A. Latar Belakang
Gangguan jiwa dalam UU RI No. 18 Tahun 2014, disebutkan orang
dengan gangguan jiwa yang disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejalan dan perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang
sebagai manusia.
Orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ secara umum mengalami
peningkatan dari tahun ketahun. Data statistik yang dikemukakan oleh WHO
tahun 2020 menyebutkan bahwa sekitar 450 juta orang di dunia mengalami
masalah gangguan kesehatan jiwa. Seperti diantaranya terjadi di Negara
berkembang. Data yang ditemukan oleh peneliti di Harvard University dan
University college London, mengatakan penyakit kejiwaan pada tahun 2016
meliputi 32% dari semua jenis kecacatan diseluruh dunia (Pebrianti, 2021).
Skizofrenia merupakan kondisi psikotik yang berpengaruh terhadap area
fungsi individu, termasuk berpikir, berkomunikasi, menerima, menafsirkan
kenyetan, merasakan dan menunjukkan emosi serta penyakit kronis yang ditandai
dengan pikiran kacau, delusi, halusinasi, dan perilaku (Pardede, Simanjuntak &
Laia, 2020). Skizofrenia merupakan gangguan mental beret dan kronis yang
menyerang 20 juta orang di seluruh dunia (WHO, 2019), Sedangkan di Indonesia,
Prevalensi Skizofrenia yaitu 1,7 per mil penduduk etau sekitar 400 ribu orang
(Riskesdas, 2013). Sedangkan Hasil Riskesdas (2018) didapatkan estimasi
prevalensi orang yang pernah menderita skizofrenia di Indonesia sebesar 1,8 per
1000 penduduk.
Sebagian besar penderita gangguan jiwa adalah penderita skizofrenia.
Penderita ini mendominasi jumlah penderita gangguan jiwa, yaitu 99% dari
seluruh gangguan jiwa dirumah sakit Prevalensi penderita skizofrenia di
Indonesia adalah 0,3-1% dan dapat timbul pada usia 18-45 tahun, bahkan ada
yang timbul pada penderita usia 11-12 tahun. Apa bila penduduk Indonesia
berjumlah dua ratus juta jiwa, maka di perkirakan sekitar juta juta jiwapenduduk
menderita skizofrenia (Pardede & Purba, 2020).
Diperkirakan empat ratus juta orang diseluruh dunia mengalami
gangguan jiwa, sekitar 10% orang dewasa akan mengalami gangguan jiwa saat
ini dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia
tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara
keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% ditahun
2030.Gangguan jiwa tersebut berhubungan dengan bunuh diri setiap tahunnya
akibat gangguan jiwa, hingga sekarang penanganan penderita gangguan jiwa
belum memuaskan sehingga terjadi peningkatan seperti yang terlihat diatas,
sesuai dari data yang telah dipaparkan bahwa skizofrenia adalah gangguan jiwa
berat yang mempunyai prevalensi paling tinggi (Pardede & Siregar 2016).
Halusinasi merupakan persepsi yang diterima oleh panca indera tanpa
adanya stimulus eksternal. Klien dengan halusinasi sering merasakan
keadaan/kondisi yang hanya dapat dirasakan olehnya namun tidak dapat
dirasakan oleh orang lain.Halusinasi merupakan keadaan seseorang mengalami
perubahan dalam pola dan jumlah stimulasi yang diprakarsai secara internal atau
eksternal disekitar denganpengurangan berlebihan, distorsi, atau kelainan
berespon terhadap satiap stimulasi dan halusinasi juga merupakan perubahan
dalam jumlah dan pola dari stimulasi yang diterima dan disertai dengan
penurunan berlebihan distorsi atau kerusakan respon beberapa stimulasi (Aldam,
& Wardani, 2019).
Menurut Yosep (2011, dalam Anjar 2018), Halusinasi di pengaruhi oleh
2 faktor yaitu: faktor presdiposisi dan faktor presipitasi. Faktor presdiposisi
adalah faktor yang mempengaruhi fungsi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Faktor presdiposisi dapat
meluputi faktor pengembangan, sosiokultural, biologis, psikologis dan genatik.
Faktor presipitasi adalah stimulus yang di persiapkan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energy ekstra untuk
menghadapinya. dimana di dalamnya terdapat perilaku seperti konsep diri rendah,
keputusasaan, kehilangan motivasi, tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual
(Anjar, 2018).
Merawat pasien skizofrenia dengan masalah halusinasi dibutuhkan
pengetahuan, keterampilan dan kesabaran serta dibutuhkan waktu yang lama
akibat kronisnya penyakit ini. Anggota keluarga yang bersama pasien skizofrenia
menghabiskan lebih banyak waktu di rumah untuk merawat yang sakit dari pada
memperhatikan dan mengurusi dirinya. Kemampuan dalam merawat pasien
skizoprenia merupakan keterampilan yang harus praktis sehingga membantu
keluarga dengan kondisi tertentu dalam pencapaian kehidupan yang lebih mandiri
dan menyenangkan (Patricia et al, 2019).
Dampak yang ditimbulkan dari adaya halusinasi adalah kehilangan
Social diri, yang mana dalam situasi ini dapat membunuh diri ,membunuh orang
lain, bahkan merusak lingkungan. Dalam memperkecil dampak yang ditimbulkan
halusinasi dibutuhkan penangan yang tepat. Dengan banyaknya kejadian
halusinasi, semakin jelas bahwa peran perawat nntuk membantu pasien agar
dapat mengontrol halusinasi (Maulana, Hernawati & Shalahuddin, 2021).
Dalam penanganan halusinasi sudah di tangani beberapa terapi
keperawatan seperti Terapi Strategi pelaksanaan adalah penerapan standar asuhan
keperawatan terjadwal yang diterapkan pada pasien yang bertujuan untuk
mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani. Strategi pelaksanaan pada
pasien halusinasi mencakup kegiatan mengenal halusinasi, mengajarkan pasein
menghardik, minum obat dengan teratur, bercakap-cakap dengan orang lain saat
halusinas muncul, sertamelakukan aktivitas terjadwal utuk mencegah halusinasi
(Livana, Rihadini, Kandar, Suerni, Sujarwo, Maya & Nugroho. 2020) dan Terapi
musik klasik dalam dapat mengubah perilaku yang awalnya berperilaku
maladaptive ke perilaku adaptif pada pasien halusinasi pendengaran. Teknik ini
dapat membantu klien mengubah perilaku yang dari negatif menjadi pasitif
(Wijayanto & Agustina, 2017).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang di atas, maka peneliti
merumuskan perumuan masalah dengan ‘ Bagaimana Asuhan Keperawatan pada
pasien dengan Gangguan Sensori Persepsi; Halusinasi Pendengaran yang
mengalami Defisit Perawatan Diri‘.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
D. Manfaat
1) Teoritis
Hasil penelitian proposal ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
memberikan informasi mengenai Hubungan Kemampuan Mengontrol
Halusinasi terhadap Perawatan Diri pada pasien Gangguan Sensori
Presepsi Halusinasi Pendengaran.
a. Bagi Peneliti
Dapat menambah pengalaman nyata dan wawasan mengenai
Hubungan Kemampuan Mengontrol Halusinasi terhadap
Perawatan Diri pada pasien Gangguan Sensori Presepsi
Halusinasi Pendengaran.
c. Bagi Pasien
Diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam
mengatasi masalah Defisit Perawatan Diri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang
ditandai dengan perubahan persepsi sensori : halusinasi merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, penciuman, perbaan, dan penghiduan. Klien
merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Muhith, 2015).
2. Psikodinamika
a. Etiologi
Etiologi halusinasi menurut (Supinganto, Agus, 2021)
1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan
interpersonal yang dapat meningkatkan stress dan ansietas yang
dapat berakhir dengan gangguan persepsi.
b. Faktor sosial budaya
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang merasa
disingkirkan atau kesepian.
c. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis
d. Faktor biologis
Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien gangguan
orientasi realita.
e. Faktor genetik
Gangguan orientasi realita termasuk halusinasi umumnya
ditemukan pada pasien skizofrenia. Skizofrenia ditemukan cukup
tinggi pada keluarga yang salah anggota keluarganya mengalami
skizofrenia.
2. Faktor presipitasi
a. Stresor sosial budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan
satabilitas keluarga.
b. Faktor biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamine, norepinefrin, indolamin,
serta zat halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi
realita.
c. Factor psikologis
Kecemasan yang berlebhan dan dalam jangka waktu yang lama
disertai dengan keterbatasan kemampuan mengatasi masalah
memungkinkan berkembangnya gangguan orientasi ralita.
d. Perilaku
Perilaku yag perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi
realitas berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi,
motorik,dan sosial.
b. Klasifikasi Halusinasi
Menurut (Titin,2017), halusinasi sendiri dibagi menjadi lima jenis yaitu :
1. Halusinasi Pendengaran
Data subjektif : Mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar
suara mengajak bercakap-cakap, mendengar suara menyuruh
melakukan sesuatu yang berbahaya.
Data Objektif : Berbicara sendiri, tertawa sendiri tanpa lawan bicara,
marah-marah tanpa sebab, menutup telinga dan mondar-mandir.
2. Halusinasi Penglihatan
Data Subjektif : Melihat bayangan, sinar, bentuk sesuatu, melihat
hantu.
Data Objektif : Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, merasa ketakutan
pada obyek atau bayangan yang tidak jelas.
3. Halusinasi Penciuman
Data Subjektif : Membau seperti baau feses , urine dan bau darah
yang sangat menyengat.
Data Obejktif : Seperti sedang berbau-bau tertentu, menutup hidung.
4. Halusinasi Pengecapan
Data subjektif : Merasakan seperti darah, urine dan feses.
Data objektif : Sering meludah dan muntah.
5. Halusinasi Perabaan
Data Subjektif : Mengatakan seperti ada serangga yang menempel
dipermukaan kulit.
Data Objektif : Menggaruk- garuk permukaan kulit.
c. Tahapan Halusinasi
Tahapan halusinasi menurut Depkes RI (2000 dalam Dermawan &
Rusdi, 2013) sebagai berikut :
1. Tahap I (Conforting)
Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum
halusinasi merupakan suatu kesenangan dengan karakteristik :
a. Klien mengalami ansietas, rasa bersalah dan ketakutan
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
ansietas
c. Pikiran dan pengalaman masih dalam kontrol kesadaran.
Perilaku klien :
Perilaku klien :
Perilaku klien :
3. Manifestasi Klinis
Ada beberapa tanda dan gejala pada klien dengan gangguan persepsi sensori;
halusinasi pendengaran dilihat dari data subjekti dan data objektif (Fresa et al,
2015).
a. Data Subjektif pada pasien dengan gangguan persepsi sensori; halusinasi
pendengaran , yaitu mendengar suara atau bunyi , mendengar suara yang
menyuruh melakukan suatu hal yang membahayakan, mendengar suara
yang mengajak bercakap-cakap, suara yang mengancam diri.
b. Data Objektif pada pasien dengan gangguan sensori persepsi; halusinasi
pendengaran yaitu bicara sendiri, bicara tidak teratur, dan kekacauan yang
menyeluruh,marah-marah tanpa sebab, pasien terlihat gelisah, pasien
terlihat mondar mandir, tertawa sendiri dan tiba tiba menangis.
4. Penatalaksanaan
Terapi dalam jiwa bukan hanya meliputi pengobatan farmakologi, tetapi
juga pemberian psikoterapi, serta terapi modalitas yang sesuai dengan gejala
atau penyakit klien yang mendukung penyembuhan klien jiwa.
Pada terapi tersebut juga harus dengan dukungan keluarga dan sosial akan
memberikan peningkatan penyembuhan karena klien akan merasa berguna
dalam masyarakat dan tidak merasa asingkan dengan penyakit yang
dialaminnya. (Kusmawati & Hartono,2010)
a. Psikofarmakologis
Farmakoterapi adalah pemberian terapi dengan menggunakan obat. Obat
yang digunakan utnuk gangguan jiwa disebut psikofarmaka atau
psikotropika atau pherentropika. Terapi gangguan jiwa dengan
menggunakan oabt-obatan disebut dengan psikofarmakoterapi aau
medikasi psikotropika yaitu obat yang mempunyai efek terapeutik
langsung pada proses mental penderita karena kerjanya pada otak/ sistem
saraf pusat. Obat biasa berupa haloperidol, Alprazola,.Cpoz,
Trihexphendyl.
b. Terapi Somatis
Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan
gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi
perilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi
fisik klien. Walaupun yang diberi perilaku adalah fisik klien tetapi target
adalah perilaku klien. Jenis somatic adalah meliputi peningkatan, terapi
kejang listrik, isolasi dan fototerapi.
1. Peningkatan
Peningkatan adalag terapi menggunakan alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien yang bertujun untuk melindungi
fisik sendiri atau orang lain.
2. Terapi kejang listrik
Elekrto Convulse Therapy (ECT) adalah bentuk terapi pada klien
dengan menimbulkan kejang (grandma) dengan mengalirkan arus
listrik kekuatan rendah (2-8 joule) melalui elektroda yang ditempelkan
beberapa detik pada pelipis kiri/kanan (lobus frontal) klien
( Stuart,2007).
c. Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi
diberikan dalam upaya mengubah perilaku klien dan perilaku yang
maladaptif menjadi perilaku adaptif. Jenis terapi modalitas meliputi
psikoanalisis, psikoterapi, terapi perilaku kelompok, terapi keluarga, terapi
rehabilitas, terapi psikodrama, terapi lingkungan (Stuart,2007).
5. Rentang Respon
1. Pengkajian
Tujuan pengkajian menurut ( Dermawan,2013 ) yaitu untuk memperoleh
informasi tentang keadaan kesehatan pasien, menentukan masalah
keperawatan dan kesehatan pasien, menilai keadaan kesehatan pasien,
dan membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah-langkah
berikutnya. Untuk dapat menjaring data yang diperlukan umumnya,
dikembangkan formulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar
memudahkan dalam pengkajian. Isi pengkajian meliputi :
1. Identitas pasien
2. Keluhan utama atau alasan masuk
3. Faktor predisposisi
4. Aspek fisik atau biologis
5. Aspek psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial
10. Pengetahuan
11. Aspek medic
1. Data objektif
Ialah data yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melaui
observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat.
Data objektif halusinasi pendengaran menurut ( Dermawan,2013 ) :
a. Pasien terlihat berbicara sendiri
b. Pasien terlihat tertawa sendiri
c. Pasien terlihat gelisah
d. Pasien terlihat mondar-mandir
2. Data Subjektif
Ialah data yang disampaikan secara lisan oleh pasien dan keluarga.
Dan ini diperoleh melaui wawancara perawat kepada pasien dan
keluarga.
Data subjektif halusinasi pendengran menurut ( Dermawan,2013) :
a. Pasien mengatakan mendengar suara yang mengejeknya
b. Pasien mengatakan mendengar bisiskan setiap saat
c. Pasien mengatakan mendengar bisiskan berkali-kali
d. Pasien mengatakan mendengar bisiskan pada situasi yang tidak
menentu
2. Pohon Masalah
Skema 2.2 Pohon Masalah Halusinasi Sumber : Dermawan dan Rusdi (2013)
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan gangguan
persepsi sensori halusinasi adalah sebagai berikut :
1. Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
2. Isolasi Sosisal
3. Resiko Perilaku Kekerasan ( diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan
verbal ) Skema 2.2 Pohon Masalah Halusinasi Sumber : Dermawan
dan Rusdi (2013)
4. Intervensi Keperawatan
Hari/tanggal Diagnosa Perencanaan Rasional
Keperawata
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
n
6. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap kelima atau terakhir dalam proses keperawatan. Penilaian
terakhir pada proses keperawatan yang ditetapkan, penetapan keberhasilan
asuhan keperawatan didasarkan pada perubahan perilaku dari kriteria hasil yang
sudah ditetapkan, yaitu terjadi adaptasi pada individu (Nursalam, 2016).
4. Rentang Respon
Menurut Dermawan (2013), adapun rentang respon defisit perawatan diri sebagai
berikut :
Adaptif Maladaptif
Pola perawatan diri Kadang perawatab Tidak melakukan
seimbang diri kadang tidak perawatan diri pada
saat stress
a. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu untuk
berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih
melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stresor kadang –
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
c. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa
melakukan perawatan saat stresor.
5. Tanda dan Gejala
Menurut Jalil (2015), tanda dan gejala defisit perawatan diri terdiri dari :
1. Data subjektif
a. Malas mandi
b. Tidak mau menyisir rambut
c. Tidak mau menggosok gigi
d. Tidak mau memotong kuku
e. Tidak mau berhias/berdandan
f. Tidak bisa/tidak mau menggunakan alat mandi/kebersihan diri
g. Tidak mau menggunakan peralatan untuk makan dan minum
h. BAB dan BAK disembarang tempat
i. Tidak membersihkan diri dan tempat BAB/BAK
j. Tidak mengetahui cara perawatan diri yang baik dan benar
2. Data objektif
a. Badan bau, kotor, berdaki, rambut kotor, gigi kotor, kuku panjang.
b. Tidak menggunakan alat mandi pada saat mandi dan tidak mandi dengan benar.
c. Rambut kusut, berantakan, kumis dan jenggot tidak rapi, serta tidak mampu
berdandan.
d. Pakaian tidak rapi, tidak mampu memilih, mengambil, memakai, mengencangkan
dan memindahkan pakaian, tidak memakai sepatu, tidak mengkancingkan baju atau
celana.
6. Dampak Defisit Perawatan Diri
Menurut Dermawan (2013) dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene
ialah :
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya
kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah gangguan
integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan
gangguan fisik pada kuku.
b. Dampak Psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan kebutuhan
rasa nyaman , kebutuhan dicintai dan mencinti, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan
gangguan interaksi sosial.
7. Mekanisme Koping
Berdasarkan penggolongannya, mekanisme koping di bagi mejadi 2 yaitu :
a. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi
pertumbuhan belajar dan mencapi tujuan. Kategori ini adalah pasien bisa memenuhi
kebutuhan perawatan diri secara mandiri.
b. Mekanisme koping maladaptive
Mekanisme koping maladaptive adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi
integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategorinya adalah tidak ingin merawat diri.
8. Penatalaksanaan
Setelah mengetahui tanda dan gejala yang dapat menimbulkan masalah perawatan diri pada
seseorang, juga terdapat penatalaksaan untuk mengatasi maupun mencegah masalah
perawatan diri pada sesorang, diantaranya :
a. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
b. Membimbing dan menolong pasien merawat diri
c. Ciptakan lingkungan yang mendukung
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal untuk selanjutnya menentukan diagnosa, intervensi,
implementasi, dan evaluasi pada klien. Data yang diperoleh dalam pengkajian terdiri
dari :
1. Identitas klien
2. Alasan masuk
3. Faktor predisposisi
a. Pada umumnya klien pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu
b. Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri
c. Pengobatan sebelumnya kurang berhasil
d. Harga diri rendah, klien tidak mempunyai motivasi untuk merawat diri
e. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, yaitu perasaan ditolak, dihina,
dianiaya, dan saksi penganiayaan
f. Ada anggota keluarga yang pernah mengalami gangguan jiwa
g. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan yaitu kegagalan yang
dapat menimbulkan frustasi
4. Pemeriksaan fisik
5. Psikososial
a. Genogram
Menggambarkan klien dan anggota keluarga klien yang mengalami gangguan
jiwa, dilihat dari pola komunikasi, pengambilan keputusan dan pola asuh
b. Konsep diri
c. Status mental
6. Kebutuhan pasien pulang
7. Mekanisme koping
Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah :
1. Data Subjektif
a. Pasien merasa lemah
b. Malas untuk beraktivitas
c. Mersa tidak berdaya
2. Data Objektif
a. Rambut kotor, acak-acakan
b. Badan dan pakaian kotor dan bau
c. Mulut dan gigi bau
d. Kulit kusam dan kotor
e. Kuku panjang dan tidak terawatt
2. Pohon Masalah
Gangguan pemeliharaan kesehatan
6. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi menurut Keliat (2010) adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan kepada pasien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon
pasien terhadap tindakan keperawatan yang dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi
dua jenis yaitu evaluasi proses atau formatif yang dilakukan tiap selesai melakukan
tindakan keperawatan dan evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan
membandingkan respons pasien dengan tujuan yang telah ditentukan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP dengan penjelasan
sebagai berikut:
1. S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
dapat di ukur dengan menanyakan kepada pasien langsung.
2. O : Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku pasien pada saat tindakan dilakukan.
3. A : Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk mrenyimpulkan apakah
masih tetap atau muncul maslah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah
yang ada.
4. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon pasien yang
terdiri dari tindakan lanjut pasien dan tindakan lanjut oleh perawat .
C. Konsep Mandi
1. Pengertian mandi
Mandi adalah suatu aktivitas membasuh tubuh dengan cairan, biasanya menggunakan air,
larutan encer, atau dengan merendam tubuh dalam air (Wikipedia).
Mandi adalah kegiatan membersihkan tubuh dengan air dan sabun (dengan cara
menyiramkan, merendamkan diri dalam air, dan sebagainya).
2. SOP Mandi
a. Tujuan
1. Pasien memahami pentingnya mandi
2. Pasien memahami cara mandi yang baik
3. Pasien mampu madi dengan baik
b. Alat
1. Ember
2. Gayung mandi
3. Handuk bersih
4. Sabun mandi
5. Air bersih
c. Cara Mandi
a. Basahi seluruh permukaan tubuh dengan air yang tersedia
b. Ambil sabun, gosokkan ke permukaan tubuh mulai dari permukaan yang dianggap
paling bersih ke permukaan yang paling kotor : badan dan anggota badan, wajah,
baru kemudian daerah perineal dan arean seputar kelamin
c. Bilas dengan air hingga sisa sabun hilang di seluruh permukaan tubuh dan
permukaan kulit terasa kesat
d. Keringkan dengan menggunakan handuk yang bersih
3. Manfaat Mandi
a. Membersihkan kotoran untuk mencegah infeksi kulit dan gatal-gatal
b. Menghilangkan bau badan
c. Meningkatkan penampilan diri
d. Meningkatkan percaya diri
4. Evaluasi dan Dokumentasi
4. Memperagakan tahapan
mandi
Catatan :
a. Beri tanda sheck (√) untuk kemampuan yang dapat dilakukan
b. Bila pasien tidak mampu, stimulasi/latih sampai pasien mampu
c. Pasien dianggap mampu jika semua unsur kemampuan tercapai (Kelliat & Pawirowiyono,
2013)
5. Format Penilaian Memandikan
Nama Pasien :
Ruangan :
Keterangan
M : Jika dilakukan secara mandiri tanpa dibantu orang lain
B : Jika melakukan dengan bantuan orang lain
T : Jika tergantung penuh pada orang lain
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Design penelitian
Studi kasus ini adalah untuk menyampaikan masalah dengan “Hubungan Kemampuan
Mengontrol Halusinasi terhadap Perawatan Diri pada pasien Gangguan Sensori Presepsi
Halusinasi Pendengaran “.
B. Subyek study kasus
Pada penelitian ini menggunakan istilah subyek studi kasus. Maka dari itu, yang menjadi subyek
studi kasus dalam penelitian ini adalah 3 orang pasien dengan masalah keperawatan yang sama
yaitu halusinasi, perawat memberikan prosedur asuhan keperawatan berupa terapi spiritual
(gayatri mantram) serta berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya. Subyek pada studi kasus
ini perlu dirumuskan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi atau kriteria yang dapat diteliti adalah karakteristik umum subyek penelitian
dari suatu populasi target dan terjangkau akan diteliti. Kriteria inklusi dalam penelitian ini
adalah:
a).Rekam medik dengan masalah keperawatan Halusinasi.
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi atau kriteria yang tidak layak diteliti adalah menghilangkan atau
mengeluarkan subyek karena berbagai sebab:
a) Rekam medik pasien dengan masalah keperawatan gangguan persepsi sensori
(halusinasi) yang tidak memiliki berkas yang lengkap.
C. Fokus study
Fokus studi kasus merupakan kajian utama yang menjadi permasalahan dasar studi kasus. Fokus
studi kasus dalam penelitian ini adalah pemberian terapi spiritual (gaya tri mantram) untuk
mengontrol gangguan persepsi sensori (halusinasi) pada pasien skizofrenia.
E. Definisi Operasional
Definsi Operasional adalah Batasan pengertian yang dijadikan sebagai pedoman untuk
melakukan suatu kegiatan ataupun pekerjaan (Widjono Hs 2008:19). Dalam hal ini definisi
operasional dalam keperawatan Kesehatan jiwa adalah bentuk pelayanan professional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan Kesehatan, menerapkan teori prilaku manusia
sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya.
F. Instrumen
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk memperoleh, mengolah dan
menginterpretasikan informasi yang diperoleh dari responden yang dilakukan dengan
menggunakan pola ukur yang sama (Siregar, 2017).
Suatu instrumen penelitian dikatakan berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan jika sudah
terbukti validitas dan reabilitasnya. Pengujian validitas dan reabilitas instrumen, tentunya harus
disesuaikan dengan bentuk instrument yang akan digunakan dalam penelitian. Instrument yang
digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi yang berisikan tentang gangguan persepsi
sensori pasien dengan menggunakan skala RUFA Gangguan Persepsi Sensori yang dibagi
menjadi 3 kategori yaitu intensif I skor (1-10), intensif II skor (11-20), dan intensif III skor (21-
30). Skala RUFA Gangguan Persepsi pada penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan
reabilitas lagi, dikarenakan sudah baku (Suseno, 2013).
1. Analisa Data
Analisa data akan dilakukan sejak penelitian dilapangan, mulai dari pengumpulan
data sampai dengan semua data terkumpul. Analisa data akan dilakukan dengan cara
mengumpulkan data dari fakta, kemudian membandingkan dengan teori yang ada dan
kemudian dituangkan kedalam opini pembahasan.
2. Penyajian Data
a. Coding
Coding adalah tahapan kegiatan mengklasifikasi data dan jawaban menurut
kategori masing-masing sehingga memudahkan dalam pengelompokan data.
Adapun pengolahan data pada penelitian ini yaitu :
1) Umur
a) 20-30 tahun diberi kode = 1
b) 40-50 tahun diberi kode = 2
c) 60-70 diberi kode = 3
2) Jenis Kelamin
a) Perempuan diberi kode = 1
b) Laki-laki diberi kode = 2
3) Pekerjaan
a) Tidak bekerja/IRT diberi kode = 1
b) Pegawai Negeri Sipil/PNS diberi kode = 2
c) Swasta diberi kode = 3
d) Petani diberi kode = 4 29
e) Pedagang diberi kode = 5
f) Lain-lain diberi kode = 6
4) Pendidikan
a) Dasar diberi kode = 1
b) Menengah diberi kode = 2
c) Perguruan Tinggi diberi kode = 3
b. Tabulating
Tabulating merupakan tahapan kegiatan pengorganisasian data sedemikian rupa agar
dengan mudah dapat dijumlah, disusun, dan data untuk disajikan dan dianalisis.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data coding dan tabulating, dimana data
di klasifikasi dan jawaban menurut kategori masing masing sehingga memudahkan dalam
pengelompokan data, kemudian pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan
mudah dapat dijumlah, disusun, dan data untuk disajikan dan dianalisis.
I. Etika Penelitian
Dalam pembuatan proposal karya tulis ilmiah ini penulis dengan segala tindakan harus ada
etika penelitian kasus yang meliputi :
1. Informed consent (lembar persetujuan)
Penulis meminta persetujuan partisipan untuk berpartisipasi dalam penelitian (hidayat,
2009).
2. Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, maka dalam lembar pengumpulan data tidak di cantumkan
data atau nama, melainkan inisial/kode (hidayat, 2009).
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari partisipan dijaga oleh penulis. Data
yang hanya disajikan atau dilaporkan dalam bentuk kelompok yang berhubungan dengan
penelitian ini (hidayat, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Dermawan, Deden & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa; Konsep dan Kerangka
Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Pustaka Baru
Puspita Sari, S., Hasanah, U., Inayati, A., & Keperawatan Dharma Wacana
Metro, A. (2021). Penerapan Personal Hygiene Terhadap Kemandirian
Pasien Defisit Perawatan Diri. Jurnal Cendikia Muda, 1(3), 372–382
Keliat, dkk. 2015. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa : Diagnosa Sehat, resiko
dan gangguan. Draft Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia