DASAR TEORI
Transurethral Resection of The Prostate (TURP)
A.
Definisi
Suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop. Merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan terhadap potensi kesembuhan.
Transurethral resection of the prostate (TURP) dapat dipakai sebagai criteria
standar untuk mengurangi bladder outlet obstruction (BOO) secondary to BPH.
TURP merupakan metode paling sering digunakan dimana jaringan prostat yang
menyumbat dibuang melalui sebuah alat yang dimasukkan melalui uretra. Merupakan
salah satu jenis operasi endoskopi yang banyak dilakukan saat ini adalah TURP
(transurethral resection of the prostate) dimana kelenjar prostat dipotong dengan cara
dikerok dengan menggunakan energi listrik.
B.
Indikasi TURP
Secara umum indikasi untuk metode TURP adalah pasien dengan gejala
sumbatan yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak dapat diobati
dengan terapi obat lagi. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang sampai berat,
volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi.
Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram.
1
C.
Kontraindikasi TURP
TURP merupakan prosedur elektif dan tidak direkomendasian pada pasien
D.
Mekanisme TURP
TURP dilakukan dengan memakai alat yang disebut resektoskop dengan suatu
lengkung diathermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi selapis dan
dikeluarkan melalui selubung resektoskop. Perdarahan dirawat dengan memakai
diathermi, biasanya dilakukan dalam waktu 30 sampai 120 menit, tergantung
besarnya prostat. Selama operasi dipakai irigan akuades atau cairan isotonik tanpa
E. Komplikasi
Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia
atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah
striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena
pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul
kembali 8-10 tahun kemudian.
1. Sindrom TURP
Definisi
Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena
pada prostat dan memungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi. Absorbsi dari
cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih) menghasilkan konstelasi gejala
dan tanda yang disebut dengan sindrom TURP.
Epidemiologi
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan endoskopi
urologi. Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa angka mortalitas yang
signifikan. Walaupun terdapat peningkatan di bidang anestesi 2,5%-20 % pasien yang
mengalami TURP menunjukkan satu atau lebih gejala sindrom TURP dan 0,5% - 5%
diantaranya meninggal pada waktu perioperatif. Angka mortalitas dari sindrom TURP
ini sebesar 0,99%.
irigasi agar daerah yang di irigasi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan
elektrolit / ionik tidak bisa digunakan untuk irigasi saat TURP karena cairan tersebut
mendispersi aliran elektrokauter dan menyebabkan hantaran saat operasi. Syarat
cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah : isotonik, non-hemolitik,
electrically inert, non-toksik, transparan, mudah untuk disterilisasi dan tidak mahal.
Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi syarat seperti di atas belum ditemukan.
Untuk TURP biasanya menggunakan cairan nonelektrolit hipotonik sebagai
cairan irigasi seperti air steril, Glisin 1,5% (230 mOsm/L), atau campuran Sorbitol
2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L). Cairan yang boleh juga dipakai tapi
jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%, Mannitol 3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea
1%.
a. Air steril / akuades (H2O)
Walaupun air steril memiliki banyak kualitas yang diperlukan sebagai cairan
irigasi yang ideal, kerugian dalam penggunaannya adalah air dapat menyebabkan
hipotonisitas yang ekstrim, hemolisis, hiponatremia delusional dan gagal ginjal serta
syok. Air / Akuades (H20) menunjukkan visibilitas yang bagus karena air dengan sifat
hipotonisnya melisis sel darah merah, tetapi absorbsi yang signifikan bisa
5
menghasilkan acute water intoxication. Penggunaan air sebagai cairan irigasi dilarang
hanya pada reseksi transurethral tumor bladder.
b. Glycine 1.2%, 1.5%. 2.2%:
Glycine, asam amino endogen dianjurkan sebagai cairan irigasi yang sesuai,
mengingat beberapa keuntungannya yaitu : harganya murah walaupun tidak semurah
air steril, isotonik dengan plasma hanya pada konsentrasi 2,2% namun efek samping
glisin pada konsentrasi ini lebih banyak. Osmolaritas glisin dengan konsentrasi 1,5%
adalah 230 mOsm/liter bila dibandingkan dengan osmolalitas serum 290 mOsm/liter
sehingga toksisitas ginjal dan kardiovaskular dapat terjadi. Penurunan konsentrasi
glisin dapat menyebabkan komplikasi yang lebih banyak akibat hipotonisitasnya
sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai cairan irigasi. Keuntungan glisin 1,5%
bila dibandingkan dengan air steril adalah tendensitasnya menyebabkan gagal ginjal
dan hemolisis yang lebih rendah.
c. Mannitol 3%
Mannitol dianggap tidak memiliki toksisitas yang disebabkan glisin, namun
dapat mendorong air keluar dari sel sehingga dapat menyebabkan overload dari
sirkulasi. Disamping itu harganya lebih mahal dibandingkan glisin. Ekskresinya
melalui ginjal sehingga akan menurun pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
d. Dekstrosa 2.5% - 4%
Tidak digunakan lagi secara luas karena dapat menyebabkan membakar
jaringan yang direseksi dan berkaitan dengan hiperglikemia apabila diabsorbsi ke
dalam sirkulasi. Juga tidak disukai karena membuat lengket instrumen dan sarung
tangan ahli bedah saat operasi.
e. Cytal
Cytal adalah campuran dari Sorbitol 2.7% dan Mannitol 0.54% banyak
digunakan di Amerika Serikat sebagai cairan irigasi, namun tidak popular di India
karena harganya yang mahal dan tidak tersedia secara luas. Didalam tubuh, Sorbitol
dimetabolisme menjadi fruktosa, yang dapat menimbulkan masalah baru pada pasien
yang hipersensitif terhadap fruktosa
f. Urea 1%
Urea dapat menyebabkan kristalisasi pada intrumen selama reseksi maka dari itu
tidak dipilih untuk cairan irigasi. Berdasarkan keuntungan dan kerugian tersebut
diatas maka glisin 1,5% dan air steril yang paling sering digunakan sebagai cairan
irigasi pada operasi urologi endoskopi.
Patofisiologi dan Gejala Klinis
Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan gejala
sakit kepala kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi
dan seizure. Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa bermanifestasi overload
sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan sebagai cairan irigasi. Sindrom
TURP bisa terjadi setiap saat dan telah diobservasi awal setelah pembedahan dimulai
dan beberapa jam setelah pembedahan selesai.
Jumlah cairan yang dapat memasuki daerah vaskularisasi dipengaruhi
beberapa faktor yaitu : tekanan hidrostatik dari cairan irigasi, jumlah venous sinus
yang terbuka, lama reseksi/paparan dan perdarahan vena yang terjadi. Tekanan
hidrostatis cairan irigasi yang rendah, semakin banyaknya vena yang terbuka saat
reseksi dan semakin lama waktu reseksi meningkatkan absorbsi air ke dalam sistem
sirkulasi.
1. Overload Sirkulasi
Uptake dari sejumlah kecil cairan irigasi dapat ditunjukkan pada setiap
operasi TURP melalui venous netwok of prostatic bed.
dengan cara memeriksa udara ekspirasi dari etanol setelah penambahan etanol sampai
dengan konsentrasi lebih dari 1% ke dalam cairan irigasi. Uptake dari 1 liter cairan
dalam satu jam yang berkaitan dengan penurunan akut dari konsentrasi natrium serum
5-8 mmol/liter adalah jumlah volume yang secara statistic meningkatkan resiko gejala
terkait absorpsi (absorption related symptoms).
Reseksi biasanya berlangsung 45-60 menit dan rata-rata 20mL/menit dari
cairan irigasi diserap / diabsorbsi selama operasi TURP. Karena volume sirkulasi
yang meningkat, volume darah akan meningkat, tekanan sistolik dan diastolik
meningkat dan dapat menyebabkan gagal jantung. Absorbsi cairan mendilusi protein
serum dan menurunkan tekanan onkotik darah. Hal ini bersamaan dengan
peningkatan tekanan darah mendorong cairan dari vaskular menuju ke kompartmen
interstisial, menyebabkan edema paru dan serebri. Ditemukan pada absorbsi langsung
ke dalam sirkulasi, hampir lebih dari 70% cairan irigasi terakumulasi dalam ruang
interstisiil (periprostatik, retroperitoneal ). Untuk setiap 100 ml cairan yang
memasuki ruangan interstisial 10-15 mEq Na ikut masuk ke dalamnya.
Durasi operasi berpengaruh pada jumlah absorbsi dan overload sirkulasi.
Morbiditas dan mortalitas ditemukan lebih tinggi pada operasi dengan waktu lebih
dari 90 menit. Absorbsi intravaskular dipengaruhi ukuran prostat sedangkan absorbsi
interstisial dipengaruhi integritas kapsul prostat. Overload sirkulasi terjadi apabila
berat dari prostat lebih dari 45 gr. Faktor penting lainnya adalah tekanan hidrostatik
dari prostatic bed. Tekanan ini dipengaruhi ketinggian kolom cairan irigasi dan
tekanan dalam kandung kemih saat pembedahan. Tinggi yang ideal dari cairan adalah
60 cm sehingga kira-kira 300 ml cairan dapat dihasilkan per menit untuk
mendapatkan penglihatan yang baik.
2. Water Intoxication
Beberapa pasien dengan sindrom TURP menunjukkan gejala intoksikasi air
dan kelainan neurologis disebabkan karena peningkatan jumlah air dalam otaknya.
Pasien awalnya menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Kejang dapat berkembang
menjadi koma dalam posisi deserebrasi. Terdapat klonus dan respon Babinski positif.
Papiledema, yaitu pupil yang terdilatasi dan bereaksi lambat dapat terjadi. EEG
menunjukkan tegangan rendah bilateral. Gejala ini muncul apabila level Natrium
turun sampai di bawah 15-20 mEq / liter di bawah level normal.
8
3. Hyponatremia Hiperosmolaritas
Kehilangan natrium klorida dari cairan ekstraseluler atau penambahan air yang
berlebihan pada cairan ekstra seluler akan menyebabkan penurunan konsentrasi
natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi
hipoosmotik dan berhubungan dengan volume cairan ekstraseluler.
Natrium penting dalam fungsinya untuk eksitasi sel, terutama pada jantung dan
otak. Hiponatremia dapat terjadi pasien yang mengalami TURP melalui berbagai
mekanisme :
1. Dilusi serum Na akibat kelebihan absorbsi cairan irigasi
2. Hilangnya Na menuju aliran cairan irigasi pada tempat reseksi prostat
3. Hilangnya Na menuju ruangan interstisial pada periprostat dan retroperitoneal
4. Jumlah besar glisin menstimulasi pelepasan atrial natriuretik peptida pada
kelebihan volume cairan menyebabkan natriuresis..
Gejala hiponatremia adalah gelisah, kebingungan, inkoheren, koma dan kejang.
Ketika Na serum turun sampai di bawah 120 mEq / liter, hipotensi dan penurunan
kontraktilitas miokardial terjadi. Dibawah 115 mEq / l, bradikardi dan perluasan dari
kompleks QRS pada EKG dapat terjadi, ektopik ventrikuler dan inversi gelombang T
dapat terjadi. Di bawah 100 mEq / liter maka kejang umum, koma, henti nafas,
Ventricular Tachycardia (VT), Ventricular Fibrillation (VF) dan henti jantung terjadi.
Kebutuhan Na dihitung berdasarkan formula :
Sodium Deficit = Normal serum Na - Estimated serum Na x Volume of body water
Namun gangguan fisiologis yang menyebabkan gangguan system saraf pusat
bukanlah hiponatremia tersebut melainkan hipoosmolalitas yang terjadi. Seperti yang
kita tahu bahwa sawar darah otak bersifat impermeabel terhadap natrium namun
permeabel terhadap air. Edema serebri terjadi akibat hipoosmolalitas akut yang terjadi
meningkatkan tekanan intrakranial, menyebabkan bradikardi dan hipertensi (Cushing
reflex).
9
4. Glycine Toxicity
Kelebihan glisin yang diabsobrsi ke sirkulasi bersifat toksik pada jantung dan
retina dan dapat menyebabkan hiperammonia. Pada pasien glisin 1,5% berhubungan
efek subakut dari miokardium, muncul sebagai depressi atai inverse gelombang T.
pada EKG 24 jam setelah pembedahan. Absorbsi lebih dari 500 ml menunjukkan dua
laki resiko jangka panjang acute myocardial infarction. ini yang menyebabkan jumlah
mortalitas yang lebih tinggi antara operasi transuretra vs open prostatectomy masih
diperdebatkan oleh urologis hingga saat ini. Dilutional hypocalcemia juga dapat
menjadi penyebab gangguan kardiovaskular ketika glisin di absorbsi.
Namun
kalsium dijaga tetap normal secara cepat dengan mobilisasi kalsium dari tulang.
Glisin adalah asam amino yang berperan sebagai neurotransmitter utama pada system
saraf pusat. Tempat kerja glisin adalah terutama pada batang otak dan medulla
spinalis berbeda dengan neurotransmitter lainnya yaitu GABA yang bekerja pada area
subkortikal dan kortikal area. . Mekanisme kerjanya diakibatkan dari hiperpolarisasi
dari membran postsinaps dengan meningkatkan hantaran klorida. Pada konsentrasi
tinggi menyebabkan efek pada sistem saraf pusat dan gangguan penglihatan.
Glycolic acid, formal dan formaldehyde adalah metabolit lain dari glisin yang juga
menyebabkan gangguan penglihatan. Tanda seseorang mengalami toksisitas glisin
adalah mual, muntah, respirasi lambat, kejang, spell apneoea dan sianosis, hipotensi,
oligouria, anuria dan kematian.
Nilai normal glisin pada pria adalah 13-17 mg / liter. Glycine toxicity jarang
pada pasien TURP mungkin karena hampir seluruh glisin yang diabsorbsi ditahan
pada ruang periprostatik dan retroperitoneal yang tidak memiliki efek sistemik.
5. AmmoniaToxicity
Amonia adalah produk mayor dari metabolisme glisin. Konsentrasi ammonia
yang tinggi menekan pelepasan norepinefrin dan dopamine dalam otak. Hal ini
menyebabkan encephalopati TURP syndrome. Namun hal ini jarang terjadi pada
10
manusia. Karakteristik toksisitas yang terjadi adalah satu jam setelah pembedahan.
Pasien tiba-tiba mual dan muntah dan menjadi koma. Ammonia darah meningkat
menjadi 500 mikromol / liter (nilai normal : 11-35 mikromol / liter).
Hyperammonemia dapat bertahan sampai lebih dari 10 jam paska operasi karena
glisin secara kontinu diabsorbsi dari ruang periprostat.
Mekanisme mengapa hiperammonia tidak diderita oleh semua pasien yang
mengalami TURP masih belum jelas. Hiperamonia mengimplikasikan bahwa tubuh
tidak dapat memetabolisme glisin secara sempurna melalui glisin cleavage system.,
citric acid cycle dan konversi glycolic dan glioxylic acid.
Makanisme lain yang dapat menjelaskan adalah defisiensi arginin. Amonia
normalnya diubah menjdi urea dalam hati melalui ornithine cycle. Arginin adalah
produk intermediet dari siklus ini. Defisiensinya menandakan bahwa ornithine cycle
tidak berlangsung sempurna dan terjadi akumulasi amonia.
6. Hipovolemi, Hipotensi
Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan
sebagai cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa tidak
muncul jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan hipertensi.
Pelepasan substansi jaringan prostatik dan endotoksin menuju sirkulasi dan asidosis
mtabolik yang bisa berkontribusi terhadap hipotensi. Kehilangan darah saat Sindrom
TURP akan menimbulkan hipovolemia, menyebabkan kehilangan kemampuan
mengangkut oksigen secara signifikan sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan
infark miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran kalenjar prostat yang
direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari operator. Rata-rata kehilangan darah
saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi prostat.
7. Gangguan Penglihatan
Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara,
pandangan berkabut, dan melihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi dilatasi dan
tidak merespons. Lensa mata normal. Gejala bisa muncul bersamaan dengan gejala
11
lain dari Sindom TURP atau bisa juga menjadi gejala yang tersembunyi.
Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah pembedahan. Kebutaan TURP
disebabkan oleh disfungsi retina yang kemungkinan karena keracunan glisin. Karena
itu persepsi dari cahaya dan refleks mengedipkan mata dipertahankan dan respon
pupil terhdap cahaya dan akomodasi hilang pada kebutaan TURP, tidak seperti
kebutaan
yang
disebabkan
karena
disfungsi
kortikal
serebri.
8. Perforasi
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan
instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari kantung
kemih dan letusan didalam kantung kemih. Perforasi instrumen dari kapsul prostatik
telah diestimasi terjadi pada 1% dari pasien yang melakukan TURP. Tanda awal dari
perforasi, yang sering tidak diperhatikan adalah penurunan kembalinya cairan irigasi
dari kantung kemih. Dan diikuti oleh nyeri abdomen, distensi dan nausea. Bradikardi
dan hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada resiko tinggi kesalahan diurese
spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya berkembang lebih cepat. Nyeri alih
bahu yang berkaitan dengan iritasi pada diafragma merupakan gejala khas Pallor,
diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea, muntah dan hipotensi bisa terjadi. Perforasi
ekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah bisa terjadi.
Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan prostat
dipercaya bisa membebaskan gas yang mudah terbakar. Secara normal, tidak cukup
oksigen yang terdapat didalam kantung kemih agar bisa terjadi letusan. Tetapi jika
udara masuk bersama dengan cairan irigasi akan bisa berakibat timbulnya ledakan.
9. Koagulopati
DIC (Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan dengan
pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin menuju sirkulasi
yang
menyebabkan
fibrinolisis
sekunder.
Dilutional
trombositopenia
bisa
memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada darah dengan timbulnya penurunan
12
jumlah platelet, FDP (Fibrin Degradation Products) yang tinggi (FDP > 150 mg/dl)
dan plasma fibrinogen yang rendah (400 mg/dl).
10. Bakteremia, Septisemia dan Toksemia
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat
preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan tekanan
tinggi, maka bakteri akan masuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien, bakteremia
menjadi septisemia. Absorbsi dari endotoksin bakteri dan produksi toksin dari
koagulasi jaringan akan berakibat keadaan toksik pada pasien postoperatif. Gemetar
yang parah, demam, dilatasi kapiler dan hipertensi bisa terjadi secara temporer pada
pasien ini.
11. Hipotermia
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang
akan dilakukan TURP. Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi
hemodinamika, yang mengakibatkan pasien menggigil dan peningkatan konsumsi
oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utama dari hilangnya panas dan
penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan menghasilkan penurunan suhu tubuh
sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh keadaan ruangan operasi yang bersuhu dingin.
Pasien geriatri diduga akan mengalami hipotermia karena disfungsi otonom.
Vasokonstriksi dan asidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi terhadap
manifestasi sistem saraf pusat. Menggigil juga bisa diperparah oleh pendarahan dari
tempat reseksi.
13
yang bekerja pada homeostasis tubuh. Idealnya terapi tersebut harus dimulai sebelum
tejadi komplikasi sistem saraf pusat dan jantung yang serius. Ketika Sindrom TURP
didiagnosa, prosedur pembedahan sebaiknya diakhiri secepatnya. Kebanyakan pasien
bisa dimanajemen dengan restriksi cairan dan diuretic loop.
Identifikasi gejala awal sindrom TURP dan pencegahan, penting untuk
mencegah efek yang fatal bagi pasien yang mengalami pembedahan endoskopik.
Hiponatremia yang terjadi sebelum operasi harus dikoreksi terutama pada pasien
yang menggunakan obat-obatan diuretic dan diet rendah garam. Antibiotic profilaksis
14
mg), diazepam (3-5 mg), thiopental (50-100 mg). Kehilangan darah diterapi dengan
transfusi PRC. Pada kasus dengan DIC, maka fibrinogen 3-4 gram sebaiknya
diberikan secara intravena diikuti dengan infus heparin 2000 unit secara bolus ( dan
kemudian diberikan 500 unit tiap jam). Fresh Frozen Plasma (FFP) dan platelet juga
bisa digunakan tergantung dari jenis koagulasinya.
Drainase pembedahan dari cairan retroperitoneal pada kasus perforasi bisa
menurunkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Arginin dapat diberikan
sebagai tambahan infus glisin untuk menurunkan efek toksik dari glisin pada jantung.
Mekanisme bagaimana arginin memproteksi jantung belum diketahui. Phenytoin
yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg) juga harus dipertimbangkan untuk
memperoleh aktivitas antikonvulsan. Intubasi endotrakeal secara umum disarankan
untuk mencegah aspirasi sampai status mental pasien menjadi normal. Jumlah dan
kadar salin hipertonik (3-5 %) diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia menjadi
batas / level yang aman, yang didasarkan konsentrasi serum sodium pasien. Solusi
salin hipertonis harus tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 100 ml/jam
sehingga tidak menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan sirkulasi. Hipotermi
dapat dihindari dengan meningkatkan suhu ruang operasi, penggunaan selimut hangat
dan menggunakan cairan irigasi dan intravena yang telah dihangatkan sampai suhu
370 C.
Manajemen pasien yang mengalami koma harus meliputi oksigenasi, sirkulasi
yang memadai, penurunan tekanan intrakranial, penghentian kejang, terapi infeksi,
menjaga keseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh. Pemantauan yang
dilakukan glukosa, elektrolit (Na, K, Ca,. Cl, CO3, PO4), urea kreatinin, osmolaritas,
glisin, dan amonia. Pemeriksaan gas darah dapat melihat PH, PO2, PCO2, dan
karbonat. Perlu juga dilakukan EKG untuk memonitor fungsi kardiovaskular.
16
17
BAB II
ANESTESI PADA TURP
ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan
menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebro-spinal
(CSF). Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat
analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau
L3-L4 atau L4-L5.
Spinal anestesi mudah untuk dilakukan dan memiliki potensi untuk
memberikan kondisi operasi yang sangat baik untuk operasi di bawah umbilikus.
Spinal anestesi dianjurkan untuk operasi di bawah umbilikus misalnya hernia,
ginekologi dan operasi urologis dan setiap operasi pada perineum atau alat kelamin.
Semua operasi pada kaki, tapi amputasi meskipun tidak sakit, mungkin merupakan
pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien yang dalam kondisi terjaga.
Dalam situasi ini dapat menggabungkan tehnik spinal anestesi dengan anestesi umum.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis
18
19
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
20
operasi.
f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO yang
berlangsung lama.
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis
derajat III IV, AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi
Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol,
infeksi akut, sepsis, GNA.
Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan. Pada
pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang bersifat
hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung, obat obatan yang mendepresi
miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan.
Pasien dengan gangguan ginjal, obat obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus
diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada
bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang
21
merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow karena dapat
menyebabkan peningkatan kadar gula darah.
Sedangkan komplikasi kadang kadang tidak terduga walaupun tindakan
anestesi telah dilakukan dengan sebaik baiknya. Komplikasi dapat dicetuskan oleh
tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat timbul pada
waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular berupa
hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari
sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada periode
induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya
pada penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan kebutuhan
miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak
tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar ,
hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.
22
23
24
BAB III
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
Hyderally H. Complications of Spinal Anesthesia. The Mountsinai Journal of
Medicine. Jan-Mar 2002.
Katz J, Aidinis SJ. Complications of Spinal and Epidural Anesthesia. J Bone Joint
Surg Am. 2010; 62:1219-1222.
Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia 2009; 107-112.
Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Anestesiologi. FKUI,
Jakarta. 1989.
Michael B. Dubson. Penuntut Praktis Anestesi. EGC, Jakarta. 1994.
Boulton, Thomas B. Anestesiologi. EGC, Jakarta. 1994.
26
27