Anda di halaman 1dari 22

3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Trauma Kepala

2.1.1

Definisi
Trauma kepala atau cedera otak traumatik (Traunatic Brain Injury)

merupakan salah satu kondisi yang paling serius dan mengancam jiwa pada
korban trauma. Trauma tajam kepala adalah trauma pada kepala yang menembus
tengkorak secara proyektil namun tidak menembus keluar tempurung kepala.
Penanganan perioperatif pasien-pasien dengan trauma kepala difokuskan
secara agresif ke arah stabilisasi pasien dan menghindarkan gangguan pada
intrakranial dan sistemik yang dapat menyebabkan cedera neuronal sekunder.
Akibat sekunder seperti ini, meskipun dapat dicegah dan dapat ditangani, dapat
memberikan komplikasi pada pasien dan dapat mempengaruhi hasil perawatan.
2.1.2

Klasifikasi Trauma Kepala


Trauma kepala dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan mekanisme

trauma:
1. Trauma kepala dengan penetrasi
Dibagi menjadi: luka tembak dan luka penetrasi lainnya
2. Trauma kepala tumpul
Dibagi menjadi: askelerasi (kecepatan tinggi) dan deskelerasi (kecepatan
rendah).
Trauma kepala berdasarkan morfologi dibagi atas:
1. Skull Frakture
Dibagi lagi atas: vault fracture (linear/satellite, depressed/non-depressed,
open/close) dan basilar (dengan atau tanpa perembesan cairan serebrospinal,
dengan atau tanpa paralisis nervus VII).

2. Lesi Intrakranial
Dibagi lagi atas: fokal (epidural hematoma, subdural hematoma dan
intrakranial hematoma) dan difus (kontusi ringan, kontusi klasik dan diffuse
axonal injury).
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal anatara lain:
1. Benda tajam : Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat
2. Benda tumpul: Trauma benda tumpul dapat menyebabkan cedera secara
menyeluruh akibat dari energi/kekuatan yang diteruskan kepada otak.
Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada lokasi,
kekuatan, fraktur infeksi / kompresi, rotasi, delarasi dan deselarasi.
Trauma kepala diklasifikasikan atas trauma primer dan sekunder.
Klasifikasi ini bermanfaat dalam merencanakan penanganan selanjutnya.
1. Cedera primer merupakan kerusakan yang disebabkan oleh tubrukan
mekanis langsung dan tekanan akselerasi-deselerasi yang mengenai
kranium dan jaringan otak, yang menyebabkan tulang tengkorak dan lesi
intrakranial. Lesi intrakranial kemudian dibagi menjadi dua tipe: cedera
difus dan cedera fokal
a. Cedera otak difus dibagi menjadi dua kategori
1) Kontusio otak yang mana penurunan kesadaran berlangsung <6
jam
2) Cedera aksonal difus merupakan koma traumatik yang berlangsung
>6 jam
b. Cedera otak fokal dibagi menjadi:
1) Kontusio otak biasanya terletak di bawah atau di daerah
berlawanan dari asal tubrukan
2) Hematoma epidural biasanya disebabkan oleh fraktur tulang
tengkorak dan laserasi dari arteri meningea media
3) Hematoma subdural biasanya disebabkan oleh robeknya bridging
veins antara korteks serebri dan sinus drainase. Hematoma subdural
dikatakan mempunyai angka mortalitas yang tinggi.
4) Hematoma intrakranial biasanya terletak di lobus frontal dan
temporal dan dapat terlihat sebagai massa hiperdens pada CT-Scan.
Jaringan otak yang rusak karena tubrukan primer tidak akan dapat

diselamatkan. Karena itu, hasil fungsional meningkat dengan


2.

dilakukan intervensi bedah dan terapi medis.


Cedera sekunder terjadi dalam hitungan menit, jam, ataupun hari sejak terjadi
cedera awal yang menyebabkan cedera otak yang lebih lanjut. Cedera sekunder
yang umum berupa hipoksia serebral dan iskemia. Cedera sekunder dapat
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkapnia)
b. Instabilitas kardiovaskular (hipotension cardiac output yang rendah)
c. Peningkatan tekanan intrakranial
d. Gangguan biokimia
2.1.3 Patofisiologi Trauma Kepala
1. Efek sistemik trauma kepala
a. Respon kardiovaskular terhadap trauma kepala biasanya terlihat pada fase
awal. Hal ini berupa hipertensi, takikardi, dan peningkatan cardiac output.
Pasien dengan trauma kepala berat dan yang mendapat cedera sistemik
difus dengan perdarahan yang cukup banyak, dapat berkembang menjadi
hipotensi dan penurunan cardiac output.
b. Respon respirasi terhadap trauma kepala meliputi apnoe dan pola
pernafasan abnormal. Insufisiensi respirasi dan hiperventilasi spontan
sering terjadi.
c. Pengaturan temperatur dapat terganggu, dan hipertermia, bila terjadi, dapat
menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut.
2. Perubahan sirkulasi dan metabolisme serebral. Pada cedera otak fokal,
cerebral blood flow (CBF) dan laju metabolisme serebral terhadap oksigen
menurun pada pusat dari daerah cedera dan di penumbra, suatu area
dimana jaringan mendapat perfusi yang kurang yang mengelilingi jaringan
yang rusak. Ketika TIK meningkat, hipometabolisme dan hipoperfusi difus
dapat terjadi. Pada cedera otak difus, hiperemia dapat terjadi. Pada
kebanyakan kasus, CBF menurun dalam hitungan beberapa jam setelah
terjadi trauma kepala. Kombinasi hipotensi dan terganggunya autoregulasi
menyebabkan iskemia serebral. Regulasi metabolik-kimiawi dari CBF
dapat

juga

terganggu.

Kombinasi

dari

respon

menimbulkan skenario penanganan yang rumit.4

patofisiologi

ini

2.2

Fisiologi Serebral

2.2.1

Metabolisme Serebral
Konsumsi oksigen otak pada kondisi normal adalah 20% dari total

konsumsi oksigen tubuh. Konsumsi oksigen otak terbesar (60%) digunakan untuk
menghasilkan ATP yang akan digunakan untuk aktifitas (Gambar 1). Cerebral
Metabolisme Rate (CMR) mengambarkan konsumsi oksigen saat itu (CMRO2),
pada orang dewasa sekitar 3 3,8 ml/100 g/min (50 mL/min). CMRO 2 terbanyak
ada di substansia grasia dari korteks cerebral dan pada umumnya sama dengan
aktifitas listrik korteks. Karena cukup tingginya konsumsi oksigen dan rendahnya
cadangan oksigen yang signifikan, bila dalam 10 detik perfusi cerebral terhenti
mengakibatkan penderita tidak sadar seperti ketika tekanan oksigen yang dengan
cepat turun

dibawah 30mmHg. Jika aliran darah tidak dikembalikan dalam

baberapa waktu (3- 8 menit pada beberapa kondisi). Cadangan ATP dihabiskan
dan kerusakan seluler yang irreversible mulai terjadi. Hipokampus dan cerebelum
nampaknya menjadi lebih sensitif terhadap trauma hypoxia.

Gambar 1. Normal brain oxygen requirements


Pada keadaan normal sel saraf menggunakan glucosa sebagai sumber
energi utamanya. Konsumsi glucosa otak sekitar 5 mg / 100 g / min, dimana lebih
dari 90% dimetabolisme secara aerobic.oleh karena itu secara normal sama
dengan konsumsi glucosa. Hubungan ini tidak terjadi pada keaadaan kelaparan,

dimana keton bodies (acetoacetat dan b- hydroxybutirat) juga menjadi menjadi


sumber energi. Walaupun otak dapat mengambil dan memetabolisme asam lactat,
funsi otak secara normal tergantung pada persediaan glucosa yang terus menerus.
Hypoglikemia akut yang berlarut-larut sama dengan keadaan hypoksia. Baliknya
hyperglikemi dapat memperberat hypoksia menyeluruh atau local pada trauma
otak dengan mempercepat asidosis cerebral dan kerusakan sel.

2.2.2

Aliran darah Otak (Cerebral Blood Flow/CBF)


Aliran darah otak bergantung pada tekanan arteri serebral dan resistensi

pembuluh-pembuluh serebral. Aliran darah otak rata-rata sekitar 50-54


ml/100g/menit atau kira-kira 15% dari curah jantung. Aliran darah ke substansi
grisea 75-80 ml/100g/menit sedangkan substansi alba 20-30 ml/100g/menit karena
metabolism otak lebih banyak di substansi grisea. Pada infant dan anak-anak,
CBF global lebih tiggi daripada dewasasekitar 65 ml/100g/menit. Bila CBF
<20ml/100g/menit, elektroencefalografi (EEG) menunjukan tanda iskemik. Bila
CBF 6-9 ml/100g/menit, Ca2+ masuk ke dalam sel. Aliran darah otak proporsional
terhhadap tekana perfusi otak.
Tekanan perfusi otak (Cerebral Perfusi Pressure/CPP) adalah perbedaan
tekanan arteri rata-rata dengan tekana vena rata-rata pada sinus sagitalis limph.
Nilai normal 80-90 mmHg. Akan tetapi secara praktis , adalah perbedaan tekana
arteri rata-rata (MAP=mean arteri pressure) dan ICP rata-rata (CPP = MAP-ICP)
yang diukur setinggi foramen Monroe atau MAP-CVP bila nilai CVP lebih tinggi
daripada ICP. sampai 50 mmHg, EEG akan terlihat melambat dan ada perubahan
ke arah serebral iskemik. CCP kurang dari 40 mmHg, EEG menjadi datar,
menunjukan adanya proses iskemik neuron yang ireversibel.
Pasien cedera kepala dengan CPP kurang dari 50 mmHg akan mempunyai
prognosa yang buruk. Pada ICP yang tinggi, supaya CPP adekuat, maka perlu
tetap mempertahankan tekana darah yang normal atau sedikit lebih tinggi.
Tekanan perfusi otak pertahankan 60 mmHg (antara 50-70 mmHg). Usaha kita

adalah untuk mempertahankan CPP normal, oleh karena itu, hipertensi yang
memerlukan terapi adalah bila MAP lebih besar dari 130-140 mmHg.
Banyak factor yang mmpengaruhi CBF. Metabolism otak, tekanan darah,
PaO2 PaCO2, suhu tubuh, simpatis-parasimpatis, obat-obatan yang mempengaruhi
CBF. Keadaan patologik dalam otak juga mempengaruhi CBF global dan
regional. Fungsi otak bergantung pada dua hal yaitu oksigenasi dan perfusi otak.
Oksigenasi bergantung pada PaO2 dan pasokan oksigen dan perfusi bergantung
pada CBF dan CPP.
Jaringan yang menerima aliran darah 18-23 ml/100g/menit secara
fungsional tidak aktif, akan tetapi fungsi dapat dipulihkan dengan meningkatkan
perfusi. Untuk jaringan yang mendapatkan aliran darah yang lebih rendah,
terjadinya infark adalah berdasarkan waktu. Bila jaringan mendapatkan perfusi
yang ade kuat sebelum batas waktu terjadi infark, fingsi akan pulih.
1. Autoregulasi
Aliran darah otak dipertahankan konstan pada MAP 50-150 mmHg.
Pengaturan ini disebut autoregulasi yang disebabkan oleh kontraksi otot polos
dinding pembuluh darah otak sebagai jawaban terhadap perubahan tekana
transmural. Jika melebihi batas ini, walaupun dengan dilatasi maksimal atau
kontraksi maksimal dalam pembuluh darah otak, aliran darah otak akan mengikuti
tekanan perfusi otak secara pasif. Bila aliran darah otak sangat berkurang (MAP
<50 mmHg), tekanan akan merusak daya konstriksi pembuluh darah dan aliran
darah otak akan naik dengan tiba-tiba. Dengan demikian, terjadilah kerusakan
sawar darah otak, yang dapat menimbulan terjadinya edema serebral dan
perdarahan otak.
Berbagai keadaan dapat merubah batas autoreagulasi, misalnya hipertensi
kronis. Pada hipertesi kronis autoreagulasi bergeser ke kanan sehingga sudah
terjadi serebral iskemik pada tekanan darah yang dianggap normal pada orang
sehat. Serebral iskemik, serebral infark, trauma kepala, hipoksia, abses otak,
diabetes, hiperkarbi berat, edema sekeliling tumor otak,perdarahan subarachnoid,
aterosklerosis serebrovaskular, anestetika inhalasi juga mengganggu autoregulasi
sedangkan selama anestesi berlangsung diharapkan autoregulasi tidak terganggu,

maka pemilihan anestetika inhalasi menjadi penting. Harus dipilih anestetika yang
tidak mengganggu autoregulasi pada dosis klinis.
Karena pada cedera kepala autoregulasi terganggu, adanya hipotensi yang
tiba-tiba bisa menimbulkan cedera otak sekunder.
2. PaCO2
Aliran darah otak berubah kira-kira 4% (0,95-1,75 ml/100g/menit) setiap
mmHg perubahan PaCO2 antara 25-80 mmHg. Jadi, dibandingkan dengan keadaan
normokapni, aliran darah otak dua kali lipat pada PaCO 2 80 mmHg dan
setengahnya dari PaCO2 < 25 mmHg, malahan bias terjadi serebral iskemia akibat
perubahan biokimia, maka harus dihindari hiperventilasi yang berlebih. Pada
operasi tumor otak rutin dipasang kapnogram untuk mengukur end tidal CO 2,
umumnya dipertahankan end tidal CO 2 25-30 mmHgyang setara dengan PaCO 2
29-34 mmHg, akan tetapi, pada ceera kepala akut PaCO2 jangan kurang dari 35
mmHg. Apabila terpaksa harus dilakukan hipervetilasi agresif, untuk menurunkan
PaCO2< 30 mmHg, maka diperlukan pemantauan SJO2 untuk menghindari terjadi
komplikasi iskemik otak akibat hiperventilasi.
3. PaO2
Bila PaO2< 50 mmHg, akan terjadi serebral vasodilatasi dan aliran darah
otak akan meningkat. Peningkatan PaCO2 hanya sedikit pengaruhnya terhadap
resisten pembuluh darah serebral. Pada binatang percobaan bila PaO 2> 450 mmHg
terjadi sedikit penurunan aliran darah otak walaupun tidak nyata. Akan tetapi,
pada manusia selama operasi otak PaO2 jangan melebihi 200 mmHg.
2.2.3

Regulasi Aliran Darah Otak

1.

Cerebral Perfusion Pressure


CPP adalah perbedaan antara MAP dan ICP (atau CVP, yang nilainya lebih

besar). CPP dinyatakan dengan persamaan : CPP = MAP ICP. CPP normal 80100 mmHg, CPP < 10 mmHg sangat tergantung pada MAP. Peningkatan sedang
sampai berat ICP (>30 mmHg) dapat membahayakan CPP dan CBF, meskipun
MAP normal. CPP < 50 mmHg menunjukkan perlambatan EEG, CPP antara 25-

10

40 mmHg menunjukkan gambaran flat,

tekanan perfusi terus menerus < 25

mmHg menyebabkan kerusakan otak irreversibel.


2.

Autoregulasi
Seperti pada jantung dan ginjal, otak juga mempunyai kemampuan

menghadapi perubahan tekanan darah dengan melakukan perubahan kecil pada


aliran darah. Vaskularisasi cerebral secara cepat (10-60) menyesuaikan diri
terhadap perubahan pada CPP, tetapi perubahan yang tiba-tiba pada MAP dapat
menyebabkan perubahan sementara pada CBF meskipun autoregulasi intak.
Penurunan CPP menyebabkan vasodilatasi, peningkatan CPP menyebabkan
vasokonstriksi, normal CBF konstan pada MAP 60 dan 160 mmHg. Tekanan <
150-160 mmHg dapat merusak blood brain barrier dan menyebabkan edema dan
perdarahan cerebral. Terapi antihipertensi jangka panjang dapat memulihkan
autoregulasi cerebral mendekati batas normal. Respons intrinsik sel otot polos
dalam arteriol cerebral mengubah MAP. Kebutuhan metabolik cerebral
menentukan tonus arteriol, saat kebutuhan jaringan melebihi aliran darah,
pelepasan metabolit jaringan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran.

Gambar 2. Normal cerebral autoregulation curve


3.

Tekanan Gas Respirasi


Faktor ekstrinsik yang paling penting mempengaruhi CBF adalah tekanan

gas respirasi, terutama PaCO2. CBF berbanding langsung dengan PaCO2 antara
tekanan 20 dan 80 mmHg. Perubahan tekanan darah sekitar 1-2 mL/100 g/min per
mmHg perubahan pada PaCO2. Ion-ion tidak dapat melewati blood brain barrier
secara baik, kecuali CO2, perubahan akut pada PaCO2

(bukan HCO3-)

11

mempengaruhi CBF. Hiperventilasi (PaCO2 < 20 mmHg) ditandai dengan


bergesernya kurva disosiasi oksigen hemoglobin ke kiri, dan perubahan CBF
menyebabkan perubahan EEG. Perubahan PaO2 mengubah CBF ; Hyperoxia :
penurunan minimal CBF (-10%), Hypoxemia berat : PaO2< 50 mmHg
meningkatkan CBF.

Gambar 3. Hubungan antara Aliran darah cerebral dan tekanan gas arteri
pernapasan
4.

Temperature
Perubahan CBF 5-7% per oC, hipotermia menurunkan CMR dan CBF,

sedangkan pireksia mempunyai efek kebalikannya. Pada 20oC gambaran EEG


tampak isoelektrik, > 42oC aktivitas oksigen mulai menurun dan terjadi kerusakan
sel.
5.

Viskositas
Faktor yang paling penting menentukan adalah hematokrit. Penurunan

hematokrit akan menurunkan viskositas dan memperbaiki CBF, yang juga


menurunkan

kapasitas

pengikatan

oksigen.

Peningkatan

hematokrit

polisitemia, mengurangi CBF, Pengangkutan oksigen cerebral yang optimal dapat


terjadi pada hematokrit 30-34%.

12

6.

Pengaruh otonom
Saraf intrakranial diinnervasi oleh simpatis (vasokonstriksi), parasimpatis

(vasodilatasi), serabut nonkolinergik nonadrenergik; serotonin dan peptida


intestinal vasoaktif yang menjadi neurotransmitter. Stimulasi simpatis yang intens
dapat menyebabkan vasokonstriksi , yang membatasi CBF. Innervasi otonom
memegang peranan penting dalam spasme pembuluh darah cerebral mengiringi
cedera otak dan stroke.
7.

Gangguan pada Aliran Darah Otak


Autoregulasi adalah suatu mekanisme yang sangat sensitive terhadap

cedera dan dapat terganggu setelah cedera otak, pemberian anestesi inhalasi, dan
stimulasi simpatis. Efek yang segera timbul pada autoregulasi adalah menurunkan
batas atas dari autoregulasi sehingga pada tekanan darah sedikit diatas normal bisa
tejadi kerusaka sawar darah otak dan edema otak. Pada daerah yang terganggu
terjadi penekanan fungsi neuron, asidosis laktat, edema, gangguan autoregulasi,
dan kemungkinan juga gangguan reaktivitas terhadap CO2.
Asidosis jaringan menimbulkan terjadinya dilatasi local yang hebat dari
arteri serebral yang meluas ke jaringan normal sekitarnya, keadaan ini
menyebankan lebih luasnya, dan lebih kuatnya ganggan fungsi serebrovaskuler
dan hubungan antara aliran darah otak dan metabolisme.
Bila autoreulasi hilang, aliran darah akan bergantung pada tekanan darah
secara pasif sehingga penurunan tekanan perfusiotak akan menyebabkan
penurunan aliran darah otak secara proporsional. Bila reaktivitas terhadap CO 2
juga hilang, maka aliran darah betul-betul tergantung dari tekanan darah. Keadaan
ini disebut serebral vasoparalisis atau vasomotor paralisis. Vasoparalisis artinya
autoregulasi dan reaktivitas pembuluh darah otak terhadap CO 2sudah hilang. Bila
tekanan perfusi adekuat, perfusi pada daerah asidotik akan berlebih dengan
kebutuhan metabolik dan saturasi oksigen vena serebral tinggi, keadaan ini
disebut luxury perfusion. Akan tetapi, bila tekanan perfusi turun, aliran darah akan
berkurang, dan cepat terjadi iskemik, seperti yang terjadi pada keadaan hipotensi
atau steal phenomena.

13

2.2.4

Blood Brain Barrier (Sawar darah otak)


Pembuluh darah cerebral merupakan struktur yang khas dalam hubungan

antara sel-sel endothelial vaskuler yang berdekatan; jarak antara lubang-lubang


yang berdekatan tersebut yang dimaksud blood brain barrier. Barrier lipid
menyebabkan pengangkutan zat-zat yang larut dalam lemak, tetapi mengurangi
pergerakan ion-ion atau berat molekul yang lebih besar. Perubahan yang cepat
dalam konsentrasi elektrolit plasma (dan osmolalitas) menghasilkan gradien
osmotik sementara antara plasma dan otak. Hipertonisitas plasma akut
menyebabkan pergerakan air ke luar otak, hipotonisitas menyebabkan air masuk
ke dalam otak; efek ini berlangsung sebentar dan ditandai oleh pergeseran cairan
yang cepat dalam otak. Mannitol merupakan suatu larutan osmotik aktif yang
tidak dapat melewati blood brain barrier, menyebabkan penurunan terus menerus
kadar air dalam otak dan sering digunakan untuk menurunkan volume otak. Pada
kondisi tertentu, pergerakan air melewati blood brain barrier tergantung pada
tekanan hidrostatik daripada gradien osmotik.

2.2.5

Cairan Serebrospinal
CSF terdapat dalam ventrikel, sisterna, dan ruang subarachnoid di sekitar

otak dan spinal cord. Fungsi utama CSF : melindungi CNS terhadap trauma.
Sebagian besar dibentuk oleh plexus choroideus (terutama di ventrikel lateral),
sebagian kecil dibentuk secara langsung oleh sel ependimal yang terdapat di
lapisan ventrikel dan sejumlah kecil dari bocornya cairan ke dalam rongga
perivaskuler sekeliling pembuluh cerebral (kebocoran pada blood brain barrier).
Dewasa : produksi total CSF 21 mL/h (500 mL/d), volume total 150 mL. Aliran
CSF : ventrikel lateral ventrikel ketiga (melalui foramen interventrikuler / Monro)
ventrikel keempat (aquaductus Sylvius), sisterna cerebellomedullary (sisterna
magna) melalui foramen Magendie (median) dan foramen Luschka (lateral) ruang
subarachnoid Sirkulasi sekitar otak dan spinal cord sebelum diabsorbsi.
Pembentukan CSF melibatkan sekresi aktif Na dalam plexuis choroideus dan
menghasilkan cairan isotonis dengan plasma. Carbonic anhydrase inhibitors

14

(Acetazolamide), kortikosteroid, spironolakton, furosemide, isoflurane, dan


vasokonstriktor menurunkan produksi CSF. Absorpsi CSF melibatkan translokasi
cairan dari granulasi arachnoid menuju sinus venosus cerebral, terutama oleh
perivaskuler dan protein interstitial yang kembali ke dalam darah.

Gambar 4. The flow of cerebrospinal fluid in the central nervous system.

2.2.6

Tekanan Intrakranial
Ruangan cranial merupakan struktur yang rigid dengan volume total yang

tetap, terdiri dari otak (80%), darah (12%), dan CSF (8%). ICP : tekanan
supratentorial CSF yang diukur dalam ventrikel lateral atau melalui cortex
cerebral (normal : <= 10 mmHg). Terdapat sedikit variasi tergantung pada tempat
pengukuran, tetapi pada posisi berbaring lateral, tekanan CSF lumbal secara
normal mendekati tekanan supratentorial. Intracranial compliance ditentukan
dengan mengukur perubahan dalam ICP sebagai respons terhadap perubahan

15

dalam volume intracranial. Mekanisme kompensasi utama : 1). Perpindahan awal


CSF dari kompartemen cranial menuju spinal, 2). Peningkatan absorpsi CSF, 3).
Penurunan produksi CSF. 4). Penurunan total CBV (terutama di vena).

Gambar 5. Normal intracranial elastance


Peningkatan tekanan darah dapat menurunkan CBV karena autoregulasi
menyebabkan vasokonstriksi yang bertujuan mempertahankan CBF, dan
sebaliknya. CBV diperkirakan meningkat 0.05 mL/100 g otak per 1 mmHg
peningkatan PaCO2. Peningkatan ICP secara terus menerus dapat mengakibatkan
herniasi katastrofik otak, dan herniasi dapat terjadi di 1) .Cingulate gyrus di
bawah falx cerebri, 2).Uncinate gyrus melalui tentorium cerebelli. 3).Cerebellar
tonsils melalui foramen magnum.

4).Area yang lain di bawah defek pada skull

(transcalvarial).
2.3

Konsiderasi Anestesi Pada Trauma Kepala


Pembedahan dan menegement anestesi pada pasien ini di hubungkan

langsung pada akibat sekunder yang diakibatkannya. GCS skor ( Glasgow Coma
Scale). Secara umum berhubungan dengan tingkat beratnya atau outcomnya.

16

Tabel 1. Glasgow Coma Scale


BUKA MATA
Spontan

Pada Perintah
Pada Nyeri
Tidak Ada
RESPONS MOTORIK

3
2
1

Menurut Pada Perintah


Melokalisasi Rangsang Nyeri
Withdraws
Fleksi Abnormal
Ekstensi
Tanpa Respons
RESPONS VERBAL

6
5
4
3
2
1

Orientasi Baik
Orientasi Buruk
Bicara Ngacau
Tanpa Arti
Tanpa Respon

5
4
3
2
1

GCS skor 8 atau kurang ,dihubungkan dengan besarnya mortalitas (35%),


bergesernya midline sebesar 5mm, dan besarnya lesi 25ml, serta kompresi pada
ventrikular pada gambaran CT-scan dihubungkan dengan meningkatnya angka
kesakitan yang terjadi.
Lesi spesipik termasuk fraktur tengkorak, contusio maupun concussion
otak (termasuk intra cerebral hemorragi), trauma tembus kepala dan trauma
pembuluh darah vena termasuk sumbatan maupun diseksi. Kejadian terjadinya
fraktur tulang tengkorak meningkat seperti pada lesi intra kranial. Fraktur linier
biasanya dihubungkan dengan terjadinya subdural ataupun epidural hematoma.
Fraktur basis kranii yang terjadi berhubungan dengan keluarnya LCS melalui
telinga, pneumocefalus, cranial nervus palsie, bahkan terjadinya fistula sinus
cavernosus- arteri carotis. Fraktur depres tengkorak dapat memberikan gambaran
bersamaan terjadinya contusio otak. Kontusio yang terjadi mungkin terbatas pada

17

permukaan otak, atau menimbulkan perdarahan didalam struktur hemisper serebri


atau batang otak. Injuri deselerasi dapat menimbulkan lesi yang bersifat coup atau
contercoup atau keduanya. Tindakan operasi fraktur depres, evakuasi dari
epidural, subdural , dan beberapa perdarahan intrakranial, maupun tindakan
debridement luka terbuka , biasanya bersifat electif.
Monitoring tekanan intra cerebral (ICP), biasanya diindikasikan untuk
contusio, perdarahan intrakranial atau pada jaringan yang bergeser. Hipertensi
intrakranial yang terjadi harus di obati dengan moderate hiperventilasi, manitol,
gol barbiturat atau propofol. Beberapa studi yang dijalankan menganggap
peningkatan tekanan yang menetap diatas 60mmHg menyebabkan udem otak
yang irreversible. Tidak seperti pada pengelolaan pada trauma medula spinalis
pemberian glukocortikoid dalam dosis besar, tidaklah memberikan efek outcome
yang cepat seperti pada trauma kepala. Monitoring ICP harus juga
dipertimbangkan pada pasien-pasien yang memberikan tanda hipertensi
intrakranial yang akan dilakukan tindakan non-neurologikal prosedur.

2.3.1

Pengelolaan Perioperatif

Anestetik care pada pasien-pasien dengan cedera kepala berat idealnya sudah
dimulai pada bagian emergenci. Menjaga jalan napas tetap utuh, ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat, mengoreksi peningkatan tekanan darah sistemik
haruslah dikerjakan simultan bersama dengan penilaian neurologiknya. Sumbatan
jalan napas dan hipoventilasi adalah penyulit yang umum terjadi. Lebih dari 70%
terjadi hipoksemia, dapat terjadi komplikasi contusio paru, emboli lemak, atau
neurogenik pulmoneri udem. Yang lebih lanjut dapat menyebabkan hipertensi
sistemik atau pulmoner oleh karena penekanan aktifitas simpatik nervus sistem.
Suplemen oksigen haruslah diberikan pada semua pasien dalam evaluasi jalan
napas dan ventilasi. Semua pasien haruslah dianggap mendapat trauma spinal
servical( lebih dari 10%), sampai terbukti secara radiologis. In line posisi haruslah
dikerjakan selama manipulasi jalan napas, untuk menjaga kepala dalam posisi
netral. Pasien dengan hipoventilasi, dan reflex gag yang tidak ada, atau pada

18

persisten GCS dibawah 8 harus dilakukan intubasi endotrakeal dan hiperventilasi.


Semua pasien harus di observasi secara hati-hati dari perburukan yang dapat
terjadi.
1. Intubasi
Semua pasien harus dianggap dalam keadaan lambung yang terisi penuh,
dan harus dilakukan penekanan crikoid selama tindakan ventilasi dan trakeal
intubasi. Bersamaan dengan melakukan preoksigenasi dan ventilasi dengan
sungkup, pemberian thiopental 2-5 mg/kgBB atau propofol 1,5- 3mg/kgBB, dan
pemberian NMBA yang onsetnya cepat, dapat menumpulkan efek intubasi yang
dapat meningkatkan TIK. Jika pasien dalam keadaan hipotensi(tekanan sistole<
100 mmHg) baik thiopental atau propofol dosis kecil dapat diberikan atau
etomidat. Penggunaan succinilcollins pada trauma tertutup kepala masih
contraversial, oleh karena potensialnya menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial dan peningkatan kadar kalium darah, rocuronium atau mivacurium
menjadi pilihan alternativ yang disukai. Jika kesulitan intubasi terantisipasi,
awake intubasi, tehnik fiberoptik atau trakeostomi mungkin berguna. Nasal blind
intubasi di kontra indikasikan pada pasien yang mengalami fraktur dasar
tengkorak,

yang

memberikan

tanda

adanya

rinnorhoe

atau

otorhoe,

hemotympanum, atau adanya ekimosis jaringan periorbital (raccon sign) atau pada
kedua telinga ( battle sign).

2. Hipotensi
Hipotensi yang terjadi pada trauma kepala selalu dekat berhubungan
dengan injuri ditempat lain (biasanya intra abdoment). Perdarahan dari kulit
kepala biasanya terjadi pada laserasi kulit yang terjadi pada anak. Hipotensi
mungkin dapat terlihat pada trauma pada medula spinal karena terjadinya
simpatectomi dan dihubungkan dengan spinal shock yang terjadi. Pada pasien
dengan cedera kepala, mengkoreksi hipotensi dan mengontrol perdarahan yang
terjadi lebih bermakna dari penilaian radiologis dan tindakan definitif neurologik,

19

karena tekanan darah arteri kurang dari 80 mmHg berhubungan atas outcome
yang jelek. Banyak anestesiologist percaya bahwa cairan primer resusitasi dengan
menggunakan coloid atau darah lebih banyak menguntungkan dibandingkan
cairan kristaloid dalam mencegah odem otak. Infus sementara dengan vasopresor
sering berguna dalam hipotensi berat yang terjadi. Cairan hipotonik atau yang
yang mengandung glukosa sebaiknya tidak digunakan (lihat diatas). Hemarokrit
harus dijaga tetap diatas 30%. Monitoring invasif dalam tekanan intra arteri,
tekanan vena sentral atau tekanan arteri paru dan tekanan intrra kranial, sangatlah
bermakana tetapi janganlah menunda diagnosis dan penatalaksanaanya. Gambaran
aritmia dan EKG abnormal pada gel T, gelombang U, St segmen, atau QT interval
, umum terjadi pada trauma kepala dan tidaklah penting menghubungkannya
dengan kelainan jantung, melainkan oleh karena gangguan fungsi autonomik yang
terjadi.
Pemilihan antara operasi dan pemberian obat pada trauma kepala
didasarkan pada gambaran radiologis sebaik sebagaimana dengan gambaran
klinisnya. Pasien- pasien sebaiknya dalam keadaan stabil terlebih dahulu sebelum
dilakukan studi CT atau angiografi, keadaan-keadaan yang mengancam selama
penilaian harus diawasi ketat. Pada pasien yang gelisah atau tak kooperative dapat
diberikan general anestesia. Sedasi yang diberikan tanpa mengontrol jalan napas
secara umum sebaiknya dihindari karena beresiko meningkatkan TIK, dari
hipercapni dan hipoksia yang terjadi. Keadan yang memburuk sebelum penilaian
diagnostik ini, pemberian intra vena manitol dapat dipertimbangkan.
2.3.2

Pengelolaan Intraoperatif
Pengelolaan anestesi secara umum sama pada lessi massa yang

dihubungkan dengan peningkatan tekanan intracerebral. Management jalan napas


telah dibicarakan diatas. Monitoring intra arteri, vena central( tekanan dalam arteri
pulmonalis) harus dalam keadaan stabil dan bila alat ini tak tersedia janganlah
menunda tindakan decompresi bila pasien jatuh dalam perburukan.
Pemberian barbiturat-opioid-N2O-dan NMBA adalah tehnik yang umum
digunakan. N2O sebaiknya dihindari pemakaiannya ketika terjadi emboli udara

20

dan hipotensi. Hipotensi dapat terjadi setelah induksi anestesi oleh karena efek
kombinasi dari vasodilatasi yang terjadi dan hipovolemi dan harus dikelola
dengan pemberian agonis -adrenergik dan penambahan volume infus bila
diperlukan. Hipertensi yang kemudian terjadi sebagai respon pembedahan akan
meningkatkan ICP secara akut, yang kemudian dihubungkan dengan bradikardi
yang terjadi (penomena chusing).
Hipertensi dapat dikelola dengan menambahkan dosis obat induksi,
dengan meningkatkan konsentrasi anestetik inhalasi, atau dengan anti hipertensi.
Hiperventilasi dengan PaCO2 < 30, harus dihindari pada pasien trauma guna
menghindari penurunan yang sangat pada CBF. Blokade -adrenergik biasanya
efektif dalam mengontrol hipertensi yang berhubungan dengan takikardi. CPP
harus terjaga dalam tekanan antara 70-110mmHg. Pemberian Vasodilator
hendaknya dihindari sampai durameter dibuka. Adanya vagal dapat dikelola
dengan pemberian Atropin atau glycopirolat.
DIC dapat terlihat pada trauma kepala berat. Seperti pada trauma lainya,
terjadi pelepasan dalam jumlah besar tromboplastin otak, dan dapat pula
dihubungkan dengan kejadian akut distres sindrome (lihat Bab 49). DIC dapat
didiagnosis dengan test koagulasi dan diobati dengan pemberian platelet darah,
FFP, dan cryopresifitat, dan ARDS dapat ditangani dengan pemakaian ventilator.
Aspirrasi pulmonal dan neurogenik pulmonal udem dapat pula bertanggung jawab
atas perburukan fungsi paru. Penggunaan PEEP hanya dapat dipakai pada
ventilator bila ICP dimonitor dengan baik, atau setelah durameter dibuka.
Diabetes insipidus dengan karakteristik pengeluaran urin yang banyak, kerap kali
mengikuti gejala yang terjadi pada injuri pituitari. Seperti pada penyebab lainnya
harus dilakukan pemeriksaan urin dan test osmolaritas serum sebelum dilakukan
pengobatan pemberian cairan dan vasopresin (lihat Bab 28). Perdarahan
gastrointestinal dapat terjadi sebagai komplikasi penatalaksanaan setelah beberapa
hari, hal ini karena terjadinya strees ulcer.
Pertimbangan dilakukannya ekstubasi, tergantung beratnya injuri yang
terjadi, dengan atau tanpa trauma abdoment atau trauma thorak, penyakit dasarnya

21

dan tingkat kesadaran pada pemeriksaan sebelum operasi. Pada pasien-pasien


muda dan sadar sebelumnya, dilakukan ekstubasi setelah pengangkatan lesi,
sedangkan pada pasien dengan injuri otak yang diffuse harus tetap terintubasi.
Terlebih pada pasien dengan hipertensi intrakranial yang persisten post operatif
tetap diberikan continu obat paralisis, sedasi, hiperventilasi dan mungkin saja
infus pentobarbital diberikan.

2.4

Anestesi Pada Cedera Kepala Akut


Ada tiga sasaran anestesiologi selain memfasilitasi dapat dilakukan

pembedahan untuk membantu ahli bedah dalam operasi bedah saraf yaitu:
1. Mengendalikan TIK dan volume otak
2. Melindungi jaringan saraf dari iskemia dan cedera
3. Mengurangi perdarahan
Prinsip pengelolaan anestesi pada operasi bedah saraf adalah mengatur
Airway, Breating, Circulation, Drugs dan Environment yang disebut sebagai
ABCDE neuroanestesi. Airway berarti jalan nafas selalu bebas sepanjang waktu,
Breathing berarti ventilasi kendali untuk mendapatkan oksigenasi adekuat dan
sedikit hipokarbia pada operasi tumor otak atau normokarbi pada cedera kepala,
Circulation berarti hindari lonjakan tekanan darah bisa memperberat edema
serebral dan kenaikan ICP, hindali faktor-faktor mekanis yang meningkatkan
tekanan vena serebral, Drugs berarti hindari obat-obat dan teknik anestesi yang
meningkatkan tekanan intrakranial, Environtmen berarti suhu mild hipotermia.
Pengelolaan anestesi pada cidera kepala, secara prinsip sama dengan
pasien-pasien peningkatan TIK yang lain. Obat-obatan dan teknik anestesi yang
merupakan kontraindikasi pada pasien dengan cidera kepala berat adalah:
premedikasi dengan narkotik, napas spontan, neuroleptik analgesia, ketamin, N2O
bila ada aerosel, halotan, spinal anestesi. Hal ini karena narkotik analgesi
mendepresi napas, ketamin meningkatkan TIK, CMRO2 mempresipitasi kejang.
Keterbatasan ini bisa dipertimbangkan bila anestesi dilakukan setelah autoregulasi

22

kembali (dimulai hari kelima, dan maksimal pada hari kesembilan setelah cedera
kepala).
Prinsip dasar pengelolaan anestesi pada cedera kepala adalah:
1. Mengoptimalkan perfusi otak dengan rumatan hemodinamik sistemik MAP,
CPP.
2. Menghindari iskemia serebral dengan melihat DO2, PaO2, CPP dan CBF
3. Menghindari teknik dan obat yang meningkatkan TIK

2.4.1

Pemeliharaan Hemodinamik Sistemik


Hipotensi sistemik (tekanan sistolik <90 mmHg selama 30 menit) memberi

outcome yang negatif pada pasien dengan cedera kepala berat. Pneyebab hipotensi
pada umumnya banyak faktor. Anak-anak kemungkinan bisa menderita hipotensi
dan hipovolemia karena perdarahan intrakranial atau luka pada SCALP, tetapi hal
ini tidak mungkin terjadi pada dewasa, dan adanya hipotensi pada dewasa harus
dicari adanya kehilangan darah ditempat lain.
Disebebkan karena pda cedera kepala terjadi stimulasi simpatis yang kuat,
kebanyakan pasien berada dalam keadaan hipertensi dan takikardi. Kebanyakan
pasien dewasa yang hanya menderita cedera kepala dan terjadi kenaikan ICP yang
nyata, terdapat hipertensi dan bila ada kompresi batang otak terjadi bradikardi
(Cushing refleks). Disebabkan karena kenaikan tekanan darah adalah mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan perfusi otak, maka peningkatan tekanan darah
yang sedang (Moderate) tidak perlu di terapi. Kenaikan tekanan darah yang
ekstrim (melebihi batas atau autoregulasi) harus diterapi sebab akan meningkatkan
CBF dan mungkin akan memperbesar kenaikan TIK. Tidak adanya hipertensi dan
bradikardi tidak menyingkirkan kemungkinan adanya kompensasi batang otak,
sebab adanya hipotensi sistemika kan mencegah terjadinya hipertensi dan
stimulasi simpatis akan mencegah terjadinya bradikardi. Urin output yang adekuat
adalah indikator yang jelek untuk status volume, terutama jika baru diberikan
manitol.

23

2.4.2

Pemeliharaan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat


Pasien dengan cedera kepala berat sering mengalami hipoksia dan

hiperkapnia, yang keduanya dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan


kenaikan TIK. Walaupun ventilasi sudah dikendalikan dan hiperkapnia di koreksi,
oksigensi pasien masih merupakan masalah pada pasien dengan kontusio paru,
aspirasi, neurogenik pulmonari edema. Untuk terapi hipoksemia mungkin
diperlukan dengan O2 konsentrasi tinggi dan PEEP

2.4.3

Pemeliharaan Perfusi Serebral


CBF menurun bila dilakukan hiperventilasi. Reaktivitas CO2 umumnya

tetap tidak selalu, tetap dipertahankan. Pada pasien dengan reaktivitas CO2
normal dan CBF yang rendah setelah trauma, hiperventilasi bisa menyebabkan
penurunan regional CBF ke level di bawah level yang menimbulkan. CPP akan
diperburuk dengan adanya hipotensi sistemik.

2.4.4

Penggunaan obat anestesi yang optimal


Pada umumnya pemilihan obat anestesi berdasarkan efeknya pada sistem

kardiovaskuler, tetapi pada pasien bedah saraf harus dipikirkan efeknya terhadap
CBF, CBV, ICP, CSF, autoregulasi dan lain-lain. Antara anestetika volatik
(halotan, enfluran, isofluran sevofluran, desfluran) semuanya menurunkan tekanan
darah tetapi mekanismenya yang berbeda. Halotan lebih bersifat depresi
miokardium, sedikit menurun resisitensi perifer, sebaliknya isofluran terutama
karena penurunan resisitensi vaskular sistemik. Enfluran merupakan tekanan
darah karena depresi miokard dan menurunkan resistensi perifer. Efek pemurunan
tekanan darah pada MAC yang sama, sama antara halotan, isofluran dan enfluran
dan hanya sentengahnya pada sevofluaran.

24

Obat-obat yang menurunkan ICP dan CBF dari golongan obat induksi
intravena adalah pentotal lalu etomidat, propofol, midazolam. Jadi pilihan utama
dalah pentotal. Pelemas otot, semuanya meningkatkan CBF, tetapi yang paling
sedikit menaikkan CBF adalah vekuronium, sehingga vekuronium merupakan
obat relaksan pilihan untuk bedah saraf.
Obat anestesi yang tidak mempengaruhi CBF dan metabolisme serebral
mungkin menguntungkan atau merugikan pada pasien cedera kepala. Hasil akhir
bukan saja dari pengaruh obat anestesi terhadap CBF dan metabolisme serebral,
tetapi juga interaksi hemodinamik sistemik, ICP, reaktivitas CO2, produksi atau
absorbsi CSF dan stimulasi bedah.

Anda mungkin juga menyukai