Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar belakang Hipospadia merupakan kelainan kongenital pada genitalia eksterna yang relatif sering terjadi pada laki-laki, kira-kira pada 1 diantara 500 kelahiran anak laki-laki (Behrman, Kliegman, & Arvin, 1996). Hipospadia dapat terjadi sebagai kelainan yang terbatas pada genitalia eksterna saja atau sebagai bagian dari kelainan yang lebih kompleks seperti intersex. Berbagai teknik dan modifikasi untuk rekonstruksi terhadap hipospadia telah banyak dilakukan. Frekuensi berdasarkan klasifikasi hipospadia adalah 80% untuk tipe koronoglanular, sedang tipe penile, skrotal, dan perineal hanya 20% (Fletcher, 1998). Faktor hubungan keluarga sangat kuat pengaruhnya, tercatat 21% bayi dengan keluarga dengan hipospadia 7% pasien dengan ayah yang hipospadia dan 14% dari saudara kandung laki-laki yang menderita hipospadia, dan jika dua dari anggota keluarga dengan hipospadia, resiko terjadinya hipospadia pada keturunan berikutnya yaitu 12%, tapi jika anggota keluarga lainnya memiliki hipospadia, berisiko 19%. Jika ayah memiliki hipospadia, risiko keturunan laki-laki berikutnya 26%. Hipospadia juga terjadi pada kromosom seks dominan autosomal yang diwariskan (Fletcher, 1998). Dengan kelainan seperti pada umumnya, biasanya anak merasa berbeda dari teman lainnya. Perasaan malu kerap menjadi bagian hidup anak dengan hipospadia. Oleh karena mengalami perbedaan kelainan genital pada anak, diupayakan rekonstruksi bedah urologi pada anak dengan hipospadia. Ini menyebabkan stress tersendiri bagi si anak ketika menghadapi operasi bedah yang dapat berakibat pada gangguan pemenuhan istirahatnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui tentang hipospadia agar dapat menangani stress anak dalam masalah ini. 1.2 Rumusan masalah 1. Apa yang dimaksud dengan hipospadia ? 2. Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya hipospadia ?

3. Bagaimana patofisiologi terjadinya hipospadia ? 4. Bagaimana diagnosa dan temuan pengkajian pada kasus hipospadia ? 5. Bagaimana intervensi dan penatalaksanaan pada hipospadia ? 1.3 Tujuan penulisan Mengetahui susunan asuhan keperawatan pada klien anak untuk pemenuhan kebutuhan eliminasi, istirahat dan tidur dengan menerapkan manajemen stress dan koping pada anak dengan hipospadia. 1.4 Metode penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi pustaka yakni mengambil literatur dari berbagai buku dan internet. 1.5 Sistematika penulisan Sistematika makalah ini terdiri dari empat bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tinjauan pustaka. Bab tiga berisi pembahasan kasus. Diakhiri dengan bab empat sebagai kesimpulan dan saran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Perkembangan Anak 2.1.1 Teori Psikoseksual (Freud) Freud menggolongkan anak usia 6-12 tahun masuk pada perkembangan psikoseksual fase laten. Selama periode laten anak-anak melakukan sifat dan keterampilan yang telah didapatkan (Hockenberry, 2003). Anak menekan semua minat seksual dan mengembangkan keterampilan sosial (Bertens, 2005). 2.1.2 Teori Psikososial (Erikson) Erikson menggolongkan anak usia 6-12 tahun masuk pada perkembangan psikososial fase industri vs inferioritas. Periode ini merupakan periode pemantapan dalam hubungan sosial anak dengan orang lain. Rasa ketidakadekuatan/ inferioritas dapat terjadi jika terlalu banyak yang diharapkan atau jika anak percaya tidak dapat memenuhi standar yang ditetapkan orang lain terhadap dirinya (Bertens, 2005). 2.1.3 Teori Kognitif (Piaget) Pada usia 6-12 tahun anak mulai memperoleh kemampuan untuk menghubungkan serangkaian kejadian untuk menggambarkan mental anak yang dapat diungkapkan secara verbal atau simbolik. 2.1.4 Teori Moral (Kohlberg) Pada usia 11 tahun anak memasuki tahap convensional. Pada tahap ini berfokus pada kepatuhan dan loyalitas. Mereka menghargai pemeliharaan harapan keluarga, kelompok atau negara. 2.2 Karakteristik Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah 2.2.1 Fisik dan motorik Anak mengalami pertumbuhan tinggi badan yang berlanjut mencapai 5 cm per tahun. Berat badan rata-rata anak usia sekolah berkisar antara 19.6-39.6 kg dan tinggi badan berkisar antara 117-141.8 cm. Anak sudah mampu mengoperasikan

benda-benda yang berada dirumahnya dengan baik seperti palu, gergaji, alat jahit dan obeng. 2.2.2 Kognitif Anak mengingat dengan sangat baik dan belajar banyak hal. Rasa ingin tahu anak lebih kearah ilmu pengetahuan dan menyukai untuk bereksperimen. 2.2.3 Personal-sosial Anak sudah mampu mengenali orang osing dan mengetahui situasi yang aman. anak senang bermain dan bersosialisasi dengan banyak teman. Dalam tahap ini juga anak akan sangat senang dipuji dan diberi penghargaan. 2.3 Stres dan Koping pada Anak Stres adalah realitas kehidupan setiap hari yang tidak dapat dihindari. Stres disebabkan oleh perubahan yang memerlukan penyesuaian (Keliat, B.A., 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi stres dan koping pada anak adalah usia, temperamen, situasi hidup, dan status kesehatan. Orangtua dan pengasuh dapat mencoba untuk mengenali tanda dan sifat stres untuk membantu anak menghadapi atau mengantisipasi stres sebelum menjadi berat. Stres pada anak usia sekolah paling besar terjadi karena kegagalan dalam mendapatkan kompetensi dan ketrampilan, perpisahan dengan teman yang sejenis dan sebaya dan keamanan tubuh. Koping adalah tahapan khusus dari reaksi individu terhadap stresor atau suatu reaksi terhadap stresor yang dapat menghapus, mengurangi, atau menggantikan status emosi yang diklasifikasikan sebagai penuh stres. Anak-anak dapat diajarkan teknik pereda stres untuk digunakan dalam koping. Awalnya, mereka harus dibantu untuk mengenali tanda ketegangan dalam diri mereka sendiri dan kemudian diajarkan berbagai strategi yang tepat seperti relaksasi dan pernapasan, serta imajinasi mental. Pada anak, masalah seringkali terjadi karena diawali dengan perasaan cemas. Anak yang cemas biasanya akan menunjukkan penurunan kognitif dalam mengolah informasi, separti menginterprestasikan situasi-situasi yang ambigu sebagai ancaman, mengharapkan hasil yang negatif, meragukan kemampuan mereka yang berhadapan dengan situasi yang bermasalah, melakukan self-talk yang negatif. Perawat dapat mengidentifikasi cemas lewat perubahan tingkah laku klien. Bila sejumlah cemas pada anak terjadi pada saat bersamaan,

anak menjadi lebih rentan apabila serangkaian cemas menimbulkan efek berlebihan, anak dapat mengalami perubahan serius dalam kesehatan dan atau perilaku. Anak usia sekolah yang mengalami stres umumnya menjadi agresif, komplain tentang sekolah, memiliki ketakutan hingga mimpi buruk, dan hilang konsentrasi. Respon maladaptif terhadap stres dapat mengganggu pemenuhan salah satu kebutuhan dasar pada anak, yaitu tidur dan istirahat. Tidur dan istirahat sangat diperlukan anak untuk mendapatkan energi agar dapat menunjukkan performa yang baik di sekolah dan aktivitas lainnya. Anak usia sekolah membutuhkan waktu tidur bervariasi sekitar 8-12 jam sehari. Jadwal kegiatan yang padat dam ketakutan akan sesuatu dapat mengganggu pola tidur anak, kurang konsentrasi, dan memicu munculnya sikap yang hiperaktif. 2.3 Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan

3 4 5

Hipospadia

2.4 Hipospadia Hipospadia merupakan malformasi bawaan dimana meatus uretra eksternus bermuara pada bagian ventral glans penis atau disebut dengan malformasi glans dan kulup zakar tidak sempurna pada sisi ventral. dengan penampang bawah dari penis dan letaknya lebih kearah pangkal penis dibandingkan normal (Wong, 2001). 1. Gambaran klinis hipospadia a. Kesulitan atau ketidakmampuan berkemih secara adekuat dengan posisi berdiri dan urin menyebar b. Hipopasdia biasanya disertai dengan kelainan seperti: a) Chordee: jaringan ikat (fibrosis) yang bersifat menarik dan mengerutkan kulit (ditandai dengan melengkungnya penis) b) Hernia inguinalis (testis belum turun atau undescendend testis) (Corwin, 2008). 2. Tipe hipospadia: (a) Tipe glanular: meatus uretra di area glans penis, (b) Tipe subkoronal: meatus uretra di area leher penis, (c) Tipe distal penile: meatus uretra di area ujung batang penis, (d) Tipe midshaft: meatus uretra di batang penis, (e) Tipe proksimal penile: meatus uretra di area pangkal batang penis, (f) Tipe penoskrotal: meatus uretra diantara penis dan skrotum, (g) Tipe scrotal: meatus uretra di area skrotum, (h) Tipe perineal: meatus uretra diantara skrotum dan anus (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2005). 3. Faktor yang mempengaruhi hipospadia a. Produksi hormon androgen abnormal. Produksi hormon androgen terhenti dan mengakibatkan maskulinisasi inkomplit dari alat kelamin luar karena penghentian yang premature sel-sel penghasil androgen di dalam testis. Akibat proses ini pembentukan uretra malformasi ditandai dengan adanya saluran yang dapat berujung disepanjang garis tengah penis bahkan perineal saat terjadi gangguan hormonal.

b. Perbedaan sensitivitas hormon androgen. Hormon androgen dihasilkan oleh kelejar adrenal pada zona retikularis dan fasikulata. Jika hormon ini mengalami ketidaksensitivitasan, maka akan menyebabkan keambiguan jenis kelamin. (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2005). c. Pembentukan genitalia internal sudah mulai dibentuk pada usia gestasi 8 minggu dan eksternal secara spesifik 12 minggu. Jika hormon androgen terhenti, maka menyebabkan pembentukan genitalia perempuan dan laki-laki menjadi bias. 2.5 Tahapan Operatif Pada Anak dengan Hipospadia Tindakan operatif merupakan penatalaksanaan definitif dari hipospadia. Operasi biasanya dilakukan dalam rentang waktu tahun pertama usia bayi dengan syarat ukuran jaringan penis cukup besar dan jelas untuk bisa dimanipulasi. Tidak jarang ukuran penis penderita hipospadia lebih kecil ukurannya dari ukuran penis anak sebayanya (micropenis). Tujuan operasi adalah untuk mengembalikan penis ke dalam bentuk semula dan fungsi sebaik-baiknya, untuk mencapai hal tersebut maka lubang uretra harus dikembalikan ke posisi seanatomis mungkin di ujung kepala penis dan bentuk penis harus tegak lurus saat ereksi. Berikut adalah tahapan operatif; 2.5.1 Tahap Preoperatif Pada tahapan preoperatif atau, evaluasi preoperatif yang diperlukan standar prosedur pemeriksaan darah urin lengkap. Sebelum dilakukan operasi pasien diberikan antibiotik profilaksis dan dilakukan uretroskopi untuk memastikan tidak adanya anomaly urinary tract seperti veromontanum, valve uretra atau striktur uretra. Masalah yang mungkin muncul pada saat tahapan preoperatif adalah ansietas anak berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi. Peran perawat pada tahapan ini adalah mengurangi kecemasan anak dan dapat menerima dilakukannya tindakan. 2.5.2 Tahapan Intraoperatif Waktu operasi yang optimal adalah saat anak berusia 3 sampai 18 bulan. Pada saat ini anak-anak akan mengalami amnesia dari prosedur operasi dan 70-

80% kelainan dapat ditangani tanpa perlu dirawat. Terdapat 2 tahap dari operasi hipospadia, pertama adalah eksisi korde dan tunneling, dan yang kedua adalah rekonstruksi uretra (uretroplasty) 1. Eksisi korde. Tahap pertama ini mencakup pembuangan jaringan ikat (chordee release), pembuatan lubang uretra di ujung kepala penis sesuai bentuk anatomi yang baik, dan membuat saluran uretra baru (tunneling) di dalam kepala penis yang dindingnya dibentuk dari kulit tudung (preputium) kpeala penis. Operasi tahap pertama ini menentukan hasil akhir operasi hipospadia secara keseluruhan, operasi tahap pertama yang baik akan menghasilkan bentuk estetik penis yang anatomis dan bebas dari resiko striktur uretra Setelah insisi dari hipospadia telah dilakukan dan flap telah diangkat, seluruh jaringan yang dapat mengakibatkan bengkok diangkat dari sekitar meatus dan dibawah glans. Setelah itu dilakukan tes ereksi artificial. Bila korde tetap ada, maka diperlukan reseksi lanjutan. 2. Uretroplasty. Tahap kedua ini dilakukan apabila tidak terbentuk fossa naficularis pada glasns penis. Uretroplasty yaitu membuat fassa naficularis baru pada glans penis yang nantinya akan dihubungkan dengan canalis uretra yang telah terbentuk sebelumnya melalui tahap oertama. Operasi tahap kedua ini dilakukan setelah proses penyembuhan operasi pertama tuntas, paling dini 6 bulan setelah operasi pertama. Terdapat banyak teknik yang dapat digunakan untuk urethroplasty, namun teknik MAGPI (Meatal Advancement and Glanuloplasty Incorporated)yang paling umum digunakan. 2.5.3 Tahapan Postoperatif Pasien anak diberikan kompres dingin pada area operasi selama dua hari pertama. Hal ini dilakukan untuk mengurangi edema dan nyeri dan menjaga bekas luka operasi tetap bersih. Pada pasien yang menggunakan kateter suprapubik dapat juga memerlukan sten uretra yang kecil dan yang kemudian dapat dicabut pada hari kelima postoperative dan dievaluasi ada tidaknya fistula. Masalah yang mungkin akan muncul adalah nyeri yang berhubungan dengan proses pembedahan. Teknik manajemen nyeri atau mengurangi nyeri pada anak dapat

dilakukan dengan cara teknik relaksasi dengan nafas dalam, distraksi (menonton tv acara kesukaan anak, membaca buku anak, dll), stimulasi kutan (massage), guide imagery atau mendongeng

BAB III PEMBAHASAN KASUS Kasus Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dirawat di ruang perawatan bedah anak. Anak tidak dapat berkemih secara normal dan setiap kali buang air kecil, urin tidak dapat memancar secara normal tetapi menyebar sehingga sering membasahi kaki. Dokter menyatakan anak akan dilakukan operasi, anak merasa takut mendengar penjelasan dokter dan terlihat murung serta tidak dapat tidur selama di ruang perawatan. 1. Pengkajian a. Anamnesa Data klien: An.x laki-laki usia 8 tahun Keluhan utama: klien tidak dapat berkemih secara normal, urin tidak memancar tapi menyebar saat berkemih, klien merasa murung, takut, dan tidak dapat tidur. Riwayat kesehatan klien: perlu data lebih lanjut Riwayat kesehatan keluaga: bisa ditanyakan kepada keluarga apakah keluarga klien memiliki riwayat hipospadia karena pada beberapa anak dengan hipospadia memiliki ayah atau saudara laki-laki dengan hipospadia pula. Riwayat kesehatan saat ibu hamil: perawat perlu mengkaji apakah saat hamil ibu klien mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat menjadi faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya hipospadia

b. Pemeriksaan Fisik dan Mental Fisik: Periksa area genital yang meliputi: Sebelum pembedahan: bentuk penis, kaji fungsi perkemihan, kaji letak ujung uretra, kaji skrotum kecil atau tidak, testis teraba atau tidak, kaji adanya chordee. Setelah pembedahan: kaji adanya pembengkakan, perdarahan, dan dysuria Palpasi abdomen untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih Mental: Kaji sikap klien saat diperiksa Kaji sikap klien dengan adanya rencana pembedahan Jika klien ansietas, kaji tingkat ansietas klien Kaji tingkat pengetahuan keluarga mengenai hipospadia dan hal yang dialami klien c. Pemeriksaan Diagnostik Rontgen USG: untuk meyakinkan bahwa sistem urinaria bagian atas normal Urethtroscopy dan cystoscopy: untuk memastikan organ-organ seks internal terbentuk secara normal BNO-IVP: untuk mengetahui fungsi ginjal klien karena pada umumnya klien dnegan hipospadia disertai dengan gangguan pada ginjal Pemeriksaan kromosom: untuk mengetahui apakah hipospadia yang dialami klien adalah bawaan genetik atau bukan

2. Analisis

Masalah

Keperawatan

dan

Perumusan

Diagnosa

Keperawatan Pre-Opererasi Data DS: 1. Anak merasa takut 2. Anak tidak dapat tidur DO: 1. Anak terlihat murung Data yang Perlu Dikaji: 1. Denyut nadi 2. Frekuensi pernapasan 3. Tekanan darah 4. Kesadaran DS: 1. Anak merasa takut 2. Anak tidak dapat tidur DO: 1. Anak terlihat murung 2. Anak terlihat tidak bersemangat Data yang Perlu Dikaji: 1. Pola tidur anak 2. Kebiasaan anak sebelum tidur 3. Pendamping anak tidur Post-Operasi Data Masalah Keperawatan Gangguan pola tidur Masalah Keperawatan Ansietas atau cemas

DS: 1. Anak mengatakan nyeri pada area genitalnya DO: 1. Anak menunjukkan muka meringis kesakitan Data yang Perlu Dikaji: 1. Persepsi anak terhadap nyeri. 2. Pola koping anak 3. Tingkat DS: DO: Suhu 390 C Data yang Perlu Dikaji: 1. Denyut nadi 2. Suhu 3. Frekuensi pernapasan 4. Tekanan darah 5. Hasil Periksa Laboratorium skala nyeri dengan menggunakan numeric scale 1-10

Nyeri

Resiko Tinggi Infeksi

Daftar Pustaka Baskins, LS. (2000). Hypospadias and urethral development. Journal. J Urol. Behrman, Kliegman,. & Arvin. (2005). Nelson: Ilmu Kesehatan Anak. 15 Ed. Vol. 3. Jakarta: EGC. Corwin, E.J.(2008). Handbook Of Pathophysiology. 3rd Ed. Philadelphia: Lippincott William & Willkins. Doengoes, EM. (2000). Rencana asuhan keperawatan, edisi ketiga. Jakarta: EGC Fletcher, M. A., (1998). Physical Diagnosis in Neonatology. Lippincott: Raven Publisher. Friedrich, W. (2002). Psychological Assessment of Sexually Abused Children and Their Families. UK: Sage Publications.

Herdman, T.H. (2010). Nursing Diagnoses: Definitions and Classification 20092011. (Terj. Made Sumarwati). Jakarta: EGC. Hockenberry. (2003). Wongs Nursing Care of Infants and Children. St.Louis: Mosby. John M Gatti, Marc Cendron. (2010). Hypospadias. http://emedicine.medscape.com/article/ 1015227-overview (diakses 28 April 2013). Krugman,. Samuel L. (1985). Infectious Disease of Children. St.Louis: Mosby. Meadow, R. & Newell, S. (2002). Lecture Notes on Paediatrics. Alih bahasa: Kripti Hartini dan Asri Dwi. Jakarta: Erlangga Muscari, M. E. (2001). Lippincotts Review Series: Pediatric Nursing. Alih bahasa: Alfrina Hany. Jakarta: EGC. Wahab, S. (2000). Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15 volume kedua. Jakarta: EGC Wang MH, Baskin Ls. (2008). Endocrine disruptors, genital development, and hypospadias. J Androl Sherwood, L. (1996). Human Physiology: From Cell To System. Alih bahasa: Brahm U Pendit. Jakarta: EGC. Wong, D.L. et al. (2001). Wongs Essentials of Pediatric Nursing. St.Louis,Missouri: Mosby,Inc.

Anda mungkin juga menyukai