Disusun oleh:
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas cahaya ilmu dan
kemudahan yang dikaruniakan-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul
Trauma ini dapat diselesaikan. Laporan kasus ini disusun sebagai rangkaian
tugas Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Terimakasih kami sampaikan kepada Dr. dr. Muhammad Ihsan, Sp. An,
KMN selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian
makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat memberikan
kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan makalah ini di kemudian hari.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Anatomi4,5
2.1.2.1 Permukaan Kepala
a. Nasion adalah lekukan pada garis tengah pangkal hidung.
b. Inion atau protuberantia occipitalis externa adalah tonjolan tulang di pusat
squama occipitalis. Tonjolan tersebut terletak di garis tengah batas kepala dan
leher dan merupakan tempat melekatnya ligament nuchae, suatu ligamentum
besar yang berjalan dibagian leher belakang menghubungkan tengkorak
dengan processus spinosus vertrebrae cervicales.
c. Vertex adalah titik tertinggi tengkorak pada potongan sagital.
d. Fonticulus Anterior pada bayi, terletak diantara dua belahan os frontale dan
kedua os parietale dan sesudah 18 bulan tidak teraba lagi.
e. Fonticulus Posterior pada bayi, terletak diantara squama occipitalis dan tepi
posterior kedua os parietale dan pada tahun pertama akan menutup.
f. Arcus Superciliaris merupakan dua rabung mencolok pada os frontale, di tepi
superior orbita. Dibawah rabung ini, terletak sinus frontalis di kedua sisi garis
tengah.
g. Linea Nuchae Superior adalah suatu rabung yang berjalan ke lateral dari
protuberantia occipitalis externa ke processus mastoideus os temporale.
h. Processus Mastoideus Ossis Temporalis menonjol ke bawah depan dari
belakang telinga. Belum berkembang pada bayi yang baru lahir dan hanya
tumbuh akibat tarikan sternocleidomastoideus jika anak menggerak-gerakan
kepalanya. Pada akhir tahun kedua telah terbentuk tonjolan tulang.
i. Auricula dan Meatus Acusticus Externus terletak di depan processus
mastoideus. Panjangnya kurang dari 2,5 cm dan melengkung seperti huruf S.
j. Membran Tympani biasanya berwarna kelabu mutiara dan cekung bila
dilihat dari meatus. Bagian yang paling cekung disebut umbo dan disebabkan
oleh perlekatan gagang malleus pada permukaan medialnya.
k. Tuber Parietale yaitu pada bagian lateralnya memiliki struktur dapat
dipalpasi lebih kurang 5 cm di atas auricular. Terletak dekat ujung bawah
sulcus centralis cerebri.
l. Arcus Zygomaticus terletak di depan telinga, meluas ke depan dan berakhir
di depan os zygomaticum.
m. A. Temporalis Superficialis denyutnya dapat dirasakan dengan palpasi pada
tempat ia melintas arcus zygomaticus, yaitu tepat di depan auricular.
n. Articulatio Temporomandibularis merupakan sendi yang dapat dengan
mudah dipalpasi di depan auricula
o. Corpus Mandibulae yaitu bagian yang paling mudah dipelajari dengan
memasukkan satu jari ke dalam mulut dan satu lagi di luar. Dengan demikian,
mandibula dapat diperiksa mulai dari symphysis mandibulae sampai ke
angulus mandibulae.
NORMA VERTIKALIS
Tengkorak dilihat dari atas tampak seperti oval dengan bagian occipital lebih
besar dibandingkan dengan bagian frontal. Dari aspek atau pandangan ini terlihat
tiga sutura yaitu sutura coronal yang menghubungkan antara bagian belakang
tulang frontal dan bagian depan tulang parietal, sutura sagital yang merupakan
garis median tengkorak dan menghubungkan tulang parietal kanan dan kiri, sutura
lambdoid yang menghubungkan bagian belakang tulang parietal dan bagian atas
tulang occipital.
Pertemuan antara sutura coronal dan sutura sagital dinamakan bregma, yang
pada anak-anak masih berbentuk celah yang dinamakan fontanel anterior,
sedangkan pertemuan antara sutura sagital dan sutura lambdoid dinamakan
lambda yang diambil dari Yunani Z, pada anak-anak daerah ini dinamakan
fontanel posterior.
Pada tulang parietal dekat dengan sutura sagital dan sekitar 3,5 centimeter
diatas lambda terdapat foramen parietal yang merupakan tempat berjalannya vena
emisaria.
NORMA FRONTALIS
Gambar 2.1. Norma Frontalis
Dilihat
dari depan
tengkorak
tampak oval
dengan bagian atas
lebih
lebar dari
pada bagian bawah.
Bagian atas dibentuk
oleh os. Frontal yang
konveks dan halus sedangkan bagian
bawah sangat irreguler. Diatas kedua cavum orbita terdapat tonjolan yang
melengkung dinamakan arcus superciliare yang tampak lebih menonjol pada pria
dibandingkan dengan pada wanita dan diantara kedua arcus terdapat bagian yang
menonjol yang disebut glabela. Dibawah glabela terdapat nasion yang merupakan
pertemuan antara sutura internasal dan sutura frontonasal.
Cavum orbita menyerupai segi empat dimana pada sisi atas (supra orbita
margin) dibentuk oleh os. Frontal yang pada 1/3 medialnya terdapat supra orbital
norch yang merupakan tempat keluarnya pembuluh darah dan saraf supra orbita.
Sisi lateral dibentuk oleh prosedur frontal os. Zygomaticum dan proccesus
zygomaticum os.Frontale. Sisi bawah atau posterior orbital margin dibentuk oleh
os. Zygomaticum dan os.maksila. Sisi medial dibentuk oleh bagian atas os.
Frontal dan bagian bawah os. Lacrimal.
Pada norma frontalis tampak:
a. Os. Frontale dengan:
- Tuberculum frontale, tonjolan pada kening dikanan kiri.
- Arcus superciliaris, tonjolan yang melengkung diatas mata kanan dan kiri
- Glabela
b. Os. Nasale
c. Os. Maksilare, dengan:
- Fossa canina, cekungan di kanan kiri hidung
- Jagum alveolare, tonjolan yang didalamnya terdapat akar gigi spina
nasalis anterior.
d. Os. Maksila dan os. Nasale membatasi apertura nasalisanterior atau apertura
piriformis.
e. Os. Zygomaticum
f. Os. Mandibula dengan bagian-bagian: ramus mandibula, pars alveolare,
protuberantia mentalis, tuberculum mentale, basis mandibulla dan angulus
mandibulla.
NORMA OCCIPITALIS
Tengkorak dilihat dari belakang menyerupai potongan roti dengan
lengkung pada bagian atas dan samping, datar pada bagian bawahnya. Sutura
lambdoid dapat tampak seluruhnya. Pada norma occipitalis tampak:1
a. Os. Occipital dengan bagian-bagian protuberantia occipitalis eksterna, linea
nuchae superior, linea nuchae inferior dan inion.
b. Os. Parietale
c. Os. Temporalis
Gambar 2.2.
Norma Occipitalis
NORMA LATERALIS
Temporomandibularis
The circle of Willis terbentuk ketika arteri karotis interna (ICA) memasuki
rongga tengkorak bilateral dan terbagi menjadi arteri serebri anterior (ACA) dan
arteri serebri media (MCA). Arteri serebral anterior kemudian dipersatukan oleh
arteri komunikans anterior (ACOM). Koneksi ini membentuk setengah anterior
(sirkulasi anterior) dari lingkaran Willis. Posterior, arteri basilar, dibentuk oleh
arteri vertebralis kiri dan kanan, cabang ke posterior kiri dan kanan arteri serebral
posterior (PCA) membentuk sirkulasi posterior. PCA melengkapi lingkaran Willis
dengan bergabung dalam sistem karotis interna anterior melalui arteri komuikans
anterior (PCOM).
Arteri basilar berasal di persimpangan antara arteri vertebralis kiri dan
kanan dan perjalanan anterior ke batang otak. Cabang meliputi arteri serebral
superior (SCA) dan arteri serebral anterior inferior (AICA). SCA muncul dari
arteri basilar segera sebelum bifurkasi basilar. SCA sering datang ke dalam kontak
dengan saraf trigeminal dan biasanya target bedah mikrovaskuler dekompresi
untuk neuralgia trigeminal. Arteri mengirimkan cabang ke tectum, vermis, dan
aspek medial hemisfer serebelar. Arteri serebral anterior inferior (AICA)
perjalanan menuju sudut cerebellopontine. Arteri serebral posterior inferior
(PICA) adalah yang terbesar dari arteri serebral dan muncul dari arteri vertebralis.
Ini memasok medula, tonsil serebelum dan vermis, dan inferolateral hemisfer
serebela.
2.1.3 . Klasifikasi
Berdasarkan ATLS, cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,
beratnya cedera, dan morfologi.6
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
GCS = 13 15
Sedang Kehilangan kesadaran 20 menit dan 36 jam
2.1.3.3.Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan
dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya
tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan
permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak
dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup
berat. klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut;
2) Perdarahan Epidural
3) Perdarahan Subdural
4) Perdarahan intraserebral
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan
pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat
gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa
akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan
intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di
antara lesi kontusio coup dan countrecoup.
TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena
TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume. Nilai TIK
sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada garis datar pada kurva berapa
banyak volume lesi masanya.
Gambar 2. Doktrin Monroe-Kellie
Karenanya semua upaya ditujukan untuk menjaga agar TIK penderita tetap
pada garis datar kurva volume-tekanan, dan tidak membiarkannya sampai
melewati titik dekompensasi.
Gambar 3. Kurva Tekanan-Volume
Selain itu, pasien tersebut harus dibawa ke IGD rumah sakit jika memiliki
faktor risiko di bawah ini:
a. Pasien sebelumnya mengalami penurunan kesadaran, saat ini sudah sadar.
b. Amnesia terhadap peristiwa sebelum dan sesudah trauma (masalah
ingatan)
c. Sakit kepala yang menetap setelah trauma.
d. Adanya episode muntah setelah trauma.
e. Riwayat pembedahan otak.
f. Riwayat kelainan pendarahan/koagulasi.
g. Riwayat penggunaan obat antikoagulan seperti warfarin.
h. Riwayat penggunaan obat-obatan terlarang atau intoksikasi alkohol.
i. Adanya kecurigaan terhadap keamanan (seperti kemungkinan trauma
yang disengaja atau membahayakan orang lain).
j. Perubahan perilaku menjadi agitasi, khususnya pada anak-anak.
1. Triage
2. Primary Survey
a. Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal
ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan
oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal, dapat dimulai dengan melakukan chin lift
atau jaw trust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap jalan
nafas bersih.
Selama memeriksa dan memperbaiki airway, tidak boleh dilakukan
ekstensi, fleksi atau rotasi terhadap leher. Jika dicurigai ada kelainan pada
ketujuh vertebra servikalis maupun vertebra torakalis pertama berupa
fraktur, maka harus dipasang alat imobilisasi atau dilakukan imobilisasi
manual terhadap kepala. Untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur dapat
dilakukan foto lateral.
Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan
gangguan kesadaran atau GCS (Glasgow Coma Scale) 8, dan pada
penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.
b. Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi
yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan
dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam
paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam
rongga pleura. Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan
kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi berat yang
harus dikenali saat dilakukan primary survey adalah tension
pneumothorax, flailchest dengan kontusio paru dan open pneumothorax.
Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi dengan derajat lebih
ringan dan harus dikenali saat dilakukan secondary survey adalah
hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga, dan kontusio
paru.
Gunakan metode lihat, dengar, rasakan untuk menilai gawat
napas: berkeringat, sianosis sentral, penggunaan otot bantu napas, dan
pernapasan abdominal, serta letak trakea. Kemudian, hitung frekuensi
napas (normal: 12-20x/menit). Nilai juga kedalaman dan kualitas napas,
dan apakah ada ketinggalan bernapas pada salah satu lapangan paru. Selain
itu, lihat apakah ada deformitas pada dinding dada (memperberat usaha
bernapas), tekanan vena jugularis yang meningkat (mengindikasikan asma
akut berat atau pneumothoraks ventil), dan distensi abdomen (membatasi
gerakan diafragma). Setelah itu, perkusi dan auskultasi setiap segmen
dinding dada. Jika ada kesulitan usaha bernapas, bantu dengan kantong
ventilasi.
c. Circulation
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi
dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi
pada trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti
sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari
status hemodinamik penderita yang meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang
selanjutnya mengakibatkan penurunan kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan
tanda hipovolemia.
c. Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri
femoralis atau arteri karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan
nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur,
biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi yang cepat dan kecil
merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur
merupakan tanda gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi
dari arteri besar maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi
segera.
2. Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka.
Tourniquet sebaiknya tidak dipakai untuk penghentian perdarahan karena
dapat merusak jaringan sekitar dan menyebabkan iskemia distal, sehingga
penggunaan tourniquet hanya diperbolehkan bila ada amputasi traumatik.
Sedangkan perdarahan internal dapat dihentikan dengan penggunaan
hemostat. Sumber perdarahan internal adalah perdarahan dalam rongga
thoraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal
akibat fraktur pelvis, atau sebagai akibat dari luka tembus dada/perut.
Secara cepat lihat dan tandai lokasi pendarahan, kemudian lihat
akralnya apakah panas atau dingin, berwarna merah atau pucat. Ukur juga
CRT (Capillary Refill Time) untuk menilai perfusi ke jaringan. Kemudian
ukur tekanan darah dan denyut nadi (nadi sentral maupun perifer). Denyut
nadi yang diukur berupa tekanan, regularitas, volume. Kemudian
auskultasi jantung untuk melihat apakah ada kelainan pada jantung. Jika
terdapat kegawatan pada sirkulasi, segera diresusitasi dengan
menggunakan cairan kristaloid hangat secara bolus (500 mL, habis dalam
15 menit). Nilai kembali tiap 5 menit untuk melihat apakah ada perbaikan
pada sirkulasi. Kemudian, jika ada EKG dan monitor, pasang dan nilai
kualitas EKG-nya.
d. Disability
Nilai kesadaran pasien. Kesadaran pasien dapat dipengaruhi oleh
kondisi ABC, jadi jika pasien mengalami disabilitas, nilai kembali ABC
apakah sudah ditangani secara adekuat. Penilaian kesadaran pasien secara
cepat dapat menggunakan metode AVPU: Alert, Verbal (Pasien tidak sadar
penuh namun dapat berespon terhadap perintah verbal), Pain (Pasien hanya
dapat berespon jika dirangsang dengan nyeri) dan Unresponsive (pasien
tidak dapat berespon dengan rangsang apapun). Alternatifnya, GCS
(Glasgow Coma Scale) dapat digunakan (dari Eye, Verbal, dan Movement).
Kemudian, nilai diameter pupil mata serta refleks cahaya direk maupun
indirek pada masing-masing mata. Setelah itu, dapat diukur kadar gula
darah sewaktu untuk menilai kondisi glikemik pasien. Jika pasien tidak
sadar, pastikan Airway stabil untuk mencegah aspirasi. NICE
merekomendasikan imobilisasi servikal pada pasien yang mengalami
trauma kepala dan memiliki faktor risiko berikut: GCS<15, nyeri/benjolan
nyeri pada leher, defisit neurologis fokal, parestesia di ekstremitas,
kecurigaan adanya trauma servikal.
Interpretasi atau hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan
GCS disajikan dalam simbol E...V...M... Selanjutnya nilai tiap-tiap
pemeriksaan dijumlahkan, nilai GCS yang tertinggi adalah 15
yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Derajat cedera kepala berdasarkan GCS:
GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)
GCS : 9-13 = CKS (cedera kepala sedang)
GCS : 3-8 = CKB (cedera kepala berat)
e. Exposure
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan
cara menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita.
Setelah pakaian dibuka penderita harus diberi selimut hangat, berada di
ruangan hangat dan diberi cairan intra-vena yang sudah dihangatkan agar
tidak kedinginan.
Nilai suhu pasien dan lepas pakaian pasien, kemudian periksa
pasien secara menyeluruh, depan maupun belakang (dengan cara log-roll).
Tutupi pasien untuk mencegah hilangnya panas serta menghormati pasien.
Setelah dilakukan penatalaksanaan awal, transpor pasien secara
langsung ke IGD RS yang mempunyai fasilitas untuk melakukan
resusitasi, pemeriksaan lanjutan, serta penatalaksanaan lanjut terhadap
pasien. Tenaga ambulans sebaiknya dilatih untuk melakukan penilaian
awal kepada pasien, dan pasien harus didampingi dokter selama perjalanan
ke RS.
3. Rescuscitation
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam
nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.
c. Monitor
Monitoring didasarkan pada penemuan klinis seperti laju nafas, nadi,
tekanan nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood Gases), suhu tubuh dan
keluaran (output) urin. Hasil pemeriksaan di atas harus didapat secepatnya
setelah menyelesaikan survei primer.
1. Laju nafas dan ABG dipakai untuk menilai airway dan breathing. ETT
dapat berubah posisi pada saat penderita berubah posisi. Alat pengukur
CO2 secara kolorimetrik mengukur End-Tidal CO2 dan merupakan cara
yang baik untuk menetapkan bahwa posisi ETT dalam trakhea, dan
bukan dalam esofagus. Penggunaan alat ini tidak dapat menentukan
bahwa letak ETT sudah tepat.
2. Penggunaan Pulse oximetri mengukur kadar O2 saturasi, bukan PaO2.
Suatu sensor diletakkan pada ujung jari atau cuping telinga, dan
kemudian mengukur saturasi O2, biasanya sekaligus tercatat denyut
nadi.
3. Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan darah ini
merupakan indikator yang kurang baik guna menilai perfusi jaringan.
5. Secondary Survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe
examination), termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital.
a. Anamnesis
Setiap pemeriksaan lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat
perlukaan. Biasanya data ini tidak bias didapat dari penderita sendiri dan
harus didapat dari keluarga tau petugas lapangan.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.
1. Kepala
Seluruh kulit kepala dan kepala harus diperiksa akan adanya luka,
kontusio atau fraktur. Yang harus diperiksa pada pemeriksaan mata
adalah ketajaman visus, ukuran pupil, perdarahan konjungtiva dan
fundus, luka tembus pada mata, adanya lensa kontak, dislocatio lentis,
dan jepitan otot bola mata.
2. Maksilo-fasial
Trauma pada daerah ini dapat mengganggu airway dan menimbulkan
perdarahan hebat.
3. Vertebra servikalis dan leher
Penderita dengan trauma kapitis atau maksilo-fasial dianggap ada
fraktur servikal atau kerusakan ligamentous servikal. Leher harus
segera diimobilisasi sampai fraktur atau cedera dapat disingkirkan
dengan melakukan foto servikal dan diperiksa oleh dokter yang
berpengalaman.
4. Toraks
- Inspeksi: perlukaan, bentuk dada, warna kulit, deformitas dan
gerakan dada saat benafas. Dapat ditemukan flail chest ataupun
open pneumothorax.
- Palpasi : meraba setiap sela iga dan klavikula. Bila ditemukan
nyeri saat penekanan sternum kemungkinan terdapat fraktur
sternum atau costochondral separation.
- Perkusi : dilakukan disetiap sela iga dan klavikula. Normalnya
suara perkusi pekak pada daerah jantung dan sonor pada daerah
paru-paru. Namun suara sonor pada paru dapat menjadi pekak
bila terdapat massa maupun cairan dalam jumlah besar pada paru
ataupun rongga pleura, dan dapat pula menjadi hipersonor apabila
terdapat udara.
- Auskultasi : dilakukan pada lapangan paru dan jantung. Untuk
menilai suara nafas, bising nafas, suara jantung dan bising jantung.
Foto toraks digunakan untuk melihat hemotoraks, pneumotoraks,
fraktur iga, dan mediastinum.
5. Abdomen
Hal penting adalah untuk mengetahui adanya perlukaan
intraabdomen yang mengindikasikan dilakuknnya operasi.
Pemeriksaan yang dilakukan berupa diagnostic peritoneal lavage
(DPL), USG abdomen maupun CT Scan abdomen dengan kontras.
6. Perineum/rektum/vagina
Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi dan
perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum pemasangan
kateter uretra.
Pada wanita pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya
darah dalam vagina atau laserasi. Juga harus dilakukan tes kehamilan
pada semua wanita usia subur.
7. Muskulo-skeletal
Yang diperhatikan adalah adanya fraktur yang ditandai dengan
adanya tanda-tanda inflamasi yaitu dolor, kalor, rubor, tumor, dan
functiolesia. Tanda lain yaitu terdapat deformitas dan krepitasi.
Penilaian terhadap pulsasi dapat menentukan gangguan vaskular,
sedangkan gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan
kontraksi otot dapat diakibatkan kerusakan saraf perifer atau iskemia.
8. Neurologis
Meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
pemeriksaan motorik dan sensorik.
ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu
ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut
dengan lekositosis dan febris.
ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis
perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia
miokardium.
ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehiduannya.
ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun
dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani
dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga
dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat
(E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.
d. Agen anestesi volatil (mudah menguap), terhirup dalam campuran gas yang
mengandung oksigen. Kadang-kadang, untuk menghindari memulai jalur
intravena(IV) pada bayi dan anak-anak, agen volatil diberikan melalui masker
untuk induksi anestesi umum.
e. Obat lain termasuk agen antiemetik(untuk melindungi terhadap mual dan
muntah), relaksan otot, obat-obatanuntuk mengontrol tekanan darahatau heart
rate, dan obatanti inflamasi nonsteroid(NSAID).
Anestesi Intravena
Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi cepat
melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu anestesi
umum per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium anestesi,
penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan. 18
Tabel 2.3. Anestesi Intravena 19
- Memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka waktu yang lama.
- Dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang tak terduga.
Kekurangan
- Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya terkait.
- Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan tertunda kembali ke fungsi mental yang
normal.
- Muntah: 10-20 %
- Mual: 10-40 %
- Sakit tenggorokan: 25 %
- Nyeri Insisional: 30 %
BAB 3
STATUS PASIEN
3.2 Anamnesis
KU : Luka terbuka pada kaki kiri
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 1,5 jam sebelum masuk ke IGD RSUP
HAM dibawa oleh tukang becak. O.S. tidak ingat dengan pasti kejadiannya.
Menurut kesaksian tukang becak, riwayat kecelakaan dialami pasien terjadi 1,5
jam yang lalu, mekanisme kecelakaan pasien berjalan menuju gereja dan
diserempet oleh sepeda motor. Sakit kepala dijumpai. Riwayat pingsan, kejang,
muntah menyembur sebelumnya tidak dijumpai.
RPT : Tidak jelas
RPO : Tidak jelas
Tanda dan
Kesimpulan Penanganan Hasil
Gejala
B1 : Airway clear , SP: Vesikuler/ Vesikuler , ST: -/- , S/G/C : -/-/-, riwayat
asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-,RR: 25x/I, SpO2 : 99%
B2 : Akral: hangat, merah dan kering, TD: 140/80 mmHg, HR: 110 x/menit,
reg, T/V: cukup, CRT: < 2 detik, Temp : 37,0C
B3 : Sens: Apatis (E4M5V4), pupil: = 3/3 mm, isokor, RC +/+
B4 : BAK (+) vol: 400cc, warna :kuning , terpasang kateter urine
B5 : Abdomen: soepel, timpani, peristaltik (+) normal
B6 : Edema (-), fraktur (+) pada fibula dan ulna kiri
RIWAYAT :
Diagnosa IGD:
ICH o/t (L) Temporal ec. Head Injury GCS 13 + Fraktur 1/3 Proksimal Ulna
Sinistra + Fraktur terbuka 1/3 Medial Fibula Sinistra
DERAJAT PENDARAHAN
I II III IV
Kehilangan 750 750-1.500 1.500-2.000 >2.000
darah (mL)
Kehilangan 15 15-30 30-40 >40
darah (%V
darah)
Pols (/menit) <100 100-120 120-140 >140
T/V N Turun Turun Turun
TD N N Turun Turun
RR (/menit) 14-20 20-30 30-40 >40
UOP (mL/jm) >30 20-30 5-15 Tidak ada
Sensorium Agitasi ringan Agitasi Agitasi, Letargis
sedang kebingungan
- Head up 300
- IVFD RL 30 gtt/menit
- Inj. Ketorolac 1 amp (30 mg/8 jam)
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
3.6. Pemeriksaan Penunjang
3.6.1. Laboratorium IGD (14/3/2017)
Kesimpulan : Normal
3.6.2. CT Scan Kepala
Kesimpulan : Normal
3.7.Diagnosis (29/4/2017)
ICH o/t (L) Temporal ec. Head Injury GCS 4T + Fraktur 1/3 Proksimal
Ulna Sinistra + Fraktur 1/3 Medial Fibula Sinistra
Tindakan : Kraniotomi
PS ASA : 4E
Anestesi : GA-ETT
Posisi : Supine kepala miring ke kanan
3.8. Rencana
Durante Operasi
Lama Op : 2,5 jam
HR: 80 - 115 x/mnt
SpO2: 97 - 100 %
TDS: 95 149 mmHg
TDD: 70 93 mmHg
Output Cairan:
Perdarahan : 500 cc
Maintenance & penguapan : (2 + 4 cc)/kg/jam = 6 x 48 x 5 = 1440cc
UOP: warna kuning, vol 400 cc/jam
Input Cairan:
PO : RSol 2000 ml
DO: RSol 1500 ml, HES 500 ml
BAB 4
DISKUSI KASUS
No Teori Kasus
1. Keadaan-keadaan gawat darurat yang Hal ini dialami pasien sejak 1,5 jam
dapat kita temukan sehari-hari adalah sebelum masuk ke IGD RSUP HAM dibawa
seperti (American College of Emergency oleh tukang becak. O.S. tidak ingat dengan
Physicians, 2004) : pasti kejadiannya. Menurut kesaksian
a. Nyeri dada tukang becak, riwayat kecelakaan dialami
b. Sindroma Koroner Akut pasien terjadi 1,5 jam yang lalu,
c. Diseksi Aorta mekanisme kecelakaan pasien berjalan
d. Nyeri Abdomen menuju gereja dan diserempet oleh sepeda
e. Aneurisma Aorta Akut motor. Sakit kepala dijumpai. Riwayat
f. Apendisitis Akut pingsan, kejang, muntah menyembur
g. Perdarahan subarahnoid sebelumnya tidak dijumpai.
h. Demam pediatrik
i. Meningitis
j. Masalah airway
k. Trauma
l. Cedera Kepala
m. Cedera Spinal
n. Luka
o. Fraktur
p. Torsi Testikular
q. Kehamilan Ektopik
r. Sepsis
2. Primary Survey A (airway)
Penanganan awal dalam Primary Survey Snoring (-)
membantu mengidentifikasi keadaan- Gargling (-)
keadaan yang mengancam nyawa, yang
Crowing (-)
terdiri dari tahapan-tahapan sebagai
C-spine stabil
berikut :
B (breathing)
A : Airway, pemeliharaan airway dengan
Inspeksi
proteksi servikal Nafas spontan,dyspnoe (-)
B : Breathing, pernapasan dengan ventilasi Thoraks simetris, tidak terlihat
C : Circulation, kontrol perdarahan ketinggalan bernafas
Palpasi
D : Disability, status neurologis
Stem fremitus kanan=kiri
E :Exposure/Environmental control, Perkusi
membuka seluruh baju penderita, tetapi Sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi
cegah hipotermia SP/ST : vesikuler/-
SaO2 : 99%
RR: 26 kali /menit
C (circulation)
CRT <2 detik
Akral Hangat, Pucat, Kering
T/V cukup
TD: 150/80mmHg
HR: 118x/menit
Perdarahan: +
D (disability)
Kesadaran: GCS 14 (E4M6V5)
AVPU: Pain
pupil: sulit dinilai
E (exposure)
- Undressed, Lakukan Logroll, Dijumpai
luka robek di daerah frontoparietal dan jejas
di dahi
3. Secondary Survey : Pemeriksaan AMPLE B1 : Airway : clear,
dan Head to Toe gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR:
25 x/mnt , SP: Vesikuler, ST: (-),
SPO2: 99%, Riwayat asma (-) alergi
(-), batuk (-), sesak (-).
B2 : Akral : H/M/K, TD : 150/80 mmHg,
HR : 110 x/mnt, reguler, T/V
kuat/cukup. Temp : 37,0C, CRT <
2s.
B3 : Sens : sopor (GCS 13 E4M5V5)
kejang (-)
B4 : UOP : BAK (+), volume 400 cc/jam,
kateterterpasang, warna : kuning
pekat, proteinuria (-)
B5 : Abdomen: soepel, peristaltik (+)
B6 : Oedem (-), fraktur (+) os fibula dan
ulna
4 Riwayat AMPLE RIWAYAT :
Allergies : Tidak ada
Medication : Tidak jelas
Past Ilness : Tidak jelas
Last Meal : 14.00 WIB (17 April 2017)
Event : Pasien mengalami
kecelakaan saat berjalan kaki
KESIMPULAN
Pasien LP, perempuan usia 75 tahun, datang ke IGD RSUP HAM, dengan
keluhan utama luka robek pada kaki kiri setelah mengalamai kecelakaan 2 jam
yang lalu. Pasien didiagnosa dengan Head Injury Ringan (GCS 13) + Fraktur
tertutup 1/3 proksimal ulna sisnistra dan fraktur terbuka 1/3 medial fibula sinistra.
Telah dilakukan initial assesment dan diberi penatalaksanaan :
DAFTAR PUSTAKA
1. Centers for Disease Control and Prevention, 2013. Traumatic Brain Injury
and Concussion. Available at https://www.cdc.gov/traumaticbraininjury.
[Accessed on 28th March 2017].
2. Cassidy, J.D., et al. 2004. Incidence, risk factors and prevention of mild
traumatic brain injury: Results of the WHO Collaborating Centre Task
Force on Mild Traumatic Brain Injury. J Rehabil Med.;(43 Suppl):2860.
[PubMed]
3. National Institute for Health and Care Excellence, 2014. Head Injury:
assessment and early management. NICE Clinical Guideline, pp. 1-66.
4. Snell, Richard S. 1997. Anatomi Klinik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
5. Putz, R. & R. Pabst. 2000. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 1 Kepala,
Leher,Ekstremitas Atas Edisi 21. Jakarta: EGC.
6. American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008. Advance
Trauma Life Support for doctor, student course manual, 8th ed. Available
at https://www.atls.in. [Accessed on 28th March 2017].
7. Turkstra, L., Ylvisaker, M., et al. 2005. Practice Guidelines for
Standardized Assessment for Persons with Traumatic Brain Injury. Journal
of Medical SpeechLanguage Pathology, 13(2), ixxxviii.
8. Resuscitation Council (UK), 2016. The ABCDE Approach. Available at
https://www.resus.org.uk/resuscitation-guidelines/abcde-approach/.
[Accessed on 28th March 2017].
9. Carney, N., et.al., 2016. Guidelines for the Management of Severe
Traumatic Brain Injury, 4th ed. Brain Trauma Foundation, pp.1-244.
10. Dinsmore, J., 2013. Traumatic brain injury: an evidence-based review of
management. British Journal of Anesthesia, 13(6), pp. 189-195.
11. Gibson, A.A. & Andrews, J.D. Management of traumatic injury. In: Webb,
A., et.al., 2016. Oxford Textbook of Critical Care, 2nd ed. Oxford: Oxford
University Press, pp. 1635-1641.
12. Konsil Kedokteran Indonesia, 2012. Standar Kompetensi Dokter
Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.
13. Morgan, G.E., Maged, Jr., & Murray, M.J., 2006. Clinical Anesthesiology.
4rd ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
14. Press, C.D., 2013. General Anesthesia, Medscape. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview. [Accessed 5
April 2017]
15. Nainggolan, I.B., 2011. Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan
Komplikasi Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan. Tesis Akhir Penelitian. Medan.
16. Ezekiel, M.R., 2008. Handbook of Anesthesiology. 2008 edition. USA:
Current Clinical Strategies Publishing.
17. E.B.C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.
18. Torpy, J.M., 2011.General Anesthesia. JAMA, 305(10), 1.
19. Kee, J.L., Hayes, E.R., 1996. Pendekatan Proses Keperawatan. EGC.
Kovac, A. L. 2003. Prevention and Treatment of Postoperative Nausea.
MedicineAbstrack, pp : 1-2.
20. Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.
21.