Anda di halaman 1dari 6

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suliswati dkk (2005) berpendapat, kesehatan jiwa adalah suatu kondisi
yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal
dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.
Dengan demikian seseorang dinyatakan sehat jiwa apabila terdapat keselarasan
antara fungsi fisik dan mental yang tidak dapat dipisahkan, ada juga perkiraan dari
World Health Organization (WHO) tentang jumlah gangguan jiwa di dunia.
Menurut World Health Organization (2009) memperkirakan 450 juta
orang di seluruh dunia mengalami gangguan jiwa, sekitar 10% orang dewasa
mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk diperkirakan akan
mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Riset Kesehatan
Dasar, (2013) menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa berat di Indonesia
adalah 1,7 per 1.000 orang. Riset kesehatan dasar, (2013) turut mencatat proporsi
rumah tangga dengan minimal salah satu rumah tangga mengalami gangguan jiwa
berat dan pernah dipasung mencapai 18,2% di daerah pedesaan. Sementara di
perkotaan, proporsinya mencapai 10,7%. Sedangkan angka prevelensi seumur
hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4 per mil sampai dengan 1,4 %. Di
Indonesia prevelensi skizofrenia tertinggi di Yogyakarta dan Aceh (masing-
masing 2,7 %), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7%).
Keliat, (2011) mengatakan Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat
yang ditandai dengan penurunan atau ketidak mampuan berkomunikasi, gangguan
realitas (halusinasi dan waham), afek tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif
(tidak mampu berfikir abstrak) serta mengalami kesukaran melakukan aktivitas
sehari-hari. Gejala-gejala skizofrenia adalah sebagai berikut: gejala positif
(waham, halusinasi, perubahan arus pikir, perubahan perilaku) dan gejala negatif
(sikap masa bodoh (apatis), pembicaraan terhenti tiba-tiba (blocking), menarik diri
dari pergaulan sosial (isolasi sosial), menurunnya kinerja atau aktivitas sosial

Poltekkes Kemenkes Bengkulu


1
2

sehari-hari, dan WHO (World Health Organization) juga mengemukakan jumlah


penderita skizofrenia.
WHO (World Health Organization) (2013), menyebutkan bahwa diseluruh
dunia terdapat 45 juta orang yang menderita skizofrenia. Lebih 50% dari penderita
skizofrenia tidak mendapat perhatian dan 90 % diantarannya terdapat di Negara
berkembang, dan jumla penderita yang paling banyak yaitu di Western Pasifik
sejumlah 12,7 juta orang. Sri Utami, Dkk (2016) mengatakan penyakit ini
mempengaruhi lebih banyak dari 1% opulasi. Persentasi tersebut merujuk pada
2,7 juta orang dewasa di Amerika Serikat, dan ada juga di indonesia sendiri.
Indonesia sendiri prevelensi skizofrenia tertinggi di Yogyakarta dan Aceh
(masing-masing 2,7 %), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7%).
Stuart, (2013) menyatakan bahwa pasien dengan diagnosis medis skizofrenia
sebanyak 20% mengalamai halusinasi pendengaran dan penglihatan secara
bersamaan, 70% mengalami halusinasi pendengaran, 20% mengalami halusinasi
penglihatan, dan 10% mengalami halusinasi lainnya. Berdasarkan data tersebut
diketahui bahwa jenis halusinasi yang paling banyak diderita oleh pasien dengan
skizofrenia adalah pendengaran. Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering
dari gangguan sensori persepsi. Direja, (2011) mengatakan Pasien yang
mengalami halusinasi biasanya merasakan sensori palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Sensori dan persepsi yang
dialami pasien tidak bersumber dari kehidupan nyata, tetapi dari diri pasien itu
sendiri. Dapat disimpulkan bahwa pengalaman sensori tersebut merupakan sensori
persepsi palsu, dan dampak dari halusinasi tersebut akan kita jelaskan lagi oleh
Chaery.
Chaery (2009) menyatakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan oleh
pasien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya. Pasien akan
mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi. Pada situasi ini
pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide),
bahkan merusak lingkungan Untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan
halusinasi, dibutuhkan penanganan yang tepat. Dengan banyaknya angka kejadian

Poltekkes Kemenkes Bengkulu


3

halusinasi, semakin jelas bahwa dibutuhkan peran perawat untuk membantu


pasien agar dapat mengontrol halusinasinya.
Fitria, (2009) mengatakan Peran perawat dalam menangani halusinasi di
rumah sakit antara lain melakukan penerapan standar asuhan keperawatan, terapi
aktivitas kelompok, dan melatih keluarga untuk merawat pasien dengan
halusinasi. Standar asuhan keperawatan mencakup penerapan strategi pelaksanaan
halusinasi. Keliat, dkk (2010) menyebutkan Strategi pelaksanaan adalah
penerapan standar asuhan keperawatan terjadwal yang diterapkan pada pasien
yang bertujuan untuk mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani.
Viebeck, (2008) menyatakan strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi
mencakup farmakologi dan non farmakologi, farmakologi itu sendiri berupa
pengobatan antipsikotik dan sedangkan nonfarmakologi yaitu seperti terapi
dengan kegiatan mengenal halusinasi, mengajarkan pasien menghardik halusinasi,
minum obat dengan teratur, bercakap-cakap dengan orang lain saat halusinasi
muncul, serta melakukan aktivitas terjadwal untuk mencegah halusinasi sesuai
dengan asuhan keperawatan jiwa.
Sri Utami, dkk (2016) mengatakan asuhan keperawatan jiwa merupakan
asuhaan keperawastan spesialistik, namun tetap dilakukann secara holistik pada
saat melakukan asuhan kepada pasien. Berbagai terapi keperawatan yang
dikembangkan salah satu terapi keperawatan jiwa yang terbukti efektif untuk
mengatasi gejala gangguan jiwa adalah terapi aktivitas kelompok (TAK),
difokuskan kepada pasien secara individu, kelompok, keluarga maupun
komunitas. Terapi aktivitas kelompok terdiri dari empat yaitu terapi aktivitas
kelompok stimuasi kognitif / persepsi, terapi aktivitas kelompok stimuasi sensori,
terapi aktivitas kelompok orientasi realita dan terapi aktivitas kelompok
sosialisasi. Terapi aktivitas kelompok (TAK) adalah terapi non farmakologi yang
diberikan oleh perawat terlatih terhadap pasien dengan masalah keperawatan yang
sama. Terapi diberikan secara berkelompok dan berkisinambungan, dalam hal ini
khususnya terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi halusinasi.
Iskandar, dkk (2007) berpendapat terapi aktivitas kelompok (TAK)
stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas mempersepsikan

Poltekkes Kemenkes Bengkulu


4

berbagai stimulasi yang terkait dengan pengalaman dan atau kehidupan untuk
mendiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa
kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah. Purwanigsih dan Ina,
(2010) berpendapat, terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi ini sebagai upaya
untuk memotivasi proses berpikir, mengenal halusinasi, melatih pasien
mengontrol halusinasi serta mengurangi perilaku maladaptive, jika terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi ini tidak dilakukan maka akan sulit mengenal dan
mengontrol halusinasi, dan cara melakukan terapi ini adalah dengan 5 sesi.
Halawa, (2016) mengatakan terapi ini dilakukan dalam 5 sesi, dimana pada
sesi 1 pasien akan dianjurkan untuk mengenal halusinasi, sesi 2 mengontrol
halusinasi dengan menghardik, sesi 3 mengontrol halusinasi dengan melakukan
kegiatan, sesi 4 mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat cara ,dan sesi ke
5 dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Dengan diberikan terapi Aktivitas
Kelompok Stimulasi Persepsi ini diharapkan dapat memberikan pengaruh yang
cukup kuat dalam membantu pasien dalam hal mengontrol halusinasi, dan ada
juga penelitian-penelitian yang membuktikan pengaruh terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi dapat mengontrol halusinasi.
Vevi suryenti putri, (2017) mendapatkan hasil dari penelitiannya
menunjukan adanya peningkatan rata-rata kemampuan pasien mengontrol
halusinasi sebelum dan sesudah diberikaan terapi aktivitas kelompok stimulasi
persepsi halusinasi dengan rata-rata (14,30) menjadi (16,30) setelah diberikan
terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi. Terhadap kemampuan
mengontrol halusinasi pada pasien skizofrenia di ruang rawat inap arjuna rumah
sakit jiwa daerah jambi dengan value =0,001<0,05. Aritina halawa, (2015)
mendapatkan hasil dari penelitiannya yaitu ada pengaruh terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi sesi 1-2 terhadap kemampuan mengontrol halusinasi
dengan nilai p=0,025. Fatma arumbya riyanti, (2018) mendapatkan hasil dari
penelitian ini menujukan terdapat variasi respon dari keduaa pasien tersebut yang
di pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain fase halusinasi pasien, tingkat
pendidikan pasien, sikap ketidak patuhan pasien, kekurangan minat pasien akibat
harga diri rendah, dan penggunaan obat antipsikotik.

Poltekkes Kemenkes Bengkulu


5

Skizofrenia, hampir merata pasien skizofrenia ini mengalami halusinasi


dari halusinasi ringan sampai berat. Saya memilih terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi yaitu karna bagi saya terapi ini adalah terapi yang paling efektif
dalam mengontrol halusinasi pada pasien skizofrenia dibuktikan dengan
banyaknya hasil dari penelitian-penelitian yang mengatakan terapi ini sangat
mempengaruhi dalam mengontrol halusinasi.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana asuhan keperawatan dengan pemberian terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi pada pasien
skizofrenia?

1.3 Tujuan Penulisan


Mendeskripsikan/menggambarkan hasil review penelitian tentang
implementasi asuhan keperawatan dengan pemberian terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi pada pasien skizofrenia.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat dan meningkatkan kemandirian
pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi untuk mengontrol
halusinasi pada pasien skizofrenia.

1.4.2 Bagi Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan.


Tambahan informasi dan bahan masukan dalam memberikan pelayanan
asuhan keperawatan jiwa tentang terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi bisa
untuk mengontrol halusinasi pada pasien skizofrenia.

Poltekkes Kemenkes Bengkulu


6

1.4.3 Bagi Penulis


Penulis memperoleh pengetahuan tentang implementasikan prosedur terapi
aktivitas kelompok stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi pada pasien
skizofrenia.

Poltekkes Kemenkes Bengkulu

Anda mungkin juga menyukai