Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa menurut World Health Organization adalah suatu keadaan
bahagia yang dirasakan individu dalam mencapai kemampuan yang dimiliki,
dapat mengatasi stress dalam hidupnya dengan baik, dapat bekerja secara
produktif sehingga menjadi sukses, dan sanggup membuat konstribusi untuk
masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2008).
World Health Organization menyatakan bahwa sekitar 450 juta orang
di dunia memiliki gangguan mental. Fakta lainnya adalah 25% penduduk
diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama
hidupnya. Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit di dunia, dibandingkan
TBC (7,2%), kanker (5,8%), jantung (4,4%) maupun malaria (2,6%). Masalah
gangguan jiwa dapat terus meningkat jika tidak dilakukan penanganan.
Kesehatan jiwa akan diperoleh seseorang manakala dalam diri seseorang
tertanam nilai-nilai konsistensi dan realitas dalam kehidupannya dalam
menghadapi stressor yang ada (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Stressor yang terdapat dalam setiap kehidupan manusia dapat teratasi jika
individu memiliki koping untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Individu yang memliki koping adaptif dapat menyelesaikan masalahnya dan
terhidar dari resiko terkena gangguan jiwa. Namun sebaliknya, apabila individu
tersebut tidak mampu melakukan koping adaptif, maka individu tersebut akan
beresiko mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa masih menjadi masalah
serius kesehatan mental di Indonesia yang perlu mendapat perhatian lebih dari
pemangku kebijakan kesehatan nasional. Meskipun masih belum menjadi
program prioritas utama kebijakan kesehatan nasional, namun dari angka yang
didapatkan dari beberapa riset nasional menunjukkan bahwa penderita
gangguan jiwa di Indonesia masih banyak dan cenderung mengalami
peningkatan.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 terdapat
0,46 persen dari total populasi Indonesia atau setara dengan 1.093.150 jiwa
penduduk Indonesia berisiko tinggi mengalami skizofrenia (Lestari &
Wardhani, 2014).
Karakteristik sehat jiwa dari persepsi yang sesuai dengan realitas,
mampu menerima diri sendiri dan orang lain secara alami, mampu fokus dalam
memecahkan masalah, menunjukan kemampuannya secara spontan,
mempunyai otonomi, mandiri, kreatif, puas dengan berhubungan interpersonal,
kaya pengalaman yang bermanfaat, menganggap hidup ini sebagai sesuatu
yang indah (Ngadiran, 2010). Jika individu tidak mampu melakukan koping
dengan adaptif maka individu beresiko mengalami gangguan jiwa.
Gangguan jiwa adalah gangguan pada fungsi mental, yang meliputi
emosi, pikiran, prilaku, motivasi daya tilik diri dan persepsi yang menyebabkan
penurunan semua fungsi kejiwaan terutama minat dan motivasi sehingga
mengganggu seseorang dalam proses hidup dimasyarakat (Nasir & Muhith
2011).
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang umum terjadi adalah
skizofrenia. Skizofrenia adalah penyakit neurologi yang mempengaruhi
persepsi, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosial pasien (Yosep,
2011). Berdasarkan data APA (The American Psycthriactic Association), di
Amerika Serikat terdapat 300 ribu pasien skizofrenia yang mengalami episode
akut setiap tahun. Angka kematian pasien skizofrenia 8 kali lebih tinggi dari
angka kematian penduduk pada umumnya. Pasien skizofrenia yang mencoba
melakukan bunuh diri sebanyak 20-30%, dan 10% diantaranya berhasil.’
Di Indonesia, Departemen Kesehatan RI (2003) mencatat gangguan
jiwa terbesar adalah skizofrenia. Menurut Arif (2006) mengungkapkan bahwa
pasien dengan diagnosis medis skizofrenia sebanyak 20% mengalami
halusinasi dan penglihatan secara bersamaan, 70% mengalami halusinasi
pendengaran, 20% mengalami halusinasi penglihatan, dan 10% mengalami
halusinasi lainnya.
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan
sensori persepsi. Pasien yang mengalami halusinasi biasanya merasakan
sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan
( Direja, 2011). Sensori dan perseosi yang dialami klien tidak bersumber dari
kehidupan nyata, tetapi dari klien itu sendiri.
Chaery (2009) menyatakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan
oleh pasien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan control dirinya.
Pasien akan mengalami panic dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi.
Pada situasi ini pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang
lain (homicide), bahkan merusak lingkungan untuk memperkecil dampak yang
ditimbulkan halusinasi, dibutuhkan penanganan yang tepat.
Peran perawat akan menangani halusinasi dirumah sakit antara lain
melakukan penerapan standar asuhan keperawatan, terapi aktivitas kelompok,
dan melatih keluarga untuk merawat pasien dengan halusinasi. Standar asuhan
keperawatan mencakup penerapansstrategi pelaksanaan halusinasi. Strategi
pelaksanaan pnerapan standar asuhan keperawatan terjadwal yang diterapkan
pada pasien dengan tujuan mengurangi masalah kperawatan jiwa yang
ditangani (Fitria, 2009). Strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi mencakup
kegiatan mengenal halusinasi, minum obat dengan teratur, bercakap-cakap
dengan orang lain saat halusinasi muncul , serta melakukan aktivitas terjadwal
untuk mencegah halusinasi (Keliat dkk, 2010)
Pasien yang mengalami gangguan halusinasi adalah Tn. MI
merupakan pasien dirawat di RSJ pertama kali, Klien mengatakan mendengar
suara-suara yang yang menyalahkan dirinya, memakai hanphone atau telephon.
Klien merasa suara itu mengganggu. Berdasarkan pernyataan klien bahwa ia
belum mengetahui cara mengontrol halusinasi yang benar, maka penulis
tertarik untuk melakukan asuhan keperawatan dengan judul “Asuhan
Keperawatan pada Tn.MI dengan Gangguan persepsi Sensori: halusinasi
pendengaran di Wisma Mastwapati (P4) RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang”.
B. Tujuan
1. TujuanUmum
Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada Tn. MI dengan masalah
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Wisma
Mastwapati (P4) RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang dapat mengontrol
halusinasi dengan tidak meninggalkan terapi farmakologi sesuai dengan
yang telah diresepkan dokter.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada Tn. MI dengan masalah
Gangguan persepsi Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Wisma
Mastwapati (P4) RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, maka dapat diketahui
hal-hal sebagai berikut:
A. Pengkajian pada Tn. MI dengan masalah Gangguan persepsi Persepsi
Sensori: Halusinasi Pendengaran di Wisma Mastwapati (P4) RSJ Prof.
Dr. Soeroyo Magelang
B. Masalah dan diagnosis pada Tn. T dengan masalah Gangguan Sensori
persepsi: Halusinasi Pendengaran di Wisma Mastwapati (P4) RSJ Prof.
Dr. Soeroyo Magelang
C. Rencana Asuhan Keperawatan pada Tn. T dengan masalah Gangguan
Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Wisma Mastwapati (P4)
RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magaelang
D. Implementasi Keperawatan pada Tn. T dengan masalah Gangguan
Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Wisma Mastwapati (P4)
RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magaelang
E. Evaluasi hasil implementasi pada Tn. T dengan masalah Gangguan
Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Wisma Mastwapati (P4)
RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magaelang
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
a. Dapat mengerti dan menerapkan asuhan keperawatan jiwa pada pasien
jiwa dengan gangguan persepsi sensori:halusinasi pendengaran
b. Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan asuhan
keperawatan jiwa
c. Meningkatkan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan
jiwa
2. Bagi profesi
Sebagai bahan masukkan dan informasi untuk menambah pengetahuan,
keterampilan dan sikap bagi instansi terkait, khususnya dalam
meningkatkan pelayanan keperawatan pada klien dengan halusinasi
3. Bagi institusi
Sebagai bahan masukkan dan informasi bagi perawat yang ada dirumah
sakit dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan keperawatan jiwa
khususnya dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu
berupa suara, pengelihatan, pengecapan, perabaan atau penghidu. Klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
Berdasarkan Depkes (2000 dalam Dermawan & Rusdi, 2013)
halusinasi adalah gerakan penyerapan (persepsi) panca indera tanpa ada
rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem panca indera terjadi
pada saat kesadaran individu penuh atau baik.
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata (Farida, 2010).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud halusinasi adalah persepsi salah satu gangguan jiwa pada individu
yang ditandai dengan perubahan persepsi sensori seseorang yang hanya
mengalami rangsang internal (pikiran) tanpa disertai adanya rangsang
eksternal (dunia luar) yang sesuai.

B. Jenis – jenis halusinasi


Menurut Farida ( 2010 ) halusinasi terdiri dari tujuh jenis:
A. Halusinasi Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara
berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas
berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara
dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana
klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu
kadang dapat membahayakan.
B. Halusinasi Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar
kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bisa yang
menyenangkan atau menakutkan.
C. Halusinasi Penghidu atau Penciuman
Membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses, parfum atau
bau yang lain. Ini sering terjadi pada seseorang pasca serangan stroke,
kejang atau dimensia.
D. Halusinasi Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
E. Halusinasi Perabaan
Merasa mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas.
Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
F. Halusinasi Cenesthetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan
makan atau pembentukan urine.
G. Halusinasi Kinestetika
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

C. Faktor Penyebab Halusinasi


1. Predisposisi
Predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
Diperoleh dari klien atau keluarga. Faktor predisposisi meliputi:
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya control
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri
sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan
terhadap stress.
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima di lingkungannya sejak bayi
(unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya
pada lingungannya.
c. Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan yang dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia
seperti buffofenon dan dimetytranferase (DMP). Akibat stress
berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak,
misalnya terjadi ketidak seimbangan acetylcholin dan dopamin.
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalagunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam hayal.
e. Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi ini
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor presipitasi
a) Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan
Heacock, 1993 membagi halusinasi menjadi lima dimensi yaitu :
1) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu
lama.
2) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien
tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga kondisi
tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3) Dimensi intelektual
Dalam dimensi ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls
yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan
tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4) Dimensi social
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comfort-ing, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam
nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya
seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan
interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol olah
individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa
ancaman, dirinya atau orang lain cenderung untuk itu. Sehingga
penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan
pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengupayakan
klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan
lingkungannya.
5) Dimensi spiritual
Halusinasi klien dimulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara
spritual untuk menyucikan diri. Irama srikandiannya terganggu,
karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat
terbangun merasa hampa dan tidak ada tujuan hidupnya. Ia sering
memaki takdir tetapi tidak berusaha, menyalakan orang lain dan
lingkungan yang menyebabkan takdirnya memburuk
Menurut Mc. Forlano & Thomas (dalam Dermawan & Rusdi, 2013)
mengemukakan beberapa teori yaitu:
a. Teori psikofisiologi
Terjadi akibat ada fungsi kognitik yang menurun karena
terganggunya fungsi luhur otak, oleh karena kelelahan, karacunan
dan penyakit.
b. Teori psikodinamik
Terjadi karena ada isi alam sadar dan akan tidak sadar yang masuk
dalam alam tak sadar merupakan sesuatu atau respon terhadap
konflik psikologi dan kebutuhan yang tidak terpenuhi sehingga
halusinasi adalah gambaran atau proyeksi dari rangsangan keinginan
dan kebutuhan yang dialami oleh klien.
c. Teori interpersonal
Teori ini menyatakan seseorang yang mengalami kecemasan berat
dalam situasi yang penuh dengan stress akan berusaha untuk
menurunkan kecemasan dengan menggunakan koping yang biasa
digunakan

D. Tahapan halusinasi
Tahapan halusinasi menurut Depkes RI (2000 dalam Dermawan & Rusdi,
2013) sebagai berikut :
1. Tahap I (comforting):
Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum halusinasi
merupakan suatu kesenangan dengan karakteristik :
1) Klien mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
2) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas.
3) Pikiran dan pengalaman masih dalam kontrol kesadaran.

Perilaku klien :
1) Tersenyum atau tertawa sendiri.
2) Menggerakkan bibir tanpa suara.
3) Pergerakan mata yang cepat.
4) Respon verbal yang lambat.
5) Diam dan berkonsentrasi.
2. Tahap II (Condeming):
Menyalahkan, tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi
menyebabkan rasa antipasti dengan karakteristik :
1) Pengalaman sensori menakutkan
2) Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut.
3) Mulai merasa kehilangan kontrol.
4) Menarik diri dari orang lain.
Perilaku klien :
1) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah.
2) Perhatian dengan lingkungan berkurang.
3) Konsentrasi terhadap pengalaman sensorinya.
4) Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas.
3. Tahap III (Controlling):
Mengontrol, tingkat kecemasan berat, pengalaman halusinasi tidak dapat
ditolak lagi dengan karakteristik :
1) Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya (halusinasi).
2) Isi halusinasi menjadi atraktif.
3) Kesepian bila pengalaman sensori berakhir.
Perilaku klien :
1) Perintah halusinasi ditaati.
2) Sulit berhubungan dengan orang lain.
3) Perhatian terhadap lingkungan berkurang, hanya beberapa detik.
4) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan
berkeringat.

4. Tahap IV (Conquering):
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi, klien tampak panik.
Karakteristiknya yaitu suara atau ide yang datang mengancam apabila
tidak diikuti.
Perilaku klien :
1) Perilaku panik.
2) Resiko tinggi mencederai.
3) Agitasi atau kataton.
4) Tidak mampu berespon terhadap lingkungan.
Teori tahapan halusinasi ini dikuatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sihotang dengan judul “Perubahan gejala halusinasi pasien jiwa sebelum
dan sesudah TAK stimulasi persepsi halusinasi di RS Grhasia Provinsi
DIY” bahwa gejala halusinasi pada responden penelitian ditunjukan pada 4
tahapan halusinasi yaitu tahapan komforting, kondeming, kontroling dan
konkuering.

E. Rentang Respon Halusinasi


Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada
dalam rentang respon neurobiologi. Ini merupakan respon persepsi paling
maladaptif. Jika klien sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca
indra (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), klien
dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun
sebenarnya stimulus itu tidak ada. Diantara kedua respon tersebut adalah respon
individu yang karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah
mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien
mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukannya terhadap stimulus panca indra
tidak akurat sesuai stimulus yang diterima.
Rentang respon:

Respon Adaptif Respon


Maladptif

Pikiran logis o Distorsi pikiran o Gangguan


Persepsi akurat o Ilusi pikir/delusi
o Reaksi emosi
Emosi konsisten o Halusinasi
berlebihan atau kurang
dengan pengalaman o Perilaku aneh/tidak o Sulit berespon emosi
Perilaku sesuai bisa o Perilaku disorganisasi
Berhubungan sosial o Menarik diri
o Isolasi sosial

a) Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan
masalah tersebut, respon adaptif :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman adalah perasaan yang timbul
dari pengalaman ahli.
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
b) Respon psikososial
1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan.
2) Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan
panca indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang.
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas kewajaran.
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan
orang lain.
c) Respon maladaptive
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan, meliputi :
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari
hati.
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan sesuatu yang tidak teratur.

F. Mekanisme Koping
Mekanisme Koping menurut Stuart (2006) yaitu perilaku yang
mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan
berhubungan dengan respon neurologis maladaptif meliputi :
a. Regresif berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas hidup
sehari – hari.
b. Proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan karancuan persepsi.
c. Menarik diri.

G. Proses terjadinya Masalah


Halusinasi terjadi karena klien tersebut pada dasarnya memiliki
koping yang tidak efektif terhadap berbagai stresor yang menimpanya.
Kondisi yang timbul karena kondisi di atas adalah klien cenderung akan
menarik diri dari lingkungan dan terjadilah isolasi sosial.
Kesendirian tersebut jika berlangsung lama akan menimbulkan
halusinasi dan semakin lama klien akan semakin menikmati dan asik dengan
halusinasinya itu. Karena adanya hal yang tidak nyata akan muncul perintah
yang bisa menyuruh klien merusak diri sendiri dan lingkungan di sekitarnya
(Keliat dkk, 2005).
H. PATHWAY

5) pada daerah
Lesi Tugas perkembangan terganggu, Stress (internal & eksternal)
6) temporan dan
frontal sosiolultural, biokimia, kepribadian
limbil otak lemah, genetik

Koping tidak efektif

Stress meningkat & berkepanjangan,


terasa terancam,

Perubahan kimia otak

Neurokimia halusinogenik

Teraktivasinya
neurotransmitter otak

Perilaku psikotik

skizofrenia

Gangguan persepsi
Perilaku agresif Menarik diri
sensori: halusinasi

MK: Isolasi sosial


perilaku kekerasan Resiko perilaku kekerasan
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengkajian
I. Identitas pasien
Ruang rawat : Wisma Mastwapati (P4)
Tanggal dirawat : 5 April 2016
No. RM : 96650
Diagnosis : F20.3 (Skizofrenia tidak terinci)
Nama : Tn. MI
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam
Status perkawinan ; Belum kawin
Alamat : Semarang

Identitas Penanggung Jawab


Nama : Ny.SM
Umur : -
Alamat : Semarang
Hubungan : Nenek

II. Alasan Masuk


Klien dibawa keluarganya ke RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang karena ± 3
bulan ini kambuh bingung, bicara, tertawa sendiri, sering mendengarkan
suara-suara bisikan, klien juga sering mengamuk melempar tetangga,
marah-marah tidak jelas.
III. Faktor Presipitasi
Klien ditinggal menikah dengan pacarnya, dan perceraian kedua orang tua,
dan kehilangan pekerjaan (PHK)
IV. Faktor Predisposisi
a) Klien pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya saat usia ± 27
tahun dan sudah 2 kali dirawat di RSJ Prof, Dr.Soeroyo Magelang.
b) Pengobatan yang dilakukan sebelumnya kurang berhasil karena klien
tidak runtin minum obat / putus obat
c) klien pernah melakukan kekerasan, aniaya fisik dan pernah
menyaksikan aniaya fisik yang dilakukan oleh ayahnya kepada
ibunya,dan klien tidak pernah menyaksikan aniaya seksual,
penolakan, tindakan kriminal.
d) Anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa yaitu ibunya,
dengan gejala yang sama dan pengobatan kurang berhasil.
V. Fisik
1) Tanda-tanda vital:
- TD :120/70 mmhg
- N : 96x/mnt
- S : 370 C
- P : 20 x/mnt
2) TB : 160 cm
BB : 51 kg dengan IMT: 19,92
3) Kesadaran : composmentis, tidak ada disorientasi
4) Keluhan fisik : klien mengatakan tidak sakit
VI. Psikososial
1) Gambar genogram

Keterangan:

: laki-laki

: perempuan

: meninggal

: tinggal satu rumah

:garis keturunan

a. Tn. MI merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara dan tinggal


serumah dengan nenek dari ibunya. ada anggota keluarga Tn. MI
yang mengalami gangguan jiwa yaitu ibunya.
Dalam keluarga pola kominikasi baik/terbuka dan saling berbagi
cerita diantara sesama. Pengambilan keputusan dalam keluarga
ditentukan secara bersama-sama. Polah asuh kurang baikklien
pernah melakukan tindakan kekerasan pada keluarga
2) Konsep diri
a. Gambaran diri
Klien mengatakan menyukai seluruh tubuhnya dan tidak ada
keluhan
b. Identitas diri
Klien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara, belum menikah,
tinggal bersama nenek dari ibunya. Sewaktu dirumah posisi klien
sebagai seorang anak laki-laki beragama islam, tidak memiliki
pekerjaan, klien malu untuk bergaul dengan masyarakat.
c. Peran
Peran Tn.MI dalam keluarga adalah seorang cucu, klien
sebelumnya bertanggung jawab untuk bekerja membantu keuangan
sang nenek
d. Ideal diri
Klien berharap agar ia cepat pulang kerumahnya dan bisa
mendapatkan kembali pekerjaan
e. Harga diri
Klien mengatakan jarang bergaul dengan masyarakat dilingkungan
tempat tinggalnya karena mengalami gangguan jiwa
3) Hubungan sosial
Orang terdekat Tn. MI dalam kehidupannya adalah neneknya . klien
tidak aktif dalam kegiatan masyarakat. Diwisma mastwapati klien
memiliki hubungan yang baik dengan semua pasien di mastwapati,
teman terdekat klien adalah Muhamad Zaenudin dan Turaji. Klien
mengatakan masih merasa sulit untuk bergaul dengan masyarakat
karena merasa malu dengan statusnya sebagai pasien jiwa.
4) Spiritual
Tn. MI mengatakan beragama islam, taat melaksanakan sholat 5 waktu
ikhlas dengan keadaannya sebagai pasien jiwa, klien tidak
menyalahkan siapapun atas dirinya saat ini.
VII. Status Mental
1) Penampilan
Penampilan Tn. MI cukup rapi, kancing baju tepat baju tidak terbalik,
pakaian diganti-ganti sesuai dengan ketentua di RSJ
2) Pembicaraan
Pembicaraan Tn, MI lambat dengan nada suara yang lemah, tidak
dapat memulai pembicaraan, pembicaraan klien tidak berpindah-
pindah saling berkaitan dari satu kalimat ke kalimat lain, mudah
dimengerti.
3) Aktivitas motorik
Tn. MI tampak gelisah, lesuh, dan berdiam diri. Klien mengatakan
mengikuti semua kegiatan di rumah sakit
4) Alam perasaan
Klien mengatakan merasa terganggu terhadap suara-suara yang
didengarkan tanpa wujud
5) Afek
Afek labil, cepat berubah-ubah kadang-kadang sedih, gelisah.
6) Interaksi selama wawancara
Tn, MI kooperatif, ada kontak mata kurang , susah memulai
pembicaraan.
7) Persepsi
Pada pengkajian pola persepsi, Tn. MI mengatakan mendengar suara-
suara tanpa ada wujudnya, suara-suara yang didengarkan menyalahkan
klien karena tidak memakai hanphone. terjadi sewaktu-waktu selama
kurang lebih 1 jam. Tn. MI mengatakan terganggu terhadap suara yang
didengarkan. Tidak ada cara yang digunakan untuk mengontrol
halusinasi
8) Proses pikir
Tn. MI saat berinteraksi mampu menjawab langsung pertanyaan yang
diberikan apa yang ditanyakan lawan bicara,
9) Isi pikir
Isi pikir klien selalu memikirkan ingin segera pulang, klien tidak
mengalami waham, obsesi, dan fobia.
10) Tingkat kesadaran
Klien tampak baik, disorientasi tempat, waktu dan orang cukup baik.
11) Memori
Daya ingat Tn. MI kurang, gangguan daya ingat jangka panjang klien
tidak dapat mengingat tanggal wafatnya ayahnya. dan daya
ingatjangka pendek saat ini klien baik, klien dapat menyebutkan
tanggal dan bulan dirawat di RSJ
12) Tingkat kosentrasi dan berhitung
Klien masih mampu berhitung dari 1-10 dan berhitung mundur dari
10-1
13) Kemampuan penilaian
Kemampuan penilaian klien, klien tidak mampu mengambil
keputusan,bila diberi penjelasan klien baru bisa mengambil keputusan,
14) Daya tilik diri
Klien sadar bahwa dirinya sedang dirawat RSJD untuk pengobatan
agar cepat sembuh.

VIII. Persiapan pulang


1) Makan
Klien makan 3 kali sehari dengan teratur dan mandiri, klien makan
habis satu porsi sesuai yang klien sediakan, mampu menyiapkan
makanan, klien makan dengan baik, duduk dikursi meja makan
diantara temannya
2) Defekasi/Berkemih
Klien mengatakan BAB/BAK lancar tidak ada dan tanpa bantuan
3) Mandi
Klien mandi dua kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Klien
memakai sabun keramas dan menggosok gigi.
4) Berpakaian
Klien setelah mandi dapat memakai pakaian sendiri sesuai dengan
pakaian yang telah dijadwal setiap hari.
5) Istrahat dan tidur
Klien mengatakan kadang-kadang mengalami gangguan pola tidur dan
klien terbiasa merapikan tempat tidurnya setelah bangun tidur
6) Penggunaan obat
Klien mengatakan minum obat 2 kali sehari sekitar jam 7 pagi dan jam
17 sore
7) Pemeliharaan kesehatan
Klien memperhatikan kesehatannya terbukti klien mengikuti aktivitas
yang dilakukan di RSJ
8) Aktifitas didalam rumah
Kegiatan didalam rumah, saat dirumah klien membantu neneknya
dalam kegiatan rumah seperti menyapu, mengepel atau mencuci
pakaian
9) Aktifitas diluar rumah
Klien mengatakan kegiatan diluar rumah sebelumnya membantu
bekerja
IX. Mekanisme Koping
Klien mengatakn jika ada masalah biasanya diceritakan kepada keluarga
yaitu nenek
X. Masalah psikosial dan lingkungan
Klien lebih suka dirumah dari pada berkumpul dengan temann-temannya,
klien merasa malu dilingkungan karena mengalami gangguan jiwa, klien
belum mengetahui fungsi obatnya
XI. Aspek Medik
Diagnosa medik F.20.3 (skizofrenia tidak terinci). Klien mendapatkan
terapi medis meliputi haloperidol 2 x 5 mg, triheksipenidile 2 x 2 mg,
chlorpromazine 2 x 100 mg, risperidone 2 x 2mg.
B. ANALISA DATA

N DATA MASALAH KEPERAWATAN


O
1. DS: gangguan persepsi sensori:
1. Klien mengatakan mendengar halusinasi pendengaran
suara tanpa ada wujudnya
2. Klien mengatakan suara yang
didengarkan, adalah suara
perempuan yang menyalahkan
dirinya tidak memakai hanphone
3. Klien mengatakn suara itu
mengganggu
DO:
1. Klien tampak gelisah
2. Klien lesuh
3. Aspek medic:
 Haloperidol 2x2mg
 Chlorpromazine 2x 100mg
 Triheksipenidile 2x2mg
 Resperidone 2x2mg

2. DS: Isolasi sosial


1. Klien mengatakan malas
berinteraksi dengan orang lain
DO:
1. Klien tampak berdiam diri
2. Kontak mata kurang
3. Sulit memulai pembicaraan
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran
2. Isolasi sosial
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Analisa jurnal
Salah satu gejala umum dari skizofrenia yang banyak dijumpai adalah
halusinasi. Dimana halusinasi ini adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada
individu yang ditandai dengan perubahan sensori : merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau penglihatan, pada
pasien yang merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (kilat dan
Akemat, 2002)
teori ini sesuai dengan apa yang dialami Tn.MI Berdasarkan pengkajian
pada secara garis besar ditemukan data subyektif dan data obyektif yang
menunjukan karakteristik diagnosa gangguan persepsi sensori. Halusinasi
pendengaran klien yang ditandai dengan data subyektif yaitu Tn. MI
mengatakan mendengar suara-suara yang tidak ada wujudnya, suara yang
didengarkan menyalahkan, pasien karena tidak memakai hanphone, ini terjadi
sewaktu-waktu. Biasanya suara tersebut muncul saat klien sendiri. klien
mengatakan merasa terganggu terhadap suara yang didengarkan. Bila klien
klien mendengarkan suara-suara dibiarkan klien belum bisa dan belum
mengetahui cara menghardik halusinasi.
Menurut dermawan dan Rusdi (2013) bahwa salah satu faktor
predisposisi yang menyebabkan halusinasi adalah Faktor genetik dan pola
asuh Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.. Teori ini sesuai
dengan apa yang dialami Tn. MI karena sudah 2 kali masuk RSJ Prof. Dr.
Soeroyo Magelang dan hasil studi mennjukkan faktor biokimia Mempunyai
pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Karena Adanya stress yang
berlebihan yang dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon
dan dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak, misalnya terjadi ketidak seimbangan
acetylcholin dan dopamin. Dan teori ini sesuai dengan yang dialami klien
karena pernah mengalami kehilangan pekerjaan sehingga klien tidak memiliki
aktivitas . Pada faktor presipitasi diperoleh halusinasi Tn. MI dapat kambuh karena
berdiam diri di rumah dan suka menyendiri.
Berdasarkan pengkajian pada Tn. MI pernah melakukan perilaku
kekerasan karena merasa kesal pada orang lain yaitu pada neneknya tanpa
sebab sebelum dibawa ke RSJ. Hal ini juga sesuai dengan teori Chaery (2009)
yang menyatakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan oleh pasien yang
mengalami halusinasi adalah kehilangan control dirinya. Pasien akan
mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi. Pada situasi
ini pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain
(homicide), bahkan merusak lingkungan untuk memperkecil dampak yang
ditimbulkan halusinasi, dibutuhkan penanganan yang tepat.
Menurut (Maramis 2010) pasien yang mengalami halusinasi
disebabkan karena ketidak mampuan menghadapi stressor dan kurangnya
kemampuan dalam mengenal cara mengontrol halusinasi. Hal ini sesuai
dengan pengkajian yang diperoleh pada Tn. MI belum mengetahui cara
mengontrol halusinasi.
Prioritas masalah yang dirumuskan ada 2 yaitu gangguan persepsi
sensori:halusinasi pendengaran, isolasi sosial Diagnosa utama yang dibahas
oleh penulis yaitu gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran,
diagnosa lainnya tidak dilakukan intervensi karena keterbatasan waktu yang
dimiliki dan fungsi kognitif klien yang terganggu sehingga tidak dapat
dilakukan dalam sekaligus waktu.
Tahapan halusinasi menurut Depkes RI (2000 dalam Dermawan &
Rusdi, 2013) sebagai berikut :
1. Tahap I (comforting):
Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum halusinasi
merupakan suatu kesenangan dengan karakteristik :
1) Klien mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
2) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas.
3) Pikiran dan pengalaman masih dalam kontrol kesadaran.

Perilaku klien :

1) Tersenyum atau tertawa sendiri.


2) Menggerakkan bibir tanpa suara.
3) Pergerakan mata yang cepat.
4) Respon verbal yang lambat.
5) Diam dan berkonsentrasi.
Teori ini sesuai dengan pengkajian yang di dapatkan di lapangan
khususnya pada Tn. MI merasakan asietas namun pikiran masih dalam
kontrol kesadaran
Penulis menggunakan Strategi pelaksanaan (SP) yang ditulis oleh
Direja, (2011)
1. Strategi pelaksanaan 1 (SP 1):
Membantu mengenal halusinasi pada klien dengan cara membina
hubungan saling percaya dengan Tn. MI, membantu klien mengenal
halusinasinya dengan mendiskusikan isi halusinasi, frekuensi, waktu
halusinasi muncul, situasi dan respon klien ketika halusinasi muncul,
menjelaskan cara-cara mengontrol halusinasi, mengajarkan klien cara
menghardik halusinasi, dengan kriteria hasil: klien dapat mengenal
halusinasinya dan dapat mempraktekkan cara mengontrol halusinasi
dengan cara menghardik halusinasi.
Penulis memilih intervensi menghardik stimulasi persepsi diharapkan
klien mampu mengontrol halusinasi dengan menurunkan kecemasan.
Berdasarkan penelitian dilakukan oleh Karina Angraeni dkk ( 2013)
dengan judul pengaruh menghardik terhadap penurunan tingkat halusinasi
dengar pada pasien skizofrenia di RSJD Dr. Aminogondo Hutomo
semarang.
B. APLIKASI PADA JURNAL
a. Cara mengontrol halusinasi dilakukan dengan cara menghardik dengan
menutup telingan
Dari hasil analisis menunjukkan bahwa semua responden (40) mengalami
perubahan halusinasi dengar setelah diberikan menghardik dengan
menutup telinga hal tersebut menunjukkan bahwa setelah diberikan terapi
dengan menutup telinga responden mengalami penurunan tingkat
halusinasi dengar, hal ini di karenakan pada saat responden menutup
telinga saat melakukan terapi menghardik responden menjadi lebih fokus
dan konsentrasi pada halusinasinya sehingga memungkinkan beberapa zat
kimia ditolak seperti dopamin neurotransmitertidak berlebihan. Hasil
penelitian ini sesuai yang dialami dengan Tn.MI setelah selesai diberikan
atau diajarkan cara mengontrol halusinasi dengan menghardik selama 3x8
jam klien mengalami perubahan dengan perubahan frekuensi pendengaran
yang sebelumnya 2x/hari menjadi 1x/sehari. Hal ini dibuktikan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Karina Anggraini sejalan dengan yang
didapatkan di lapangan.
b. Cara mengontrol halusinasi dengan cara tanpa menutup telinga
Dari hasil analisis menunjukkan bahwa responden (32) mengalami
perubahan halusinasi dengar setelah diberikan terapi menghardik tanpa
menutup telinga. Sebagian responden yang tidak mengalami perubahan
halusinasi setelah dilakukan menghardik tanpa menutup telinga sebanyak
satu responden.
Hasil penelitian ini belum di implementasikan pada Tn. MI karena jika di
implementasikan maka hasilnya tidak maksimal atau tidak memuaskan
karena waktu yang tidak memadai.
Namun dari hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa kedua cara
terapi menghardik yaitu menghardik dengan menutup telinga dan
menghardik dengan tanpa menutup telinga sama-sama memperoleh hasil
yang diharapkah oleh peneliti yaitu ada pengaruh terhadap penurunan
tingkat halusinasi dengar. Namun pada Tn. MI disini belum di aplikasikan
cara menghardik tanpa menutup telinga karena keterbatasan waktu.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil asuhan keperawatan yang di dapatkan pada Tn. MI
setelah diberikan terapi menghardik menutup telinga ada perubahan
sebelum dan sesudah diberikan menghardik dengan frekuensi perubahan
dari 2x / hari menjadi 1x/ perhari
B. Saran
a. Bagi rumah sakit
Bagi RSJ dilakukan pelatihan menghardik dengan menutup telinga
pada perawat yang belum pernah dan yang sudah pernah dilakukan
review
b. Bagi perawat
Dari hasil asuhan keperawatan ini di dapatkan pengaruh terapi
menghardik ini ada perubahan sebelum dan sesudah menghardik
sehingga perawat dapat melakukan atau mengontrol paien-pasien.
c. Untuk klien
Mampu dan mau menggunakan terapi menghardik dengan menutup
telinga sehingga diharapkan kemungkinan klien untuk kambuh dapat
berkurang

Anda mungkin juga menyukai