuan dalam mengontrol halusinasi di Rumah

Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan adanya landasan

teori dan hasil riset tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dipandang perlu

asuhan keperawatan terhadap keman.puan pasien mengontrol halusinasi.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan

asuhan keperawatan dengan pendekatan studi kasus pada pasien halusinasi

pendengaran dengan judul "Asuhan Keperawatan Gangguan Persepsi Sensori


4

Terhadap Kemampuan Pasien Mengontrol Halusinasi Pendengaran di Ruang

Kenanga RSKD Provinsi Sulawesi Selatan".

B. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran Asuhan Keperawatan Gangguan Persepsi

Sensori Terhadap Kemampuan Pasien Mengontrol Halusinasi Pendengaran di

Ruang Kenanga RSKD Provinsi Sulawesi Selatan.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Memperoleh gambaran asuhan keperawatan gangguan persepsi sensor

terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi pendengaran di Ruang

Kenanga RSKD Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengkajian asuhan keperawaian gangguan persepsi

sensori terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi

pendengaran.

b. Untuk mengetahui diagnosa asuhan keperawatan gangguan persepsi

sensori terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi

pendengaran.

c. Untuk mengetahui intervensi asuhan keperawatan gangguan persepsi

sensori terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi

pendengaran.
5

d. Untuk mengetahui implementasi asuhan keperawatan gangguan

persepsi sensori terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi

pendengaran.

e. Untuk mengetahui evaluasi asuhan keperawatan gangguan persepsi

sensori terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi

pendengaran

D. Manfaat

1. Pasien dan keluarga Meningkatkan kemampuan pasien dan keluarga dalam

kemandirian pasien mengontrol halusinasi pendengaran.

2. Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatar Menambah keluasan

ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan dalam mengontrol

halusinasi pendengaran dengan pemberian asuhan keperawatan.

3. Peneliti Memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan

asuhan keperawatan pada gangguan persepsi sensori, khususnya terhadap

kemampuan pasien mengontrol halusinasi

4. Pihak Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Menjadi

sumber informasi bagi perawat, khususnya dalam merawat klien gangguan

persepsi sensori: halusinasi pendengaran.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dasar Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi

1. Pengertian

Halusinasi adalah Suatu Keadaan hilangnya kemampuan individu

dalam membedakan antara rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan

eksternal (dunia luar).Klien memberi Persepsi atau pendapat tentang

lingkungan tanpa objekk atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh

klien mendengar suara-suara tetapi pada kenyyataanya tetapi tidak ada

orang berbicara.(Abdul muhith, 2015).

Halusinasi adalah prespsi tanpa dijumpai adanya rangsangan dari

luar. Walaupun tanpak sebagai sesuatu yang “Khayal”, Halusinasi

sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang “

Teresepsi “ ( Yose, 2017).

Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau polah stimulus yang

datang disertai gangguan respon yang kurang, berlebihan, atau distorsi

terhadap stimulus tersebut (Nanda-I, 2015)

Halusinasi merupakan bentuk gangguan Persepsi dimana individu

mengalami Kehilangan kemampuan dalam membedakan rangsangan

internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien dengan

diagnose halusinasi, 70 % mengalami halusinasi dan 30% mengalami

Waham. Dari klien yang mengalami waham ditemukan 35%-nya

6
7

mengalami halusinasi. Klien skizofrenia dan psikotik lain, 20% mengalami

campuran halusinasi pendengaran dan penglihatan (Stuart dan Sundeen,

2016).

Halusinasi adalah gangguan Persepsi sensori dari suatu obyek tanpa

adanya rangsangan dari luar, gangguan Persepsi sensori ini meliputi

seluruh panca indra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan

jiwa yang pasien mengalami perubahan sesnsori Persepsi, serta meraskan

sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau

penciuman.Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada.

2. Rentang Respon Neurobiologis

Menurut Stuart dan Sundeen dalam Yosep, Sutini (2015) rentang

respon klien ditinjau dari interaksinya dengan lingkungan sosial

merupakan suatu kontinum yang berbentang antara respon adaptif dan

maladaptive sebagai berikut :

Rentang Respon Halusinasi

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Pikiran logis Kadang proses pikir Gangguan proses
Presepsi akurat
tidak terganggu berpikir/waham

Emosi konsisten Ilusi Halusinasi


dengan pengalaman
Emosi tidak stabil Kesukaran proses
Perilaku cocok emosi
Perilaku tidak bisa
Hubungan sosial
harmonis
Perilaku tidak
a. Respon Adaptif Menarik diri terorganisasi

(Sumber :Stuart & Laraia,2005)


8

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma

sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut

dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat

memecahkan masalah tersebut, respon adaptif:

1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada

kenyataan.

2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.

3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang

timbul dari pengalaman ahli

4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam

batas Kewajaran.

5) Hubungan sosial dalah proses suatu interaksi dengan orang lain

dan lingkungan.

b. Respon Psikososial

Respon psikososial meliputi:

1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan

gangguan

2) Ilusi adalah miss intrpretasi atau penilaian yang salah tentang

penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena

rangsangan panca indra.

3) Emosi berlebihan atau berkurang.

4) Perilaku tidak bisa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi

batas kewajaran.
9

5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi

dengan orang lain.

c. Respon Maladaptif

Respon maladptif adalah respon individu dalam menyelesaikan

masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan

lingkungan, adapun respon maladptif meliputi:

1) Kelainan pikiran adalah kelainan yang secara kokoh

diprtahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dengan

bertentangan dengan kenyataan sosial.

2) Halusinasi merupakan respon Persepsi sensori yang salah satu

Persepsi eksternal yang tidak ralita atau tidak ada.

3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul

dari hati.

4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.

5) Isolasi sosial adalah Kondisi kesendirian yang dialami individu

dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai

suatu kecelakaan yang negatif mengancam.

3. Jenis – Jenis Halusinasi

Menurut deden darmawan (2015) Halusianasi terdiri dari delapan jenis.

Penjelasan secara Detail mengenai kerasteristik dari setiap jenis halusinasi

adalah sebagai berikut:

a. Halusinasi pendengaran ( Auditif, Akustik)


10

Paling serig dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara

bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai

sebuah kata atau kalimat yang bermakna.Biasanya suara tersebut

ditunjukan pada penderita sehingga tidak jarang penderita bertengkar

dan berdebat dengan suara-suara tersebut.

b. Halusinasi penglihatan ( visual, Optik)

Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (Penyakit

organik).Biasanya sering muncul bersama dengan penurunan

kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran – gambaran yang

mengerikan.

c. Halusinasi penciuman (Olfaktorik)

Halusinasi ini biasanya berupa penciuman sesuatu bauh tertentu dan

dirasakan tidak enak, melambangakan rasa bersalah pada

penderita.Bau dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap

penderita sebagai suatu kombinasi moral.

d. Halusinasi Pengecapan ( Gustatorik)

Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi

penciuman.Penderita merasa mengecap sesuatu.Halusinasi gastorik

lebih jarang dari halusinasi gustatorik.

e. Halusinasi Perabaan (Tgaktil)

Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat yang bergerak

dibawah kulit.Terutama pada keadaan delirium toksis dan skizofrenia.


11

f. Halusinasi Seksual, ini termasuk halusinasi raba.

Penderita merasa diraba dan diperkosa sering pada skizoprenia dengan

waham kebesaran terutama mengenai organ-organ.

g. Halusinasi Viseral

Timbulnya perasaan tertentu didalam tubuhnya.

1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa

pribadinya sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai

dengan kenyataan yang ada. Sering pada skizofrenia dan sindrom

lobus parientalis. Misalnya sering merasa dirinya terpecah dua.

2) Derealisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkunganya yang

tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala sesuatu

yang dialaminya seperti dalam impian.

4. Etiologi

a. Faktor Predisposisi

1. Fakor Perkembangan

Tugas perkembangan klien terganggu misalanya rendahnya control

dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri

sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan

terhadap stress.

2. Faktor Sosiolkultural

Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi

akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada

lingklunganya.
12

3. Faktor Biologis

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya

stress yang berlebihan yang dialami seseorang maka didakam

tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik

neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan

teraktivitasinya neurotransmitter otak.

4. Faktor Psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertangguang jawab mudah

terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif.Hal ini berpengaruh

pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang

tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesengan sesaat

dan lari dari alam nyata menuju alam hayal

5. Faktor Genetik dan polah asuh

Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang

tua schizophrenia cenderung mengalami skizofrenia.Hasil studi

menunjukkan bahwa faktor keluarga menu jukkan hubungan yang

sangat berpengaruh pada penyakit ini.

b. Faktor Presipitasi

1) Perilaku

Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga,

ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingun, perilaku

menrik diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil

keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan


13

tidak nyata. Mencobah memecahkan maslah halusinasi

berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai

makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-Psiko-

sosio-spritual. Sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima

dimensi yaitu :

a) Dimensi Fisik

Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik

seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,

demam hingga delirium, intoksikasi alcohol dan kesulitan

untuk tidur dalam waktu yang lama.

b) Dimensi omosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang

tidak bisa diatasi merupaka penyebab halusinasi itu terjdi, isi

dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan

menkutkan.Klien tidak sanggup lagi menentang perintah

tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat

sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

c) Dimensi Intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan individu dengan

halusinasi akan memperlihatakan adanya penurunan fungsi

ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego

sendiri untuk melawan implus yang menekan, namun

merupakan suatu hal yang menuimbulkan kewaspadaan


14

yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang

akan mengontrol semua perilaku klien.

d) Dimensi Sosial

Klien megalami gangguan interkasi sosial dalam fase awal

dan comforting, Klien mengangga bahwa hidup

bersosialisasi dialam nyata sangat membahayqakan. Klien

asik dengan halusinasinya, seolah-olah iya merupakan

tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interkasi sosial,

Control diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam

dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan control oleh individu

tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman,

dirinya atau orang lain individu cenderung perawatan klien

dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang

menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan,

serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien

selalu berinterkasi dengan lingkungannya dan halusinasi

tidak berlangsung.

e) Dimensi Spritual

Secara Spritual klien halusinasi mulai dengan kehanpaan

hidup, runtinitas, tidak berkamana, hilangnya aktivitas

ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk

mensucikan diri, irama sirkardianya terganggu, karena ia

sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat


15

terbangun merasa hanpa dan tidak jelas tujuan hidupnya.Ia

sering memaki takdir tapi lemah dalam upaya menjemput

rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang

menyebabkan takdirnya memburuk.

5. Tanda Dan Gejala Halusinasi

Kliat dkk. (2015) Menyebutkan beberapa tanda dan gejala

Halusinasi yang diperoleh melalui observasi dan ungkapan verbal dan non

verbal klien sebagai berikut :

a. Beberapa tanda dan gejala Halusinasi yang diperoleh melalui

observasi:

1) Bicara sendiri

2) Senyum sendiri

3) Ketawa sendiri

4) Menggerakkan bibir tanpa suara

5) Pergerakkan mata yang cepat

b. Beberapa tanda dan gejala Halusinasi diperoleh melalui ungkapan

klien :

1) Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain

2) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain

3) Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain

4) Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu

5) Klien mengatakan tidak mampu berkonsentrasi dan membuat

keputusan
16

6) Klien merasa tidak berguna

7) Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

6. Tindakan Keperawatan

a. Membina Hubungan Saling Percaya

Untuk membina Hubungan salin percaya pada klien Halusinasi Bina

hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi

terapeutik kepada klien.Selalu penuhi janji adalah salah satu upaya

yang bisa dilakukan. Pendekatan yang konsisten akan membuahkan

hasil. Bila klien sudah percaya maka apapun yang diprogramkan, klien

akan mengikutinya. Tindakan yang harus dilakukan dalam membina

hubungan saling percaya adalah:

1) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan klien

2) Berkenalan degan klien : perkenalkan nama dan nama panggilan

yang saudara sukai, serta tanyakan nama dan nama panggil klien.

3) Menayakan perasaan dan keluhan klien saat ini.

4) Buat kontrak asuhan : apa yang akan dilakukan bersama klien,

berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya dimana.

5) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang

diperoleh untuk kepentingan terapi.

6) Setiaunjukan saat tunjukan sikap empati terhadap klien.

7) Penuhi kebutuhan dasar klien saat berinteraksi.


17

b. Membantu klien Menyadari perilaku halusinasinya

Mungkin perilaku Halusinasi yang dialami klien dianggap sebagai

perilaku yang normal.Agar klien menyadari bahwa perilaku tersebut

perlu diatasi maka hal yang pertama dilakukan adalah menyadari klien

bahwa Halusinasi merupakan masalah dan perlu diatasi. Hal terebut

dapat digali dengan menanyakan:

1) Diskusikan dengan klien tentang apa yang dirasakan jika halusinasi

dan beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.

2) Ajarkan cara mengontrol halusinasi dengan cara meghardik

3) Ajarkan memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal

rencana kegiatan harian.

c. Melatih klien Cara-cara Berinteraksi dengan orang lain secara bertahap

1) Jelaskan kepada klien cara berinteraksi dengan orang lain.

2) Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain.

3) Beri kesempatan klien memperktikan cara berinteraksi dengan

orang lain dan dilakukan di hadapan perawat.

4) Mulailah bantu klien berinteraksi dengan satu orang atau teman/

anggota keluarga.

5) Bila klien sudah menunjukan kemajuan, tingkatkan jumlah

interaksi dengan dua, tiga, empat orang, dan seterusnya.

6) Beri pujian untuk setiap kemajuan interkasi yang telah dilakukan

oleh klien.
18

7) Siap mendengarkan ekspresi perasaan klien setelah berinteraksi

dengan orang lain. Mungkin klien akan mengungkapkan

keberhasilan atau kegagalanya. Beri dorongan terus menerus agar

klien tetap semangat meningkatkan interaksinya.

d. Diskusikan dengan klien tentang kekurangan dan kelebihan yang

dimiliki.

e. Inventarisir kelebihan klien yang dapat dijadikan motivasi untuk

membangun kepercayaan diri klien dalam pergaulan.

f. Ajarkan kepada klien koping mekanisme yang konstruktif.

g. Libatkan klien dalam interaksi dan terapii kelompok secara bertahap.

h. Diskusikan dengan keluarga pentingnya interaksi klien yang dimulai

dengan keluarga terdekat.

i. Eksplorasi keyakinan agama klien dalam menumbuhkan sikap

pentingnya sosialisasi dengan lingkungan

B. Konsep Asuhan Keperawatan Jiwa

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dan dasar utama dari proses

keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan

perumusan kebutuhan, atau masalah klien.Data yang dikumpulkan

meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.Data pada

pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokan menjadi faktor

predisposisi, faktor presipitasi, penilai terhadap trensor, sumber koping,


19

dan kemapuan koping yang dimiliki klien.Stuart dan larai (2015) dalam

budi anna keliat.

Data yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi dua macam,

seperti berikut ini :

a. Data objektif yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan

melalui observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat.

b. Data subjektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh klien

dan keluarga. Data ini diperoleh melalui wawancara perawat kepada

klien dan keluarga.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah diagnosis yang dibuat oleh perawat

profesional yang menggambarkan tanda dan gejala yang menunjukkan

masalah kesehatan yang dirasakan klien dimana berdasarkan pendidikan

dan pengalaman mampu menolong klien (Nurjannah 2005).

Menurut Keliat (2006), pohon masalah pada halusinasi dapat

mengakibatkan klien mengalami kehilangan kontrol pada dirinya,

sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

Hal ini terjadi jika halusinasi sudah sampai pada empat fase, dimana klien

mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh isi

halusinasinya.Masalah yang menyebabkan halusinasi itu adalah isolasi

sosial, maka klien menjadi menarik diri dari lingkungan. Hal ini sesuai

dengan data pada pengkajian Pasien dimana pada klien ditemukan masalah

isolasi sosial menarik diri yang ditandai dengan klien terlihat menyendiri
20

dan jarang berinteraksi dengan orang lain, serta dari data catatan perawat

saat pertama kali klien masuk, klien sering marah tiba-tiba, hal ini

mengarah pada permasalahan resiko perilaku kekerasan. Berdasarkan

masalah – masalah tersebut, maka disusun pohon masalah yaitu isolasi

sosial (menarik diri) sebagai penyebab, gangguan persepsi sensori:

halusinasi pendengaran atau lihat sebagai core problem, dan resiko

perilaku kekerasan yang diarahkan pada lingkungan sebagai akibat

(Rasmun, 2009).

Penulis mengangkat diagnosa keperawatan utama gangguan

persepsi sensori: halusinasi pendengaran pada Pasien sebagai prioritas

masalah utama yang didukung dengan data subyektif yaitu klien

mengatakan mendengar suara-suara bisikan untuk mengajaknya berbicara

bersama, suara yang terdengar biasanya laki-laki kadang juga perempuan,

suara itu muncul 1 hari bisa pada pagi, siang dan malam hari pada saat

mau tidur dan saat klien sendiri, frekuensi sering kira-kira 7 menit, klien

juga tidak merasa takut jika suara itu muncil malah ditanggapinya. Data

objektif klien tampak bingung, lesu, melamun, diam saja, ada kontak mata

serta bicara sendiri dan kadang tertawa sendiri.

3. Intervensi Keperawatan

Rencana tindakan keperawatan terdiri dari tiga aspek yaitu tujuan

umum, tujuan khusus, dan rencana tindakan kepeerawatan. Tujuan umum

berfokus pada peneyelesaian permasalahan dari diagnose tertentu. Tujuan

khusus berfokus pada peneyelesaian etiologi dari diagnose tertentu.


21

Tujuan khusus merupakan kemampuan klien yang harus dicapai atau

dimiliki klien.

Untuk melaksanakan tindakan keperawatan maka perlu ditulis

perencanaan asuhan keperawatan kepada pasien berdasarkan data objektif

data subjektif yang melibatkan pasien da keluarganya, mentetapkan

tindakan keperawatan dan membuat alas an mengapa tindakan

keperawatan itu dilakukan.

Tujuan dalah perubahan perilaku klien yang diharapkan oleh

perawat setelah tindakan berhasil dilakukan. Kriteria tujuan (standar V

asuhan keperawatan) meliputi : rumusan singkat dan jelas, dan disusun

berdasarkan diagnosisis keperawatan, spesifik, dapart diukur/ diobservasi,

realities/ dapat dicapai, terdiri dari subjek, perilaku, pasien, kondisi, dan

kriteria tujuan.

Rumusan tujuan terdiri dari subjek, predikat, hasil, criteria dan time

(SPHKT), subjek, predikat/perilaku dan kriteria (SPK) dan spesifik,

measurable, achievable, reasonable and time (SMART).

Tindakan keperawatan atau implementasi merupakan suatu

tindakan yang dilakukan langsung kepada klien, keluarga, dan komunitas

berdasarkan rencana keperawatan yang dibuat.Perawat kesehatan jiwa

membuat rencana tindakan/ intervensi keperawatan bertujuan spesifik dan

unik untuk setiap kebutuhan klien.

Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik

yang diharapkan dari klien dan/ atau tindakan yang harus dilakukan oleh
22

perawat.Intervensi/ reencana tindakan harus spesifik dan dinyatakan

dengan jelas dimulai dengan kata kerja aksi/ kalimat perintah.(Doengoes,

2016)

Rencana keperawatan mencakup perumusan diagnosis, tujuan serta

rencana tindakan yang telah distandarisasi (keliat dan akemat, 2016). Pada

dasarnya tindakan keperawatan terdiri dari observasi,dan pengawasan

(monitoring), terapi keperawatan , pendidikan kesehatan, dan kolaborasi

(Nurjanah I, 2017)

4. Implementasi

Tindakan keperawatan merupakan standar dari asuhan keperawatan

yang berhubungan dengan aktivitas keperawatan professional yang

dilakukan oleh perawatan, dimana implementasi dilakuakn pada pasien,

keluarga dan komunitas berdasarkan rencana keperawatan yang dibuat.

(Damayanti M, dkk,2015).

Dalam mengimplementasikan intervensi, perawata kesehatan jiwa

menggunakan intervensi yang luas yang dirancang untuk mencegah

penyakit dan meningkatkan, mempertahankan, dan memulihkan kesehatan

fisik dan mental.Kebutuhan klien terhadap pelayanan keperawatan dan

dirancang pemenuhan kebituhannya melalui standar pelayanan dan asuhan

keperawatan.Pedoman tindakan keperawatan dibuat untuk tindakan pada

klien baik secara individual, kelomopok maupun yang terkait dengan ADL

(Activity Daily Living).Dengan adanya perincian kebutuhan waktu,

diharapkan setiap perawatg memiliki jadwal harian untuk masing-masing


23

klien sehingga waktu kerja perawat menjadi lebih evektif dan efesien

(Keliat dan Akemat, 2016).

5. Evaluasi

Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dsari

tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada

respons klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilksanakan.

Evaluasi dapat dibagi jadi dua yaitu : Evaluasi oroses atau formatif

dilakuakan setiap selesai melaksanakan tindakan.

Evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan

respon klien. Menurut Damayanti, M dkk (2015) evaluasi dapat dilakukan

dengan menggunakan pendekatan SOAP , sebagai pola fikir.

S = respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan.

O = Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan

A  = Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan

apakah maslah masih tetap atau muncul maslah baru atau ada data

yang kontraindikasi dengan masalah yang ada.

P = Perencanaan atau tindak lanjur berdasarkan hasil analisa pada respon

klien .
24

BAB III

METODE STUDI KASUS

A. Jenis dan Desain Studi Kasus

Menurut stake yang dikutip John w. Creswell (2009) Studi kasus

merupakan strategi penelitian dimana di dalamya peneliti menyelidiki secara

cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu.

Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan

informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur

pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.

Dengan pendekatan kualitatif ini, jenis studi kasus yang digunakan

adalah Studi kasus deskriptif (Descriptive Case Study) yaitu Studi kasus yang

menggambarkan asuhan keperawatan gangguan persepsi sensori terhadap

kemampuan mengontrol halusinasi.

Desain studi kasus ini adalah single-case design (terarah pada sasaran

dengan satu karakteristik) dalam menggambarkan serangkaian kegiatan ilmiah

yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam tentang suatu program,

peristiwa, dan aktivitas pada pasien dengan gangguan persepsi sensori:

halusinasi pendengaran untuk memperoleh pengetahuan mendalam tentang

kemampuan mengontrol halusinasinya.

24
25

B. Subyek Studi Kasus

Subyek Studi Kasus dalam studi kasus ini adalah dua pasien dengan

masalah keperawatan yaitu gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran

yang sesuai dengan judul penelitian ini : Asuhan Keperawatan Gangguan

Persepsi Sensori terhadap ketnampuan mengontrol halusinasi pendengaran.

C. Fokus Studi

Fokus Studi merupakan suatu kasus yang diperlakukan secara intensit,

terinci dan mendalam terhadap suatu kasus studi dalam ilmu keperawatan.

Fokus studi : Kemampuan pasien mengontrol halusinasi pendengaran

D. Definisi Operasional

1. Asuhan Keperawatan Yang dimaksud asuhan keperawatan pada studi

kasus ini adalah proses keperawatan yang komprehensif, mulai dari

pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi hingga evaluasi.

2. Gangguan persepsi sensori Yang dimaksud gangguan persepsi sensori

pada studi kasus ini adalah abnormalitas penerimaan menghasilkan

interpretasi yang stimulus oleh penginderaan sehingga berbeda pula

dengan stimulus yang sebenarnya.

3. Halusinasi pendengaran Yang dimaksud halusinasi pendengaran pada

studi kasus ini adalah adanya stimulus yang berupa suara-suara yang

hanya dapat didengarkar oleh individu tertentu yang mengalaminya

padahal sitmulus tersebut tidak nyata.

4. Pasien halusinasi pendengaran Yang dimaksud pasien halusinasi

pendengaran pada studi kasus ini adalah individu yang mendengarkan


26

suara-suara yang sebenarnya tidak nyata namun dipersepsikan sebagai

stimulus yang bermakna bahkan mengancam kelangsungan hidup individu

tersebut.

5. Kemampuan mengontrol halusinasi Yang dimaksud kemampuan

mengontrol halusinasi pada studi kasus ini adalah suatu keadaan dimana

seseorang dapat menegetahui atau memahami dan melakukan

pengendalian terhadap stimulus yang tidak nyata, baik itu ketika sinulus

tersebut diterima ataupun untuk mencegahnya terjadi.

E. Instrumen Studi Kasus

Instrumen Studi Kasus adalah alat bantu yang dipilih untuk digunakan

oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebuat

menjadi sistematis dan dipermudah olehnye (Arikunto, 2000).

Adapun instrumen yang digunakan adalah format asuhan keperawatan

(pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi, dan evaluasi) (Keliat, 2010),

pedoman wawancara dan lembar observasi (daftar check list).

F. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data pada penyusunan studi kasus ini

adalah sebagai berikut:

1. Observasi

Observasi merupakan Pengumpulan informasi melalui indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan alat perasa. data yang

didapat harus obyektif agar dapat dimengerti oleh orang lain

(Lismidar,1990).
27

Peneliti dalam hal ini berlaku sebagai partisipan karena terlibat

dalam proses pemberian asuhan keperawatan gangguan persepsi sensori

dan observasi ini dilakukan secara terstruktur.

Observasi yang dimaksud dirancang secara sistematis, tentang apa

dan siapa yang diamati, serta dimana tempatnya. Jadi, observasi terstruktur

dilakukan apabila peneliti telah mengetahui dengan pasti tentang variabel

apa yang diamati. (Sugiyono, 2008).

2. Wawancara

Wawancara yang dimaksud adalah percakapan yang melibatkan

dua pihak, yaitu pewawancara (inerviewer) yang mengajukan pertanyaan

dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atasi

pertanyaan itu (Moleong, 2007).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis wawancarai

mendalam (in depth interview), merupakan wawancara yang dilakukan

oleh peneliti dengan cara terlebih dahulu mempersiapkan bahan

pertanyaan yang akan diajukan. Bahan pertanyaan yang diajukan dalam

penelitian ini tidaklah sama dengan angket (quesioner), karena bahan

pertanyaan yang dimaksud hanyalah berupa pedoman wawancara (guide

Inyerview) yang berguna sebagai pedoman untuk mengarahkan sistematika

alur wawancara yang dilakukan secara mendalam (in depth interview).

3. Dokumentasi

Metode dokumentasi menurut Arikunto (2006) yaitu mencari data

mengenai variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar.


28

majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Dokumentasi

dalam hal ini merupakan pengumpulan data oleh peneliti dengan cara

mengumpulkan dokumen-dokumen dari sumber terpercaya yang memuat

data tentang narasumber (pasien), misal berkas rekam medik. Dokumen

dapat digunakan sebagai sumber data dan dapat dimanfaatkan sebacai

pembuktian, menafsirkan, dan memaknai suatu peristiwa (Moleong,

2000).

4. Skala penilaian

Skala penilaian merupakan indikator dalam hasil evaluasi

pemberian asuhan keperawatan gangguan persepsi sensori terhadap

kemampuan pasien mengpntrol halusinasi pendengaran. Dalam skala

penilaian ini menggunakan skala interval untuk dapat mnengetahui apakah

pasien mampu atau tidak dalam mengontrol halusinasi pendengaran

setelah mendapatkan asuhan keperawatan sangguan persepsi sensori.

Aspek yang dinilai tentunya dalam bentuk kualitatif.

G. Lokasi dan Waktu Studi Kasus

1. Lokasi Studi Kasus

Studi Kasus ini dilakukan di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi

Sulawesi Selatan, yaitu pada ruangan Kenanga.

2. Waktu Studi Kasus

Studi kasus ini akan dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2018.


29

H. Analisis Data dan Penyajian Data

Analisis data merupakan proses sistematis yang berlangsung terusi

menerus bersamaan dengan pengumpulan data (Daymon, 2008). Dalam

menganalisis data, peneliti akan melakukan analisis data di lapangan. Salah

satu analisis data di lapangan yang akan dipakai yaitu analisis data dari Miles

and Huberman, yang telah dikutip oleh Sugiyono (2011). Aktifitas analisis

data yang akan dilakukan yaitu data reduction, data display, dan conclusion

drawing/verification.

1. Data Reduction (Reduksi data)

Salah satu metode analisis data yang dilakukan setelah pengumpulan data

yakni dengan cara memilih hal-hal yang pokok dan memfokuskan pada

hal-hal yang penting sebagai kesimpulan awal.

2. Data Display (penyajian data)

Penyajian data dalam studi kasus ini adalah dalam bentuk teks yang

bersifat deskriptif.

3. Conclusion Drawing/verification

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan

berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung

sehingga dapat diperoleh kesimpulan akhir sebagai hasil dari studi kasus

ini.
30

I. Etika Studi Kasus

1. Informed Consent

Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden. Informed Consent tersebut diberikan sebelum

penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk

menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar subjek mengerti

maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya.

2. Anonimity (tanpa nama)

Masalah etika merupakan masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama. Respondden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang

akan disajikan.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada

hasil riset (Hidayat, 2009).

Anda mungkin juga menyukai