Anda di halaman 1dari 161

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP KLIEN


PERILAKU KEKERASAN DI RUANG RAWAT INAP RSMM BOGOR TAHUN 2010.


MANUSKRIP PENELITIAN




Dewi Eka Putri
NPM : 0806469565



FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA
DEPOK
JULI 2010
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010



PENGARUH RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP KLIEN
PERILAKU KEKERASAN DI RUANG RAWAT INAP RSMM BOGOR TAHUN 2010
Dewi Eka Putri, Budi Anna Keliat
2
dan Yusron Nasution
3

Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jakarta 10430, Indonesia

Email : dewi_adisifa@yahoo.com

Abstrak
Perilaku kekerasan (PK) adalah respon kemarahan maladaptif dalam bentuk perilaku menciderai diri,
orang lain dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran Pengaruh Rational Emotive
Behaviour Therapy terhadap penurunan perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM Bogor. Desain
Quasi Experimental Pre-Post Test with Control Group dengan intervensi Rational Emotive
Behaviour Therapy (REBT). Sampel penelitian adalah 53 klien skizoprenia paranoid dengan PK,
terdiri atas 25 kelompok intervensi dan 28 orang kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan
peningkatan respon kognitif dan sosial serta penurunan respon emosi, perilaku dan fisiologis secara
bermakna (P-value 0,05) pada klien yang mendapatkan REBT. REBT direkomendasikan untuk
diterapkan pada klien PK bersama dengan tindakan keperawatan generalis.

Kata Kunci: Perilaku Kekerasan, Rational Emotive Behaviour Therapy.

Abstract
Violent behavior is a maladaptive anger response, which is shown by the People whom treated
themselves, others and the environment. The study aims to get the explanation of the effect rational
emotive behavioral therapy in reducing violent behavioral in Bogor RSMM hospital. Design with
Quasi-Experimental design Pre-Post Test with Control Group and the intervention of rational
emotive behavior therapy (REBT). The samples of this research are 53 clients with paranoid
schizophrenia who has violent behavior, consisted of 25 clients as intervention group and 28 clients as
control group. The Results of this research show the increasing response of cognitive, social and
reducing of emotional response, behavioral, and physiological significantly, at (P-value 0,05) on the
clients who get REBT. In 2 times frequency treated associated with the client's social response
increased. REBT are recommended to provide to the clients with REBT critical nursing generalist.

Keywords : Violent behavior, Rational Emotive Behavior Therapy
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Hidup sehat adalah idaman setiap orang, untuk itu setiap orang berupaya menjaga
kesehatannya. Berdasarkan Undang-Undang tentang kesehatan nomor 36 tahun 2009
pasal 1 ayat 1 menjelaskan definisi kesehatan adalah keadaan sehat baik fisik,
mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian individu yang sehat adalah
individu yang dapat hidup dengan produktif di dalam kehidupannya.

Kesehatan jiwa merupakan hal yang dibutuhkan oleh setiap orang untuk
menghasilkan manusia yang berkualitas dan terbebas dari gangguan jiwa. Kesehatan
jiwa adalah keadaan sejahtera ditandai dengan perasaan bahagia, keseimbangan,
merasa puas, pencapaian diri dan optimis (Stuart & Laraia, 2005). Kesehatan jiwa
adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang terlihat dari
hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep
diri yang positif dan kestabilan emosional (Johnson, 1997, dalam Videbeck, 2008).
Menurut WHO (2001) mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai suatu kondisi
sejahtera dimana individu menyadari kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi
stress dalam kehidupannya, dapat bekerja secara produktif, dan mempunyai
kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat.

Departemen Kesehatan (2003), mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai suatu kondisi
mental yang sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif, sebagai
bagian dari kualitas hidup seseorang dengan memperhatikan semua segi
kehidupannya. Dari definisi-definisi diatas dapat diketahui bahwa kesehatan jiwa
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
2

Universitas Indonesia
seseorang terlihat dari kondisi individu secara emosional, psikologis, dan sosial yang
memiliki kemampuan koping yang efektif dalam menghadapi kehidupannya,
berhubungan dengan orang lain dan memiliki pencapaian diri yang optimal yang
akan memberikan kepuasan pada diri sendiri sehingga dapat hidup produktif baik
bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat sekitar.

Laporan WHO (2001) menjelaskan bahwa status kesehatan jiwa secara global
memperlihatkan 25% penduduk pernah mengalami gangguan mental dan perilaku,
namun hanya 40% yang terdiagnosis. Di Indonesia, jumlah penderita masalah
kesehatan jiwa cukup tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan
hampir di seluruh bagian dari wilayah Indonesia dalam beberapa dekade ini,
populasi mengalami masa sulit karena konflik, kemiskinan maupun bencana alam.
Sejumlah besar masyarakat Indonesia mengalami penderitaan mental yang bervariasi
mulai dari tekanan psikologis ringan hingga gangguan jiwa akut.

WHO (2006) mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia mengalami
gangguan jiwa, dimana panik dan cemas adalah gejala paling ringan (Maramis,
2006). Berdasarkan data status kesehatan jiwa di Indonesia dapat dilihat dari hasil
riset kesehatan dasar (Ris.Kes.Das, 2007) yang dilakukan oleh Badan Penelitian
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan yang menunjukkan prevalensi
gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 4.6 permil, dengan kata lain dari 1000
penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat.
Dari data diatas jelas tergambar bahwa penderita gangguan jiwa di Indonesia sangat
banyak mulai dari yang mengalami gangguan jiwa ringan sampai berat. Meskipun
gangguan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung namun akan
menyebabkan penderitanya menjadi tidak produktif dan bahkan menjadi sangat
tergantung dengan orang lain.
WHO (2001) mendefinisikan gangguan jiwa mengacu pada kriteria yang ditetapkan
oleh International Statistical Classification of Deseases and Related Health Problem
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
3

Universitas Indonesia
edisi sepuluh yang menyebutkan bahwa gangguan jiwa merupakan sekumpulan
gangguan pada fungsi pikir, emosi, perilaku dan sosialisasi dengan orang sekitar.
Definisi lain tentang gangguan jiwa yang digunakan praktisi keperawatan
bersumber dari American Psychiatric Association (2000, dalam Varcarolis, 2006),
gangguan jiwa didefinisikan sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau
perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan
adanya distres atau disabilitas atau disertai peningkatan risiko kematian yang
menyakitkan, nyeri, disabilitas atau kehilangan kebebasan. Sementara Townsen
(2005) mengungkapkan gangguan jiwa merupakan respon maladaptif terhadap
stresor dari lingkungan internal dan eksternal yang ditunjukkan dengan pikiran,
perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya
setempat, dan mengganggu fungsi sosial, pekerja, dan fisik individu. Sedangkan
menurut Kaplan dan Sadock (2007), gangguan jiwa merupakan gejala yang
dimanifestasikan melalui perubahan karakteristik utama dari kerusakan fungsi
perilaku atau psikologis yang secara umum diukur dari beberapa konsep norma,
dihubungkan dengan distress atau penyakit, tidak hanya dari respon yang diharapkan
pada kejadian tertentu atau keterbatasan hubungan antara individu dan lingkungan
sekitarnya.

Departemen Kesehatan (Dep.Kes, 2003) mendefinisikan gangguan jiwa sebagai
suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi
jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam
melaksanakan peran sosialnya. Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas maka
gangguan jiwa merupakan respon maladaptif individu berupa perubahan pada fungsi
psikologis atau perilaku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya setempat
yang menyebabkan timbulnya penderitaan dan hambatan dalam melaksanakan peran
sosialnya.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
4

Universitas Indonesia
Skizoprenia merupakan salah satu diagnosa medis dari gangguan jiwa yang paling
banyak ditemukan dan merupakan gangguan jiwa berat. Skizoprenia adalah
sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu,
termasuk fungsi berpikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan
realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan berperilaku yang dapat diterima
secara rasional (Stuart & Laraia, 2005). Perilaku maladaptif dari klien dengan
skizoprenia adalah penampilan yang buruk, berkurangnya kemampuan untuk
bekerja, perilaku streotip, agitasi, agresif, dan negativism. Munculnya pikiran negatif
pada klien skizoprenia dikarenakan adanya kesulitan dalam berpikir jernih dan logis,
sering kali sulit konsentrasi sehingga perhatian mudah beralih dan berlanjut
membuat klien menjadi gaduh gelisah(Stuart & Laraia, 2005). Dari penjelasan diatas
dapat diketahui bahwa klien dengan skizofrenia mengalami perubahan- perubahan
pada perasaan, pikiran dan perilaku menjadi maladaptif.

Menurut data statistik direktorat kesehatan jiwa, pasien gangguan jiwa terbesar
adalah skizofrenia yaitu 70% (Dep.Kes, 2003). Kelompok Skizofrenia juga
menempati 90% pasien di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia (Jalil, 2006).
American Association Psychiatric (2000) menyebutkan beberapa penelitian
melaporkan bahwa kelompok individu yang didiagnosa mengalami skizoprenia
mempunyai insiden lebih tinggi untuk mengalami perilaku kekerasan (APA, 2000
dalam Sadino, 2007). Dari survey yang dilakukan oleh The National Institute of
Mental Nursing Healths Epidemiologic Catchment Area terhadap 10.000 orang
yang pernah melakukan perilaku kekerasan di temukan 37,7% berhubungan dengan
penyalah gunaan zat, 24,6% alkoholik, 12,7 % skizoprenia, 11,7 gangguan depresi
berat, 11% gangguan bipolar dan 2,1% tanpa gangguan ( Kaplan & Saddock, 1995
dalam Keliat, 2003). Menurut Dyah (2009) jumlah klien skizoprenia dengan perilaku
kekerasan berdasarkan riwayat kekerasan didapatkan bahwa klien yang memiliki
riwayat kekerasan baik sebagai pelaku, korban, atau saksi lebih banyak yaitu 62,5%
dari 72 responden yang diteliti. Jadi dengan demikian jelas tergambar bahwa
perilaku kekerasan banyak ditemukan pada klien dengan skizoprenia.
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
5

Universitas Indonesia

Perilaku kekerasan adalah respon maladaptif dari marah. Marah adalah perasaan
jengkel atau perasaan yang tidak menyenangkan yang merupakan bagian dalam
kehidupan sehari-hari ( Stuart & Sundeen, 1995; Rawlins, et al, 1993), hal ini berarti
bahwa marah adalah normal dialami oleh setiap individu. Respon marah yang
dialami oleh setiap orang berada pada rentang respon kemarahan yang berbeda-
beda, dapat berupa: 1) Perilaku pasif yang ditandai dengan ketidakmampuan
mengkonfrontasikan masalahnya, merasa tegang, dan gangguan hubungan
interpersonal, 2) Perilaku asertif ditandai dengan menyampaikan perasaan diri secara
langsung tetapi menghormati orang lain, berbicara jelas dan nyata, kontak mata
langsung tetapi tidak tajam, gesture memberi penekanan pada pembicaraan tetapi
tidak menantang, postur tegak tetapi rileks. 3) Perilaku kekerasan ditandai dengan
seseorang melanggar hak-hak orang lain, melakukan tindakan kekerasan fisik dan
verbal, merasa harga dirinya tinggi bila lebih kuat dari orang lain (Beck, 1993).

Istilah marah (anger), agresif (aggression), dan perilaku kekerasan (violence) sering
digunakan bergantian dalam menguraikan perilaku yang terkait dengan kekerasan
(Rawlins, et, al 1993). Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku untuk
melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara verbal atau fisik
(Stuart & Laraia, 2005). Perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai
tinggi yaitu dari memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah sampai pada
melukai dalam tingkat serius dan membahayakan (Stuart & Laraia,
2001;2005;2009). Proses perkembangan perilaku kekerasan, masih menjadi
perdebatan antara nature vs nurture , dibawa sejak lahir atau diperoleh selama
perkembangan. Menurut teori biopsikososial disebabkan oleh interaksi yang
kompleks antara faktor biologik, psikologik dan sosiokultural (Kneisl; Wilson &
Trigoboff, 2004). Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan
adalah respon kemarahan yang maladaptif dalam bentuk perilaku menciderai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya secara verbal maupun nonverbal mulai
dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi.
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
6

Universitas Indonesia
Pada klien dengan perilaku kekerasan, individu merupakan orang yang ambigue,
selalu dalam kecemasan, mempunyai penilaian yang negatif terhadap diri dan orang
lain, ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dengan baik sehingga perilaku
kekerasan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Perilaku kekerasan merupakan salah satu gejala yang menjadi alasan bagi keluarga
untuk merawat klien di rumah sakit jiwa karena berisiko membahayakan dirinya dan
orang lain (Keliat, 2003). Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa perilaku
kekerasan adalah perilaku yang menakutkan dan membahayakan bagi dirinya,
keluarga dan masyarakat sehingga mereka berusaha mencari pertolongan dengan
membawa klien ke rumah sakit dan berharap selama mendapat pengobatan dan
perawatan di rumah sakit perilaku klien berkurang atau berubah.


Perilaku adalah hal yang dapat diobservasi, dicatat, diukur, bergerak atau berespon
(Stuart & Laraia, 2005). Mengubah perilaku dapat dilakukan dengan 3 strategi
(WHO, dalam Notoadmojo, 2003) yaitu menggunakan kekuasaan/
kekuatan/dorongan, pemberian informasi, diskusi partisipan. Sedangkan menurut
Sunaryo (2004) menyatakan bahwa perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa
hal yaitu kebutuhan, motivasi, sikap dan kepercayaan. Dari pernyataan diatas dapat
diketahui bahwa perilaku dapat dirubah dengan pemberian informasi, diskusi dan
motivasi berdasarkan kebutuhan dan keyakinan individu, perubahan tersebut dapat
diobservasi atau diukur.


Intervensi secara umum yang dilakukan pada pasien dengan perilaku agresif /
perilaku kekerasan bervariasi yang berada dalam rentang preventive strategies,
Anticipatory Strategies, dan Containment Strategies (Stuart & Laraia, 2005). Strategi
pencegahan (preventive strategies), meliputi kesadaran diri, psikoedukasi pada
klien, dan latihan asertif. Strategi antisipasi (Anticipatory Strategies) meliputi
komunikasi, perubahan lingkungan, perilaku dan psikofarmaka. Kemarahan yang
dapat mengancam keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (kegawat
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
7

Universitas Indonesia
daruratan psikiatri) yang tidak dapat dikontrol dengan terapi psikofarmaka maka
perlu dilakukan strategi penahanan (containment Strategies) yang meliputi
manajemen krisis, pembatasan gerak, dan pengikatan.

Fokus tindakan untuk perilaku agresif atau perilaku kekerasan adalah mengarahkan
untuk pengurangan perilaku impulsif, tehnik manajemen marah, terapi drama, terapi
musik dan terapi dansa (Cleven, 2006 dalam Choi, 2008). Menurut Boyd dan Nihart
(1998) tindakan untuk klien dengan perilaku kekerasan yaitu terapi edukasi, tought
stopping, bibliotherapy dan terapi musik. Penelitian tentang pentingnya edukasi bagi
klien dengan perilaku kekerasan telah dilakukan oleh Keliat (2003) yaitu edukasi
pada klien dengan menggunakan standar asuhan keperawatan (SAK) cara
mengontrol marah baik secara : (1) Fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal,
berolah raga, memukul bantal / kasur atau pekerjaan yang memerlukan tenaga. (2)
Secara verbal : katakan anda sedang marah atau kesal/ tersinggung. (3) Secara sosial
: lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif , latihan
manajemen perilaku kekerasan. (4) Secara spiritual.

Selanjutnya penelitian untuk terapi lanjutan yaitu terapi musik pada klien dengan
perilaku kekerasan telah dilakukan pula. Menurut Endang (2009) terapi musik dapat
menurunkan perilaku kekerasan yang diketahui dari respon fisik, respon kognitif ,
respon perilaku dan respon sosial klien. Namun dalam pelaksanaan terapi musik
sedikit mengalami kendala karena membutuhkan persiapan alat-alat yang memadai
seperti, VCD player/ tape recorder, kaset CD yang berisikan musik klasik karena
jenis musik ini yang dapat menstimulasi otak sehingga menghasilkan respon yang
diharapkan, serta membutuhkan ruangan khusus agar tidak diganggu oleh klien
lainnya. Hal ini menjadi kendala karena tidak semua rumah sakit memiliki alat-alat
yang dibutuhkan untuk pelaksanaan terapi musik. Disamping itu tidak semua pasien
menyukai atau mengenal musik klasik tersebut. Dengan demikian terapi ini masih
belum bisa dilakukan untuk semua klien dan semua rumah sakit yang merawat klien
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
8

Universitas Indonesia
dengan perilaku kekerasan. Dari terapi diatas dapat diketahui bahwa perilaku
kekerasan dapat mengalami penurunan pada respon fisik, kognitif, perilaku dan
sosial.

Menurut Vedebeck (2008) tindakan keperawatan untuk klien dengan perilaku
kekerasan adalah terapi kognitif, logoterapi, terapi realita dan psikoedukasi keluarga.
Sedangkan menurut Stuart dan Laraia (2005) adalah terapi asertif, time outs, dan
token economy. Terapi assertiveness trainning dan terapi perilaku kognitif juga telah
dilakukan penelitian untuk mengurangi perilaku kekerasan pada individu. Menurut
Wahyuningsih (2009) perilaku kekerasan pada kelompok yang mendapat terapi
generalis dan asertif training menurun secara bermakna pada respon fisik, respon
kognitif, respon perilaku dan respon sosial klien. Sedangkan menurut Fauziah (2009)
terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien
skizoprenia dengan perilaku kekerasan. Kedua terapi yang diberikan pada klien
perilaku kekerasan di atas berfokus pada upaya penurunan perilaku kekerasan
dengan menstimulasi kognitif atau melihat respon kognitif, respon fisik, respon
sosial dan respon perilaku.

Klien dengan perilaku kekerasan mengalami perubahan respon kognitif berupa
gangguan proses pikir yaitu gangguan dalam mempersepsikan sesuatu serta tidak
mampu membuat alasan (Boyd & Nihart, 1996). Respon kognitif merupakan hasil
penilaian terhadap kejadian yang menekan, pilihan koping yang digunakan, reaksi
emosional, fisiologis, perilaku dan sosial individu (Stuart & Laraia, 2005). Setelah
terjadi penilaian kognitif terhadap situasi , individu akan menampilkan respon afektif
yang dimunculkan dengan emosi berupa marah, gembira, sedih, menerima, antisipasi
atau respon emosi lainnya (Stuart & Laraia, 2005). Pernyataan-pernyataan diatas
dapat disimpulkan bahwa pada klien dengan perilaku kekerasan mengalami
perubahan pada respon kognitif yang nantinya akan berpengaruh terhadap respon
afektif yang dimunculkan dalam bentuk emosi seperti kemarahan. Hal ini
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
9

Universitas Indonesia
menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan pada klien dengan perilaku
kekerasan juga perlu mengacu kepada emosi selain kognitif dan perilaku.

Berdasarkan teori diatas maka perlu adanya intervensi pada klien dengan perilaku
kekerasan yang mengarah kepada fisik, afektif (emosi), kognitif,fisiologis, perilaku,
dan sosial. Terapi Asssertiveness Trainning, terapi Musik dan terapi Perilaku
Kognitif belum mengarahkan intervensinya secara langsung kepada emosi klien
dengan perilaku kekerasan. Untuk itu agar intervensi untuk klien dengan perilaku
kekerasan lebih optimal maka perlu adanya suatu terapi yang juga mengarah pada
emosi. Adapun terapi yang dapat dilakukan untuk itu adalah Rational Emotive
Behaviour Therapy ( REBT).

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) ditemukan oleh Albert Ellis,
merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah yang rasional, yang diarahkan
untuk masalah perilaku individu. Elis berkeyakinan bahwa mempelajari kecemasan
yang irrasional lebih awal akan bertahan di dalam memori manusia dari pada
dihilangkan. Oleh karena itu beliau memutuskan untuk mengajarkan kliennya
merubah pikiran yang tidak rasional (irrasional) dan memberikan penjelasan rasional
untuk masalah perilakunya ( Ellis, 1962 dalam Adomeh, 2006). Berdasarkan teori
REBT memodifikasi keyakinan yang irrasional secara spesifik dapat menurunkan
perilaku agresif. REBT dan treatmen lain bertujuan untuk mengurangi keyakinan
irrasional dan menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk anak dan
dewasa yang marah dan agresif.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Johan Rieckert (2000) terhadap 28
orang wanita yang mempunyai riwayat seksual abuse pada masa kanak-kanak, terapi
REBT secara signifikan dapat mengurangi depresi, kecemasan, kemarahan, perasaan
bersalah dan harga diri yang rendah. Penelitian lainnya juga menyatakan bahwa
emosional yang mengganggu pada remaja berkisar pada hiperaktivitas, menarik diri,
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
10

Universitas Indonesia
kegagalan dalam mencapai tingkat perkembangan yang seharusnya, kesulitan
belajar, perilaku agresif, kurang konsentrasi dan tidak mampu berhubungan dengan
orang lain ( Ellis, 1962 dalam Adomeh, 2006). Dengan demikian tingkah laku yang
didasarkan pada cara berpikir yang irrasional dapat menimbulkan emosi yang tidak
menyenangkan sehingga dibutuhkan pembelajaran agar memiliki kemampuan untuk
mencari penjelasan yang rasional dalam memecahkan masalah perilaku.

Penelitian keparawatan di indonesia tentang Pengaruh Rasional Emotif Behaviour
Therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan juga belum diketahui.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk menerapkan Rational Emotive
Behaviour Therapy pada klien dengan perilaku kekerasan di ruang rawat inap
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor.

Rumah sakit Marzoeki Mahdi merupakan rumah sakit yang terbesar dan tertua di
Indonesia, rumah sakit rujukan, memiliki kasus yang bervariasi dan cukup banyak
serta sangat terbuka akan pembaharuan. Rumah sakit ini memiliki 400 kapasitas
tempat tidur, dengan BOR sebesar 64,4%, TOI sebesar 47,96 hari dan LOS 86,7 hari
(Data tahun 2009). Berdasarkan data (2009) kasus skizoprenia yang ditemukan di
RSMM adalah 33,27% di rawat jalan, 36,99% di ruang gawat darurat dan 20,3%
yang di rawat inap. Adapun jumlah kasus yang terbanyak ditemukan pada klien yang
dirawat yaitu Halusinasi 26,24%, Defisit perawatan diri 19,15%, Isolasi sosial
16,31%, HDR 13% dan PK 10,64% dari masalah keperawatan klien yang dirawat di
RSMM Bogor (Data Aplikasi 2 & Residensi 2 Keperawatan Jiwa).

RSMM juga merupakan rumah sakit pendidikan. Sejak tahun 2000, RSMM bekerja
sama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan UI mengembangkan ruang model praktik
keperawatan profesional, sehingga aplikasi dalam jangka panjang memungkinkan
untuk menjadi model pembelajaran. Mahasiswa yang berpraktek di RSMM
dibimbing dengan terstruktur oleh pihak rumah sakit dan dosen pembimbing dari
pendidikan. Mahasiswa yang praktek lapangan di RSMM mulai dari mahasiswa D3
sampai dengan mahasiswa S2 psikologi dan Spesialis keperawatan serta kedokteran.
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
11

Universitas Indonesia
Hal ini memungkinkan bagi klien yang di rawat mendapatkan terapi-terapi yang
bervariasi dan berkelanjutan. Khusus untuk keperawatan di RSMM sudah diterapkan
terapi-terapi lanjutan disamping terapi standar atau generalis yang wajib diberikan,
baik untuk individu, kelompok maupun keluarga seperti CT, CBT, terapi musik,
terapi asertif dan psikotherapy untuk keluarga.


1.2 Rumusan Masalah
Perilaku kekerasan merupakan urutan 5 besar dari masalah keperawatan yang
ditemukan di RSMM. Adapun urutan jumlah kasus yaitu Halusinasi 26,24%, Defisit
perawatan diri 19,15%, Isolasi sosial 16,31%, HDR 13% dan PK 10,64% dari
masalah keperawatan klien yang dirawat di RSMM Bogor (Data Aplikasi 2 &
Residensi 2 Keperawatan Jiwa). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di
atas maka peneliti menyusun serangkaian rumusan masalah dalam penelitian ini,
yaitu:
1.2.1. Telah dilaksanakannya terapi generalis pada klien dengan perilaku
kekerasan sesuai dengan standar asuhan keperawatan kepada klien yang
dirawat di RSMM Bogor.

1.2.2. Telah dilaksanakannya terapi keperawatan yang lanjut seperti CBT,
Assertive Trainning dan Terapi Musik (psikotherapi) pada klien dengan
perilaku kekerasan namun belum diberikan pada semua klien yang dirawat
dan hanya diberikan pada saat mahasiswa S2 dan spesialis keperawatan
berpraktek di ruang rawat RSMM Bogor.

1.2.3. Rational Emotive Behaviour Therapy belum diterapkan pada klien dengan
perilaku kekerasan di RSMM Bogor.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
12

Universitas Indonesia
1.2.4. Belum diketahui sejauh mana Pengaruh Rational Emotive Behaviour
Therapy dalam menurunkan perilaku kekerasan yang meliputi respon
kognitif, emosi dan perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan di
RSMM Bogor
Oleh karena itu, peneliti ingin menerapkan terapi yaitu Rational Emotive Behaviour
Therapy dalam mengatasi masalah perilaku kekerasan, adapun pertanyaan penelitian
yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah:
1.2.1. Apakah terapi generalis dan Rational Emotive Behaviour Therapy
berpengaruh terhadap penurunan perilaku kekerasan pada klien yang dirawat
di ruang rawat inap RSMM Bogor.
1.2.2. Apakah Rational Emotive Behaviour Therapy berpengaruh terhadap
penurunan perilaku kekerasan pada klien yang dirawat di ruang rawat inap
RSMM Bogor.
1.2.3. Apakah Rational Emotive Behaviour Therapy berpengaruh dalam
meningkatkan kemampuan klien mengontrol perilaku kekerasan yang
meliputi respon kognitif, emosi dan perilaku yang adaptif pada klien dengan
perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM
1.2.4. Adakah faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perubahan perilaku pada
klien dengan perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM Bogor.


1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang Pengaruh Rational
Emotive Behaviour Therapy terhadap penurunan perilaku kekerasan di ruang rawat
inap RSMM Bogor.

Tujuan Khusus
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
13

Universitas Indonesia
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:
1.3.1. Diketahuinya karakteristik klien yang mengalami perilaku kekerasan di RS
Marzoeki Mahdi Bogor.
1.3.2. Diketahuinya kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan
sebelum dilakukan Rational Emotive Behaviour Therapy di ruang rawat
inap RSMM Bogor.

1.3.3. Diketahuinya kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan
sebelum dan setelah dilakukan Rational Emotive Behaviour Therapy pada
kelompok yang mendapatkan intervensi di ruang rawat inap RSMM Bogor.

1.3.4. Diketahuinya kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan
sebelum dan setelah dilakukan Rational Emotive Behaviour Therapy pada
kelompok yang tidak mendapatkan intervensi di ruang rawat inap RSMM
Bogor

1.3.5. Diketahuinya perbedaan perubahan kemampuan klien dalam mengontrol
perilaku kekerasan setelah dilakukan REBT pada kelompok yang mendapat
intervensi dan pada kelompok yang tidak mendapat intervensi di ruang
rawat inap RSMM Bogor

1.3.6. Diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan klien dalam
mengontrol perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM Bogor

1.4 Manfaat Penelitian
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
14

Universitas Indonesia
1.4.1 Manfaat Aplikatif
1.4.1.1. Menambah kemampuan perawat spesialis dalam melakukan terapi-
terapi spesialis khususnya Rational Emotive Behaviour Therapy
sebagai suatu bentuk terapi individu.

1.4.1.2. Menambah wawasan, pengetahuan dan kemampuan akan terapi -
terapi spesialis untuk pendidikan lanjutan dan sertifikasi nantinya.

1.4.1.3. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan
perilaku kekerasan, khususnya asuhan keperawatan untuk spesialis.


1.4.2 Manfaat Keilmuan
1.4.2.1. Metode Rational Emotive Behaviour Therapy sebagai salah satu
terapi spesialis keperawatan jiwa bagi individu yang mengalami
perilaku kekerasan

1.4.2.2. Penelitian ini sebagai evidance based dalam mengembangkan
Rational Emotive Behaviour Therapy bagi keperawatan.

1.4.3 Manfaat Metodologi
1.4.3.1 Dapat menerapkan teori atau metode yang terbaik dalam
meningkatkan kemampuan klien yang mengalami masalah perilaku
kekerasan.

1.4.3.2 Hasil penelitian berguna sebagai data dasar bagi penelitian
selanjutnya untuk menurunkan perilaku kekerasan dengan
menggunakan desain penelitian lainnya.


Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
15

BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Sebagai landasan dan rujukan dalam penelitian, akan dikemukakan beberapa konsep dan
teori serta hasil penelitian yang terkait dengan bidang penelitian ini. Adapun konsep dan
teori ini meliputi : konsep skizoprenia, konsep perilaku kekerasan, konsep Rational
Emotive Behaviour Therapy ( REBT) dan tehnik pelaksanaan Rational Emotive
Behaviour Therapy ( REBT).
2.1 Skizoprenia
Skizoprenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang biasanya diderita pada usia
remaja akhir atau dewasa awal, dikarakteristikkan dengan terjadinya distorsi
persepsi, pikiran, dan emosi yang tidak sesuai (WHO, 2001). Skizoprenia adalah
kombinasi dari gangguan pikir, gangguan persepsi, perilaku abnormal, gangguan
afektif dan ketidakmampuan dalam bersosialisasi (Fontaine, 2003 : 396). Ini berarti
bahwa induvidu mengalami kesulitan dalam berpikir jernih, mengenali realita,
menentukan perasaan, mengambil keputusan dan berhubungan dengan orang lain.

Menurut Videbeck (2008) skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi
otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku
yang aneh. Skizofrenia juga merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering
mereda, namun hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya
(Kaplan, 2000 : 407). Dengan demikian skizoprenia adalah suatu gangguan jiwa
berat yang bervariasi penyebabnya, terutama disebabkan oleh adanya gangguan pada
otak yang berpengaruh terhadap pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku
sehingga menimbulkan manifestasi klinis berupa ketidakmampuan dalam
menentukan perasaan, mengambil keputusan dan bersosialisasi dengan orang lain.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
16

Universitas Indonesia

2.1.1 Penyebab Skizoprenia
Skizoprenia bukanlah gangguan yang tunggal namun merupakan suatu
sindrom dengan banyak variasi dan banyak penyebab. Menurut Stuart dan
Laraia (2005) penyebab Skizoprenia terdiri atas biologis, psikologis, sosial
dan lingkungan.
2.1.1.1. Biologis
Bila dilihat penyebab skizoprenia dari segi biologis maka faktor-
faktor yang termasuk didalamnya adalah genetik, neurotransmiter,
neurobiologi, perkembangan saraf otak dan teori-teori virus.

Pengaruh faktor genetik terhadap skizoprenia belum teridentifikasi
secara spesifik namun pengaruh lokasi kromosom 6 pada gen
berkontribusi dan berhubungan dg kromosom 4, 8, 15, dan 22 untuk
terjadinya skizoprenia (Buchanan & Carpenter, 2000 dalam Stuart
& Laraia, 2005). Anak dengan orang tua yang salah satunya
mengalami skizoprenia mempunyai resiko 15% dan bila kedua
orang tua mengalami skizoprenia maka anak akan beresiko 35%
mengalami skizoprenia juga (Stuart & Laraia, 2005).

Pada individu dengan skizoprenia ditemukan bahwa korteks
prefrontal dan korteks limbik otak tidak berkembang dengan
sempurna. Biasanya ditemukan peningkatan volum otak, fungsi
yang abnormal dan neuro kimia yang menunjukkan perubahan pada
system neurotransmitter. Fokus pada korteks frontal
mengimplikasikan gejala negatif pada skizoprenia dan system
limbik (dalam lobus temporal) mengimplikasikan gejala positif
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
17

Universitas Indonesia
pada skizoprenia serta system neurotransmitter menghubungkan
kedua daerah tersebut terutama dopamine, serotonin dan glutamate
(Stuart & Laraia, 2005).

Berdasarkan teori virus yang disampaikan bahwa pada masa
kehamilan khususnya pada trimester kedua bila terpapar virus
influenza beresiko untuk terjadinya skizoprenia pada anak (Stuart &
Laraia, 2005).

2.1.1.2. Psikologis
Skizoprenia disebabkan karena keluarga dan perilaku individu itu
sendiri. Bila dilihat dari keluarga, ibu yang sering cemas, perhatian
yang berlebihan atau tidak ada perhatian, ayah yang jauh atau yang
memberikan perhatian berlebihan, konflik pernikahan, dan anak
yang didalam keluarga selalu dipersalahkan ( Stuart & Laraia,
2005), ini semua merupakan teori yang menggambarkan
komunikasi dalan bentuk pesan ganda sehingga individu yang
menerimanya beresiko untuk mengalami skizoprenia.

Menurut Boyd dan Nihart (1998) terjadinya perilaku agresif atau
perilaku kekerasan secara psikologis adalah dorongan naluri,
adanya gangguan atau hambatan dalam mencapai tujuan, stimulus
internal dan eksternal yang dirasa sebagai suatu yang berbahaya,
emosi yang negatif membawa pada perilaku yang irrasional dan
gaya interaksi yang memaksa.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
18

Universitas Indonesia
2.1.1.3 Sosial dan lingkungan
Menurut Townsend (2005), banyak hal yang telah dicoba untuk
dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa seperti skizoprenia dan
salah satu faktornya adalah masalah status sosial. Status
sosioekonomi mengacu pada pendapatan, pendidikan dan pekerjaan
individu (Lipson et al, 1996 dalam Videbeck, 2008). Status
sosioekonomi yang rendah lebih banyak menimbulkan risiko
mengalami skizofrenia dibanding pada tingkat sosioekonomi tinggi
(Mila, 2009). Disamping sosial, budaya juga merupakan faktor yang
mempengaruhi perilaku agresif atau kekerasan. Kemiskinan, sosial
dan budaya yang tidak harmonis dapat menyebabkan skizoprenia.
Stressor sosiokultural, stress yang menumpuk dapat mendorong
terjadinya awitan skizoprenia dan gangguan psikotik lainnya
( Stuart & Sundeen, 1998).


Menurut teori keluarga, bagian fungsi keluarga yang berkaitan
dengan peran keluarga dalam munculnya skizofrenia adalah
keluarga yang sangat mengekspresikan emosi (High expressed
emotion) (Isaacs, 2005 dalam Wardhani, 2009). Keluarga dengan
ciri ini dianggap terlalu ikut campur secara emosional, kasar dan
penuh kritikan. Faktor lingkungan meliputi status ekonomi yang
rendah dan lingkungan yang penuh kekerasan (Wardhani, 2009).


2.1.2 Gejala Skizoprenia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
19

Universitas Indonesia
Banyak gejala yang terlihat pada klien dengan skizoprenia namun tidak
semua orang yang mengalami menunjukkan gejala yang sama. Tanda dan
gejala dari skizoprenia dibagi dalam empat dimensi utama yaitu gejala
positif, gejala negatif, gejala kognitif dan gejala depresi dan perubahan mood
lainnya. Dimensi-dimensi dari skizoprenia ini memiliki mekanisme dasar
yang berbeda dan menunjukan pola respon yang berbeda untuk tindakan
yang sesuai (Eli Lilly dalam Stuart & Laraia, 2005; Tandon et.al, 2003 dalam
Varcarolis, 2006).
2.1.2.1. Gejala Positif terdiri atas halusinasi, delusi, bicara yang tidak
terorganisasi dan perilaku yang aneh.
2.1.2.2. Gejala Negatif terdiri atas afek tumpul, ketidakmampuan dalam
berpikir, kehilangan motivasi, ketidakmampuan dalam mengalami
perasaan senang dan kegembiraan
2.1.2.3. Gejala Kognitif terdiri atas kurang perhatian, mudah terdistraksi,
gangguan memori, ketidakmampuan dalam memecahkan masalah,
ketidakmampuan dalam mengambil keputusan, dan tidak logis.
2.1.2.4. Gejala Depresi dan Perubahan Mood terdiri atas dysphoria,
keinginan bunuh diri dan ketidakberdayaan.
Dari semua dimensi yang dijelaskan diatas menyebabkan individu
mengalami perubahan dalam kemampuan kerja, berhubungan dengan orang
lain, merawat diri, fungsi sosial dan pada akhirnya terlihat pada kualitas
hidup (Quality of Life) yang menurun.

2.1.3 Tipe Skizoprenia
Berdasarkan DSM-IV-TR (APA, 2000) tipe dari skizoprenia terdiri atas :
2.1.3.1 Skizoprenia Paranoid
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
20

Universitas Indonesia
Skizofrenia Paranoid adalah jenis penyakit jiwa yang paling umum.
Gambaran klinisnya relatif stabil, sering ditemukan adanya rasa
curiga, delusi, pada umumnya ditemani oleh halusinasi terutama
halusinasi pendengaran, gangguan persepsi , gangguan afek,
gangguan pada keinginan/minat, suara dan gejala katatonik tidaklah
menonjol (ICD 10 WHO, 1992). Gambaran utamanya adalah asyik
dengan satu atau beberapa delusi atau halusinasi pendengaran yang
sering ( DSM-IV-TR dalam Stuart & Laraia, 2005).
2.1.3.2 Skizoprenia Disorganisasi
Individu mengalami proses pikir yang tidak terorganisasi, perilaku
yang tidak terorganisasi serta mempunyai afek yang datar atau tidak
sesuai. Semua gejala ini menonjol seperti tidak teorganisasi dalam
bicara dan berperilaku (DSM-IV-TR dalam Stuart & Laraia, 2005).

2.1.3.3 Skizoprenia katatonik
Gangguan psikomotor yang menonjol adalah gambaran yang penting
dan dominan dan dapat bergantian dengan yang ekstrim seperti
hiperkinesis dan pingsan, ketaatan yang otomatis dan negatif, sikap
dan postur kaku dalam waktu yang lama, episode kekerasan dapat
menggambarkan kondisi, karena alasan yang kurang dipahami
penyakit jiwa katatonik ini sekarang jarang ditemukan di Negara
industry (ICD 10 WHO, 1992).

2.1.3.4 Skizoprenia Terdiferensiasi
Gejala yang ditemukan sama dengan gejala pada kondisi umum dari
skizoprenia tetapi kriteria untuk tipe yang lainnya tidak ditemukan
(DSM-IV-TR dalam Stuart & Laraia, 2005).
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
21

Universitas Indonesia

2.1.3.4 Skizoprenia Residual
Skizoprenia residual dapat terjadi pada individu dengan skizoprenia
jangka panjang. Kriteria untuk skizoprenia tidak ditemukan dan
begitu juga dengan kriteria pada sub tipe lainnya. Ini semua adalah
kelanjutan dari gangguan awal yang di indikasikan oleh gejala
negatif, atau adanya pengurangan dari dua atau lebih gejala umum
skizoprenia (DSM-IV-TR dalam Stuart & Laraia, 2005). Pada
skizoprenia ini seseorang tidak lagi menunjukkan gejala positif
(halusinasi, delusi, bicara tidak teratur, dan perilaku yang tidak
teratur atau perilaku katatonik), namun masih menunjukkan gejala
negatif yang mencakup; afek datar, kurang merasakan kesenangan
dalam hidup, hilangnya kemampuan untuk melaksanakan kegiatan
yang telah direncanakan, kurang berinteraksi dengan orang lain dan
tidak dapat merawat diri sehingga membutuhkan bantuan untuk
aktivitas seharia-hari.

Perbedaan tipe dari skizoprenia adalah berdasarkan pengalaman terhadap
gejala-gejala yang dialami oleh individu. Selama gejala-gejala yang dialami
individu berubah-rubah maka tipe skizoprenia dari individu dapat lebih dari
satu tipe. Menurut Keliat (2003), perilaku kekerasan lebih sering terjadi pada
skizoprenia paranoid dengan jumlah responden sebanyak 57 orang (76%) dan
18 responden (24%) dengan skizoprenia yang lainnya. Berdasarkan survey
yang dilakukan Sulastri (2008) terhadap18 klien perilaku kekerasan,
ditemukan 80 % (14 orang) dengan diagnosa skizoprenia paranoid sedangkan
sisanya termasuk skizoprenia jenis lainnya. Jadi dapat diketahui bahwa
skizoprenia paranoid adalah tipe skizoprenia yang paling sering mengalami
perilaku kekerasan.
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
22

Universitas Indonesia

2.1.4 Terapi Psikofarmaka
Perawat penting memahami gejala skizofrenia karena tidak semua pasien
mempunyai gejala yang sama. Perbedaan gejala yang dialami pasien menjadi
dasar penetapan diagnosa keperawatan. Skizofrenia dapat diawali dengan atau
tanpa fase prodormal (early psikosis). Gejala yang tampak pada fase ini adalah
gangguan pola tidur, gangguan napsu makan, perubahan perilaku, afek datar,
pembicaraan yang sulit dimengerti, berfikir tidak realistik, dan perubahan
dalam penampilan. Jika gejala ini muncul dan langsung mendapatkan terapi
maka skizofrenia dapat dihindari. Namun pada beberapa pasien, mereka tidak
menyadari atau tidak mengalami fase ini sehingga tidak mendapatkan
penangganan awal dan berakhir pada skizofrenia. Pengobatan skizofrenia
lebih efektif bila dimulai sedini mungkin saat gejala mulai muncul (World
Federation for Mental Health, 2008).

Tatalaksana pengobatan Skizoprenia mengacu pada penatalaksanaan
Skizoprenia secara umum yaitu:
2.1.4.1. Anti Psikotik
Obat-obat antipsikotik efektif mencegah menyebaran keadaan
akut dan mencegah relaps. Terdapat dua macam obat antipsikotik
yaitu antipsikotik tradisional (tipikal) dan antipsikotik atipikal.
Jenis antipsikotik atipikal merupakan generasi baru antipsikotik.
Atipikal antipsikosis tidak hanya mengatasi gejala skizoprenia
tapi juga meningkatkan kualitas hidup. Obat ini merupakan
pilihan pertama karena memiliki karakteristik : efek
ekstrapiramidal minimal, mengatasi gejala positif sebaik
mengatasi gejala negatif dan meningkatkan neurokognitif
(Varcarolis, et. Al. , 2006)
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
23

Universitas Indonesia
Obat yang termasuk atipikal antipsikosis yaitu clozapine,
risperidone, olanzapine dan quetiapine. Target kerja kelompok
atipikal mengatasi baik gejala positif maupun negatif. Golongan
atipikal mempunyai efek samping lebih ringan dari golongan
tipikal dan walaupun muncul gejala efek samping, biasanya
pasien masih bisa mentoleransinya. Selain itu kelompok atipikal
juga bisa mengatasi gejala cemas dan depresi, menurunkan
kecenderungan perilaku bunuh diri dan memperbaiki fungsi
neurokognitif (Varcarolis 2006 dalam wardhani, 2009).
Sedangkan yang termasuk jenis antipsikotik tipikal yaitu : antara
lain haloperidol, tiflourorazine, chlorpromazine (CPZ) dan
loxapine(Varcarolis, et. al, 2006). Target kerja kelompok tipikal
adalah mengatasi gejala positif,. Golongan tipikal mempunyai
efek samping lebih dari golongan atipikal (Kuo, 2004 dalam
Varcarolis 2006).

Efek samping obat antipsikotik dikelompokkan menjadi dua yaitu
efek samping neurologis dan non neurologis. Efek samping
neurologis meliputi gejala ekstrapiramidal (reaksi distonia akut,
akatisia, dan Parkinson), kejang dan sindrom maligna neuroleptik.
Efek samping non neorologis mencakup sedasi, fotosensitivitas,
dan gejala antikolinergik (mulut kering, pandangan kabur,
kontsipasi, retensi urin, dan hipotensi ortostatik)
(Videbeck,2008dalam wardhani, 2009).

2.1.4.2. Anti Manik
Skizoprenia disertai dengan gejala akut perilaku kekerasan diatasi
dengan pemberian antimanik seperti lithium (Varcarolis, Carson
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
24

Universitas Indonesia
& Shoemaker, 2006). Lithium membantu menekan episode
kekerasan pada skizoprenia.

2.1.4.3. Obat pencegahan efek ekstrapiramidal
Pemberian antipsikotik mempunyai efek sindrom ekstrapiramidal
yaitu mulut kering, parkison, reaksi distonik. Jenis obat
pencegahan sindrom ekstrapiramidal yaitu trihexyphenidil (THP),
biperidin dan diphenhidramine hydrochloride (Varcarolis, Carson
& Shoemaker, 2006). Trihexyphenidil (Artane) dosis yang
digunakan : 1 15 mg/hari dan difehidamin dosis yang diberikan
10 400 mg/hari untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk
menghilangkan reaksi ekstrapiramidal akibat obat (Kaplan &
Sadock, 1998).

2.2 Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa merupakan situasi kegawatan
psikiatri yang memerlukan penanganan yang cepat agar tidak membahayakan
pasien, orang lain termasuk petugas kesehatan, dan lingkungannya.

2.2.1 Definisi
Perilaku Kekerasan/Agresifitas adalah perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik atau psikologis (Berowitz dalam Soetjiningsih,
2004).WHO (1999) mengemukakan bahwa kekerasan adalah penggunaan
kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan untuk diri sendiri,
perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang kemungkinan besar
mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
25

Universitas Indonesia
perkembangan atau perampasan hak. Perilaku kekerasan adalah tindakan
menciderai orang lain, diri sendiri, merusak harta benda (lingkungan), dan
ancaman secara verbal (Keliat, 2003). Perilaku agresif adalah suatu fenomena
komplek yang dapat terjadi pada klien dengan skizoprenia, gangguan mood,
gangguan kepribadian borderline, gangguan perilaku dan ketergantungan
obat (Fontaine, 2003). Dari semua pernyataan diatas maka perilaku
kekerasan atau agresifitas dapat didefinisikan sebagai perilaku melukai diri
sendiri, orang lain/sekelompok orang dan lingkungan, baik secara verbal,
fisik, dan psikologis yang akan mengakibatkan trauma, perampasan hak,
kerugian psikologis dan bahkan kematian.

2.2.2 Proses Terjadi Perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon maladaptif dari marah.
Marah adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi
yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekarangan diri,
serangan lisan, kekecewaan atau frustrasi (Chaplin, 2002 dalam Triantoro,
2009). Dyer menyatakan marah sebagai suatu reaksi terhadap frustrasi yang
teralih dimana seseorang berbuat dengan cara-cara yang sesungguhnya ia
tidak menginginkannya. Seseorang yang sangat marah tidak dapat
mengendalikan perbuatannya. Orang yang tidak dapat mengontrol
perbuatannya adalah orang yang menderita gangguan kejiwaan (Purwanto &
Mulyono, 2006). Perilaku kekerasan adalah akibat dari kemarahan yang
ekstrim atau kecemasan (panik). Alasan spesifik dari perilaku agresif
berbeda-beda untuk setiap orang (Stuart & Laraia, 2005).

Model Stress Adaptasi Stuart dari keperawatan jiwa memandang perilaku
manusia dalam perspektif yang holistik terdiri atas biologis, psikologis dan
sosiokultural, dan aspek- aspek tersebut saling berintegrasi dalam perawatan.
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
26

Universitas Indonesia
Komponen biospikososial dari model tersebut termasuk dalam faktor
predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan
mekanisme koping (Stuart & Laraia, 2005).

2.2.2.1 Faktor Biologi
Faktor biologis secara alami dapat menjadi salah satu faktor
penyebab (predisposisi) atau menjadi faktor pencetus (presipitasi)
terjadinya perilaku kekerasan pada individu. Faktor predisposisi
yang berasal dari biologis dapat dilihat sebagai suatu keadaan atau
faktor resiko yang dapat mempengaruhi peran manusia dalam
menghadapi stressor. Adapun yang termasuk dalam faktor biologis
ini adalah struktur otak. Struktur otak yang berhubungan dengan
perilaku agresif adalah system limbik, lobus frontal, dan
hypothalamus. Ketidakseimbangan neurotransmitter juga
mendorong munculnya perilaku kekerasan (Niehoff, 2002;
Hoptman , 2003 dalam Stuart & Laraia, 2005).

Sistem limbik berkaitan dengan mediasi dorongan dasar (basic
drive) dan ekspresi emosi serta tingkah laku manusia seperti:
makan, agresi dan respon sexual, termasuk proses informasi dan
memori. Sintesa informasi ke dan dari area lain di otak
mempengaruhi emosi dan perilaku. Perubahan dalam system limbic
berakibat pada peningkatan atau penurunan perilaku agresif, amuk
dan takut (Vacarolis, 2003).

Lobus frontal berperan penting dalam mediasi tingkah laku yang
berarti dan pikiran yang rasional. Lobus ini merupakan bagian
dimana pikiran dan emosi berinteraksi. Kerusakan pada lobus frontal
berakibat gangguan pertimbangan, perubahan kepribadian, masalah
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
27

Universitas Indonesia
pengambilan keputusan, ketidaksesuaian dalam berhubungan dan
luapan agresif.

Hipotalamus juga berperan dalam mempengaruhi terjadinya perilaku
agresif /kekerasan, dimana kondisi stress akan meningkatkan level
hormon steroid, yang disekresi kelenjar adrenal. Reseptor saraf
untuk hormon ini menjadi kurang sensitif dalam mengkompensasi,
sehingga hipotalamus yang berada pada dasar otak dan berfungsi
sebagai system alarm otak merangsang kelenjar pituitary untuk
menghasilkan lebih banyak steroid. Setelah stimulasi berulang
system berespon lebih kuat terhadap provokasi. Respon inilah yang
menyebabkan stress traumatik pada anak bersifat permanen sehingga
beresiko memiliki perilaku kekerasan. Lobus temporal dari otak
terbagi beberapa struktur dengan sistem limbik. Memori adalah
integrasi dari pikiran, memori sebelumnya adalah penting untuk
penilaian kognitif dalam menghadapi stimulus baru, lobus ini dapat
meningkatkan perilaku agresif (Vacarolis, 2003).

Neurotransmitter di otak meningkat/menurun dapat mempengaruhi
perilaku. Gangguan keseimbangannya akan merangsang atau
menghambat perilaku agresif. Lesch dan Mersdorf (2000)
menyebutkan bahwa perilaku agresif dipengaruhi oleh gen
serotonergik (Kneisl; Wilson & Trigoboff, 2004). Rendahnya
neurotransmitter serotonin meningkatkan irritabilitas,
hipersensitivitas terhadap provokasi, dan perilaku amuk. Individu
dengan impulsive, bunuh diri, dan membunuh, mempunyai lebih
rendah serotonin daripada level 5-HIAA.

Penelitian ini telah menunjukkan adanya hubungan antara agresif
impulsive dengan rendahnya level neurotransmitter serotonin. Suatu
gangguan genetik pada fungsi serotonin merupakan predisposisi
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
28

Universitas Indonesia
terjadinya perilaku agresif impulsif (Kavoussi. et al., dalam
Vacarolis, 2003). Neurotransmitter lain yang berkaitan dengan
perilaku agresif adalah dopamine, norepinephrine, dan acetylcholine
serta asam amino Gamma-aminobutyric acid (GABA). Korteks
prefrontal juga berperan penting dalam menghambat perilaku agresif.
Area spesifik pada korteks prefrontal adalah region orbitofrontal.
Stimulasi pada area ini mencegah marah dan agresif. Lesi pada area
ini menyebabkan perilaku impulsif (Stuart & Laraia, 2005).

Karakteristik biologis lain yang berhubungan dengan perilaku
kekerasan adalah riwayat penggunaan obat NAPZA dan frekuensi di
rawat. Penggunaan NAPZA akan mempengaruhi fungsi otak,
mempengaruhi terapi dan perawatan yang diberikan (Dyah, 2009).
Frekuensi dirawat menunjukkan seberapa sering individu dengan
perilaku kekerasan mengalami ke kambuhan. Perilaku kekerasan
pada skizoprenia sering terjadi karena penyakit yang tidak terkontrol,
putus obat, kecemasan karena kegagalan dalam mengerjakan sesuatu
atau situasi yang menciptakan perilaku kekerasan (Stuart & Laraia,
2005).

Stressor presipitasi adalah stimuli yang diterima individu sebagai
tantangan, ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi perilaku
kekerasan dari faktor biologi dapat disebabkan oleh gangguan
feedback di otak dalam proses informasi. Stimuli penglihatan dan
pendengaran pada awalnya di saring oleh hipotalamus dan dikirim
untuk diproses oleh lobus frontal dan bila informasi yang sampaikan
terlalu banyak maka akan di kirim ke ganglia basal dan di ingatkan
lagi hipotalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal.

Penurunan fungsi dari lobus frontal menyebabkan gangguan pada
proses feedback dalam penyampaian informasi (Stuart & Laraia,
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
29

Universitas Indonesia
2005). Proses elektrik yang melibatkan elektolit juga mempengaruhi,
penurunan proses ini ditunjukkan dengan ketidakmampuan individu
dalam memilih stimuli (Perry et al., 1999 dalam vacarolis, 2003).
Faktor biologis lainnya yang merupakan predisposisi dapat menjadi
presipitasi dengan memperhatikan asal stressor, baik internal atau
lingkungan eksternal individu. Waktu dan frekuensi terjadinya
stressor perilaku kekerasan penting untuk dikaji (Stuart & Laraia,
2005).

2.2.2.2 Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan salah satu predisposisi atau presipitasi
dalam proses terjadinya perilaku agresif/kekerasan. Menurut Stuart
dan Laraia (2005) yang termasuk dalam faktor psikologis
diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan
pertahanan psikologi. Suatu pandangan psikologi tentang perilaku
agresif menyatakan bahwa pentingnya faktor perkembangan atau
pengalaman hidup dalam membatasi kemampuan individu untuk
memilih koping mekanisme yang bukan perilaku kekerasan. Teori
pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku agresif
dipelajari melalui proses sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran
internal dan eksternal. Pembelajaran internal terjadi selama individu
mendapat reinforcement ketika melakukan perilaku agresif.
Pembelajaran eksternal terjadi selama observasi model peran seperti
peran sebagai orang tua, kelompok, saudara, olah raga dan figure
dari entertainmen (Stuart & Laraia, 2005).

Faktor perkembangan atau pengalaman hidup yang membatasi
mekanisme koping nonviolence menurut Stuart dan Laraia (2009)
sebagai berikut :
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
30

Universitas Indonesia
2.2.2.2.1. Gangguan otak organik, mental retardasi,
ketidakmampuan belajar yang mengganggu kapasitas
bertindak secara efektif terhadap frustasi

2.2.2.2.1. Deprivasi emosional yang berat atau penolakan terhadap
anak, orang tua penggoda berkontribusi pada kurang rasa
percaya dan harga diri


2.2.2.2.1. Mengalami kekerasan, korban child abuse atau sering
melihat kekerasan dalam keluarga dapat menanamkan pola
penggunaan kekerasaan sebagai cara menyelesaikan
masalah. Menurut Kneisl; Wilson & Trigoboff, (2004)
Perilaku agresif dipelajari dari: menjadi saksi tindak
kekerasan, menonton perilaku kekerasan pada anak-anak
dari media, seperti: TV, film, musik, video games. The
American Academy of Pediatrics (2001) paparan media
yang menampilkan kekerasan mempunyai pengaruh
bermakna pada kesehatan anak-anak & remaja. Media
kekerasan berkontribusi pada perilaku agresif dan
desensitisasi untuk kekerasan. COC (2001) menjadi saksi
tindak kekerasan berakibat pada perkembangan anak-anak.

Menurut Boyd dan Nihart (1998) terjadinya perilaku agresif atau
perilaku kekerasan secara psikologis adalah dorongan naluri, adanya
gangguan atau hambatan dalam mencapai tujuan, stimulus internal
dan eksternal yang dirasa sebagai suatu yang berbahaya, emosi
negatif yang membawa pada perilaku irrasional dan gaya interaksi
yang memaksa. Faktor psikologis lain dapat berupa kegagalan,
kegagalan dapat berakibat frustrasi (Stuart & Laraia, 2005).
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
31

Universitas Indonesia
Kegagalan sering diartikan oleh individu dengan ketidakmampuan,
respon yang muncul pada saat individu mengalami kegagalan dapat
berupa penyalahan terhadap diri sendiri, atau orang lain yang
ditunjukkan dengan perilaku kekerasan (Dyah, 2009).

Stresor dari faktor psikologis ini dapat menjadi pencetus (presipitasi)
yaitu apabila stimulus merubah atau menekan sehingga memunculkan
gejala saat ini. Selanjutnya perlu dikaji asal stressor psikologis itu
apakah dari internal individu ataupun lingkungan ekternalnya, waktu
terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam
suatu waktu (Stuart & Laraia, 2005). Dengan demikian faktor
psikologis ini bisa menjadi penyebab sekaligus pencetus terjadinya
masalah perilaku kekerasan.

2.2.2.3 Sosial Budaya dan Spiritual
Faktor sosial, budaya juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
perilaku kekerasan pada individu. Karakteristik yang termasuk pada
sosial budaya seperti: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
peran sosial, latar belakang budaya, agama dan kayakinan individu
(Stuart & Laraia, 2005), riwayat perilaku kekerasan di masa lalu
(American Psychiatric Assosiations, 2000; steinert, Wiebe, &
Gebhardt, 1999 dalam Fauziah, 2009). Sedangkan pendapat ahli
lainya menyatakan faktor sosial adalah aspek yang dimiliki individu
yang terdiri dari konsep diri, hubungan interpersonal, peran budaya
lingkungan dan keluarga sehingga dapat menjalankan fungsinya
dalam masyarakat (Wiliam Rawlin & Beck, 1993).

Berdasarkan pendapat diatas disampaikan bahwa jenis kelamin
merupakan salah satu karakteristik sosial budaya. Jenis kelamin
adalah ciri fisik, karakter dan sifat yang berbeda. Laki-laki lebih
sering melakukan perilaku agresif (Stuart & Laraia, 2005).
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
32

Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil penelitian dinyatakan bahwa karakteristik jenis
kelamin berhubungan dengan kejadian perilaku kekerasan verbal (p
value 0,001) dan klien laki-laki dua kali lipat lebih banyak dari klien
perempuan, serta usia yang paling banyak 30 tahun ke bawah (Keliat,
2003).

Namun berdasarkan penelitian Kelliat dkk, (2008) pada penelitian
karakteristik klien yang dirawat di bangsal MPKP menyebutkan ada
63,9% berjenis kelamin laki-laki, 82,5% terdapat pada golongan
umur dewasa yaitu umur 33 tahun sampai 55 tahun. Selain itu
penelitian yang dilakukan Keliat (2003) menyebutkan karakeristik
pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan mempengaruhi dalam
kejadian perilaku kekerasan, dimana sebahagian besar berpendidikan
menengah dan rendah, tidak bekerja, tidak kawin dan dirawat untuk
pertama kali di rumah sakit.

Faktor sosiokultural lainya adalah norma budaya yang dapat
membantu mengartikan makna ekspresi marah dan dapat mendorong
untuk mengekspresikan marah secara asertif sehingga membantu
menjaga kesehatan diri. Hukuman diterapkan terhadap perilaku
kekerasan melalui norma hukum atau adanya kontrol sosial. Norma
yang mereinforcement perilaku kekerasan akan berakibat ekspresi
marah dengan cara destruktif. Kondisi sosial lain yang dapat
menimbulkan perilaku kekerasan seperti : kemiskinan dan
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup, masalah perkawinan,
keluarga single parent, pengangguran, kesulitan mempertahankan tali
persaudaraan, struktur keluarga, dan kontrol sosial ( Stuart & Laraia,
2005).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
33

Universitas Indonesia
Kepercayaan (spiritual), nilai dan moral mempengaruhi ungkapan
marah individu (Kelliat & Sinaga, 1991). Keyakinan akan membantu
individu dalam memilih ekspresi kemarahan yang diperbolehkan.
Aspek spiritual adalah komponen kehidupan individu yang terkait
dengan falsafah hidup, nilai, keyakinan dan religi (Rawlins, et. Al,
1993 dalam keliat, 2003). Secara umum seseorang menuntut
kebutuhannya dari orang lain atau lingkungan sehingga timbul
frustrasi apabila tidak terpenuhi dan selanjutnya timbul marah
sehingga mempengaruhi kualitas spiritual seseorang.

Stresor dari faktor sosiokultural ini dapat juga menjadi presipitasi
yaitu apabila stimulus merubah atau menekan sehingga memunculkan
gejala saat ini. Selanjutnya perlu dikaji asal stressor sosiokultural,
waktu terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi
dalam suatu waktu (Stuart & Laraia, 2005). Dengan demikian banyak
sekali stresor sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan menjadi
penyebab ataupun pencetus perilaku kekerasan.

2.2.3 Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan
Gejala-gejala yang terlihat pada klien dengan skizoprenia tidak dialami oleh
semua orang yang didiagnosa engan skizoprenia. Pada klien dengan perilaku
kekerasan terlihat adanya gejala positif dari empat dimensi utama gejala
skizoprenia. Ketika Individu mendapatkan stressor dalam faktor predisposisi
maupun presipitasi yang berasal dari biologis, psikologis maupun
sosiokultural akan berlanjut pada proses penilaian terhadap stressor tersebut.
Penilaian stresor adalah proses dari situasi stres yang komprehensif yang
berada pada beberapa tingkatan. Secara spesifik proses ini melibatkan respon
kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon perilaku dan respon sosial
(Stuart & Laraia, 2009).
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
34

Universitas Indonesia

2.2.3.1 Respon Kognitif
Bentuk yang berbeda dari agresi dapat dihubungkan dan
berhubungan dengan psikologis seperti permusuhan, kemarahan, dan
keyakinan yang irrasional. Hubungan pemikiran dan emosi ini
berperan penting dalam menerjemahkan marah menjadi perilaku
agresif (Cristopher, 2010). Pada individu dengan perilaku agresif
atau perilaku kekerasan berpikir secara irrasional akan tercermin dari
kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan
cara berpikir yang salah dan kata-kata yang tepat menunjukkan cara
berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri
harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang
dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara
verbalisasi yang rasional (Faizmh, 2009).

Sebagian besar pengalaman hidup seseorang melalui proses
intelektual. Peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi pada
lingkungan, selanjutnya di olah dalam proses intelektual sebagai
suatu pengalaman. Oleh karena itu perlu diperhatikan cara seseorang
marah, mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan marah,
bagaimana informasi dip roses, diklarifikasikan dan di integrasikan.
Sedangkan menurut Boyd dan Nihart (1998) tanda dan gejala
perilaku kekerasan dapat diketahui secara kognitif yaitu akan
ditemukan tekanan atau gangguan pada pikiran.

2.2.3.2 Respon Afektif (Emosi)
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
35

Universitas Indonesia
Marah sebagai suatu emosi yang mempunyai ciri-ciri aktivitas saraf
simpatetik yang tinggi (Davidoff, 1991 dalam Triantoro, 2009).
Bagaimanapun pengalaman emosional dari marah tidak selalu
mengarah pada respon antagonis (Averil, 1983 dalam Christopher,
2010). Kekerasan adalah merupakan salah satu dari respon afektif
(emosi) marah yang maladaptif. Seseorang yang marah merasa tidak
nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, merasa ingin berkelahi,
mengamuk, bermusuhan, sakit hati, menyalahkan, menuntut, mudah
tersinggung, euporia yang berlebihan atau tidak tepat, dan afek labil
(Stuart & Laraia, 2009). Sedangkan menurut Boyd dan Nihart (1998)
tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat diketahui secara afektif
yaitu akan ditemukan iritabilitas, depresi, marah, kecemasan, dan
apati.

2.2.3.3 Respon Fisiologis
Menurut Beck respons fisiologis marah timbul karena kegiatan
system syaraf otomom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga
tekanan darah meningkat, frekuensi denyut jantung meningkat,
wajah merah, pupil melebar, dan frekuensi pengeluaran urin
meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti
meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti tangan di kepal,
tubuh kaku dan reflek yang cepat, hal ini disebabkan karena energy
yang dikeluarkan saat marah bertambah (Purwanto, 2006 dalam
Triantoro, 2009).

Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat diketahui secara fisiologi
yaitu akan ditemukan gangguan tidur, sakit kepala, sakit perut dan
peningkatan tekanan darah (Boyd & Nihart 1998). Menurut Stuart
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
36

Universitas Indonesia
dan Laraia (2009), Perilaku kekerasan dapat dilihat dari wajah
tegang, tidak bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan,
rahang mengencang, peningkatan pernafasan, dan kadang tiba-tiba
seperti kataton.

2.2.3.4 Respon Perilaku
Respon perilaku menarik perhatian dan timbulnya konflik pada diri
sendiri perlu di kaji, seperti melarikan diri, bolos bekerja atau
penyimpangan seksual (Purwanto, 2006 dalam Triantoro, 2009).
Marah selalu dihubungkan dengan perilaku agresif dan bentuk
perilaku kekerasan lainnya. Perilaku agresif tidak selalu terjadi
dalam pengalaman marah. Bentuk yang berbeda dari agresi dapat
dihubungkan dan berhubungan dengan psikologis seperti
permusuhan, kemarahan, dan keyakinan yang irrasional (Averil,
1983 dalam Christopher, 2010). Menurut Boyd dan Nihart (1998)
tanda dan gejala perilaku kekerasan secara perilaku akan ditemukan
penurunan interaksi sosial.

Menurut Morison (1993, dalam Keliat, 2003) perilaku kekerasan
terdiri dari perilaku kekerasan pada orang lain berupa serangan fisik,
memukul, melukai; perilaku kekerasan pada diri sendiri berupa
ancaman melukai, melukai diri; perilaku kekerasan pada lingkungan
berupa merusak perabotan rumah tangga, merusak harta benda,
membanting pintu; perilaku kekerasan verbal berupa kata-kata kasar,
nada suara tinggi dan permusuhan.

2.2.3.5 Respon Sosial
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
37

Universitas Indonesia
Menurut Beck, emosi marah sering merangsang kemarahan orang
lain. Sebagian orang menyalurkan kemarahan dengan menilai dan
mengkritik tingkah laku orang lain sehingga orang lain merasa sakit
hati. Proses tersebut dapat menyebabkan seseorang menarik diri dari
orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan seseorang memerlukan
saling berhubungan dengan orang lain. Pengalaman marah dapat
mengganggu hubungan interpersonal. Cara seseorang
mengungkapkan marah, merefleksikan latar belakang budayanya
(Purwanto, 2006 dalam Triantoro, 2009). Keyakinan, nilai dan moral
mempengaruhi ungkapan marah seseorang. Aspek ini dapat
mempengaruhi hubungan seseorang dengan lingkungan. Hal yang
bertentangan dengan norma dapat menimbulkan kemarahan dan
dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa (Purwanto,
2006 dalam Triantoro, 2009). Menurut Boyd dan Nihart (1998) tanda
dan gejala perilaku kekerasan secara sosial akan ditemukan
penurunan interaksi sosial.

Tanda dan gejala perilaku kekerasan lainnya menurut Stuart dan
Laraia (2009) adalah verbalisasi yaitu menggunakan ancaman verbal
secara langsung atau dengan membayangkan hal yang membuat klien
marah, perhatian mudah beralih, bicara keras dan tinggi serta riwayat
delusi atau pikiran paranoid dan tingkat kesadaran yaitu
kebingungan, terjadinya perubahan status mental, disorientasi,
ganguan daya ingat dan tidak mau diarahkan.

Dengan menemukan dan melihat adanya tanda dan gejala yang
ditunjukkan oleh klien perilaku kekerasan melalui respon kognitif,
afektif, fisiologis, perilaku dan sosialnya maka tingkatan perilaku
kekerasan yang dialami klien dapat diukur dengan berpedoman
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
38

Universitas Indonesia
kepada lima respon yang ditunjukkan tersebut. Dengan demikian
instrument penelitian yang dibuat harus dapat mengukur respon-
respon yang ditunjukkan oleh klien sehingga dapat ditentukan tingkat
perilaku kekerasan yang dialami.


2.2.4 Rentang Respon Kemarahan
Perilaku Kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon kemarahan dapat
berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptif (Keliat & Sinaga,
1991). Rentang respon marah menurut Stuart dan Sundeen (1995) dijelaskan
dalam skema 2.1 dimana agresif dan amuk (perilaku kekerasan) berada pada
rentang respon yang maladaptif.


Skema 2.1 Rentang Respon Marah Menurut Stuart dan Sundeen ( 1995)



2.2.4.1 Asertif
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Frustrasi Amuk Agresi
f
Pasif Asertif
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
39

Universitas Indonesia
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan
pasti dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain.
Individu yang asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat
melihat norma dari individu lainnya dengan tepat sesuai dengan
situasi. Pada saat berbicara kontak mata langsung tapi tidak
mengganggu, intonasi suara dalam berbicara tidak mengancam.
Individu yang asertif dapat menolak permintaan yang tidak beralasan
dan menyampaikan rasionalnya kepada orang lain dan sebaliknya
individu juga dapat menerima dan tidak merasa bersalah bila
permintaannya di tolak orang lain ( Stuart & Laraia, 2005).


2.2.4.2 Pasif
Individu yang pasif sering mengenyampingkan haknya dari
tersepsinya terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif
marah maka dia akan berusaha menutupi kemarahannya sehingga
meningkatan tekanan pada dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat
menyebabkan gangguan perkembangan (Stuart & Laraia, 2005).

2.2.4.3 Frustrasi
Frustrasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan
yang kurang realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan (Stuart
& Sundeen, 2005). Frustrasi adalah kegagalan individu dalam
mencapai tujuan yang diinginkan Frustrasi akan bertambah berat jika
keinginan yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam
kehidupan (Rawlin, William & Beck, 1993).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
40

Universitas Indonesia
2.2.4.4 Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu
merasa harus bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Seseorang yang agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada
kekerasan fisik dan verbal. Perilaku agresif pada dasarnya
disebabkan karena menutupi kurangnya rasa percaya diri
(Bushman& Baumeister, 1998 dalam Stuart & Laraia, 2005). Agresif
adalah perilaku mengancam dan memusuhi orang lain dan atau
lingkungan ( Rawlins et al., 1993).

2.2.4.5. Amuk ( Perilaku Kekerasan )
Amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat yang disertai kehilangan control diri sehingga
individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan
( Keliat & Sinaga, 1991). Menurut Stuart dan Laraia (2009) perilaku
kekerasan berfluktuasi dari tinggkat rendah sampai tinggi yaitu yang
disebut dengan hirarki perilaku agresif dan kekerasan (Gambar 2.2)


Gambar 2.2 Hirarki perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan

Melukai dalam tingkat serius dan berbahaya
Melukai dalam tingkat yang tidak berbahaya
Mengucapkan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
Mengucapkan kata-kata ancaman tanpa melukai
Tingg Tingg Tingg Tingg
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
41

Universitas Indonesia
Mendekati orang lain dengan ancaman
Bicara keras dan menuntut
Memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa perilaku
kekerasan mempunyai tingkatan berdasarkan perilakunya
mulai dari yang terendah yaitu memperlihatkan permusuhan
pada tingkat rendah sampai pada tinggakatan yang tertinggi
yaitu melukai dalam tingkat serius dan membahayakan.

Rentang respon individu terhadap kemarahan yang dialami dapat dikelompokkan
berdasarkan respon yang ditunjukkan, seperti yang dapat dilihat pada table 2.3






Tabel 3.2 Respon-Respon pada Rentang Respon Kemarahan
Rendah Rendah Rendah Rendah
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
42

Universitas Indonesia


Rentang
Respon
Respon

Asertif

Pasif

Frustrasi

Agresif

Amuk
Kognitif Berfikir
rasional
berbicara
dengan jujur
dan jelas,
Mengenyamping
kan haknya
daripada
persepsinya
terhadap hak
orang lain.
Berfikir
kurang
rasional karena
memiliki
tujuan yang
kurang
realistis atau
Berfikir
irrasional dan
kurang percaya
diri. menilai
dan mengkritik
tingkah laku
orang lain
Kehilangan
konrol diri
Afektif Tidak merasa
tersinggung
dan bersalah
bila ditolak
Merasa tertekan Merasa gagal,
merasa tidak
bersemangat
dan kurang
motivasi
Merasa marah,
merasa bersaing
dan merasa
malu
Merasa marah
dan bersaing
yang kuat.
Fisiologis Tidak ada
perubahan
pada
fisiologis.
Tidak ada
perubahan pada
fisiologis.
Terjadi
perubahan
fisiologis
namun belum
mengganggu.
Tekanan darah
meningkat,
frekuensi
denyut jantung
meningkat.
wajah tegang,
tidak bisa diam,
mengepalkan
atau
memukulkan
tangan, rahang
mengencang,
peningkatan
pernafasan,
Tekanan darah
meningkat,
frekuensi
denyut jantung
meningkat, ,
peningkatan
pernafasan,dan
pupil melebar,
dan frekuensi
pengeluaran
urin meningkat,
wajah merah
dan tegang,
serta rahang
mengencang,
Perilaku Saat berbicara
kontak mata
langsung tapi
tidak
mengganggu,
intonasi suara
dalam
berbicara tidak
mengancam.
Menghindari
masalah dan
menutupi
kemarahannya.
Menghindar
dari masalah
Tidak
menghargai hak
orang lain,
Bermusuhan
perilaku
mengarah pada
kekerasan
verbal dan fisik
Bermusuhan,
perilaku
mencederai diri
sendiri, orang
lain dan
lingkungan
Sosial Klien dapat
berinteraksi
dengan baik
dan
menghargai
orang lain
Menghindar dari
orang lain
Menghindar
dari orang lain
Hubungan
interpersonal
berkurang dan
cendrung
menyakiti orang
lain
Hubungan
interpersonal
berkurang dan
cendrung
menyakiti
orang lain
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
43

Universitas Indonesia
2.2.5 Sumber Koping
Sumber koping merupakan kekuatan yang dapat membantu klien dalam
mengatasi stressor yang dihadapinya. Sumber koping akan dapat membantu
dalam proses terapi yang dijalani oleh klien selama mendapatkan pertolongan
dari tenaga kesehatan khususnya perawat. Menurut Stuart dan Laraia
(2005;2009) Sumber koping terdiri atas kemampuan yang dimiliki oleh
individu dalam memecahkan masalah, dukungan sosial baik dari keluarga,
kelompok, teman, dan orang-orang yang ada disekitar klien, asset ekonomi
dan keyakinan serta nilai-nilai positif yang dimiliki oleh klien. Disamping itu
kesehatan, dukungan spiritual, keterampilan sosial serta kesehatan fisik.
Sumber koping yang adekuat akan mampu membuat individu beradaptasi
dengan stressor yang dihadapi dan mengatasi masalah yang ditemui.

Keluarga merupakan salah satu sumber pendukung utama dalam
penyembuhan klien dengan skizoprenia (Videbeck, 2008). Dengan
banyaknya perilaku kekerasan ditemukan pada klien dengan skizoprenia
maka dukungan keluarga juga sangat dibutuhkan oleh klien dengan perilaku
kekerasan. Hal ini disebabkan karena pada akhirnya klien akan berada di
dalam keluarga setelah kembali dari rumah sakit.

Pengetahuan dan intelegensi adalah sumberkoping lainnya yang akan
menuntun individu untuk melihat cara lain dalam menghadapi stress. Dengan
demikian sumber koping juga terrmasuk identitas ego yang kuat, system nilai
dan keyakinan yang stabil dan orientasi pencegahan untuk kesehatan (Stuart,
2009).

2.2.6 Mekanisme Koping
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
44

Universitas Indonesia
Mekanisme koping adalah beberapa usaha yang secara langsung dilakukan
individu untuk memanajemen stress yang dihadapi. Ada 3 tipe mekanisme
koping menurut Stuart (2009) yaitu :
1) Koping mekanisme yang berfokus pada masalah, dimana melibatkan
usaha langsung untuk melakukan koping dengan diri sendiri.
2) Koping mekanisme yang berfokus pada Kognitif, individu mencoba
untuk mengontrol maksud atau makna dari masalah dan berusaha untuk
menetralisirnya sendiri, seperti pencari perbandingan yang positif,
menggantinya dengan rewards dan memilih cara menghindar dengan
selektif.
3) Koping mekanisme yang berfokus pada Emosi, klien diorientasikan untuk
mengurangi tekanan emosional seperti menggunakan pertahanan ego
seperti denial, supresi atau proyeksi.

Dengan demikian diharapkan klien mampu menghadapi masalah dengan
melakukan tindakan yang positif sehingga mengurangi perilaku yang
destruktif seperti pada klien dengan perilaku kekerasan.

2.2.7 Tindakan Keperawatan Perilaku Kekerasan
Intervensi yang dilakukan pada pasien dengan perilaku agresif / perilaku
kekerasan bervariasi. Intervensi dilakukan untuk mencegah dan mengatasi
perilaku agresif. Intervensi tersebut berada dalam rentang preventive
strategies, Anticipatory Strategies, dan Containment Strategies (Stuart and
Laraia, 2005) seperti tercantum pada gambar 2.3

Gambar 2.3 Continuum of nursing intervention in managing aggressive behavior

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
45

Universitas Indonesia


Preventive Strategies Anticipatory Strategies Containment Strategies



Berdasarkan rentang intervensi menurut Stuart and Laraia (2005) berarti
penentuan strategi intervensi untuk menangani pasien dengan perilaku
kekerasan ditentukan oleh tingkat agresivitas pasien.
2.2.7.1 Preventive Strategies (strategi pencegahan)
Intervensi ini diberikan pada klien dengan riwayat perilaku kekerasan
yang sudah tenang, Pada saat strategi ini dilakukan intervensinya
meliputi self awareness (kesadaran diri), patient education
(pendidikan kesehatan pada klien) dan assertiveness training. Pada
strategi ini kesadaran diri ditujukan kepada perawat agar dapat
menggunakan dirinya sendiri secara efektif dalam menghadapi klien
dengan perilaku kekerasan terkait dengan kemampuannya untuk
melakukan komunikasi terapeutik. Strategi pemberian pendidikan
kesehatan pada klien perilaku kekerasan sangat penting pada tahap ini
karena mengajarkan klien tentang komunikasi dan cara yang tepat
untuk mengungkapkan rasa marah klien. Banyak klien mengalami
kesulitan dalam mengidentifikasi perasaannya, kebutuhannya dan
keinginannya untuk mengungkapkannya pada orang lain. Pada
strategi ini psikoterapi dapat diberikan, psikoterapi yang akan
membantu klien untuk menghilangkan perilaku maladaptif dan
menggantinya dengan perilaku adaptif. Psikoterapi dapat diberikan
pada individu pada fase rehabilitasi dimana perilaku kekerasan sudah
mereda.

Self awareness
Patient Education
Assertiveness Training
Communication
Environmental Change
Behavioral Actions
Psychopharmacology
Crisis Management
Seclusion
Restraints

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
46

Universitas Indonesia
Psikoterapi yang dapat diberikan adalah Assertiveness training,
merupakan terapi dengan cara melatih pasien agar mampu
menyampaikan sesuatu secara terbuka/jujur baik yang positif maupun
negatif dengan cara tepat (Rawlins, Williams, Beck, 1993). Cognitive
behavioral therapy (CBT), adalah strategi terapi yang dilakukan
berdasarkan teori pembelajaran terhadap permasalahan kehidupan
yang bertujuan membantu seseorang menyelesaikan kesulitan
hidupnya. Tindakan dilakukan dengan cara merubah pikiran-pikiran
dan perilaku negatif sehingga membuat seseorang bertingkah laku
positif (Stuart and Laraia, 2005). Rational Emotive Behaviour
Therapy (REBT) (Ellis, 1977 dalam vacarolis 2006; Jensen, 2008).
REBT merupakan bagian dari teori kognitif dan perilaku, dimana
hampir seluruh emosi dan perilaku dari manusia adalah hasil dari apa
yang mereka pikirkan, asumsikan dan yakini tentang diri sendiri,
orang lain dan dunianya. Rational Emotive Behavioural Therapy
bertujuan untuk membantu individu mengubah keyakinan
irrasionalnya menjadi lebih rasional.

Psikoterapi untuk keluarga dapat juga dilakukan pada saat ini.
adapaun psikoterapinya adalah Triangle therapy adalah terapi yang
bertujuan memecahkan masalah/konflik hubungan antara anggota
keluarga, misalnya konflik perkawinan, sibbling konflik, konflik antar
generasi, konflik orang tua dan anak (Varcarolis, Carson, &
Shoemaker, 2006). Family psychoeducation adalah terapi dengan cara
memberikan informasi/pendidikan gejala, diagnosis, etiologi,
interaksi terhadap stress dan melatih komunikasi serta penyelesaian
masalah (Stuart & Laraia, 2005).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
47

Universitas Indonesia
Psikoterapi juga dapat diberikan dalam kelompok untuk
meningkatkan kemampuan individu yang telah dilatih. Adapun
psikoterapi untuk kelompok adalah Therapeutic group, merupakan
terapi yang bertujuan membantu anggota kelompok dalam
mengidentifikasi hubungan yang destruktif dan merubah perilaku
maladaptif (Stuart and Laraia, 2005). Psychoeducational group,
merupakan terapi yang dilakukan dengan cara memberikan
informasi/pendidikan pada kelompok seperti tentang pengobatan
(medication education group), masalah yang umum terjadi misal
kemarahan/agresif (symptom management groups), stress
management group dsb (Varcarolis, carson, and Shoemaker, 2006)

2.2.7.1 Anticipatory Strategies (strategi antisipasi)
Intervensi ini diberikan pada klien dengan riwayat perilaku
kekerasan namun kemarahannya tidak mengancam keselamatan
pasien, orang lain dan lingkungan. Pada saat strategi ini dilakukan
intervensinya meliputi communication (komunikasi), environmental
change (modifikasi lingkungan), behavioral actions dan
psychopharmacology. Perawat jiwa pada umumnya dapat mencegah
situasi krisis dengan menggunakan intervensi dini verbal dan non
verbal. Setiap usaha yang dilakukan pada strategi ini harus dilakukan
pemonitoran klien yang memiliki risiko perilaku kekerasan dengan
hati-hati dan intervensi ditujukan untuk tanda peningkatan awal
agitasi. Tujuan Intervensi adalah untuk meningkatkan aliansi
terapeutik dengan klien sehingga dapat menurunkan kebutuhan akan
perilaku agresif.

Pada srategi ini berdasarkan hasil riset pemindahan klien dari
banyaknya stimulus merupakan strategi efektif yang dapat
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
48

Universitas Indonesia
menurunkan dengan baik kebutuhan akan isolasi dan pengekangan
gerak. Disamping itu intervensi lain dengan memberikan batasan pada
klien untuk tidak memanipulasi dengan cara memberitahukan pada
klien perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima serta
konsekuensinya, Time out,dan token ekonomi. Strategi ini juga
menekankan pemberian psikofarmakologi untuk klien agar lebih
efektif. Individu dengan perilaku kekerasan membutuhkan terapi
psikofarmaka yang tepat. Disamping itu pada strategi ini psikoterapi
yang dapat digunakan adalah Relaxation training, yaitu latihan
pernafasan dan relaksasi otot-otot yang berefek menurunkan
ketegangan dan kecemasan (Stuart and Laraia, 2005).

2.2.7.2 Containment Strategies (strategi penahanan)
Intervensi diberikan pada klien dengan perilaku kekerasan bila
kemarahan mengancam keselamatan pasien, orang lain dan lingkungan
(kegawatdaruratan psikiatri) yang tidak dapat dikontrol dengan terapi
psikofarmaka maka perlu dilakukan yang meliputi crisis management,
seclusion, dan restraints. Manajemen yang dilakukan adalah untuk
mengatasi kondisi klien yang sedang berperilaku kekerasan untuk
mencegah terjadinya cidera pada klien, orang lain dan lingkungannya.
Tindakan seklusi yaitu pemisahan klien dari klien lainnya di
lingkungan yang aman diperlukan setelah gagal pada pembatasan yang
minimal. Namun apabila gagal juga maka selanjutnya dapat dilakukan
restrain untuk membatasi pergerakan fisik klien.
Berdasarkan strategi intervensi diatas maka dapat diketahui bahwa
psikoterapi lebih efektif dilakukan pada strategi pencegahan hal ini
disebabkan karena kondisi perilaku kekerasan klien sudah mereda atau
tenang sehingga untuk memberikan pengetahuan lebih efektif dan
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
49

Universitas Indonesia
efisien. Dengan demikian psikoterapi yang diberikan kepada klien akan
mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan demikian Rational Emotive
Behavioural Therapy merupakan salah satu psikoterapi yang diberikan
pada klien dengan perilaku kekerasan pada saat klien mendapatkan
intervensi pada strategi pencegahan.




2.3 Teori Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)
Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT) adalah suatu metode untuk
memahami dan mengatasi masalah emosi dan perilaku. REBT merupakan suatu
pendekatan kognitif dan perilaku yang mengemukakan fakta-fakta bahwa perilaku
yang dihasilkan bukan berasal dari kejadian yang dialami namun dari keyakinan
keyakinan yang tidak rasional (Jensen, 2008). Menurut Froggatt (2005) REBT
adalah salah satu dari beberapa terapi yang berasal dari pikiran dan perilaku.
REBT bukan hanya sekedar tehnik tapi merupakan teori yang komprehensif dari
perilaku manusia. Teori REBT menegaskan bahwa keyakinan yang tidak rasional
akan membawa individu pada emosi dan perilaku negatif yang tidak sehat seperti
perilaku amuk (agresif) dan rasa bersalah (Jensen, 2008). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa REBT adalah suatu metoda terapi yang menggunakan
pendekatan kognitif dan perilaku untuk memahami dan mengatasi masalah emosi
dan perilaku negatif yang berasal dari keyakinan-keyakinan yang tidak rasional
(irrasional).

Rational Emotif Behaviour Therapy (REBT) dipelopori oleh Dr. Albert Ellis,
seorang psikologi klinik yang ahli dalam psikoanalisis. Pada awalnya REBT
disebut dengan Rational Therapy (Terapi Rasional) kemudian berubah menjadi
Rational Emotive Therapy (Terapi rasional dan emosi) dan akhirnya pada awal
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
50

Universitas Indonesia
tahun 1990an menjadi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT). REBT
adalah merupakan salah satu terapi kognitif dan perilaku, walaupun dibangun
secara terpisah namun memiliki banyak kesamaan seperti terapi kognitif (Cognitif
therapy). Lebih dari setengah abad yang lalu, REBT telah dikembangkan secara
signifikan dan terus berubah (Froggatt, 2005).

Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) berdasar pada konsep bahwa emosi
dan perilaku merupakan hasil dari proses pikir yang memungkinkan bagi manusia
untuk memodifikasinya seperti proses untuk mencapai cara yang berbeda dalam
merasakan dan bertindak (Froggatt, 2005). Reaksi emosional seseorang sebagian
besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun
tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat
dari cara berpikir yang tidak logis dan irrasional, dimana emosi yang menyertai
individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irrasional.
Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki
kecenderungan untuk berpikir rasional dan irrasional. Ketika berpikir dan
bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan memiliki kemampuan.
Ketika berpikir dan bertingkahlaku irrasional individu itu menjadi tidak efektif.

Menurut Froggatt (2005) REBT mengemukakan suatu penjelasan tentang sebab
akibat biopsikososial yang merupakan kombinasi dari faktor biologis, psikologis
dan sosial yang mempengaruhi perasaan dan perilaku seseorang. REBT juga
berpendapat bahwa keadaan biologis seseorang juga mempengaruhi perasaan dan
perilakunya, ini merupakan hal yang penting dan perlu diingat oleh therapis untuk
memahami seberapa besar kemampuan manusia dapat berubah. Dari beberapa
pernyataan diatas dapat diketahui bahwa REBT berdasarkan pada konsep emosi
dan perilaku merupakan hasil dari proses pikir tentang apa yang mereka pikirkan,
asumsikan dan yakini tentang diri sendiri, orang lain dan lingkungannya yang
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
51

Universitas Indonesia
dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis dan sosial sehingga terlihat dari cara
individu merasakan dan bertindak terhadap masalah yang dihadapinya.

Konsep kunci teori Albert Ellis yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan
emotional Consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan
konsep atau teori ABC (Froggatt, 2005).
a. Antecedent event (A) yaitu seluruh peristiwa luar yang dialami atau terpapar
pada individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku,
atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan
seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi
seseorang.
b. Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu
terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu
keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak
rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara
berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan
menjadikan seseorang produktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan
keyakinan atau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal,
emosional, dan membuat orang tidak produktif.
c. Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai
akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan
emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi
emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa
variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
Albert Ellis juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis
harus melawan (Dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa
menikmati dampak-dampak (Effects; E) psikologis positif dari keyakinan-
keyakinan yang rasional.
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
52

Universitas Indonesia

Albert Ellis (Corsini & Wedding, 1989 dalam Dominic, 2003 ) berpendapat
bahwa yang perlu dirubah oleh individu untuk mengatasi masalah emosi maupun
perilakunya adalah adanya keyakinan irrasional yang dikembangkan sendiri oleh
individu. Pada umumnya keyakinan berada diluar kesadaran. Keyakinan
merupakan kebiasaan atau secara otomatis, yang terdiri atas aturan-aturan dasar
tentang bagaimana menjalani kehidupan di dunia. Dengan latihan manusia dapat
menggali keyakinan yang ada dibawah alam sadarnya (Froggatt, 2005).
Keyakinan yang tidak rasional dapat menghambat dalam mencapai tujuan,
membentuk emosi ekstrim yang bertahan, menjadi stress dan mengarah kepada
perilaku-perilaku yang membahayakan diri, orang lain dan kehidupan secara
umum, mendistorsi kenyataan (memberikan suatu interpretasi yang salah terhadap
kejadian dan tidak didukung oleh fakta), mengandung cara-cara yang tidak logis
dalam mengevaluasi diri sendiri, orang lain dan lingkungan seperti menuntut,
berperilaku kasar, tidak toleransi dan selalu menilai orang (Froggatt, 2005).
Berlandaskan pendapat tersebut, Albert Ellis (Corsini & Wedding, 1989 dalam
Dominic, 2003) mengembangkan sebuah terapi bernama REBT (Rational
Emotive Behavioural Therapy) untuk membantu orang mengubah keyakinan
irrasionalnya menjadi lebih rasional.

Menurut Froggatt (2005) Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk
membantu klien berubah adalah :
a. Membantu klien untuk memahami bahwa emosi dan perilaku disebabkan
karena keyakinan dan pikiran.
b. Tunjukkan kepada klien bahwa keyakinan yang relevan dapat terbuka. Format
ABC merupakan hal yang tidak ternilai disini. Menggunakan suatu peristiwa
dari pangalaman klien yang baru, terapi mencatatnya di C kemudian di A
. Klien ditanya untuk mempertimbangkan di B: apa yang telah saya katakan
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
53

Universitas Indonesia
pada diri sendiri tentang A untuk merasakan dan bertindak seperti yang
telah saya lakukan di C. Sebagai seorang klien yang membangun
pemahaman tentang pikiran irrasional yang alami, proses penyimpanan ini
akan menjadi lebih mudah. Pendidikan dapat dicapai melalui membaca,
penjelasan langsung dan analisis diri dengan bantuan terapi serta tugas (PR)
diantara sesi yang dilakukan.
c. Mengajarkan pada klien bagaimana cara menunjukkan tidak sependapat dan
merubah keyakinan yang tidak rasional serta menggantikannya dengan
alternative yang rasional. Dalam hal ini pendidikan akan membantu. Format
ABC digunakan dan diperluas dengan menambahkan D (Disputing
irrasional beliefs) dan E (the new Effect the client wishes to achieve seperti
cara baru dalam merasakan dan bertindak) dan F (Further Action untuk
dipilih oleh klien).
d. Membantu klien untuk dapat melaksanakan dengan berperan melawan
keyakinan yang irrasional. Memperdebatkan keyakinan yang ditolak tidak
dapat ditoleransi dengan bebas untuk melakukan sesuatu seperti menyerang
kemudian menemukan orang yang dapat bertahan, maka inilah yang
merupakan komponen utama dari REBT. Penekanan pada pemikiran ulang
dan tindakan membuatnya menjadi suatu alat yang kuat untuk berubah.


2.3.1 Indikasi Penerapan REBT
REBT telah berhasil membantu individu yang memiliki masalah secara klinis
maupun non klinis dengan menggunakan variasi dari modalitas yaitu :
a. Tipikal aplikasi klinis adalah penerapan REBT pada klien dengan
kondisi klinis atau masalah kesehatan seperti depresi, gangguan
kecemasan ( obsesif kompulsif, agoraphobia, agora spesifik, general
ansietas dan post traumatic), gangguan makan, adiksi, gangguan kontrol
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
54

Universitas Indonesia
impuls, manajemen marah, perilaku antisocial, gangguan personal,
kekerasan seksual, gangguan fisik atau gangguan mental, manajemen
stress, manajemen nyeri dan gangguan perilaku pada anak dan dewasa
serta masalah hubungan dalam keluarga.
b. Tipikal aplikasi non klinis adalah 1) pertumbuhan personal dimana
REBT berisikan prinsip yang terperinci yang menjelaskan tentang
ketertarikan diri, penerimaan diri dan cara pengambilan risiko yang dapat
digunakan untuk membantu individu mengembangkan diri dan bertindak
lebih fungsional dalam menjalani filosofi hidupnya (Froggatt. W, 1997).
2) Efektivitas ditempat kerja, DiMattia telah mengembangkan variasi dari
REBT yang dikenal dengan Rational Efektiveness Training yang
membantu efektivitas pekerja dan pimpinan di tempat kerja (DiMattia &
Ijzermans, 1996 dalam Froggatt W, 2005).

2.3.2 Prinsip latihan dalam REBT
a. Tujuan dasar dari REBT adalah meninggalkan klien dengan penyelesaian
masalahnya, kebebasan untuk memilih emosi, perilaku dan gaya hidup
sendiri ( dalam batasan fisik, sosial dan ekonomi) dengan metode
observasi diri dan perubahan personal yang akan membantu mereka
dalam mempertahankan keuntungannya.
b. Tidak semua emosi yang tidak menyenangkan dilihat sebagai disfungsi
dan juga sebaliknya. REBT tidak hanya melihat pikiran positif tetapi
lebih pada pikiran, emosi dan perilaku yang realistik dalam porsi yang
tepat terhadap kejadian atau keadaan yang dialami oleh klien.
c. Tidak ada satu cara untuk latihan REBT tapi dengan wawasan yang luas.
Meskipun REBT mempunyai tehnik tersendiri namun kadang juga
menggunakan pendekatan lain dan mengijinkan praktisi untuk
menggunakan imajinasinya sendiri.
d. REBT adalah edukatif dan kolaboratif. Klien belajar terapi dan belajar
untuk menggunakannya secara sendiri. Terapis menyediakan training dan
klien yang mempelajarinya sendiri. Tidak ada penjelasan yang tidak
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
55

Universitas Indonesia
disampaikan pada klien dan terapis bersama klien merancang PR yang
akan dilakukan klien di rumah.
e. Hubungan terapis dan klien sangat penting tetapi lebih kepada sebagai
fasilitator. Terapi menunjukan sikap empati, penerimaan yang tidak
terkondisi, dan memberikan dorongan. Terapis harus berhati-hati agar
aktivitas tidak menciptakan ketergantungan klien.
f. Ketika REBT dilakukan secara aktif dan langsung, terapis harus tetap
berada di dalam nilai-nilai yang dianut oleh klien. Cara baru dalam
berfikir akan mengembangakan kolaborasi.
g. Masa lalu dari individu terlihat relevan pada saat itu dengan banyaknya
pikiran irrasional yang masih asli tapi karena membuka masa lalu tidak
selalu membantu dalam mengubah reaksi individu di masa sekarang.
Terapis REBT jangan melibatkan terlalu banyak penggalian arkeologi.
h. REBT adalah ringkas dan mempunyai batasan waktu. Biasanya
melibatkan 5 sampai 30 sesi dengan waktu satu bulan sampai delapan
bulan. Waktu yang minimum tergantung pada latar belakang dan
informasi tentang riwayat klien. REBT berorientasi pada tugas dan
berfokus pada pemecahan masalah saat ini.
i. REBT penekanannya adalah perubahan dalam system keyakinan yang
mendasar dari klien dari pada upaya menghilangkan gejala-gejala saat ini.
Klien ditinggalkan dengan kemampuan untuk menolong diri sendiri dan
memungkinkan untuk melakukan koping pada waktu yang panjang di
masa depannya.

2.3.3 Proses Terapi REBT
Menurut Froggat, W. (2005) Komponen-komponen utama dari intervensi
REBT adalah :
a. Melibatkan Klien
Melibatkan klien merupakan langkah awal untuk membangun hubungan
dengan klien. Hal ini dapat dicapai dengan kondisi empati, hangat dan
saling menghormati. Menunggu Secondary Disturbances tentang
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
56

Universitas Indonesia
alasan mencari pertolongan: rendah diri setelah mengalami masalah atau
cemas akan menghadapi interview. Pada akhirnya cara yang terbaik
untuk melibatkan klien dalam REBT adalah dengan mendemontrasikan
tahap awal dimana perubahan memungkinkan dan REBT dapat
membantu mereka mencapai tujuan.

b. Menilai Masalah, Individu dan Situasi
Pengkajian akan bervariasi dari individu ke individu tapi mengikuti
aturan-aturan pada area yang telah ditetapkan dan akan dinilai sebagai
bagian dari intervensi REBT. Di mulai dari pandangan klien tentang
masalah apa yg ditemukan. Mencek tentang secondary disturbance:
bagaimana perasaan klien tentang masalah yang dihadapi. Lakukan
pengkajian secara umum dan tentukan adanya hubungan dengan
gangguan klinikal serta temukan riwayat personal dan sosial klien. Kaji
adanya masalah kekerasan, catat adanya faktor personal yang relevan dan
cek adanya penyebab yang bukan dari kondisi psikologis, riwayat
pengobatan, ketergantungan obat (Napza) dan faktor gaya hidup atau
lingkungan.


c. Mempersiapkan klien untuk terapi
1) Klarifikasi tujuan terapi dan pastikan hai ini konkrit, spesifik disetujui
oleh klien dan terapi untuk pelaksanaan REBT serta kaji motivasi
klien untuk berubah.
2) Diskusikan tentang dasar-dasar REBT dan model penyebab
Biopsikososial
3) Diskusikan tentang pendekatan yang digunakan dan implikasi terapi
serta membuat kesepakatan kontrak.


d. Implementasi program terapi
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
57

Universitas Indonesia
Sebahagian besar dari sesi-sesi terjadi pada fase implementasi,
menggunakan aktivitas seperti :
1) Menganalisis peristiwa khusus pada awal masalah terjadi. Pastikan
keyakinan dilibatkan, merubahnya dan mengembangkan tugas rumah
( Ini disebut Analisis Rasional)
2) Mengembangkan pengkajian perilaku untuk mengurangi ketakutan
dan modifikasi cara untuk bertindak.
3) Strategi dan tehnik tambahan yang tepat seperti relaksasi,
interpersonal skill training dan lainnya.

e. Evaluasi Perkembangan terapi
Pada akhir intervensi selalu akan diketahui terjadinya peningkatan
perubahan pada cara berpikir klien secara signifikan atau peningkatan
pada kondisi eksternal klien.

f. Mempersiapkan klien untuk terminasi
Apabila kita dapat mempersiapkan klien untuk menghadapi terjadinya
kemunduran merupakan hal yang bijaksana. Banyak orang setelah merasa
sehat berpikir telah diobati untuk selamanya sehingga ketika mereka
bertemu lagi dengan masalah yang sama seperti dahulu, mereka menjadi
putus asa dan menyerah. Penting untuk mengingatkan kemungkinan
terjadinya masalah emosi dan perilaku berulang, memastikan klien
mengetahui cara yang dapat dilakukan ketika gejala-gejala itu datang
kembali dan mendiskusikan pandangan klien untuk meminta pertolongan
bila masju7alahnya timbul kembali dengan memperhatikan keyakinan
yang tidak rasional dari klien bahwa meminta bantuan kembali berarti
mereka gagal dalam terapi.k

2.3.4 Tehnik-tehnik yang digunakan dalam REBT
Ellis merekomendasikan suatu pendekatan yang berwawasan luas untuk
terapi dengan menggunakan strategi REBT dan pendekatan lainnya namun
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
58

Universitas Indonesia
dipastikan bahwa strategi tersebut sesuai dengan teory REBT. Dibawah ini
ada beberapa prosedur yang dapat digunakan yaitu :
a. Tehnik Kognitif
Rational Analysis (Analisis Rasional) ; analisis dari peristiwa yang
spesifik untuk mengajarkan klien bagaimana cara membuka dan
memperdebatkan keyakinan yang tidak rasional yang biasa digunakan
pada sesi pertama dan setelah klien mendapatkan idenya maka klien
akan membawanya sebagai pekerjaan rumah (PR).
Double Standard Dispute (Perdebatan Standar Ganda); Bila klien
merasa rendah diri terhadap perilakunya, tanyakan apakah mereka akan
segera menilai orang lain (seperti teman baik atau terapis) dalam
melakukan hal yang sama atau merekomendasikan orang lain untuk
berpegang pada keyakinan utamanya.
Catastrophe Scale (Scala Bencana); Ini merupakan tehnik yang berguna
untuk mendapatkan perspektif yang hebat. Pada papan tulis putih atau
selembar kertas menggambarkan sebuah garis yang menurun dengan
menuliskan 100% pada bagian atas dan 0% pada bagian bawah dan 10%
interval diantaranya. Tanyakan pada klien pada tingkat berapa bencana
yang dirasakan dari masalah yang dihadapi kemudian masukkan item
tersebut ke dalam gambar pada tempat yang tepat kemudian isi tingkatan
(level) yang lainnya dengan item yang sesuai dengan pikiran klien. Pada
akhirnya apakah klien secara progresif mengubah posisi item yang
ditakutkannya dalam scala, sampai ketakutan yang ada dalam
perspektifnya dalam hubungannnya dengan item lainnya benar.
Devils Advocad (Severse Role Playing) ; ini adalah tehnik yang efektif
dan berguna, didisain agar klien dapat berdebat melawan keyakinan
irrasionalnya. Terapis bermain peran dengan mengadopsi keyakinan
klien yang tidak berguna dan dengan penuh semangat membantahnya,
ketika klien mencoba untuk meyakinkan terapis bahwa keyakinan itu
tidak berguna. Tehnik ini terutama digunakan pada klien yang
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
59

Universitas Indonesia
mengetahui keyakinannya yang irrasional namun membutuhkan
pertolongan untuk menggabungkan apa yang dipahami.
Reframing; suatu strategi lain untuk mendapatkan kejadian yang buruk
menjadi perspektif yang mengevaluasi ulang kejadian tersebut sebagai
hal yang mengecewakan, menjadi perhatian dan ketidaknyamanan dari
pada memandangnya sebagai hal yang sangat buruk atau yang tidak
tertahankan. Variasi dari reframing adalah membantu klien untuk
melihat bahwa kejadian buruk sekalipun selalu mempunyai sisi positif,
dan membuat daftar hal-hal positif yang dapat di pikirkan oleh klien.

b. Imagery Techniques (Tehnik Perumpamaan)
Time Projection; Tehnik ini di desain untuk menunjukkan bahwa
kehidupan seseorang dan dunia secara umum akan terus berlanjut setelah
rasa takut dan kejadian yang tidak diinginkan datang dan pergi. Meminta
klien untuk melihat kejadian yang tidak diinginkan itu terjadi dan
bayangkan kejadian tersebut berjalan terus dalam seminggu, sebulan,
enam bulan, setahun, dua tahun dan seterusnya, pertimbangkan
bagaimana perasaan klien untuk setiap waktu yang dilewati. Klien akan
mampu melihat bahwa hidup akan terus berjalan meskipun mereka
membutuhkan penyesuaian dri untuk itu.
The Blow Up Technique; Ini adalah variasi dari pembayangan kasus
yang terburuk (Worst Case Imagery) yang digabungkan dg
menggunakan humor untuk menghasilkan pengalaman hidup yang
mengesankan bagi klien. Ini semua melibatkan klien dengan meminta
klien untuk membayangkan kejadian yang menakutkan terjadi kemudian
dilepaskan keluar seluruhnya sehingga klien merasakan terhibur karena
itu. Menertawakan ketakutan akan membantu dalam mengontrolnya.
Tehnik ini memerlukan sensitifitas dan waktu yang tepat dalam
menggunakannya.

c. Behaviour Techniques (Tehnik Perilaku)
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
60

Universitas Indonesia
Exposure; Strategi perilaku biasanya yang sering digunakan dalam
REBT adalah dengan melibatkan klien untuk memasuki situasi yang
membuatnya takut dan biasanya klien akan menghindar. Seperti
Exposure yang disengaja, direncanakan dan dibawa dengan
menggunakan kognitif dan keterampilan koping lainnya. Tujuannnya
adalah : (1) menguji validitas ketakutan seseorang (penolakan tidak
akan bertahan), (2) De-awfulise them (dengan melihat bahwa
catastrophe tidak terjadi), (3) Mengembangkan kepercayaan diri agar
dapat melakukan koping (dengan sukses mengatur tindakan seseorang),
dan (4) Meningkatkan toleransi terhadap rasa ketidaknyamanan (
menemukan peningkatan dalam bertahan).
Shame Attacking; ini adalah tipe dari exposure yang melibatkan
konfrontasi terhadap rasa takut akan malu dengan bebas melakukan
tindakan dengan cara mengantisipasi klien menolak penyerangan (Pada
saat waktu yang sama, menggunakan tehnik cognitive dan emosi untuk
hanya merasakan perhatian atau kekecewaan).
Risk Taking; Tujuannya adalah untuk menantang keyakinan yang
menimbulkan perilaku yang berisiko membahayakan, ketika alasan yang
dikatakan dari hasil tidak ada garansinya maka mereka memiliki
kesempatan yang berharga. Sebagai contoh seseorang yang takut akan
ditolak malah mencoba untuk mengajak seseorang untuk berkencan.
Paradoxical Behaviour ; Ketika klien berharap untuk merubah
kecendrungan disfungsi, hal ini mendorong klien secara bebas untuk
bertindak dengan suatu cara kontradiksi terhadap kecendrungan tersebut.
Latihan untuk perilaku yang baru walaupun tidak secara spontan maka
berangsur-angsur terinternalisasi menjadi kebiasaan baru.
Steping Out of Character ; merupakan salah satu tipe dari paradoxical
behavior. Sebagai contoh seorang perfeksionis dapat melakukan segala
sesuatu dengan bebas untuk yang kurang dari standar mereka biasanya.
Postponing Gratification; Biasanya digunakan untuk melawan
rendahnya toleransi terhadap frustrasi dengan bebas mengurangi rokok,
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
61

Universitas Indonesia
memakan makanan yang manis, menggunakan alcohol, aktivitas seksual
dan sebagainya.

d. Home Work ( Pekerjaan Rumah/ PR)
Pekerjaan rumah (PR) adalah merupakan strategi yang paling penting
dalam REBT. Kegiatan yang termasuk didalamnya adalah aktivitas
membaca, latihan menolong diri sendiri dan pengalaman aktivitas. Sesi-
sesi dalam terapi adalah sesi-sesi latihan, dimana klien mencoba dan
menggunakan apa yang sudah dipelajari.

2.3.5 Fase dan Sesi dalam REBT
Ellis (1973, hlm. 192) menyatakan bahwa pada penanganan terapi
individual pada pelaksanaannya diharapkan memiliki satu sesi dalam setiap
minggunya dengan jumlah antara lima sampai lima puluh sesi. Dimana pada
pelaksanaan terapi ini klien diharapkan mulai dengan mendiskusikan
masalah-masalah yang paling menekan dan menjabarkan perasaan-perasaan
yang paling membingungkan dirinya. Kemudian terapis juga mengajak klien
untuk melihat keyakinan-keyakinan irasional yang diasosiasikan dengan
kejadian-kejadian pencetus dan mengajak klien untuk mengatasi keyakinan-
keyakinan irasionalnya dengan menugaskan kegiatan pekerjaan rumah yang
akan membantu klien untuk cecara langsung melumpuhkan gagasan-
gagasan irasionalnya itu serta membantu klien dalam mempraktekkan cara-
cara hidup yang lebih rasional.

Berdasarkan Banks dan Zionts (2009) untuk membimbing guru-guru
menggunakan pendekatan REBT secara garis besar disediakan 14 sesi dan
direncanakan 4 pelajaran. Sesi-sesi di kelompokkan menjadi 4 fase yang
disarankan untuk dikembangkan selama periode. Seluruh sesi-sesi sudah
dinyatakan tujuan, objektif dan aktivitas pembelajarannya. Jumlah sesi
tergantung pada kemampuan belajar individu dan disiplin waktu untuk
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
62

Universitas Indonesia
mengajarkan keterampilan berpikir rasional. Penyelesaian dari 14 sesi ini ,
pelajar harus mampu untuk mengidentifikasi kejadian yang telah terjadi,
mengidentifikasi dan menilai konsekuensi dari emosi yang ditimbulkan dan
menanyakan keyakinannya.

a. Fase I Persiapan kognitif : Keterampilan berupa kesiapan terhadap
REBT
Sesi 1-2 : Bina Hubungan dan Harapan-harapan.


Tujuan :
Membangun suatu hubungan dengan pelajar dan untuk
menginformasikan serta memotivasi pelajar agar ikut serta dalam
aktivitas dan diskusi. Tujuan lainnya adalah menyepakati kontrak (kapan
akan bertemu, jam berapa dan tempatnya).

Fokusnya adalah dilemma moral yang diambil dari The Defining Issues
Test (Rest, 1980 dalam Banks & Zions, 2009). Sesi ini digunakan untuk
menjelaskan apa yang harus dilakukan dan mengapa hal itu dapat
menolong mereka. Adapun aktivitas yang dilakukan pada sesi ini adalah
membuat thermometer perasaan (Feellings Thermometers), Menilai
kejadian berdasarkan thermometer perasaan yang telah dibuat dan saran
yang diberikan terkait dengan hal yang didiskusikan sebelumnya. Sebagai
pekerjaan rumahnya kelompok pelajar diminta untuk memikirkan
peraturan peraturan yang dapat membantu pelajar dalam proses dan di
dokumentasikan.

Sesi 3 5 : Memahami perasaan
Objektif dari pembelajaran dan aktivitas dalam fase ini untuk membantu
pelajar memahami, mengidentifikasi, mengukur dan menghubungkan
perasaan dengan pikiran (Zionts, 1996 dalam Banks & Zionts, 2009).
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
63

Universitas Indonesia
Aktivitas pada sesi ini termasuk di dalamnya adalah thermometer
perasaan, dimana membantu pelajar mempelajari bagaimana cara melabel
perasaan dan mengelompokkan beberapa perasaannya dalam suatu usaha
untuk intensitas hubungan yang lebih baik dari perasaan-perasaan
tersebut. Pelajar diminta untuk: membuat thermometer perasaan sendiri,
mengekspresikan intensitas dari perasaan dengan menggunakan
thermometer perasaan. Ini sudah termasuk 3 sesi dalam 30 menit.


Mengidentifikasi perasaan terdiri atas :
1) Tujuan :
Prasyarat bagi pelajar agar berhasil mengatur emosi-emosi yang
membahayakan untuk mengidentifikasi perasaan yang pernah
dialaminya. Tujuan dari aktivitas ini adalah tidak hanya untuk
membantu pelajar mengidentifikasi emosinya tetapi juga memaparkan
pada mereka emosi-emosi mereka sendiri.
Membantu pelajar untuk memahami bahwa adanya suatu rentang dari
perasaan dimana seseorang dapat belajar untuk menggunakannya
ketika dihadapkan dengan kejadian yang negatif.

2) Objektif : Ketika diberikan suatu situasi pelajar akan melakukan
penyesuaian dengan thermometer perasaan sesuai dengan reaksi
emosinya. Pelajar akan membagi paling tidak satu dari emosinya
untuk didiskusikan.

Sesi 6 10 : Fakta Lawan Opini
Objektif pelajaran dan aktivitas pada sesi ini adalah untuk membantu
pelajar mendefinisikan dan menemukan perbedaan antara fakta dan opini.
Berfikir berdasarkan fakta atau kejadian akan meningkatkan hasil dalam
mengurangi irrasional dan menurunkan gangguan emosional (Zionts,
1996 dalam Banks & Zionts, 2009). Berpikir berdasarkan opini atau
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
64

Universitas Indonesia
persepsi dari suatu kejadian dapat meningkatkan gangguan emosional dan
dapat menghasilkan goal defeating behaviours (Zionts, 1996 dalam
Banks & Zionts, 2009).

Fakta atau Opini :
1) Tujuan :
Teori dari REBT mendorong keyakinan bahwa orang yang merasa
stress karena ketidakmampuannya untuk melihat situasi berdasarkan
kenyataannya. Beberapa orang tidak dapat membedakan antara fakta
dan opini.
Membantu individu untuk memahami perbedaan antara kenyataan
dan opini

2) Objektif : Ketika diberikan kalimat-kalimat, baik secara lisan maupun
tertulis, pelajar akan dapat mengidentifikasi bahwa itu adalah fakta
atau opini.

b. Fase II : Keterampilan yang diperoleh adalah Belajar Model Kognitif
Sesi 11 15 : Belajar ACBs.
Objektif yang dipelajari pada sesi ini adalah didisain untuk mengajarkan
pelajar tentang :
1) A (ctivating event) : Mengidentifikasi kejadian atau situasi yang
sedang terjadi . A adalah masalah utama yang dirasakan oleh
pelajar. Pelajar diminta untuk menggambarkan apa yang telah
membuat emosinya timbul. A sering dijelaskan dalam bentuk hasil
obsevasi.
2) C(onsequence): Pelajar menilai level dari perasaannya dan
membangun suatu tujuan untuk mencapai upaya menurunkan
intensitas, durasi dan frekuensi dari emosi yang mengganggu.
3) B(elief system) : Pelajar berpikir untuk menganalisa dan
mengidentifikasi keyakinan-keyakinan atau pola pikirnya yang
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
65

Universitas Indonesia
membentuk konsekuensi emosi (C) (Vernon, 1996;Zionts, 1996
dalam Banks & Zionts, 2009). Pertanyaan yang berhubungan dengan
B ini adalah apa yang kamu pikirkan tentang situasi ini?. Diskusi
dilakukan untuk penguatan dalam belajar, latihan keterampilan dan
mengetahui tentang pemahaman pelajar.


Belajar Model Kognitif
1) Tujuan :
Mendorong keyakinan bahwa orang yang merasa stress karena
ketidakmampuannya untuk melihat situasi berdasarkan kenyataannya.
Beberapa orang tidak dapat membedakan antara fakta dan opini.
Membantu individu mempelajari komponen dari strategi kognitif dan
perilaku.

2) Objektif : Ketika pelajar diberikan sebuah huruf (A, B atau C), baik
secara lisan maupun tulisan. Pelajar akan mampu mengidentifikasi
A, C, dan B dari model kognitif.

c. Fase III : Aplikasi dari Latihan yaitu latihan Model kognitif
Sesi 16 20 : mendiskusikan A dan C serta pertanyaan Bs.
Objektif dari kegiatan dalam fase ini di disain agar pelajar dapat
mengaplikasikan keterampilan yang dipelajari selama berpartisipasi
dalam diskusi yang difokuskan pada situasi atau kejadian dari masalah.
Individubertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam mengidentifikasi
kejadian yang sedang terjadi (A), Konsekuensinya (C), dan keyakinan
(B). Tujuan utama dari setiap sesi adalah untuk memahami keterampilan
yang diajarkan karena prasyarat untuk sesi berikutnya dan akan lebih baik
pelajar diberi kesempatan untuk mendemontrasikan setiap sesi yang
sudah dipelajari sebelum masuk ke sesi berikutnya. Dalam beberapa
kasus terapis dapat memodifikasi REBT agar lebih dapat dipahami oleh
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
66

Universitas Indonesia
partisipan. Latihan strategi kognitif dapat dikenalkan sebagai tugas di
rumah (PR). Riset sebelumnya telah mengindikasikan bahwa strategi
kognitif termsuk komponen pekerjaan rumah yang akan menguatkan
pencapaian keterampilan secara keseluruhan, me3nyarankan bahawa
individu dapat lebih fleksibel dalam menggunakan keterampilan pada
seting yangberbeda (DiGiuseppe & Benard, 1990 dalam Banks & Zionts,
2009)

Dengan demikian dari hasil pelaksanaan REBT yang dilakukan Banks dan Zionts
terhadap pelajar terlihat bahwa ada 20 sesi yang dilaksanakan dengan dibagi
kedalam 3 fase secara garis besar. REBT yang dilakukan ini dalam bentuk
kelompok pelajar. Namun peneliti nantinya akan merencanakan pelaksanaan
REBT pada individu. Seperti yang disampaikan oleh Corsini (1987) bahwa
REBT menggunakan bentuk psikoterapi baik bersifat individu maupun bersifat
kelompok.


2.3.6 Aplikasi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)
Berdasarkan teori dan konsep tentang Rational Emotive Behaviour Therapy
(REBT) yang disampaikan oleh para ahli dan hasil peneliatiannya maka
peneliti memodifikasi beberapa hal yang disesuaikan dengan kebutuhan
penelitian ini dengan tetap berpedoman pada konsep dasar dari REBT itu
sendiri.

Pengertian :
REBT adalah suatu metoda terapi yang menggunakan pendekatan kognitif
dan perilaku untuk memahami dan mengatasi masalah emosi dan perilaku
negatif yang berasal dari keyakinan-keyakinan yang tidak rasional
(irrasional). REBT merupakan suatu pendekatan kognitif dan perilaku yang
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
67

Universitas Indonesia
mengemukakan fakta-fakta bahwa perilaku yang dihasilkan bukan berasal
dari kejadian yang dialami namun dari keyakinan keyakinan yang tidak
rasional.



Tujuan REBT :
Membantu individu untuk dapat menolong diri sendiri dengan mengajarkan
cara mengubah keyakinan irrasionalnya menjadi lebih rasional melalui
pembelajaran dan latihan terhadap kognitif, emosi dan perilaku sehingga
memungkinkan bagi klien untuk melakukan koping dalam jangka waktu yang
panjang di masa yang akan datang.

Indikasi REBT :
a. Aplikasi klinis adalah depresi, gangguan kecemasan (obsesif kompulsif,
agoraphobia, agora spesifik, general ansietas dan post traumatic),
gangguan makan, adiksi, gangguan kontrol impuls, manajemen marah,
perilaku antisocial, gangguan personal, kekerasan seksual, gangguan fisik
atau gangguan mental, manajemen stress, manajemen nyeri dan gangguan
perilaku pada anak dan dewasa serta masalah hubungan dalam keluarga.
b. Aplikasi non klinis adalah pertumbuhan personal yang dapat digunakan
untuk membantu individu mengembangkan diri dan bertindak lebih
fungsional dalam menjalani filosofi hidup dan efektivitas ditempat kerja.


Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
68

Universitas Indonesia
Peran Terapis
a. Terapis sebagai trainer, REBT adalah edukatif dan kolaboratif. Klien
belajar terapi dan belajar untuk menggunakannya secara sendiri. Terapis
menyediakan training dan klien yang mempelajarinya sendiri. Tidak ada
penjelasan yang tidak disampaikan pada klien dan terapis bersama klien
merancang PR yang akan dilakukan klien di rumah.
b. Terapis sebagai fasilitator, hubungan terapis dan klien sangat penting
tetapi lebih kepada memberikan dorongan. Terapi menunjukan sikap
empati, penerimaan yang tidak terkondisi,dan terapis harus berhati-hati
agar aktivitas tidak menciptakan ketergantungan pada klien.


Fase dan Sesi dalam aplikasi REBT
Berdasarkan teori dan konsep yang dijelaskan tentang Rational Emotive
Behaviour Therapy (REBT) maka peneliti melakukan modifikasi terhadap
terapi yang akan dilaksanakan yaitu peneliti menggunakan 3 Fase yang
didalamnya terdiri atas 5 sesi.

1. Fase I
a. Sesi 1: Persiapan Kognitif : Bina hubungan dan harapan-
harapan
Tujuan : Klien mampu membina hubungan saling percaya dengan
terapis
Tindakan :
1) Bina hubungan saling percaya
2) Mendiskusikan dan membuat thermometer perasaan
3) Menilai kejadian yang menimbulkan perasaan

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
69

Universitas Indonesia
b. Sesi 2 : Persiapan Kognitif : Memahami perasaan
Tujuan : Klien mampu memahami rentang dari perasaan
Tindakan :
1) Memahami, mengidentifikasi dan menghubungkan perasaan
dengan pikiran.
2) Melabel dan mengelompokkan perasaan yang membahayakan dan
perasaan yang pernah dialami.
3) Mendiskusikan situasi yang dialami dan menyesuaikan dengan
thermometer perasaan sesuai dengan reaksi emosinya.

c. Sesi 3 : Persiapan Kognitif : Fakta Lawan Opini
Tujuan : Klien mampu membedakan antara kenyataan dengan
opini/persepsi
Tindakan :
Belajar membedakan antara kenyataan dengan opini/persepsi melalui
pemberian stimulus berupa kalimat-kalimat pernyataan

2. Fase II
Sesi 4: Belajar model Kognitif : ACBs
Tujuan : Klien mampu mempelajari komponen dari strategi kognitif dan
perilaku
Tindakan :
a. Mendiskusikan dan mengajarkan individu tentang Rational Self
Analysis yang terdiri atas :
A (Activating Event) : Mengidentifikasi kejadian yang sedang terjadi
C (Consequence) : Bagaimana individu bereaksi terhadap kejadian
B (Belief system) : Evaluasi pemikiran terhadap kejadian
E (new Effect) : Bagaimana saya seharusnya merasakan dan
berperilaku
D (Disputing) : Keyakinan rasional yang baru untuk menolong
menghadapi reaksi terhadap peristiwa
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
70

Universitas Indonesia
F (Further action) : Apa yang akan dilakukan untuk menghindari
berulangnya pikiran irrasional yang sama

3. Fase III
Sesi 5: Latihan Model Kognitif : ACBs
Tujuan : Klien mampu menerapkan keterampilan yang diperoleh
Tindakan :
a. Mendemontrasikan keterampilan yang dilatih dalam
mengidentifikasikan kejadian (A), Konsekuensi(C) dan (B)
keyakinan.
b. Mengaplikasikan kemampuan dan berpartisipasi dalam
mengidentifikasi kejadian (A), Konsekuensi(C) dan (B) keyakinan.

Tujuan utama dari setiap sesi adalah untuk memahami keterampilan yang
diajarkan karena prasyarat untuk sesi berikutnya dan akan lebih baik individu
diberi kesempatan untuk mendemontrasikan setiap sesi yang sudah dipelajari
sebelum masuk ke sesi berikutnya. Dalam beberapa kasus terapis dapat
memodifikasi REBT agar lebih dapat dipahami oleh partisipan. Latihan strategi
kognitif dapat dikenalkan sebagai tugas di rumah (PR).





Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
69

Universitas Indonesia

BAB 3
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS
DAN DEFINISI OPERASIONAL

Dalam bab ini akan diuraikan tentang kerangka teori, kerangka konsep, hipotesis dan
definisi operasional yang memberikan arah pada pelaksanaan penelitian.
3.1 Kerangka Teori Penelitian
Kerangka teori ini merupakan uraian dari kerangka teoritis yang digunakan
sebagai landasan teori dalam penelitian ini. Kerangka teori ini disusun dengan
modifikasi konsep-konsep teori yang diuraikan dalam BAB 2, yaitu tentang
skizoprenia, perilaku kekerasan, dan psikoterapi rasional emotif behaviour terapi
(REBT).

Skizoprenia menurut Videbeck (2008) adalah suatu penyakit yang
mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi,
gerakan, dan perilaku yang aneh. Menurut Stuart dan Laraia (2005) Skizoprenia
banyak penyebabnya, dapat disebabkan oleh faktor biologis seperti genetik,
neurotransmiter, neurobiologi, perkembangan saraf otak dan teori-teori virus;
faktor psikologis seperti pola asuh orang tua terhadap anak didalam keluarga;
faktor sosial seperti sosiokultural: pengangguran, ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasar, kesulitan dalam mempertahankan hubungan
interpersonal dan kontrol sosial. Skizoprenia dikelompokkan atas beberapa tipe
berdasarkan DSM-IV-TR (APA, 2000) yaitu skizoprenia paranoid, disorganisasi,
katatonik, terdiferensiasi, dan residual. Menurut Keliat (2003) pada skizoprenia
paranoid lebih sering terjadi perilaku kekerasan.

Perilaku kekerasan/agresifitas adalah perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik atau psikologis (Berowitz dalam Soetjiningsih, 2004).
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon maladaptif dari marah. Marah
adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
70

Universitas Indonesia

merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan
lisan, kekecewaan atau frustrasi (Chaplin, 2002 dalam Triantoro, 2009).

Penyebab terjadinya respon marah yang maladaptif seperti perilaku kekerasan
menurut Stuart dan Laraia (2005) dapat diketahui dari faktor biologi,
psikologis, sosial budaya dan spiritual. Penyebab dari Faktor biologis seperti
system limbik, lobus frontal, hypothalamus, dan neurotransmitter. Adapun
penyebab dari faktor psikososial adalah penolakan, mengalami atau menjadi
korban kekerasan, sering melihat kekerasan dalam keluarga menurut Kneisl;
Wilson dan Trigoboff, (2004), terputusnya hubungan ibu dan bayi, dorongan
yang bersifat bawaan menurut teori psikoanalitik Freud, dan menurut teori
psikologikal karena kebutuhan dan kekurangan individu. Sedangkan menurut
Boyd dan Nihart (1998) terjadinya perilaku agresif atau perilaku kekerasan
secara psikologis adalah dorongan naluri, adanya gangguan atau hambatan dalam
mencapai tujuan, stimulus internal dan eksternal yang dirasa sebagai suatu yang
berbahaya, emosi negatif yang membawa pada perilaku irrasional dan gaya
interaksi yang memaksa. Sementara penyebab dari faktor sosial budaya dan
spiritual adalah kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup,
masalah perkawinan, keluarga single parent, pengangguran, kesulitan
mempertahankan tali persaudaraan, struktur keluarga, dan kontrol sosial ( Stuart
& Laraia, 2005). Aspek spiritual adalah komponen kehidupan individu yang
terkait dengan falsafah hidup, nilai, keyakinan dan religi (Rawlins, et. al, 1993
dalam Keliat, 2003). Keyakinan akan membantu individu dalam memilih
ekspresi kemarahan yang diperbolehkan.

Menurut Stuart dan Laraia (2005), Perilaku kekerasan dapat dilihat dari
motorik, verbalisasi, afektif dan tingkat kesadaran. Sedangkan menurut Boyd dan
Nihart (1998) tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat diketahui secara
kognitif, afektif, perilaku dan fisiologi.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
71

Universitas Indonesia

Individu dengan perilaku kekerasan/ agresif membutuhkan terapi psikofarmaka
yang tepat dan Psikoterapi yang akan membantu klien untuk menghilangkan
perilaku yang maladaptif dan menggantinya dengan perilaku adaptif. Terapi
psikofarmaka yang efektif untuk mengatasi perilaku agresif (Allen et al, 2003
dalam Stuart & Laraia, 2005) adalah: Antiansietas dan sedative hypnotics,
Antidepresan, mood stabilizer, antipsikotik. Adapun tindakan keperawatan untuk
perilaku kekerasan yang telah dikembangkan melalui riset adalah edukasi pada
individu melalui standar asuhan keperawatan (SAK) (Keliat, 2003). Disamping
itu berdasarkan beberapa literatur psikoterapi yang dapat diberikan untuk klien
dengan perilaku kekerasan adalah Assertiveness training (Rawlins, Williams,
Beck, 1993), Cognitive behavioral therapy (CBT), Relaxation training, Family
psychoeducation, Therapeutic group (Stuart & Laraia, 2005), Triangle therapy
dan Psychoeducational group (Varcarolis, Carson, & Shoemaker, 2006) dan
Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) (Ellis, 1977; Vacarolis, 2006;
Jensen, 2008).

Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT) adalah suatu metode untuk
memahami dan mengatasi masalah emosi dan perilaku. REBT merupakan salah
satu terapi kognitif dan perilaku yang mengemukakan fakta-fakta bahwa perilaku
yang dihasilkan bukan berasal dari kejadian yang dialami namun dari keyakinan
keyakinan yang tidak rasional (Jensen, 2008). Teori REBT menegaskan bahwa
keyakinan yang tidak rasional akan membawa individu pada emosi dan perilaku
negatif yang tidak sehat seperti perilaku amuk (agresif) dan rasa bersalah
(Jensen, 2008). Konsep kunci teori REBT menurut Albert Ellis yaitu Antecedent
event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang
kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC dan beliau juga menambahkan
Dispute (D) dan Effects (E) (Froggatt, 2005).

Menurut Banks dan Zionts fase dari pelaksanaan REBT terdiri atas Fase I
Persiapan kognitif : Keterampilan berupa kesiapan terhadap REBT, Fase II
Keterampilan yang diperoleh yaitu belajar model kognitif dan Fase III Aplikasi
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
72

Universitas Indonesia

dari latihan yaitu latihan model kognitif. Dari ketiga fase tersebut dibagi menjadi
sesi-sesi yang terdiri atas :
1. Fase I terdiri atas sesi 12 yang disebut sesi membina hubungan dan
mengidentifikasi harapan.
2. Fase II terdiri atas sesi 3- 5 yang disebut Memahami perasaan dan sesi 6 10
yang disebut sesi Fakta lawan opini.
3. Fase III terdiri atas sesi 11 15 yang disebut sesi Belajar ACBs dan sesi 16
20 yang disebut sesi Mendiskusikan A dan C serta pertanyaan Bs.
Gambaran kerangka teori penelitian yang telah dilakukan berdasarkan teori-teori yang
sudah dijelaskan sebelumnya dapat dilihat pada skema 3.1




















Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
73

Universitas Indonesia


Skema 3.1 Kerangka Teori






Faktor-Faktor penyebab
Perilaku Kekerasan















B. Kerangka Konsep
Faktor Biologis
system limbic
Lobus frontal
Hypothalamus
Neurotransmitter.
Faktor psikososial
Penolakan
mengalami dan melihat
kekerasan
hubungan ibu dan anak,
kebutuhan dan kekurangan
individu
hambatan dalam mencapai tujuan
emosi negatif yang membawa
pada perilaku irrasional
Faktor sosial budaya dan spiritual
kemiskinan
ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan hidup
Masalah perkawinan
Keluarga single parent
Pengangguran
kesulitan mempertahankan tali
persaudaraan, struktur keluarga,
Intervensi Keperawatan
a. Standar Asuhan Keperawatan (SAK) pada klien Perilaku Kekerasan(KeIiat, 2003).
b. Psikoterapi pada klien Perilaku Kekerasan :
Assertiveness training (RawIins, WiIIiams, Beck, 1993), Cognitive behavioral
therapy (CBT) (Stuart and Laraia, 2005), Relaxation training (Stuart and
Laraia, 2005), Family psychoeducation(Stuart and Laraia, 2005), Therapeutic
group(Stuart and Laraia, 2005), Triangle therapy (VarcaroIis, Carson, and
Shoemaker, 2006) dan Psychoeducational group (VarcaroIis, Carson, and
Shoemaker, 2006) serta Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) (EIIis,
1977; Jensen, 2008)..

Fase-fase dan sesi pada REBT
1. Fase I terdiri atas sesi 12 yang disebut sesi membina hubungan dan mengidentifikasi
harapan, atas sesi 3- 5 yang disebut Memahami perasaan dan sesi 6 10 yang disebut
sesi Fakta lawan opini.
Perilaku Kekerasan
Kognitif
Afektif
Perilaku
Fisiologi.
Sosial
Psikofarmaka
Antiansietas, sedative hypnotics,
Antidepresan, mood stabilizer,
antipsikotik.
Skizoprenia terbagi atas :
Paranoid Disorganisasi
Katatonik Terdiferensiasi
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
74

Universitas Indonesia


3.2 Kerangka Kansep Penelitian
Kerangka konsep merupakan kerangka kerja dalam melakukan penelitian
perilaku kekerasan berdasarkan respon yaitu kognitif, afektif (emosi), perilaku
fisiologi dan sosial. Perilaku kekerasan dalam penelitian ini di intervensi dengan
memberikan klien psikoterapi yaitu Rational Emotive Behaviour Therapy
(REBT). Proses terapi REBT yang diterapkan pada klien dengan perilaku
kekerasan menghasilkan perubahan perilaku berdasarkan tanda dan gejala
perilaku kekerasan yaitu kognitif, afektif (emosi), perilaku, fisiologis dan sosial.

Kerangka konsep penelitian ini terdiri atas 3 variabel yaitu variabel dependen,
variabel independen dan variabel perancu (Confounding).

3.2.1. Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat
karena variabel bebas (Hidayat, 2007). Pada penelitian ini yang menjadi
variabel terikat adalah perubahan perilaku pada klien dengan perilaku
kekerasan. Perubahan perilaku meliputi kognitif, afektif (emosi),
perilaku, fisiologis dan sosial (Boyd & Nihart, 1998; Stuart & Laraia,
2005).

3.2.2. Variabel independen merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan
atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Hidayat, 2007). Variabel
independen dalam penelitian ini adalah terapi REBT yang digunakan
sebagai intervensi kepada klien dengan perilaku kekerasan (Ellis, 1977;
vacarolis, 2006; Jensen, 2008).


3.2.3. Variabel Perancu merupakan faktor-faktor dalam karakteristik responden
yang diduga dapat mempengaruhi variabel dependen dan variabel
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
75

Universitas Indonesia

independen dalam penelitian ini. Variabel perancu memiliki tujuh
karakteristik adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, riwayat gangguan jiwa dan frekuensi dirawat (Sounders,
2006; Stuart & Laraia, 2005; Keliat, 2003; Keliat dkk. 2008). Pada
penelitian ini yang dijadikan variabel counfaundingnya adalah usia, jenis
kelamin, pendidikan,pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan frekuensi
dirawat .

Pada Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) ini berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Banks dan Zions (2009) terhadap pelajar terdiri atas 3 fase
yang terdiri atas 20 sesi. Namun pada penelitian ini peneliti mencoba untuk
sedikit memodifikasi sesinya menjadi 5 sesi secara umum, seperti yang
diungkapkan dalam teori sebelumnya bahwa jumlah sesi tergantung pada
kemampuan responden dalam mempelajari REBT. Peneliti melaksanakan REBT
pada klien dengan perilaku kekerasan dalam 3 fase yang terdiri atas 5 sesi yaitu :
1. Fase I terdiri atas sesi 1 yang disebut sesi membina hubungan dan
mengidentifikasi harapan , sesi 2 yang disebut memahami perasaan dan sesi 3
yang disebut sesi Fakta lawan opini.
2. Fase II terdiri atas sesi 4 yang disebut sesi belajar model kognitif ACBs
3. Fase III terdiri atas sesi 5 yang disebut sesi latihan model kognitif ACBs.

Keterkaitan ketiga variable yaitu bebas, terikat dan perancu tersebut dapat dilihat
pada skema 3.2





Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
76

Universitas Indonesia





Skema 3.2 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen








Variabel Dependen Variabel Dependen
















REBT
1. Fase I : Persiapan Kognitif
Terdiri atas sesi 1 yang disebut sesi membina hubungan dan
mengidentifikasi harapan, sesi 2 yang disebut Memahami
perasaan dan sesi 3 yang disebut sesi Fakta lawan opini..
2. Fase II:Keterampilan : Belajar model kognitif ACBs
Terdiri atas sesi 4 yang disebut sesi Belajar ACBs
3. Fase III: Aplikasi /latihan Model Kognitif ACBs
Perilaku Kekerasan
yang meliputi :
Kognitif, , , , Afektif, , , ,
Perilaku , , , , Fisiologis
dan sosial.

Perilaku Kekerasan
yang meliputi :
Kognitif, Afektif,
Perilaku , Fisiologis dan
sosial.

Variabel Perancu

1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Pendidikan
4. Pekerjaan
5. Riwayat gangguan jiwa
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
77

Universitas Indonesia










3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep penelitian, maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut :
1. Ada perubahan perilaku kekerasan pada klien yang mendapatkan terapi
Rational Emotive Behaviour Therapy terhadap perubahan perilaku pada klien
dengan perilaku kekerasan
2. Ada perubahan perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan sebelum dan
sesudah diberikan Rational Emotif Behaviour Therapy.
3. Ada perbedaan perubahan perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan
antara yang mendapatkan terapi generalis dan Rational Emotif Behaviour
Therapy dengan yang hanya mendapatkan terapi generalis
4. Ada kontribusi karakteristik klien terhadap hubungan terapi Rational Emotif
Behaviour Therapy dengan perubahan perilaku kekerasan.

3.4 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional dan
berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
78

Universitas Indonesia

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau
fenomena (Hidayat, 2007). Definisi operasional dalam penelitian ini ditentukan
dengan menggunakan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian yang dapat
diuraikan seperti pada tabel 3.3.



Tabel 3.3
Definisi Operasional Variabel Penelitian
(Variabel Confounding, Dependen, dan Independen)


N
o.
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
A Variabel Confounding (Karakteristik Klien dengan Perilaku Kekerasan)
1. Usia Umur responden sejak
lahir sampai dengan
ulang tahun terakhir.

Satu item
pertanyaan
dalam kuesioner
A tentang usia
responden

Dinyatakan dalam
tahun
Interval
2. Jenis Kelamin Merupakan
pembedaan dari
gender responden

Satu item
pertanyaan
dalam kuesioner
A tentang jenis
kelamin
responden.
1. Laki-laki
2. Perempuan
Nominal
3. Pendidikan Tingkat pendidikan
formal yang ditempuh
berdasarkan ijazah
terakhir

Satu item
pertanyaan
dalam kuesioner
A tentang
pendidikan
terakhir
responden

1. SD SMP
2. SMU -
Perguruan
Tinggi

Ordinal
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
79

Universitas Indonesia

4. Pekerjaan

Usaha yang dilakukan
baik di dalam maupun
di luar rumah untuk
mendapatkan
penghasilan/imbalan
yang sesuai dengan
usahanya

Satu item
pertanyaan
dalam kuesioner
A tentang
pekerjaan
responden
1. Bekerja
2. Tidak Bekerja
Ordinal
5. Frekuensi di
rawat
Jumlah berapa kali
klien dirawat dengan
masalah gangguan
jiwa
Satu item
pertanyaan
dalam kuesioner
A tentang
berapa kali klien
dirawat di
rumah sakit
1. Pertama
2. 2x/lebih

Nominal
6.

Riwayat
gangguan jiwa
Pengalaman gangguan
jiwa yang dialami
sebelum sakit
gangguan jiwa saat ini.


Satu item
pertanyaan
dalam kuesioner
A tentang
pengalaman
gangguan jiwa
yang dialami
sebelumnya oleh
responden

1. Ada
2. Tidak ada
Nominal
N
o.
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
B.

Variabel Dependen

6. Perilaku
Kekerasan
yang meliputi




a. Respon
kognitif


b. Respon emosi



c. Respon
Perilaku yang
bertujuan untuk
melukai diri sendiri,
orang lain secara fisik
atau psikologis dan
juga lingkungan.

Reaksi pikiran
terhadap stressor yang
menimbulkan marah


Reaksi perasaan
terhadap stressor yang
menimbulkan marah


Reaksi fisik terhadap
stressor yang
menimbulkan marah
Menggunakan
lembar
observasi I dan
lembar
kuesioner B


Menggunakan
lembar
kuesioner B


Menggunakan
lembar
kuesioner B


Menggunakan
lembar
observasi I
Score Keseluruhan
dari item Observasi
dan kuesioner
tentang Respon klien
dari perilaku
kekerasan .

Skore dari 8
pernyataan tentang
pikiran yang ada
pada lembar
kuesioner B

Skore dari 7
pernyataan tentang
perasaan yang ada
pada lembar
kuesioner B

Skore dari 6
pernyataan tentang
respon fisik yang ada
Interval






Interval




Interval





Interval

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
80

Universitas Indonesia

fisiologis


d. Respon
perilaku



e. Respon sosial





Reaksi berupa
tindakan yang
dilakukan individu
akibat marah


Reaksi individu
terhadap hubungannya
dengan orang lain dan
lingkungan sekitar
akibat marah





Menggunakan
lembar
kuesioner B


Menggunakan
lembar
kuesioner B


pada lembar
Observasi 1

Skore dari 6
pernyataan tentang
perilaku yang ada
pada lembar
kuesioner B

Skore dari 5
pernyataan tentang
hubungan klien
dengan orang lan
yang ada pada
lembar kuesioner B




Interval




Interval

N
o.
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
C. Variabel Independen
7.. Rational
Emotive
Behaviour
Therapy
(REBT)











Kegiatan terapi yang
dilakukan untuk
memahami dan
mengatasi masalah
emosi dan perilaku
dengan menggunakan
pendekatan kognitif
dan perilaku yang
mengemukakan fakta-
fakta bahwa perilaku
yang dihasilkan bukan
berasal dari kejadian
yang dialami namun
dari keyakinan
keyakinan yang tidak
rasional.
Terdiri atas 5 sesi
Menggunakan
lembar observasi
dan kuesioner

1. Dilakukan
REBT

2. Tidak
dilakukan
REBT
Nominal

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
81

BAB 4
METODE PENELITIAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang desain penelitian, populasi dan sampel,
tempat penelitian, waktu penelitian, etika penelitian, alat pengumpulan data, prosedur
pengumpulan data dan analisa data.
4.1 Desain Penelitian
Disain penelitian merupakan wadah untuk menjawab pertanyaan penelitian atau
kesahihan hipotesis. Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi
Experimental Pre-Post Test with Control Group dengan intervensi Rational
Emotive Behaviour Therapy ( REBT). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
perubahan perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan baik secara kognitif,
afektif (emosi), perilaku, sosial dan fisiologis sebelum dan sesudah diberikan
perlakuan atau intervensi berupa pemberian terapi REBT. Penelitian ini
membandingkan dua kelompok klien dengan perilaku kekerasan yang sedang di
rawat di ruang rawat inap rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor, yaitu kelompok
intervensi (kelompok yang diberikan Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT)
dan kelompok kontrol (kelompok yang tidak diberikan Rational Emotive Behaviour
Therapy ( REBT). Sesuai dengan pendapat Sastroasmoro dan Ismael (2008)
menyatakan bahwa pada studi eksperimental, peneliti melakukan intervensi atau
manipulasi terhadap satu atau lebih variabel penelitian dan kemudian mempelajari
atau mengukur hasil (efek) intervensinya. Adapun skema pelaksanaan tergambar
dalam bagan berikut di bawah ini.






Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
82

Universitas Indonesia

Skema 4.1
Pelaksanaan Penelitian

Kelompok Pre Test Post Test

Intervensi O1 O2
Kontrol O3 O4


Keterangan:
X : Perlakuan (intervensi) Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT).

O
1
: Respon klien perilaku kekerasan pada kelompok intervensi sebelum
mendapatkan perlakuan (intervensi) Rational Emotive Behaviour
Therapy ( REBT).
O
2
: Perubahan respon klien dengan perilaku kekerasan pada kelompok
intervensi setelah mendapatkan perlakuan (intervensi) Rational Emotive
Behaviour Therapy ( REBT).
O
3
: Respon klien perilaku kekerasan pada kelompok kontrol sebelum
kelompok intervensi mendapatkan perlakuan Rational Emotive
Behaviour Therapy ( REBT).
O
4
: Perubahan respon klien perilaku kekerasan pada kelompok kontrol
setelah kelompok intervensi mendapatkan perlakuan Rational Emotive
Behaviour Therapy ( REBT).
O
2
- O
1
: Perubahan respon klien perilaku kekerasan pada kelompok intervensi
setelah mendapatkan perlakuan (intervensi) Rational Emotive
Behaviour Therapy ( REBT).
X XX X
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
83

Universitas Indonesia

O
4
-O
3
: Perubahan respon klien perilaku kekerasan pada kelompok kontrol
sebelum dan setelah kelompok intervensi mendapatkan perlakuan
Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT).
O
2
-O
4
: Perbandingan perubahan respon klien perilaku kekerasan antara
kelompok yang mendapatkan terapi REBT dan kelompok yang tidak
mendapatkan terapi REBT setelah kelompok intervensi mendapatkan
Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT).

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian
4.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian adalah sejumlah besar subyek yang mempunyai
karakteristik tertentu. Subyek dapat berupa manusia, hewan coba, data
laboratorium dan lain-lain, sedangkan karakteristik subyek ditentukan sesuai
dengan ranah dan tujuan penelitian (Sastroasmoro dan Ismael, 2008). Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh klien skizoprenia paranoid yang mengalami
perilaku kekerasan dan berada di ruang rawat inap RSMM Bogor. Populasi
dalam penelitian adalah pasien skizofrenia paranoid yang mengalami perilaku
kekerasan yang dirawat inap di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi tahun 2010
berjumlah 45 orang.

4.2.1 Sampel
Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu
sehingga dapat dianggap mewakili populasinya (Sastroasmoro dan Ismael,
2008). Sampel penelitian ini adalah klien dengan skizoprenia yang mengalami
perilaku kekerasan dengan kriteria inklusinya adalah :
a. Usia 18 60 tahun
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
84

Universitas Indonesia

b. Alasan masuk rumah sakit karena perilaku kekerasan ( menciderai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan)
c. Klien tidak dalam keadaan sedang berperilaku kekerasan (amuk)
d. Klien kooperatif dalam interaksi
e. Klien dapat membaca dan menulis
f. Klien mempunyai diagnosa medis skizoprenia paranoid.
g. Klien bersedia menjadi responden

4.2.1.1 Besar Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan estimasi
(perkiraan) untuk menguji hipotesis beda rata-rata kelompok berpasangan
dengan rumus sebagai berikut (Iwan Ariawan, 1998):


Keterangan:
n : Besar sampel
Z : Harga kurva normal tingkat kesalahan yang ditentukan dalam
penelitian pada CI 95 % ( = 0,05), maka Z = 1,96
Z

: Bila = 0,05 dan power = 90% maka Z

= 1,282
: Rata-rata pada keadaan sebelum intervensi
: Rata-rata pada keadaan setelah intervensi
= 10
2 [ + ]
2
( - )
2
n =
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
85

Universitas Indonesia

: Standar deviasi dari beda 2 rata-rata berpasangan dari penelitian
terdahulu atau penelitian awal
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus diatas, maka:
2. 11
2
(1,96 + 1,282)
2

(10)
2


Maka besar sampel untuk penelitian ini adalah 25 responden untuk setiap
kelompok.
Dalam studi quasi eksperimental ini, untuk mengantisipasi adanya drop out
dalam proses penelitian, maka kemungkinan berkurangnya sampel perlu
diantisipasi dengan cara memperbesar taksiran ukuran sampel agar presisi
penelitian tetap terjaga. Adapun rumus untuk mengantisipasi berkurangnya
subyek penelitian (Sastroasmoro & Ismael, 2008) ini adalah :


Keterangan :
n : Ukuran sampel setelah revisi
n : Besar sampel yg dihitung
1 - f : Perkiraan proporsi drop out, yang diperkirakan 10 % (f = 0,1)
maka :

27,78 dibulatkan menjadi 28

n' =
n
(1 - f)
n =
n = 25,40 dibulatkan menjadi 25
n
=
n =
25
1 0,1
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
86

Universitas Indonesia

Berdasarkan rumus tersebut diatas, maka jumlah sampel akhir yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 28 responden untuk setiap kelompok
(28 responden untuk kelompok intervensi dan 28 responden untuk kelompok
kontrol), sehingga jumlah total sampel adalah 56 responden. Kenyataannya
pada penelitian ini responden berjumlah 53 orang yang terdiri atas 25 orang
pada kelompok intervensi dan 28 orang pada kelompok kontrol. Hal ini
disebabkan karena 3 orang dari kelompok intervensi drop out.
4.2.1.2 Tehnik Pengambilan Sampel
Teknik sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang digunakan
dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan
mewakili keseluruhan populasi yang ada (Hidayat, 2007). Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Consecutive
Sampling. Pada Consecutive Sampling, semua subyek yang datang dan
memenuhi kriteria dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang
diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro & Ismael, 2008).

Adapun sampel dalam penelitian ini adalah klien dengan skizoprenia
khususnya paranoid yang mengalami perilaku kekerasan dan rawat inap di
rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor serta memenuhi syarat sesuai dengan
kriteria inklusi dari penelitian ini. Dari sampel ini semua dibagi atas
kelompok intervensi dan kelompok kontrol dimana klien dibagi berdasarkan
ruangan. Pada kelompok intervensi berjumlah 25 orang yang berada di
ruangan Yudistira, Sadewa dan Utari sedangkan kelompok kontrol berjumlah
28 orang yang berada di ruangan Bratasena dan Arimbi.

4.2.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai pada minggu IV Mei 2010 sampai dengan
minggu III Juni 2010 dengan alokasi waktu pelaksanaan kegiatan penelitian ini
dapat dilihat dalam Jadual Pelaksanaan Kegiatan Penelitian. Penelitian ini
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
87

Universitas Indonesia

dilaksanakan di ruang rawat inap rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Adapun
ruangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ruang Sadewa, Yudistira,
Bratasena, Utari dan Arimbi.

Pemilihan ruang diatas disesuaikan juga dengan kriteria inklusi sampel penelitian
dimana ruangan yang dipilih adalah ruangan yang mempunyai klien dengan
perilaku kekerasan dan mendapatkan intervensi Preventive Strategies (strategi
pencegahan) dan Anticipatory Strategies ( strategi antisipasi) karena kliennya
sudah tidak amuk lagi serta ruang-ruangan tersebut merupakan ruangan yang
sudah terpapar MPKP dengan rata-rata tingkat pendidikan perawatnya D3 dan S1
sehingga perawat ruangan sudah mampu memberikan tindakan keperawatan
generalis pada klien dengan perilaku kekerasan diruangannya.
4.3 Etika Penelitian
Dalam upaya melindungi hak azasi dan kesejahteraan subyek penelitian, maka
sebelum penelitian ini dilakukan peneliti telah melalui serangkaian proses uji
kelayakan penelitian, seperti proposal penelitian yang sudah memenuhi ketentuan
etika penelitian dengan dilakukannya uji kaji etik oleh Komite Etik Penelitian
Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (lampiran 10) ;
modul yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan Rational Emotiove Behaviour
Therapy yang telah melalui uji expert validity; dan kemampuan peneliti dalam
melakukan Rational Emotiove Behaviour Therapy yang telah melalui uji
kompetensi dimana kedua uji tersebut dilakukan oleh pakar keperawatan jiwa di
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia ( lampiran 8 &lampiran 9).

Salah satu bentuk tanggung jawab mendasar, peneliti sebelum melakukan penelitian
adalah diperlukan surat ijin penelitian (Brockopp & Tolsma, 2000). Berdasarkan hal
tersebut, maka sebelum melakukan penelitian, peneliti telah menyampaikan surat
permohonan penelitian pada Direktur RSMM Bogor. Selanjutnya peneliti
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
88

Universitas Indonesia

mengkoordinasikan rencana pelaksanaan penelitian kepada masing-masing kepala
ruangan yang menjadi tempat penelitian.

Responden adalah klien dengan perilaku kekerasan yang dirawat di RSMM Bogor
dan telah memenuhi kriteria inklusi karakteristik responden. Sebelum klien
ditetapkan sebagai responden penelitian, maka peneliti menjelaskan atau
memberikan informasi (informed consent) tentang rencana, tujuan, dan manfaat
penelitian bagi responden, perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan
pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan jiwa di rumah sakit jiwa.
Informasi ini diberikan melalui pertemuan resmi dan tertulis. Setiap responden
diberi hak penuh untuk menyetujui atau menolak menjadi responden dengan cara
menandatangani surat pernyataan kesediaan yang telah disiapkan oleh peneliti.
Klien bisa memberikan tanda-tangan, maka lembar informed concent
ditandatangani sendiri oleh klien, dengan demikian informed concent yang
ditandatangani oleh seluruh responden, yaitu sebanyak 53 orang.

4.4 Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner/self evaluasi dan
lembar observasi untuk mengidentifikasi perilaku kekerasan pada klien yang terdiri
dari :
4.4.1.1 Data Demografi Responden
Data demografi responden merupakan instrumen untuk mendapatkan
gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kekerasan pada klien
yang terdiri dari usia, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat gangguan
jiwa dan frekuensi dirawat. Pengambilan data ini menggunakan lembar
kuesioner A yang terdiri dari 6 pertanyaan dengan cara memberikan tanda
X pada jawaban yang dipilih terkait dengan karakteristik responden.
4.4.1.2 Pengukuran Perilaku kekerasan
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
89

Universitas Indonesia

Pengukuran perilaku kekerasan menggunakan instrument yang dapat
mengukur perubahan perilaku pada klien (responden) yang meliputi
kognitif, afektif(emosi), perilaku, fisiologis dan sosial. Adapun instrument
yang digunakan adalah :

1) Kuesioner B yaitu instrumen yang digunakan untuk mengukur
perubahan perilaku responden dari respon kognitif, emosi, sosial dan
perilakunya. Instrumen yang digunakan adalah Kuesioner Skala
Pengungkapan Emosi Marah (Safaria & Saputra, 2009) yang terdiri atas 8
pernyataan untuk respon kognitif, 7 pernyataan untuk respon emosi, 6
pernyataan untuk respon sosial dan 5 pernyataan untuk respon perilaku
klien terhadap situasi yang dihadapinya. Instrument ini menggunakan
skala Likert yaitu 4: Sangat Sering(SS); 3: Sering(S); 2: Kadang-kadang
(KK); 1: Tidak Pernah (TP). Instrumen ini diisi oleh responden langsung
dan bila ada yang tidak dimengerti maka peneliti akan menjelaskannya.

2) Lembar Observasi I yaitu instrument yang digunakan untuk mengukur
respon fisiologis responden dari hasil observasi berupa pengukuran yang
dilakukan oleh peneliti dan perawat di ruangan. Lembar observasi ini
akan melihat fisiologis klien. Instrumen yang digunakan adalah lembar
Observasi respon fisiologis (Dyah, 2009). Instrumen ini terdiri atas 6
pernyataan yang berisikan kondisi fisiologis tubuh responden yang
dialami dan dapat diukur oleh peneliti. Instrument ini menggunakan skala
1 : Ya jika menurut peneliti klien menunjukkan respon yang dimaksud
dan 2 : Tidak jika menurut peneliti klien tidak menunjukkan respon yang
dimaksud.

4.5 Uji Coba Instrumen
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
90

Universitas Indonesia

Untuk menguji apakah instumen penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan atau
tidak, maka peneliti terlebih dahulu melakukan uji validitas dan reliabilitasnya.
Untuk melihat validitas dan reliabilitas pengumpul data maka instrumen penelitian
yang digunakan terlebih dahulu diujikan kepada 22 orang responden yang berada di
tempat berbeda untuk menghindari bias. Uji coba ini dilakukan pada responden
yang sama karakteristiknya dengan kriteria inklusi yang ada di dalam penelitian ini.

Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan uji korelasi Pearson Product
Moment dengan hasil valid apabila nilai r hasil (kolom corrected item total
correlation) antara masing-masing item pernyataan lebih besar dari r tabel
(Hastono, 2007). Uji validitas ini pada tingkat kemaknaan 5%, maka pernyataan
tersebut dinyatakan valid, namun apabila lebih rendah maka dinyatakan tidak valid.
Adapun rumus yang dapat digunakan adalah
Rumus Pearson Product Moment :
( ) ( )
( ) [ ] ( ) [ ]
2 2 2 2
Y Y N X X N
Y X XY N
r
xy


=

Keterangan :
N : Jumlah subyek
X : Skor setiap item
Y : Skor total
( X)
2
: Kuadrat jumlah skor item
X
2
: Jumlah kuadrat skor item
Y
2
: Jumlah kuadrat skor total
( Y)
2
: Kuadrat jumlah skor total
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
91

Universitas Indonesia

r
xy
: Koefisien korelasi
Keputusan uji :
Bila r hitung lebih besar dari r tabel Ho ditolak, artinya valid.
Bila r hitung lebih kecil dari r tabel Ho gagal ditolak, artinya variabel tidak valid.
Uji validitas dilakukan pada 22 orang responden. Hasil uji validitas pada kuisioner
skala pengungkapan emosi marah ditemukan hanya 11 dari 45 pernyataan yang
hasilnya valid dimana r hasil > r tabel sehingga 45 pernyataan tersebut dimodifikasi
dengan makna yang sama dan mudah dipahami oleh klien perilaku kekerasan.
Setelah diperbaiki, peneliti menguji kembali validitas kuisioner skala pengungkapan
emosi marah maka didapat hasil bahwa dari 45 pernyataan, 26 item pernyataan
valid yaitu r hasil > r table (0,413) sedangkan kuesioner yang tidak valid dibuang
setelah terlebih dahulu dianalisa bahwa 26 pernyataan tersebut mewakili kuesioner
untuk menjawab penelitian yang dilakukan.

Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran
tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang
sama dan dengan alat ukur yang sama (Hastono, 2007). Instrumen yang reliabel
adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang
sama akan menghasilkan nilai yang sama. Hasil pengukuran konsisten dan bebas
dari kesalahan. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan Internal Consistensy
yang dilihat pada nilai Alfa Cronbach, jika nilai koefisien reabilitas r mendekati 1,
maka setiap skor responden dapat dipercaya atau reliable. Adapun rumus Alfa
Cronbach sebagai berikut :

=
Vt
V
n
n
i
1
1


Keterangan :
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
92

Universitas Indonesia

n : Jumlah item
V
I
: Varian skor total, tanda berarti jumlah V
i

V
t
: Varian nilai total

Uji reliabilitas juga dilakukan pada 22 orang responden terhadap 26 pernyataan
yang dinyatakan valid selanjutnya dilakukan pengujian dengan tehnik Alpha
Cronbach. Instrumen dinyatakan realibel jika koefisien Alpha Cronbach lebih besar
dari nilai standar 0,6 ( Alpha 0,6). Hasil uji ditemukan nilai r Alpha (0,765) lebih
besar dibandingkan dengan nilai 0,6, maka 26 pernyataan dinyatakan reliable.

4.6 Prosedur Pengumpulan Data
Langkah awal dari proses penelitian ini dimulai dengan pelaksanaan uji etik, uji
validity expert, uji kompetensi, dan selanjutnya peneliti mengajukan permohonan
ijin kepada Direktur RSMM Bogor. Setelah mendapatkan ijin secara tertulis,
kemudian peneliti melakukan koordinasi dengan Kepala ruangan di ruangan-
ruangan yang digunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya peneliti menjelaskan
proses yang dilakukan selama penelitian mulai dari pre test, pelaksanaan intervensi
REBT sampai post test.
4.6.1 Tahap Pre Test
Sebelum pre test peneliti mengidentifikasi responden yang memenuhi kriteria
inklusi sebagai sampel penelitian. Responden yang dilibatkan dalam
penelitian, sebelumnya dijelaskan mengenai tujuan, manfaat maupun akibat
yang ditimbulkan. Setelah diberikan informasi yang jelas kemudian
responden menandatangani lembar persetujuan sebagai bentuk informed
concent. Setelah responden menyetujui secara tertulis untuk terlibat dalam
penelitian, maka pelaksanaan pre test dilakukan.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
93

Universitas Indonesia

Pre test merupakan suatu cara untuk mengetahui kondisi awal tentang
perilaku kekerasaan responden meliputi respon kognitif, afektif (emosi),
perilaku, fisiologi dan sosialnya sebelum diberikan Rational Emotive
Behaviour Therapy. Pengumpul data pada tahap ini adalah peneliti dan
dibantu oleh perawat yang sedang pendidikan S2 dengan kekhususan
keperawatan jiwa yang sama dengan peneliti. Peneliti dan pengumpul data
sebelumnya menyamakan persepsi tentang prosedur, cara pengambilan data
dan waktu pengumpulan data. Selanjutnya peneliti memberikan lembar
kuesioner kepada setiap responden baik untuk kelompok kontrol maupun
kelompok intervensi . Setiap responden diberikan waktu yang cukup untuk
menjawab seluruh pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Bila responden
mengalami kesulitan dalam memahami pertanyaan-pertanyaan dalam
kuesioner, maka peneliti/perawat ruangan membantu (mendampingi)
responden. Sedangkan lembar observasi dipegang oleh peneliti dan perawat
pendamping. Sebelumnya peneliti telah menjelaskan cara pengisian kepada
perawat pendamping agar mempunyai persepsi yang sama dalam pengisian
nantinya.
4.6.2 Intervensi
Pada tahap ini, peneliti melakukan intervensi berupa pemberian Rational
Emotive Behaviour Therapy yang memiliki 5 sesi kepada responden
kelompok intervensi, yaitu:
1) Sesi 1 yang disebut sesi membina hubungan dan mengidentifikasi
harapan. Adapun aktivitas yang dilakukan pada sesi ini adalah membina
hubungan saling percaya dengan klien dan membuat thermometer
perasaan (Feellings Thermometers), Menilai kejadian berdasarkan
thermometer perasaan yang telah dibuat dan Saran yang diberikan terkait
dengan hal yang didiskusikan sebelumnya. Sebagai pekerjaan rumahnya
klien diminta untuk memikirkan peraturan peraturan yang dapat
membantu dalam proses ini dan di dokumentasikan.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
94

Universitas Indonesia

2) Sesi 2 yang disebut Memahami perasaan. Aktivitas pada sesi ini termasuk
di dalamnya adalah thermometer perasaan, dimana membantu individu
mempelajari bagaimana cara melabel perasaan dan mengelompokkan
beberapa perasaannya dalam suatu usaha untuk intensitas hubungan yang
lebih baik dari perasaan-perasaan tersebut.


3) Sesi 3 yang disebut sesi Fakta lawan opini. Aktivitas pada sesi ini adalah
untuk membantu klien mendefinisikan dan menemukan perbedaan antara
fakta dan opini.

4) Sesi 4 yang disebut sesi Belajar ACBs . Objektif yang dipelajari pada
sesi ini adalah didisain untuk mengajarkan tentang :
a) A (ctivating event) : Mengidentifikasi kejadian atau situasi yang
sedang terjadi . A adalah masalah utama yang dirasakan oleh
pelajar. Pelajar diminta untuk menggambarkan apa yang telah
membuat emosinya timbul. A sering dijelaskan dalam bentuk hasil
obsevasi.
b) C(onsequence): individu menilai level dari perasaannya dan
membangun suatu tujuan untuk mencapai upaya menurunkan
intensitas, durasi dan frekuensi dari emosi yang mengganggu.
c) B(elief system) : individu berpikir untuk menganalisa dan
mengidentifikasi keyakinan-keyakinan atau pola pikirnya yang
membentuk konsekuensi emosi (C) (Vernon, 1996;Zionts, 1996
dalam Banks & Zionts, 2009). Pertanyaan yang berhubungan dengan
B ini adalah apa yang kamu pikirkan tentang situasi ini?. Diskusi
dilakukan untuk penguatan dalam belajar, latihan keterampilan dan
mengetahui tentang pemahaman individu.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
95

Universitas Indonesia

5) Sesi 5 yang disebut sesi Latihan Model Kognitif A dan C serta
pertanyaan Bs. Klien dapat mengaplikasikan keterampilan yang dipelajari
selama berpartisipasi dalam diskusi yang difokuskan pada situasi atau
kejadian dari masalah. Klien bertanggung jawab untuk berpartisipasi
dalam mengidentifikasi kejadian yang sedang terjadi (A),
Konsekuensinya (C), dan keyakinan (B).

Waktu pelaksanaan Rational Emotive Behaviour Therapy untuk kelompok
intervensi di setiap pertemuan dibuat berdasarkan kesepakatan antara peneliti
dengan responden dengan waktu 20-30 menit. Pelaksanaan setiap sesinya
juga tergantung pada kemampuan responden dalam menerima pembelajaran
yang diberikan oleh peneliti.

4.6.3 Post test
Post test dilaksanakan selama lebih kurang satu minggu, baik pada kelompok
intervensi maupun kelompok kontrol. Pada tahap ini terapis melakukan
evaluasi perubahan perilaku klien dengan perilaku kekerasan meliputi respon
kognitif, afektif(emosi), perilaku, fisiologis dan sosial dengan menggunakan
lembar observasi dan kuesioner. Peneliti kemudian membandingkan antara
kedua kelompok berdasarkan nilai pre test dan post test yang telah diperoleh.

Untuk memperjelas alur kerja penelitian maka peneliti memaparkan pada skema
4.1.
Skema 4.1 Alur Pelaksanaan Rational Emotive Behaviour Therapy
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
96

Universitas Indonesia

SESI 1 : Persiapan kognitif; BHSP
dan harapan
P
R
E
-
T
E
S
T
Th/
R
E
B
T
SESI 2 : Persiapan kognitif ;
memahami perasaan.
SESI 3 : Persiapan kognitif;
opini vs fakta.
SESI 4 : Belajar Model Kognitif ACBs
P
O
S
T
-
T
E
S
T
PRE
TEST
POST
TEST
KELOMPOK KONTROL
Perlakuan (Intervensi) ( 7 pertemuan )
Pre test
Pert 1
Post test
Pert 7
SESI 5 : Latihan Model Kognitif : ACBs


4.7 Analisis Data
4.7.1 Pengolahan Data
Hastono (2007) memaparkan bahwa pengolahan data merupakan salah satu
bagian rangkaian kegiatan setelah pengumpulan data. Agar analisis penelitian
menghasilkan informasi yang benar, paling tidak ada empat tahapan dalam
pengolahan data yang peneliti harus lalui yaitu :
4.7.2 Editing
Dilakukan untuk memeriksa ulang kelengkapan pengisian formulir atau
kuesioner apakah jawaban yang ada sudah lengkap, jelas, relevan dan
konsisten.
4.7.3 Coding
Peneliti memberi kode pada setiap respon responden untuk memudahkan
dalam pengolahan data dan analisis data. Kegiatan yang dilakukan, setelah di
edit data kemudian diberi kode terutama untuk membedakan kelompok
intervensi dan kontrol. Seluruh variabel yang ada diberi kode dan dilakukan
pengkategorian data (usia, pendidikan dan jenis kelamin dll.)
4.7.4 Processing
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
97

Universitas Indonesia

Setelah semua kuesioner terisi penuh serta sudah melewati pengkodean maka
langkah peneliti selanjutnya adalah memproses data agar data yang sudah di-
entry dapat dianalisis
4.7.5 Cleaning
Suatu kegiatan pembersihan seluruh data agar terbebas dari kesalahan
sebelum dilakukan analisa data, baik kesalahan dalam pengkodean maupun
dalam membaca kode, kesalahan juga dimungkinkan terjadi pada saat kita
memasukkan data kekomputer. Setelah data didapat kemudian dilakukan
pengecekan kembali apakah data ada salah atau tidak. Pengelompokan data
yang salah diperbaiki hingga tidak ditemukan kembali data yang tidak sesuai,
sehingga data siap dianalisis.

4.8 Analisis Data
4.8.1 Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk menganalisis variabel variabel yang ada
secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensinya agar dapat
diketahui karakteristik dari subjek penelitian. Karakteristik responden yang
dilakukan analisis dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok data numerik
dan katagorik. Kelompok data numerik yakni umur, dan perilaku kekerasan
yang meliputi respon kognitif, afektif, perilaku, fisiologis dan sosial
sedangkan kelompok data kategorik yaitu jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan pengalaman dirawat dianalisis untuk
menghitung frekuensinya. Penyajian data masing-masing variabel dalam
bentuk tabel dan diinterpretasikan berdasarkan hasil yang diperoleh.

4.8.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis untuk menguji hubungan antara dua variabel.
Pemilihan uji statistik yang akan digunakan untuk melakukan analisis
didasarkan pada skala data, jumlah populasi/sampel dan jumlah variabel yang
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
98

Universitas Indonesia

diteliti (Supriyanto, 2007). Sebelum analisis bivariat dilaksanakan maka
dilakukan terlebih dahulu uji kesetaraan untuk mengidentifikasi varian
variabel antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Uji kesetaraan
dilakukan untuk mengidentifikasi kesetaraan karakteristik klien dengan
perilaku kekerasan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Kesetaraan karakteristik klien dengan perilaku kekerasan yaitu usia, jenis
kelamin, pendidikan, riwayat gangguan jiwa dan pengalaman dirawat .
Berikut ini akan ditampilkan analisis bivariat untuk penelitian ini dalam
bentuk tabel.



Tabel 4.1
Analisis Bivariat Variabel Penelitian Pengaruh Rational Emotive Behaviour
Therapy terhadap Klien dengan Perilaku Kekerasan
di Ruang Rawat Inap RS Marzoeki Mahdi Tahun 2010
A. Analisis Kesetaraan Karakteristik Responden (Klien dengan Perilaku Kekerasan)
No. Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Cara Analisis
1. Usia (data numerik) Usia (data numerik) t Independen

2. Jenis Kelamin (data katagorik)

Jenis Kelamin (data katagorik) Chi- Square
3. Pendidikan (data katagorik)

Pendidikan (data katagorik) Chi- Square
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
99

Universitas Indonesia


4. Pengalaman dirawat (data
katagorik)
Pengalaman dirawat (data
katagorik)
Chi-Square

5. Riwayat gangguan jiwa (data
katagorik)

Riwayat gangguan jiwa (data
katagorik)

Chi- Square




B. Analisis Kesetaraan Variabel Dependen (Klien dengan Perilaku Kekerasan)
No. Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Cara Analisis
1. Perilaku Kekerasan yang
meliputi respon kognitif,
afektif, fisiologis, perilaku dan
sosial sebelum pemberian
REBT (data numerik)
Perilaku Kekerasan yang
meliputi respon kognitif,
afektif, fisiologis, perilaku
dan sosial sebelum pemberian
REBT (data numerik)
t Independent
2. Perilaku Kekerasan yang
meliputi respon kognitif,
afektif, fisiologis, perilaku dan
sosial setelah pemberian REBT
(data numerik)

Perilaku Kekerasan yang
meliputi respon kognitif,
afektif, fisiologis, perilaku
dan sosial setelah pemberian
REBT (data numerik)

t Independent

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
100

Universitas Indonesia


C. Analisis Variabel Dependen (Klien dengan Perilaku Kekerasan)
Kelompok Intervensi Kelompok Intervensi Cara Analisis
Perilaku Kekerasan yang
meliputi respon kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial
sebelum pemberian REBT (data
numerik)

Perilaku Kekerasan yang
meliputi respon kognitif,
afektif, fisiologis, perilaku
dan sosial setelah pemberian
REBT (data numerik)
t Dependent


D. Analisis Variabel Dependen (Klien dengan Perilaku Kekerasan)
Kelompok Kontrol Kelompok Kontrol Cara Analisis
Perilaku Kekerasan yang
meliputi respon kognitif,
afektif, fisiologis, perilaku dan
sosial sebelum pemberian
REBT (data numerik)
Perilaku Kekerasan yang
meliputi respon kognitif,
afektif, fisiologis, perilaku dan
sosial setelah pemberian
REBT (data numerik)
t Dependent

4.8.3 Analisis Multivariat
Sabri dan Hastono (2007) menjelaskan analisis regresi merupakan suatu
model matematis yang dapat digunakan untuk mengetahui bentuk hubungan
antar dua atau lebih variabel. Tujuan analisis regresi adalah untuk membuat
perkiraan nilai suatu variabel (variabel dependen) melalui variabel lain.
Dalam penelitian ini, analisis multivariat dilakukan untuk membuktikan
hipotesis yang dirumuskan yaitu apakah ada kontribusi karaktersitik klien
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
101

Universitas Indonesia

dengan perilaku kekerasan melalui uji analisis regresi linier ganda. Menurut
Sudjana (2005) dan Sudrajat (2007), persamaan umum regresi liner ganda
adalah :
2 2 1 1 0
+ + = b b a +.
Perubahan PK = a + REBT + Umur + Jenis kelamin +
Riwayat gangguan jiwa+ Pengalaman di rawat.

Keterangan :
Y : Subyek dalam variabel dependen yang diprediksikan
a : Harga Y bila X = 0 (harga konstan)
b : Angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka
peningkatan ataupun penurunan variabel dependen yang
didasarkan pada variabel independen. Bila b (+) maka naik,
bila (-) maka terjadi penurunan
X : Subyek pada variabel independen yang mempunyai nilai tertentu
Nilai a, b
1
, dan b
2
dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
= + +
2 2 1 1
b b an
= + +
1 2 1 2
2
1 1 1
b b a
= + +
2
2
2 2 2 1 1 2
b b a



Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
102

BAB 5
HASIL PENELITIAN

Bab ini menjelaskan secara lengkap tentang proses pelaksanaan dan hasil
penelitian tentang pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)
terhadap klien dengan perilaku kekerasan di RSMM Bogor yang dimulai pada
tanggal 26 Mei sampai 21 Juni 2010. Pada penelitian ini telah diteliti 53 orang
klien yang memiliki masalah keperawatan perilaku kekerasan (PK). Klien
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 28 klien di kelompok kontrol dan 25 klien di
kelompok intervensi (3 orang drop out) sesuai dengan kriteria inklusi yang
telah ditetapkan. Pada kelompok intervensi, peneliti melakukan terapi
generalis dan REBT untuk dapat mengontrol perilaku kekerasan klien,
sedangkan pada kelompok kontrol hanya dilakukan terapi generalis.

5.1 Proses Pelaksanaan Terapi
5.1.1 Tahap Persiapan
Persiapan pelaksanaan penelitian tentang pengaruh REBT pada klien dengan
perilaku kekerasan (PK) di RSMM Bogor diawali dengan pengurusan
perizinan penelitian dengan menyertakan proposal penelitian yang sudah
disetujui pembimbing dan surat pernyataan lolos uji etik. Dalam pengurusan
perizinan penelitian di RSMM Bogor, peneliti tidak mendapatkan hambatan
karena pihak rumah sakit sangat mendukung dilakukannya penelitian baik pada
klien maupun pada perawat. Selanjutnya peneliti membawa surat persetujuan
untuk dilakukannya penelitian dari diklat RSMM Bogor ke setiap ruangan
yang akan digunakan untuk penelitian ini dan disana peneliti menemui kepala
ruangan beserta timnya untuk menjelaskan tujuan penelitian, lama penelitian
dan intervensi yang akan dilakukan kepada klien yang dijadikan responden.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
103

Universitas Indonesia
Peneliti memilih lima ruangan rawat di RSMM Bogor sebagai tempat yang
akan dilakukan penelitian . Pemilihan lima ruangan ini didasarkan pada
ruangan klien dewasa dan banyaknya jumlah klien yang dirawat di ruangan
tersebut. Ruangan tersebut adalah Yudistira, Bratasena, Sadewa, Arimbi dan
Utari. Dari kelima ruangan ini peneliti memilih klien yang berada di ruangan
Yudistira, Sadewa dan Utari sebagai klien yang akan mendapatkan intervensi
REBT sedangkan klien yang ada di ruangan Bratasena dan Arimbi sebagai
klien kontrol. Pembagian ruangan intervensi dan kontrol di dasarkan pada
ruangan untuk jenis kelamin pria dan wanita kecuali ruang sadewa karena pada
ruangan ini kliennya bergabung antara pria dan wanita. Dengan demikian
penetapan kelompok intervensi dan kelompok kontrol diharapkankan sama
jumlah dan jenis kelamin antar kelompok.

Berikutnya peneliti mempersiapkan untuk pengumpul data yaitu peneliti dan
dibantu oleh perawat yang sedang pendidikan S2 dengan kekhususan
keperawatan jiwa yang sama dengan peneliti. Kemudian dilanjutkan dengan
melakukan pengarahan untuk penyamaan persepsi tentang prosedur, cara
pengambilan data dan waktu pengumpulan data tetapi tidak dilakukan
interraiter realibility. Setelah mempersiapkan pengumpul data selanjutnya
adalah melakukan pengambilan sampel. Pengambilan sampel secara
Consecutive Sampling, dimana semua subyek yang datang dan memenuhi
kriteria inklusi penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek
yang diperlukan terpenuhi.

Selanjutnya peneliti mengidentifikasi dan menyeleksi klien yang akan
dijadikan responden dengan mengkaji secara langsung pada klien tentang
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan dan memvalidasinya dengan melihat
rekam mediknya. Klien yang sesuai dengan kriteria inklusi dalam penelitian
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
104

Universitas Indonesia
dijelaskan tentang tujuan penelitian yang akan dilakukan , dampaknya terhadap
klien dan pelayanan keperawatan di rumah sakit, kemudian peneliti meminta
kesediaan klien untuk menjadi responden dalam penelitian dengan
menandatangani informed concern.

5.1.2 Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini diawali dengan dilakukannya pre test pada klien dengan cara
meminta klien untuk mengisi kuesioner tentang data demografi dan skala
pengungkapan emosi marah yang dibantu oleh peneliti, mengukur tanda- tanda
vital klien serta mengobservasi respon fisiologis lainnya terkait dengan
penelitian. Pre test dilakukan secara individu pada setiap klien yang akan
dijadikan responden. Setelah dilakukan pre test maka peneliti melakukan
kontrak pertemuan dengan klien.

Pada kelompok intervensi peneliti melakukan kontrak untuk pelaksanaan terapi
generalis dan REBT. Terapi generalis diberikan dengan cara memvalidasi
dahulu kepada klien tentang kemampuannya terkait dengan masalah perilaku
kekerasan yang dialami, apabila klien sudah mampu maka peneliti lanjutkan
dengan pemberian REBT namun bila klien belum mampu maka peneliti
menjelaskan terapi generalis dan REBT. Sedangkan pada kelompok kontrol
peneliti melakukan kontrak untuk pelaksanaan terapi generalis. Pelaksanaan
terapi generalisnya juga diawali dengan memvalidasi dahulu kemampuan klien
dalam mengontrol perilaku kekerasan, apabila klien sudah mampu peneliti
mengingatkan kembali namun bila klien belum mengetahui maka peneliti akan
menjelaskan dan melatih cara untuk mengontrol perilaku kekerasan sesuai
dengan Standar Asuhan Keperawatan (SAK).

Setelah itu dilanjutkan dengan sesi 1 REBT sampai berlanjut pada sesi 5
REBT. Pada saat sesi 1 sampai sesi 3 dilakukan hanya sekali sedangkan sesi 4
dan 5 dilakukan 2 kali sehingga jumlah pertemuan dengan klien adalah 7 kali
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
105

Universitas Indonesia
untuk setiap individu. Waktu pelaksanaan REBT untuk setiap sesinya
dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara peneliti dengan responden yaitu
20 sampai 30 menit untuk setiap individu.

Pada pelaksanaan sesi 1 dan sesi 2 klien tidak menemukan hambatan dalam
mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah dialaminya dan
menempatkan perasaan pada saat kejadian berdasarkan skala pada
thermometer perasaan yang telah disediakan di dalam buku kerja klien. Pada
sesi 3 klien mendapat hambatan dalam menentukan opini dan fakta dari
kejadian yang dialaminya khususnya pada klien yang mempunyai pendidikan
SD dan SMP. Penjelaskan tentang perbedaan opini dan fakta dari suatu
kejadian beserta contoh-contohnya ternyata dapat membantu klien untuk
memahaminya. Pada sesi 4 dan 5 dilakukan 2 kali karena pada sesi ini adalah
belajar dan latihan menganalisa diri sendiri terhadap kejadian dengan
mengubah cara berpikir sehingga dapat merubah suasana hati (emosi) dan pada
akhirnya juga mempengaruhi perilaku. Pengulangan sesi ini dilakukan peneliti
dengan harapan latihan berulang-ulang dapat membantu klien untuk lebih
memahami dan terlatih menggunakan cara berpikir seperti yang diajarkan.

Selama intervensi REBT diberikan pada klien yang termasuk dalam kelompok
intervensi tampak adanya kerjasama yang baik, hal ini dapat terlihat dari upaya
klien untuk mengerjakan PR pada buku kerjanya dan menjaga buku kerjanya
dengan baik sehingga tidak ada satupun bukunya yang hilang. Klien juga
langsung tanggap bila terapis (peneliti) datang ke ruangannya, klien sudah siap
dengan buku kerja dan penanya serta menunggu gilirannya masing-masing.
Kelompok kontrol selama tahap intervensi hanya mendapatkan terapi
generalis. Selama proses penelitian ini berlangsung ditemukan 3 orang klien
dari kelompok intervensi droup out yang disebabkan karena 2 orang pulang
paksa dan 1 orang melarikan diri dari ruangan sehingga jumlah klien pada
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
106

Universitas Indonesia
kelompok intervensi menjadi 25 orang. Sedangkan pada kelompok kontrol
tetap 28 orang.

Setelah sesi 5 dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan kegiatan post test pada
klien yang termasuk kelompok intervensi untuk mengetahui kondisi akhir
kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan melalui respon
kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologisnya. Sedangkan kegiatan post test
pada klien yang termasuk kelompok kontrol dilaksanakan setelah pemberian
intervensi keperawatan generalis atau pada pertemuan ketujuh. Kegiatan
penelitian diakhiri setelah peneliti melakukan terminasi akhir untuk semua
responden dikedua kelompok.
5.2 Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini terdiri dari karakteristik dan respon perilaku kekerasan klien
yang dirawat di RSMM Bogor.
5.2.1 Karakteristik Klien dengan Perilaku Kekerasan (PK)
Pada bagian ini akan dijelaskan analisis karakteristik klien dengan perilaku
kekerasan dan analisis kesetaraan karakteristik Klien PK. Karakteristik klien
yang mengalami PK meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
riwayat gangguan jiwa dan frekuensi dirawat dengan masalah gangguan jiwa.

Analisis karakteristik klien PK dibagi menurut jenis datanya, yaitu data
numerik dan data katagorik. Data numerik adalah usia klien perilaku kekerasan
dan dianalisis dengan menggunakan mean, median, standar deviasi dan nilai
minimal-maksimal. Sedangkan data katagorik terdiri dari jenis kelamin,
pekerjaan, pendidikan, riwayat gangguan jiwa, dan frekuensi dirawat karena
gangguan jiwa dan dianalisis dalam bentuk proporsi. Hasil analisis
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
107

Universitas Indonesia
menggambarkan distribusi klien PK pada kelompok yang mendapatkan REBT
dan kelompok yang tidak mendapatkan REBT.

Sedangkan kesetaraan karakteristik antara kelompok yang mendapatkan
REBT dan kelompok yang tidak mendapatkan REBT dianalisis dengan uji T
Independen untuk data numerik dan uji Chi Square untuk data kategorik.
Hasil penelitian dikatakan valid apabila tidak ada perbedaan secara bermakna
antara kedua kelompok, dengan kata lain kedua kelompok sama atau
homogen.

5.2.1.1 Karakteristik Usia
Karakteristik usia pada klien dengan PK merupakan variabel numerik
sehingga dianalisis dengan menggunakan sentral tendensi guna mendapatkan
nilai mean, standar deviasi, nilai minimal dan maksimal. Sementara untuk
menganalisis kesetaraan karakteristik berdasarkan usia pada kelompok yang
mendapatkan REBT dan kelompok yang tidak mendapatkan REBT dilakukan
dengan uji T Independen. Hasil analisisnya disajikan pada tabel 5.1.

Hasil analisis usia klien dengan perilaku kekerasan pada tabel 5.1 menjelaskan
bahwa dari 53 orang responden dalam penelitian ini, rata-rata berusia 35,02
tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 56 tahun. Uji statistik
kesetaraan karakteristik berdasarkan usia pada tabel 5.1 menunjukkan tidak
ada perbedaan yang bermakna rata-rata usia klien perilaku kekerasan pada
kelompok yang mendapatkan REBT dan kelompok yang tidak mendapatkan
REBT dengan p value 0, 99 0,05. Ini berarti rata-rata usia klien PK pada
kedua kelompok homogen.


Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
108

Universitas Indonesia
Tabel 5.1.
Analisa Usia Klien PK Pada Kelompok yang Mendapatkan REBT Dan
Kelompok yang Tidak Mendapatkan REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 53)
Variabel
Jenis
Kelompok
n Mean Median SD
Min-
Maks
P Value
Intervensi 25 35,04 36,00 7,44 19 51
Kontrol 28 35,00 34,00 10,19 20 56
0,99

Usia
Total 53 35,02 35,00 8,81 19 56

5.2.1.2 Karakteristik Klien Berdasarkan Jenis Kelamin, Pekerjaan, Pendidikan,
Riwayat Gangguan Jiwa, Dan Frekuensi Dirawat Klien Perilaku
Kekerasan.
Karakteristik berdasarkan jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, riwayat
gangguan jiwa, dan frekuensi dirawat merupakan variabel kategorik sehingga
dianalisis menggunakan distribusi frekuensi sedangkan uji kesetaraan klien
PK berdasarkan karakteristik jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, riwayat
gangguan jiwa dan frekuensi dirawat menggunakan uji Chi Square. Hasil
analisis disajikan pada tabel 5.2.

Berdasarkan uraian hasil analisis karakteristik pada tabel 5.2. dapat diketahui
bahwa karakteristik klien dengan perilaku kekerasan dalam penelitian ini
lebih banyak perempuan 27 orang (50,9%), sebagian besar tidak bekerja 30
orang (56,6%), memiliki jenjang pendidikan SD dan SMP 32 orang (60,4%),
dengan adanya riwayat gangguan jiwa 41 orang (77,4%) dan frekuensi
dirawat di rumah sakit 2 kali atau lebih 41 orang (77,4%).


Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
109

Universitas Indonesia
Tabel 5.2.
Distribusi Karakteristik Klien PK Berdasarkan Jenis Kelamin, Pekerjaan,
Pendidikan, Riwayat Gangguan Jiwa, Dan Frekuensi Dirawat Pada
Kelompok yang Mendapatkan REBT Dan Kelompok yang Tidak
Mendapatkan REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 53)
Kelompok
Intervensi
(n = 25)
Kelompok
Kontrol
(n = 28)
Jumlah
(n = 53)

p Value
Karakteristik
N % N % N %

1. Jenis Kelamin Klien PK
a. Laki-laki
b. Perempuan

12
13

48,0
52,0

14
14

50,0
50,0

26
27

49,1
50,9


1,000
2. Pekerjaan Klien PK
a. Bekerja
b. Tidak bekerja

12
13

48,0
52,0

11
17

39,3
60,7

23
30

43,4
56,6


0,718
3. Pendidikan Klien PK
a. SD dan SMP
b. SMA dan PT

13
12

52,0
48,0

19
9

67,9
32,1

32
21

60,4
39,6


0,531
4. Riwayat Gangguan Jiwa
a. Ada
b. Tidak Ada

19
6

76,0
24,0

22
6

78,6
21,4

41
12

77,4
22,6


1,000
5. Frekuensi di rawat
a. Pertama
b. 2 kali/lebih

6
19

24,0
76,0

6
22

21,4
78,6

12
41

22,6
77,4


1,000

Pada tabel 5.2 menjelaskan hasil analisis uji statistik kesetaraan karakteristik
berdasarkan jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, riwayat gangguan jiwa dan
frekuensi dirawat pada klien PK didapatkan tidak ada perbedaan yang
bermakna antara kelompok yang mendapatkan REBT dan kelompok yang
tidak mendapatkan REBT, ini berarti kedua kelompok memiliki varian yang
sama atau homogen (p value 0,05).

5.2.2 Respon- Respon Perilaku Kekerasaan Klien
Pada bagian ini akan dipaparkan distribusi rata-rata respon-respon dari perilaku
kekerasan klien sebelum REBT diberikan, kesetaraan antar kelompok
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
110

Universitas Indonesia
intervensi dan kelompok kontrol, perbedaan antara sebelum dengan setelah
REBT diberikan pada kedua kelompok, perbedaan setelah REBT dilakukan
dan perbedaan rata-rata selisih respon dari perilaku kekerasan klien sebelum
dengan setelah REBT antara kelompok intervensi dan kontrol.

5.2.2.1 Respon-respon Perilaku Kekerasan
Pada bagian ini akan dijelaskan analisis respon-respon perilaku kekerasan
klien yang terdiri atas : kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis pada
klien PK dan kesetaraan dari respon-respon PK Klien yang di rawat di RSMM
sebelum dilakukannya terapi REBT pada kelompok intervensi dan pada
kelompok kontrol. Kesetaraan responrespon PK dianalisis dengan
menggunakan uji Independent Sample t Test dengan hasil uji analisisnya
terangkum pada tabel 5.3.

Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon kognitif adalah
minimal 8 dan maksimal 32 (rendah 8 16 ; sedang 17 18; tinggi 19 - 32).
Ini berarti respon kognitif pada klien PK semakin meningkat menunjukkan
kognitif yang semakin baik. Hasil analisis respon kognitif pada tabel 5.3
dibawah memperlihatkan bahwa dari jumlah total 53 orang klien yang
menjadi responden menunjukkan rata-rata respon kognitif sebelum dilakukan
terapi REBT adalah 18,48 dengan nilai minimal 13 dan maksimal 26, maka
dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon kognitif klien PK sebelum
dilakukan terapi REBT adalah sedang.

Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon emosi adalah
minimal 7 dan maksimal 28 (rendah 7 15 ; sedang 16 17; tinggi 18 - 28).
Respon emosi pada klien PK semakin menurun menunjukkan emosi yang
semakin baik. Pada hasil analisis respon emosi perilaku kekerasan pada klien
dengan perilaku kekerasan pada tabel 5.3 dibawah memperlihatkan dari
jumlah total 53 klien dengan perilaku kekerasan menunjukkan rata-rata respon
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
111

Universitas Indonesia
emosi sebelum dilakukan REBT adalah 17,19 dengan nilai minimal 12 dan
nilai maksimal 26. Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon emosi
klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.


Tabel 5.3
Analisis Respon Perilaku Kekerasan Klien Sebelum Dilakukan
REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 53)

Respon PK Kelompok n Mean SD SE
Min
Max

p Value
Kognitif

1.Intervensi
2. Kontrol
Total
25
28
53
18,88
18,07
18,48
2,86
3,49
3,18
0,57
0,66
0,62
15 26
13 26
13 - 26
0,364
Emosi 1. Intervensi
2. Kontrol
Total
25
28
53
17,12
17,25
17,19
3,53
3,01
3,27
0,71
0,57
0,64
12 26
12 23
12 - 26
0,886
Perilaku 1. Intervensi
2. Kontrol
Total
25
28
53
13,00
13,50
13,25
2,02
1,88
2,38
0,40
0,35
0,38
8 - 16
10 - 17
8 - 17
0,355
Sosial 1. Intervensi
2. Kontrol
Total
25
28
53
14,24
13,29
13,77
1,88
2,42
2,15
0,38
0,46
0,42
11 19
10 18
10 - 19
0,118
Fisiologis

1. Intervensi
2. Kontrol
Total
25
28
53
9,04
9,29
9,16
1,31
1,15
1,23
0,26
0,22
0,24
6 11
8 13
6 - 13
0,470
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
112

Universitas Indonesia
Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon perilaku adalah
minimal 5 dan maksimal 20 (rendah 5 11 ; sedang 12 14; tinggi 15 - 20).
Respon perilaku pada klien PK semakin menurun menunjukkan perilaku yang
semakin baik. Hasil analisis respon perilaku dari perilaku kekerasan klien
pada tabel 5.3 diatas memperlihatkan dari jumlah total 53 klien PK rata-rata
respon perilaku sebelum dilakukan REBT adalah 13,25 dengan nilai minimal
8 dan nilai maksimal 17. Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon
perilaku klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.

Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon sosial adalah
minimal 6 dan maksimal 24 (rendah 6 12 ; sedang 13 14; tinggi 15 - 24).
Respon sosial pada klien PK semakin meningkat menunjukkan sosial yang
semakin baik. Hasil analisis respon sosial dari perilaku kekerasan klien PK
pada tabel 5.3 diatas memperlihatkan dari jumlah total 53 klien PK
menunjukkan rata-rata respon sosialnya sebelum dilakukan REBT adalah
13,77 dengan nilai minimal 10 dan nilai maksimal 19. Maka dapat
disimpulkan bahwa rata-rata respon sosial klien PK sebelum dilakukan terapi
REBT adalah sedang.

Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon fisiologis adalah
minimal 6 dan maksimal 12 (rendah 6 8 ; sedang 8 9; tinggi 10 - 24).
Respon fisiologis pada klien PK semakin menurun menunjukkan fisiologis
yang semakin baik. Hasil analisis respon fisiologis dari perilaku kekerasan
klien dengan perilaku kekerasan pada tabel 5.3 diatas memperlihatkan dari
jumlah total 53 klien PK menunjukkan rata-rata respon fisiologis sebelum
dilakukan REBT adalah 9,16 dengan nilai minimal 6 dan nilai maksimal 13.
Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon fisiologis klien PK sebelum
dilakukan terapi REBT adalah sedang.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
113

Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 5.3 diatas hasil uji statistik terhadap kesetaraan respon-
respon perilaku kekerasan pada klien PK sebelum dilakukan REBT antara
kelompok yang mendapatkan REBT dan kelompok yang tidak mendapatkan
REBT menunjukkan respon kognitif, emosi, sosial, perilaku dan fisiologis
mempunyai kesetaraan yang sama atau homogen (p value 0,05)


5.2.2.2 Perbedaan respon-respon perilaku kekerasan pada Klien PK sebelum dan
sesudah dilakukan REBT
Perubahan respon-respon perilaku kekerasan klien dengan PK sebelum dan
sesudah dilakukan REBT pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
dilakukan dengan uji dependen sample t-Test (Paired t Test) yang hasil
analisanya disajikan pada tabel 5.4 dan tabel 5.5


Dari tabel 5.4 menjelaskan bahwa berdasarkan uji statistik yang dilakukan
pada kelompok yang mendapatkan REBT terdapat perubahan yang bermakna
sesudah mendapatkan REBT terhadap respon-respon PK. Respon kognitif
klien meningkat secara bermakna sebesar 3,80 dengan p value 0,000 0,05,
respon emosi klien menurun secara bermakna sebesar 2,92 dengan p value
0,001 0,05, respon perilaku klien menurun secara bermakna sebesar 2,32
dengan p value 0,000 0,05, respon sosial klien meningkat secara bermakna
sebesar 1,6 dengan p value 0,002 0,05 dan respon fisiologis klien menurun
secara bermakna sebesar 2,56 dengan p value 0,000 0,05.

Berdasarkan hasil uji statistik dibawah maka dapat disimpulkan pada 5%
ada perubahan yang bermakna (perubahan yang lebih baik) dari respon
kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis klien PK setelah mendapat
REBT.


Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
114

Universitas Indonesia
Tabel 5.4
Analisis Perubahan Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien PK
Sebelum Dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Intervensi
Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 25)


Dari tabel 5.5 dibawah menjelaskan bahwa berdasarkan uji statistik yang
dilakukan pada kelompok kontrol tidak terdapat perubahan yang bermakna
pada klien dengan PK yang tidak mendapat REBT. Respon kognitif
meningkat sebesar 0,47 dengan p value 0,613 0,05, respon emosi
menurun sebesar 0,36 dengan p value 0,514 0,05, respon perilaku sebesar
0,14 dengan p value 0,718 0,05, respon sosial meningkat sebesar 0,25
dengan p value 0,677 0,05 dan respon fisiologis menurun sebesar 0,43
dengan p value 0,184 0,05.
Respon PK Pelaksanaan
REBT
n Mean SD SE p Value
Sebelum
Sesudah
Selisih
25
25
18,88
22,68
3,80
2,86
3,69
0,83
0,57
0,58
0,000
Sebelum
Sesudah
Selisih
25
25
17,12
14,20
2,92
3,53
2,77
0,76
0,71
0,55
0,001
Sebelum
Sesudah
Selisih
25
25
13,00
10,68
2,32
2,02
1,82
0,2
0,40
0,36
0,000
Sebelum
Sesudah
Selisih
25
25
14,24
15,84
1,6
1,88
1,57
0,31
0,38
0,15
0,002
Respon
kognitif

Respon
Emosi

Respon
Perilaku

Respon
Sosial

Respon
Fisiologis

Sebelum
Sesudah
Selisih
25
25
9,04
6,48
2,56
1,31
0,59
0,72
0,26
0,12
0,000
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
115

Universitas Indonesia

Tabel 5.5
Analisis Perubahan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Pada klien PK
Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Kontrol
di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 28)

Respon PK Pelaksanaan
REBT
n Mean SD SE p Value
Sebelum
Sesudah
Selisih
28
28
18,07
18,54
0,47
3,49
3,21
0,28
0,66
0,61
0,613


Sebelum
Sesudah
Selisih
28
28
17,25
16,89
0,36
3,01
2,91
0,1
0,57
0,55
0,514
Sebelum
Sesudah
Selisih
28
28
13,50
13,36
0,14
1.88
1,68
0,2
0,35
0,32
0,718
Sebelum
Sesudah
Selisih
28
28
13,29
13,54
0,25
2,42
2,15
0,27
0,46
0,41
0,667
Respon
kognitif

Respon
Emosi

Respon
Perilaku

Respon
Sosial

Respon
Fisiologis

Sebelum
Sesudah
Selisih
28
28
9,29
8,86
0,43
1,15
1,08
0,07
0,22
0,20
0,184


Berdasarkan hasil uji statistik diatas, maka dapat disimpulkan pada 5%
tidak ada perubahan yang bermakna terhadap respon perilaku kekerasan
pada klien yang tidak mendapat REBT (p value 0,05).



Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
116

Universitas Indonesia
5.2.2.5 Perbedaan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Setelah Dilakukan REBT
Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol

Pada bagian ini akan dijelaskan distribusi karakteristik respon-respon perilaku
kekerasan pada klien dengan masalah perilaku kekerasan sesudah dilakukan
REBT pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dianalisis dengan
menggunakan uji Independent sample t-Test dan hasil analisisnya disajikan
pada tabel 5.6.

Tabel 5.6
Analisis Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien PK Setelah
Dilakukan REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 53)


Respon PK Kelompok n Mean SD
Min
Max

p Value
Kognitif

1.Intervensi
2. Kontrol
25
28
22,68
18,54
2,90
3,21
18 31
11 25
0,000
Emosi 1. Intervensi
2. Kontrol
25
28
14,20
16,89
2,39
2,30
8 - 19
12 23
0,001
Perilaku 1. Intervensi
2. Kontrol

25
28
10,68
13,36
1,82
1,68
7 14
10 - 16
0.000
Sosial 1. Intervensi
2. Kontrol
25
28
15,84
13,54
1,57
2,15
13 - 19
8 19
0,000
Fisiologis 1. Intervensi
2. Kontrol
25
28
6,48
8,86
0,59
1,08
6 8
6 10
0,000
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
117

Universitas Indonesia
Hasil analisis diatas memperlihatkan bahwa respon kognitif, emosi,perilaku,
sosial dan fisiologis pada klien PK yang mendapat REBT lebih baik secara
bermakna dibandingkan dengan klien PK yang tidak mendapatkan REBT


5.2.2.6 Selisih Perubahan respon-respon perilaku kekerasan sebelum dan setelah
terapi pada kelompok intervensi dan kontrol
Perbedaan selisih perubahan rata-rata respon-respon perilaku kekerasan antara
klien yang mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT dianalisis dengan
menggunakan uji Independent Sample t-Test dengan hasil seperti tabel 5.7

Tabel 5.7
Analisis Selisih Perubahan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien
PK Sebelum Dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Intervensi dan
Kontrol Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 53)
Respon PK Kelompok N Mean SD SE t p value
Respon Kognitif
(Selisih Pre & Post)
1.Intervensi

2. Kontrol
25
28
3,80
0,46
4,18
4,80
0,84
0,91
2,68 0,010
Respon Emosi
(Selisih Pre & Post)
1. Intervensi

2. Kontrol
25
28
2,92
0,36
3,98
2,86
0,79
0,54
2,72 0,009
Respon Perilaku

(Selisih Pre & Post)
1. Intervensi

2. Kontrol
25
28
2,32
0,14
1,84
2,07
0,37
0,39
4,03 0,000
Respon Sosial
(Selisih Pre & Post)
1. Intervensi

2. Kontrol
25
28
1,60
0,25
2,29
3,04
0,46
0,57
1,81 0,076
Respon Fisiologis
(Selisih Pre & Post)
1. Intervensi

2. Kontrol
25
28
2,56
0,43
1,29
1,67
0,26
0,32
5,16 0,000
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
118

Universitas Indonesia
Berdasar tabel 5.7 diketahui selisih perubahan respon kognitif PK antara
yang mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT ada perbedaan yang
bermakna (P
value
= 0.023; = 0.05).
Berdasar tabel 5.7 diketahui selisih perubahan respon emosi PK antara yang
mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT ada perbedaan yang
bermakna (P
value
= 0.009; = 0.05).
Berdasar tabel 5.7 diketahui selisih perubahan respon perilaku PK antara
yang mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT ada perbedaan yang
bermakna (P
value
= 0.000; = 0.05).
Berdasar tabel 5.7 diketahui selisih perubahan respon sosial PK antara yang
mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT tidak ada perbedaan yang
bermakna (P
value
= 0.076; = 0.05).
Berdasar tabel 5.7 diketahui selisih perubahan respon fisiologis PK antara
yang mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT ada perbedaan yang
bermakna (P
value
= 0.000; = 0.05).
Berdasarkan hasil-hasil analisis diatas maka dapat diketahui bahwa ada
perbedaan yang bermakna ( P -value 0,05) pada selisih perubahan respon-
respon PK antara yang mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT
kecuali pada respon sosial P-value 0,05.

5.2.4 Faktor Yang Berkontribusi Terhadap Respon Perilaku Kekerasan Pada
Klien Dengan Perilaku Kekerasan
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perubahan respon perilaku kekerasan
pada klien yang mengalami masalah PK dilakukan untuk mengidentifikasi
adanya perubahan yang bermakna terhadap respon-respon perilaku kekerasan
pada klien setelah REBT diberikan pada kelompok intervensi. Faktorfaktor
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
119

Universitas Indonesia
yang berkontribusi terhadap respon-respon PK klien dianalisis menggunakan
uji Korelasi Regresi Linier Ganda yang dapat dilihat pada tabel tabel berikut :

Tabel 5.8
Faktor yang berkontribusi terhadap Respon Kognitif Perilaku
Kekerasan Pada Klien Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor
Tahun 2010
( n = 53 )
Respon Kognitif
Karakteristik Klien PK B SE p R
2

(Constant) -0.466 5.501
0.933
1. Terapi REBT 3.538 1.319 0.373 0.01
2. Usia -0.047 0.076 -0.088 0.534
3. Jenis Kelamin 0.89 1.509 0.094 0.558
4. Pendidikan -0.448 0.636 -0.099 0.485
5. Pekerjaan 0.054 0.591 0.015 0.928
6. Frekuensi di rawat 1.396 1.558 0.123 0.375
0.163

Hasil analisis dari tabel 5.8 diatas dapat diketahui bahwa REBT memiliki
hubungan yang sedang dengan nilai r sebesar 0,403. Adapun peluang untuk
memperbaiki respon kognitif dari perilaku kekerasan dengan memberikan
REBT adalah sebesar 16,3% (R
2
= 0,163).

Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai P-value 0,25 seperti
usia, jenis kelamin, pendidikan, frekuensi di rawat dan riwayat gangguan jiwa
akan dikeluarkan dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.9



Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
120

Universitas Indonesia
Tabel 5.9
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Kognitif Perilaku
Kekerasan Pada Klien Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor Tahun 2010
( n = 53 )
Respon Kognitif
Karakteristik Klien PK B SE p R
2

(Constant) 0.464 0.855
0.589

1. Terapi REBT 3,336 1,244 0,351 0,010
0.124

Berdasarkan table 5.9 dapat diketahui bahwa terapi REBT mempunyai
pengaruh yang bermakna terhadap respon kognitif dengan p Value 0,05.

Hasil analisis dari tabel 5.10 dibawah dapat diketahui bahwa REBT memiliki
hubungan sedang dengan nilai r sebesar 0,455. Adapun peluang untuk
memperbaiki respon emosi dari perilaku kekerasannya dengan memberikan
REBT adalah sebesar 20,7% (R
2
= 0,207).


Tabel 5.10
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Emosi Perilaku
Kekerasan Pada Klien Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor
Tahun 2010
(n = 53)
Respon Emosi
Karakteristik Klien PK B SE p R
2

(Constant) 2.026 4.068
0.621
1. Terapi REBT 2.73 0.975 0.379 0.007
2. Usia 0.072 0.056 0.177 0.203
3. Jenis Kelamin -0.37 1.116 -0.051 0.742
4. Pendidikan -0.197 0.471 -0.058 0.678
5. Pekerjaan -0.407 0.437 -0.147 0.356
6. Frekuensi di rawat -1.275 1.152 -0.148 0.274
0.207
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
121

Universitas Indonesia

Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai p Value 0,25 seperti
usia, jenis kelamin, pendidikan, frekuensi di rawat dan riwayat gangguan jiwa
akan dikeluarkan dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.11

Tabel 5.11
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Emosi Perilaku
Kekerasan Pada Klien Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor
Tahun 2010
(n = 53)
Respon Emosi
Karakteristik Klien
PK B SE p R
2

(Constant) 0.357 0.648
0.584

1. Terapi REBT 2,563 0,944 0,355 0,007
0,126

Berdasarkan table 5.11 dapat diketahui bahwa terapi REBT mempunyai
pengaruh yang bermakna terhadap respon emosi dengan P-value 0,05.

Tabel 5.12
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Sosial Perilaku
Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor,
Tahun 2010
(n = 53)
Respon Sosial
Karakteristik Klien
PK B SE p R
2

(Constant) -0.754 3.085
0.808
1. Terapi REBT 1.151 0.739 0.209 0.126
2. Usia 0.044 0.042 0.143 0.300
3. Jenis Kelamin 1.155 0.846 0.21 0.179
4. Pendidikan 0.175 0.357 0.067 0.626
5. Pekerjaan 0.191 0.331 0.09 0.566
6. Frekuensi di rawat -1.776 0.874 -0.271 0.048
0.215
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
122

Universitas Indonesia
Hasil analisis dari tabel 5.12 diatas dapat diketahui bahwa frekuensi dirawat
mempunyai hubungan yang sedang dengan nilai r 0, 464. Adapun peluang
memperbaiki respon sosial dari perilaku kekerasannya dengan frekuensi
dirawat sebesar 21,5% (R
2
= 0,215). Sedangkan REBT tidak memiliki
hubungan yang bermakna dengan perubahan pada respon sosial P-value
0,126 0,05.

Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai p Value 0,25 seperti
usia, jenis kelamin, pendidikan, dan riwayat gangguan jiwa akan dikeluarkan
dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.13

Tabel 5.13
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Sosial Perilaku
Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor,
Tahun 2010
(n = 53)
Respon Sosial
Karakteristik Klien
PK B SE pValue R
2

(Constant) 3.889 1.599
0.019

1. Terapi REBT 1,298 0,714 0,236 0,075
2. Frekuensi di rawat -2,038 0,852 -0,311 0,021
0.215


Berdasarkan table 5.13 diatas dapat diketahui bahwa terapi REBT tidak
mempunyai hubungan dengan respon sosial. Namun frekuensi di rawat lebih
memiliki hubungan dengan respon sosial pada klien PK.





Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
123

Universitas Indonesia
Tabel 5.14
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Perilaku dari
Perilaku Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di
RSMM Bogor, Tahun 2010
Respon Perilaku
Karakteristik Klien PK B SE P R
2

(Constant)
1.647 2.394 0.495

1. Terapi REBT 3.538 1.319 0.373 0.01
2. Usia -0.047 0.076 -0.088 0.534
3. Jenis Kelamin 0.89 1.509 0.094 0.558
4. Pendidikan -0.448 0.636 -0.099 0.485
5. Pekerjaan 0.054 0.591 0.015 0.928
6. Frekuensi di rawat 1.396 1.558 0.123 0.375
0.273

Hasil analisis dari tabel 5.14 diatas dapat diketahui bahwa REBT memiliki
hubungan yang kuat dengan nilai r sebesar 0,522. Adapun peluang untuk
memperbaiki respon perilaku dari PK dengan memberikan REBT adalah
sebesar 27,3% (R
2
= 0,273).
Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai p Value 0,25 seperti usia,
jenis kelamin, pendidikan, frekuensi di rawat dan riwayat gangguan jiwa akan
dikeluarkan dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.15

Tabel 5.15
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Perilaku dari
Perilaku Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di
RSMM Bogor, Tahun 2010
(n = 53)






Respon Perilaku
Karakteristik Klien PK B SE p R
2

(Constant)
0.143 0.371 0.702

1. Terapi REBT 2,177 0,541 0,491 0,000
0,241
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
124

Universitas Indonesia

Berdasarkan table 5.15 dapat diketahui bahwa terapi REBT mempunyai
hubungan yang bermakna dengan respon perilaku (p Value 0,05).


Tabel 5.16
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Fisiologis Perilaku
Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor,
Tahun 2010
Respon Fisiologis
Karakteristik Klien PK B SE p R
2

(Constant) 2.209 1.788
0.223
1. Terapi REBT 2.158 0.429 0.593 0
2. Usia -0.006 0.025 -0.028 0.813
3. Jenis Kelamin -0.199 0.49 -0.055 0.687
4. Pendidikan -0.211 0.207 -0.122 0.312
5. Pekerjaan 0.207 0.192 0.148 0.286
6. Frekuensi di rawat -0.58 0.506 -0.134 0.258
0.399

Hasil analisis dari tabel 5.16 diatas dapat diketahui bahwa REBT memiliki
hubungan yang kuat nilai r sebesar 0,631. Adapun peluang untuk
memperbaiki respon fisiologis dari perilaku kekerasan dengan memberikan
REBT adalah sebesar 39,9% (R
2
= 0,399).

Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai p Value 0,25 seperti usia,
jenis kelamin, pendidikan, frekuensi di rawat dan riwayat gangguan jiwa akan
dikeluarkan dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.17


Tabel 5.17
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
125

Universitas Indonesia
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Fisiologis Perilaku
Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor
Tahun 2010
( n = 53 )
Respon Fisiologis
Karakteristik Klien PK B SE p R
2

(Constant) 0.429 0.284
1.37

1. Terapi REBT 2,131 0,413 0,586 0,000
0.343

Berdasarkan table 5.17 diatas dapat diketahui bahwa terapi REBT mempunyai
hubungan yang bermakna dengan respon fisiologis (p Value 0,05).

Berdasarkan hasil analisis tabel-tabel diatas dapat disimpulkan bahwa terapi
REBT mempunyai hubungan yang sedang untuk respon kognitif dan emosi
dan mempunyai hubungan yang kuat untuk respon perilaku dan emosi.
namun tidak ada hubungan dengan respon sosial (p Value 0,05).
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
126

BAB 6
PEMBAHASAN


Bab ini akan memaparkan tentang pembahasan hasil penelitian, keterbatasan penelitian baik dari
aspek metodologis maupun proses pelaksanaan, dan implikasi hasil penelitian terhadap
pelayanan keperawatan jiwa, keilmuan dan penelitian berikutnya.

6.1 Pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) Terhadap Respon Perilaku
Kekerasan pada Klien Perilaku Kekerasan (PK)
Pengaruh REBT terhadap respon-respon perilaku kekerasan seperti emosi, perilaku, sosial
dan fisiologis akan diuraikan terhadap masing respon tersebut .

6.1.1 Pengaruh REBT Terhadap Respon Kognitif pada Klien PK

Pada klien yang mendapatkan terapi psikososial REBT ditemukan peningkatan secara
bermakna pada respon kognitif, ini berarti REBT berpengaruh terhadap peningkatan
respon kognitif klien PK sehingga pengetahuan klien meningkat tentang masalah perilaku
kekerasan yang dialaminya sebagai perilaku maladaptif yang dapat mencelakakan
dirinya, orang lain dan lingkungan. Hasil penelitian ini sesuai dengan Rieckert (2000)
menyatakan terapi REBT secara signifikan dapat mengurangi kemarahan, perasaan
bersalah dan harga diri yang rendah. Pemberian terapi REBT pada klien PK didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Jensen (2008) yang menyatakan bahwa respon-
respon prilaku kekerasan mengalami perubahan yang bermakna disebabkan karena terapi
REBT yang diberikan menggunakan pendekatan kognitif dan perilaku dengan
mengemukakan fakta-fakta bahwa perilaku yang dihasilkan bukan berasal dari kejadian
yang dialami namun dari keyakinankeyakinan yang tidak rasional. Hal ini sesuai dengan
teori REBT yang memodifikasi keyakinan irrasional dari individu secara spesifik
sehingga dapat menurunkan perilaku agresifnya.


Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
127

Universitas Indonesia

Berdasarkan literatur lainnya dinyatakan bahwa Perasaan dan pikiran negatif serta
penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat
diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional (faizmh,
2009). REBT diberikan bertujuan untuk mengurangi keyakinan irrasional dan
menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk dewasa yang marah dan agresif
(Ellis, 1962 dalam Adomeh, 2006). Melalui terapi REBT klien dilatih untuk dapat
mengevaluasi diri sendiri dengan mengidentifikasi kejadian yang pernah dialami, pikiran-
pikiran irrasional yang timbul terkait dengan kejadian dan mempengaruhi perasaan
(emosi) klien sehingga menghasilkan perilaku maladaptif yang sebenarnya tidak
diinginkan. Oleh karena itu klien juga dilatih untuk mengubah pikiran yang tidak rasional
tersebut menjadi lebih rasional sehingga perasaan (emosi) menjadi lebih baik dan
menunjukkan perilaku yang adaptif. Dengan demikian klien mengetahui dan menyadari
bahwa pikiran dan persepsi yang negatif atau salah terhadap suatu kejadian atau peristiwa
yang menimbulkan terjadinya PK.

Sedangkan Pada klien yang tidak mendapatkan terapi REBT tidak ditemukan
peningkatan secara bermakna pada respon kognitif. Hal ini dapat disebabkan karena
klien belum mengetahui atau menyadari pikiran, persepsi atau keyakinannya yang salah
atau tidak rasional terhadap suatu kejadian atau peristiwa yang dialami. Cristopher (2010)
mengatakan bahwa hubungan pemikiran dan emosi berperan penting dalam
menerjemahkan marah menjadi perilaku agresif atau PK. Banyak klien PK mengalami
kesulitan dalam mengidentifikasi perasaannya, kebutuhannya dan keinginannya untuk
diungkapkannya pada orang lain sehingga klien merasa tertekan. Pengetahuan dan
intelegensi adalah sumber koping yang akan menuntun individu untuk melihat cara lain
dalam menghadapi tekanan (Stuart, 2009). Dengan demikian Klien PK pada kelompok
ini tidak mendapatkan pendidikan kesehatan lanjutan untuk masalah PK sehingga klien
hanya mengetahui cara untuk mengontrol marahnya namun belum mengetahui cara untuk
mencegah timbulnya rasa marah dengan mengubah cara berpikir dan keyakinan menjadi
lebih rasional terhadap kejadian atau peristiwa yang dialami.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
128

Universitas Indonesia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan respon kognitif
secara bermakna antara kelompok yang mendapatkan terapi REBT dengan yang tidak
mendapatkan terapi REBT. Pada klien yang mendapatkan terapi terjadi peningkatan
respon kognitif secara bermakna dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi
REBT. Hal ini berarti terapi REBT mempengaruhi terjadinya perubahan berupa
peningkatan pada respon kognitif klien PK. Secara substansi peningkatan kognitif
sebenarnya juga terjadi pada kelompok yang tidak mendapat REBT namun tidak sebesar
kelompok yang mendapatkan REBT, ini dapat disebabkan karena kelompok yang tidak
mendapat REBT tetap mendapatkan terapi generalis. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Keliat (2003), menyatakan bahwa pemberian terapi generalis PK
menghasilkan kemampuan mencegah PK secara mandiri sebesar 86,6% dan secara
bermakna menurunkan PK.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi generalis kepada klien PK
dapat menurunkan perilaku kekerasan namun akan lebih maksimal penurunan perilaku
kekerasan bila dilanjutkan dengan terapi lanjutan (spesialis) seperti REBT. Terapi REBT
akan meningkatkan repon kognitif klien PK untuk dapat membedakan antara pikiran
yang rasional dan pikiran yang tidak rasional, karena pikiran yang tidak rasional akan
menimbulkan perasaan dan perilaku yang tidak sehat atau maladaptif.


6.1.2 Pengaruh REBT Terhadap Respon Emosi pada Klien PK
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada klien PK menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan penurunan respon emosi secara bermakna antara kelompok yang mendapatkan
terapi REBT dan yang tidak mendapatkan REBT. Hal ini karena terapi REBT
memberikan kesempatan pada klien untuk mengenali perasaan-perasaan yang disebabkan
karena adanya pikiran yang tidak rasional terhadap setiap kejadian atau peristiwa yang
membuat klien berperilaku kekerasan sehingga klien mengenali perasaan-perasaan yang
dapat menimbulkan perilaku maladaptif. REBT adalah metode untuk memahami dan
mengatasi masalah emosi dan perilaku (Froggatt, 2005).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
129

Universitas Indonesia

Respon emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan
filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional
tersebut merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irrasional, dimana
emosi yang menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal,
dan irrasional. Teori REBT menegaskan bahwa keyakinan yang tidak rasional akan
membawa individu pada emosi dan perilaku negatif yang tidak sehat seperti perilaku
amuk (agresif) dan rasa bersalah (Jensen, 2008). REBT baik diberikan pada klien PK
karena di dalam materi REBT menjelaskan pada klien cara berpikir rasional, mengubah
emosi yang mengganggu menjadi emosi yang menyenangkan sehingga klien dapat
menyelesaikan masalah. Berdasarkan pada konsep REBT bahwa emosi dan perilaku
merupakan hasil dari proses pikir yang memungkinkan bagi manusia untuk
memodifikasinya seperti proses untuk mencapai cara yang berbeda dalam merasakan dan
bertindak (Froggatt, 2005).

Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan terapi REBT pada penelitian ini
tidak mengalami penurunan emosi secara bermakna. Ini disebabkan karena klien belum
mampu mengidentifikasi perasaan-perasaannya terkait dengan adanya pemikiran dan
keyakinan yang tidak rasional ketika menghadapi suatu kejadian atau peristiwa dalam
kehidupannya. Ini dapat membuat klien tetap mempertahankan pemikiran yang tidak
rasional tersebut sehingga ketika bertemu dengan peristiwa yang sama maka emosi klien
akan tetap sama. Dengan demikian pemikiran irrasional yang tidak dirubah akan
mempengaruhi emosi dan menyebabkan perilaku yang maladaptif berulang.

Hasil analisis terhadap respon emosi setelah diberikan REBT pada kelompok yang
mendapatkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan REBT menunjukkan perbedaan
yang bermakna dimana pada kelompok yang mendapatkan REBT memperlihatkan
terjadinya penurunan respon emosi secara bermakna sedangkan pada yang tidak
mendapatkan terjadi penurunan yang tidak bermakna. Penurunan tetap terjadi pada
kelompok yang tidak mendapatkan REBT walaupun tidak sebesar penurunan pada
kelompok yang mendapatkan REBT disebabkan karena adanya terapi generalis yang
diberikan, ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Keliat (2003), pemberian terapi
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
130

Universitas Indonesia

generalis perilaku kekerasan pada klien secara afektif berupa kemauan untuk mengontrol
perilaku kekerasan yang dilatih.

6.1.3 Pengaruh REBT Terhadap Respon Perilaku pada Klien PK
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap klien PK memperlihatkan adanya penurunan
secara bermakna pada respon perilaku. Penurunan secara bermakna ini terlihat pada
kelompok yang mendapatkan REBT. Ini berarti bahwa REBT memberikan pengaruh
yang bermakna terhadap penurunan perilaku kekerasan pada klien. Berdasarkan literatur
Albert Ellis (Corsini & Wedding, 1989 dalam Dominic, 2003) berpendapat bahwa yang
perlu dirubah oleh individu untuk mengatasi masalah emosi maupun perilakunya adalah
adanya keyakinan irrasional yang dikembangkan sendiri oleh individu dan Albert Ellis
mengembangkan sebuah terapi bernama REBT (Rational Emotive Behavioural Therapy).
REBT adalah suatu proses pembelajaran dimana terapis mengajarkan klien bagaimana
cara untuk megidentifikasi keyakinan yang tidak rasional, menolaknya, dan
menggantikannya dengan keyakinan dan pikiran yang rasional.

REBT berpeluang 39,9% menurunkan respon perilaku dan ini dapat terlihat walaupun
dalam waktu yang singkat yaitu seminggu. Mengubah perilaku dapat dilakukan dengan 3
strategi (WHO, dalam Notoadmojo, 2003) yaitu menggunakan kekuasaan/
kekuatan/dorongan, pemberian informasi, diskusi partisipan. Dengan demikian masih
ada 60,1% lagi yang dapat dicapai oleh klien untuk menurunkan perilaku kekerasannya
dan ini dapat dicapai dengan memberikan kesempatan dan memotivasi klien untuk
melaksanakan latihan yang diberikan sehingga membudaya dalam diri klien. Sunaryo
(2004) menyatakan bahwa perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu
kebutuhan, motivasi, sikap dan kepercayaan.

Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan REBT tidak terjadi penurunan
perilaku kekerasan secara bermakna. Penurunan respon perilaku tidak sebesar pada
kelompok yang mendapatkan REBT. Penurunan tetap ditemukan karena klien
mendapatkan terapi generalis yang melatih klien kemampuan secara psikomotor berupa
cara mengontrol perilaku kekerasan secara konstruktif ( Keliat, 2003).
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
131

Universitas Indonesia


Hasil analisis pada klien PK setelah dilakukan REBT pada kelompok yang mendapat dan
pada kelompok yang tidak mendapat REBT menunjukkan bahwa perbedaan penurunan
respon perilaku secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan REBT. Ini berarti
pemberian terapi REBT dan terapi generalis pada klien PK menurunkan respon perilaku
yang lebih besar dari pada hanya diberikan terapi generalis saja.


6.1.4 Pengaruh REBT Terhadap Respon Sosial pada Klien PK
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada klien PK ditemukan peningkatan secara
bermakna pada respon sosial klien yang mendapatkan REBT. Hal ini berarti REBT
berpengaruh secara bermakna dalam meningkatkan respon sosial klien PK. Menurut
Boyd dan Nihart (1998) tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial akan ditemukan
penurunan interaksi sosial. Menurut Beck, emosi marah sering merangsang kemarahan
orang lain. Pengalaman marah dapat mengganggu hubungan interpersonal. Dengan
diberikan REBT, klien akan belajar untuk berpikir secara rasional dan berperilaku yang
adaptif sehingga hubungan interpersonalnya dengan orang lain meningkat.

Sedangkan pada klien yang tidak mendapat REBT ditemukan tidak ada peningkatan
secara bermakna pada respon sosialnya. Peningkatan respon sosial pada klien PK yang
tidak mendapatkan terapi REBT disebabkan karena klien mendapatkan terapi generalis
tentang cara mengontrol perilaku kekerasan dan disamping itu sebagian dari klien ada
yang mendapatkan terapi generalis isolasi sosial. Sesuai dengan literature yang
menyatakan sebagian orang menyalurkan kemarahan dengan menilai dan mengkritik
tingkah laku orang lain sehingga orang lain merasa sakit hati. Proses tersebut dapat
menyebabkan seseorang menarik diri dari orang lain.

Hasil analisis setelah dilakukan REBT pada klien yang mendapat REBT menunjukkan
ada peningkatan respon sosial secara bermakna begitu juga pada saat membedakan
perubahan respon sosial setelah pemberian REBT pada kedua kelompok. Namun pada
hasil uji perbedaan selisih perubahan respon sosial pada klien PK terjadi peningkatan
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
132

Universitas Indonesia

respon sosial tidak bermakna. Sebenarnya terjadi peningkatan dikedua kelompok dan
secara substansi peningkatan pada kelompok yang mendapatkan REBT lebih besar dari
yang tidak mendapatkan REBT. Hal ini disebabkan karena adanya faktor lain yang ikut
berkontribusi dalam perubahan respon sosial ini selain REBT yaitu frekuensi di rawat di
rumah sakit, dimana frekuensi dirawat ini mempunyai hubungan yang kuat dengan
respon sosial pada klien PK. Dengan demikian REBT dapat meningkatkan respon sosial
klien PK namun dapat dipengaruhi oleh frekuensi klien dirawat di rumah sakit.



6.1.5 Pengaruh REBT Terhadap Respon Fisiologis pada Klien PK
Pada klien yang mendapatkan terapi psikososial REBT ditemukan penurunan secara
bermakna pada respon fisiologis, ini berarti REBT berpengaruh terhadap penurunan
respon fisiologis klien PK. Menurut Stuart dan Laraia (2009), Perilaku kekerasan dapat
dilihat dari wajah tegang, tidak bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan, rahang
mengencang, peningkatan pernafasan, dan kadang tiba-tiba seperti kataton. Menurut
Beck respons fisiologis marah timbul karena kegiatan system syaraf otomom bereaksi
terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi denyut jantung
meningkat, wajah merah, pupil melebar, dan frekuensi pengeluaran urin meningkat.
Dengan diberikannya REBT pada klien maka klien akan belajar untuk berpikir rasional,
mengontrol perasaannya dan perilakunya sehingga system syaraf otonom tidak bereaksi
dan respon fisiologis menjadi turun mencapai batas normal.

Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan REBT menunjukkan tidak ada
penurunan yang bermakna pada respon fisiologisnya. Walaupun penurunan sebenarnya
juga terjadi namun tidak sebesar yang mendapatkan REBT. Ini disebabkan karena klien
hanya mendapatkan terapi generalis, dimana klien dilatih untuk dapat mengontrol
perilaku kekerasannya.


Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
133

Universitas Indonesia

Hasil analisis setelah diberikannya terapi REBT pada kelompok yang mendapat dan tidak
mendapat REBT menunjukkan penurunan yang signifikan atau bemakna terhadap respon
fisiologis. Hal ini berarti REBT menunjukkan perbedaan penurunan respon perilaku
secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan REBT dibandingkan dengan yang
tidak mendapat REBT. Terapi REBT berpengaruh secara bermakna terhadap penurunan
respon fisiologis.

6.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Respon PK
Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa faktor yang berhubungan atau tidak berhubungan
secara bermakna dengan respon-respon PK. Pembahasan selengkapnya terurai sebagai
berikut:


6.2.1 Hubungan Usia dengan respon PK
Berdasarkan hasil penelitian ini usia tidak ada hubungan yang bermakna dengan respon
perilaku kekerasan. Ini berarti perubahan usia tidak diikuti oleh perubahan pada respon
perilaku kekerasan. Baik itu dari respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun
fisiologis.

Menurut literatur karakteristik yang termasuk pada sosial budaya seperti: usia, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, peran sosial, latar belakang budaya, agama dan
kayakinan individu (Stuart & Laraia, 2005), riwayat perilaku kekerasan di masa lalu
(American Psychiatric Assosiations, 2000; steinert, Wiebe, & Gebhardt, 1999 dalam
Fauziah, 2009).Ini semua adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
perilaku kekerasan pada individu

Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara usia dengan respon PK ini
disebabkan karena peneliti melihat hubungan usia dari masing-masing respon perilaku
kekerasan yaitu respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis,
sedangkan pada penelitian sebelumya hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku
kekerasan secara keseluruhan.
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
134

Universitas Indonesia


6.2.2 Hubungan Jenis kelamin dengan respon PK
Berdasarkan hasil penelitian ini jenis kelamin tidak ada hubungan yang bermakna dengan
respon perilaku kekerasan. Ini berarti jenis kelamin antara pria dan wanita tidak
mempengaruhi perubahan pada respon perilaku kekerasan. Baik itu dari respon kognitif,
emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa karakteristik jenis kelamin
berhubungan dengan kejadian perilaku kekerasan verbal (p value 0,001) dan klien laki-
laki dua kali lipat lebih banyak dari klien perempuan, Namun pada penelitian ini tidak
ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin disebabkan karena peneliti melihat
hubungan dari masing-masing respon perilaku kekerasan yaitu respon kognitif,
emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis sedangkan pada penelitian sebelumya
hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku kekerasan secara keseluruhan.

6.2.3 Hubungan Pendidikan dengan respon PK
Berdasarkan hasil penelitian ini pendidikan tidak ada hubungan yang bermakna dengan
respon perilaku kekerasan. Ini berarti tingkat pendidikan seseorang tidak mempengaruhi
terjadinya perubahan pada respon perilaku kekerasan. Baik itu dari respon kognitif,
emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis.

Hasil penelitian terdahulu ditemukan penelitian yang dilakukan Keliat (2003)
menyebutkan karakeristik pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan mempengaruhi
dalam kejadian perilaku kekerasan, dimana sebahagian besar berpendidikan menengah
dan rendah, tidak bekerja, tidak kawin dan dirawat untuk pertama kali di rumah sakit.
Faktor sosial, budaya juga merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan
pada individu.

Namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin
disebabkan karena peneliti melihat hubungan dari masing-masing respon perilaku
kekerasan yaitu respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
135

Universitas Indonesia

sedangkan pada penelitian sebelumya hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku
kekerasan secara keseluruhan.

6.2.4 Hubungan Pekerjaan dengan respon PK
Berdasarkan hasil penelitian ini pekerjaan tidak ada hubungan yang bermakna dengan
respon perilaku kekerasan. Ini berarti pekerjaan yang dilakukan seseorang tidak
mempengaruhi terjadinya perubahan pada respon perilaku kekerasan. Baik itu dari
respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis.

Pada hasil penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan Keliat (2003)
menyebutkan karakeristik pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan mempengaruhi
dalam kejadian perilaku kekerasan. Kondisi sosial lain yang dapat menimbulkan perilaku
kekerasan seperti : keluarga single parent, pengangguran, kesulitan mempertahankan tali
persaudaraan, struktur keluarga, dan kontrol sosial ( Stuart & Laraia, 2005).

Namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin
disebabkan karena peneliti melihat hubungan dari masing-masing respon perilaku
kekerasan yaitu respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis
sedangkan pada penelitian sebelumya hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku
kekerasan secara keseluruhan.


6.2.5 Hubungan Frekuensi di Rawat Dengan Respon PK
Berdasarkan hasil penelitian ini frekuensi di rawat tidak ada hubungan yang bermakna
dengan respon perilaku kekerasan seperti respon kognitif, emosi(afektif), perilaku
maupun fisiologis. Ini berarti frekuesi klien dirawat di rumah sakit tidak mempengaruhi
terjadinya perubahan pada respon perilaku kekerasan. Frekuensi di rawat mempunyai
hubungan yang bermakna dengan respon sosial perilaku kekerasan , artinya Frekuensi
rawat klien di rumah sakit akan mempengaruhi klien dalam respon sosialnya.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
136

Universitas Indonesia

Berdasarkan Dyah (2009) menyatakan frekuensi dirawat menunjukkan seberapa sering
individu dengan PK mengalami kekambuhan. Namun pada penelitian ini tidak
ditemukan adanya hubungan antara frekuensi di rawat disebabkan karena peneliti melihat
hubungan dari masing-masing respon perilaku kekerasan yaitu respon kognitif,
emosi(afektif), perilaku,maupun fisiologis sedangkan pada penelitian sebelumya
hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku kekerasan secara keseluruhan.


6.2.6 Hubungan Riwayat Gangguan Jiwa Dengan Respon PK
Berdasarkan hasil penelitian ini Riwayat gangguan jiwa tidak ada hubungan yang
bermakna dengan respon perilaku kekerasan. Ini berarti riwayat seseorang mengalami
gangguan jiwa tidak mempengaruhi terjadinya perubahan pada respon perilaku
kekerasan. Baik itu dari respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun
fisiologis.

Berdasarkan literatur dinyatakan riwayat perilaku kekerasan di masa lalu (American
Psychiatric Assosiations, 2000; steinert, Wiebe, & Gebhardt, 1999 dalam Fauziah, 2009),
Keliat (2003) menyebutkan karakeristik pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan
mempengaruhi dalam kejadian perilaku kekerasan, dimana sebahagian besar
berpendidikan menengah dan rendah, tidak bekerja, tidak kawin dan dirawat untuk
pertama kali di rumah sakit.

Namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara riwayat gangguan
jiwa, disebabkan karena peneliti melihat hubungan dari masing-masing respon perilaku
kekerasan yaitu respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis
sedangkan pada penelitian sebelumya hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku
kekerasan secara keseluruhan. Dengan demikian diperlukan adanya penelitian untuk klien
PK dengan terapi REBT yang dilihat dari kemampuan klien yang dihasilkan dari terapi
sehingga lebih dapat dihubungkan dengan riwayat gangguan jiwa.


Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
137

Universitas Indonesia

6.3 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah dalam pengumpulan data peneliti menggunakan perawat
lain namun untuk penyamaan persepsi dan cara pengambilan data belum dilakukan uji
interriter. Keterbatasan lainnya adalah kuesioner untuk masing-masing respon PK jumlahnya
juga sedikit sehingga kurang mewakili secara maksimal informasi yang dibutuhkan untuk
mengetahui respon PK tersebut dan kata-kata dan isi kuesioner kurang sederhana sehingga
bila digunakan untuk klien dengan gangguan jiwa mengalami kesulitan untuk memahaminya
secara langsung sehingga pengumpul data harus menjelaskan dengan berulang kali.
Kuesioner lebih tepat bila diberikan pada klien dengan perilaku kekerasan yang
penyebabnya jelas dan nyata sehingga kurang tepat bila diberikan kepada klien Risiko PK
dengan halusinasi. Lamanya waktu yang digunakan untuk penelitian ini dirasa kurang
karena untuk melihat secara langsung perubahan perilaku dan membudayaannya pada klien
membutuhkan waktu yang cukup lama.

6.5 Implikasi Hasil Penelitian
Berikut ini diuraikan implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan keperawatan jiwa,
keilmuan dan pendidikan keperawatan, dan terhadap penelitian berikutnya.

6.5.1 Pelayanan Keperawatan Jiwa
Terapi REBT dapat menjadi salah satu satu terapi modalitas keperawatan jiwa yang efektif
untuk membantu klien dengan perilaku kekerasan untuk mengontrol perilaku PKnya
dengan melatih cara berpikir, berperasaan (emosi), berperilaku sehingga meningkatkan
hubungan sosialnya dan menurunkan respon fisiologis sehingga mencapai nilai normal.
Terapi REBT dapat diberikan dalam bentuk individu dan kelompok. Terapi juga dapat
diberikan pada saat klien sudah di masyarakat yaitu saat kontrol ke rumah sakit, sehingga
klien tidak harus lama dirawat di rumah sakit.

6.5.2 Keilmuan dan pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah keilmuan tentang aplikasi salah satu terapi modalitas
keperawatan jiwa pada kelompok gangguan dan risiko dalam upaya meningkatkan
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
138

Universitas Indonesia

kesehatan jiwa dan dapat diberikan sebagai bahan pembelajaran keperawatan jiwa lanjut
khususnya di rumah sakit dan komunitas.

6.5.3 Penelitian berikutnya
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk pelaksanaan penelitian berikutnya
tentang pengaruh terapi REBT terhadap peningkatan perkembangan keperawatan jiwa
pada berbagai individu dan kelompok dengan masalah keperawatan yang sama atau
berbeda.























Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
139

BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai
berikut:
7.1 Simpulan
7.1.1 Karakterisitik dari 53 orang responden yang dilakukan dalam penelitian ini rata-rata
berusia 35tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 56 tahun, lebih banyak
perempuan (50,9%), sebagian besar adalah tidak bekerja (56,6%), memiliki jenjang
pendidikan SD dan SMP (60,4%), dengan adanya riwayat gangguan jiwa (77,4%) dan
frekuensi dirawat di rumah sakit 2 kali atau lebih .

7.1.2 Kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan diketahui dari respon respon
PK klien yang meliputi respon kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis. Respon-
respon tersebut sebelum pelaksanaan REBT bervariasi, pada respon Kognitif dan Sosial
bervariasi dari rendah sampai tinggi. Begitu juga dengan respon emosi, perilaku dan
fisiologis bervariasi dari tinggi sampai rendah.

7.1.3 Respon kognitif dan sosial PK meningkat secara bermakna pada kelompok yang
mendapatkan REBT. Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan REBT respon
kognitif dan sosial meningkat secara tidak bermakna.
7.1.4 Pada Respon Emosi, perilaku dan fisiologis menurun secara bermakna pada kelompok
yang mendapatkan REBT sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan REBT
menurun secara tidak bermakna.
7.1.5 Adanya perbedaan secara bermakna pada respon kognitif, emosi, perilaku, sosial dan
fisiologis pada kelompok yang mendapatkan REBT dengan kelompok yang tidak
mendapatkan REBT.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
140

Universitas Indonesia
7.1.6 Ada pengaruh REBT terhadap kemampuan klien dalam mengontrol PK melalui respon
kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologisnya. Ada pengaruh frekuensi klien dirawat
di rumah sakit dengan respon sosial klien PK. Tidak ada pengaruh, usia, jenis kelamin,
pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan ferekuensi dirawat di rumah sakit dengan respon
kognitif, emosi, perilaku dan fisiologis klien PK.

7.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, ada beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan yaitu
sebagai berikut:

7.2.1 Aplikasi keperawatan
7.2.1.1 Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan selalu
memotivasi klien dan mengevaluasi kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari dan
dimiliki oleh klien sehingga latihan yang diberikan membudaya.

7.2.1.2 Perawat jiwa dirumah sakit sebaiknya memberikan terapi lanjutan pada klien selain terapi
generalis yang sudah standar untuk menjadikan kemampuan klien meningkat secara
lebih bermakna seperti memberikan generalis PK dan terapi REBT pada klien dengan
perilaku kekerasan.

7.2.2 Pengembangan keilmuan
7.2.2.1 Pihak pendidikan tinggi keperawatan hendaknya mengembangkan terapi REBT pada
individu dan kelompok serta menjadi salah satu kompetensi yang dikuasai mahasiswa
atau lulusan perawat yang melakukan praktek di keperawatan jiwa.

7.2.2.2 Hasil penelitian ini hendaknya digunakan sebagai evidence based dalam mengembangkan
terapi REBT pada berbagai individu dan kelompok, sehingga menjadi modalitas terapi
keperawatan jiwa yang efektif dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dan
meningkatkan kesehatan jiwa.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
141

Universitas Indonesia
7.2.3 Penelitian berikutnya
7.2.3.1 Perlu penelitian lebih lanjut pada Klien PK dengan desain longitudinal untuk mengetahui
pencapaian kemampuan dalam mengontrol PK setelah dilakukan terapi REBT.

7.2.3.2 Perlunya dilakukan penelitian tentang efektifitas terapi REBT terhadap kemampuan
mengontrol PK dibandingkan dengan pendekatan terapi yang lain.

7.2.3.3 Perlu dilakukan penelitian tentang respon perilaku kekerasan dengan berbagai
karakteristik seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, budaya, ras, agama, sosial
ekonomi keluarga, geografis dan sebagainya.

7.2.3.4 Perlu dilakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi respon-
respon PK, untuk mengetahui faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap
perubahan respon-respon PK.




Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA


Adomeh. (2006), Fostering Emotional Adjustment Among Nigerian Adolescents
With Rational Emotive Behaviour Therapy,
http://www.highbeam.com/doc/1P3-1161697701.html. diperoleh tanggal 5
Februari 2010
Ariawan, I . (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan, Jakarta
: FKM-UI (tidak di publikasikan).
Banks & Zions (2009). Teaching a Cognitif Behaviour Strategy to Manage
Emotions, Rational Emotive Behaviour Therapy in Educational Setting,
Department Behaviour Management
Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (2002). Psychiatric Nursing Contemporary Practice.
USA. Lippincott Raven Publisher

Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice.
USA. Lippincott Raven Publisher

Brockop,D.Y., & Tolsma,M.T.H. (1995). Dasar-Dasar Riset Keperawatan. Edisi
ke-2. Jakarta:EGC
Dyah W (2009). Pengaruh Assertive Trainning Terhadap Perilaku Kekerasan
pada Klien Skizoprenia, Tesis. Jakarta. FIK UI. tidak dipublikasikan

Dominic. J (2003), Effects of Trait Anger and Negative Attitudes Towards Women
on Physical Assaults in Dating Ralationships, Journal of Family Violence,
Vol 18, No.5, Oktober 2003 diperoleh tanggal 10 februari 2010

Cristopher, E. (2010), Anger, Agression, and Irrational Beliefs In Adolescents,
Cogn Ter Res. Springer Science LLC diperoleh tanggal 10 Februari 2010

Endang (2009). Pengaruh Terapy Musik pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan,
Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan

Faizmh. (2009), Resume Teori Pendekatan Konseling Rational Emotive Therapy,
diperoleh tanggal 20 januari 2010

Fauziah (2009). Pengaruh Terapiu Perilaku Kognitif Pada Klien Skizoprenia
Dengan Perilaku Kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan
Fontaine, K.L. (2003). Mental Health Nursing. New Jersey. Pearson Education.
Inc

Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. Third
edition. Canada. Thomson Delmar Learning
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
Universitas Indonesia


Froggatt, W (2005). A Brief Introduction To Rational Emotive Behaviour
Therapy, Journal of Rational Emotive Behaviour Therapy, version Feb
2005

Hastono, S.P. (2007). Analisis data kesehatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia (tidak dipublikasikan).
Hidayat, A.A.A. (2007). Metode penelitian keperawatan dan tehnik analisis data.
Jakarta : Salemba Medika.
Jalil, M. (2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan penderita
skizoprenia di RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Skripsi. Tidak
dipublikasikan.
Jensen. (2010), Evaluating the ABC Models of Rational Emotive Behaviour
Therapy Theory : An Analysis of The Relationship Between Irrational
Thinking and Guilt, Thesis of Science in Psychology. The Faculty of
Department Psychology Villanova University. United State. ProQuest
LLC
Kaplan , H.I. ; Sadock, B.J. & . Grebb,J.A. (1997). Sinopsis Psikiatri (7
th
ed.).
Jakarta: Bina Rupa Aksara
Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis Psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis.
(Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Keliat, B.A. (1995). Peran serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan
Jiwa. Jakarta. EGC

Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan Klien dan Keluarga dalam Perawatan Klien
Skizofrenia dengan Perilaku Kekerasan di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta.
FKM UI. tidak dipublikasikan

Keliat & Sinaga.(1991), Asuhan Keperawatan Pada Klien Marah, Jakarta : EGC

Kneisl, C.R., Wilson, S.K., and Trigoboff, E. (2004). Psychiatric Mental Health
Nursing. New Jersey: Pearson Prentice Hall
Maramis, W.F. (2006). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya. Airlangga
University Press

Martin & Dahlen (2004). Irrational Beliefs and The Experience and Expression of
Anger, Journal of Rational Emotive & Cognitif - Behaviour Therapy, Vol
22, No. 1, Spring

McDermut, dkk (2009). Trait Anger and Axis I Disorder : Implications for REBT,
Journal of Rational Emotive Behaviour Therapy, 27 : 121- 135

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
Universitas Indonesia

Mila. (2009), Pengaruh Family Psychoeducation Therapy Terhadap Beban Dan
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Klien Pasung Di Kabupaten
Bireuen Nanggroe Aceh Darussalam, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak
dipublikasikan

Notoatmojo,S.(2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Pusat Penelitian dan Perkembangan Depkes RI. (2008). Riset Kesehatan Dasar
2007. www.litbang.go.id, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009

Rieckert & Moller (2000). Rational Emotive Behaviour Therapy In The
Treatment Of Adult Victims of Childhood Sexual Abuse, Journal of
Rational Emotive & Cognitif - Behaviour Therapy, Vol 18, No. 2, Summer

Rawlins & Beck, C.K.(1993). Mental Health- Psychiatric Nursing 3 rd Ed. St.
Louis : Mosby Year
Sabri, L & Hastono, S.P. (2007). Statistik kesehatan. Edisi 1. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Saladino. (2007, www.proquest umi.com/pqdweb?index, diperoleh tanggal 10
januari 2010)
Sastroasmoro, S. & Ismael, S. (2008). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis
(3
th
ed). Jakarta: CV. Sagung Seto.
Soetjiningsih (2004). Buku Ajar Tumbuh Kembang Remaja Dan
Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto
Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of psychiatric
nursing. (7th edition). St Louis: Mosby
Stuart, G.W & Laraia, M.T (2009). Principles and Practice of psychiatric
nursing. (7th edition). St Louis: Mosby
Stuart, G.W & Sundeen. (1995), Principles Practice Psychiatric Nursing (5
th

edition). St. Louis : Mosby
Sudjana. (2001). Metoda statistika. Edisi revisi. Bandung: Tarsito
Sunaryo.(2004). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta : EGC
Supriyanto, S. (2007). Metodologi riset. Surabaya: Program Administrasi &
Kebijakan Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga.
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
Universitas Indonesia

Townsend, C.M. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. (3th
Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company

Triantoro, S. & Saputra (2009), Manajemen Emosi, Jakarta. Bumi Aksara
Varcarolis, E.M. (2006), Psychiatric Nursing Clinical Guide; Assesment Tools
and Diagnosis . Philadelphia. W.B Saunders Co

Varcarolis, E.M. (2003), Psychiatric Nursing Clinical Guide; Assesment Tools
and Diagnosis . Philadelphia. W.B Saunders Co

Videbeck, S.L. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3
rd
edition).
Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins.
Videbeck, Sheila. L.(2008), Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta. EGC.

Wardhani. (2009), Pengalaman Keluarga Menghadapi Ketidakpatuhan Anggota
Keluarga Dengan Skizofrenia Dalam Mengikuti Regimen Terapeutik:
Pengobatan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan

WHO. (2001). The world Health Report: 2001: mental health: new
Understanding, new hope. www.who.int/whr/2001/en/ diperoleh tanggal
20 Januari 2010
WHO. (2003), Investing in Mental Health. www.who.int/mental_health. diperoleh
tanggal 23 Februari 2009

WHO. (1992), The ICD 10 Classification of Mental and Behavioural Disorders
: Clinical Description and Diagnosis Guidelines. Diperoleh tanggal 29
Maret 2010

World Federation For Mental health (2008), Leraning about Schizophrenia: An
international Mental Health Awareness Packet. Http:///www.wfmh.org.
diperoleh tanggal 8 Januari 2019

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010





UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP KLIEN
PERILAKU KEKERASAN DI RUANG RAWAT INAP RSMM BOGOR TAHUN 2010.


MANUSKRIP PENELITIAN




Dewi Eka Putri
NPM : 0806469565



FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA
DEPOK
JULI 2010
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010



PENGARUH RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP KLIEN
PERILAKU KEKERASAN DI RUANG RAWAT INAP RSMM BOGOR TAHUN 2010
Dewi Eka Putri, Budi Anna Keliat
2
dan Yusron Nasution
3

Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jakarta 10430, Indonesia

Email : dewi_adisifa@yahoo.com

Abstrak
Perilaku kekerasan (PK) adalah respon kemarahan maladaptif dalam bentuk perilaku menciderai diri,
orang lain dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran Pengaruh Rational Emotive
Behaviour Therapy terhadap penurunan perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM Bogor. Desain
Quasi Experimental Pre-Post Test with Control Group dengan intervensi Rational Emotive
Behaviour Therapy (REBT). Sampel penelitian adalah 53 klien skizoprenia paranoid dengan PK,
terdiri atas 25 kelompok intervensi dan 28 orang kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan
peningkatan respon kognitif dan sosial serta penurunan respon emosi, perilaku dan fisiologis secara
bermakna (P-value 0,05) pada klien yang mendapatkan REBT. REBT direkomendasikan untuk
diterapkan pada klien PK bersama dengan tindakan keperawatan generalis.

Kata Kunci: Perilaku Kekerasan, Rational Emotive Behaviour Therapy.

Abstract
Violent behavior is a maladaptive anger response, which is shown by the People whom treated
themselves, others and the environment. The study aims to get the explanation of the effect rational
emotive behavioral therapy in reducing violent behavioral in Bogor RSMM hospital. Design with
Quasi-Experimental design Pre-Post Test with Control Group and the intervention of rational
emotive behavior therapy (REBT). The samples of this research are 53 clients with paranoid
schizophrenia who has violent behavior, consisted of 25 clients as intervention group and 28 clients as
control group. The Results of this research show the increasing response of cognitive, social and
reducing of emotional response, behavioral, and physiological significantly, at (P-value 0,05) on the
clients who get REBT. In 2 times frequency treated associated with the client's social response
increased. REBT are recommended to provide to the clients with REBT critical nursing generalist.

Keywords : Violent behavior, Rational Emotive Behavior Therapy
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010



LATAR BELAKANG
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang terlihat dari
hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang
positif dan kestabilan emosional (Johnson, 1997, dalam Videbeck, 2008). Di Indonesia,
jumlah penderita masalah kesehatan jiwa cukup tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke
tahun dan hampir di seluruh bagian dari wilayah Indonesia dalam beberapa dekade ini,
populasi mengalami masa sulit karena konflik, kemiskinan maupun bencana alam.
WHO (2006) mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa,
dimana panik dan cemas adalah gejala paling ringan (Maramis, 2006). Berdasarkan hasil riset
kesehatan dasar (Ris.Kes.Das, 2007) yang dilakukan oleh Badan Penelitian Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan menunjukkan prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia
sebesar 4.6 permil, dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima
diantaranya menderita gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa merupakan respon maladaptif
individu berupa perubahan fungsi psikologis atau perilaku yang tidak sesuai dengan norma
lokal dan budaya setempat yang menyebabkan timbulnya penderitaan dan hambatan dalam
melaksanakan peran sosialnya. Skizoprenia merupakan salah satu diagnosa medis dari
gangguan jiwa yang paling banyak ditemukan dan merupakan gangguan jiwa berat. Menurut
data statistik direktorat kesehatan jiwa, pasien gangguan jiwa terbesar adalah skizofrenia yaitu
70% (Dep.Kes, 2003). American Association Psychiatric (2000) menyebutkan beberapa
penelitian melaporkan bahwa kelompok individu yang didiagnosa mengalami skizoprenia
mempunyai insiden lebih tinggi untuk mengalami perilaku kekerasan (APA, 2000 dalam
Sadino, 2007). Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku untuk melukai atau
mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara verbal atau fisik (Stuart & Laraia,
2005;2009).
Fokus tindakan untuk perilaku kekerasan (PK) adalah mengarahkan untuk pengurangan
perilaku impulsif, tehnik manajemen marah, terapi drama, terapi musik dan terapi dansa
(Cleven, 2006 dalam Choi, 2008). Menurut Endang (2009) terapi musik dapat menurunkan
perilaku kekerasan yang diketahui dari respon fisik, respon kognitif , respon perilaku dan
respon sosial klien. menurut Stuart dan Laraia (2005) adalah terapi asertif, time outs, dan token
economy. Menurut Dyah (2009) perilaku kekerasan pada kelompok yang mendapat terapi
generalis dan asertif training menurun secara bermakna pada respon fisik, respon kognitif,
respon perilaku dan respon sosial klien. . Sedangkan menurut Fauziah (2009) terapi perilaku
kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien skizoprenia dengan
perilaku kekerasan. Respon kognitif merupakan hasil penilaian terhadap kejadian yang
menekan, pilihan koping yang digunakan, reaksi emosional, fisiologis, perilaku dan sosial
individu (Stuart & Laraia, 2005). Berdasarkan teori diatas maka perlu adanya intervensi pada
klien dengan perilaku kekerasan yang mengarah kepada fisik, afektif (emosi),
kognitif,fisiologis, perilaku, dan sosial. Terapi Asssertiveness Trainning, terapi Musik dan
terapi Perilaku Kognitif belum mengarahkan intervensinya secara langsung kepada emosi
klien dengan perilaku kekerasan. Adapun terapi yang dapat dilakukan untuk itu adalah
Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT).
Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) ditemukan oleh Albert Ellis, REBT adalah suatu
metode untuk memahami dan mengatasi masalah emosi dan perilaku. Tujuan umum REBT
adalah untuk mengurangi keyakinan irrasional dan menguatkan keyakinan rasional yang dapat
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010



efektif pada anak dan dewasa yang marah dan agresif melalui pembelajaran dan latihan
kognitif, emosi dan perilaku. Berdasarkan penelitian Johan Rieckert (2000) terapi REBT
secara signifikan dapat mengurangi depresi, kecemasan, kemarahan, perasaan bersalah dan
harga diri yang rendah. Penelitian keparawatan di indonesia tentang Pengaruh Rasional
Emotif Behaviour Therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan belum diketahui.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk menerapkan Rational Emotive Behaviour
Therapy pada klien dengan perilaku kekerasan di ruang rawat inap Rumah Sakit Marzoeki
Mahdi (RSMM) Bogor. Perilaku kekerasan merupakan urutan 5 besar dari masalah
keperawatan yang ditemukan di RSMM yaitu Halusinasi 26,24%, Defisit perawatan diri
19,15%, Isolasi sosial 16,31%, HDR 13% dan PK 10,64% dari masalah keperawatan klien
yang dirawat di RSMM Bogor (Data Aplikasi 2 & Residensi 2 Keperawatan Jiwa). Oleh
karena itu perlu dilakukannya penelitian tentang Pengaruh Rational Emotive Behaviour
Therapy terhadap penurunan perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM Bogor.

METODOLOGI
Penelitian ini adalah penelitian quasi expermental dengan metode kuantitatif dengan
menggunakan desain penelitian Quasi Experimental Pre-Post Test with Control Group
dengan intervensi Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT). Teknik pengambilan sampel
secara Consecutive Sampling. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan perilaku
pada klien dengan perilaku kekerasan baik secara kognitif, afektif (emosi), perilaku, sosial dan
fisiologis sebelum dan sesudah diberikan intervensi berupa pemberian terapi REBT. Pada
penelitian ini responden berjumlah 53 orang yang terdiri atas 28 orang pada kelompok kontrol
dan 25 orang pada kelompok intervensi. Hal ini disebabkan karena 3 orang dari kelompok
intervensi drop out. Analisis statistik yang dipergunakan adalah univariat, bivariat dan
multivariat dengan analisis dependen dan independent sample t-Test, Chi-square serta regresi
linier ganda dengan tampilan dalam bentuk tabel dan distribusi frekuensi.

HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan tanggal 26 Mei sampai dengan 21 Juni 2010 disajikan
sebagai berikut :
1. Karakteristik Klien Perilaku kekerasan
Berdasarkan uraian hasil analisis karakteristik pada klien perilaku kekerasan dalam
penelitian ini rata-rata berusia 35,02 tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 56
tahun, lebih banyak perempuan (50,9%), sebagian besar tidak bekerja (56,6%), memiliki
jenjang pendidikan SD dan SMP (60,4%), dengan adanya riwayat gangguan jiwa (77,4%)
dan frekuensi dirawat di rumah sakit 2 kali atau lebih (77,4%).

2. Respon Perilaku Kekerasan Klien PK
Analisis respon-respon perilaku kekerasan terdiri atas : kognitif, emosi, perilaku, sosial
dan fisiologis pada klien PK. Berdasarkan hasil analisis sebelum diberikannya terapi
REBT diketahui bahwa :
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010



2.1 Berdasarkan kuesioner pada penelitian rentang respon kognitif adalah minimal 8
dan maksimal 32 (rendah 8 16 ; sedang 17 18; tinggi 19 - 32). Ini berarti respon
kognitif pada klien PK semakin meningkat menunjukkan kognitif yang semakin baik.
Hasil analisis respon kognitif adalah 18,48 dengan nilai minimal 13 dan maksimal 26,
dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon kognitif klien PK sebelum dilakukan terapi
REBT adalah sedang.

2.2 Berdasarkan kuesioner pada penelitian rentang respon emosi adalah minimal 7 dan
maksimal 28 (rendah 7 15 ; sedang 16 17; tinggi 18 - 28). Respon emosi pada klien
PK semakin menurun menunjukkan emosi yang semakin baik. Hasil analisis rata-rata
respon emosi sebelum dilakukan REBT adalah 17,19 dengan nilai minimal 12 dan
nilai maksimal 26. Maka dapat disimpulkan rata-rata respon emosi klien PK sebelum
dilakukan terapi REBT adalah sedang.

2.3 Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon perilaku adalah minimal 5
dan maksimal 20 (rendah 5 11 ; sedang 12 14; tinggi 15 - 20). Respon perilaku
pada klien PK semakin menurun menunjukkan perilaku yang semakin baik. Hasil
analisis respon perilaku. Rata-rata respon perilaku sebelum dilakukan REBT adalah
13,25 dengan nilai minimal 8 dan nilai maksimal 17. Maka dapat disimpulkan bahwa
rata-rata respon perilaku klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.

2.4 Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon sosial adalah minimal 6
dan maksimal 24 (rendah 6 12 ; sedang 13 14; tinggi 15 - 24). Respon sosial pada
klien PK semakin meningkat menunjukkan sosial yang semakin baik. Hasil analisis
rata-rata respon sosialnya sebelum dilakukan REBT adalah 13,77 dengan nilai minimal
10 dan nilai maksimal 19. Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon sosial klien
PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.

2.5 Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon fisiologis adalah minimal 6
dan maksimal 12 (rendah 6 8 ; sedang 8 9; tinggi 10 - 24). Respon fisiologis pada
klien PK semakin menurun menunjukkan fisiologis yang semakin baik. Hasil analisis
rata-rata respon fisiologis sebelum dilakukan REBT adalah 9,16 dengan nilai minimal
6 dan nilai maksimal 13. Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon fisiologis
klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.

3. Perubahan Respon PK Sebelum Dan Sesudah Diberikannya REBT
Berdasarkan uji statistik terdapat perubahan yang bermakna sesudah mendapatkan
REBT terhadap respon-respon PK. Respon kognitif klien meningkat secara bermakna
sebesar 3,80 dengan p value 0,000 0,05, respon emosi klien menurun secara bermakna
sebesar 2,92 dengan p value 0,001 0,05, respon perilaku klien menurun secara
bermakna sebesar 2,32 dengan p value 0,000 0,05, respon sosial klien meningkat
secara bermakna sebesar 1,6 dengan p value 0,002 0,05 dan respon fisiologis klien
menurun secara bermakna sebesar 2,56 dengan p value 0,000 0,05. Ini dapat dilihat
pada tabel 3.1

Tabel 3.1
Analisis Perubahan Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien PK
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010



Sebelum Dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Intervensi
Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 25)



















Tabel 3.2
Analisis Perubahan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Pada klien PK
Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Kontrol
di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 28)

Respon PK Pelaksanaan
REBT
n Mean SD SE p
Value
Sebelum
Sesudah
Selisih
28
28
18,07
18,54
0,47
3,49
3,21
0,28
0,66
0,61
0,613
Sebelum
Sesudah
Selisih
28
28
17,25
16,89
0,36
3,01
2,91
0,1
0,57
0,55
0,514
Sebelum
Sesudah
Selisih
28
28
13,50
13,36
0,14
1.88
1,68
0,2
0,35
0,32
0,718
Sebelum
Sesudah
Selisih
28
28
13,29
13,54
0,25
2,42
2,15
0,27
0,46
0,41
0,667

Respon kognitif



Respon Emosi


Respon Perilaku


Respon Sosial


Respon Fisiologis
Sebelum
Sesudah
Selisih
28
28
9,29
8,86
0,43
1,15
1,08
0,07
0,22
0,20
0,184

Berdasarkan tabel 3.2 uji statistik yang dilakukan pada kelompok kontrol sebelu dan
sesudah REBT diberikan tidak terdapat perubahan yang bermakna pada klien dengan
PK yang tidak mendapat REBT. Respon kognitif meningkat sebesar 0,47 dengan p
value 0,613 0,05, respon emosi menurun sebesar 0,36 dengan p value 0,514
0,05, respon perilaku sebesar 0,14 dengan p value 0,718 0,05, respon sosial
meningkat sebesar 0,25 dengan p value 0,677 0,05 dan respon fisiologis menurun
sebesar 0,43 dengan p value 0,184 0,05.

4. Perbedaan Respon PK Setelah Dilakukan REBT Pada Kelompok Intervensi Dan
Kelompok Kontrol .
Hasil analisis menunjukkan bahwa respon kognitif, emosi,perilaku, sosial dan fisiologis
pada klien PK yang mendapat REBT lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan
klien PK yang tidak mendapatkan REBT. Hal ini dapat dilihat dari tabel 4.1
Respon PK Pelaksanaan
REBT
n Mean SD SE p
Value
Sebelum
Sesudah
Selisih
25
25
18,88
22,68
3,80
2,86
3,69
0,83
0,57
0,58
0,000
Sebelum
Sesudah
Selisih
25
25
17,12
14,20
2,92
3,53
2,77
0,76
0,71
0,55
0,001
Sebelum
Sesudah
Selisih
25
25
13,00
10,68
2,32
2,02
1,82
0,2
0,40
0,36
0,000
Sebelum
Sesudah
Selisih
25
25
14,24
15,84
1,6
1,88
1,57
0,31
0,38
0,15
0,002
Respon kognitif



Respon Emosi


Respon Perilaku


Respon Sosial


Respon Fisiologis

Sebelum
Sesudah
Selisih
25
25
9,04
6,48
2,56
1,31
0,59
0,72
0,26
0,12
0,000
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010




Tabel 4.1
Analisis Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien PK Setelah Dilakukan REBT
Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 53)
















5. Perbedaan Selisih Perubahan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Sebelum Dan Setelah
Terapi Pada Kelompok Intervensi Dan Kontrol
Hasil analisis perbedaan selisih perubahan rata-rata respon-respon perilaku kekerasan
antara klien yang mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT ada perbedaan yang
bermakna ( P -value 0,05) yaitu :
5.1 Selisih perubahan respon kognitif PK antara yang mendapat REBT dan yang tidak
mendapat REBT ada perbedaan yang bermakna (P
value
= 0.023; = 0.05).
5.2 Selisih perubahan respon emosi PK antara yang mendapat REBT dan yang tidak
mendapat REBT ada perbedaan yang bermakna (P
value
= 0.009; = 0.05).
5.3 Selisih perubahan respon perilaku PK antara yang mendapat REBT dan yang tidak
mendapat REBT ada perbedaan yang bermakna (P
value
= 0.000; = 0.05).
5.4 Selisih perubahan respon sosial PK antara yang mendapat REBT dan yang tidak
mendapat REBT tidak ada perbedaan yang bermakna (P
value
= 0.076; = 0.05).
5.5 Selisih perubahan respon fisiologis PK antara yang mendapat REBT dan yang tidak
mendapat REBT ada perbedaan yang bermakna (P
value
= 0.000; = 0.05).
6. Faktor Yang Berkontribusi Terhadap Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien Dengan
Perilaku Kekerasan
Hasil analisis menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara terapi REBT dengan
respon PK (kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis) Klien PK dengan alpha 5% ;
p value 0.05. Sedangkan analisis karakteristik Klien PK (usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan frekuensi di rawat) menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara karakteristik klien dengan respon PK (kognitif, emosi,
perilaku, sosial dan fisiologis) p value 0.05; alpha 5%, kecuali untuk frekuensi dirawat
ditemukan adanya hubungan denga nrespon sosial klien p value 0.05; alpha 5%
Respon PK Kelompok n Mean SD
Min
Max

p Value
Kognitif

1.Intervensi
2. Kontrol
25
28
22,68
18,54
2,90
3,21
18 31
11 25
0,000
Emosi 1. Intervensi
2. Kontrol
25
28
14,20
16,89
2,39
2,30
8 - 19
12 23
0,001
Perilaku 1. Intervensi
2. Kontrol

25
28
10,68
13,36
1,82
1,68
7 14
10 - 16
0.000
Sosial 1. Intervensi
2. Kontrol
25
28
15,84
13,54
1,57
2,15
13 - 19
8 19
0,000
Fisiologis

1. Intervensi
2. Kontrol

25
28
6,48
8,86
0,59
1,08
6 8
6 10
0,000
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010




PEMBAHASAN
1. Pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) Terhadap Respon Perilaku
Kekerasan pada Klien Perilaku Kekerasan (PK)

1.1 Pada klien yang mendapatkan terapi psikososial REBT ditemukan peningkatan secara
bermakna pada respon kognitif, ini berarti REBT berpengaruh terhadap peningkatan
respon kognitif klien PK sehingga pengetahuan klien meningkat tentang masalah
perilaku kekerasan yang dialaminya sebagai perilaku maladaptif yang dapat
mencelakakan dirinya, orang lain dan lingkungan. Penelitian ini sesuai dengan
Rieckert (2000) menyatakan terapi REBT secara signifikan dapat mengurangi
kemarahan, perasaan bersalah dan harga diri yang rendah. Melalui terapi REBT klien
dilatih untuk dapat mengevaluasi diri sendiri dengan mengidentifikasi kejadian yang
pernah dialami, pikiran-pikiran irrasional yang timbul terkait dengan kejadian dan
mempengaruhi perasaan (emosi) klien sehingga menghasilkan perilaku maladaptif
yang sebenarnya tidak diinginkan.

1.2 Pada klien PK menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penurunan respon emosi
secara bermakna antara kelompok yang mendapatkan terapi REBT dan yang tidak
mendapatkan REBT. Hal ini karena terapi REBT memberikan kesempatan pada klien
untuk mengenali perasaan-perasaan yang disebabkan karena adanya pikiran yang tidak
rasional terhadap setiap kejadian atau peristiwa yang membuat klien berperilaku
kekerasan sehingga klien mengenali perasaan-perasaan yang dapat menimbulkan
perilaku maladaptif. REBT adalah metode untuk memahami dan mengatasi masalah
emosi dan perilaku (Froggatt, 2005). Teori REBT menegaskan bahwa keyakinan yang
tidak rasional akan membawa individu pada emosi dan perilaku negatif yang tidak
sehat seperti perilaku amuk (agresif) dan rasa bersalah (Jensen, 2008).. REBT baik
diberikan pada klien PK karena di dalam materi REBT menjelaskan pada klien cara
berpikir rasional, mengubah emosi yang mengganggu menjadi emosi yang
menyenangkan sehingga klien dapat menyelesaikan masalah. Sesuai dengan konsep
REBT bahwa emosi dan perilaku merupakan hasil dari proses pikir yang
memungkinkan bagi manusia untuk memodifikasinya seperti proses untuk mencapai
cara yang berbeda dalam merasakan dan bertindak (Froggatt, 2005).

1.3 Hasil penelitian yang dilakukan terhadap klien PK memperlihatkan adanya penurunan
secara bermakna pada respon perilaku antara kelompok yang mendapatkan terapi
REBT dan yang tidak mendapatkan REBT. Ini berarti bahwa REBT memberikan
pengaruh yang bermakna terhadap penurunan perilaku kekerasan pada klien.
Berdasarkan literatur Albert Ellis (Corsini & Wedding, 1989 dalam Dominic, 2003)
berpendapat bahwa yang perlu dirubah oleh individu untuk mengatasi masalah emosi
maupun perilakunya adalah adanya keyakinan irrasional yang dikembangkan sendiri
oleh individu dan Albert Ellis mengembangkan sebuah terapi bernama REBT
(Rational Emotive Behavioural Therapy). Sunaryo (2004) menyatakan bahwa
perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kebutuhan, motivasi, sikap dan
kepercayaan. Dengan terbinanya saling percaya perawat dengan klien, dan adanya
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010



kebutuhan serta motivasi klien untuk merubah diri maka perilaku dapat dirubah lebih
cepat.

1.4 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada klien PK ditemukan peningkatan
secara bermakna pada respon sosial klien yang mendapatkan REBT. Hal ini berarti
REBT berpengaruh secara bermakna dalam meningkatkan respon sosial klien PK.
Menurut Boyd dan Nihart (1998) tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial
akan ditemukan penurunan interaksi sosial. Menurut Beck, emosi marah sering
merangsang kemarahan orang lain. Pengalaman marah dapat mengganggu hubungan
interpersonal. Dengan diberikan REBT, klien akan belajar untuk berpikir secara
rasional dan berperilaku yang adaptif sehingga hubungan interpersonalnya dengan
orang lain meningkat.

1.5 Pada klien yang mendapatkan terapi psikososial REBT ditemukan penurunan secara
bermakna pada respon fisiologis, ini berarti REBT berpengaruh terhadap penurunan
respon fisiologis klien PK. Menurut Stuart dan Laraia (2009), Perilaku kekerasan dapat
dilihat dari wajah tegang, tidak bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan,
rahang mengencang, peningkatan pernafasan, dan kadang tiba-tiba seperti kataton.
Menurut Beck respons fisiologis marah timbul karena kegiatan system syaraf otomom
bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi
denyut jantung meningkat, wajah merah, pupil melebar, dan frekuensi pengeluaran
urin meningkat. Dengan diberikannya REBT pada klien maka klien akan belajar untuk
berpikir rasional, mengontrol perasaannya dan perilakunya sehingga system syaraf
otonom tidak bereaksi dan respon fisiologis menjadi turun mencapai batas normal.


2. Faktor Yang Berhubungan
Dengan Respon PK

Berdasarkan hasil penelitian ini usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, riwayat
gangguan jiwa dan frekuensi di rawat tidak ada hubungan yang bermakna dengan respon
perilaku kekerasan. Ini berarti perubahan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
riwayat gangguan jiwa dan frekuensi di rawat tidak diikuti oleh perubahan pada respon
perilaku kekerasan (respon kognitif, emosi, perilaku, sosial maupun fisiologis). Namun
khusus untuk frekuensi di rawat ada hubungan yang bermakna dengan respon sosial yang
berarti bila terjadi perubahan pada frekuensi dirawat maka akan terjadi pula berubahan
pada respon sosial klien.

SIMPULAN
1. Karakterisitik dari 53 orang responden yang dilakukan dalam penelitian ini rata-rata berusia
35 tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 56 tahun, lebih banyak perempuan
(50,9%), sebagian besar adalah tidak bekerja (56,6%), memiliki jenjang pendidikan SD dan
SMP (60,4%), dengan adanya riwayat gangguan jiwa (77,4%) dan frekuensi dirawat di
rumah sakit 2 kali atau lebih.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010



2. Kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan diketahui dari respon respon PK
klien yang meliputi respon kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa ada perubahan yang bermakna pada respon klien PK antara
sebelum mendapatkan REBT dengan setelah mendapatkan REBT. Perubahan yang terjadi
adalah pada respon kognitif dan sosial terjadi peningkatan yang bermakna sedangkan pada
respon emosi, perilaku dan fisiologis terjadi penurunan secara bermakna.


3. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa respon kognitif, emosi,perilaku, sosial dan
fisiologis pada klien PK yang mendapat REBT lebih baik secara bermakna dibandingkan
dengan klien PK yang tidak mendapatkan REBT.

4. Ada pengaruh REBT terhadap kemampuan klien dalam mengontrol PK melalui respon
kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologisnya. Ada pengaruh frekuensi klien dirawat di
rumah sakit dengan respon sosial klien PK. Tidak ada pengaruh, usia, jenis kelamin,
pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan ferekuensi dirawat di rumah sakit dengan respon
kognitif, emosi, perilaku dan fisiologis klien PK.

SARAN
1. Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan selalu memotivasi klien dan mengevaluasi
kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari dan dimiliki oleh klien sehingga latihan yang
diberikan membudaya. Pemberian terapi lanjutan dari terapi yang sesuai dengan SAK akan
memberikan hasil yang lebih maksimal seperti terapi generalis PK dan REBT pada Klien
PK.

2. Hasil penelitian ini hendaknya digunakan sebagai evidence based dalam mengembangkan
terapi REBT pada berbagai individu dan kelompok dengan masalah keperawatan jiwa
lainnya dan menjadi bagian dari kompetensi yang dimiliki oleh perawat spesialis.



DAFTAR PUSTAKA
Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice. USA.
Lippincott Raven Publisher
Dyah W (2009). Pengaruh Assertive Trainning Terhadap Perilaku Kekerasan pada Klien
Skizoprenia, Tesis. Jakarta. FIK UI. tidak dipublikasikan

Dominic. J (2003), Effects of Trait Anger and Negative Attitudes Towards Women on Physical
Assaults in Dating Ralationships, Journal of Family Violence, Vol 18, No.5, Oktober
2003 diperoleh tanggal 10 februari 2010

Cristopher, E. (2010), Anger, Agression, and Irrational Beliefs In Adolescents, Cogn Ter Res.
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010



Springer Science LLC diperoleh tanggal 10 Februari 2010
Endang (2009). Pengaruh Terapy Musik pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan, Tesis.
Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan
Fauziah (2009). Pengaruh Terapiu Perilaku Kognitif Pada Klien Skizoprenia Dengan
Perilaku Kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan
Froggatt, W (2005). A Brief Introduction To Rational Emotive Behaviour Therapy, Journal of
Rational Emotive Behaviour Therapy, version Feb 2005
Jensen. (2010), Evaluating the ABC Models of Rational Emotive Behaviour Therapy Theory :
An Analysis of The Relationship Between Irrational Thinking and Guilt, Thesis of
Science in Psychology. The Faculty of Department Psychology Villanova University.
United State. ProQuest LLC
Pusat Penelitian dan Perkembangan Depkes RI. (2008). Riset Kesehatan Dasar 2007.
www.litbang.go.id, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009
Rieckert & Moller (2000). Rational Emotive Behaviour Therapy In The Treatment Of Adult
Victims of Childhood Sexual Abuse, Journal of Rational Emotive & Cognitif -
Behaviour Therapy, Vol 18, No. 2, Summer

Rawlins & Beck, C.K.(1993). Mental Health- Psychiatric Nursing 3 rd Ed. St. Louis : Mosby
Year
Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th
edition). St Louis: Mosby
Stuart, G.W & Laraia, M.T (2009). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th
edition). St Louis: Mosby
Sunaryo.(2004). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta : EGC

1
Dewi Eka Putri, S.Kp: Mahasiswa Program Pasca Sarjana Kekhususan Keperawatan Jiwa FIK UI.
2
Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M. App.Sc: Dosen Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa FIK UI Jakarta.
3
Yusron Nasution, M.Kn: Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat.








Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010















Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Anda mungkin juga menyukai