Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN HALUSINASI

DISUSUN OLEH : KELOMPOK III

HERMANSYAH

SUHERMAN

SRI PUJI ASTUTI

DIAN FADILLA

PROGRAM NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MATARAM

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan kondisi ketika seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kesehatan jiwa memiliki rentang respon
adaptif yang merupakan sehat jiwa, masalah psikososial, dan respon maladaptif yaitu
gangguan jiwa (UU No. 18 Tahun 2014).

Gangguan jiwa merupakan gangguan dalam berpikir (cognitive), kemauan (volition),


emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007). Menurut Malim (2002)
Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom dengan variasi penyebab. Umumnya
ditandai adanya penyimpangan yang fundamental, karakteristik dari pikiran dan persepsi,
adanya afek yang tidak wajar atau tumpul (Yusuf, dkk, 2015).

Berdasarkan hasil survey World Healt Organization (WHO 2013) menyatakan hampir
400 juta penduduk dunia menderita masalah gangguan jiwa. Satu dari empat anggota
keluarga mengalami gangguan jiwa dan seringkali tidak terdiagnosis secara tepat
sehingga tidak memperoleh perawatan dan pengobatan dengan tepat. Data Riset
Kesehatan Dasar (2013) prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per
mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta (2,7 per mil), Aceh (2,7 per mil),
Sulawesi Selatan (2,6 per mil), Bali (2,3 per mil), Jawa Tengah (2,3 per mil), Bangka
Belitung (2,2 per mil), Nusa Tenggara Barat (2,1 per mil), Bengkulu (1,9 per mil) dan
Sumatera Barat urutan ke sembilan dengan jumlah (1,9 per mil) (Riskesdas, 2013).

Seseorang mengalami gangguan jiwa apabila ditemukan adanya gangguan pada fungsi
mental, yang meliputi emosi, pikiran, perilaku, perasaan, motivasi, kemauan, keinginan,
daya tilik diri, dan persepsi sehingga mengganggu dalam proses hidup di masyarakat dan
timbulah perasaan tertekan. Hal ini ditandai dengan menurunnya kondisi fisik akibat
gagalnya pencapaian sebuah keinginan yang akan menurunnya semua fungsi kejiwaan.
Perasaan tertekan atau depresi akibat gagalnya seseorang dalam memenuhi sebuah
tuntutan akan mengawali terjadinya penyimpangan kepribadian yang merupakan awal
dari terjadinya gangguan jiwa (Nasir, 2011). Secara umum, klasifikasi gangguan jiwa
menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu
gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa
kecemasan, panik, gangguan alam perasaan, dan gangguan jiwa berat/kelompok psikosa
yaitu skizofrenia (Yusuf,dkk. 2015).

Skizofrenia merupakan bentuk gangguan jiwa kronik (Mirza, dkk, 2015). Skizofrenia
merupakan gangguan mental dengan ciri utama gejala psikotik, dan gejala tersebut dapat
menyebabkan penderita sikzofrenia mengalami penurunan kualitas hidup, fungsi sosial,
dan pekerjaan. Hasil survey World Healt Organization (WHO 2013) menyatakan saat ini
diperkirakan sekitar 26 juta orang di dunia akan mengalami skizofrenia.

Halusinasi merupakan terganggunya persepsi dari panca indera seseorang dalam


membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar),
dimana klien memberi persepsi tentang lingkungan tanpa adanya suatu objek (Yosep,
2013). Sekitar 70% halusinasi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa yaitu halusinasi
dengar, 20% mengalami halusinasi penglihatan dan 10% mengalami halusinasi penghidu,
pengecap, perabaan. Halusinasi dapat mengancam dan menakutkan bagi klien walaupun
klien lebih jarang melaporkan halusinasi sebagai pengalaman yang menyenangkan.
Mula-mula klien merasakan halusinasi sebagai pengalaman nyata, tetapi kemudian dalam
proses penyakit tersebut, dia dapat mengakuinya sebagai halusinasi (Videbeck, 2008).

Ketika mengalami halusinasi biasanya klien akan mengalami marah tanpa sebab, bicara
atau tertawa sendiri, ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas, maka perawat harus
mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi pelaksanaan yang tersedia, tetapi
informasi ini harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan holistik pada asuhan
klien. Peran perawat dalam menangani halusinasi antara lain melakukan penerapan
standar asuhan keperawatan, terapi aktivitas kelompok, dan melatih keluarga untuk
merawat klien dengan halusinasi. Menurut Keliat (2007) Strategi pelaksanaan pada klien
halusinasi mencakup kegiatan mengenal halusinasi, mengajarkan klien menghardik
halusinasi, minum obat dengan teratur, bercakap-cakap dengan orang lain saat halusinasi
muncul, serta melakukan aktivitas terjadwal untuk mencegah halusinasi (Afnuhazi,
2015).
Berdasarkan hasil penelitian Anggraini, dkk (2013) tentang Pengaruh Menghardik
Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Dengar Pada Pasien Skizofrenia di RSJD Dr.
Aminogondohutomo Semarang, terapi menghardik dengan menutup telinga responden
mengalami penurunan tingkat halusinasi dengar, hal ini dikarenakan pada saat responden
menutup telinga saat melakukan terapi menghardik responden menjadi lebih fokus dan
berkonsentrasi pada halusinasinya. Sehingga dianjurkan untuk para perawat di rumah
sakit agar menggunakan terapi menghardik dengan menutup telinga karena hasilnya akan
lebih baik (Anggraini, dkk, 2013). Hasil penelitian Halawa (2015) tentang Pengaruh
Terapi Aktivitas Kelompok: Stimulasi Persepsi Sesi 1-2 Terhadap Kemampuan
Mengontrol Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia di Ruang Flamboyan
Rumah Sakit Jiwamenur Surabaya, kemampuan pasien skizofrenia dalam mengontrol
halusinasi pendengaran sebelum pemberian Terapi Aktivitas Kelompok: Stimulasi
Persepsi Sesi 1-2 didapatkan bahwa ada pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok: Stimulasi
Persepsi Sesi 1-2 terhadap kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran pada pasien
skizofrenia (Halawa, 2015). Data Dinas Kesehatan Kota Padang (2015) terdapat 11.993
orang dengan gangguan jiwa di kota Padang. Dimana dari 22 Puskesmas di kota Padang,
Puskesmas Nanggalo menjadi urutan ke lima dengan kasus gangguan jiwa terbanyak
pada tahun 2015. Data gangguan jiwa di Puskesmas Nanggalo tahun 2015 terdapat 667
orang.

Hasil penelitian Sari (2014) tentang Tingkat Pengetahuan Keluarga Tentang Perawatan
Pasien Halusinasi dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Halusinasi di Rumah
menyatakan kesadaran dan pengetahuan keluarga yang tinggi tentang kesehatan, belum
menjamin praktek tentang kesehatan atau perilaku hidup keluarga sesuai dengan
pengetahuan yang dimiliki. Perlu dilakukan upaya peningkatan lingkungan baik fisik
maupun nonfisik sebagai penunjang pengetahuan yang ada yang dapat membawa
perubahan perilaku keluarga dalam merawat pasien halusinasi. Keluarga belum tentu
berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki sehingga tidak ada perbedaan yang
signifikan pada frekuensi kekambuhan pada keluarga dengan tingkat pengetahuan tinggi
maupun rendah. Keluarga yang aktif menerima informasi, berdiskusi dan adanya
komunikasi dua arah antara keluarga dan perawat yang berjalan dengan baik akan
meningkatkan perilaku keluarga yang dapat menunjang kesembuhan dan meminimalkan
resiko terjadinya kekambuhan pasien halusinasi (Sari, 2014).
Hasil wawancara dengan klien dengan halusinasi yang dilakukan di rumah klien tanggal
17 Februari 2017, klien mengatakan bahwa klien merasa terganggu dengan halusinasinya
yang menganggunya, namun klien rutin kontrol ke Puskesmas jika obat klien habis.
Klien mengatakan kadang ikut pengambilan obat, kadang hanya ibu klien yang
mengambil obat. Hasil wawancara dengan keluarga klien, keluarga mengatakan klien
berbicara sendiri, tertawa sendiri, mondar-mandir. Upaya yang dilakukan klien jika
halusinasi tiba adalah dengan menerapkan cara menghardik dan mengalihkan halusinasi
dengan mengajak orang terdekatnya untuk berbicara dengannya. Berdasarkan latar
belakang masalah tersebut maka penulis telah memberikan asuhan keperawatan pada
klien halusinasi secara holistik dan komunikasi terapeutik dalam meningkatkan
kesejahteraan serta mencapai tujuan yang diharapkan.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Halusinasi ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Halusinasi
1. Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi : merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan atau penghidu ( Direja, 2011). Halusinasi adalah gangguan
persepsi sensori tentang suatu objek atau gambaran dan pikiran yang sering terjadi
tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan
(Dalami,dkk,2014). Halusinasi hilangnya kemampuan manusia dalam
membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar).
Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata (Kusumawati, 2012).

2. Proses Terjadinya Halusinasi


Menurut Stuart (2007) proses terjadinya halusinasi dapat dilihat dari faktor
predisposisi dan faktor presipitasi ( Dalami, dkk, 2014) :
a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi ( Dalami, dkk,
2014) :
1) Biologis
Hal yang dikaji dalam faktor biologis meliputi : Adanya faktor
herediter mengalami gangguan jiwa, adanya resiko bunuh diri, riwayat
penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan Napza.
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini
ditunjukkan oleh penelitian-penelitian berikut:
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak
yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada
daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan
perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter
yang berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor
dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal
menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak
manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis,
ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian
depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan
anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2) Psikologis

Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon


dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau
tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien adanya kegagalan yang
berulang, kurangnya kasih sayang, atau overprotektif.

3) Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana
alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi (Prabowo, 2014) :
1. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.
3. Mekanisme Koping Halusinasi
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman
yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologi termasuk (Dalami,
dkk, 2014 ) :
a. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali
seperti pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah
proses informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas.
b. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada
orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untuk
menjelaskan keracunan persepsi).
c. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber
stressor, misalnya menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain,
sedangkan reaksi psikologis individu menunjukkan perilaku apatis,
mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan.

Halusinasi berkembang melalui empat fase, yaitu sebagai berikut (Kusumawati,


2012) :

a. Fase pertama
Disebut juga dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan. Pada tahap ini
masuk dalam golongan nonpsikotik.
Karakteristik : klien mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan, rasa
bersalah, kesepian yang memuncak, dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai
melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cari ini hanya
menolong sementara. Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak
sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon verbal
yang lambat jika sedang asyik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.
b. Fase kedua
Disebut dengan fase condemming atau ansietas berat yaitu halusinasi menjadi
menjijikkan. Termasuk dalam psikotik ringan. Karakteristik : pengalaman
sensori menjijikkan dan menakutkan, kecemasan meningkat, melamun dan
berpikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas.
Klien tidak ingin orang lain tahu, dan ia tetap dapat mengontrolnya. Perilaku
klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti peningkatan
denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan halusinasinya dan tidak
bisa membedakan realitas.
c. Fase ketiga
Disebut dengan fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori
menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Karakteristik : bisikan,
suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien.
Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya. Perilaku
klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya beberapa
menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor dan tidak
mampu mematuhi perintah.
d. Fase keempat
Adalah conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya.
Termasuk dalam psikotik berat.
Karakteristik : halusinasinya berubah menjadi mengancam, memerintah, dan
memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol dan tidak
dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan. Perilaku
klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri atau katakonik, tidak mampu merespon terhadap perintah
kompleks, dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
4. Rentang Respon Halusinasi Menurut Stuart dan Laraia (2005) halusinasi
merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalan rentang
respon neurobiologis. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien
sehat, persepsinya akurat mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui pancaindra (pendengaran,
penglihatan, penghidu, pengecapan, peraban), klien dengan halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus pancaindra walaupun sebenarnya stimulus
tersebut tidak ada. Rentang respon tersebut dapat digambarkan seperti dibawah ini
( Muhith, 2015 )
Respon Adaptif Respon Maladaptif

1. Pikiran logis 1. Gangguan


1. Distorsi pikiran
2. Persepsi kuat pikir/delusi
ilusi
3. Emosi konsisten 2. Halusinasi
2. Reaksi emosi
dengan 3. Sulit merespon
berlebihan
pengalaman emosi
3. Perilaku aneh
4. Perilaku sesuai 4. Perilaku
atau tidak biasa
5. Berhubungan disorganisasi
4. Menarik diri
sosial 5. Isolasi sosial
Gambar 2.1 Rentang respon halusinasi Sumber : Muhith, 2015
Keterangan :
a. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal
jika menghadapi suatu akan dapat memecahkan masalah tersebut.
Respon adaptif meliputi :
1. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli.
4. Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
5. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
b. Respon psikososial meliputi :
1. Proses pikir terganggu yang menimbulkan gangguan
2. Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena gangguan panca indra
3. Emosi berlebihan atau kurang
4. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
untuk menghindari interaksi dengan orang lain
5. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interkasi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain
c. Respon maladaptif adalah respon indikasi dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial dan budaya dan lingkungan, adapun
respon maladaptif ini meliputi :
1. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan social
2. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada
3. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati
4. Perilaku tak terorganisir merupakan perilaku yang tidak teratur
5. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan
yang negatif mengancam.

6. Tanda dan gejala Halusinasi

Tanda dan gejala gangguan persepsi sensori halusinasi yang dapat teramati
sebagai berikut ( Dalami, dkk, 2014 ) :
a. Halusinasi penglihatan
1) Melirikkan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau apa saja
yang sedang dibicarakan.
2) Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang sedang tidak
berbicara atau pada benda seperti mebel.
3) Terlihat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang yang tidak
tampak.
4) Menggerakan-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau sedang
menjawab suara.
b. Halusinasi pendengaran Adapun perilaku yang dapat teramati :
1) Tiba-tiba tampak tanggap, ketakutan atau ditakutkan oleh orang lain,
benda mati atau stimulus yang tidak tampak.
2) Tiba-tiba berlari keruangan lain
c. Halusinasi penciuman Perilaku yang dapat teramati pada klien gangguan
halusinasi penciuman adalah :
1) Hidung yang dikerutkan seperti mencium bau yang tidak enak.
2) Mencium bau tubuh
3) Mencium bau udara ketika sedang berjalan ke arah orang lain.
4) Merespon terhadap bau dengan panik seperti mencium bau api atau darah.
5) Melempar selimut atau menuang air pada orang lain seakan sedang
memadamkan api.
d. Halusinasi pengecapan
Adapun perilaku yang terlihat pada klien yang mengalami gangguan
halusinasi pengecapan adalah :
1) Meludahkan makanan atau minuman.
2) Menolak untuk makan, minum dan minum obat.
3) Tiba-tiba meninggalkan meja makan.
e. Halusinasi perabaan
Perilaku yang tampak pada klien yang mengalami halusinasi perabaan adalah :
1) Tampak menggaruk-garuk permukaan kulit.
Menurut Pusdiklatnakes (2012), tanda dan gejala halusinasi dinilai dari
hasil observasi terhadap klien serta ungkapan klien. Adapun tanda dan
gejala klien halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Data Subjektif Klien mengatakan :
1. Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3. Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
4. Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat
hantu dan monster
5. Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang
bau itu menyenangkan
6. Merasakan rasa seperti darah, urin dan feses
7. Merasa takutan atau senang dengan halusinasinya
b. Data Objektif
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah marah tanpa sebab
3. Mengarahkan telinga kearah tertentu
4. Menutup telinga
5. Menunjuk kearah tertentu
6. Ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas
7. Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu
8. Menutup hidung
9. Sering meludah
10. Menggaruk garuk permukaan kulit
7. Penatalaksanaan Halusinasi Menurut Marasmis (2004) Pengobatan harus
secepat mungkin diberikan, disini peran keluarga sangat penting karena
setelah mendapatkan perawatan di RSJ klien dinyatakan boleh pulang
sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam hal
merawat klien, menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan
sebagai pengawas minum obat (Prabowo, 2014).
1. Penatalaksanaan Medis Menurut Struat, Laraia (2005) Penatalaksanaan
klien skizofrenia yang mengalami halusinasi adalah dengan pemberian
obat-obatan dan tindakan lain (Muhith, 2015).
a. Psikofarmakologis, obat yang lazim digunakan pada gejala
halusinasi pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada klien
skizofrenia adalah obat anti psikosis. Adapun kelompok yang
umum digunakan adalah :

Kelas Kimia Nama Genetik (Dagang) Dosis Harian


Fenotiazin Tiodazin (Mellaril) 2-40 mg
Tioksanten Kloprotiksen (Tarctan) 75-600 mg
Tiotiksen (Navane) 8-30 mg
Butirofenon Haloperidiol (Haldol) 1-100 mg
Klozapin (Clorazil) 300-900 mg

b. Terapi kejang listrik


Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang
grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui
electrode yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang
listrik dapat diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan dengan
terapi neuroleptika oral atau injeksi dosis terapi kejang listrik 4-5
joule/detik.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Penerapan Strategi Pelaksanaan
1. Menurut Keliat (2007) tindakan keperawatan yang dilakukan :
a. Melatih klien mengontrol halusinasi :
a) Strategi Pelaksanaan 1 : menghardik halusinasi
b) Strategi Pelaksanaan 2 : menggunakan obat secara
teratur
c) Strategi Pelaksanaan 3: bercakap-cakap dengan orang
lain
d) Strategi Pelaksanaan 4: melakukan aktivitas yang
terjadwal
2. Menurut Pusdiklatnakes (2012) tindakan keperawatan tidak
hanya ditujukan untuk klien tetapi juga diberikan kepada
keluarga , sehingga keluarga mampu mengarahkan klien dalam
mengontrol halusinasi.
a. Strategi Pelaksanaan 1 keluarga : mengenal masalah dalam
merawat klien halusinasi dan melatih mengontrol halusinasi
klien dengan menghardik
b. Strategi Pelaksanaan 2 keluarga : melatih keluarga merawat
klien halusinasi dengan enam benar minum obat
c. Strategi Pelaksanaan 3 keluarga : melatih keluarga merawat
klien halusinasi dengan bercakap-cakap dan melakukan
kegiatan
d. Strategi Pelaksanaan 4 keluarga : melatih keluarag
memnafaatkan fasilitas kesehatan untuk follow up klien
halusinasi
b. Psikoterapi dan rehabilitasi Psikoterapi suportif individual
atau kelompok sangat membantu karena klien kembali ke
masyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk
mendorong klien bergaul dengan orang lain, klien lain,
perawat dan dokter. Maksudnya supaya klien tidak
mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang
kurang baik, dianjurkan untuk mengadakan permainan atau
latihan bersama, seperti terapi modalitas yang terdiri dari :
1. Terapi aktivitas Meliputi : terapi musik, terapi seni,
terapi menari, terapi relaksasi, terapi sosial, terapi
kelompok , terapi lingkungan.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Halusinasi
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Inisial : Nn. M
Alamat : Desa Darusalam RT. 002 RW. 001
MR No : 04.22.31
Tanggal Masuk RS : 1 Januari 2021
Tanggal Pengkajian : 21 November 2021
Umur : 38 Tahun
Agama : Islam
Informan : Ibu & status klien

b. Alasan masuk
Klien awalnya marah-marah dan melempar barang-barang karena kesal, suka
menyendiri, melamun, sering bicara sendiri, mondar mandir, mendengar
suara-suara tanpa wujud, tertawa sendiri.
Masalah keperawatan : Gangngguan Sensori Persepsi Halusinasi Pendengaran.

c. Faktor predisposisi
Klien sebelumnya berprofesi sebagai seorang guru ekonomi tepatnya 2010
disalah satu SMA di kecematan Bolo, profesinya sebagai seorang guru
berjalan baik-baik saja, sampai 2 tahun setelahnya klien sering mengurung diri
di kamar, melamun, senyum-senyum sendiri bahkan menarik diri dari
keluarganya. Akhirnya tepat tahun 2012 klien berhenti dan tidak mengajar lagi
karena masalahnya tersebut. Klien awalnya marah-marah dan melempar
barang-barang karena kesal, suka menyendiri, melamun, sering bicara sendiri,
mondar mandir, mendengar suara-suara tanpa wujud, tertawa sendiri akhirnya
keluarga membawa klien ke Puskesmas Bolo. Keluarga klien tidak ada yang
pernah mengalami gangguan jiwa.
Masalah keperawatan : Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi Pendengaran

d. Fisik
Klien tidak memiliki keluhan fisik, saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda
vital, didapatkan hasil TD : 110/80 mmHg ; N : 82x/i ; S : 36 0C ; P : 20x/i.
Klien memiliki tinggi badan 158 cm dan berat badan 67 Kg.
e. Psikososial
1. Genogram

38

Penjelasan :

Klien merupakan anak pertama dari 6 bersaudara, klien memiliki 3 adik


perempuan dan 2 adik laki-laki. Klien belum menikah.
Keterangan :

: Laki-laki : Klien

: Perempuan : Meninggal

2. Konsep Diri
a. Gambaran Diri : klien menyukai seluruh tubuhnya dan tidak ada
yang cacat
b. Identitas : klien anak pertama dari 6 bersaudara
c. Peran : klien seorang guru tapi sudah berhenti bekerja
setelah sakit
d. Harga diri : klien mengatakan merasa malu dengan
penyakitnya
Masalah Keperawatan: Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

3. Hubungan Sosial
Klien mengganggap bahwa keluarganya adalah orang yang sangat berarti
dalam hidupnya, terutama orangtuanya. Klien mengatakan tidak mengikuti
kegiatan di kelompok/masyarakat. Klien mengatakan mempunyai
hambatan dalam berhubungan dengan orang lain karena klien sulit bergaul
dan selalu ingin menyendiri.
Masalah keperawatan: Isolasi Sosial : Menarik Diri

4. Spiritual
a. Nilai dan Keyakinan: Klien beragama islam dan yakin dengan
agamanya.
b. Kegiatan Ibadah : Klien melakukan ibadah selama dirawat.

5. Status Mental
a. Penampilan pasien rapi seperti berpakaian biasa pada umum nya.
b. Pembicaraan
Klien bicara dengan lambat.
c. Aktivitas Motorik
Klien mengatakan bisa melakukan aktivitas sehari – hari.
d. Suasana perasaan
kliien tidak mampu mengepresikan perasaan nya pada saat
mendengarkan suara – suara.
Masalah keperawatan ; Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi

e. Afek
Penjelasan :efek wajah sesuai dengan topik pembicaraan
f. Interaksi selama wawancara
Penjelasan :Klien kooperatif saat wawancara
g. Persepsi
Penjelasan :Klien mengatakan bahwa ia mendengar ada suara-suara
Masalah keperawatan : Gangguan persepsi sensori : halusinasi
h. Proses Pikir
Penjelasan : Klien mampu menjawab apa yang ditanya dengan baik
i. Isi pikiran
Penjelasan :Klien dapat mengontrol isi pikirnya,klien tidak mengalami
gangguan isi pikir dan tidak ada waham. Klien tidak mengalami fobia,
obsesi ataupun depersonalisasi.
j. Tingkat kesadaran
Penjelasan :Klien tidak mengalami gangguan orientasi, klien
mengenali waktu, orang dan tempat.
k. Memori
Penjelasan :Klien mampu menceritakan kejadian di masa lalu dan yang
baru terjadi.
l. Tingkat konsentrasi berhitung
Penjelasan: Klien mampu berkonsentrasi dalam perhitungan sederhana
tanpa bantuan orang lain.
m. Kemampuan penilaian
Penjelasan : Klien dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk
(mampu melakukan penilaian)
n. Daya tilik diri
Penjelasan: Klien tidak mengingkari penyakit yang diderita, klien
mengetahui bahwa dia sedang sakit dan dalam masa perawatan.

6. Mekanisme Koping
Klien mengalami mekanisme koping adaptif yaitu klien dapat berbicara
baik dengan orang lain.

7. Masalah Psikososial & Lingkungan


Klien mengatakan sulit berteman dengan orang lain karena klien selalu
ingin menyendiri.
Masalah keperawatan ; isolasi sosial ; menarik diri.

8. Pengetahuan Kurang Tentang Gangguan Jiwa


Klien tidak mengetahui tentang gangguan jiwa yang di alaminya dan obat
yang dikonsumsinya.

9. Aspek Medis
Diagnosa medis : Skizofrenia Paranoid Terapi medis yang diberikan:
a. Resperidon tablet 2 mg 2x1

10. Analisa Data

NO Data Masalah Keperawatan


1. Ds : Gangguan Konsep Diri : Harga
1. Klien mengatakan merasa tidak berguna diri rendah kronis
karena tidak dapat membantu keluarga.
2. Klien mengatakan merasa minder
karena penyakit yang dialaminya
3. Klien mengatakan selalu merasa sedih
dengan penyakitnya.
Do :
1. Klien tampak murung
2. Klien lebih banyak diam
3. Nada bicara pelan
2. Ds : Gangguan persepsi sensori :
1. Keluarga klien mengatakan bahwa klien halusinasi pendengaran
sering berteriak
2. Klien sering mendengarkan suara –
suara tanpa wajah yang menyuruhnya
untuk selalu ibadah
3. Klien mengatakan suara – suara tersebut
muncul 3 kali / hari, muncul pada saat
klien sedang menyendiri
4. Klien merasa gelisah dan takut jika
mendengar suara tersebut.
Do :
1. Klien sering marah – marah, mondar –
mandir, bicara sendiri, bicara ngawur,
sering senyum – senyum sendiri
3. Ds : Isolasi Sosial : Menarik Diri
1. Klien mengatakan tidak mengikuti
kegiatan di kelompok/masyarakat
2. Klien mengatakan mempunyai
hambatan dalam berhubungan dengan
orang lain karena klien sulit bergaul dan
selalu ingin menyendiri.
Do :
Klien tampak menghindari interaksi, terlihat
sedih, pendangan menunduk kebawah.

8. Masalah Keperawatan
a. Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran
b. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah
c. Isolasi Sosial: Menarik Diri
9. Prioritas Diagnosa Keperawatan
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran

10. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Intervensi

1. Gangguan Persepsi Sensori : SP 1


Halusinasi Pendengaran. 1. Identifikasi isi, waktu terjadi,
Ds : situasi pencetus, dan respon

1. Keluarga klien mengatakan terhadap halusinasi

bahwa klien sering berteriak 2. mengontrol halusinasi dengan

2. Klien sering mendengarkan cara menghardik

suara – suara tanpa wajah SP 2


yang menyuruhnya untuk 1. Mengontrol Halusinasi dengan

selalu ibadah cara minum obat secara teratur

3. Klien mengatakan suara – SP 3


suara tersebut muncul 3 kali / 1. mengontrol halusinasi dengan

hari, muncul pada saat klien cara bercakap – cakap dengan

sedang menyendiri orang lain

4. Klien merasa gelisah dan SP 4


takut jika mendengar suara 1. Mengontrol halusinasi dengan

tersebut. cara melakukan aktifitas

Do : terjadwal

1. Klien sering marah – marah,


mondar – mandir, bicara
sendiri, bicara ngawur,
sering senyum – senyum
sendiri

11. Implementasi & Evaluasi

Waktu Implementasi Evaluasi


Minggu, 21 1. Data S : Senang
November Tanda dan gejala :bicara sendiri, O :
2021 marah – marah tanpa sebab, 1. Pasien mampu
10.00 memalingkan muka ke arah mengenali halusinasi
telingga, ketakutan pada suatu yang dialami nya; isi,
yang tidak jelas. frekuensi, watu
2. Diagnosa Keperawatan terjadi,
Halusinasi pendengaran pencetus,perasaan,
3. Tindakan Keperawatan respon dengan
a. Sp1 halusinasi mandiri
Melatih pasien 2. Pasien mampu
mengidentifikasi Mengontrol
halusinasinya; isi, frekuensi, halusinasinya dengan
watu terjadi, sruasi pencetus, cara menghardik
perasaan dan respon dengan bantuan
halusinasi A : Halusinasi (+)
b. Mengontrol halusinasi P :
dengan cara menghardik 1. Latihan
c. RTL : mengidentifikasi
Sp2; mengontrol halusinasi halusinasinya; isi,
dengan cara minum obat frekuensi, watu
Sp3: Mengontrol halusinasi terjadi, pencetus,
dengan cara bercakap – perasaan dan respon
cakap. halusinasi 3x/hari
2. Latihan menghardik
halusinasi 3x/ hari
Senin, 22 1. Data S : Klien Senang dan
November Tanda dan gejala : bicara atau Antusias O:
2021 tertawa sendiri, mudah marah – 1. klien mampu
10.00 ketakutan pada suatu yang tidak mengontrol halusinasi
jelas, sering meludah. dengan minum obat
2. Diagnosa keperawatan - secara teratur dengan
Halusinasi pendengaran bantuan pengawasan
3. Tindakan keperawatan keluarga.
a. Sp2 : Memberikan informasi 2. Klien mampu
tentang cara pengunaan obat melakukan
minum obat komunikasi secara
b. Sp3 : memberikan informasi verbal : asertif/bicara
dampak positif mengontol baik-baik dengan
halusinasi dengan cara motivasi.
bercakap – cakap A : Risiko Perilaku
c. RTL: Kekerasan (+)
Sp4 : Mengontrol halusinasi P :
dengan cara melakukan 1. Latihan
aktivitas. mengidentifikasi
halusinasinya; isi,
frekuensi, waktu
terjadi, pencetus,
perasaan dan respon
halusinasi 3x/hari
2. Latihan menghardik
halusinasi 3x/ hari
3. Latihan minum obat
dengan prinsip 6
benar 2x/ hari
4. Latihan komunikasi
secara verbal :
asertif/bicara baik-
baik 3x/ hari.
Selasa, 23 1. Data S : klien mengatakan dia
November a. Tanda dan gejala : bicara merasa senang bisa bercakap-
2021 atau tertawa sendiri, mudah cakap dengan orang lain
10.00 marah – ketakutan pada O : Klien mempraktekkan
suatu yang tidak jelas, sering cara bercakap-cakap dengan
meludah. orang lain
b. Diagnosa keperawatan A : Halusinasi pendengaran
Halusinasi (+)
c. Tindakan keperawatan Sp4 : P : Intervensi dilanjutkan
Halusinasi 1. Latihan
1. Mengevaluasi menghardik
kemampuan Menghardik halusinasi 3 x/ hari
Halusinasi 2. Latihan minum
2. Melatih pasien untuk obat dengan prinsip
melakukan kegiatan 6 benar 2 x/ hari
spritual dengan cara 3. Latihan bercakap-
berdoa. cakap dengan orang
3. RTL : lain 3x/ hari
Halusinasi: Follow up 4. Latihan kegiatan
dan evaluasi Sp 1-4 spiritual.
Halusinasi
KESIMPULAN

1. Gangguan jiwa merupakan gangguan dalam berpikir (cognitive), kemauan (volition),


emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007). Menurut Malim (2002)
Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom dengan variasi penyebab. Umumnya
ditandai adanya penyimpangan yang fundamental, karakteristik dari pikiran dan
persepsi, adanya afek yang tidak wajar atau tumpul (Yusuf, dkk, 2015).
2. Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi : merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan atau penghidu ( Direja, 2011).
3. Proses terjadinya halusinasi disebabkan karena factor predisposisi dan factor
presipitasi.
4. Halusinasi bisa berkembang melalui empat fase.

Anda mungkin juga menyukai