PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa menurut World Health Organization adalah suatu keadaan
bahagia yang dirasakan individu dalam mencapai kemampuan yang dimiliki,
dapat mengatasi stress dalam hidupnya dengan baik, dapat bekerja secara
produktif sehingga menjadi sukses, dan sanggup membuat konstribusi untuk
masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2008).
World Health Organization menyatakan bahwa sekitar 450 juta orang
di dunia memiliki gangguan mental. Fakta lainnya adalah 25% penduduk
diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama
hidupnya. Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit di dunia, dibandingkan
TBC (7,2%), kanker (5,8%), jantung (4,4%) maupun malaria (2,6%). Masalah
gangguan jiwa dapat terus meningkat jika tidak dilakukan penanganan.
Kesehatan jiwa akan diperoleh seseorang manakala dalam diri seseorang
tertanam nilai-nilai konsistensi dan realitas dalam kehidupannya dalam
menghadapi stressor yang ada (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Stressor yang terdapat dalam setiap kehidupan manusia dapat teratasi jika
individu memiliki koping untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Individu yang memliki koping adaptif dapat menyelesaikan masalahnya dan
terhidar dari resiko terkena gangguan jiwa. Namun sebaliknya, apabila individu
tersebut tidak mampu melakukan koping adaptif, maka individu tersebut akan
beresiko mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa masih menjadi masalah
serius kesehatan mental di Indonesia yang perlu mendapat perhatian lebih dari
pemangku kebijakan kesehatan nasional. Meskipun masih belum menjadi
program prioritas utama kebijakan kesehatan nasional, namun dari angka yang
didapatkan dari beberapa riset nasional menunjukkan bahwa penderita
gangguan jiwa di Indonesia masih banyak dan cenderung mengalami
peningkatan.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 terdapat
0,46 persen dari total populasi Indonesia atau setara dengan 1.093.150 jiwa
penduduk Indonesia berisiko tinggi mengalami skizofrenia (Lestari &
Wardhani, 2014).
Karakteristik sehat jiwa dari persepsi yang sesuai dengan realitas,
mampu menerima diri sendiri dan orang lain secara alami, mampu fokus dalam
memecahkan masalah, menunjukan kemampuannya secara spontan,
mempunyai otonomi, mandiri, kreatif, puas dengan berhubungan interpersonal,
kaya pengalaman yang bermanfaat, menganggap hidup ini sebagai sesuatu
yang indah (Ngadiran, 2010). Jika individu tidak mampu melakukan koping
dengan adaptif maka individu beresiko mengalami gangguan jiwa.
Gangguan jiwa adalah gangguan pada fungsi mental, yang meliputi
emosi, pikiran, prilaku, motivasi daya tilik diri dan persepsi yang menyebabkan
penurunan semua fungsi kejiwaan terutama minat dan motivasi sehingga
mengganggu seseorang dalam proses hidup dimasyarakat (Nasir & Muhith
2011).
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang umum terjadi adalah
skizofrenia. Skizofrenia adalah penyakit neurologi yang mempengaruhi
persepsi, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosial pasien (Yosep,
2011). Berdasarkan data APA (The American Psycthriactic Association), di
Amerika Serikat terdapat 300 ribu pasien skizofrenia yang mengalami episode
akut setiap tahun. Angka kematian pasien skizofrenia 8 kali lebih tinggi dari
angka kematian penduduk pada umumnya. Pasien skizofrenia yang mencoba
melakukan bunuh diri sebanyak 20-30%, dan 10% diantaranya berhasil.’
Di Indonesia, Departemen Kesehatan RI (2003) mencatat gangguan
jiwa terbesar adalah skizofrenia. Menurut Arif (2006) mengungkapkan bahwa
pasien dengan diagnosis medis skizofrenia sebanyak 20% mengalami
halusinasi dan penglihatan secara bersamaan, 70% mengalami halusinasi
pendengaran, 20% mengalami halusinasi penglihatan, dan 10% mengalami
halusinasi lainnya.
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan
sensori persepsi. Pasien yang mengalami halusinasi biasanya merasakan
sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan
( Direja, 2011). Sensori dan perseosi yang dialami klien tidak bersumber dari
kehidupan nyata, tetapi dari klien itu sendiri.
Chaery (2009) menyatakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan
oleh pasien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan control dirinya.
Pasien akan mengalami panic dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi.
Pada situasi ini pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang
lain (homicide), bahkan merusak lingkungan untuk memperkecil dampak yang
ditimbulkan halusinasi, dibutuhkan penanganan yang tepat.
Peran perawat akan menangani halusinasi dirumah sakit antara lain
melakukan penerapan standar asuhan keperawatan, terapi aktivitas kelompok,
dan melatih keluarga untuk merawat pasien dengan halusinasi. Standar asuhan
keperawatan mencakup penerapansstrategi pelaksanaan halusinasi. Strategi
pelaksanaan pnerapan standar asuhan keperawatan terjadwal yang diterapkan
pada pasien dengan tujuan mengurangi masalah kperawatan jiwa yang
ditangani (Fitria, 2009). Strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi mencakup
kegiatan mengenal halusinasi, minum obat dengan teratur, bercakap-cakap
dengan orang lain saat halusinasi muncul , serta melakukan aktivitas terjadwal
untuk mencegah halusinasi (Keliat dkk, 2010)
Pasien yang mengalami gangguan halusinasi adalah Tn. MI
merupakan pasien dirawat di RSJ pertama kali, Klien mengatakan mendengar
suara-suara yang yang menyalahkan dirinya, memakai hanphone atau telephon.
Klien merasa suara itu mengganggu. Berdasarkan pernyataan klien bahwa ia
belum mengetahui cara mengontrol halusinasi yang benar, maka penulis
tertarik untuk melakukan asuhan keperawatan dengan judul “Asuhan
Keperawatan pada Tn.MI dengan Gangguan persepsi Sensori: halusinasi
pendengaran di Wisma Mastwapati (P4) RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang”.
B. Tujuan
1. TujuanUmum
Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada Tn. MI dengan masalah
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Wisma
Mastwapati (P4) RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang dapat mengontrol
halusinasi dengan tidak meninggalkan terapi farmakologi sesuai dengan
yang telah diresepkan dokter.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada Tn. MI dengan masalah
Gangguan persepsi Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Wisma
Mastwapati (P4) RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, maka dapat diketahui
hal-hal sebagai berikut:
A. Pengkajian pada Tn. MI dengan masalah Gangguan persepsi Persepsi
Sensori: Halusinasi Pendengaran di Wisma Mastwapati (P4) RSJ Prof.
Dr. Soeroyo Magelang
B. Masalah dan diagnosis pada Tn. T dengan masalah Gangguan Sensori
persepsi: Halusinasi Pendengaran di Wisma Mastwapati (P4) RSJ Prof.
Dr. Soeroyo Magelang
C. Rencana Asuhan Keperawatan pada Tn. T dengan masalah Gangguan
Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Wisma Mastwapati (P4)
RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magaelang
D. Implementasi Keperawatan pada Tn. T dengan masalah Gangguan
Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Wisma Mastwapati (P4)
RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magaelang
E. Evaluasi hasil implementasi pada Tn. T dengan masalah Gangguan
Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Wisma Mastwapati (P4)
RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magaelang
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
a. Dapat mengerti dan menerapkan asuhan keperawatan jiwa pada pasien
jiwa dengan gangguan persepsi sensori:halusinasi pendengaran
b. Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan asuhan
keperawatan jiwa
c. Meningkatkan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan
jiwa
2. Bagi profesi
Sebagai bahan masukkan dan informasi untuk menambah pengetahuan,
keterampilan dan sikap bagi instansi terkait, khususnya dalam
meningkatkan pelayanan keperawatan pada klien dengan halusinasi
3. Bagi institusi
Sebagai bahan masukkan dan informasi bagi perawat yang ada dirumah
sakit dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan keperawatan jiwa
khususnya dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu
berupa suara, pengelihatan, pengecapan, perabaan atau penghidu. Klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
Berdasarkan Depkes (2000 dalam Dermawan & Rusdi, 2013)
halusinasi adalah gerakan penyerapan (persepsi) panca indera tanpa ada
rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem panca indera terjadi
pada saat kesadaran individu penuh atau baik.
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata (Farida, 2010).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud halusinasi adalah persepsi salah satu gangguan jiwa pada individu
yang ditandai dengan perubahan persepsi sensori seseorang yang hanya
mengalami rangsang internal (pikiran) tanpa disertai adanya rangsang
eksternal (dunia luar) yang sesuai.
D. Tahapan halusinasi
Tahapan halusinasi menurut Depkes RI (2000 dalam Dermawan & Rusdi,
2013) sebagai berikut :
1. Tahap I (comforting):
Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum halusinasi
merupakan suatu kesenangan dengan karakteristik :
1) Klien mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
2) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas.
3) Pikiran dan pengalaman masih dalam kontrol kesadaran.
Perilaku klien :
1) Tersenyum atau tertawa sendiri.
2) Menggerakkan bibir tanpa suara.
3) Pergerakan mata yang cepat.
4) Respon verbal yang lambat.
5) Diam dan berkonsentrasi.
2. Tahap II (Condeming):
Menyalahkan, tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi
menyebabkan rasa antipasti dengan karakteristik :
1) Pengalaman sensori menakutkan
2) Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut.
3) Mulai merasa kehilangan kontrol.
4) Menarik diri dari orang lain.
Perilaku klien :
1) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah.
2) Perhatian dengan lingkungan berkurang.
3) Konsentrasi terhadap pengalaman sensorinya.
4) Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas.
3. Tahap III (Controlling):
Mengontrol, tingkat kecemasan berat, pengalaman halusinasi tidak dapat
ditolak lagi dengan karakteristik :
1) Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya (halusinasi).
2) Isi halusinasi menjadi atraktif.
3) Kesepian bila pengalaman sensori berakhir.
Perilaku klien :
1) Perintah halusinasi ditaati.
2) Sulit berhubungan dengan orang lain.
3) Perhatian terhadap lingkungan berkurang, hanya beberapa detik.
4) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan
berkeringat.
4. Tahap IV (Conquering):
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi, klien tampak panik.
Karakteristiknya yaitu suara atau ide yang datang mengancam apabila
tidak diikuti.
Perilaku klien :
1) Perilaku panik.
2) Resiko tinggi mencederai.
3) Agitasi atau kataton.
4) Tidak mampu berespon terhadap lingkungan.
Teori tahapan halusinasi ini dikuatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sihotang dengan judul “Perubahan gejala halusinasi pasien jiwa sebelum
dan sesudah TAK stimulasi persepsi halusinasi di RS Grhasia Provinsi
DIY” bahwa gejala halusinasi pada responden penelitian ditunjukan pada 4
tahapan halusinasi yaitu tahapan komforting, kondeming, kontroling dan
konkuering.
a) Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan
masalah tersebut, respon adaptif :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman adalah perasaan yang timbul
dari pengalaman ahli.
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
b) Respon psikososial
1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan.
2) Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan
panca indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang.
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas kewajaran.
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan
orang lain.
c) Respon maladaptive
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan, meliputi :
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari
hati.
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan sesuatu yang tidak teratur.
F. Mekanisme Koping
Mekanisme Koping menurut Stuart (2006) yaitu perilaku yang
mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan
berhubungan dengan respon neurologis maladaptif meliputi :
a. Regresif berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas hidup
sehari – hari.
b. Proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan karancuan persepsi.
c. Menarik diri.
5) pada daerah
Lesi Tugas perkembangan terganggu, Stress (internal & eksternal)
6) temporan dan
frontal sosiolultural, biokimia, kepribadian
limbil otak lemah, genetik
Neurokimia halusinogenik
Teraktivasinya
neurotransmitter otak
Perilaku psikotik
skizofrenia
Gangguan persepsi
Perilaku agresif Menarik diri
sensori: halusinasi
Keterangan:
: laki-laki
: perempuan
: meninggal
:garis keturunan
A. Analisa jurnal
Salah satu gejala umum dari skizofrenia yang banyak dijumpai adalah
halusinasi. Dimana halusinasi ini adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada
individu yang ditandai dengan perubahan sensori : merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau penglihatan, pada
pasien yang merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (kilat dan
Akemat, 2002)
teori ini sesuai dengan apa yang dialami Tn.MI Berdasarkan pengkajian
pada secara garis besar ditemukan data subyektif dan data obyektif yang
menunjukan karakteristik diagnosa gangguan persepsi sensori. Halusinasi
pendengaran klien yang ditandai dengan data subyektif yaitu Tn. MI
mengatakan mendengar suara-suara yang tidak ada wujudnya, suara yang
didengarkan menyalahkan, pasien karena tidak memakai hanphone, ini terjadi
sewaktu-waktu. Biasanya suara tersebut muncul saat klien sendiri. klien
mengatakan merasa terganggu terhadap suara yang didengarkan. Bila klien
klien mendengarkan suara-suara dibiarkan klien belum bisa dan belum
mengetahui cara menghardik halusinasi.
Menurut dermawan dan Rusdi (2013) bahwa salah satu faktor
predisposisi yang menyebabkan halusinasi adalah Faktor genetik dan pola
asuh Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.. Teori ini sesuai
dengan apa yang dialami Tn. MI karena sudah 2 kali masuk RSJ Prof. Dr.
Soeroyo Magelang dan hasil studi mennjukkan faktor biokimia Mempunyai
pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Karena Adanya stress yang
berlebihan yang dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon
dan dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak, misalnya terjadi ketidak seimbangan
acetylcholin dan dopamin. Dan teori ini sesuai dengan yang dialami klien
karena pernah mengalami kehilangan pekerjaan sehingga klien tidak memiliki
aktivitas . Pada faktor presipitasi diperoleh halusinasi Tn. MI dapat kambuh karena
berdiam diri di rumah dan suka menyendiri.
Berdasarkan pengkajian pada Tn. MI pernah melakukan perilaku
kekerasan karena merasa kesal pada orang lain yaitu pada neneknya tanpa
sebab sebelum dibawa ke RSJ. Hal ini juga sesuai dengan teori Chaery (2009)
yang menyatakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan oleh pasien yang
mengalami halusinasi adalah kehilangan control dirinya. Pasien akan
mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi. Pada situasi
ini pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain
(homicide), bahkan merusak lingkungan untuk memperkecil dampak yang
ditimbulkan halusinasi, dibutuhkan penanganan yang tepat.
Menurut (Maramis 2010) pasien yang mengalami halusinasi
disebabkan karena ketidak mampuan menghadapi stressor dan kurangnya
kemampuan dalam mengenal cara mengontrol halusinasi. Hal ini sesuai
dengan pengkajian yang diperoleh pada Tn. MI belum mengetahui cara
mengontrol halusinasi.
Prioritas masalah yang dirumuskan ada 2 yaitu gangguan persepsi
sensori:halusinasi pendengaran, isolasi sosial Diagnosa utama yang dibahas
oleh penulis yaitu gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran,
diagnosa lainnya tidak dilakukan intervensi karena keterbatasan waktu yang
dimiliki dan fungsi kognitif klien yang terganggu sehingga tidak dapat
dilakukan dalam sekaligus waktu.
Tahapan halusinasi menurut Depkes RI (2000 dalam Dermawan &
Rusdi, 2013) sebagai berikut :
1. Tahap I (comforting):
Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum halusinasi
merupakan suatu kesenangan dengan karakteristik :
1) Klien mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
2) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas.
3) Pikiran dan pengalaman masih dalam kontrol kesadaran.
Perilaku klien :