Anda di halaman 1dari 47

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN KEMAMPUAN MENGONTROL HALUSINASI TERHADAP


PERAWATAN DIRI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SENSORI
PRESEPSI HALUSINASI PENDENGARAN

Dosen pengampu : Ns, Harwina Widya Astuti S.Kep,. M,Kep


Disusun Oleh :
1. Iim Abdul Karim 21037
2. Yosua Ronaldo Sihombing 21048
3. Muhamad Alamsyah 21050
4. Yulita Eka Leonis Putri 21055
5. Salsabilla Noviyani Kharisma 21056
6. Nisa Alfiyanti 21057

UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PRODI D III KEPERAWATAN
JAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan jiwa dalam UU RI No. 18 Tahun 2014, disebutkan orang
dengan gangguan jiwa yang disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejalan dan perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang
sebagai manusia.
Orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ secara umum mengalami
peningkatan dari tahun ketahun. Data statistik yang dikemukakan oleh WHO
tahun 2020 menyebutkan bahwa sekitar 450 juta orang di dunia mengalami
masalah gangguan kesehatan jiwa. Seperti diantaranya terjadi di Negara
berkembang. Data yang ditemukan oleh peneliti di Harvard University dan
University college London, mengatakan penyakit kejiwaan pada tahun 2016
meliputi 32% dari semua jenis kecacatan diseluruh dunia (Pebrianti, 2021).
Skizofrenia merupakan kondisi psikotik yang berpengaruh terhadap area
fungsi individu, termasuk berpikir, berkomunikasi, menerima, menafsirkan
kenyetan, merasakan dan menunjukkan emosi serta penyakit kronis yang ditandai
dengan pikiran kacau, delusi, halusinasi, dan perilaku (Pardede, Simanjuntak &
Laia, 2020). Skizofrenia merupakan gangguan mental beret dan kronis yang
menyerang 20 juta orang di seluruh dunia (WHO, 2019), Sedangkan di Indonesia,
Prevalensi Skizofrenia yaitu 1,7 per mil penduduk etau sekitar 400 ribu orang
(Riskesdas, 2013). Sedangkan Hasil Riskesdas (2018) didapatkan estimasi
prevalensi orang yang pernah menderita skizofrenia di Indonesia sebesar 1,8 per
1000 penduduk.
Sebagian besar penderita gangguan jiwa adalah penderita skizofrenia.
Penderita ini mendominasi jumlah penderita gangguan jiwa, yaitu 99% dari
seluruh gangguan jiwa dirumah sakit Prevalensi penderita skizofrenia di
Indonesia adalah 0,3-1% dan dapat timbul pada usia 18-45 tahun, bahkan ada
yang timbul pada penderita usia 11-12 tahun. Apa bila penduduk Indonesia
berjumlah dua ratus juta jiwa, maka di perkirakan sekitar juta juta jiwapenduduk
menderita skizofrenia (Pardede & Purba, 2020).
Diperkirakan empat ratus juta orang diseluruh dunia mengalami
gangguan jiwa, sekitar 10% orang dewasa akan mengalami gangguan jiwa saat
ini dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia
tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara
keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% ditahun
2030.Gangguan jiwa tersebut berhubungan dengan bunuh diri setiap tahunnya
akibat gangguan jiwa, hingga sekarang penanganan penderita gangguan jiwa
belum memuaskan sehingga terjadi peningkatan seperti yang terlihat diatas,
sesuai dari data yang telah dipaparkan bahwa skizofrenia adalah gangguan jiwa
berat yang mempunyai prevalensi paling tinggi (Pardede & Siregar 2016).
Halusinasi merupakan persepsi yang diterima oleh panca indera tanpa
adanya stimulus eksternal. Klien dengan halusinasi sering merasakan
keadaan/kondisi yang hanya dapat dirasakan olehnya namun tidak dapat
dirasakan oleh orang lain.Halusinasi merupakan keadaan seseorang mengalami
perubahan dalam pola dan jumlah stimulasi yang diprakarsai secara internal atau
eksternal disekitar denganpengurangan berlebihan, distorsi, atau kelainan
berespon terhadap satiap stimulasi dan halusinasi juga merupakan perubahan
dalam jumlah dan pola dari stimulasi yang diterima dan disertai dengan
penurunan berlebihan distorsi atau kerusakan respon beberapa stimulasi (Aldam,
& Wardani, 2019).
Menurut Yosep (2011, dalam Anjar 2018), Halusinasi di pengaruhi oleh
2 faktor yaitu: faktor presdiposisi dan faktor presipitasi. Faktor presdiposisi
adalah faktor yang mempengaruhi fungsi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Faktor presdiposisi dapat
meluputi faktor pengembangan, sosiokultural, biologis, psikologis dan genatik.
Faktor presipitasi adalah stimulus yang di persiapkan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energy ekstra untuk
menghadapinya. dimana di dalamnya terdapat perilaku seperti konsep diri rendah,
keputusasaan, kehilangan motivasi, tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual
(Anjar, 2018).
Merawat pasien skizofrenia dengan masalah halusinasi dibutuhkan
pengetahuan, keterampilan dan kesabaran serta dibutuhkan waktu yang lama
akibat kronisnya penyakit ini. Anggota keluarga yang bersama pasien skizofrenia
menghabiskan lebih banyak waktu di rumah untuk merawat yang sakit dari pada
memperhatikan dan mengurusi dirinya. Kemampuan dalam merawat pasien
skizoprenia merupakan keterampilan yang harus praktis sehingga membantu
keluarga dengan kondisi tertentu dalam pencapaian kehidupan yang lebih mandiri
dan menyenangkan (Patricia et al, 2019).
Dampak yang ditimbulkan dari adaya halusinasi adalah kehilangan
Social diri, yang mana dalam situasi ini dapat membunuh diri ,membunuh orang
lain, bahkan merusak lingkungan. Dalam memperkecil dampak yang ditimbulkan
halusinasi dibutuhkan penangan yang tepat. Dengan banyaknya kejadian
halusinasi, semakin jelas bahwa peran perawat nntuk membantu pasien agar
dapat mengontrol halusinasi (Maulana, Hernawati & Shalahuddin, 2021).
Dalam penanganan halusinasi sudah di tangani beberapa terapi
keperawatan seperti Terapi Strategi pelaksanaan adalah penerapan standar asuhan
keperawatan terjadwal yang diterapkan pada pasien yang bertujuan untuk
mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani. Strategi pelaksanaan pada
pasien halusinasi mencakup kegiatan mengenal halusinasi, mengajarkan pasein
menghardik, minum obat dengan teratur, bercakap-cakap dengan orang lain saat
halusinas muncul, sertamelakukan aktivitas terjadwal utuk mencegah halusinasi
(Livana, Rihadini, Kandar, Suerni, Sujarwo, Maya & Nugroho. 2020) dan Terapi
musik klasik dalam dapat mengubah perilaku yang awalnya berperilaku
maladaptive ke perilaku adaptif pada pasien halusinasi pendengaran. Teknik ini
dapat membantu klien mengubah perilaku yang dari negatif menjadi pasitif
(Wijayanto & Agustina, 2017).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang di atas, maka peneliti
merumuskan perumuan masalah dengan ‘ Bagaimana Asuhan Keperawatan pada
pasien dengan Gangguan Sensori Persepsi; Halusinasi Pendengaran yang
mengalami Defisit Perawatan Diri‘.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum

Menerapkan Asuhan Keperawatan pada pasien Gangguan Sensori


Persepsi Halusinasi Pendengaran yang mengalami Defisit
Perawatan Diri dengan Kemampuan Mengontrol Halusinasi.

2. Tujuan Khusus

a. Mampu melakukan pengkajian pada pasien Gangguan Sensori


Persepsi Halusinasi Pendengaran.
b. Mampu menentukan masalah keperawatan pasien Gangguan Sensori
Persepsi Halusinasi Pendengaran yang mengalami Defisit Perawatan
Diri.
c. Mampu membuat intervensi atau rencana keperawatan pasien Gangguan
Sensori Persepsi Halusinasi Pendegaran yang mengalami Defisit
Perawatan Diri.
d. Mampu membuat implementasi atau tindakan keperawatan pasien
Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi Pendengaran yang mengalami
Defisit Perawatan Diri.
e. Mampu membuat evaluasi Asuhan Keperawatan pada pasien Gangguan
Persepsi Halusinasi Pendengaran yang Mengalami Defisit Perawatan
Diri.

D. Manfaat
1) Teoritis
Hasil penelitian proposal ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
memberikan informasi mengenai Hubungan Kemampuan Mengontrol
Halusinasi terhadap Perawatan Diri pada pasien Gangguan Sensori
Presepsi Halusinasi Pendengaran.

a. Bagi Peneliti
Dapat menambah pengalaman nyata dan wawasan mengenai
Hubungan Kemampuan Mengontrol Halusinasi terhadap
Perawatan Diri pada pasien Gangguan Sensori Presepsi
Halusinasi Pendengaran.

b. Bagi Institusi Pendidikkan


Diharapkan dapat menjadi informasi dan bahan pembelajaran
khususnya dalam bidang keilmuan keperawatan jiwa.

c. Bagi Pasien
Diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam
mengatasi masalah Defisit Perawatan Diri.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Halusinasi

1. Definisi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang
ditandai dengan perubahan persepsi sensori : halusinasi merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, penciuman, perbaan, dan penghiduan. Klien
merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Muhith, 2015).

Halusinasi adalah ketidakmampuan untuk memandang realitas secara


akurat yang membuat hidup menjadi sulit,seseorang yang berhalusinasi
mungkin tidak memiliki cara untuk mengetahui apakah perseps ini adalah
nyata atau tidaknya (Deski & Syarifh, 2018).

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien


mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi (Prabowo,2014).

Halusinasi adalah perubahan persepsi terhadap stimulus baik internal


maupun eksternal yang disertai dengan respon yang berkurang, berlebihan
atau terdistorsi (SDKI,2016)

2. Psikodinamika
a. Etiologi
Etiologi halusinasi menurut (Supinganto, Agus, 2021)
1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan
interpersonal yang dapat meningkatkan stress dan ansietas yang
dapat berakhir dengan gangguan persepsi.
b. Faktor sosial budaya
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang merasa
disingkirkan atau kesepian.
c. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis
d. Faktor biologis
Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien gangguan
orientasi realita.
e. Faktor genetik
Gangguan orientasi realita termasuk halusinasi umumnya
ditemukan pada pasien skizofrenia. Skizofrenia ditemukan cukup
tinggi pada keluarga yang salah anggota keluarganya mengalami
skizofrenia.
2. Faktor presipitasi
a. Stresor sosial budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan
satabilitas keluarga.
b. Faktor biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamine, norepinefrin, indolamin,
serta zat halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi
realita.
c. Factor psikologis
Kecemasan yang berlebhan dan dalam jangka waktu yang lama
disertai dengan keterbatasan kemampuan mengatasi masalah
memungkinkan berkembangnya gangguan orientasi ralita.
d. Perilaku
Perilaku yag perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi
realitas berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi,
motorik,dan sosial.

b. Klasifikasi Halusinasi
Menurut (Titin,2017), halusinasi sendiri dibagi menjadi lima jenis yaitu :
1. Halusinasi Pendengaran
Data subjektif : Mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar
suara mengajak bercakap-cakap, mendengar suara menyuruh
melakukan sesuatu yang berbahaya.
Data Objektif : Berbicara sendiri, tertawa sendiri tanpa lawan bicara,
marah-marah tanpa sebab, menutup telinga dan mondar-mandir.
2. Halusinasi Penglihatan
Data Subjektif : Melihat bayangan, sinar, bentuk sesuatu, melihat
hantu.
Data Objektif : Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, merasa ketakutan
pada obyek atau bayangan yang tidak jelas.
3. Halusinasi Penciuman
Data Subjektif : Membau seperti baau feses , urine dan bau darah
yang sangat menyengat.
Data Obejktif : Seperti sedang berbau-bau tertentu, menutup hidung.
4. Halusinasi Pengecapan
Data subjektif : Merasakan seperti darah, urine dan feses.
Data objektif : Sering meludah dan muntah.
5. Halusinasi Perabaan
Data Subjektif : Mengatakan seperti ada serangga yang menempel
dipermukaan kulit.
Data Objektif : Menggaruk- garuk permukaan kulit.

c. Tahapan Halusinasi
Tahapan halusinasi menurut Depkes RI (2000 dalam Dermawan &
Rusdi, 2013) sebagai berikut :
1. Tahap I (Conforting)
Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum
halusinasi merupakan suatu kesenangan dengan karakteristik :
a. Klien mengalami ansietas, rasa bersalah dan ketakutan
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
ansietas
c. Pikiran dan pengalaman masih dalam kontrol kesadaran.

Perilaku klien :

a. Tersenyum atau tertawa sendiri


b. Menggerakkan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Respon verbal yang lambat
e. Diam dan berkonsentrasi
2. Tahap II ( Condeming )
Menyalahkan, tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi
menyebabkan rasa antisipasi dengan karakteristik :
a. Pengalaman sensori menakutkan
b. Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut
c. Mulai merasa kehilangan control
d. Menarik diri dari orang lain.

Perilaku klien :

a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan


darah.
b. Perhatian dengan lingkungan berkurang
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensorinya
d. Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas.
3. Tahap III ( Controlling )
Mengontrol, tingkat kecemasan berat, pengalaman halusinasi tidak
dapat ditolak lagi dengan karakteristik :
a. Klien menyerah dan menerimas pengalaman sensorinya
(halusinasi).
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Kesepian bila pengalaman sensori berakhir

Perilaku klien :

a. Perintah halusinasi ditaati


b. Sulit berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian terhadap lingkungan berkurang, hanya beberapa detik.
d. Tidak dapat mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan
berkeringat.
4. Tahap IV ( Conquering )
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi, klien tampak panik.
Karakteristiknya yaitu suara atau ide yang datang mengancam
apabila tidak diikuti.
Perilaku klien :
1. Perilaku panik
2. Resiko tinggi mencederai
3. Agitasi atau kataton
4. Tidak mampu berespon terhadap lingkungan

3. Manifestasi Klinis
Ada beberapa tanda dan gejala pada klien dengan gangguan persepsi sensori;
halusinasi pendengaran dilihat dari data subjekti dan data objektif (Fresa et al,
2015).
a. Data Subjektif pada pasien dengan gangguan persepsi sensori; halusinasi
pendengaran , yaitu mendengar suara atau bunyi , mendengar suara yang
menyuruh melakukan suatu hal yang membahayakan, mendengar suara
yang mengajak bercakap-cakap, suara yang mengancam diri.
b. Data Objektif pada pasien dengan gangguan sensori persepsi; halusinasi
pendengaran yaitu bicara sendiri, bicara tidak teratur, dan kekacauan yang
menyeluruh,marah-marah tanpa sebab, pasien terlihat gelisah, pasien
terlihat mondar mandir, tertawa sendiri dan tiba tiba menangis.

4. Penatalaksanaan
Terapi dalam jiwa bukan hanya meliputi pengobatan farmakologi, tetapi
juga pemberian psikoterapi, serta terapi modalitas yang sesuai dengan gejala
atau penyakit klien yang mendukung penyembuhan klien jiwa.
Pada terapi tersebut juga harus dengan dukungan keluarga dan sosial akan
memberikan peningkatan penyembuhan karena klien akan merasa berguna
dalam masyarakat dan tidak merasa asingkan dengan penyakit yang
dialaminnya. (Kusmawati & Hartono,2010)
a. Psikofarmakologis
Farmakoterapi adalah pemberian terapi dengan menggunakan obat. Obat
yang digunakan utnuk gangguan jiwa disebut psikofarmaka atau
psikotropika atau pherentropika. Terapi gangguan jiwa dengan
menggunakan oabt-obatan disebut dengan psikofarmakoterapi aau
medikasi psikotropika yaitu obat yang mempunyai efek terapeutik
langsung pada proses mental penderita karena kerjanya pada otak/ sistem
saraf pusat. Obat biasa berupa haloperidol, Alprazola,.Cpoz,
Trihexphendyl.
b. Terapi Somatis
Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan
gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi
perilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi
fisik klien. Walaupun yang diberi perilaku adalah fisik klien tetapi target
adalah perilaku klien. Jenis somatic adalah meliputi peningkatan, terapi
kejang listrik, isolasi dan fototerapi.
1. Peningkatan
Peningkatan adalag terapi menggunakan alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien yang bertujun untuk melindungi
fisik sendiri atau orang lain.
2. Terapi kejang listrik
Elekrto Convulse Therapy (ECT) adalah bentuk terapi pada klien
dengan menimbulkan kejang (grandma) dengan mengalirkan arus
listrik kekuatan rendah (2-8 joule) melalui elektroda yang ditempelkan
beberapa detik pada pelipis kiri/kanan (lobus frontal) klien
( Stuart,2007).
c. Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi
diberikan dalam upaya mengubah perilaku klien dan perilaku yang
maladaptif menjadi perilaku adaptif. Jenis terapi modalitas meliputi
psikoanalisis, psikoterapi, terapi perilaku kelompok, terapi keluarga, terapi
rehabilitas, terapi psikodrama, terapi lingkungan (Stuart,2007).

5. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

- Pikiran logis - Pikiran kadang - Gangguan pikiran


- Persepsi akurat menyimpan waham
- Emosi - Ilusi - Halusinasi
Konsistensi - Reaksi emosional - Kesulitan untuk
dengan berlebih atau memproses
pengalama berkurang halusinasi
n - Perilaku aneh - Ketidakteratura
- Perilaku sesuai atau tidak lazim perilaku

Gambar 2.2 Rentang Respons Neurobiologis menurut Stuart


(2006)

Keterangan rentang respon menurut Farida (2010) yaitu :


a. Pikiran logis yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren

b. Persepsi akurat yaitu proses diterimanya rangsangan melalui panca indra


yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang
sesuatu yang ada didalam maupun diluar dirinya.

c. Emosi konsisten adalah manifestasi perasaan yang konsisten atau efek


keluar disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung
tidak lama.
d. Perilaku sesuai yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam
menyelesaikan masalah masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
budaya umum yang berlaku.
e. Hubungan sosial yaitu hubungan yang dinamis menyangkat antara
individu dan individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerja sama.
f. Proses pikiran kadang terganggu (ilusi) yaitu intresprestasi yang salah atau
menyimpang tentang penyerapan (persepsi) yang sebenarnya sungguh-
sungguh terjadi karena adanya rangsang panca indra.
g. Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain.
h. Emosi berlebihan atau kurang yaitu manifestasi perasaan atau efek keluar
berlebihan atau kurang.
i. Perilaku tidak sesuai atau tidak biasa yaitu perilaku individu berupa
tindakan nyata dalam menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh
norma-norma sosial atau budaya umum yang berlaku.
j. Waham adalah sesuatu keyakinan yang salah dipertahankan secara kuat
atau terus menerus namun tidak sesuai dengan kebenaran
k. Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan nyata.

B. Asuhan Keperawatan Halusinasi

Pasien yang mengalami halusinasi sukar mengontrol diri dan susah


berhubugan dengan orang lain. Untuk itu, perawat harus mempunyai
kesadaran yang tinggi agar dapat mengenal, menerima dan mengevalusi
perasaan sensitive sehingga dapat memakai dirinya secara terapeutik dalam
merawat pasien. Dalam memberikan asuhan keperawatan pasien, perawat
harus jujur, empati,terbukan, dan penuh penghargaan, tidak larut dalam
halusinasi pasiendan tidak menyangkal.

1. Pengkajian
Tujuan pengkajian menurut ( Dermawan,2013 ) yaitu untuk memperoleh
informasi tentang keadaan kesehatan pasien, menentukan masalah
keperawatan dan kesehatan pasien, menilai keadaan kesehatan pasien,
dan membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah-langkah
berikutnya. Untuk dapat menjaring data yang diperlukan umumnya,
dikembangkan formulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar
memudahkan dalam pengkajian. Isi pengkajian meliputi :
1. Identitas pasien
2. Keluhan utama atau alasan masuk
3. Faktor predisposisi
4. Aspek fisik atau biologis
5. Aspek psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial
10. Pengetahuan
11. Aspek medic

Kemudian data yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi dua macam


sebagai berikut :

1. Data objektif
Ialah data yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melaui
observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat.
Data objektif halusinasi pendengaran menurut ( Dermawan,2013 ) :
a. Pasien terlihat berbicara sendiri
b. Pasien terlihat tertawa sendiri
c. Pasien terlihat gelisah
d. Pasien terlihat mondar-mandir

2. Data Subjektif
Ialah data yang disampaikan secara lisan oleh pasien dan keluarga.
Dan ini diperoleh melaui wawancara perawat kepada pasien dan
keluarga.
Data subjektif halusinasi pendengran menurut ( Dermawan,2013) :
a. Pasien mengatakan mendengar suara yang mengejeknya
b. Pasien mengatakan mendengar bisiskan setiap saat
c. Pasien mengatakan mendengar bisiskan berkali-kali
d. Pasien mengatakan mendengar bisiskan pada situasi yang tidak
menentu
2. Pohon Masalah

Resiko perilaku kekerasan (diri


sendiri, orang lain,lingkungan,
dan verbal) Effect

Gangguan Persepsi Sensori :


Halusinasi Pendengaran Core
Problem

Isolasi Sosial : Menarik


Diri Causa

Skema 2.2 Pohon Masalah Halusinasi Sumber : Dermawan dan Rusdi (2013)

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan gangguan
persepsi sensori halusinasi adalah sebagai berikut :
1. Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
2. Isolasi Sosisal
3. Resiko Perilaku Kekerasan ( diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan
verbal ) Skema 2.2 Pohon Masalah Halusinasi Sumber : Dermawan
dan Rusdi (2013)
4. Intervensi Keperawatan
Hari/tanggal Diagnosa Perencanaan Rasional
Keperawata
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
n

Gangguan TUM : Klien dapat 1. Eskspresi 1. Bina hubungan Hubungan saling


Persepsi mengontrol wajah saling percaya percaya merupakan
Sensori halusinasi yang bersahabat, dengan dasar untuk kelancaran
Halusinasi dialami menunjukkan mengugkapkan hubungan interaksi
TUK 1 : Klien raa senang, prinsip selanjutnya.
dapat membina ada kontak komunikasi
hubungan saling mata, mau terapeutik :
percaya. berjabat a. Sapa klien
tangan, mau dengan ramah
menyebutkan baik verbal
nama mau maupun non
menjawab verbal
salam, mau b. Perkenalkan
duduk diri dengan
berampingan sopan
dengan c. Tanyakan
perawat, mau nama lengkap
mengutarakan klien dan
masalah yang nama
dihadapi. panggilan
yang disukai
klien
d. Jelaskan
tujuan
pertemuan
e. Jujur dan
menepati janji
f. Tunjukkan
sifat empati
dan menerima
klien apa
adanya
g. Beri perhatian
pada klien
dan
perhatikan
kebutuhan
dasar klien
TUK 2 : Klien 1. Klien dapat 1. Adakah kontak 1. Kontak sering
dapat mengenali menyebutkan sering dan singkat tapi singkat
halusinasinya waktu, isi, secara bertahap selain membina
frekuensi 2. Observasi tingkah hubingan saling
timbulnya laku klien terkait percaya, juga
halusinasi dengan dapat
2. Klien dapat halusinasinya, memutuskan
mengungkapk bicara dan tertawa halusinasi
an perasaan tanpa stimulus, 2. Mengenal
terhadap memandang ke perilaku pada
halusinasinya kiri atau ke kanan saat halusinasi
atau kedepan timbul
seolah-olah ada memudahkan
teman berbicara perawat dalam
3. Bantu klien melakukan
mengenali intervensi
halusinasinya 3. Mengenal
a. Jika halusinasi
menemukan memungkinkan
yang sedang klien untuk
halusinasi, menghindarkan
apakah ada factor pencetus
suara yang timbulnya
didengar halusinasi
b. Jika klien 4. Dengan
menjawab mengetahui
ada, lanjutkan waktu, isi, dan
apa yang frekuensi
dikatakan munculnya
c. Katakana halusinasi
bahwa mempermudah
perawat tindakan
percaya klien keperawatan
mendengar klien yang akan
suara itu, dilakukan
namun perawatan
perawat 5. Untuk
sendiri tidak mengidentifikas
mendengarny i pengaruh
a (dengan halusinasi klien
nada
bersahabat
tanpa
menuduh atau
menghakimi)
d. Katakan
bahwa klien
ada juga yang
seperti klien
4. Diskusikan
dengan klien
a. Situasi yang
menimbulkan
atau tidak
menimbulkan
halusinasi
b. Waktu dan
frekuensi
terjadinya
halusinasi
(pagi,siang,
sore, dan
malam atau
jika sendiri,
jengkel atau
sedih)
5. Diskusikan
dengan klien apa
yang dirasakan
jika terjadi
halusinasi (marah
atau takut, sedih,
senang) beri
kesempatan
mengungkapkan
perasaannya
TUK 3 : Klien 1. Klien dapat 1. Identifikasi Upaya untuk
dapat mengontrol menyebutkan bersama klien memutuskan siklus
halusinasinya tindakan yang cara tindakan halusinasi sehingga
biasa yang dilakukan halusinasi tidak
dilakukan jika terjadi berlanjut.
untuk halusinasi(tidur,
mengendalika marah Reinforcement
n menyibukkan diri positif akan
halusinasinya dll) meningkatkan harga
2. Klien dapat 2. Diskusikan diri klien
menyebutkan manfaat cara yang
cara baru dilakukan klien, Memberikan
3. Klien dapat jika bermanfaat alternatif pilihan
memilih cara beri pujian bagi klien untuk
mengatasi 3. Diskusikan cara mengontrol
halusinasi baru untuk halusinasi
seperti yang memutus atau
telah mengontrol Memotivasi dapat
didiskusikan halusinasi : meningkatkan
dengan klien a. Katakana kegiatan klien untuk
“saya tidak mencoba memilih
mau dengar salah satu cara
kamu” (pada mengendalikan
saat halusinasi dan dapat
halusinasi meningkatkan harga
terjadi) diri klien
b. Menemui
orang lain
(perawat/tem
an/anggota
keluarga)
untuk
bercakap-
cakap atau
mengatakan
halusanasi
yang
terdengar
c. Membuat
jadwal
kegiatan
sehari-hari
agar
halusinasi
tidak muncul
d. Minta
keluarga/tema
n/perawat jika
Nampak
bicara sendiri
4. Bantu klien
memilih dan
melatih cara
memutus
halusinasi secara
bertahap
TUK 4 : Klien 1. Klien dapat 1. Anjurkan klien Untuk mendapatkan
mendapat membina untuk memberi bantuan keluarga
dukungan dari hubungan tahu keluarga jika mengontrol halusinasi
keluarga dalam saling percaya mengalami
mengontrol 2. Keluarga halusinasi Untuk mengetahui
halusinasi dapat 2. Diskusikan pengetahuan keluarga
menyebutkan dengan keluarga dan meningkatkan
pengertian, (pada saat kemampuan
tanda dan berkunjung/pada pengetahuan tentang
kegiatan untuk saat kunjungan halusinasi
mengendalika rumah) :
n halusinasi a. Gejala
halusinasi
yang dialami
klien
b. Cara yang
dapat
dilakukan
klien dan
keluarga
untuk
memutus
halusinasi
c. Cara merawat
anggota
keluarga
untuk
memutus
halusinasi
dirumah, beri
kegiatan,
jangan
biarkan
sendiri,makan
bersama,
berpergian
bersama
d. Beri
informasi
waktu follow
up atau kapan
perlu
mendapat
bantuan :
halusinasi
terkontrol dan
risiko
mencederaior
ang lain
TUK 5 : Klien 1. Klien dan 1. Diskusikan Dengan menyebutkan
dapat keluarga dapat dengan klien dan dosis, frekuensi dan
memanfaatkan obat menyebutkan keluarga tentang manfaat obat diharapkan
dengan baik manfaat, dosis, dosis, frekuensi klien melaksanakan
dan efek manfaat obat program pengobatan
samping obat 2. Anjurkan klien Menilai kemampuan
2. Klien dapat meminta sendiri klien dalam
mendemonstra obat pada perawat pengobatannya sendiri
sikan dan merasakan
penggunaan manfaatnya Dengan mengetahui
obat secara 3. Anjurkan klien efek samping obat klien
benar bicara dengan akan tahu apa yang
3. Klien dokter tentang harus dilakukan setelah
mendapat manfaat dan efek minum obat
informasi samping obat
tentang efek yang dirasakan Program
samping obat 4. Diskusikan akibat Pengobatan dapat
4. Klien dapat berhenti minum berjalan sesuai rencana
memahami obat tanpa
akibat berhenti konsultasi minum Dengan mengetahui
minum obat obat prinsip penggunaan
5. Klien dapat 5. Bantu klien obat, maka kemandirian
menyebutkan menggunakan klien untuk pengobatan
prinsip 5 benar obat dengan dapat ditingkatkan
obat prinsip benar secara bertahap
5. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan tindakan yang disesuaikan dengan
rencana tindakan keperawatan yang telah disusun sebelumnya berdasarkan
prioritas yang telah dibuat dimana tindakan yang diberikan mencakup tindakan
mandiri maupun kolaboratif (Damaiyanti, 2014).
Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan perawat
perlu menvalidasi apakah rencana tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan
sesuai dengan kondisi klien pada saat ini (here and now) dan sebelumnya harus
dilakukan kontrak dengan klien.

6. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap kelima atau terakhir dalam proses keperawatan. Penilaian
terakhir pada proses keperawatan yang ditetapkan, penetapan keberhasilan
asuhan keperawatan didasarkan pada perubahan perilaku dari kriteria hasil yang
sudah ditetapkan, yaitu terjadi adaptasi pada individu (Nursalam, 2016).

Evaluasi respon umum adaptasi pasien dilakukan setiap akhir tindakan


penelitian. Pada pasien halusinasi yang membahayakan diri, orang lain dan
lingkungan evaluasi meliputi respon perilaku dan emosi lebih terkendali yang
pasien sudah tidak mengamuk lagi, bicara dan tertawa sendiri, sikap curiga,
perasaan cemas berat, serta pasien mempercayai perawatnya, pasien dapat
mengontrol halusinasi. Sehingga, presepsi pasien membaik, pasien dapat
membedakan hal yang nyata dan tidak nyata (Yusuf, 2015).

A. Konsep Defisit Perawatan Diri

1. Pengertian Defisit Perawatan Diri


Defisit perawatan diri merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami
hambatan ataupun gangguan dalam kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas perawatan diri, seperti mandi, berpakaian, makan, dan
eliminasi untuk dirinya sendiri (Tumanduk et al., 2018).
Defisit perawatan diri adalah keadaan dimana seseorang yang mengalami
kelainan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinganan pasien untuk mandi
secara teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau nafas serta
penampilan tidak rapi. Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah yang
timbul pada pasien gangguan jiwa (Susanti et al., 2017).
2. Etiologi
Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan, 2013), penyebab defisit perawatan diri
adalah :
a. Faktor Predisposisi
1. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
2. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
4. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan
diri.
b. Faktor pretisipasi
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri. Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan, 2013),
faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
1. Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli
dengan kebersihan dirinya.
2. Praktik sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan
akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3. Status sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat
gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien menderita
diabetes melitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan
6. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan
diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
7. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan
perlu bantuan untuk melakukannya.
3. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri
Menurut Nurjannah (2004), dalam mukhripah Dermawan (2013) Jenis-jenis defisit
perawatan diri terdiri dari:
a. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktivitas mandi / kebersihan diri.
b. Kurang perawatan diri : mengenakan pakaian / berhias
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan
memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
c. Kurang perawatan diri : makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktivitas makan
d. Kurang perawatan diri : toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan.

4. Rentang Respon
Menurut Dermawan (2013), adapun rentang respon defisit perawatan diri sebagai
berikut :

Adaptif Maladaptif
Pola perawatan diri Kadang perawatab Tidak melakukan
seimbang diri kadang tidak perawatan diri pada
saat stress

Gambar 2.1 Rentang Respon


(Darmawan, 2013)

a. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu untuk
berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih
melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stresor kadang –
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
c. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa
melakukan perawatan saat stresor.
5. Tanda dan Gejala
Menurut Jalil (2015), tanda dan gejala defisit perawatan diri terdiri dari :
1. Data subjektif
a. Malas mandi
b. Tidak mau menyisir rambut
c. Tidak mau menggosok gigi
d. Tidak mau memotong kuku
e. Tidak mau berhias/berdandan
f. Tidak bisa/tidak mau menggunakan alat mandi/kebersihan diri
g. Tidak mau menggunakan peralatan untuk makan dan minum
h. BAB dan BAK disembarang tempat
i. Tidak membersihkan diri dan tempat BAB/BAK
j. Tidak mengetahui cara perawatan diri yang baik dan benar
2. Data objektif
a. Badan bau, kotor, berdaki, rambut kotor, gigi kotor, kuku panjang.
b. Tidak menggunakan alat mandi pada saat mandi dan tidak mandi dengan benar.
c. Rambut kusut, berantakan, kumis dan jenggot tidak rapi, serta tidak mampu
berdandan.
d. Pakaian tidak rapi, tidak mampu memilih, mengambil, memakai, mengencangkan
dan memindahkan pakaian, tidak memakai sepatu, tidak mengkancingkan baju atau
celana.
6. Dampak Defisit Perawatan Diri
Menurut Dermawan (2013) dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene
ialah :
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya
kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah gangguan
integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan
gangguan fisik pada kuku.
b. Dampak Psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan kebutuhan
rasa nyaman , kebutuhan dicintai dan mencinti, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan
gangguan interaksi sosial.
7. Mekanisme Koping
Berdasarkan penggolongannya, mekanisme koping di bagi mejadi 2 yaitu :
a. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi
pertumbuhan belajar dan mencapi tujuan. Kategori ini adalah pasien bisa memenuhi
kebutuhan perawatan diri secara mandiri.
b. Mekanisme koping maladaptive
Mekanisme koping maladaptive adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi
integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategorinya adalah tidak ingin merawat diri.
8. Penatalaksanaan
Setelah mengetahui tanda dan gejala yang dapat menimbulkan masalah perawatan diri pada
seseorang, juga terdapat penatalaksaan untuk mengatasi maupun mencegah masalah
perawatan diri pada sesorang, diantaranya :
a. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
b. Membimbing dan menolong pasien merawat diri
c. Ciptakan lingkungan yang mendukung

B. Asuhan Keperawatan Defisit Perawatan Diri

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal untuk selanjutnya menentukan diagnosa, intervensi,
implementasi, dan evaluasi pada klien. Data yang diperoleh dalam pengkajian terdiri
dari :
1. Identitas klien
2. Alasan masuk
3. Faktor predisposisi
a. Pada umumnya klien pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu
b. Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri
c. Pengobatan sebelumnya kurang berhasil
d. Harga diri rendah, klien tidak mempunyai motivasi untuk merawat diri
e. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, yaitu perasaan ditolak, dihina,
dianiaya, dan saksi penganiayaan
f. Ada anggota keluarga yang pernah mengalami gangguan jiwa
g. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan yaitu kegagalan yang
dapat menimbulkan frustasi
4. Pemeriksaan fisik
5. Psikososial
a. Genogram
Menggambarkan klien dan anggota keluarga klien yang mengalami gangguan
jiwa, dilihat dari pola komunikasi, pengambilan keputusan dan pola asuh
b. Konsep diri
c. Status mental
6. Kebutuhan pasien pulang
7. Mekanisme koping
Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah :
1. Data Subjektif
a. Pasien merasa lemah
b. Malas untuk beraktivitas
c. Mersa tidak berdaya
2. Data Objektif
a. Rambut kotor, acak-acakan
b. Badan dan pakaian kotor dan bau
c. Mulut dan gigi bau
d. Kulit kusam dan kotor
e. Kuku panjang dan tidak terawatt

2. Pohon Masalah
Gangguan pemeliharaan kesehatan

Defisit perawatan diri

Kehilangan fungsi tubuh kurangnya motivasi


3. Diagnosa Keperawatan
1. Core Problem
2. Causa
3. Effect
4. Defisit Perawatan Diri
4. Intervensi Keperawatan
PERENCANAAN

DX Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi


keperawatan (tum/tuk)

Defisit TUM : pasien 1.dalam ..kali pertemuan 1.Bina hubungan


perawatan diri dapat mampu interaksi pasien menunjukkan saling percaya :
melakukan tanda-tanda percaya kepada  Beri salam
perawatan diri perawat : berinteraksi.
TUK 1 :  Wajah cerah,tersenyum  Perkenalkan
1. Pasien  Mau berkenalan nama,nama
dapat  Ada kontak mata panggilan perawat
membina  Menerima kehadiran dan tujuan
hubungan perawat perawat
saling  Bersedia menceritakan  Tanyakan nama
percaya perasaannya dan panggilan
kesukaan pasien
 Tunjukkan sikap
jujur dan
menetapi janji
setiap kali
berinteraksi
 Tanyakan
perasaan dan
masalah yang
dihadapi pasien
 Buat kontrak
interaksi yang
jelas
 Dengarkan
ungkapan pasien
dengan empati
 Penuhi kebutuhan
dasar pasien

TUK 2 : pasien Dalam ..kali interaksi pasien 2.Diskusikan dengan


mengetahui menyebutkan : pasien :
pentingnya  Penyebab tidak merawat  Penyebab pasien
perawatan diri diri tidak merawat diri
 Manfaat menjaga  Manfaat menjaga
perawatan diri perawatan diri
 Tanda-tanda bersih dan untuk keadaan
5. Implementasi Keperawatan
implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan dengan
memperhatikan dan mengutamakan masalah utama yang aktual dan mengancam
integritas pasien beserta lingkungannya. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan
yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan
keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi pasien pada saat ini (here and
now). Hubungan saling percaya antara perawat dengan pasien merupakan dasar utama
dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.

6. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi menurut Keliat (2010) adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan kepada pasien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon
pasien terhadap tindakan keperawatan yang dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi
dua jenis yaitu evaluasi proses atau formatif yang dilakukan tiap selesai melakukan
tindakan keperawatan dan evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan
membandingkan respons pasien dengan tujuan yang telah ditentukan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP dengan penjelasan
sebagai berikut:
1. S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
dapat di ukur dengan menanyakan kepada pasien langsung.
2. O : Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku pasien pada saat tindakan dilakukan.
3. A : Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk mrenyimpulkan apakah
masih tetap atau muncul maslah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah
yang ada.
4. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon pasien yang
terdiri dari tindakan lanjut pasien dan tindakan lanjut oleh perawat .

Rencana tindak lanjut dapat berupa :

1. Rencana diteruskan jika maslah tidak berubah


2. Rencana di modifikasi jika maslah tetap, semua tindakan sudah dijalankan tetapi
hasil belum memuaskan
3. Rencana dibatalkan jika ditemukan maslah baru dan bertolak belakang dengan
masalah yang yang ada serta diagnosa lama dibatalkan
4. Rencana atau diagnosa selesai jika tujuan sudah tercapai dan yang diperlukan adalah
memelihara dan mempertahankan kondisi yang baru. Pasien dan keluarga perlu
dilibatkan dalam evaluasi agar dapat melihat perubahan berusaha mempertahankan
dan memelihara. Pada evaluasi sangat diperlukan relnforment untuk menguatkan
perubahan yang positif. Pasien dan keluarga juga dimotivasi untuk melakukan
selfreinforcement ( Prabowo,2014 )

C. Konsep Mandi

1. Pengertian mandi
Mandi adalah suatu aktivitas membasuh tubuh dengan cairan, biasanya menggunakan air,
larutan encer, atau dengan merendam tubuh dalam air (Wikipedia).
Mandi adalah kegiatan membersihkan tubuh dengan air dan sabun (dengan cara
menyiramkan, merendamkan diri dalam air, dan sebagainya).
2. SOP Mandi
a. Tujuan
1. Pasien memahami pentingnya mandi
2. Pasien memahami cara mandi yang baik
3. Pasien mampu madi dengan baik
b. Alat
1. Ember
2. Gayung mandi
3. Handuk bersih
4. Sabun mandi
5. Air bersih
c. Cara Mandi
a. Basahi seluruh permukaan tubuh dengan air yang tersedia
b. Ambil sabun, gosokkan ke permukaan tubuh mulai dari permukaan yang dianggap
paling bersih ke permukaan yang paling kotor : badan dan anggota badan, wajah,
baru kemudian daerah perineal dan arean seputar kelamin
c. Bilas dengan air hingga sisa sabun hilang di seluruh permukaan tubuh dan
permukaan kulit terasa kesat
d. Keringkan dengan menggunakan handuk yang bersih
3. Manfaat Mandi
a. Membersihkan kotoran untuk mencegah infeksi kulit dan gatal-gatal
b. Menghilangkan bau badan
c. Meningkatkan penampilan diri
d. Meningkatkan percaya diri
4. Evaluasi dan Dokumentasi

No Kemampuan Nama Pasien

1. Menjelaskan manfaat mandi

2. Menjelaskan alat dan bahan


mandi

3. Menjelaskan tahapan mandi

4. Memperagakan tahapan
mandi

5. Komitmen mandi 2x per hari

Catatan :
a. Beri tanda sheck (√) untuk kemampuan yang dapat dilakukan
b. Bila pasien tidak mampu, stimulasi/latih sampai pasien mampu
c. Pasien dianggap mampu jika semua unsur kemampuan tercapai (Kelliat & Pawirowiyono,
2013)
5. Format Penilaian Memandikan

Nama Pasien :
Ruangan :

No Langkah-langkah mandi Tanggal/Jam Ya Tidak Ket


1. Pasien mempersiapkan alat mandi
(ember, gayung mandi, handuk
bersih, sabun mandi, air bersih)

2. Pasien membaca doa masuk kamar


mandi

3. Pasien menutup pintu kamar mandi


dan menggantungkan handuk

4. Pasien menyalakan keran air dan


mengisi ember dengan air

5. Pasien membuka pakaian dan


menaruh di bak pakaian kotor

6. Pasien membasahi tubuh dengan air


mulai dari tubuh bagian kanan lalu
bagian kiri sampai seluruh tubuh
basah

7. Pasien mengambil sabun dan


membasahi dengan air,
menggosokkan pada area tubuh
bagian kanan lalu kiri, mulai dari
wajah, badan, punggung, kaki,
tangan

8. Pasien membilas tubuh dengan air


bersih sampai busa ditubuh hilang
dan tubuh terasa kesat

9. Pasien mengeringkan tubuh dengan


handuk dan menggunakan handuk
sebelum keluar kamar mandi

10. Pasien mematikan keran air dan


merapihkan alat mandi

11. Pasien membuka pintu kamar


mandi dan keluar dari kamar mandi

Keterangan
M : Jika dilakukan secara mandiri tanpa dibantu orang lain
B : Jika melakukan dengan bantuan orang lain
T : Jika tergantung penuh pada orang lain

BAB III
METODELOGI PENELITIAN

A. Design penelitian
Studi kasus ini adalah untuk menyampaikan masalah dengan “Hubungan Kemampuan
Mengontrol Halusinasi terhadap Perawatan Diri pada pasien Gangguan Sensori Presepsi
Halusinasi Pendengaran “.
B. Subyek study kasus
Pada penelitian ini menggunakan istilah subyek studi kasus. Maka dari itu, yang menjadi subyek
studi kasus dalam penelitian ini adalah 3 orang pasien dengan masalah keperawatan yang sama
yaitu halusinasi, perawat memberikan prosedur asuhan keperawatan berupa terapi spiritual
(gayatri mantram) serta berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya. Subyek pada studi kasus
ini perlu dirumuskan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi atau kriteria yang dapat diteliti adalah karakteristik umum subyek penelitian
dari suatu populasi target dan terjangkau akan diteliti. Kriteria inklusi dalam penelitian ini
adalah:
a).Rekam medik dengan masalah keperawatan Halusinasi.
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi atau kriteria yang tidak layak diteliti adalah menghilangkan atau
mengeluarkan subyek karena berbagai sebab:
a) Rekam medik pasien dengan masalah keperawatan gangguan persepsi sensori
(halusinasi) yang tidak memiliki berkas yang lengkap.

C. Fokus study
Fokus studi kasus merupakan kajian utama yang menjadi permasalahan dasar studi kasus. Fokus
studi kasus dalam penelitian ini adalah pemberian terapi spiritual (gaya tri mantram) untuk
mengontrol gangguan persepsi sensori (halusinasi) pada pasien skizofrenia.

D. Lokasi dan waktu


Dalam pembuatan proposal ini penulis akan melakukan pengkajian dan pengumpulan data di
RSKD Duren Sawit dan tindakan keperawatan dilakukan dalam waktu 4 hari pada klien
gangguan sensori persepsi halusinasi pendengaran yang mengalami defisit perawatan diri.

E. Definisi Operasional
Definsi Operasional adalah Batasan pengertian yang dijadikan sebagai pedoman untuk
melakukan suatu kegiatan ataupun pekerjaan (Widjono Hs 2008:19). Dalam hal ini definisi
operasional dalam keperawatan Kesehatan jiwa adalah bentuk pelayanan professional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan Kesehatan, menerapkan teori prilaku manusia
sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya.

F. Instrumen
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk memperoleh, mengolah dan
menginterpretasikan informasi yang diperoleh dari responden yang dilakukan dengan
menggunakan pola ukur yang sama (Siregar, 2017).
Suatu instrumen penelitian dikatakan berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan jika sudah
terbukti validitas dan reabilitasnya. Pengujian validitas dan reabilitas instrumen, tentunya harus
disesuaikan dengan bentuk instrument yang akan digunakan dalam penelitian. Instrument yang
digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi yang berisikan tentang gangguan persepsi
sensori pasien dengan menggunakan skala RUFA Gangguan Persepsi Sensori yang dibagi
menjadi 3 kategori yaitu intensif I skor (1-10), intensif II skor (11-20), dan intensif III skor (21-
30). Skala RUFA Gangguan Persepsi pada penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan
reabilitas lagi, dikarenakan sudah baku (Suseno, 2013).

G. Metode pengumpulan data


Dalam pembuatan proposa ini penulis akan mengumpulkan data dengan metode wawancara
langsung dengan pasien, observasi dari pemeriksaan fisik, hasil diagnostik dan data-data yang
penulis kumpulkan. Sehingga penulis mendapatkan data subjektif dan objektif pada klien.

H. Analisa Data dan Penyajian Data

1. Analisa Data
Analisa data akan dilakukan sejak penelitian dilapangan, mulai dari pengumpulan
data sampai dengan semua data terkumpul. Analisa data akan dilakukan dengan cara
mengumpulkan data dari fakta, kemudian membandingkan dengan teori yang ada dan
kemudian dituangkan kedalam opini pembahasan.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara WOD (Wawancara, Observasi,


Dokumentasi). Hasil tulisan dalam bentuk transkip, yang akan dikelompokkan
menjadi data subjektif dan objektif. Teknik analis digunakan dengan cara observasi
oleh penulis dan dokumentasi yang menghasilkan data untuk selanjutnya
dibandingkan dengan teori yang ada. Kerahasiaan klien dijamin dengan hanya
menggunakan nama inisial klien. Dari data yang disajikan, kemudian dibahas dan
dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku
kesehatan.
Data yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian ,diagnosa, perencanaan,
tindakan keperawatan dan evaluasi. Dari ketiga partisipan akan dilakukan tindakan
keperawatan yang sama yaitu dengan teknik melatih mandi dan akan dilihat
perbandingan dari ketiga partisipan.

2. Penyajian Data
a. Coding
Coding adalah tahapan kegiatan mengklasifikasi data dan jawaban menurut
kategori masing-masing sehingga memudahkan dalam pengelompokan data.
Adapun pengolahan data pada penelitian ini yaitu :

1) Umur
a) 20-30 tahun diberi kode = 1
b) 40-50 tahun diberi kode = 2
c) 60-70 diberi kode = 3
2) Jenis Kelamin
a) Perempuan diberi kode = 1
b) Laki-laki diberi kode = 2
3) Pekerjaan
a) Tidak bekerja/IRT diberi kode = 1
b) Pegawai Negeri Sipil/PNS diberi kode = 2
c) Swasta diberi kode = 3
d) Petani diberi kode = 4 29
e) Pedagang diberi kode = 5
f) Lain-lain diberi kode = 6

4) Pendidikan
a) Dasar diberi kode = 1
b) Menengah diberi kode = 2
c) Perguruan Tinggi diberi kode = 3

b. Tabulating
Tabulating merupakan tahapan kegiatan pengorganisasian data sedemikian rupa agar
dengan mudah dapat dijumlah, disusun, dan data untuk disajikan dan dianalisis.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data coding dan tabulating, dimana data
di klasifikasi dan jawaban menurut kategori masing masing sehingga memudahkan dalam
pengelompokan data, kemudian pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan
mudah dapat dijumlah, disusun, dan data untuk disajikan dan dianalisis.

I. Etika Penelitian
Dalam pembuatan proposal karya tulis ilmiah ini penulis dengan segala tindakan harus ada
etika penelitian kasus yang meliputi :
1. Informed consent (lembar persetujuan)
Penulis meminta persetujuan partisipan untuk berpartisipasi dalam penelitian (hidayat,
2009).
2. Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, maka dalam lembar pengumpulan data tidak di cantumkan
data atau nama, melainkan inisial/kode (hidayat, 2009).
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari partisipan dijaga oleh penulis. Data
yang hanya disajikan atau dilaporkan dalam bentuk kelompok yang berhubungan dengan
penelitian ini (hidayat, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

Hayati, F. (2019). Managemen halusinasi (aktivitas terjadwal) pada tn s


dengan gangguan halusinasi pendengaran di rsj prof. Dr. Soerojo
magelang (Doctoral dissertation, Tugas Akhir, Universitas
Muhammadiyah Magelang).

Wulandari, A. (2019). Upaya mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap


pada pasien dengan gangguan persepsi sensori (Doctoral dissertation,
Institut Teknologi Sains dan Kesehatan PKU Muhammadiyah
Surakarta).
Afnuhazi. 2015. Komunikasi Terapeutik dalam Keperawatan Jiwa.Yogyakarta
: Gosyen Publising.

Dermawan, Deden & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa; Konsep dan Kerangka
Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Pustaka Baru

Astuti, L. I. (2019). Gambaran defisit perawatan diri pada pasien dengan


skizofrenia di wisma sadewa rsj grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta.
Akademi Keperawatan “YKY,” 23–33.
http://repository.akperykyjogja.ac.id/id/eprint/88

Puspita Sari, S., Hasanah, U., Inayati, A., & Keperawatan Dharma Wacana
Metro, A. (2021). Penerapan Personal Hygiene Terhadap Kemandirian
Pasien Defisit Perawatan Diri. Jurnal Cendikia Muda, 1(3), 372–382

Keliat, B. A. 2016. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta :


EGC

Keliat, dkk. 2015. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa : Diagnosa Sehat, resiko
dan gangguan. Draft Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Sasmita, H., & -, A. (2012). Pengaruh Metode Token Economy Terhadap


Aktifitas Perawatan Diri pada Pasien Defisit Perawatan Diri. NERS
Jurnal Keperawatan, 8(1), 24. https://doi.org/10.25077/njk.8.1.24-
31.2012

Anda mungkin juga menyukai