Anda di halaman 1dari 64

Laporan Kasus

General Anastesi atas Indikasi Trauma Kepala


(PIS)

Disusun oleh:

M. Alfarabi Hasibuan (120100332)


Kristian Gerry Raymond Sinarta Bangun (120100203)
Citra Ulina Sitorus (120100057)
Finda Redhiza (120100022)
Pembimbing:
Dr. dr. Muhammad Ihsan, Sp. An, KMN

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMENILMU ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas cahaya ilmu dan
kemudahan yang dikaruniakan-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul
Trauma ini dapat diselesaikan. Laporan kasus ini disusun sebagai rangkaian
tugas Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Terimakasih kami sampaikan kepada Dr. dr. Muhammad Ihsan, Sp. An,
KMN selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian
makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat memberikan
kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan makalah ini di kemudian hari.

Medan, 2 Mei 2017

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di


unit gawat darurat suatu rumah sakit. Menurut Hippocrates, bahwa tidak ada
cedera kepala yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa membuat kita putus
harapan dan tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di
Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus cedera kepala, 52.000 pasien meninggal
dan selebihnya di rawat inap. Cedera kepala juga merupakan penyebab kematian
ketiga dari semua jenis cedera yang dikaitkan dengan kematian. Mortalitas cedera
kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu
sebanyak 41,3 per 100.000 dan 28,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun
ke atas, kematian akibat cedera kepala tercatat 52.000 kematian dari 1,7 juta lansia
di Amerika yang mengalami cedera kepala akibat terjatuh. Penyebab utama cedera
kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh. Pejalan kaki yang
mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab cedera kepala
terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa.1
Pasien cedera kepala berat meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit, dan
kira-kira 90% kematian pra rumah sakit karena menderita cedera kepala. Kurang
lebih 70% cedera otak memerlukan penatalaksanaan medik dikategorikan sebagai
cedera kepala ringan, 15% sebagai cedera kepala sedang, dan 15% cedera kepala
berat. Pada cedera kepala berat penurunan kesadaran berlangsung lebih dari 24
jam dan dihubungkan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi pula. Cedera
kepala secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu cedera kepala primer dan
cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer diakibatkan oleh cedera benturan
atau penetrasi langsung pada jaringan saraf. Cedera kepala sekunder merupakan
rangkaian cedera kepalaprimer yang dapat memperburuk outcome. Cedera kepala
sekunder itu diakibatkan olehhipotensi, hipoksia dan kenaikan tekanan
intrakranial.1
Glasgowcoma scale (GCS), merupakan instrumen standar yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien cedera kepala. Selain mudah
dilakukan, GCS juga memiliki peranan penting dalam memprediksi risiko
kematian di awal trauma. Dari GCS dapat diperoleh informasi yang efektif
mengenai pasien cedera kepala. Di Indonesia jumlah kecelakaan lalu lintas
meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Kantor Kepolisian Republik
Indonesia (1992-2009) tahun 2007 terdapat 49.553 orang dengan korban
meninggal 16.955 orang, luka berat 20.181, luka ringan 46.827. Tahun 2008
jumlah kecelakaan 59.164, korban meninggal 20.188, luka berat 23.440 yang
menderita luka ringan 55.731orang. Tahun 2009 jumlah kecelakaan 62.960,
korban meninggal 19.979, luka berat 23.469, dan luka ringan 62.936. Angka
kejadian kecelakaan di Jawa Tengah pada bulan November 2010 yang bertempat
di Semarang yang dicatat oleh Direktorat Lalu Lintas Kepolisian daerah Jawa
Tengah 603 orang pengguna jalan raya tewas akibat berbagai kecelakaan yang
terjadi selama semester pertama 2010.2

1.2 Tujuan Penulisan


1. Memahami ilmu kegawat daruratan dari primary survey, secondary survey
sampai tatalaksana awal di IGD terutama pada kasus trauma kepala.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Anestesi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Kepala


2.1.1 Definisi
Berdasarkan pedoman dari National Institute for Health and Care
Excellence (NICE) Inggris, trauma kepala didefinisikan sebagai trauma apa pun
yang mengenai kepala, yang bukan merupakan trauma superfisial pada wajah.3

2.1.2 Anatomi4,5
2.1.2.1 Permukaan Kepala
a. Nasion adalah lekukan pada garis tengah pangkal hidung.
b. Inion atau protuberantia occipitalis externa adalah tonjolan tulang di pusat
squama occipitalis. Tonjolan tersebut terletak di garis tengah batas kepala dan
leher dan merupakan tempat melekatnya ligament nuchae, suatu ligamentum
besar yang berjalan dibagian leher belakang menghubungkan tengkorak
dengan processus spinosus vertrebrae cervicales.
c. Vertex adalah titik tertinggi tengkorak pada potongan sagital.
d. Fonticulus Anterior pada bayi, terletak diantara dua belahan os frontale dan
kedua os parietale dan sesudah 18 bulan tidak teraba lagi.
e. Fonticulus Posterior pada bayi, terletak diantara squama occipitalis dan tepi
posterior kedua os parietale dan pada tahun pertama akan menutup.
f. Arcus Superciliaris merupakan dua rabung mencolok pada os frontale, di tepi
superior orbita. Dibawah rabung ini, terletak sinus frontalis di kedua sisi garis
tengah.
g. Linea Nuchae Superior adalah suatu rabung yang berjalan ke lateral dari
protuberantia occipitalis externa ke processus mastoideus os temporale.
h. Processus Mastoideus Ossis Temporalis menonjol ke bawah depan dari
belakang telinga. Belum berkembang pada bayi yang baru lahir dan hanya
tumbuh akibat tarikan sternocleidomastoideus jika anak menggerak-gerakan
kepalanya. Pada akhir tahun kedua telah terbentuk tonjolan tulang.
i. Auricula dan Meatus Acusticus Externus terletak di depan processus
mastoideus. Panjangnya kurang dari 2,5 cm dan melengkung seperti huruf S.
j. Membran Tympani biasanya berwarna kelabu mutiara dan cekung bila
dilihat dari meatus. Bagian yang paling cekung disebut umbo dan disebabkan
oleh perlekatan gagang malleus pada permukaan medialnya.
k. Tuber Parietale yaitu pada bagian lateralnya memiliki struktur dapat
dipalpasi lebih kurang 5 cm di atas auricular. Terletak dekat ujung bawah
sulcus centralis cerebri.
l. Arcus Zygomaticus terletak di depan telinga, meluas ke depan dan berakhir
di depan os zygomaticum.
m. A. Temporalis Superficialis denyutnya dapat dirasakan dengan palpasi pada
tempat ia melintas arcus zygomaticus, yaitu tepat di depan auricular.
n. Articulatio Temporomandibularis merupakan sendi yang dapat dengan
mudah dipalpasi di depan auricula
o. Corpus Mandibulae yaitu bagian yang paling mudah dipelajari dengan
memasukkan satu jari ke dalam mulut dan satu lagi di luar. Dengan demikian,
mandibula dapat diperiksa mulai dari symphysis mandibulae sampai ke
angulus mandibulae.

NORMA VERTIKALIS
Tengkorak dilihat dari atas tampak seperti oval dengan bagian occipital lebih
besar dibandingkan dengan bagian frontal. Dari aspek atau pandangan ini terlihat
tiga sutura yaitu sutura coronal yang menghubungkan antara bagian belakang
tulang frontal dan bagian depan tulang parietal, sutura sagital yang merupakan
garis median tengkorak dan menghubungkan tulang parietal kanan dan kiri, sutura
lambdoid yang menghubungkan bagian belakang tulang parietal dan bagian atas
tulang occipital.
Pertemuan antara sutura coronal dan sutura sagital dinamakan bregma, yang
pada anak-anak masih berbentuk celah yang dinamakan fontanel anterior,
sedangkan pertemuan antara sutura sagital dan sutura lambdoid dinamakan
lambda yang diambil dari Yunani Z, pada anak-anak daerah ini dinamakan
fontanel posterior.
Pada tulang parietal dekat dengan sutura sagital dan sekitar 3,5 centimeter
diatas lambda terdapat foramen parietal yang merupakan tempat berjalannya vena
emisaria.

NORMA FRONTALIS
Gambar 2.1. Norma Frontalis

Dilihat
dari depan
tengkorak
tampak oval
dengan bagian atas
lebih
lebar dari
pada bagian bawah.
Bagian atas dibentuk
oleh os. Frontal yang
konveks dan halus sedangkan bagian
bawah sangat irreguler. Diatas kedua cavum orbita terdapat tonjolan yang
melengkung dinamakan arcus superciliare yang tampak lebih menonjol pada pria
dibandingkan dengan pada wanita dan diantara kedua arcus terdapat bagian yang
menonjol yang disebut glabela. Dibawah glabela terdapat nasion yang merupakan
pertemuan antara sutura internasal dan sutura frontonasal.
Cavum orbita menyerupai segi empat dimana pada sisi atas (supra orbita
margin) dibentuk oleh os. Frontal yang pada 1/3 medialnya terdapat supra orbital
norch yang merupakan tempat keluarnya pembuluh darah dan saraf supra orbita.
Sisi lateral dibentuk oleh prosedur frontal os. Zygomaticum dan proccesus
zygomaticum os.Frontale. Sisi bawah atau posterior orbital margin dibentuk oleh
os. Zygomaticum dan os.maksila. Sisi medial dibentuk oleh bagian atas os.
Frontal dan bagian bawah os. Lacrimal.
Pada norma frontalis tampak:
a. Os. Frontale dengan:
- Tuberculum frontale, tonjolan pada kening dikanan kiri.
- Arcus superciliaris, tonjolan yang melengkung diatas mata kanan dan kiri
- Glabela
b. Os. Nasale
c. Os. Maksilare, dengan:
- Fossa canina, cekungan di kanan kiri hidung
- Jagum alveolare, tonjolan yang didalamnya terdapat akar gigi spina
nasalis anterior.
d. Os. Maksila dan os. Nasale membatasi apertura nasalisanterior atau apertura
piriformis.
e. Os. Zygomaticum
f. Os. Mandibula dengan bagian-bagian: ramus mandibula, pars alveolare,
protuberantia mentalis, tuberculum mentale, basis mandibulla dan angulus
mandibulla.

NORMA OCCIPITALIS
Tengkorak dilihat dari belakang menyerupai potongan roti dengan
lengkung pada bagian atas dan samping, datar pada bagian bawahnya. Sutura
lambdoid dapat tampak seluruhnya. Pada norma occipitalis tampak:1
a. Os. Occipital dengan bagian-bagian protuberantia occipitalis eksterna, linea
nuchae superior, linea nuchae inferior dan inion.
b. Os. Parietale
c. Os. Temporalis
Gambar 2.2.
Norma Occipitalis

NORMA LATERALIS

Gambar 2.3. Norma Lateralis


Pada aspek ini tampak :
a. Os. Frontale, disini tampak linea temporalis superior dan linea temporalis
inferior yang berjalan mulai dari procesus zygomaticum melintasi sutura
coronale sampai ke os.parietale.
b. Os. Zygomaticum denagn procesus frontalis yang berhubungan os.frontale dan
procesus temporalis yang berhubungan dengan os temporalis
c. Os. Temporale dengan procesus zygomaticus yang berhubungan dengan
os.occipital, os.parietal dan os.sphenoidale procesus mastoideous yang
menonjol ke candal aucticus eksternus.
d. Os. Parietale dengan tuberculum parietale, linea temporalis superior dan linea
temporalis inferior.
e. Os. Maksilare, dengan :
f. Fossa canina, cekungan dikanan kiri hidung
g. Jugumalveorale, tonjolan yang didalamnya terdapat akargigi spina nasalis
anterior
h. Os. Maksila dan os. nasale membatasi apertura nasalis anterior atau apertura
piriformis
i. Os. Zigomaticum
j. Os. Mandibulla dengan bagian-bagian: ramus mandibulla, pars alveorale,
protuberantia mentalis, tuberculum mentale, basisi mendibulla dan angulus
mandibulla.

2.1.2.2 Otot pada Wajah

Tabel 2.1. Otot-otot pada Wajah


Tabel 2.2 Otot-otot

Temporomandibularis

2.1.2.3 Sirkulasi Willis


Gambar 2.4. Sirkulasi Willis

The circle of Willis terbentuk ketika arteri karotis interna (ICA) memasuki
rongga tengkorak bilateral dan terbagi menjadi arteri serebri anterior (ACA) dan
arteri serebri media (MCA). Arteri serebral anterior kemudian dipersatukan oleh
arteri komunikans anterior (ACOM). Koneksi ini membentuk setengah anterior
(sirkulasi anterior) dari lingkaran Willis. Posterior, arteri basilar, dibentuk oleh
arteri vertebralis kiri dan kanan, cabang ke posterior kiri dan kanan arteri serebral
posterior (PCA) membentuk sirkulasi posterior. PCA melengkapi lingkaran Willis
dengan bergabung dalam sistem karotis interna anterior melalui arteri komuikans
anterior (PCOM).
Arteri basilar berasal di persimpangan antara arteri vertebralis kiri dan
kanan dan perjalanan anterior ke batang otak. Cabang meliputi arteri serebral
superior (SCA) dan arteri serebral anterior inferior (AICA). SCA muncul dari
arteri basilar segera sebelum bifurkasi basilar. SCA sering datang ke dalam kontak
dengan saraf trigeminal dan biasanya target bedah mikrovaskuler dekompresi
untuk neuralgia trigeminal. Arteri mengirimkan cabang ke tectum, vermis, dan
aspek medial hemisfer serebelar. Arteri serebral anterior inferior (AICA)
perjalanan menuju sudut cerebellopontine. Arteri serebral posterior inferior
(PICA) adalah yang terbesar dari arteri serebral dan muncul dari arteri vertebralis.
Ini memasok medula, tonsil serebelum dan vermis, dan inferolateral hemisfer
serebela.

2.1.3 . Klasifikasi
Berdasarkan ATLS, cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,
beratnya cedera, dan morfologi.6

2.1.3.1.Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2.1.3.2 Beratnya Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi


beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid
dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal
atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai
koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak
dengan nilai GCS 913 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita
dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi


keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :

Tabel 2.3. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury

Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit

Amnesia post traumatik < 24 jam

GCS = 13 15
Sedang Kehilangan kesadaran 20 menit dan 36 jam

Amnesia post traumatik 24 jam dan 7


hari GCS = 9 - 12
Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam

Amnesia post traumatik > 7


hari GCS = 3 8
( Sumber : Brain Injury Association of Michigan , 2005)

2.1.3.3.Morfologi

a. Fraktur Kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan
dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya
tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan
permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak
dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup
berat. klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut;

1) Gambaran fraktur, dibedakan atas :


a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2) Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3) Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

b. Lesi Intra Kranial

1) Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal


sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya
kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi


dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang
terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering
menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area
putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal
Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis
yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan
pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

2) Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga


tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo parietal yang
biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur
tulang tengkorak.

3) Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan


epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di
permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.

4) Perdarahan intraserebral

Perdarahan intraserebral traumatik terjadi pada 8% pasien dengan


trauma kepala dan 13-35% pada trauma kepala berat. Sering terjadi
multiple dengan lokasi terbanyak pada lobus frontal and temporal, namun
dapat pula terjadi pada kedua hemisfer. Jarang terjadi pada daerah
cerebellum, kadang-kadang perdarahan intracerebral terjadi beberapa hari
setelah trauma. Jika bentuk hematoma berbatas tegas, single, pada pasien
dengan riwayat trauma, kemungkinan penyebab lain akibat nontrauma
seperti hipertensi serta rupture aneurisma dapat terjadi. Kontusio serebri
merupakan perdarahan dengan diameter < 1 cm.
Mekanisme terjadinya akibat proses akselerasi deselerasi pada
kepala saat terjadi trauma, menyebabkan terjadi pergeseran cerebra pada
tulang yang prominen (temporal, frontal, dan occipital) pada bagian koup
dan kontrakoup.

Gejala klinis akut perdarahan intraserebral hampir sama dengan


gejala perdarahan intracranial lainnya. Sekitar 7% pasien datang dengan
penurunan kesadaran serta cidera kepala berat. Delayed traumatic ICH
dapat terjadi pada daerah yang sebelumnya menunjukkan CT Scan normal
atau terdapat kontusio srebri.Pasien dengan DTICH memenuhi criteria:
Terdapat riwayat trauma Gejala asimptomatik diikuti penurunan
kesadaran.

CT Scan kepala nonkontras merupakan modalitas terbaik untuk


diagnosis pertadarahan intraserebral. Pada gambaran CT Scan tampak
sebagai lesi hiperdens dengan edema minimal atau tanpa edema di
sekeliling lesi. Pada subakut batas perifer hematoma membentuk ring-like
enhancement pada CT Scan dan MRI akibat proliferasi kapiler pada kapsul
hematoma. Delayed intracerebral hematomas Dapat terjadi pada area yang
tampak normal pada CT Scan awal atau terdapat kontusio serebri pada CT
Scan awal, paling sering terjadi pada hari 1-4 setelah trauma, namun dapat
pula terjadi sampai 2 minggu setelah trauma kepala. Sepertiga lesi
perdarahan intraserebral mengalami perkembanagan perifokal edema yang
menyebabkan efek massa lebih besar dibanding lesi perdarahannya.

Lesi perdarahan intracranial yang kecil tidak membutuhkan


tindakan operasi , namun efek massa yang ditimbulkan pada lesi yang
berukuran besar dapat menyebabkan secondary brain injury yang dapat
menyebabkan perburukan neurologis yang dapat menyebabkan herniasi
otak dan kematian.

Angka mortalitas berkisar 27-50%. GCS awal yang rendah serta


adanya perdarahan intracranial lain memperburuk prognosis.

2.1.4 Etiologi dan Patofisiologi7


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala.

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan
pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat
gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa
akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan
intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di
antara lesi kontusio coup dan countrecoup.

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara


mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan


kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan menganggu fungsi otak yang
akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan
intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu
fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi,
kenaikan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah
serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK normal
pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH 20), TIK lebih tinggi dari 20
mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalarn
kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk
prognosisnya.

Doktrin Monro-Kellie adalah suatu konsep sederhana yang dapat


menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanva adalah bahwa volume
intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan
rongga yang tidak mungkin mekar.

TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena
TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume. Nilai TIK
sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada garis datar pada kurva berapa
banyak volume lesi masanya.
Gambar 2. Doktrin Monroe-Kellie

Volume isi intrakranial akan selalu konstan. Bila terdapat penambahan


massa seperti adanya hematoma akan menyebabkan tergesernya CSF dan darah
vena keluar dari ruang intrakranial dengan volume yang sama, TIK akan tetap
normal. Namun bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah
masa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.

Karenanya semua upaya ditujukan untuk menjaga agar TIK penderita tetap
pada garis datar kurva volume-tekanan, dan tidak membiarkannya sampai
melewati titik dekompensasi.
Gambar 3. Kurva Tekanan-Volume

Kerusakan sekunder terhadap otak dapat terjadi akibat siklus


pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade,
yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga
beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera,
jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah
dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi
laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam
terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-
sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien
yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap
cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.
2.1.5 Penatalaksanaan Awal
Secara garis besar, penatalaksanaan terdiri atas 2 aspek2:
1. Penatalaksanaan pra-rumah sakit (RS)
Pasien harus segera dibawa ke RS jika terdapat tanda dan gejala berikut:
a. Penurunan kesadaran.
b. Defisit neurologis fokal (ketidakmampuan bergerak/menggerakkan
anggota tubuh, berbicara, keseimbangan, penglihatan, berjalan).
c. Kecurigaan adanya fraktur tulang tengkorak atau trauma kepala penetrasi
(tanda dan gejala antara lain adanya cairan keluar dari telinga atau hidung,
racooneyes (lebam pada mata), pendarahan dari telinga, tanda Battle
(jejas pada belakang telinga), tanda dan gejala penetrasi, trauma yang
terlihat pada kepala atau tulang tengkorak berdasarkan penilaian ahli.
d. Kejang setelah trauma.
e. Trauma kepala yang kuat (spt pejalan kaki yang dilanggar kendaraan,
penumpang terlempar keluar dari kendaraan, jatuh dari ketinggian 1 meter
atau 5 anak tangga, terjun dari kendaraan, tabrakan kendaraan
berkecepatan tinggi, tergulingnya kendaraan, kecelakaan yang melibatkan
kendaraan rekreasi, tabrakan sepeda dan mekanisme lain yang berpotensi
bertenaga kuat.
f. Korban luka ataupun orang yang menangani korban tidak mampu
membawa korban tersebut ke IGD tanpa ambulans.

Selain itu, pasien tersebut harus dibawa ke IGD rumah sakit jika memiliki
faktor risiko di bawah ini:
a. Pasien sebelumnya mengalami penurunan kesadaran, saat ini sudah sadar.
b. Amnesia terhadap peristiwa sebelum dan sesudah trauma (masalah
ingatan)
c. Sakit kepala yang menetap setelah trauma.
d. Adanya episode muntah setelah trauma.
e. Riwayat pembedahan otak.
f. Riwayat kelainan pendarahan/koagulasi.
g. Riwayat penggunaan obat antikoagulan seperti warfarin.
h. Riwayat penggunaan obat-obatan terlarang atau intoksikasi alkohol.
i. Adanya kecurigaan terhadap keamanan (seperti kemungkinan trauma
yang disengaja atau membahayakan orang lain).
j. Perubahan perilaku menjadi agitasi, khususnya pada anak-anak.

Pada pasien yang dicurigai dengan trauma perlu dilakukan pemeriksaan


yang cepat dan tepat yang bertujuan untuk menyelamatkan hidup pasien.
Pemeriksaan cepat ini disebut dengan Initial Assesment, yang terdiri atas :
1. Triage
2. Primary Survey
3. Resusitasi primary survey
4. Adjuncts to primary survey and resuscitation
5. Secodary survey
6. Adjuncts to the secondary survey
7. Continued postresuscitation monitoring and reevaluation
8. Definitive Care

1. Triage

Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan


sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC, yaitu Airway
(dengan kontrol vertebra servikal), Breathing, dan Circulation (dengan kontrol
perdarahan). Triage juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan
rumah sakit yang akan dirujuk, yang merupakan tanggung jawab bagi tenaga pra-
rumah sakit.
Dua jenis keadaan triage yang dapat terjadi:
a. Multiple Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak
melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan
masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih
dahulu.
b. Mass Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilakukan
penanganan terlebih dahulu adalah penderita dengan kemungkinan survival
yang terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang
paling sedikit.

2. Primary Survey

Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas


terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma.
Primary survey harus dapat dilakukan selama 10 detik, hal ini karena pada
saat tahap ini seorang dokter harus dapat menemukan secara cepat trauma
yang dapat mengancam jiwa.

Pemeriksaan dan penatalaksanaan yang meliputi ABCDE, yaitu8:

a. Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal
ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan
oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal, dapat dimulai dengan melakukan chin lift
atau jaw trust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap jalan
nafas bersih.
Selama memeriksa dan memperbaiki airway, tidak boleh dilakukan
ekstensi, fleksi atau rotasi terhadap leher. Jika dicurigai ada kelainan pada
ketujuh vertebra servikalis maupun vertebra torakalis pertama berupa
fraktur, maka harus dipasang alat imobilisasi atau dilakukan imobilisasi
manual terhadap kepala. Untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur dapat
dilakukan foto lateral.
Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan
gangguan kesadaran atau GCS (Glasgow Coma Scale) 8, dan pada
penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.
b. Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi
yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan
dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam
paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam
rongga pleura. Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan
kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi berat yang
harus dikenali saat dilakukan primary survey adalah tension
pneumothorax, flailchest dengan kontusio paru dan open pneumothorax.
Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi dengan derajat lebih
ringan dan harus dikenali saat dilakukan secondary survey adalah
hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga, dan kontusio
paru.
Gunakan metode lihat, dengar, rasakan untuk menilai gawat
napas: berkeringat, sianosis sentral, penggunaan otot bantu napas, dan
pernapasan abdominal, serta letak trakea. Kemudian, hitung frekuensi
napas (normal: 12-20x/menit). Nilai juga kedalaman dan kualitas napas,
dan apakah ada ketinggalan bernapas pada salah satu lapangan paru. Selain
itu, lihat apakah ada deformitas pada dinding dada (memperberat usaha
bernapas), tekanan vena jugularis yang meningkat (mengindikasikan asma
akut berat atau pneumothoraks ventil), dan distensi abdomen (membatasi
gerakan diafragma). Setelah itu, perkusi dan auskultasi setiap segmen
dinding dada. Jika ada kesulitan usaha bernapas, bantu dengan kantong
ventilasi.
c. Circulation
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi
dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi
pada trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti
sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari
status hemodinamik penderita yang meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang
selanjutnya mengakibatkan penurunan kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan
tanda hipovolemia.
c. Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri
femoralis atau arteri karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan
nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur,
biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi yang cepat dan kecil
merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur
merupakan tanda gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi
dari arteri besar maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi
segera.

2. Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka.
Tourniquet sebaiknya tidak dipakai untuk penghentian perdarahan karena
dapat merusak jaringan sekitar dan menyebabkan iskemia distal, sehingga
penggunaan tourniquet hanya diperbolehkan bila ada amputasi traumatik.
Sedangkan perdarahan internal dapat dihentikan dengan penggunaan
hemostat. Sumber perdarahan internal adalah perdarahan dalam rongga
thoraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal
akibat fraktur pelvis, atau sebagai akibat dari luka tembus dada/perut.
Secara cepat lihat dan tandai lokasi pendarahan, kemudian lihat
akralnya apakah panas atau dingin, berwarna merah atau pucat. Ukur juga
CRT (Capillary Refill Time) untuk menilai perfusi ke jaringan. Kemudian
ukur tekanan darah dan denyut nadi (nadi sentral maupun perifer). Denyut
nadi yang diukur berupa tekanan, regularitas, volume. Kemudian
auskultasi jantung untuk melihat apakah ada kelainan pada jantung. Jika
terdapat kegawatan pada sirkulasi, segera diresusitasi dengan
menggunakan cairan kristaloid hangat secara bolus (500 mL, habis dalam
15 menit). Nilai kembali tiap 5 menit untuk melihat apakah ada perbaikan
pada sirkulasi. Kemudian, jika ada EKG dan monitor, pasang dan nilai
kualitas EKG-nya.

d. Disability
Nilai kesadaran pasien. Kesadaran pasien dapat dipengaruhi oleh
kondisi ABC, jadi jika pasien mengalami disabilitas, nilai kembali ABC
apakah sudah ditangani secara adekuat. Penilaian kesadaran pasien secara
cepat dapat menggunakan metode AVPU: Alert, Verbal (Pasien tidak sadar
penuh namun dapat berespon terhadap perintah verbal), Pain (Pasien hanya
dapat berespon jika dirangsang dengan nyeri) dan Unresponsive (pasien
tidak dapat berespon dengan rangsang apapun). Alternatifnya, GCS
(Glasgow Coma Scale) dapat digunakan (dari Eye, Verbal, dan Movement).
Kemudian, nilai diameter pupil mata serta refleks cahaya direk maupun
indirek pada masing-masing mata. Setelah itu, dapat diukur kadar gula
darah sewaktu untuk menilai kondisi glikemik pasien. Jika pasien tidak
sadar, pastikan Airway stabil untuk mencegah aspirasi. NICE
merekomendasikan imobilisasi servikal pada pasien yang mengalami
trauma kepala dan memiliki faktor risiko berikut: GCS<15, nyeri/benjolan
nyeri pada leher, defisit neurologis fokal, parestesia di ekstremitas,
kecurigaan adanya trauma servikal.
Interpretasi atau hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan
GCS disajikan dalam simbol E...V...M... Selanjutnya nilai tiap-tiap
pemeriksaan dijumlahkan, nilai GCS yang tertinggi adalah 15
yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Derajat cedera kepala berdasarkan GCS:
GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)
GCS : 9-13 = CKS (cedera kepala sedang)
GCS : 3-8 = CKB (cedera kepala berat)

e. Exposure
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan
cara menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita.
Setelah pakaian dibuka penderita harus diberi selimut hangat, berada di
ruangan hangat dan diberi cairan intra-vena yang sudah dihangatkan agar
tidak kedinginan.
Nilai suhu pasien dan lepas pakaian pasien, kemudian periksa
pasien secara menyeluruh, depan maupun belakang (dengan cara log-roll).
Tutupi pasien untuk mencegah hilangnya panas serta menghormati pasien.
Setelah dilakukan penatalaksanaan awal, transpor pasien secara
langsung ke IGD RS yang mempunyai fasilitas untuk melakukan
resusitasi, pemeriksaan lanjutan, serta penatalaksanaan lanjut terhadap
pasien. Tenaga ambulans sebaiknya dilatih untuk melakukan penilaian
awal kepada pasien, dan pasien harus didampingi dokter selama perjalanan
ke RS.

3. Rescuscitation
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam
nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.

4. Adjuncts to primary survey and resuscitation


a. Monitor EKG: dipasang pada semua penderita trauma.
b. Kateter urin dan lambung : merupakan bagian dari resusitasi. Jangan lupa
mengambil sampel urin untuk pemeriksaan urin rutin.
- Kateter uretra
Produksi urin merupakan indikator yang peka untuk menilai
keadaan perfusi ginjal dan hemodinamik penderita. Kateter urin jangan
dipasang jika dicurigai ada ruptur uretra yang ditandai dengan :
1. Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding)
2. Hematom di skrotum atau perineum
3. Pada colok dubur prostat letak tinggi atau tidak teraba.
4. Adanya fraktur pelvis.
Bila dicurigai ruptur uretra harus dilakukan uretrogram terlebih dahulu.
- Kateter lambung
Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan
mengurangi kemungkinan muntah. Isi lambung yang pekat
mengakibatkan NGT tidak berfungsi, lagipula pemasangannya sendiri
dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan
darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik atau perlukaan
lambung. Bila lamina kribosa pada rongga hidung patah atau diduga
patah, kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah
masuknya NGT dalam rongga otak. Dalam keadaan ini semua pipa
jangan di masukkan lewat jalur naso-faringeal.

c. Monitor
Monitoring didasarkan pada penemuan klinis seperti laju nafas, nadi,
tekanan nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood Gases), suhu tubuh dan
keluaran (output) urin. Hasil pemeriksaan di atas harus didapat secepatnya
setelah menyelesaikan survei primer.
1. Laju nafas dan ABG dipakai untuk menilai airway dan breathing. ETT
dapat berubah posisi pada saat penderita berubah posisi. Alat pengukur
CO2 secara kolorimetrik mengukur End-Tidal CO2 dan merupakan cara
yang baik untuk menetapkan bahwa posisi ETT dalam trakhea, dan
bukan dalam esofagus. Penggunaan alat ini tidak dapat menentukan
bahwa letak ETT sudah tepat.
2. Penggunaan Pulse oximetri mengukur kadar O2 saturasi, bukan PaO2.
Suatu sensor diletakkan pada ujung jari atau cuping telinga, dan
kemudian mengukur saturasi O2, biasanya sekaligus tercatat denyut
nadi.
3. Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan darah ini
merupakan indikator yang kurang baik guna menilai perfusi jaringan.

d. Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya


Pemeriksaan foto rontgen harus selektif, dan jangan menghambat proses
resusitasi. Foto toraks dan pelvis dapat mengenali kelainan yang mengancam
nyawa, dan foto pelvis dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis yang
kemudian membutuhkan transfusi darah. Foto servikal lateral juga digunakan
untuk menemukan fraktur.
Pemeriksaan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) dan USG abdomen
merupakan pemeriksaan bermanfaat untuk menentukan adanya perdarahan
intraabdomen.

5. Secondary Survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe
examination), termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital.
a. Anamnesis
Setiap pemeriksaan lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat
perlukaan. Biasanya data ini tidak bias didapat dari penderita sendiri dan
harus didapat dari keluarga tau petugas lapangan.

Patut ditanyakan riwayat AMPLE:


A : Alergi
M : Medikasi (obat yang diminumsaatini)
P : Past Illness (penyakitpenyerta) / Pregnancy
L : Last meal
E : Even / Environment yang berhubungandengankejadianperlukaan
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita .Jenis perlukaan
dapat diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan itu. Trauma biasanya
dibagi menjadi beberapa jenis:
1) Trauma tumpul
Dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh dan kegiatan
rekreasi atau pekerjaan. Keterangan yang penting yang dibutuhkan
kecelakaan lalu lintas mobil adalah pemakaian sabuk pengaman,
deformasi kemudi, arah tabrakan, kerusakan kendaraan baik kerusakan
major dalam bentuk luar atau hal hal yang berhubungan dengan
perlengkapan penumpang, dan terlemparnya keluar penumpang. Pola
perlukaan pada pasien dapat diramalkan dari mekanisme traumanya.
Trauma perlukaan juga sangat dipengaruhi usia dan aktivitas.
2) Trauma tajam
Trauma akibat pisau atau benda tajam dan senjata api semakin
sering ditemukan. Faktor yang menentukan jenis dan berat perlukaan
adalah daerah tubuh yang terluka, organ yang terkena dan velositas
(kecepatan). Dengan demikian maka velositas, kaliber, arah dan jarak
dari senjata merupakan informasi yang sangat penting diketahui.
3) Trauma termal
Luka bakar dapat terjadi sendiri atau dalam kombinasi dengan
trauma tumpul atau trauma tajam akibat mobilter bakar, ledakan, benda
yang terjatuh, usaha penyelamatan diri ataupun serangan pisau dan
senjata api.
Cedera dan keracunan monoksida dapat menyertai luka bakar. Secara
khusus perlu ditanyakan tempat terjadinya kejadian perlukaan (ruang
tertutup / terbakar) atau bahan yang ikut terbakar (bahan kimia, plastik,
dsb) dan perlukaan lain yang menyertai.
Hipotermia akut atau kronik dapat menyebabkan kehilangan panas umum
atau local. Kehilangan panas dalam jumlah besar dapat terjadi walaupun
tidak dalam suhu yang terlalu dingin (15-20Oc) yaitu bila penderita
memakai pakaian yang basah, tidak bergerak aktif atau minum alcohol,
sehingga tubuh tidak bias menyimpan panas.
4) Trauma akibat bahan berbahaya (Hazardous Material)
Kontak dengan bahan kimia, toksin atau radiasi perlu diketahui
karena dua sebab. Pertama, disebabkan karena bahan bahan ini dapat
mengakibatkan berbagai macam kelainan pada jantung, paru atau organ
tubuh lainnya. Kedua, bahan ini dapat berbahaya bagi tenaga kesehatan
yang merawat pasien tersebut.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.
1. Kepala
Seluruh kulit kepala dan kepala harus diperiksa akan adanya luka,
kontusio atau fraktur. Yang harus diperiksa pada pemeriksaan mata
adalah ketajaman visus, ukuran pupil, perdarahan konjungtiva dan
fundus, luka tembus pada mata, adanya lensa kontak, dislocatio lentis,
dan jepitan otot bola mata.
2. Maksilo-fasial
Trauma pada daerah ini dapat mengganggu airway dan menimbulkan
perdarahan hebat.
3. Vertebra servikalis dan leher
Penderita dengan trauma kapitis atau maksilo-fasial dianggap ada
fraktur servikal atau kerusakan ligamentous servikal. Leher harus
segera diimobilisasi sampai fraktur atau cedera dapat disingkirkan
dengan melakukan foto servikal dan diperiksa oleh dokter yang
berpengalaman.
4. Toraks
- Inspeksi: perlukaan, bentuk dada, warna kulit, deformitas dan
gerakan dada saat benafas. Dapat ditemukan flail chest ataupun
open pneumothorax.
- Palpasi : meraba setiap sela iga dan klavikula. Bila ditemukan
nyeri saat penekanan sternum kemungkinan terdapat fraktur
sternum atau costochondral separation.
- Perkusi : dilakukan disetiap sela iga dan klavikula. Normalnya
suara perkusi pekak pada daerah jantung dan sonor pada daerah
paru-paru. Namun suara sonor pada paru dapat menjadi pekak
bila terdapat massa maupun cairan dalam jumlah besar pada paru
ataupun rongga pleura, dan dapat pula menjadi hipersonor apabila
terdapat udara.
- Auskultasi : dilakukan pada lapangan paru dan jantung. Untuk
menilai suara nafas, bising nafas, suara jantung dan bising jantung.
Foto toraks digunakan untuk melihat hemotoraks, pneumotoraks,
fraktur iga, dan mediastinum.

5. Abdomen
Hal penting adalah untuk mengetahui adanya perlukaan
intraabdomen yang mengindikasikan dilakuknnya operasi.
Pemeriksaan yang dilakukan berupa diagnostic peritoneal lavage
(DPL), USG abdomen maupun CT Scan abdomen dengan kontras.
6. Perineum/rektum/vagina
Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi dan
perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum pemasangan
kateter uretra.
Pada wanita pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya
darah dalam vagina atau laserasi. Juga harus dilakukan tes kehamilan
pada semua wanita usia subur.

7. Muskulo-skeletal
Yang diperhatikan adalah adanya fraktur yang ditandai dengan
adanya tanda-tanda inflamasi yaitu dolor, kalor, rubor, tumor, dan
functiolesia. Tanda lain yaitu terdapat deformitas dan krepitasi.
Penilaian terhadap pulsasi dapat menentukan gangguan vaskular,
sedangkan gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan
kontraksi otot dapat diakibatkan kerusakan saraf perifer atau iskemia.

8. Neurologis
Meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
pemeriksaan motorik dan sensorik.

6. Adjuncts to the secondary survey


Dalam melakukan secondary survey, dapat dilakukan pemeriksaan
diagnostik yang lebih spesifik seperti misalnya foto tambahan dari tulang
belakang serta ekstremitas, CT-Scan kepala, dada, abdomen dan spine,
urografi dan angiografi, USG transesofageal, bronkoskopi, esofagoskopi dan
prosedur diagnostik lain.Semua prosedur diatas jangan dilakukan sebelum
hemodinamik penderita stabil dan telah diperiksa secara teliti.

7. Continued postresuscitation monitoring and reevaluation


Penurunan keadaan dapat dikenali apabila dilakukan evaluasi ulang secara
terus menerus, sehingga gejala yang baru timbul, segera dapat dikenali dan
dapat ditangani secepatnya. Monitoring tanda vital dan produksi urin sangat
penting. Produksi urin pada orang dewasa sebaiknya dijaga cc/kgBB/jam,
pada anak 1cc/kgBB/jam. Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang
penting. Rasa nyeri dan ketakuatanakan timbul pada penderita trauma,
terutama pada perlukaan muskulo-skeletal. Golongan opiate atau anxiolitika
harus diberikan dengan hati-hati setelah konsultasi bedah selesai. Pemberian
dilakukan secara intravena dan sebaiknya jangan intra-muskular.
Gambar 2.5. Penanganan Nyeri
8. Definitive Care
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage
Criteria. Kriteria ini memakai data fisiologis penderita, cedera anatomis,
mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta faktor faktor yang dapat
mempengaruhi prognosis. Setelah keputusan merujuk diambil, harus dipilih
rumah sakit terdekat yang cocok untuk penanganan pasien.
2. Penatalaksanaan di RS
Pada saat menerima pasien di RS, hal pertama yang perlu dilakukan adalah
menilai ABCDE serta menatalaksana gangguan pada aspek-aspek tersebut,
sebelum melakukan pemeriksaan lain. Pasien dengan GCS <8 harus diberi
tatalaksana jalan napas dan resusitasi segera. Waktu pemeriksaan sampai
seluruh tatalaksana awal dilakukan pada pasien adalah 15 menit.
Penatalaksanaan nyeri sebaiknya dilakukan secara efektif karena nyeri
dapat menyebabkan peningkatan TIK.2 Pemberian analgesik juga bertujuan
untuk mencegah terjadinya kejang. Barbiturat merupakan obat anestesi pilihan
untuk mengendalikan TIK, agaknya dengan cara mencegah pergerakan yang
tidak perlu, batuk, usaha melepaskan selang yang dipasang dan juga
mensupresi metabolisme dan mengubah tonus pembuluh darah otak, sehingga
memberikan manfaat neuroprotektif pada sebagian pasien. Efek samping obat
analgesik, anestesi, dan sedatif berupa hipotensi dan penurunan cardiac
output, sehingga menyebabkan hipoksia. Selain itu obat seperti propofol
dihubungkan dengan hiperkalemia, asidosis metabolik, gagal jantung,
rabdomiolisis, dan kematian. Karena itu, durasi dan dosis pemberian perlu
diperhatikan secara ketat.9
Terapi ventilasi pada pasien dengan trauma otak sangatlah diperlukan
karena mereka berisiko aspirasi paru ataupun gangguan usaha respirasi.
Tekanan parsial O2 dan tekanan parsial CO2 dipertahankan dalam batas normal
supaya mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat dan mencegah
peningkatan TIK. Disarankan bahwa pasien trauma otak berat menggunakan
ventilasi mekanik sehingga dapat mengontrol PaCO2 melalui pengaturan
volume tidal.9
Terapi hipotermia terbukti dapat menurunkan TIK, berdasarkan hasil dari
berbagai studi. Kisaran suhu yang disarankan adalah antara 32-36C, dan
dapat menurunkan TIK sekitar 20 mmHg.10
Pemeriksaan yang direkomendasikan pada pasien trauma kepala adalah
CT Scan. X-ray kepala tidak direkomendasikan kecuali ada indikasi dari
departemen bedah saraf/saraf. Hasil CT Scan harus segera dilaporkan dalam 1
jam setelah pemeriksaan. Adapun kriteria dilakukannya CT Scan pada pasien
trauma kepala adalah sebagai berikut2:
- GCS <13 pada penilaian awal di IGD.
- GCS <15 pada 2 jam setelah penilaian awal di IGD.
- Kecurigaan fraktur tengkorak terbuka atau depresi.
- Terdapat tanda-tanda fraktur basis kranii (hemotimpanum, mata panda
atau rakun, bocornya cairan serebrospinal dari telinga atau hidung, tanda
Battle).
- Kejang post-trauma.
- Defisit neurologis fokal.
- Lebih dari satu episode muntah.
Selain itu, CT Scan tulang belakang dilakukan dalam 1 jam setelah
penilaian faktor risiko. Adapun faktor risiko yang mengindikasikan
pemeriksaan CT Scan tulang belakang adalah sebagai berikut2:
- GCS <13 pada penilaian awal.
- Pasien sudah diintubasi.
- Gambaran X-ray tidak adekuat.
- Gambaran X-ray menunjukkan abnormalitas.
- Diagnosis trauma servikal dibutuhkan segera (spt sebelum pembedahan).
- Pasien sadar penuh dan dalam kondisi stabil, tetapi terdapat kecurigaan
trauma servikal jika terdapat faktor risiko di bawah ini:
Usia 65 tahun ke atas.
Mekanisme trauma yang berbahaya (jatuh dari ketinggian 1 meter atau
5 anak tangga; trauma aksial pada kepala, seperti jatuh terseret;
terlempar keluar dari kendaraan; kecelakaan yang melibatkan
kendaraan rekreasi; tabrakan sepeda).
Defisit neurologis fokal perifer.
Parestesia pada ekstremitas atas atau bawah.

Setelah dilakukan penanganan awal pada pasien, maka dilakukan


penilaian selanjutnya sebelum dirujuk ke bedah saraf. Berdasarkan
rekomendasi NICE, tindakan merujuk ke dokter bedah saraf dilakukan setelah
ditemui beberapa hal berikut2:
Didapati hasil abnormal, yang menjadi indikasi pembedahan pada hasil
CT Scan kepala.
Koma yang menetap (GCS <8) setelah resusitasi awal.
Kondisi kebingungan yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari 4 jam.
Defisit neurologis fokal progresif.
Kejang tanpa pemulihan total.
Terdapat trauma penetrasi.
Kebocoran cairan serebrospinal.

Setelah dilakukan penilaian lanjut dan pasien akan dilakukan operasi,


maka sebaiknya dilakukan intubasi dan ventilasi segera pada keadaan berikut2:
GCS <8.
Hilangnya refleks laring.
Insufisiensi ventilasi sebagaimana diketahui dari AGDA (PaO2< 100
mmHg dengan terapi oksigen) atau hiperkarbia (PaCO2> 45 mmHg).
Hiperventilasi spontan yang menyebabkan PaCO2< 30 mmHg.
Pola pernapasan ireguler.
Tingkat kesadaran menurun drastis (>1 pada skor motorik), meskipun
tidak koma.
Pendarahan yang banyak pada rongga mulut (cth, fraktur basis kranii).
Kejang.

Pada kejadian trauma kepala, untuk mencegah terjadinya peningkatan TIK


akibat pendarahan intrakranial, maka biasanya dilakukan terapi bedah saraf
berupa kraniektomi dekompresi. Pembedahan sebaiknya dilakukan optimalnya <4
jam sejak kejadian trauma, sehingga menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat
kerusakan saraf permanen. Pembedahan ini dilakukan dengan cara mengeluarkan
sebagian dari tulang tengkorak, sehingga otak dapat mengembang dan
menurunkan TIK. Terapi ini biasanya dilakukan ketika terapi konservatif lainnya
gagal menurunkan TIK.10

Setelah pembedahan dilakukan, maka pasien dirawat di ICU. ICU


berkualitas tinggi adalah fundamental untuk mencapai hasil yang terbaik pada
pasien dengan trauma otak. Terapi suportif yang bisa dilakukan untuk pasien
antara lain: menggerakkan kepala pasien secara rutin, menjaga kebersihan mata,
mulut, dan kulit, regimen nutrisi untuk mencapai angka kecukupan gizi, dan
fisioterapi.11

2.2. Anestesi Umum


2.2.1. Definisi
Anestesi umum adalah keadaan fisiologis yang berubah ditandai dengan
hilangnya kesadaran reversibel, analgesia dari seluruh tubuh, amnesia, dan
beberapa derajat relaksasi otot. Ketidaksadaran tersebut yang memungkinkan
pasienuntuk mentolerir prosedur bedah yang akan menimbulkan rasa sakit tak
tertahankan, yang mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan
menghasilkan ingatan yang tidak menyenangkan. Selama anestesi umum,
seseorang tersebut tidak sadar tetapi tidak dalam keadaan tidur yang alami.
Seorang pasien dibius dapat dianggap sebagai berada dalam keadaan terkontrol,
keadaan tidak sadar yang reversible. 12
Anestesi umum tidak terbatas pada penggunaan agen inhalasi. Banyak
obat yang diberikan secara oral, intramuskular, dan intravena yang menambah
atau menghasilkan keadaan anestesi dalam rentang dosis terapi. Tetapi saat ini
anestesi umum biasanya menggunakan sediaan intravena dan inhalasi untuk
memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat yang akan dioperasi. Hal
yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi
pilihan terbaik. Semua itu tergantung pada presentasi klinis pasien, dan anestesi
lokal atau regional mungkin lebih tepat. 12
Untuk menentukan prognosis, ASA (American Society of Anesthesiologists)
membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien
kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: 13
ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.

ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu
ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut
dengan lekositosis dan febris.
ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis
perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia
miokardium.
ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehiduannya.
ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun
dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani
dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga
dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat
(E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.

2.2.2 Tahap-tahap Anestesi


Adapun tahapan-tahapan anestesi umum, sebagai berikut: 14
1. Tahap1 (amnesia) dimulai denganinduksianestesi dan berakhir dengan
hilangnya kesadaran (hilangnya refleks kelopak mata). Ambang persepsi sakit
selama tahap ini tidak diturunkan.
2. Tahap 2 (delirium) ditandai dengan eksitasi yang tidak terinhibisi.
Agitasi,delirium, respirasi yang ireguler dan menahan nafas. Pupil dilatasi dan
mata yang divergensi. Respons terhadap stimuli berbahaya dapat terjadi selama
tahap ini mungkin termasuk muntah, spasme laring, hipertensi, takikardia, dan
gerakan yang tidak terkendali.
3. Tahap 3 (anestesi bedah) ditandai dengan tatapan terpusat, pupil konstriksi, dan
respirasi teratur. Target kedalaman anestesi cukup ketika stimulasi yang
menyakitkan tidak menimbulkan refleks somatikatau mengganggu respon
otonom.

4. Tahap 4 (kematian yang akan datang / overdosis) adalah ditandai


dengan timbulnya apnea, pupil yang berdilatasi dan tidak reaktif, dan
hipotensi.

Tabel 2.1. Tahap Anestesi 15


Tahap Nama Keterangan
1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan
diakhiri dengan hilangnya kesadaran.
Sulit untuk bicara; indra penciuman dan
rasa nyeri hilang. Mimpi serta
halusinasi
pendengaran dan penglihatan mungkin
terjadi. Tahap ini dikenal juga sebagai
tahap induksi
2 Eksitasi atau delirium Terjadi kehilangan kesadaran akibat
penekananan korteks serebri.
Kekacauan mental, eksitasi.

3 Surgical Prosedur pembedahan biasanya


dilakukan pada tahap ini
4 Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan
hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi.
Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.

Kombinasi agen anestesi yang digunakan untuk anestesi umum sering


meninggalkan pasiendengan klinis berikut: 16
1. Tidak dapat dibangkitkan bahkan sekunder terhadap rangsangan yang
menyakitkan.

2. Tidak dapat mengingat apa yang terjadi (amnesia).

3. Tidak mampu mempertahankan perlindungan jalan napas yang memadai


dan/atau ventilasi spontan akibat kelumpuhan otot.
4. Perubahankardiovaskularsekunder terhadap efekstimulan/depresanagen
anestesi.

2.2.3. Obat-Obatan dalam Anestesi Umum


Beberapa obat yang paling umum digunakan untuk memberikan anestesi umum
adalah: 17
a. Propofol, menghasilkan ketidaksadaran (induksi anestesi umum). Dalam dosis
kecil, dapat digunakan untuk memberikan sedasi.

b. Benzodiazepin, mengurangi kecemasan tepat sebelum operasi. Beberapa obat-


obatan yang mengurangi kecemasan juga dapat membantu menahan terjadinya
ingatan dari sebuah kejadian.

c. Narkotika, mencegah atau mengobati rasa sakit.

d. Agen anestesi volatil (mudah menguap), terhirup dalam campuran gas yang
mengandung oksigen. Kadang-kadang, untuk menghindari memulai jalur
intravena(IV) pada bayi dan anak-anak, agen volatil diberikan melalui masker
untuk induksi anestesi umum.
e. Obat lain termasuk agen antiemetik(untuk melindungi terhadap mual dan
muntah), relaksan otot, obat-obatanuntuk mengontrol tekanan darahatau heart
rate, dan obatanti inflamasi nonsteroid(NSAID).

Anestesi Intravena
Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi cepat
melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu anestesi
umum per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium anestesi,
penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan. 18
Tabel 2.3. Anestesi Intravena 19

Obat Waktu induksi Pertimbangan


Pemakaian
Natriu Cepat Masa kerja singkat. Dipakai untuk
m induksi cepat pada anestesi umum.
tiopen Membuat pasien tetap hangat, karena
tal dapat terjadi tremor. Dapat menekan
pusat pernapasan dan mungkin
diperlukan bantuan ventilasi

Cepat Dipakai untuk induksi anestesi dan


anestesi untuk terapi elektrosyok
Natriu
m
Tiamil
al
Droperidol Sedang sampai cepat Sering digunakan bersama anaestesi
umum. Dapat juga dipaki sebagai obat
preanestetik
Ketamin Cepat Dipakai untuk pembedahan jangka
Hidroklor singkat atau untuk induksi
ida pembedahan. Obat ini meningkatkan
salivasi, tekanan darah, dan denyut
jantung.

Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-


Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC
2.1.4. Keuntungan dan Kerugian Anestesi Umum
Penyedia anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang
mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi yang optimal
sesuai. Atribut anestesi umum meliputi: 13
Keuntungan
- Mengurangi kesadaran dan ingatan intraoperatif pasien.

- Memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka waktu yang lama.

- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.

- Dapat digunakan dalam kasus-kasus kepekaan terhadap agen anestesi lokal.

- Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang.

- Dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang tak terduga.

- Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversibel.

Kekurangan
- Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya terkait.

- Membutuhkan beberapa derajat persiapan pasien sebelum operasi.

- Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan intervensi aktif.

- Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan tertunda kembali ke fungsi mental yang
normal.

- Terkait dengan malignant hyperthermia, kejadian langka, dimana kondisi otot


terhadap paparan beberapa agen anestesi umum dapat menghasilkan peningkatan
suhu akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan
hiperkalemia.
Dengan kemajuan modern di obat-obatan, teknologi pemantauan, dan
sistem keamanan, serta penyedia anestesi yang berpendidikan tinggi, risiko yang
disebabkan oleh anestesi kepada pasien yang menjalani operasi rutin sangat kecil.
Kematian disebabkan anestesi umum dikatakan terjadi pada tingkat kurang dari
1:100.000. Komplikasi minor terjadi pada tingkat yang dapat diprediksi, bahkan
pada pasien yang sebelumnya dalam keadaan sehat. Frekuensi gejala yang terkait
anestesi selama 24 jam pertama setelah operasi rawat jalan adalah sebagai berikut:
2

- Muntah: 10-20 %

- Mual: 10-40 %

- Sakit tenggorokan: 25 %

- Nyeri Insisional: 30 %
BAB 3
STATUS PASIEN

3.1 Identitas Pasien


Nama : LP
Umur : 75 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Batak
Agama : Kristen
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Alamat : Jl. Jamin Ginting KM.8
Tanggal Masuk : 17 April 2017 (Pukul 19.30)
Berat Badan : 48 kg
Tinggi Badan : 155 cm

3.2 Anamnesis
KU : Luka terbuka pada kaki kiri
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 1,5 jam sebelum masuk ke IGD RSUP
HAM dibawa oleh tukang becak. O.S. tidak ingat dengan pasti kejadiannya.
Menurut kesaksian tukang becak, riwayat kecelakaan dialami pasien terjadi 1,5
jam yang lalu, mekanisme kecelakaan pasien berjalan menuju gereja dan
diserempet oleh sepeda motor. Sakit kepala dijumpai. Riwayat pingsan, kejang,
muntah menyembur sebelumnya tidak dijumpai.
RPT : Tidak jelas
RPO : Tidak jelas

3.3. Time Sequences

17 April 2017 17 April 2017 18 April 2017 26 April 2017


Pukul 19.30 Pukul 20.20 Pukul 04.00 Pukul 11.15
Pasien masuk ke Pasien dibawa ke Keluarga pasien Pasien
29 April 2017
line biru Radiologi untuk menolak untuk mengalami
dilakukan CT kraniotomi dan Pukul 20.15
perburukan
scan kepala pasien keadaan
dengan dipindahkan ke Keluarga
umum dan
pendampingan ruang rawat inap pasien setuju
dipindahkan
PPDS Anestesi Rindu A. dan pasien
ke ICU.
mulai
dioperasi
kraniotomi
Primary Survey

Tanda dan
Kesimpulan Penanganan Hasil
Gejala

A (airway) Clear Pasang Collar Airway clear


neck C-spine stabil
Snoring (-)
Gurgling (-)
Crowing (-)
C-spine stabil
B (breathing) Spontaneous, O2 4 L/menit via SaO2: 99%
dyspnea Nasal cannule
Inspeksi RR: 26 x/menit
- Napas spontan,
dispnoe
- Toraks simetris,
tidak terlihat
ketinggalan
bernapas.
- Jejas (-)
Palpasi
SF ka=ki
Krepitasi (-)
Perkusi
Sonor pada
kedua lapangan
paru
Auskultasi
- SP/ST:
vesikular/ -
- SaO2: 95%
- RR: 26x/menit

C (circulation) Adequate Pasang IV- CRT <2 detik


perfusion line 18G, three - Akral H/M/K
CRT <2 detik
way dan - T/V: cukup
Akral Merah,
pemberian cairan - TD: 140/80mmHg
Hangat, Kering.
Ringer Laktat - HR = 108 x/menit,
T/V cukup regular
TD: - UOP = 200 cc
150/80mmHg
HR: 118x/menit
Perdarahan: +
pada kedua
tungkai atas dan
bawah
D (disability) GCS 13 Mempertahankan A- Kesadaran Apatis
B-C stabil.
Kesadaran: GCS HI derajat
13 (E4V4M5) ringan Head up 300
AVPU: Alert
pupil: 3 mm/3
mm, isokor
RC: +/+
E (exposure) Jejas pada Membuka seluruh
kepala kiri baju pasien dan
Undressed,
Luka robek di menggantinya
Lakukan logroll Menyelimuti pasien
kaki kiri
dengan selimut.
Jejas di tangan
kiri
Secondary Survey

B1 : Airway clear , SP: Vesikuler/ Vesikuler , ST: -/- , S/G/C : -/-/-, riwayat
asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-,RR: 25x/I, SpO2 : 99%
B2 : Akral: hangat, merah dan kering, TD: 140/80 mmHg, HR: 110 x/menit,
reg, T/V: cukup, CRT: < 2 detik, Temp : 37,0C
B3 : Sens: Apatis (E4M5V4), pupil: = 3/3 mm, isokor, RC +/+
B4 : BAK (+) vol: 400cc, warna :kuning , terpasang kateter urine
B5 : Abdomen: soepel, timpani, peristaltik (+) normal
B6 : Edema (-), fraktur (+) pada fibula dan ulna kiri

RIWAYAT :

Allergies : Tidak ada

Medication : Tidak ada

Past Ilness : Tidak jelas

Last Meal : 14.00 WIB (17 April 2017)

Event : Pasien mengalami kecelakaan sepeda motor

Diagnosa IGD:

ICH o/t (L) Temporal ec. Head Injury GCS 13 + Fraktur 1/3 Proksimal Ulna
Sinistra + Fraktur terbuka 1/3 Medial Fibula Sinistra

3.4. Tatalaksana di IGD


Pantau jalan napas agar tetap clear, pasang collar neck sampai dipastikan
tidak ada fraktur cervical.
Beri oksigen 4 L/i via Nasal cannule
Pemasangan IV line ukuran 18G, threeway, pastikan lancar
IVFD RL cor cepat (terapi cairan perdarahan kelas II)
Pasang monitor untuk memantau hemodinamik
Pasang kateter urine untuk memantau urine output
Pasang Naso Gastric Tube (NGT)
Pemeriksaan laboratorium (Darah Lengkap, Elektrolit, Fungsi Ginjal)
Pemeriksaan CT Scan, X-Ray Thorax, Cruris, dan Antebrachii
Rencana : Konsul Anestesi, Bedah Orthopaedi dan Bedah Saraf

DERAJAT PENDARAHAN

I II III IV
Kehilangan 750 750-1.500 1.500-2.000 >2.000
darah (mL)
Kehilangan 15 15-30 30-40 >40
darah (%V
darah)
Pols (/menit) <100 100-120 120-140 >140
T/V N Turun Turun Turun
TD N N Turun Turun
RR (/menit) 14-20 20-30 30-40 >40
UOP (mL/jm) >30 20-30 5-15 Tidak ada
Sensorium Agitasi ringan Agitasi Agitasi, Letargis
sedang kebingungan

Kelas pendarahan: kelas 2 (15-30%)


Estimasi volume darah: 70 x BB = 70 x 48kg = 3360 3400 mL
Estimasi Blood Loss 15% = 504mL 500 mL
30% = 1.080 mL 1100 mL
Resusitasi pendarahan: IVFD Ringer Laktat bolus (3:1) 3300 mL (7fl)
habis dalam 30-60 menit (di cor)

3.5. Tatalaksana lanjutan di IGD

- Head up 300
- IVFD RL 30 gtt/menit
- Inj. Ketorolac 1 amp (30 mg/8 jam)
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
3.6. Pemeriksaan Penunjang
3.6.1. Laboratorium IGD (14/3/2017)

Jenispemeriksaan Hasil Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 10,9 g/dL 13 18 g/dL
Leukosit (WBC) 12.740 /L 4,0 - 11,0x103/L
Hematokrit 32 % 39 - 54%
Trombosit (PLT) 210.000/L 150 - 450x103/L
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 134 mEq/L 135155 mEq/L
Kalium (K) 3,3 mEq/L 3,65,5 mEq/L
Klorida (Cl) 98 mEq/L 96106 mEq/L
KIMIA KLINIK
Blood Urea Nitrogen 12 mg/dL 9-21 mg/dL
(BUN)
Ureum 26 mg/dL 15 40 mg/dL
Kreatinin 0,70 mg/dL 0,7-1,3 mg/dL
3.6.2. Foto Thorax

Kesimpulan : Normal
3.6.2. CT Scan Kepala

Kesimpulan : ICH (L) Temporal 30,5 cc


3.6.3. X-Ray Antebrachii

Kesimpulan : Fraktur 1/3 Proksimal Ulna


3.6.4. X-Ray Cruris

Kesimpulan : Fraktur 1/3 Medial Fraktur


3.6.5. X-Ray Skull

Kesimpulan : Normal

3.7.Diagnosis (29/4/2017)
ICH o/t (L) Temporal ec. Head Injury GCS 4T + Fraktur 1/3 Proksimal
Ulna Sinistra + Fraktur 1/3 Medial Fibula Sinistra
Tindakan : Kraniotomi
PS ASA : 4E
Anestesi : GA-ETT
Posisi : Supine kepala miring ke kanan

3.8. Rencana

Kraniotomi evakuasi ICH di Kamar Bedah Emergency


3.8 Teknik Anestesi
Head up 30
Inj. Midazolam 5 mg/IV
Inj. Fentanyl 150 ug/IV
Pre Oksigenasi 8 L/i
Inj. Propofol 100mg Sleep non apnoe
Inj. Roculax 50 mg Sleep apnoe
Intubasi ETT no 7,0 cuff (+)
SP ka = ki Fiksasi
Sevoflurane 0.5-1% TV 350 cc RR: 14 x/i
Maintenance Roculax 10mg/20menit

Durante Operasi
Lama Op : 2,5 jam
HR: 80 - 115 x/mnt
SpO2: 97 - 100 %
TDS: 95 149 mmHg
TDD: 70 93 mmHg

Output Cairan:
Perdarahan : 500 cc
Maintenance & penguapan : (2 + 4 cc)/kg/jam = 6 x 48 x 5 = 1440cc
UOP: warna kuning, vol 400 cc/jam

Input Cairan:
PO : RSol 2000 ml
DO: RSol 1500 ml, HES 500 ml

3.8. Pemeriksaan Fisik di KBE IGD pukul 20.15 WIB

B1 : Airway : clear, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR: 18 x/mnt , SP: vesikuler,


ST: (-), SPO2: 96%. Riwayat asma (-), alergi (-), batuk (-), sesak (-).
B2 : Akral : H/M/K, TD : 180/100 mmHg, HR : 108 x/mnt, reguler, T/V
kuat/cukup. Temp : 37,0C, CRT < 2s.
B3 : Sens : sopor (GCS E2M2VT), Pupil isokor 3 mm ka=ki, RC +/+, kejang
(-)
B4 : UOP : BAK (+), volume 50 cc/jam, kateter terpasang, warna : kuning
jernih, proteinuria (-)
B5 : Abdomen: soepel, peristaltik (+), mual (-)/muntah (-)
B6 : Oedem (-), fraktur (-), luka operasi tertutup verban (+)
Terapi Post Operasi
Bed rest, Head up 30
IVFD R-Sol 20 gtt/i makro
IVFD M20 125cc/6jam
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
Inj. Phenytoin 100 mg/8 jam

Rencana Post Operasi


Cek darah lengkap, elektrolit, albumin post op

BAB 4
DISKUSI KASUS

No Teori Kasus
1. Keadaan-keadaan gawat darurat yang Hal ini dialami pasien sejak 1,5 jam
dapat kita temukan sehari-hari adalah sebelum masuk ke IGD RSUP HAM dibawa
seperti (American College of Emergency oleh tukang becak. O.S. tidak ingat dengan
Physicians, 2004) : pasti kejadiannya. Menurut kesaksian
a. Nyeri dada tukang becak, riwayat kecelakaan dialami
b. Sindroma Koroner Akut pasien terjadi 1,5 jam yang lalu,
c. Diseksi Aorta mekanisme kecelakaan pasien berjalan
d. Nyeri Abdomen menuju gereja dan diserempet oleh sepeda
e. Aneurisma Aorta Akut motor. Sakit kepala dijumpai. Riwayat
f. Apendisitis Akut pingsan, kejang, muntah menyembur
g. Perdarahan subarahnoid sebelumnya tidak dijumpai.
h. Demam pediatrik
i. Meningitis
j. Masalah airway
k. Trauma
l. Cedera Kepala
m. Cedera Spinal
n. Luka
o. Fraktur
p. Torsi Testikular
q. Kehamilan Ektopik
r. Sepsis
2. Primary Survey A (airway)
Penanganan awal dalam Primary Survey Snoring (-)
membantu mengidentifikasi keadaan- Gargling (-)
keadaan yang mengancam nyawa, yang
Crowing (-)
terdiri dari tahapan-tahapan sebagai
C-spine stabil
berikut :
B (breathing)
A : Airway, pemeliharaan airway dengan
Inspeksi
proteksi servikal Nafas spontan,dyspnoe (-)
B : Breathing, pernapasan dengan ventilasi Thoraks simetris, tidak terlihat
C : Circulation, kontrol perdarahan ketinggalan bernafas
Palpasi
D : Disability, status neurologis
Stem fremitus kanan=kiri
E :Exposure/Environmental control, Perkusi
membuka seluruh baju penderita, tetapi Sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi
cegah hipotermia SP/ST : vesikuler/-
SaO2 : 99%
RR: 26 kali /menit

C (circulation)
CRT <2 detik
Akral Hangat, Pucat, Kering
T/V cukup
TD: 150/80mmHg
HR: 118x/menit
Perdarahan: +
D (disability)
Kesadaran: GCS 14 (E4M6V5)
AVPU: Pain
pupil: sulit dinilai
E (exposure)
- Undressed, Lakukan Logroll, Dijumpai
luka robek di daerah frontoparietal dan jejas
di dahi
3. Secondary Survey : Pemeriksaan AMPLE B1 : Airway : clear,
dan Head to Toe gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR:
25 x/mnt , SP: Vesikuler, ST: (-),
SPO2: 99%, Riwayat asma (-) alergi
(-), batuk (-), sesak (-).
B2 : Akral : H/M/K, TD : 150/80 mmHg,
HR : 110 x/mnt, reguler, T/V
kuat/cukup. Temp : 37,0C, CRT <
2s.
B3 : Sens : sopor (GCS 13 E4M5V5)
kejang (-)
B4 : UOP : BAK (+), volume 400 cc/jam,
kateterterpasang, warna : kuning
pekat, proteinuria (-)
B5 : Abdomen: soepel, peristaltik (+)
B6 : Oedem (-), fraktur (+) os fibula dan
ulna
4 Riwayat AMPLE RIWAYAT :
Allergies : Tidak ada
Medication : Tidak jelas
Past Ilness : Tidak jelas
Last Meal : 14.00 WIB (17 April 2017)
Event : Pasien mengalami
kecelakaan saat berjalan kaki

KESIMPULAN

Pasien LP, perempuan usia 75 tahun, datang ke IGD RSUP HAM, dengan
keluhan utama luka robek pada kaki kiri setelah mengalamai kecelakaan 2 jam
yang lalu. Pasien didiagnosa dengan Head Injury Ringan (GCS 13) + Fraktur
tertutup 1/3 proksimal ulna sisnistra dan fraktur terbuka 1/3 medial fibula sinistra.
Telah dilakukan initial assesment dan diberi penatalaksanaan :

O2 via nasal cannule 4L/menit


Head-up 30
Pasang collar neck
Pemasangan double IV line dengan venocath no 16/18G, threeway,
pastikan lancar
IVFD Ringer Laktat bolus sesuai kelas pendarahan, kemudian 40 gtt/i
Ambil sampel darah untuk crossmatch dan pemeriksaan laboratorium
Pasang monitor untuk memantau hemodinamik
Pasang Nasogastric Tube
Pasang kateter urine untuk memantau urine output
Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam
Injeksi Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam
Injeksi Tetagam 1 amp IM
Balut tekan luka
Pemeriksaan laboratorium (DL, KGD, Elektrolit), Foto Thorax AP Erect,
Foto Schedel, Foto Cervical, CT Scan Head

DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention, 2013. Traumatic Brain Injury
and Concussion. Available at https://www.cdc.gov/traumaticbraininjury.
[Accessed on 28th March 2017].
2. Cassidy, J.D., et al. 2004. Incidence, risk factors and prevention of mild
traumatic brain injury: Results of the WHO Collaborating Centre Task
Force on Mild Traumatic Brain Injury. J Rehabil Med.;(43 Suppl):2860.
[PubMed]
3. National Institute for Health and Care Excellence, 2014. Head Injury:
assessment and early management. NICE Clinical Guideline, pp. 1-66.
4. Snell, Richard S. 1997. Anatomi Klinik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
5. Putz, R. & R. Pabst. 2000. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 1 Kepala,
Leher,Ekstremitas Atas Edisi 21. Jakarta: EGC.
6. American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008. Advance
Trauma Life Support for doctor, student course manual, 8th ed. Available
at https://www.atls.in. [Accessed on 28th March 2017].
7. Turkstra, L., Ylvisaker, M., et al. 2005. Practice Guidelines for
Standardized Assessment for Persons with Traumatic Brain Injury. Journal
of Medical SpeechLanguage Pathology, 13(2), ixxxviii.
8. Resuscitation Council (UK), 2016. The ABCDE Approach. Available at
https://www.resus.org.uk/resuscitation-guidelines/abcde-approach/.
[Accessed on 28th March 2017].
9. Carney, N., et.al., 2016. Guidelines for the Management of Severe
Traumatic Brain Injury, 4th ed. Brain Trauma Foundation, pp.1-244.
10. Dinsmore, J., 2013. Traumatic brain injury: an evidence-based review of
management. British Journal of Anesthesia, 13(6), pp. 189-195.
11. Gibson, A.A. & Andrews, J.D. Management of traumatic injury. In: Webb,
A., et.al., 2016. Oxford Textbook of Critical Care, 2nd ed. Oxford: Oxford
University Press, pp. 1635-1641.
12. Konsil Kedokteran Indonesia, 2012. Standar Kompetensi Dokter
Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.
13. Morgan, G.E., Maged, Jr., & Murray, M.J., 2006. Clinical Anesthesiology.
4rd ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
14. Press, C.D., 2013. General Anesthesia, Medscape. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview. [Accessed 5
April 2017]
15. Nainggolan, I.B., 2011. Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan
Komplikasi Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan. Tesis Akhir Penelitian. Medan.
16. Ezekiel, M.R., 2008. Handbook of Anesthesiology. 2008 edition. USA:
Current Clinical Strategies Publishing.
17. E.B.C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.
18. Torpy, J.M., 2011.General Anesthesia. JAMA, 305(10), 1.
19. Kee, J.L., Hayes, E.R., 1996. Pendekatan Proses Keperawatan. EGC.
Kovac, A. L. 2003. Prevention and Treatment of Postoperative Nausea.
MedicineAbstrack, pp : 1-2.
20. Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.
21.

Anda mungkin juga menyukai