KELOMPOK 1 :
1 2 3
(Non psikotik)
2.1.8 Penatalaksanaan
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), tindakan keperawatan untuk
membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubungan
saling percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin
sebelum mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi
untuk merasa nyaman menceritakan pengalaman aneh halusinasinya agar informasi
tentang halusinasi yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara konprehensif.
Untuk itu perawat harus memperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan
klien bahwa keberadaan perawat adalah betul-betul untuk membantu klien. Perawat
juga harus sabar, memperlihatkan penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar
ungkapan klien saat menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien
atau menertawakan klien walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh
dan menggelikan bagi perawat. Perawat harus bisa mengendalikan diri agar tetap
terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan selanjutnya
adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi halusinasi, waktu,
frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi,
dan perasaan klien saat halusinasi muncul). Setelah klien menyadari bahwa
halusinasi yang dialaminya adalah masalah yang harus diatasi, maka selanjutnya
klien perlu dilatih bagaimana cara yang bisa dilakukan dan terbukti efektif
mengatasi halusinasi. Proses ini dimulai dengan mengkaji pengalaman klien
mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa usaha yang klien lakukan untuk mengatasi
halusinasi, perawat perlu mendiskusikan efektifitas cara tersebut. Apabila cara
tersebut efektif, bisa diterapkan, sementara jika cara yang dilakukan tidak efektif
perawat dapat membantu dengan cara-cara baru.
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), ada beberapa cara yang bisa
dilatihkan kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :
1. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien harus
berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga. Klien dilatih
untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau lihat”. Ini dianjurkan untuk
dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu pasien mengenal halusinasi,
jelaskan cara-cara kontrol halusinasi, ajarkan pasien mengontrol halusinasi
dengan cara pertama yaitu menghardik halusinasi:
2. Menggunakan obat.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat ketidakseimbangan
neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk itu, klien perlu diberi
penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi, serta bagairnana
mengkonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara
optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi yang benar dalam
pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan secara tuntas
dan teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien
yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini penting
dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah sistem di mana klien
berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat menentukan kesehatan jiwa klien.
Klien mungkin sudah mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak didukung
secara kuat, klien bisa mengalami kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi.
Alasan kedua, halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung
lama (kronis), sekalipun klien pulang ke rumah, mungkin masih mengalarni
halusinasi. Dengan mendidik keluarga tentang cara penanganan halusinasi,
diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien kembali ke rumah. Latih
pasien menggunakan obat secara teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
a. Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala – gejala lain yang
biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresi, gangguan
personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian:
Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan intramuskuler.
Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti peningkatan dosis hingga
mencapai 300 mg perhari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu.
Pemberian dapat dilakukan satu kali pada malam hari atau dapat diberikan
tiga kali sehari. Bila gejala psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara
perlahan – lahan sampai 600 – 900 mg perhari.
Kontra indikasi:
Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma, keracunan
alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita yang hipersensitif terhadap
derifat fenothiazine.
Efek samping:
Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,
mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk
penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan gejala
penurunan kesadaran karena depresi susunan syaraf pusat,
hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran irama
EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.
Masalah :
Hari/ tanggal :
Jam :
A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi Klien
…
2. Tujuan Khusus
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
b. Klien dapat mengenal halusinasi.
c. Klien dapat menjelaskan cara-cara mengontrol halusinasi.
d. Klien dapat mengontrol halusinasi dengan cara pertama: menghardik.
3. Tindakan
a. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun nonverbal.
b. Bantu mengenal halusinasi dengan cara berdiskusi dengan klien
tentang isi halusinasi (apa yang didengar/ dilihat), waktu terjadi
halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
muncul dan respon klien saat halusinasi muncul.
c. Bantu memilih dan melatih cara memutus halusinasi: bicara dengan
orang lain bila muncul halusinasi, melakukan kegiatan, mengatakan
pada suara tersebut “saya tidak mau dengar!”
17
18
A. STRATEGI KOMUNIKASI
1. ORIENTASI (PERKENALAN)
a. Salam Terapeutik
”Assalamualaikum. Selamat pagi.”
”Saya Siti, perawat di sini, Siapa nama Bapak? Senang dipanggil
siapa?”
b. Evaluasi/Validasi
”Bagaimana perasaan Bapak hari ini? Apa keluhan Bapak hari ini?”
c. Kontrak Waktu
”Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang selama
ini Bapak dengar tetapi tak tampak wujudnya? Dimana kita duduk?
Berapa lama? Bagaimana jika 15 menit?”
2. KERJA
”Apakah Bapak mendengar suara tanpa ada wujudnya? Apa yang
dikatakan suara itu?Apakah terus menerus terdengar atau sewaktu-
waktu? Kapan yang paling sering Bapak dengar suara? Berapa kali
sehari Bapak alami? Pada keadaan apa suara itu terdengar? Apakah
waktu sendiri?”
”Apa yang Bapak rasakan saat mendengar suara itu? Apa yang Bapak
lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara itu suara-suara
itu hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah
suara-suara itu muncul?”
“Bapak, ada 4 cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama,
dengan menghardik suara itu. Kedua, dengan bercakap-cakap dengan
orang lain. Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal. Keempat,
minum obat dengan teratur.”
”Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik.
Caranya sebagai berikut: saat suara-suara itu muncul, langsung Bapak
bilang, pergi saya tidak mau dengar, ... saya tidak mau dengar. Kamu
suara palsu. Begitu diulang-ulang sampai suara itu tidak terdengar lagi.
19
Coba Bapak peragakan! Nah begitu, ... bagus! Coba lagi! Ya bagus Bapak
sudah bisa.”
3. TERMINASI
a. Evaluasi Subyektif
”Bagaimana perasaan Bapak setelah peragaan latihan tadi? Kalau
suara-suara itu muncul lagi, silakan coba cara tersebut.”
b. Evaluasi Obyektif
”Ya Bapak sudah bisa memperagakan latihan tadi.”
c. Rencana Tindak Lanjut
”Bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya? Mau jam berapa saja
latihannya?”
d. Kontrak
- Topik
”Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar dan latihan
mengendalikan suara-suara dengan cara kedua?”
- Waktu
”Besok pagi jam 9 saya akan datang kesini. Bagaimana, Bapak
bersedia?”
- Tempat
”Besok saya akan ke ruangan ini lagi. Sampai jumpa ya.”
20
BAB 3
TINJAUAN KASUS
3.1 Identitas Klien
3.5.1 Genogram
Kepala berbentuk normal, klien tampak kurang bersih, rambut hitam, tidak
ada lesi, wajah simetris, dada berbentuk simetris, tidak ada kelainan bentuk, tidak
ada kelainan bentuk tulang belakang, tidak ada lesi maupun jaringan parut.
Ekstremitas atas dan bawah normal, tidak ada kelainan bentuk, tidak ada
hiperpigmentasi, turgor kulit elastic, CRT < 2 detik.
3.6.2 Kesadaran (Kuantitas)
Klien dalam keadaan Composmentis (E=4, V=5, M= 6)
3.6.3 Tanda Vital
Tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 80 x/menit, suhu 36.2 oC, dan pernafasan
20 x/menit. Tinggi badan 16 cm dan berat badan 56 kg
3.6.4 Keluhan Fisik
Klien mengatakan tidak ada keluhan fisik atau penyakit yang parah.
3.7 Status Mental
3.7.1 Penampilan
Penampilan cara berpakaian rapi dan sesuai, postur tubuh sedang, rambut
pendek, cara berjalan lamban, klien duduk menyendiri dan melamun.
3.7.2 Pembicaraan
Dalam berbicara klien lamban dan pelan, klien terkadang terdiam ditengah
pembicaraan seperti mendengar sesuatu.
3.7.3 Aktivitas motorik/psikomotor
Klien tampak mondar-mandir sperti orang bingung, bila bertatapan kontak
mata kurang.
3.7.4 Mood dan Afek
3.7.4.1 Mood
Klien mengatakan bila mendengar bisikan klien merasa takut dan klien
mengatakan ingin pulang.
3.7.4.2 Afek
Saat ditanya klien menunjukkan muka datar tanpa ekspresi baik itu masalah
yang menyedihkan atau menyenangkan.
Klien mengatakan dulu tetangga dan kakak nya yang mengusir karena klien
memecahkan kaca rumah.
3.10.3 Masalah dengan pendidikan, spesifiknya
Klien mengatakan pendidikannya hanya tamataan SD
3.10.4 Masalah dengan pekerjaan, spesifiknya
Klien mengatakan pekerjaan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga
3.10.5 Masalah dengan perumahan, spesifiknya
Klien mengatakan rumah berada di Kediri, selama sakit klien tinggal dan di
rawat di Dinsos
3.10.6 Masalah dengan ekonomi, spesifiknya
Klien mengatakan tidak pernah mendapat uang dari keluarga, ditanggung
dinsos
3.10.7 Masalah dengan pelayanan kesehatan, spesifiknya
Klienmengatakan disini dilayani dengan baik dan diobati dengan baik,
pelayanan kesehatan dari pihak RSJ
3.10.8 Masalah lainnya, spesifiknya
Tidak ada masalah lainnya
DO:
Klien tampak mondar-mandir
Kontak mata kurang
4 DS :
Klien mengatakan pernah
mengalami kegagalan dalam
pernikahan ditinggal suami Respon pasca trauma
DO :
Mata klien tampak berkaca-kaca
5 DS :
Klien mengatakan sedih karena
tidak dapat menjalankan
perannya sebagai ibu Harga Diri Rendah
DO :
Klien tampak kebingungan
Mata klien tampak berkaca-kaca
6 DS :
30
DO :
Klien suka menyendiri
Berbicara sendiri
Mklien tampak melamun
7 DS :
Klien mengatakan bahwa saat
ini klien di rawat di RSJ
Perubahan proses pikir
DO :
Klien melakukan ADL
menunggu perintah
8 DS :
Klien mengatakan pada saat ada
masalah suka menyendiri
DO :
Mekanisme koping klien
maladaptif, klien suka Koping individu inefektif
menyendiri
Tampak duduk dan melamun
Tidak mau bergaul dengan orang
lain
31
6. Menarik Diri
BAB 4
35
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
Pada kasus Ny. T dengan masalah keperawatan utama Perubahan Persepsi
Sensori: Halusinasi Pendengaran, terdapat kesesuaian antara teori tentang
perubahan persepsi sensori: halusinasi pendengaran dengan fakta yang terjadi.
Menurut Nita Fitria (2010) perubahan persepsi sensorial adalah salah satu gejala
gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi sensori seperti
merasakan sensasi palsu salah satunya berupa suara. Seperti bicara sendiri,
mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar suara yang menyuruh untuk
melakukan sesuatu atau mengajak bercakap-cakap. Hal ini terjadi pada Ny. T yang
mana klien mengungkap bahwa pernah mendengar bisikan yang isinya menyuruh
cepat pulang dan munum obat terataur.
Klien mengatakan pernah masuk RSJ sebelumnya, dan klien dibawa oleh
Dinsos ke RSJ pada tanggal 3 November 2019. Klien tau dibawa ke RSJ tetapi tidak
tau karena apa dia dibawa ke RSJ Lawang. Hal ini juga sesuai dengan teori yang
terdapat di buku Fitria Nita (2010) yang menyebutkan stressor sosial budaya:
pernah dirawat di rumah sakit sebagai faktor presipitasi. Pengkajian dilakukan
berfokus pada persepsi pendengaran.
Dilihat dari hasil teori dan opini didapatkan bahwa terdapat kesesuaian antara
keduanya, sesuai dengan yang ada pada teori bahwa klien mengalami perubahan
persepsi sensori seperti merasakan sensasi palsu salah satunya berupa suara. Seperti
bicara sendiri, marah-marah tanpa sebab, mendekatkan telinga kearah tertentu,
mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar suara yang menyuruh untuk
melakukan sesuatu atau mengajak bercakap-cakap. Hasil pengkajian didapatkan
bahwa klien mendengar suara bisikan, sering menyendiri, dan klien malas minum
obat. Hal tersebut terjadi karena koping individu dan keluarga yang tidak efektif,
ketidakefektifan penatalaksanaan regimen terapeutik, dan kurangnya pengetahuan
klien dan keluarga tentang halusinasi pendengaran, sehingga mengakibatkan
terjadinya kekambuhan pada klien dengan perubahan persepsi sensori: halusinasi
pendengaran.
4.4 Implementasi
Langkah awal dalam asuhan keperawatan yang diberikan pada Ny. T adalah
penerapan SP1 dimana dilakukan intervensi membina hubungan saling percaya
dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik dan mengenal halusinasi serta
menghardik. SP1 dapat melakukan langkah: Mengucap salam, Menyapa klien
dengan ramah, Memperkenalkan nama dan tujuan berkenalan, Menanyakan nama
lengkap dan nama panggilan klien, Menciptakan lingkungan yang tenang, nyaman
dan bersahabat, Menunjukan sikap jujur, empati dan menerima klien apa adanya,
Memberikan perhatian dan penghargaan serta menemani klien walaupun tidak
menjawab. Proses klien pada BHSP antara perawat dan klien berlangsung lancar,
tidak ada gangguan dari luar, ada respon verbal dari klien, komunikasi non-verbal
yang dapat terkaji yaitu ekspresi klien bersahabat, ada kontak mata, mau berjabat
tangan, klien mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, dan klien bersedia
mengungkapkan masalah yang dihadapinya. Sedangkan langkah pada mengenal
masalah halusinasi, klien dapat menyebutkan isi, jenis, frekuensi dan respon klien
terhadap halusinasi serta menyebutkan cara menghardik halusinasinya. Tahap ini
terlihat klien mau berinteraksi dengan orang lain. Setelah satu hari Intervensi SP1
mengenal halusinasi klien serta menghardik mulai memberikan respon verbal yaitu
37
4.5 Evaluasi
Setiap pelaksanaan SP1, perawat selalu memvalidasi terhadap interaksi
sebelumnya. Klien memberikan respon verbal yang diharapkan. Klien mau terbuka
dengan perawat. Klien terlihat antusias dengan percakapan dan hanya menjawab
seperlunya saja.
38
SP1 dan 2 diterapkan pada tanggal 11-13 saja dikarenakan dalam 1 hari
diadakan 2 kali pertemuan dengan klien sudah melaksanakan kriteria evaluasi.
Sedangkan SP2 diterapkan selama 1 hari, hal ini dikarenakan dalam 3 kali
pertemuan klien sudah paham dengan penjelasan perawat tentang cara mengontrol
halusinsasinya.
39
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Pengkajian
Pada pengkajian menurut fakta dan teori terdapat kesesuaian bahwa klien
pada resiko kekambuhan perubahan persepsi sensori halusinasi pendengaran akan
merasakan sensasi palsu berupa suara. Hal ini merupakan gejala gangguan jiwa
berupa stimulus yang sebenarnya tidak ada. Gangguan ini terjadi karena sistem
penginderaan pada kesadaran individu tersebut menerima rangsangan yang tidak
nyata yang disebabkan oleh banyak faktor. Seperti faktor predisposisi, faktor
presipitasi, perilaku, sumber koping dan mekanisme koping.
Hasil pengkajian didapatkan bahwa klien mendengar suara bisikan, sering
menyendiri, dan klien malas minum obat. Hal tersebut terjadi karena koping
individu kurang efektif, ketidakefektifan penatalaksanaan regimen terapeutik, dan
kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang halusinasi pendengaran,
sehingga mengakibatkan terjadinya kejadian berulang pada klien dengan perubahan
persepsi sensori: halusinasi pendengaran.
5.1.4 Implementasi
Implementasi yang di lakukan terhadap Ny. T yaitu SP 1 dimana perawat
dan klien saling berkenalan dan mengetahui nama dari perawat maupun klien dan
40
dapat mengenal halusinasinya serta belajar menghardik suara yang didengar, di sini
perawat melakukan interaksi dengan klien untuk mengetahui penyebab dari
halusinasi yang terjadi pada klien dan belajar mengontrol halusinasi dengan cara
menghardik, implementasi selanjutnya yaitu melakukan SP2 dimana perawat
mengajarkan klien untuk mengontrol halusinasinya seperti mengalihkan
halusinasinya dengan mengobrol dengan perawat maupun dengan teman-temannya
serta dengan minum obat secara teratur, sehingga klien mampu melalukan sebagian
dari cara untuk mengontro halusinasi.
5.1.5 Evaluasi
SP1 dan SP2 diterapkan pada tanggal 11-13 November 2019 saja
dikarenakan dalam 1 hari diadakan 2 kali pertemuan dengan klien sudah
melaksanakan kriteria evaluasi. Sedangkan SP2 diterapkan selama 2 hari, hal ini
dikarenakan dalam 3 kali pertemuan klien sering lupa dengan penjelasan perawat
tentang cara mengontrol halusinsasinya.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Mahasiswa
Bagi mahasiswa agar dapat meningkatkan komunikasi terapeutik dengan
klien sehingga dengan mudah membina hubungan saling percaya dengan Klien
dalam melakukan keperawatan jiwa
5.2.2 Bagi Pendidikan
Kepada dosen STIKes Ekaharap Palangka Raya agar lebih banyak
menjelaskan dan menerangkan langkah-langkah yang sesuai dalam pemberian
asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi
: pendengaran.
5.2.3 Bagi Rumah Sakit
Kepada RSJ Radjiman Widiodiningrat Lawang agar selalu membina
hubungan saling percaya dengan klien dan memberikan asuhan keperawatan jiwa
yang tepat dalam melakukan pemulihan untuk Klien dengan masalah kejiwaan.
41
DAFTAR PUSTAKA
Darmaja, I Kade. 2014. Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Tn.
“S” Dengan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Diruang
Kenari Rsj Dr. Radjiman Wedioningrat Lawang Malang. Program Studi
Profesi (Ners) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Bakti Indonesia
Banyuwangi