Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN HALUSINASI

OLEH :
NORI NOVITRI
NIM. 211014901014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SUMATERA BARAT
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan dan kemajuan teknologi yang pesat di segala bidang
berdampak pada tata kehidupan masyarakat di daerah perkotaan
maupun perdesaan. Namun tidak semua masyarakat dapat menyesuaikan
dengan perubahan tersebut. Sebagai contoh banyak orang berlomba untuk
mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan seperti kendaraan baru,
pekerjaan baru yang bisa menunjang kehidupan diri sendiri maupun
keluarga, tetapi tidak semua dari masyarakat berhasil untuk mendapatkan
apa yang mereka inginkan. Ditambah dengan bencana alam yang baru saja
terjdi, seperti gempa bumi, tsunami dan kecelakaan pesawat, banyak
masyarakat yang kehilangan harta benda maupun keluarga mereka. Akibatnya
terjadi berbagai masalah kesehatan jiwa seperti perilaku, perasaan dan pikiran
yang luar biasa terguncang jika tidak ditatalaksanakan dengan baik dapat
menimbulkan ancaman bagi pasien tersebut maupun orang lain (Kemenkes,
2011).
Gangguan jiwa merupakan gangguan dalam berpikir (cognitive),
kemauan (volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007).
Menurut Malim (2002) Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom dengan
variasi penyebab. Umumnya ditandai adanya penyimpangan yang
fundamental, karakteristik dari pikiran dan persepsi, adanya afek yang tidak
wajar atau tumpul (Yusuf, dkk, 2015).
Kesehatan jiwa adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri pada lingkungan serta berintegrasi dan berinteraksi dengan
baik, tepat dan bahagia (Menninger, 2015). Menurut Undang - Undang
Kesehatan Jiwa no 18 Tahun 2014, kesehatan jiwa adalah kondisi dimana
seseorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial
sehingga individu tersebut menyadari kemampuan diri sendiri, dapat
mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu berkontribusi
untuk komunitasnya. Seseorang yang sehat jiwa dapat menyesuaikan diri
secara konstruktif pada kenyataan, merasa bebas secara relatif dari ketegangan
dan kecemasan, merasa lebih puas memberi daripada menerima. Angka
penderita gangguan jiwa mengkhawatirkan secara global, sekitar 450 juta
orang yang menderita gangguan mental. Orang yang mengalami gangguan
jiwa sepertinya tinggal di negara yang berkembang, sebanyak 8 dari 10
penderita gangguan mental itu tidak mendapatkan perawatan.
Seseorang mengalami gangguan jiwa apabila ditemukan adanya
gangguan pada fungsi mental, yang meliputi emosi, pikiran, perilaku,
perasaan, motivasi, kemauan, keinginan, daya tilik diri, dan persepsi sehingga
mengganggu dalam proses hidup di masyarakat dan timbulah perasaan
tertekan. Hal ini ditandai dengan menurunnya kondisi fisik akibat gagalnya
pencapaian sebuah keinginan yang akan menurunnya semua fungsi kejiwaan.
Perasaan tertekan atau depresi akibat gagalnya seseorang dalam memenuhi
sebuah tuntutan akan mengawali terjadinya penyimpangan kepribadian yang
merupakan awal dari terjadinya gangguan jiwa (Nasir, 2011). Secara umum,
klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013
dibagi menjadi dua bagian, yaitu gangguan jiwa ringan meliputi semua
gangguan mental emosional yang berupa kecemasan, panik, gangguan alam
perasaan, dan gangguan jiwa berat/kelompok psikosa yaitu skizofrenia
(Yusuf,dkk. 2015).
Halusinasi merupakan terganggunya persepsi dari panca indera
seseorang dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal (dunia luar), dimana klien memberi persepsi tentang lingkungan
tanpa adanya suatu objek (Yosep, 2013). Sekitar 70% halusinasi yang dialami
oleh pasien gangguan jiwa yaitu halusinasi dengar, 20% mengalami
halusinasi penglihatan dan 10% mengalami halusinasi penghidu, pengecap,
perabaan. Halusinasi dapat mengancam dan menakutkan bagi klien
walaupun klien lebih jarang melaporkan halusinasi sebagai pengalaman yang
menyenangkan. Mula-mula klien merasakan halusinasi sebagai pengalaman
nyata, tetapi kemudian dalam proses penyakit tersebut, dia dapat mengakuinya
sebagai halusinasi (Videbeck, 2008).
Ketika mengalami halusinasi biasanya klien akan mengalami marah
tanpa sebab, bicara atau tertawa sendiri, ketakutan kepada sesuatu yang tidak
jelas, maka perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi
pelaksanaan yang tersedia, tetapi informasi ini harus digunakan sebagai satu
bagian dari pendekatan holistik pada asuhan klien. Peran perawat dalam
menangani halusinasi antara lain melakukan penerapan standar asuhan
keperawatan, terapi aktivitas kelompok, dan melatih keluarga untuk merawat
klien dengan halusinasi. Menurut Keliat (2007) Strategi pelaksanaan pada
klien halusinasi mencakup kegiatan mengenal halusinasi, mengajarkan klien
menghardik halusinasi, minum obat dengan teratur, bercakap-cakap dengan
orang lain saat halusinasi muncul, serta melakukan aktivitas terjadwal untuk
mencegah halusinasi (Afnuhazi, 2015).
Stuart dan Laraia dalam Yosep (2016) menyatakan bahwa pasien
dengan halusinasi dengan diagnosa medis skizofrenia sebanyak 20%
mengalami halusinasi pendengaran dan penglihatan secar bersamaan, 70%
mengalami halusinasi pendengaran, 20% mengalami halusinasi penglihatan,
dan 10% mengalami halusinasi lainnya.
Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan asuhan
keperawatan jiwa pada pasien dengan halusinasi di Kampung 11 Dusun
Mahakarya Kecamatan Luhak Nan Duo Kabupaten Pasaman Barat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah latar belakang diatas, maka rumusan
masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Halusinasi di Kampung 11 Dusun Mahakarya Kecamatan Luhak Nan
Duo Kabupaten Pasaman Barat”.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk memahami Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Halusinasi di
Kampung 11 Dusun Mahakarya Kecamatan Luhak Nan Duo Kabupaten
Pasaman Barat.
2. Tujuan Khusus
1) Melakukan pengkajian pada pasien dengan masalah gangguan
halusinasi di Kampung 11 Dusun Mahakarya Kecamatan Luhak
Nan Duo Kabupaten Pasaman Barat
2) Merumuskan diagnosa keperawatan pasien dengan masalah
gangguan halusinasi di Kampung 11 Dusun Mahakarya
Kecamatan Luhak Nan Duo Kabupaten Pasaman Barat
3) Menyusun perencanaan keperawatan pasien dengan masalah
gangguan halusinasi di Kampung 11 Dusun Mahakarya
Kecamatan Luhak Nan Duo Kabupaten Pasaman Barat
4) Melaksanakan intervensi keperawatan pasien dengan masalah
gangguan halusinasi di Kampung 11 Dusun Mahakarya
Kecamatan Luhak Nan Duo Kabupaten Pasaman Barat
5) Mengevaluasi pasien dengan masalah gangguan halusinasi di
Kampung 11 Dusun Mahakarya Kecamatan Luhak Nan Duo
Kabupaten Pasaman Barat
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
Menambah wawasan penulis dalam hal melakukan studi kasus dan
mengaplikasikan ilmu tentang asuhan keperawatan pasien dengan
masalah ganngguan halusinasi.
2. Bagi tempat penelitian
Studi kasus ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber
informasi rumah sakit dalam memberikan asuhan keperawatan pasien
dengan masalah gangguan halusinasi.
3. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Dapat memberikan masukan dalam pelayanan kesehatan yaitu
dengan memberikan dan mengajarkan strategi pelaksanaan tindakan
keperawatan pada pasien sebagai salah satu cara untuk meningkatkan
kualitas hidup mereka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Halusinasi


1. Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana
klien mengalami perubahan sensori persepsi : merasakan sensori palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghidu ( Direja,
2011). Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori tentang suatu
objek atau gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya
rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan
( Dalami, dkk, 2014). Halusinasi hilangnya kemampuan manusia
dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang
lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata (Kusumawati,
2012).
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh
pancaindra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang
pasien mengalami perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman.
Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien gangguan
jiwa mengalami perubahan dalam hal orientasi realitas (Yusuf, et all,
2015).
2. Proses Terjadinya Halusinasi
Menurut Stuart (2007) proses terjadinya halusinasi dapat dilihat
dari faktor predisposisi dan faktor presipitasi ( Dalami, dkk, 2014) :
1) Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi
( Dalami, dkk, 2014) :
a. Biologis
Hal yang dikaji dalam faktor biologis meliputi : Adanya
faktor herediter mengalami gangguan jiwa, adanya resiko
bunuh diri, riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat
penggunaan Napza. Abnormalitas perkembangan sistem
saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang
maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-
penelitian berikut:
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan
keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan
skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik
berhubungan dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin
neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah
pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya
skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal
menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak
manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia
kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks
bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan
kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-
mortem).
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu
sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi
realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang
hidup klien adanya kegagalan yang berulang, kurangnya kasih
sayang, atau overprotektif.
c. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi
realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang,
kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai
stress.
2) Faktor Presipitasi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi
(Prabowo, 2014) :
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik
otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada
mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi
terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapi stressor.
3. Mekanisme Koping Halusinasi
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologi
termasuk (Dalami, dkk, 2014 ) :
1) Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku
kembali seperti pada perilaku perkembangan anak atau
berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas.
2) Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan
emosi pada orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri
(sebagai upaya untuk menjelaskan keracunan persepsi).
3) Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi
fisik maupun psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari
menghindar sumber stressor, misalnya menjauhi polusi, sumber
infeksi, gas beracun dan lain-lain, sedangkan reaksi psikologis
individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri,
tidak berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan.
Halusinasi berkembang melalui empat fase, yaitu sebagai
berikut (Kusumawati, 2012) :
1) Fase pertama
Disebut juga dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan.
Pada tahap ini masuk dalam golongan nonpsikotik.
Karakteristik : klien mengalami stress, cemas, perasaan
perpisahan, rasa bersalah, kesepian yang memuncak, dan tidak dapat
diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang
menyenangkan, cari ini hanya menolong sementara.
Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon verbal
yang lambat jika sedang asyik dengan halusinasinya dan suka
menyendiri.
2) Fase kedua
Disebut dengan fase condemming atau ansietas berat yaitu
halusinasi menjadi menjijikkan. Termasuk dalam psikotik ringan.
Karakteristik : pengalaman sensori menjijikkan dan
menakutkan, kecemasan meningkat, melamun dan berpikir sendiri jadi
dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak
ingin orang lain tahu, dan ia tetap dapat mengontrolnya.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom
seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik
dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan realitas.
3) Fase ketiga
Disebut dengan fase controlling atau ansietas berat yaitu
pengalaman sensori menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan
psikotik.
Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin
menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan
tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang
perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa
klien berkeringat, tremor dan tidak mampu mematuhi perintah.
4) Fase keempat
Adalah conquering atau panik yaitu klien lebur dengan
halusinasinya. Termasuk dalam psikotik berat.
Karakteristik : halusinasinya berubah menjadi mengancam,
memerintah, dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya,
hilang kontrol dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang
lain di lingkungan.
Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh
diri, perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katakonik, tidak
mampu merespon terhadap perintah kompleks, dan tidak mampu
berespon lebih dari satu orang.
4. Tanda dan gejala Halusinasi
Tanda dan gejala gangguan persepsi sensori halusinasi yang dapat
teramati sebagai berikut ( Dalami, dkk, 2014 ) :
1) Halusinasi penglihatan
a. Melirikkan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa
atau apa saja yang sedang dibicarakan.
b. Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang
sedang tidak berbicara atau pada benda seperti mebel.
c. Terlihat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang
yang tidak tampak.
d. Menggerakan-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau
sedang menjawab suara.
2) Halusinasi pendengaran
a. Tiba-tiba tampak tanggap, ketakutan atau ditakutkan oleh
orang lain, benda mati atau stimulus yang tidak tampak.
b. Tiba-tiba berlari keruangan lain
3) Halusinasi penciuman
Perilaku yang dapat teramati pada klien gangguan halusinasi
penciuman adalah :
a. Hidung yang dikerutkan seperti mencium bau yang tidak enak.
b. Mencium bau tubuh
c. Mencium bau udara ketika sedang berjalan ke arah orang lain.
d. Merespon terhadap bau dengan panik seperti mencium bau api
atau darah.
e. Melempar selimut atau menuang air pada orang lain seakan
sedang memadamkan api.
4) Halusinasi pengecapan
Adapun perilaku yang terlihat pada klien yang mengalami
gangguan halusinasi pengecapan adalah :
a. Meludahkan makanan atau minuman.
b. Menolak untuk makan, minum dan minum obat.
c. Tiba-tiba meninggalkan meja makan.
5) Halusinasi perabaan
Perilaku yang tampak pada klien yang mengalami halusinasi
perabaan adalah :
a. Tampak menggaruk-garuk permukaan kulit.
Menurut Pusdiklatnakes (2012), tanda dan gejala halusinasi dinilai
dari hasil observasi terhadap klien serta ungkapan klien. Adapun tanda dan
gejala klien halusinasi adalah sebagai berikut :
1) Data Subjektif
Klien mengatakan :
a. Mendengar suara-suara atau kegaduhan
b. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
c. Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
d. Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk
kartun, melihat hantu dan monster
e. Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-
kadang bau itu menyenangkan
f. Merasakan rasa seperti darah, urin dan feses
g. Merasa takutan atau senang dengan halusinasinya
2) Data Objektif
a. Bicara atau tertawa sendiri
b. Marah marah tanpa sebab
c. Mengarahkan telinga kearah tertentu
d. Menutup telinga
e. Menunjuk kearah tertentu
f. Ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas
g. Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu
h. Menutup hidung
i. Sering meludah
j. Menggaruk garuk permukaan kulit
5. Penatalaksanaan Halusinasi
Menurut Marasmis (2004) Pengobatan harus secepat mungkin
diberikan, disini peran keluarga sangat penting karena setelah
mendapatkan perawatan di RSJ klien dinyatakan boleh pulang sehingga
keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam hal merawat
klien, menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan sebagai
pengawas minum obat (Prabowo, 2014).
1) Penatalaksanaan Medis
Menurut Struat, Laraia (2005) Penatalaksanaan klien
skizofrenia yang mengalami halusinasi adalah dengan pemberian obat-
obatan dan tindakan lain (Muhith, 2015).
a. Psikofarmakologis, obat yang lazim digunakan pada
gejala halusinasi pendengaran yang merupakan gejala psikosis
pada klien skizofrenia adalah obat anti psikosis. Adapun
kelompok yang umum digunakan adalah :
Kelas kimia Nama generik (dagang) Dosis harian
Fenotiazin Tiodazin (Mellaril) 2-40 mg

Tioksanten Kloprotiksen (Tarctan) 75-600 mg


Tiotiksen (Navane) 8-30 mg
Butirofenon Haloperidol (Haldol ) 1-100 mg
Dibenzodiasepin Klozapin (Clorazil) 300-900
b. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan
kejang grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik
melalui electrode yang dipasang pada satu atau dua temples,
terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizofrenia yang tidak
mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi dosis terapi
kejang listrik 4-5 joule/detik.
2) Penatalaksanaan Keperawatan
a. Penerapan Strategi Pelaksanaan
Menurut Keliat (2007) tindakan keperawatan yang dilakukan :
a) Melatih klien mengontrol halusinasi :
- Strategi Pelaksanaan 1 : menghardik halusinasi
- Strategi Pelaksanaan 2 : menggunakan obat secara
teratur
- Strategi Pelaksanaan 3: bercakap-cakap dengan
orang lain
- Strategi Pelaksanaan 4 : melakukan aktivitas
yang terjadwal
b) Menurut Pusdiklatnakes (2012) tindakan keperawatan
tidak hanya ditujukan untuk klien tetapi juga diberikan
kepada keluarga , sehingga keluarga mampu
mengarahkan klien dalam mengontrol halusinasi.
- Strategi Pelaksanaan 1 keluarga : mengenal
masalah dalam merawat klien halusinasi dan melatih
mengontrol halusinasi klien dengan menghardik
- Strategi Pelaksanaan 2 keluarga : melatih
keluarga merawat klien halusinasi dengan enam
benar minum obat
- Strategi Pelaksanaan 3 keluarga : melatih
keluarga merawat klien halusinasi dengan bercakap-
cakap dan melakukan kegiatan
- Strategi Pelaksanaan 4 keluarga : melatih
keluarag memnafaatkan fasilitas kesehatan untuk
follow up klien halusinasi
b. Psikoterapi dan rehabilitasi
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat
membantu karena klien kembali ke masyarakat, selain itu terapi
kerja sangat baik untuk mendorong klien bergaul dengan orang
lain, klien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya klien tidak
mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang
kurang baik, dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan
bersama, seperti terapi modalitas yang terdiri dari :
a) Terapi aktivitas
Meliputi : terapi musik, terapi seni, terapi
menari, terapi relaksasi, terapi sosial, terapi kelompok ,
terapi lingkungan.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Halusinasi
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses untuk tahap awal dan dasar utama dari
proes keperawatan terdiri drai pengumpulan data dan perumusan
kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan melalui data
biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Pengelompokkan data
pengkajian kesehatan jiwa, dapat berupa faktor presipitasi, penilaian
terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan yang dimiliki
(Afnuhazi, 2015) :
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelmain, tanggal pengkajian,
tanggal dirawat, nomor rekam medis.
2) Alasan masuk
Alasan klien datang ke RS, biasanya klien sering berbicara
sendiri, mendengar atau melihat sesuatu, suka berjalan tanpa tujuan,
membanting peralatan dirumah, menarik diri.
3) Faktor predisposisi
a. Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa dan
kurang berhasil dalam pengobatan
b. Pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan dalam
keluarga
c. Klien dengan gangguan orientasi besifat herediter
d. Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat menganggu
4) Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi pada klien dengan halusinasi ditemukan
adanya riwayat penyakit infeksi, penyakt kronis atau kelaina stuktur
otak, kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan kegagalan
dalam hidup, kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan dalam keluarga
atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan klien serta konflik
antar masyarakat.
5) Fisik
Tidak mengalami keluhan fisik.
6) Psikososial
a. Genogram
Pada genogram biasanya terlihat ada anggota keluarga yang
mengalami kelainan jiwa, pola komunikasi klien terganggu
begitupun dengan pengambilan keputusan dan pola asuh.
b. Konsep diri
Gambaran diri klien biasanya mengeluh dengan keadaan
tubuhnya, ada bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai,
identifikasi diri : klien biasanya mampu menilai identitasnya, peran
diri klien menyadari peran sebelum sakit, saat dirawat peran klien
terganggu, ideal diri tidak menilai diri, harga diri klien memilki
harga diri yang rendah sehubungan dengan sakitnya.
c. Hubungan sosial : klien kurang dihargai di lingkungan dan
keluarga.
d. Spiritual
Nilai dan keyakinan biasanya klien dengan sakit jiwa
dipandang tidak sesuai dengan agama dan budaya, kegiatan ibadah
klien biasanya menjalankan ibadah di rumah sebelumnya, saat sakit
ibadah terganggu atau sangat berlebihan.
7) Mental
a. Penampilan
Biasanya penampilan diri yang tidak rapi, tidak serasi atau
cocok dan berubah dari biasanya
b. Pembicaraan
Tidak terorganisir dan bentuk yang maladaptif seperti
kehilangan, tidak logis, berbelit-belit
c. Aktifitas motorik
Meningkat atau menurun, impulsif, kataton dan beberapa
gerakan yang abnormal.
d. Alam perasaan
Berupa suasana emosi yang memanjang akibat dari
faktor presipitasi misalnya sedih dan putus asa disertai apatis.
e. Afek : afek sering tumpul, datar, tidak sesuai dan ambivalen.
f. Interaksi selama wawancara
Selama berinteraksi dapat dideteksi sikap klien yang
tampak komat-kamit, tertawa sendiri, tidak terkait dengan
pembicaraan.
g. Persepsi
Halusinasi apa yang terjadi dengan klien. Data yang terkait
tentang halusinasi lainnya yaitu berbicara sendiri dan tertawa
sendiri, menarik diri dan menghindar dari orang lain, tidak dapat
membedakan nyata atau tidak nyata, tidak dapat memusatkan
perhatian, curiga, bermusuhan, merusak, takut, ekspresi muka
tegang, dan mudah tersinggung.
h. Proses pikir
Biasanya klien tidak mampu mengorganisir dan menyusun
pembicaraan logis dan koheren, tidak berhubungan, berbelit.
Ketidakmampuan klien ini sering membuat lingkungan takut dan
merasa aneh terhadap klien.
i. Isi pikir
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budaya klien. Ketidakmampuan
memproses stimulus internal dan eksternal melalui proses
informasi dapat menimbulkan waham.
j. Tingkat kesadaran
Biasanya klien akan mengalami disorientasi terhadap
orang, tempat dan waktu.
k. Memori
Terjadi gangguan daya ingat jangka panjang maupun
jangka pendek, mudah lupa, klien kurang mampu menjalankan
peraturan yang telah disepakati, tidak mudah tertarik. Klien
berulang kali menanyakan waktu, menanyakan apakah tugasnya
sudah dikerjakan dengan baik, permisi untuk satu hal.
l. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Kemampuan mengorganisir dan konsentrasi terhadap
realitas eksternal, sukar menyelesaikan tugas, sukar berkonsentrasi
pada kegiatan atau pekerjaan dan mudah mengalihkan perhatian,
mengalami masalah dalam memberikan perhatian.
m. Kemampuan penilaian
Klien mengalami ketidakmampuan dalam mengambil
keputusan, menilai, dan mengevaluasi diri sendiri dan juga tidak
mampu melaksanakan keputusan yang telah disepakati.
Sering tidak merasa yang dipikirkan dan diucapkan adalah salah.
n. Daya tilik diri
Klien mengalami ketidakmampuan dalam mengambil
keputusan. Menilai dan mengevaluasi diri sendiri, penilaian
terhadap lingkungan dan stimulus, membuat rencana termasuk
memutuskan, melaksanakan keputusan yang telah disepakati. Klien
yang sama seklai tidak dapat mengambil keputusan merasa
kehidupan sangat sulit, situasi ini sering mempengaruhi motivasi
dan insiatif klien
8) Kebutuhan persiapan klien pulang
a. Makan
Keadaan berat, klien sibuk dengan halusinasi dan
cenderung tidak memperhatikan diri termasuk tidak peduli
makanan karena tidak memiliki minat dan kepedulian.
b. BAB atau BAK
Observasi kemampuan klien untuk BAK atau BAK serta
kemampuan klien untuk membersihkan diri.
c. Mandi : biasanya klien mandi berulang-ulang atau tidak
mandi sama sekali.
d. Berpakaian : biasanya tidak rapi, tidak sesuai dan tidak diganti.
e. Observasi tentang lama dan waktu tidur siang dan malam :
biasanya istirahat klien terganggu bila halusinasinya datang.
f. Pemeliharaan kesehatan
Pemeliharaan kesehatan klien selanjutnya, peran keluarga
dan sistem pendukung sangat menentukan.
g. Aktifitas dalam rumah
Klien tidak mampu melakukan aktivitas di dalam rumah
seperti menyapu.
9) Aspek medis
a. Diagnosa medis : Skizofrenia
b. Terapi yang diberikan
Obat yang diberikan pada klien dengan halusinasi biasanya
diberikan antipsikotik seperti haloperidol (HLP), chlorpromazine
(CPZ), Triflnu perazin (TFZ), dan anti parkinson trihenski
phenidol (THP), triplofrazine arkine.
10) Skema masalah halusinasi
2. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan yang terdapat pada klien dengan gangguan
persepsi sensori halusinasi adalah sebagai berikut (Dalami, dkk, 2014) :
1) Resiko perilaku kekerasan
2) Gangguan persepsi sensori halusinasi
3) Isolasi sosial
3. Intervensi keperawatan
1) Tindakan keperawatan untuk klien halusinasi
Tujuan tindakan untuk klien meliputi (Dermawan & Rusdi,
2013) :
a. Klien mengenali halusinasi yang dialaminya
b. Klien dapat mengontrol halusinasinya
c. Klien mengikuti progam pengobatan secara optimal
2) Tindakan keperawatan untuk keluarga klien halusinasi
Menurut Pusdiklatnakes (2012) tindakan keperawatan tidak
hanya ditujukan untuk klien tetapi juga diberikan kepada keluarga,
sehingga keluarga mampu mengarahkan klien dalam mengontrol
halusinasi. Tujuan : keluarga mampu :
a. Merawat masalah halusinasi dan masalah yang dirasakan
dalam merawat klien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses
terjadinya halusinasi
c. Merawat klien halusinasi
d. Menciptakan suasana keluarga dan lingkungan untuk
mengontrol halusinasi
e. Mengenal tanda dan gejala kekambuhan yang memerlukan
rujukan segera ke fasilitas kesehatan
f. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk follow
up klien secara teratur.
Tabel
Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1 Resiko perilaku 1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Manajemen perilaku: menyakiti diri
kekerasan terhadap diri diharapkan control diri terhadap impuls sendiri
sendiri dapat dilakukan dengan kriteria hasil : a. Tentukan motif atau alasan tingkah
a. Secara konsisten menunjukkan laku
mengidentifikasi perilaku impulsive b. Kembangkan harapan tingkah laku
yang berbahaya yang tepat dan konsekuensinya,
b. Secara konsisten menunjukkan berikan pasien tingkat fungsi
mengidentifikasi perasaan yang kognitif dan kapasitas untuk
mengarah pada tindakan impulsive mengontrol diri
c. Secara konsisten menunjukkan c. Pindahkan barang yang berbahaya
mengidentifikasi konsekuensi dari dari lingkungan darilingkungan
tindakan impulsive sekitar pasien
d. Secara konsisten menunjukkan d. Instrusikan pasien untuk
menghindari lingkungan yang melakukan strategi koping
berisiko tinggi (mislnya latihan asertif, impuls
e. Secara konsisten menunjukkan kontrol training, relaksasi otot
mengontrol impulsive progresif) dengan cara yang tepat
f. Secara konsisten menunjukkan e. Antisipasi situasi pemicu yang
mempertahankan kontrol diri tanpa mungkin membuat pasien
pengawasan menyakiti diri
2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan f. Bantu pasien untuk
diharapkan kontrol diri terhadap distorsi mengidentifikasi situasi atau
pemikiran dapat dilakukan dengan kriteria perasaan yang mungkin memicu
hasil : perilaku menyakiti diri
a. Secara konsisten menunjukkan g. Lakukan kontrak dengan pasien
mengenali halusinasi atau delusi yang untuk tidak menyakiti diri, dengan
sedang terjadi cara yang tepat
b. Secara konsisten menunjukkan h. Ajarkan dan kuatkan pasien untuk
menahan diri dari mengikuti halusinasi melakukan tingkah laku koping
atau delusi yang efektif dan untuk
c. Secara konsisten menunjukkan mengekspresikan perasaan dnegan
menahan diri dari bereaksi terhadap cara yang tepat
halusinasi atau delusi i. Monitor pasien untuk adanya
d. Secara konsisten menunjukkan monitor impuls menyakiti diri jika
frekuensi halusinasi atau delusi mungkin memburuk menjadi
e. Secara konsisten menunjukkan pikiran atau sikap bunuh diri
menjelaskan isi dari halusinasi atau 2. Manajemen Halusinasi
delusi a. Bangun hubungan interpersonal
f. Secara konsisten menunjukkan dan saling percaya dengan klien
pemikiran yang berdasarkan kenyataan b. Monitor dan atur tingkat aktivitas
g. Secara konsisten menunjukkan dan stimulasi lingkungan
melaporkan penurunan halusinasi atau c. Pertahankan lingkungan yang
delusi aman
h. Secara konsisten menunjukkan d. Catat perilaku klien yang
mempertahankan afek yang konsisten menunjukkan halusinasi
dengan alam perasaan e. Tingkatkan komunikasi yang jelas
i. Secara konsisten menunjukkan pola dan tebuka
pikir yang logis f. Berikan klien kesempatan untuk
j. Secara konsisten menunjukkan isi mendiskusikan halusinasinya
pikiran yang tepat g. Dorong klien untuk
mengekspresikan perasaan secara
tepat
h. Fokuskan kembali klien mengenai
topik jika komunikasi klien tidak
sesuai situasi
i. Dorong klien untuk memvalidasi
halusinasi dengan orang yang
dipercaya
j. Berikan pengajaran terkait obat
pada klien dan orang-orang
terdekat (klien)
k. Berikan pengajaran terkait
penyakit kepada klien/ orang
terdekat (klien) jika halusinasinya
didasarkan karena penyakit
(misalnya delirium, skizofrenia
dan depresi)
l. Didik keluarga dan orang terdekat
mengenai cara untuk menangani
klien yang mengalami halusinasi
m. Monitor kemampuan merawat diri
n. Bantu dengan perawatan diri jika
dibutuhkan
o. Libatkan klien dalam aktivitas
berabasis realitas yang mampu
mengalihkan perhatian dari
halusinasi
3. Manajemen lingkungan : pencegahan
kekerasan
a. Singkirkan senjata potensial dari
lingkungan (misalnya, objek yang
tajam yang mirip tali seperti senar
gitar)
b. Periksa lingkungan secara rutin
untuk memastikan bebas dari
bahan berbahaya
c. Monitor pasien selama
penggunaan barang yang bisa
digunakan menjadi senjata
(misalnya pisau cukur)
d. Tempatkan pasien di ruangan yang
mudah diamati sehingga mudah
dilakukan observasi sesuai
kebutuhan
e. Gunakan alat makan dari plastik
dan kertas
f. Lakukan pengawasan terus-
menerus terhadap semua area yang
bisa diakses pasien untuk menjaga
keamanan pasien dan pemberian
intervensi terapeutik jika
diperlukan
2 Resiko perilaku 1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Bantuan control marah
kekerasan terhadap orang diharapkan menahan diri dari kemarahan a. Bangun rasa percaya dan
lain dapat dilakukan dengan kriteria hasil : hubungan yang dekat dan
a. Dilakukan secara konsisten harmonis dengan pasien
mengidentifikasi kapan (merasa) b. Gunakan pendekatan yang tenang
marah dan menyakinkan
b. Dilakukan secara konsisten c. Tentukan harapan mengenai
mengidentifikasi tanda-tanda marah tingkah laku yang tepat dalam
c. Dilakukan secara konsisten mengekspresikan perasaan marah,
mengidentifikasi situasi yang dapat tentukan fungsi kognitif dan fisik
memicu amarah pasien
d. Dilakukan secara konsisten d. Monitor potensi agresi yang
mengidentifikasi alasan marah diekspresikan dengan cara tidak
e. Dilakukan secara konsisten tepat dan lakukan intervensi
bertanggung jawab terhadap perilaku sebelum (agresi ini) diekspresikan
diri e. Cegah menyakiti secara fisik jika
f. Dilakukan secara konsisten marah diarahkan pada diri sendiri
mencurahkan perasaan negatif dengan atau orang lain
cara yang tidak mengancam f. Berikan pendidikan mengenai
g. Dilakukan secara konsisten metode untuk mengorganisir
menggunakan aktivitas fisik untuk pengalaman emosi yang sangat
mengurangi rasa marah yang tertahan kuat
h. Dilakukan secara konsisten membagi g. Sediakan umpan balik pada
perasaan marah dengan orang lain perilaku (pasien) untuk membantu
secara baik pasien mengidentifikasi
i. Dilakukan secara konsisten kemarahannya
menggunakan strategi untuk h. Bantu pasien mengidentifikasi
mengendalikan amarah sumber dari kemarahan
2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan i. Identifikasi konsekuensi dari
diharapkan menahan diri dari agresifitas ekspresi kemarahan yang tidak
dapat dilakukan dengan kriteria hasil : tepat
a. Dilakukan secara konsisten j. Bantu pasien terkait dengan
mengidentifikasi tanggung jwab strategi perencanaan untuk
untuk mempertahankan kendali diri mencegah ekspresi kemarahan
b. Dilakukan secara konsisten yang tidak tepat
mengidentifikasi saat merasa agresif k. Berikan model peran yang bisa
c. Dilakukan secara konsisten mengekspresikan marah dengan
menunjukkan perasaan negatif cara yang tepat
dengan cara yang tidak merusak l. Dukung pasien untuk
d. Dilakukan secara konsisten menahan mengimplementasik an strategi
diri dari memaki/berteriak mengontrol kemarahan dengan
e. Dilakukan secara konsisten menahan menggunakan ekspresi kemarahan
diri dari menyerang orang lain yang tepat
f. Dilakukan secara konsisten menahan m. Sediakan penguatan untuk ekspresi
diri dari membahyakan orang lain kemarahan yang tepat
g. Dilakukan secara konsisten menahan 2. Manajemen perilaku
diri dari menghancurkan barang-
barang a. Berikan pasien tanggung jawab
h. Dilakukan secara konsisten terhadap perilakunya (sendiri)
mengendalikan rangsangan b. Komunikasi harapan bahwa pasien
i. Dilakukan secara konsisten dapat tetap mengontrol
menggunakan teknik untuk (perilakunya)
mengendalikan amarah c. Komunikasikan dengan keluarga
dalam rangka mendapatkan
(informasi) mengenai kondisi
kognisi dasar klien
d. Tingkatkan aktivitas fisik dengan
cara yang tepat
e. Gunakan suara bicara yang lembut
dan rendah
f. Jangan memojokkan pasien
g. Turunkan (motivasi) perilaku pasif
agresif
h. Acuhkan perilaku yang tidak tepat
i. Berikan penghargaan apabila
pasien dapat mengontrol
diri
3 Isolasi sosial 1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Peningkatan sosialisasi
diharapkan keparahan kesepian dapat a. Anjurkan peningkatan keterlibatan
dilakukan dengan kriteria hasil : dalam hubungan yang sudah mapan
a. Tidak ada rasa perasaan terisolasi b. Tingkatkan hubungan dengan orang-
secara social orang yang memiliki minat dan
b. Tidak ada kesulitan dalam membuat tujuan yang sama
kontak dengan orang lain c. Anjurkan kegiatan sosial dan
c. Tidak ada rasa keputusasaan masyarakat
d. Tidak ada rasa kehilangan harapan d. Anjurkan partisipasi dalam
2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelompok dan/atau kegiatan-
diharapkan keterlibatan social dapat kegiatan reminiscence individu
dilakukan dengan kriteria hasil : e. Bantu meningkatkan kesadaran
a. Secara konsisten menunjukkan pasien mengenai kekuatan dan
berinteraksi dengan teman dekat keterbatasan- keterbatasan dalam
b. Secara konsisten menunjukkan berkomunikasi dengan orang lain
berinteraksi dengan tetangga f. Anjurkan pasien untuk mengubah
c. Secara konsisten menunjukkan lingkungan seperti pergi ke luar
berinteraksi dengan keluarga untuk jalan-jalan
d. Secara konsisten menunjukkan 2. Peningkatan keterlibatan keluarga
berpatisipasi dalam aktivitas waktu a. Bangun hubungan pribadi dengan
luang dengan orang lain pasien dan anggota keluarga yang
akan terlibat dalam perawatan
b. Identifikasi kemampuan anggota
keluarga untuk terlibat dalam
perawatan pasien
3. Terapi aktivitas
a. Kembangkan kemampuan klien
dalam berpatisipasi melalui aktivitas
spesifik
b. Bantu klien untuk mengeksplorasi
tujuan personal dari aktivitas-
aktivitas yang biasa dilakukan
(misalnya, bekerja dan aktivitas-
aktivitas yang disukai)
c. Bantu klien memilih aktivitas dan
pencapaian tujuan melalui aktivitas
yang konsisten dengan kemampuan
fisik, fisiologis dan social
d. Bantu klien untuk mengidentifikasi
aktivitas yang diinginkan
e. Bantu klien untuk menjadwalkan
waktu- waktu spesfik terkait dengan
aktivitas harian
f. Instrusikan klien dan keluarga untuk
melaksanakan aktivitas yang
diinginkan maupun yang (telah)
diresepkan
g. Bantu dengan aktivitas fisik secara
teratur (misalnya berpindah, berputar
dan kebersihan diri) sesuai dengan
kebutuhan
h. Berikan pujian positif karena
kesediannya untuk terlibat dalam
kelompok
i. Berikan kesempatan keluarga untuk
terlibat dalam aktivitas, dengan cara
yang tepat
j. Bantu klien untuk meningkatkan
motivasi dri dan penguatan
k. Monitor respon emosi, fisik, sosial
dan spiritual terhadap aktivitas
l. Bantu klien dan keluarga memantau
perkembangan terhadap pencapaian
tujuan (yang diharapkan)
Sumber : Nursing Intervention Classification (NIC). 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). 2016. NANDA. 2016.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan keperawatan oleh klien. Hal
yang harus diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah tindakan
keperawatan yang akan dilakukan implementasi pada klien dengan
halusinasi dilakukan secara interaksi dalam melaksanakan tindakan
keperawatan, perawat harus lebih dulu melakukan (Afnuhazi, 2015):
1) Bina hubungan saling percaya
2) Identifikasi waktu, frekuensi, situasi, respon klien terhadap
halusinasi
3) Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
4) Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat
5) Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap
6) Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara melaksanakan
kegiatan terjadwal
Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan.
Pada situasi nyata sering pelaksanaan jauh berbeda dengan rencana.
Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan,
perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan
masih sesuai dan dibutuhkan klien sesuai dengan kondisinya (here and
now). Perawat juga menilai diri sendiri, apakah kemampuan
interpersonal, intelektual, teknikal sesuai dengan tindakan yang akan
dilaksanakan (Dalami, dkk, 2014).
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan sesuai dengan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi dua
yaitu evaluasi proses dan evaluasi formatif, dilakukan setiap selesai
melaksanakan tindakan evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan
membandingkan respon klien pada tujuan yang telah ditentukan
(Afnuhazi, 2015).
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP
sebagai pola pikir, dimana masing-masing huruf tersebut akan diuraikan
sebagai berikut (Dalami, dkk, 2014) :
S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan
A : Analisa ulang terhadap data subjektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada yang
kontradiksi dengan masalah yang ada
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon klien.

Anda mungkin juga menyukai