Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPOSPADIA
A. DEFINISI
Hipospadia berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang berarti “di bawah”
dan “spadon“ yang berarti keratan yang panjang. Hipospadia adalah suatu
kelainan bawaan congenital (sejak lahir) dimana meatus uretra externa
terletak di bagian bawah penis dan lebih ke proksimal (pangkal) dari
tempatnya yang normal (ujung glans penis) (Mansjoer, 2010).
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra yang
terletak di bagian bawah dekat pangkal penis, bukan di ujung penis (Hadidi,
2013).

B. KLASIFIKASI
Tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/meatus:
1. Tipe sederhana/ Tipe
anterior
Terletak di anterior yang
terdiri dari tipe glandular
dan subcoronal. Pada tipe
ini, meatus terletak pada
pangkal glands penis.
Secara klinis, kelainan ini
bersifat asimtomatik dan
tidak memerlukan suatu
tindakan. Bila meatus agak
sempit dapat dilakukan
dilatasi atau meatotomi.
2. Tipe penil/ Tipe Middle
Middle yang terdiri dari distal penile dan proksimal penile. Pada tipe ini,
meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai
dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian
ventral, sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis
menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah
secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada
maka sebaiknya apabila pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa
kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.

3. Tipe Posterior
Posterior yang terdiri dari tipe penoscrotal, scrotal, dan perineal. Pada tipe
ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai
dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis
tidak turun (Hadidi, 2013).

C. ETIOLOGI
1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormon
Hormon yang dimaksud adalah hormon androgen yang mengatur
organogenesis kelamin (pria), dapat karena reseptor hormon androgen
sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga, walaupun
hormon androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila
reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang
semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormon androgen
tidak mencukupi akan berdampak sama.
2. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena
mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga
ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi. Mekanisme genetik yang tepat
mungkin rumit dan variable, turunan autosomal resesif dengan manifestasi
tidak lengkap. Kelainan kromosom ditemukan secara sporadis pada pasien
dengan hipospadia.
3. Prematuritas
Peningkatan insiden hipospadia ditemukan di antara bayi yang lahir dari
ibu dengan terapi estrogen selama kehamilan. Prematuritas juga lebih
sering dikaitkan dengan hipospadia.
4. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat
yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi (Kyle and
Carman, 2016).

D. EPIDEMIOLOGI
Hipospadia merupakan kelainan kongenital yang sering terjadi pada
anak laki-laki. Insiden malformasi ini cenderung meningkat tiap tahunnya dan
bervariasi antar negara. Prevalensi hipospadia secara umum sangat
bervariasi dari 0,37 sampai 41/10000 bayi. Kejadian hipospadia telah
dilaporkan di beberapa negara seperti Inggris, Wales, Swedia, Norwegia,
Denmark, Finlandia, Spanyol, New Zealand, Australia, dan Cekoslavika.
Penelitian di Amerika melaporkan kejadian yang lebih tinggi pada kulit putih
daripada kulit hitam, sedangkan di Finlandia kejadiannya lebih rendah yaitu
5/10000 dibandingkan dengan negara-negara Skandinavia lainnya yaitu
14/10000 bayi. Kejadian seluruh hipospadia yang bersamaan dengan
kriporkismus adalah 9%, tetapi pada hipospadia posterior sebesar 32%.
Di Indonesia, prevalensi hipospadia belum dketahui secara pasti.
Terdapat 17 kasus di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandau Manado pada periode
Januari 2009-Oktober 2010. Penelitian deskriptif terhadap kasus hipospadia
pada Januari 2009 hingga april 2012 di RS Sanglah Bali menemukan
sebanyak 53 kasus. Penelitian mengenai hasil luaran dari pembedahan
urethroplasty pada kasus hipospadia di RS M. Djamil Padang pada rentang
Januari 2012 - Januari 2014 dengan jumlah 44 kasus. Pada rentang tahun
2010-2012 di Jawa Tengah menemukan 120 kasus, 24 kasus pada rentang
tahun 2009- 2011 di RS Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. Di RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta pada rentang tahun 2002-2014 mendapatkan sampel
sebanyak 124 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah yang berbeda
secara etnis dan geografis hipospadia dapat ditemukan dengan jumlah angka
yang tidak jauh berbeda, sehingga dapat disimpulkan prevalensi hipospadia
di Indonesia cukup merata (Krisna, 2017).

E. FAKTOR RESIKO
1. Riwayat keluarga. Kondisi ini lebih sering terjadi pada bayi dengan riwayat
keluarga hipospadia.
2. Usia ibu lebih dari 35 tahun. Seorang ibu yang hamil pada usia di atas 35
tahun memiliki risiko aliran darah plasenta yang tidak baik dikarenakan
kekakuan pembuluh darah. Dengan demikian, asupan nutrisi ke janin
terganggu sehingga mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan proses
metabolisme janin.
3. Pada anak laki-laki yang lahir dengan program Intra-cystolasmic sperm
Injection (ICSI) atau In Vitro Fertilization (IVF) memiliki insidensi yang
tinggi pada hipospadia.
4. Intra uterine growth retardation, berat bayi lahir rendah, bayi kembar,
turunan hipospadia juga merupakan faktor resiko hipospadia yang dapat
dikendalikan semasa kehamilan.
5. Pada Ibu hamil yang melakukan diet vegetarian diperkirakan terjadi
peningkatan resiko terjadinya hipospadia, hal ini dapat disebabkan
adanya kandungan yang tinggi dari fitoestrogen pada sayuran (Puri,
2015).

F. PATOFISIOLOGI
Terlampir

G. MANIFESTASI KLINIS
1. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di
bagian bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus
2. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian
punggung penis
3. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan
membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan
sekitar
4. Kulit penis bagian bawah sangat tipis
5. Tunika dartos, fasia Buch, dan korpus spongiosum tidak ada
6. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis
7. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum)
8. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal
9. Pancaran air kencing pada saat BAK tidak lurus, biasanya kebawah,
menyebar, mengalir melalui batang penis, sehingga anak akan jongkok
pada saat BAK.
10. Pada Hipospadia grandular/koronal anak dapat BAK dengan berdiri
dengan mengangkat penis keatas
11. Pada Hipospadia peniscrotal/perineal anak berkemih dengan jongkok.
Penis akan melengkung kebawah pada saat ereksi (Snodgrass and Bush,
2015).
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik berupa pemeriksaan fisik. Jarang dilakukan
pemeriksaan tambahan untuk mendukung diagnosis hipospadi. Tetapi dapat
dilakukan pemeriksaan berikut untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan
pada ginjal sebagai komplikasi maupun kelainan bawaan yang menyertai
hipospadia yaitu USG ginjal yang disarankan untuk mengetahui adanya
anomali lainnya pada saluran kemih pada pasien hipospadia (Snodgrass and
Bush, 2015).

I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan satu-satunya untuk hipospadia adalah dengan
operasi. Tujuan dari prosedur ini secara ringkas ada 5, yaitu: untuk
mendapatkan bentuk penis yang lurus, memosisikan muara uretra di ujung
penis, menormalkan kembali fungsi ejakulasi dan berkemih, membuat uretra
yang adekuat dengan kaliber yang sama serta bentuk kosmetik dari penis dan
glans penis yang simetris. Di mana langkah-langkah prosedurnya dapat
disusun sebagai berikut:
1. Chodectomy-Orthoplasty
Melakukan koreksi chorde sehingga penis dapat tegak lurus kembali
2. Urethroplasty
Yaitu membuat urethra baru yang sesuai dengan lokasi seharusnya
3. Meathoplasty dan Glanuloplasty
Yaitu pembentukan glans penis kembali
4. Scrotoplasty
5. Skin coverage (Snodgrass dan Bush, 2015).

J. KOMPLIKASI
1. Pseudohermatroditisme, keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin
dalam 1 jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri seksual tertentu
2. Infertilitas
3. Resiko hernia inguinalis
4. Gangguan psikologis dan psikososial
5. Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat
dewasa
Komplikasi paska operasi yang terjadi:
1. Edema yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat bervariasi, juga
terbentuknya hematom/kumpulan darah dibawah kulit, yang biasanya
dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi.
2. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan
sebagai parameter untuk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur
satu tahap saat ini angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10 %.
3. Residual chordee/rekuren chordee, akibat dari rilis korde yang tidak
sempurna, dimana tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau
pembentukan skar yang berlebihan di ventral penis walaupun sangat
jarang.
6. Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu lebar, atau
adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut
(Snodgrass dan Bush, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Hadidi. 2013. Hipospadias Surgery: An illustrated guide. New York:


Springer Science & Business Media

Krisna, Daniel Mahendra, Maulana Akhada. 2017. Hipospadia: Bagaimana


Karakteristiknya Di Indonesia. Jurnal Berkala Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Duta Wacana 2 Bagian Urologi Universitas Mataram

Kyle, Theresa., Susan Carman. 2016. Pediatric Nursing Clinical Guide 2. USA:
Lippincott Williams & Wilkins

Mansjoer, Arief. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4, Jakarta: Media


Aesculapius.

Puri, Prem. 2015. Pediatric Surgery: General Principles and Newborn Surgery,
Volume 1. Netherlands: Springer Berlin Heidelberg

Snodgrass, Warren., Bush, Nicol. 2015. Hypospadiology. USA: Operation


Happenis Incorporated

Anda mungkin juga menyukai