Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN JIWA TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

STIMULASI BERHUBUNGAN DENGAN KEMAMPUAN PASIEN DALAM


MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN

Dosen Pengampu :

Disusun oleh :

Era harinda Agustin (181087)

Fernando Yoga (181089)

Rossayanti (181110)

Yusfia ari azizah (181118)

3B KEPERAWATAN
INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN RS. dr SOEPRAOEN
PRODI DIII KEPERAWATAN
MALANG
2020-2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang memberi banyak
kenikmatan, rahmat serta karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “terapi akitivitas kelompok stimulasi berhubungan
dengan kemampuan pasien dalam mengontrol perilaku kekerasan ”

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, untuk


itu saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan selalu dinantikan.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dengan segala kesederhanaannya
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, 22 september 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kesehatan jiwa adalah kemampuan individu dalam kelompok dan lingkungan


untuk berinteraksi dengan yang lain sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan,
perkembangan yang optimal, dengan menggunakan kemampuan mental (kognisi,
afeksi, relasi), memiliki prestasi individu serta kelompok, konsisten dengan hukum
yang berlaku. Berbagai karakteristik yang positif yang menggambarkan keselarasan
dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya (Yosep,
2013). Gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap
negara, tidak hanya di Indonesia. Gangguan jiwa yang dimaksud tidak hanya
gangguan jiwa spikotik atau skizofrenia, tetapi kecemasan, depresi dan penggunaan
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) juga menjadi masalah kesehatan jiwa
(Depkes RI, 2012).

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 ada sekitar 450
juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Setidaknya ada satu
dari empat orang di dunia mengalami masalah kesehatan jiwa yang secara
keseluruhan menjadi masalah serius. Orang yang mengalami gangguan jiwa
sepertiganya tinggal di negara berkembang. Sebanyak 8 dari 10 penderita gangguan
mental tidak mendapat perawatan (Yosep, 2013).

Ciri khas dari penderita skizophrenia adalah menarik diri dari lingkungan social
dan hubungan personal serta hidup dalam dunianya sendiri, lalu diikuti dengan delusi
dan halusinasi yang berlebihan. Pada penderita skizophrenia 70% diantaranya
mengalami halusinasi (Purba, Wahyuni, Nasution & Daulay, 2008).

Indonesia mengalami peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa cukup


banyak. Prevalensi gangguan jiwa berat pada tahun 2012 dengan usia di atas 15 tahun
mencapai 0,46% dan ini berarti bahwa terdapat lebih dari 1 juta jiwa di Indonesia
menderita gangguan jiwa berat. Berdasarkan data tersebut diketahui 11,6% penduduk
Indonesia mengalami masalah gangguan mental emosional. Pada tahun 2013 jumlah
penderita gangguan jiwa mencapai 1,7 juta orang (Riskesdas, 2013).

Berdasarkan data medical record di RS Ernaldi Bahar kasus gangguan jiwa


pada tahun 2013 berjumlah 5.600 jiwa dan pada tahun 2014 mengalami penurunan
menjadi 5.236 jiwa. Setelah dilakukan studi awal terdapat 2.417 jiwa yang mengalami
gangguan jiwa terhitung dari bulan Januari sampai bulan Desember 2015. Gangguan
jiwa yang umum terjadi adalah perilaku kekerasan. Menurut Benkowitz, perilaku
kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang yang
ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai
orang lain secara fisik maupun psikologis (Direja, 2011).
Perilaku kekerasan biasanya disebabkan oleh situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh seseorang yang dianggap
penting. Jika hal ini tidak berhenti, maka akan menyebabkan perasaan harga diri
rendah yang sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul
dengan orang lain terus berlanjut, maka akan timbulnya halusinasi yang menyuruh
untuk melakukan tindakan kekerasan. Dukungan keluarga yang kurang baik pun
mampu mempengaruhi perkembangan perilaku kekerasan dan ini berdampak pada diri
sendiri, orang lain dan lingungan sekitar (Yosep, 2013).

Upaya dalam penanganan pasien dengan gangguan jiwa yang merupakan


asuhan keperawatan jiwa spesialistik, namun tetap dilakukan secara holistik pada saat
melakukan asuhan keperawatan pada klien. Berbagai macam terapi pada keperawatan
yang dikembangkan dan difokuskan kepada klien secara individu, kelompok, keluarga
maupun kognisi. Salah satunya yaitu terapi aktivitas kelompok (Direja, 2011).

Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang


dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan
yang sama. Terapi aktivitas kelompok dibagi menjadi empat, yaitu terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensoris, terapi
aktivitas kelompok sosialisasi dan terapi aktivitas kelompok orientasi realitas (Yosep,
2013). Aktivitas digunakan sebagai terapi dan kelompok digunakan sebagai target
asuhan. Di dalam kelompok terjadi dinamika interaksi yang sering bergantung, saling
membutuhkan dan menjadi tempat klien berlatih perilaku baru yang adiktif untuk
memperbaiki perilaku lama yang maladaptif. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) adalah
terapi non farmakologi yang diberikan oleh perawat terlatih terhadap pasien dengan
masalah keperawatan yang sama. Terapi diberikan secara berkelompok dan
berkesinambungan dalam hal ini khususnya Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi
persepsi perilaku kekerasan (Keliat & Akemat, 2012).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas kami mengambil rumusan masalah sebagai


beriku:

1. Apakah yang dimaksut dengan kesehatan jiwa?


2. Apakah ciri khas dari skizhophrenia?
3. Apa penyebab dari perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa?
4. Apakah yang dimaksud terapi aktivitas kelompok?

1.3 TUJUAN

1. Mengetahui maksud dari kesehatan jiwa


2. Mengetahui ciri khas dari skizophrenia
3. Mengerti penyebab dari perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa
4. Mengerti tentang terapi aktivitas kelompok.

BAB II
KONSEP TEORI

2.1 Pengertian Kesehatan Jiwa

Terapi aktivitas kelompok adalah terapi yang sering dipakai sebagai terapi
tambahan. Lancester mengemukakan beberapa aktivitas digunakan pada terapi
aktivitas kelompok,yaitu menggambar, membaca puisi, mendengarkan musik,
mempersiapkan meja makan dan kegiatan sehari-sehari lainnya. Birckhead (1989)
menyatakan bahwa beberapa keuntungan yang diperoleh individu untuk klien
melalui terapi yang dapat diperoleh individu oleh klien melalui terapi aktivitas
kelompok meliputi dukungan (support), pendidikan meningkat pemecahan
masalah, meningkatkan hubungan interpersonal dan juga meningkatkan uji
realitas (reality testing) pada klien dengan gangguan orientasi realitas (Direja,
2011).

Menurut Wibowo (2013) dalam penelitian yang telah dilakukannya


menunjukkan bahwa ada pengaruh signifikan setelah pelaksanaan TAK stimulasi
persepsi dalam mengontrol perilaku kekerasan pasien. Pelaksanaan TAK stimulasi
persepsi tidak akan bisa berjalan dengan baik, jika tanpa peran perawat yang
mendasarinya. Kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seorang perawat
menjadi titik keberhasilan dalam pelaksanaan TAK stimulasi persepsi terutama
pada pasien perilaku kekerasan.

Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian mengenai hubungan


terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi dengan kemampuan pasien
mengontrol perilaku kekerasan di RS Ernaldi Bahar, Sumatera Selatan tahun
2016.

2.2 Ciri khas dari skizophrenia

Skizofrenia adalah kondisi kejiwaan yang membuat pengidapnya


sulit membedakan kenyataan dan yang bukan. Pengidap penyakit ini
biasanya akan mengalami halusinasi, delusi, dan gangguan kemampuan
berpikir. Sayangnya, gejala inilah yang kemudian menjadi cikal bakal
penyebutan "orang gila".Stigma yang melekat pada orang dengan
gangguan jiwa ini juga membuat pengidapnya kerap kali tidak mendapatkan
perawatan yang tepat. Mereka malah dipasung atau bahkan dibiarkan
beraktivitas di jalanan begitu saja. Mengenali munculnya gejala skizofrenia
sejak dini memungkinkan perawatan dimulai lebih cepat. Kondisi ini bisa
dipulihkan dan dikontrol selama ada kemauan dari penderita dan bantuan
dari orang-orang di sekitarnya.
Penelitian Sri Wahyuni, dkk (2013) menyatakan bahwa kemampuan
dalam mengontrol perilaku kekerasan tiap pasien selalu dipengaruhi keadaan
individu yang mengalami suatu gangguan dalam aktivitas mental seperti berfikir
sadar, orientasi realitas, pemecahan masalah, penilaian dan pemahaman yang
berhubungan dengan koping. Dengan gejala tidak akuratnya interprestasi tentang
stimulus eksternal dan internal dari tiap individu yang mengalami gangguan jiwa
maka kemampuan untuk mengontrol perilaku kekerasan juga akan
mempengaruhi. Dalam penelitiannya tersebut didapatkan distribusi kemampuan
pasien mengontrol perilaku kekerasan yaitu sebanyak 17 orang dari 34 responden.

Sedangkan dari hasil penelitian Widyastini, et.al (2014) pada pengaruh


TAK stimulasi persepsi sesi I-IV terhadap kemampuan mengontrol dan
mengekspresikan marah pada pasien risiko kekerasan di RSJD Dr. Amino
Gondohutomo Semarang, hasil yang didapatkan ada pengaruh yang signifikan
antara TAK stimulasi persepsi I-IV terhadap kemampuan mengontrol dan
mengekspresikan marah dengan p-value=0,000.

Peneliti berpendapat bahwa kemampuan pasien mengontrol perilaku


kekerasan lebih besar dibandingkan pasien yang tidak mampu mengontrol
perilaku kekerasan, dikarenakan pasien yang mampu mengontrol perilaku
kekerasan yaitu pasien yang mengikuti dan pasien yang sering terpapar kegiatan
terapi aktivitas kelompok. Kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu kemampuan mengingat
atau menerima informasi (Wahyuni, 2011).

Hasil penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa hipotesa alternatif


diterima, bahwa ada pengaruh TAK stimulasi persepsi sesi I-V terhadap
kemampuan mengontrol dan mengekspresikan marah pada pasien resiko
perilaku kekerasan. Alasan mengapa 2 responden tidak mampu mengontrol
marah, 2 responden tidak pernah mengekspresikan marah dan 1 responden
jarang mengekspresikan marah setelah diberi TAK stimulasi persepsi sesi I-V
adalah responden tidak dapat menjawab pertanyaan sesuai topik yang dibahas
(Perwiranti, 2013). TAK stimulasi persepsi modifikasi berpengaruh terhadap
pengendalian halusinasi dengar yang meliputi aspek kognitif, afektif dan
psikomotor dimana klien lebih terkendali dalam menanggapi setiap halusinasi yang
muncul. Pemberian TAK stimulasi persepsi modifikasi dapat merubah perilaku
klien dalam mengendalikan halusinasi yaitu dengan timbulnya kemampuan
membedakan realita dan non realita serta memilih dan menggunakan cara untuk
mengendalikan halusinasi (Yusuf, H, 2007).
2.3 Hubungan Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Dengan
Kemampuan Pasien Mengontrol Perilaku Kekerasan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Isnaeni, Wijayanti, dan Upoyo


(2008), dengan judul Efektivitas Terapi Aktivitas Kelompok stimulasi persepsi
halusinasi terhadap penurunan kecemasan klien halusinasi pendengaran di
ruang Sakura RSUD Banyumas terhadap 30 pasien halusinasi, didapatkan
perbedaan tingkat kecemasan sebelum dilakukan TAK dan sesudah dilakukan
TAK.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Sihotang (2010), dengan judul Pengaruh
Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi terhadap kemampuan mengontrol
halusinasi di rumah sakit jiwa Medan Provinsi Sumatera Utara, menunjukkan
bahwa ada pengaruh yang signifikan setelah pelaksanaan TAK stimulasi persepsi
dalam mengontrol halusinasi pasien. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh
Masdelita (2013), dengan judul Pengaruh TAK sosialisasi terhadap kemampuan
kerjasama pada pasien dengan masalah isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa
Tampan Provinsi Riau, menunjukkan adanya pengaruh TAK sosialisasi terhadap
kemampuan kerjasama pada pasien dengan masalah isolasi sosial.

Peneliti berpendapat bahwa terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi


sangat efektif untuk dijadikan salah satu terapi yang utama sehingga pasien dapat
mempersepsikan stimulus yang dirasakan dan pasien dapat memanfaatkan media
dalam pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) sehingga pasien dapat
mengungkapkan perilaku kekerasannya. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa
ada pasien yang mengikuti kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi
persepsi tetapi belum mampu mengontrol perilaku kekerasannya. Ada beberapa
pasien yang belum pernah mengikuti kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok TAK)
dan belum mampu mengontrol perilaku kekerasan, dan ada juga pasien yang
sudah mengikuti

Kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) tetapi tidak mampu mengontrol


perilaku kekerasan. Hal ini dapat terjadi karena pasien merasa bosan dengan
seringnya terpapar kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) sedangkan
responden yang baru mengikuti TAK namun belum mampu mengontrol perilaku
kekerasan dikarenakan baru terpapar.

2.4 Penyebab perilaku kekerasan

Faktor Predisposisi dan Faktor Perilaku Kekerasan Adapun beberapa hal yang
menyebabkan munculnya gangguan jiwa pada perilaku kekerasan yang
dipengaruhi oleh faktor predisposi dan faktor presipitasi. (Yosep (2007).
1. .Faktor Predisposisi Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya
perilaku kekerasan yaitu :

A. Faktor Psikologis
1) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi
perilaku kekerasan.
2) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang
tidaka menyenangkan.
3) Frustasi.
4) Kekerasan dalam rumah atau keluarga
B. .Faktor Sosial Budaya

Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara


agresif sesuai dengan respons yang di pelajarinya. Sesuai dengan teori
menurut Bandura bahwa agresi tidak berbeda denganrespons – respons yang
lain. Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi dan semakin
sering mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan terjadi.
Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat
membantu mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang tidak
dapat diterima.

C. Faktor biologis

Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian


stimulus elektris ringan pada hipotalamus ( pada sistem limbik ) ternyata
menimbulkan perilaku agresif, di mana jika terjadi kerusakan fungsi limbik
( untuk emosi dan perilaku ), lobus frontal ( untuk pemikiran rasional ) dan lobus
temporal ( untuk interprestasi indra penciuman dan memori ) akan
menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi dan hendak menyerang
objek yang ada disekitarnya.

2. Faktor Presipitasi

Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam,


baik berupa injury secara fisik, psikis, atau ancaman kosep diri. Beberapa faktor
pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :

a. Klien : kelemahan fisik, keputus asaan, ketidak berdayaan, kehidupan yang


penuh dengan agresif, da masa lalu yang tidak menyenangkan.
b. Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,
merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendii maupun
eksternal dari lingkungan
c. Lingkungan : panas, padat, dan bising
2.5 Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan

A. Penyebab

Perilaku kekerasan/amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut,


manipulasi atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik
emosional yang belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga
menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan perhatian dan
ketergantungan pada orang lain. Pada klien gangguan jiwa, perilaku kekerasan
bisa disebabkan adanya perubahan sensori persepsi berupa halusinasi, baik
dengar, visual maupun lainnya. Klien merasa diperintah oleh suara-suara atau
bayangan yang dilihatnya untuk melakukan kekerasan atau klien merasa marah
terhadap suara-suara atau bayangan yang mengejeknya. Faktor presipitasi bisa
bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain. Kondisi klien
seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan,
percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan.
Demikian pula dengan kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan
orang 16 yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab.
Interaksi sosial yang provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku
kekerasan.

B. Tanda dan gejala

Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien dibawa ke


rumah sakit adalah perilaku kekerasan di rumah. Kemudian perawat dapat
melakukan pengkajian dengan cara observasi : muka merah, pandangan tajam,
otot tegang, nada suara tinggi, berdebat, memaksakan kehendak, memukul dan
mengamuk. Secara klinis, manifestasi dari perilaku kekerasan adalah :

1) Data Subyektif
a. Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
b. .Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika
sedang kesal atau marah.
c. Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2) Data Obyektif
a. Mata merah, wajah agak merah.
b. Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
c. Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
d. Merusak dan melempar barang barang.
e. Akibat Klien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan-
tindakan berbahaya bagi dirinya, orang lain maupun lingkungannya,
seperti menyerang orang lain, memecahkan perabot, membakar rumah
dll. Sehingga klien dengan perilaku kekerasan beresiko untuk
mencederai diri orang lain dan lingkungan.
1. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu
metode psikofarmakologi dan metode psikososial.
a. Metode Biologik Berikut adalah beberapa metode biologik untuk
penatalaksanaan medis klien dengan perilaku kekerasan yaitu:
2. Psikofarmakologi
a) Anti Cemas dan Sedatif Hipnotik
Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut.
Benzodiazepin seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering digunakan
didalam kedaruratan psikiatri untuk menenangkan perlawanan klien.
Tapi obat ini direkomendasikan untuk dalam waktu lama karena dapat
menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa
memperburuk gejala depresi. Selanjutnya pada beberapa klien yang
mengalami effect dari Benzodiazepin dapat mengakibatkan peningkatan
perilaku agresif. Buspirone obat anti cemas, efektif dalam
mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan
dan depresi. Ini ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan
agitasi klien dengan cedera kepala, demensia dan ’developmental
disability’.
b) Anti depresi
Penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku
agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan
Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas yang berhubungan
dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.( Keliat, Dkk.
2005).
3. Penatalaksanaan Keperawatan
Perawat dapat mengimplementasikan bebagai intervensi untuk
mencegah perilaku agresif. Intervensi dapat melalui rentang intervensi
perawat. Strategi preventif Strategi antisipatif Strategi pengurungan
Kesadaran diri komunikasi managemen krisis Pendidikan klien
perubahan lingkungan seclusion pendidikan klien tindakan perilaku
restrains latihan asertif psikofarmakologiDari gambar tersebut dapat
disimpulkan bahwa :
a. Strategi preventif Kesadaran diri
1. Perawat harus terus menerus meningkatkan kesadaran dirinya
dan melakukan supervisi dengan memisahkan antara masalah
pribadi.
2. Pendidikan klien Pendidikan yang diberikan mengenai cara
berkomunikasi dan cara mengekspresikan marah dengan tepat.
3. Latihan asertif Kemampuan dasar interpersonal yang harus
dimiliki meliputi :
a. Berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang

b. Mengatakan tidak untuk sesuatu yang tidak beralasan

c. Sanggup melakukan komplain

d. Mengekspresikan penghargaan dengan tepat

b. Strategi antisipatif

1. Komunikasi Strategi

berkomunikasi dengan klien perilaku agresif :

Bersikap tenang, bicara tidak dengan cara konkrit, tunjukan


rasa menghakimi, hindari intensitas kontak mata langsung,
demonstrasikan cara mengontrol situasi, fasilitas pembicaraan klien
dengan dengarkan klien, jangan terburu – buru menginterprestasikan dan
jangna buat janji yan tidak tepat.

2. Perubahan lingkungan

Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas


seperti : membaca, group program yang dapat mengurangi perilaku klien yang
tidak sesuai dan meningkatkan adaptasi sosialnya.

3. Tindakan perilaku

Pada dasarnya membuat kontrak dengan klien mengenai


perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima serta konsekuensi yang
didapat bila kontrak dilanggar.

3.1 PEMBAHASAN DAN SKENARIO


  Perilaku kekerasan merupakazn suatu bentuk ekspresi kemarahan
yang tidak sesuai dimana seseorang melakukan tindakan-tindakan yang
dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat
merusak lingkungan. Seseorang yang mengalami masalah ini harus
diberikan rencana dan tindakan yang sesuai sehingga pola ekspresi
kemarahannya dapat diubah menjadi bentuk yang bisa diterima yaitu
perilaku yang sesuai, yaitu ekspresi kemarahan. Factor pencetus perilaku
kekerasan dapat bersumber dari klien maupun lingkungan itu sendiri. Klien
berupa : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya
diri. Lingkungan berupa : kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik
inetraksi social. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengarhi oleh
dua insting. Yaitu insting hidup yang di ekspresikan dengan seksualitas dan
insting kematian yang di ekpresikan dengan agresivitas. Frustation-
agression theory : teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal
dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada
gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang
atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang melakukan
tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif Dari contoh kasus di
atas terlihat bahwa saudara T melakukan perilaku kekerasan yang
mencederai diri sendiri dengan memukul-mukul diri ke tembok hal ini terjadi
berhubungan dengan faktor psikologis yaitu berupa kegagalan yang di alami
dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk.
karena kopingnya yang tidak efektif dalam menerima hasil ujiannya yang
menyatakan dirinya tidak lulus sedangkan kesehariannya dia pandai dalam
semua bidang. Hal ini menyebabkab saudara T begitu frustasi sehingga
melampiaskan kemarahannya dengan perilaku kekerasan mencederai diri
sendiri. Oleh karena itu, klien perlu disadarkan tentang cara marah yang baik
serta bagaimana  berkomunikasi merupakan cara yang efektif untuk
mencegah terjadinya perilaku kekerasan. Bahwa marah bukan suatu yang
benar atau salah, harus di sadari oleh klien. Sehingga klien dapat di berikan
pemahaman untuk mencegah terjadinya perilaku kekerasan berupa :

3.2 Pembahasan kasus

  1. Bantu klien mengidentifikasi marah.

2. Berikan kesempatan untuk marah.

3. Praktekkan ekspresi marah.

4. Terapkan ekspresi marah dalam situasi nyata.


5. Identifikasi alternatif cara mengeksprasikan marah. Dengan diberikannya
pemahaman ini di harapkan tindakan perilaku kekerasan dapat teratasi, dukungan
keluarga juga sangat di butuhkan dalam hal ini.

3.3 SKENARIO

Di sebuah kamar pasien Pav I no 3. Datanglah seorang perawat.

3,4 ORIENTASI

Suster : “Selamat pagi mas? Perkenalkan nama saya ners Gabby nur inayah,
biasa dipanggil ners Gabby, kalo boleh tau mas namanya siapa?suka di panggil apa?”

Pasien : (Diam saja sambil melotot)

Suster : “Mas, perkenalkan nama saya ners Gabby, mas namanya siapa?”

Pasien : “TARMIN”(dengan nada ketus) 

Suster : “Ooh.. mas Tarmin, mas Tarmin hari ini kabarnya bagaimana?”

Pasien: (diam)

Suster : “mas Tarmin, suster nanya nih”

Pasien : (Diam)

Suster : “ Kenapa mas Tarmin? Lagi tidak enak badan ta? Kok diam saja?”

Pasien : (Diam)

Suster : “yaudah kalo mas Tarmin tidak mau berbicara sekarang, 10 menit lagi
suster kembali, suster harap mas Tarmin sudah mau bicara”10 menit kemudian
KERJA

Suster : “Loh(muka kaget) mas Tarmin kok kepalanya dibentur2in, jangan dong
mas..”

Pasien: (sambil membentak suster) “Biarin, Percuma saya hidup, saya ini orang
yang gak  berguna, orang bodoh”

Suster : (Berusaha menarik pasien dari tembok) “Siapa yang bilang mas Tarmin
ini

tidak berguna?”

Pasien: “Saya ini gak berguna!!!!”(sambil teriak)

Suster : “Di dunia ini tidak ada yang tidak berguna mas Tarmin, semua yang di
ciptakan oleh Tuhan pasti ada manfaatnya. Apalagi mas Tarmin masih mempunyai
tubuh yang lengkap”.

Pasien: (tertunduk)

Suster :”Begini saja mari suster ajak mas Tarmin jalan -jalan ke taman,
bagaimana?”

Pasien: “ngapain?”

Suster: “biar pikiran mas Tarmin tenang tidak marah - marah lagi.”

Pasien: (pasien mau menerima ajakan suster). Di Taman

Suster: mas gimana uda bisa merasa tenang belum perasaannya sekarang?

Pasien: (termenung)

Suster: mas kalau boleh suster tau sebenarnya ada apa kok mas mengatakan
bahwa mas itu tidak berguna?
Pasien: saya merasa malu dan tidak berguna sus sebab saya tidak lulus
UAN..bodoh soal  begitu saja saya tidak lulus..

Suster: mas kegagalan itu bukan akhir segalanya tapi kegagalan itu adalah
keberhasilan yang tertunda.

Pasien: tapikan tetep aja gagal. (lalu mengepalkan tangan dan seolah ingin
memukul tanah)

Suster: tenang ya Mas Tamin ! apa yang membuat Tamin kesal?

Pasien : saya kesal kalau ada yang tanya-tanya sama saya tentang ketidaklulusan
saya. Rasanya ingin saya pukul saja mereka.

Suster : ooh, begitu. Mas Tamin ini kesal kalau ada yang menanyakan tentang
ketidaklulusan itu ya. sekarang coba dipikirkan, memukul seseorang yang tidak
bersalah itu perilaku yang  baik atau tidak?

Pasien : tidak sus.

Suster : yaa bagus. Itu perilaku yang tidak baik. Itu kan bisa melukai orang itu.
Selain itu, tangan Mas Tamin kan bisa jadi sakit atau luka. Bagaimana menurut Tamin?

Pasien : iya ya sus. Tidak ada gunanya juga memukul orang lain. Malah membuat
tangan saya pegal pegal.

Suster : baiklah, kalau begitu.. mari suster ajarkan cara untuk mencegah Mas
Tamin melakukan kekerasan. Kalau timbul rasa kesal pada diri Mas Tamin, sesegera
mungkin tarik napas dalam. Instruksikan diri Mas Tamin untuk tenang. Ayo sekarang
dicoba ¡

Pasien : (mempraktekkan nafas dalam)

TERMINASI
Suster : ya bagus. Sekarang bagaimana perasaan Tamin?

Pasien : Kalau saya masih merasa kesal bagaimana, Sus?

Suster : Kalau Tamin masih kesal, cobalah untuk mengekspresikannya ke benda


yang tidak  bahaya. Memukul bantal misalnya. Ayo sekarang dicoba !

Pasien : begini sus? Iya sus, saya lega sekarang

BAB III
PENUTUP

SIMPULAN

Sebagian besar responden yang mengikuti Terapi Aktivitas Kelompok


(TAK) stimulasi persepsi secara lengkap sebesar 18 responden (78,3%),
sebagian besar responden dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku
kekerasan sebesar yaitu 13 responden (56,5%). Ada hubungan bermakna
antara Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) dengan kemampuan pasien
mengontrol perilaku kekerasan dengan p-value=0,01 >α (α=0,05).

SARAN

Penelitian selanjutkan diharapkan bisa menambahkan ruangan yang akan


diteliti, sehingga data hasil penelitian lebih akurat dengan menjadi lebih
besarnya sampel penelitian, dan dapat lebih menganalisis pengaruh
penerapan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) ke metode kuantitatif sampai ke
mulitivariat, serta agar perawat lebih meningkatkan penerapan strategi
pelaksanaan secara rutin dan terjadwal sebagai salah satu target asuhan
keperawatan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.ump.ac.id/986/3/DIAH%20PRABOWO%20HARDIYANTI%20BAB
%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai