BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Trauma Kepala
2.1.1
Definisi
Trauma kepala atau cedera otak traumatik (Traunatic Brain Injury)
merupakan salah satu kondisi yang paling serius dan mengancam jiwa pada
korban trauma. Trauma tajam kepala adalah trauma pada kepala yang menembus
tengkorak secara proyektil namun tidak menembus keluar tempurung kepala.
Penanganan perioperatif pasien-pasien dengan trauma kepala difokuskan
secara agresif ke arah stabilisasi pasien dan menghindarkan gangguan pada
intrakranial dan sistemik yang dapat menyebabkan cedera neuronal sekunder.
Akibat sekunder seperti ini, meskipun dapat dicegah dan dapat ditangani, dapat
memberikan komplikasi pada pasien dan dapat mempengaruhi hasil perawatan.
2.1.2
trauma:
1. Trauma kepala dengan penetrasi
Dibagi menjadi: luka tembak dan luka penetrasi lainnya
2. Trauma kepala tumpul
Dibagi menjadi: askelerasi (kecepatan tinggi) dan deskelerasi (kecepatan
rendah).
Trauma kepala berdasarkan morfologi dibagi atas:
1. Skull Frakture
Dibagi lagi atas: vault fracture (linear/satellite, depressed/non-depressed,
open/close) dan basilar (dengan atau tanpa perembesan cairan serebrospinal,
dengan atau tanpa paralisis nervus VII).
2. Lesi Intrakranial
Dibagi lagi atas: fokal (epidural hematoma, subdural hematoma dan
intrakranial hematoma) dan difus (kontusi ringan, kontusi klasik dan diffuse
axonal injury).
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal anatara lain:
1. Benda tajam : Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat
2. Benda tumpul: Trauma benda tumpul dapat menyebabkan cedera secara
menyeluruh akibat dari energi/kekuatan yang diteruskan kepada otak.
Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada lokasi,
kekuatan, fraktur infeksi / kompresi, rotasi, delarasi dan deselarasi.
Trauma kepala diklasifikasikan atas trauma primer dan sekunder.
Klasifikasi ini bermanfaat dalam merencanakan penanganan selanjutnya.
1. Cedera primer merupakan kerusakan yang disebabkan oleh tubrukan
mekanis langsung dan tekanan akselerasi-deselerasi yang mengenai
kranium dan jaringan otak, yang menyebabkan tulang tengkorak dan lesi
intrakranial. Lesi intrakranial kemudian dibagi menjadi dua tipe: cedera
difus dan cedera fokal
a. Cedera otak difus dibagi menjadi dua kategori
1) Kontusio otak yang mana penurunan kesadaran berlangsung <6
jam
2) Cedera aksonal difus merupakan koma traumatik yang berlangsung
>6 jam
b. Cedera otak fokal dibagi menjadi:
1) Kontusio otak biasanya terletak di bawah atau di daerah
berlawanan dari asal tubrukan
2) Hematoma epidural biasanya disebabkan oleh fraktur tulang
tengkorak dan laserasi dari arteri meningea media
3) Hematoma subdural biasanya disebabkan oleh robeknya bridging
veins antara korteks serebri dan sinus drainase. Hematoma subdural
dikatakan mempunyai angka mortalitas yang tinggi.
4) Hematoma intrakranial biasanya terletak di lobus frontal dan
temporal dan dapat terlihat sebagai massa hiperdens pada CT-Scan.
Jaringan otak yang rusak karena tubrukan primer tidak akan dapat
juga
terganggu.
Kombinasi
dari
respon
patofisiologi
ini
2.2
Fisiologi Serebral
2.2.1
Metabolisme Serebral
Konsumsi oksigen otak pada kondisi normal adalah 20% dari total
konsumsi oksigen tubuh. Konsumsi oksigen otak terbesar (60%) digunakan untuk
menghasilkan ATP yang akan digunakan untuk aktifitas (Gambar 1). Cerebral
Metabolisme Rate (CMR) mengambarkan konsumsi oksigen saat itu (CMRO2),
pada orang dewasa sekitar 3 3,8 ml/100 g/min (50 mL/min). CMRO 2 terbanyak
ada di substansia grasia dari korteks cerebral dan pada umumnya sama dengan
aktifitas listrik korteks. Karena cukup tingginya konsumsi oksigen dan rendahnya
cadangan oksigen yang signifikan, bila dalam 10 detik perfusi cerebral terhenti
mengakibatkan penderita tidak sadar seperti ketika tekanan oksigen yang dengan
cepat turun
baberapa waktu (3- 8 menit pada beberapa kondisi). Cadangan ATP dihabiskan
dan kerusakan seluler yang irreversible mulai terjadi. Hipokampus dan cerebelum
nampaknya menjadi lebih sensitif terhadap trauma hypoxia.
2.2.2
adalah untuk mempertahankan CPP normal, oleh karena itu, hipertensi yang
memerlukan terapi adalah bila MAP lebih besar dari 130-140 mmHg.
Banyak factor yang mmpengaruhi CBF. Metabolism otak, tekanan darah,
PaO2 PaCO2, suhu tubuh, simpatis-parasimpatis, obat-obatan yang mempengaruhi
CBF. Keadaan patologik dalam otak juga mempengaruhi CBF global dan
regional. Fungsi otak bergantung pada dua hal yaitu oksigenasi dan perfusi otak.
Oksigenasi bergantung pada PaO2 dan pasokan oksigen dan perfusi bergantung
pada CBF dan CPP.
Jaringan yang menerima aliran darah 18-23 ml/100g/menit secara
fungsional tidak aktif, akan tetapi fungsi dapat dipulihkan dengan meningkatkan
perfusi. Untuk jaringan yang mendapatkan aliran darah yang lebih rendah,
terjadinya infark adalah berdasarkan waktu. Bila jaringan mendapatkan perfusi
yang ade kuat sebelum batas waktu terjadi infark, fingsi akan pulih.
1. Autoregulasi
Aliran darah otak dipertahankan konstan pada MAP 50-150 mmHg.
Pengaturan ini disebut autoregulasi yang disebabkan oleh kontraksi otot polos
dinding pembuluh darah otak sebagai jawaban terhadap perubahan tekana
transmural. Jika melebihi batas ini, walaupun dengan dilatasi maksimal atau
kontraksi maksimal dalam pembuluh darah otak, aliran darah otak akan mengikuti
tekanan perfusi otak secara pasif. Bila aliran darah otak sangat berkurang (MAP
<50 mmHg), tekanan akan merusak daya konstriksi pembuluh darah dan aliran
darah otak akan naik dengan tiba-tiba. Dengan demikian, terjadilah kerusakan
sawar darah otak, yang dapat menimbulan terjadinya edema serebral dan
perdarahan otak.
Berbagai keadaan dapat merubah batas autoreagulasi, misalnya hipertensi
kronis. Pada hipertesi kronis autoreagulasi bergeser ke kanan sehingga sudah
terjadi serebral iskemik pada tekanan darah yang dianggap normal pada orang
sehat. Serebral iskemik, serebral infark, trauma kepala, hipoksia, abses otak,
diabetes, hiperkarbi berat, edema sekeliling tumor otak,perdarahan subarachnoid,
aterosklerosis serebrovaskular, anestetika inhalasi juga mengganggu autoregulasi
sedangkan selama anestesi berlangsung diharapkan autoregulasi tidak terganggu,
maka pemilihan anestetika inhalasi menjadi penting. Harus dipilih anestetika yang
tidak mengganggu autoregulasi pada dosis klinis.
Karena pada cedera kepala autoregulasi terganggu, adanya hipotensi yang
tiba-tiba bisa menimbulkan cedera otak sekunder.
2. PaCO2
Aliran darah otak berubah kira-kira 4% (0,95-1,75 ml/100g/menit) setiap
mmHg perubahan PaCO2 antara 25-80 mmHg. Jadi, dibandingkan dengan keadaan
normokapni, aliran darah otak dua kali lipat pada PaCO 2 80 mmHg dan
setengahnya dari PaCO2 < 25 mmHg, malahan bias terjadi serebral iskemia akibat
perubahan biokimia, maka harus dihindari hiperventilasi yang berlebih. Pada
operasi tumor otak rutin dipasang kapnogram untuk mengukur end tidal CO 2,
umumnya dipertahankan end tidal CO 2 25-30 mmHgyang setara dengan PaCO 2
29-34 mmHg, akan tetapi, pada ceera kepala akut PaCO2 jangan kurang dari 35
mmHg. Apabila terpaksa harus dilakukan hipervetilasi agresif, untuk menurunkan
PaCO2< 30 mmHg, maka diperlukan pemantauan SJO2 untuk menghindari terjadi
komplikasi iskemik otak akibat hiperventilasi.
3. PaO2
Bila PaO2< 50 mmHg, akan terjadi serebral vasodilatasi dan aliran darah
otak akan meningkat. Peningkatan PaCO2 hanya sedikit pengaruhnya terhadap
resisten pembuluh darah serebral. Pada binatang percobaan bila PaO 2> 450 mmHg
terjadi sedikit penurunan aliran darah otak walaupun tidak nyata. Akan tetapi,
pada manusia selama operasi otak PaO2 jangan melebihi 200 mmHg.
2.2.3
1.
besar). CPP dinyatakan dengan persamaan : CPP = MAP ICP. CPP normal 80100 mmHg, CPP < 10 mmHg sangat tergantung pada MAP. Peningkatan sedang
sampai berat ICP (>30 mmHg) dapat membahayakan CPP dan CBF, meskipun
MAP normal. CPP < 50 mmHg menunjukkan perlambatan EEG, CPP antara 25-
10
Autoregulasi
Seperti pada jantung dan ginjal, otak juga mempunyai kemampuan
gas respirasi, terutama PaCO2. CBF berbanding langsung dengan PaCO2 antara
tekanan 20 dan 80 mmHg. Perubahan tekanan darah sekitar 1-2 mL/100 g/min per
mmHg perubahan pada PaCO2. Ion-ion tidak dapat melewati blood brain barrier
secara baik, kecuali CO2, perubahan akut pada PaCO2
(bukan HCO3-)
11
Gambar 3. Hubungan antara Aliran darah cerebral dan tekanan gas arteri
pernapasan
4.
Temperature
Perubahan CBF 5-7% per oC, hipotermia menurunkan CMR dan CBF,
Viskositas
Faktor yang paling penting menentukan adalah hematokrit. Penurunan
kapasitas
pengikatan
oksigen.
Peningkatan
hematokrit
12
6.
Pengaruh otonom
Saraf intrakranial diinnervasi oleh simpatis (vasokonstriksi), parasimpatis
cedera dan dapat terganggu setelah cedera otak, pemberian anestesi inhalasi, dan
stimulasi simpatis. Efek yang segera timbul pada autoregulasi adalah menurunkan
batas atas dari autoregulasi sehingga pada tekanan darah sedikit diatas normal bisa
tejadi kerusaka sawar darah otak dan edema otak. Pada daerah yang terganggu
terjadi penekanan fungsi neuron, asidosis laktat, edema, gangguan autoregulasi,
dan kemungkinan juga gangguan reaktivitas terhadap CO2.
Asidosis jaringan menimbulkan terjadinya dilatasi local yang hebat dari
arteri serebral yang meluas ke jaringan normal sekitarnya, keadaan ini
menyebankan lebih luasnya, dan lebih kuatnya ganggan fungsi serebrovaskuler
dan hubungan antara aliran darah otak dan metabolisme.
Bila autoreulasi hilang, aliran darah akan bergantung pada tekanan darah
secara pasif sehingga penurunan tekanan perfusiotak akan menyebabkan
penurunan aliran darah otak secara proporsional. Bila reaktivitas terhadap CO 2
juga hilang, maka aliran darah betul-betul tergantung dari tekanan darah. Keadaan
ini disebut serebral vasoparalisis atau vasomotor paralisis. Vasoparalisis artinya
autoregulasi dan reaktivitas pembuluh darah otak terhadap CO 2sudah hilang. Bila
tekanan perfusi adekuat, perfusi pada daerah asidotik akan berlebih dengan
kebutuhan metabolik dan saturasi oksigen vena serebral tinggi, keadaan ini
disebut luxury perfusion. Akan tetapi, bila tekanan perfusi turun, aliran darah akan
berkurang, dan cepat terjadi iskemik, seperti yang terjadi pada keadaan hipotensi
atau steal phenomena.
13
2.2.4
2.2.5
Cairan Serebrospinal
CSF terdapat dalam ventrikel, sisterna, dan ruang subarachnoid di sekitar
otak dan spinal cord. Fungsi utama CSF : melindungi CNS terhadap trauma.
Sebagian besar dibentuk oleh plexus choroideus (terutama di ventrikel lateral),
sebagian kecil dibentuk secara langsung oleh sel ependimal yang terdapat di
lapisan ventrikel dan sejumlah kecil dari bocornya cairan ke dalam rongga
perivaskuler sekeliling pembuluh cerebral (kebocoran pada blood brain barrier).
Dewasa : produksi total CSF 21 mL/h (500 mL/d), volume total 150 mL. Aliran
CSF : ventrikel lateral ventrikel ketiga (melalui foramen interventrikuler / Monro)
ventrikel keempat (aquaductus Sylvius), sisterna cerebellomedullary (sisterna
magna) melalui foramen Magendie (median) dan foramen Luschka (lateral) ruang
subarachnoid Sirkulasi sekitar otak dan spinal cord sebelum diabsorbsi.
Pembentukan CSF melibatkan sekresi aktif Na dalam plexuis choroideus dan
menghasilkan cairan isotonis dengan plasma. Carbonic anhydrase inhibitors
14
2.2.6
Tekanan Intrakranial
Ruangan cranial merupakan struktur yang rigid dengan volume total yang
tetap, terdiri dari otak (80%), darah (12%), dan CSF (8%). ICP : tekanan
supratentorial CSF yang diukur dalam ventrikel lateral atau melalui cortex
cerebral (normal : <= 10 mmHg). Terdapat sedikit variasi tergantung pada tempat
pengukuran, tetapi pada posisi berbaring lateral, tekanan CSF lumbal secara
normal mendekati tekanan supratentorial. Intracranial compliance ditentukan
dengan mengukur perubahan dalam ICP sebagai respons terhadap perubahan
15
(transcalvarial).
2.3
langsung pada akibat sekunder yang diakibatkannya. GCS skor ( Glasgow Coma
Scale). Secara umum berhubungan dengan tingkat beratnya atau outcomnya.
16
Pada Perintah
Pada Nyeri
Tidak Ada
RESPONS MOTORIK
3
2
1
6
5
4
3
2
1
Orientasi Baik
Orientasi Buruk
Bicara Ngacau
Tanpa Arti
Tanpa Respon
5
4
3
2
1
17
2.3.1
Pengelolaan Perioperatif
Anestetik care pada pasien-pasien dengan cedera kepala berat idealnya sudah
dimulai pada bagian emergenci. Menjaga jalan napas tetap utuh, ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat, mengoreksi peningkatan tekanan darah sistemik
haruslah dikerjakan simultan bersama dengan penilaian neurologiknya. Sumbatan
jalan napas dan hipoventilasi adalah penyulit yang umum terjadi. Lebih dari 70%
terjadi hipoksemia, dapat terjadi komplikasi contusio paru, emboli lemak, atau
neurogenik pulmoneri udem. Yang lebih lanjut dapat menyebabkan hipertensi
sistemik atau pulmoner oleh karena penekanan aktifitas simpatik nervus sistem.
Suplemen oksigen haruslah diberikan pada semua pasien dalam evaluasi jalan
napas dan ventilasi. Semua pasien haruslah dianggap mendapat trauma spinal
servical( lebih dari 10%), sampai terbukti secara radiologis. In line posisi haruslah
dikerjakan selama manipulasi jalan napas, untuk menjaga kepala dalam posisi
netral. Pasien dengan hipoventilasi, dan reflex gag yang tidak ada, atau pada
18
yang
memberikan
tanda
adanya
rinnorhoe
atau
otorhoe,
hemotympanum, atau adanya ekimosis jaringan periorbital (raccon sign) atau pada
kedua telinga ( battle sign).
2. Hipotensi
Hipotensi yang terjadi pada trauma kepala selalu dekat berhubungan
dengan injuri ditempat lain (biasanya intra abdoment). Perdarahan dari kulit
kepala biasanya terjadi pada laserasi kulit yang terjadi pada anak. Hipotensi
mungkin dapat terlihat pada trauma pada medula spinal karena terjadinya
simpatectomi dan dihubungkan dengan spinal shock yang terjadi. Pada pasien
dengan cedera kepala, mengkoreksi hipotensi dan mengontrol perdarahan yang
terjadi lebih bermakna dari penilaian radiologis dan tindakan definitif neurologik,
19
karena tekanan darah arteri kurang dari 80 mmHg berhubungan atas outcome
yang jelek. Banyak anestesiologist percaya bahwa cairan primer resusitasi dengan
menggunakan coloid atau darah lebih banyak menguntungkan dibandingkan
cairan kristaloid dalam mencegah odem otak. Infus sementara dengan vasopresor
sering berguna dalam hipotensi berat yang terjadi. Cairan hipotonik atau yang
yang mengandung glukosa sebaiknya tidak digunakan (lihat diatas). Hemarokrit
harus dijaga tetap diatas 30%. Monitoring invasif dalam tekanan intra arteri,
tekanan vena sentral atau tekanan arteri paru dan tekanan intrra kranial, sangatlah
bermakana tetapi janganlah menunda diagnosis dan penatalaksanaanya. Gambaran
aritmia dan EKG abnormal pada gel T, gelombang U, St segmen, atau QT interval
, umum terjadi pada trauma kepala dan tidaklah penting menghubungkannya
dengan kelainan jantung, melainkan oleh karena gangguan fungsi autonomik yang
terjadi.
Pemilihan antara operasi dan pemberian obat pada trauma kepala
didasarkan pada gambaran radiologis sebaik sebagaimana dengan gambaran
klinisnya. Pasien- pasien sebaiknya dalam keadaan stabil terlebih dahulu sebelum
dilakukan studi CT atau angiografi, keadaan-keadaan yang mengancam selama
penilaian harus diawasi ketat. Pada pasien yang gelisah atau tak kooperative dapat
diberikan general anestesia. Sedasi yang diberikan tanpa mengontrol jalan napas
secara umum sebaiknya dihindari karena beresiko meningkatkan TIK, dari
hipercapni dan hipoksia yang terjadi. Keadan yang memburuk sebelum penilaian
diagnostik ini, pemberian intra vena manitol dapat dipertimbangkan.
2.3.2
Pengelolaan Intraoperatif
Pengelolaan anestesi secara umum sama pada lessi massa yang
20
dan hipotensi. Hipotensi dapat terjadi setelah induksi anestesi oleh karena efek
kombinasi dari vasodilatasi yang terjadi dan hipovolemi dan harus dikelola
dengan pemberian agonis -adrenergik dan penambahan volume infus bila
diperlukan. Hipertensi yang kemudian terjadi sebagai respon pembedahan akan
meningkatkan ICP secara akut, yang kemudian dihubungkan dengan bradikardi
yang terjadi (penomena chusing).
Hipertensi dapat dikelola dengan menambahkan dosis obat induksi,
dengan meningkatkan konsentrasi anestetik inhalasi, atau dengan anti hipertensi.
Hiperventilasi dengan PaCO2 < 30, harus dihindari pada pasien trauma guna
menghindari penurunan yang sangat pada CBF. Blokade -adrenergik biasanya
efektif dalam mengontrol hipertensi yang berhubungan dengan takikardi. CPP
harus terjaga dalam tekanan antara 70-110mmHg. Pemberian Vasodilator
hendaknya dihindari sampai durameter dibuka. Adanya vagal dapat dikelola
dengan pemberian Atropin atau glycopirolat.
DIC dapat terlihat pada trauma kepala berat. Seperti pada trauma lainya,
terjadi pelepasan dalam jumlah besar tromboplastin otak, dan dapat pula
dihubungkan dengan kejadian akut distres sindrome (lihat Bab 49). DIC dapat
didiagnosis dengan test koagulasi dan diobati dengan pemberian platelet darah,
FFP, dan cryopresifitat, dan ARDS dapat ditangani dengan pemakaian ventilator.
Aspirrasi pulmonal dan neurogenik pulmonal udem dapat pula bertanggung jawab
atas perburukan fungsi paru. Penggunaan PEEP hanya dapat dipakai pada
ventilator bila ICP dimonitor dengan baik, atau setelah durameter dibuka.
Diabetes insipidus dengan karakteristik pengeluaran urin yang banyak, kerap kali
mengikuti gejala yang terjadi pada injuri pituitari. Seperti pada penyebab lainnya
harus dilakukan pemeriksaan urin dan test osmolaritas serum sebelum dilakukan
pengobatan pemberian cairan dan vasopresin (lihat Bab 28). Perdarahan
gastrointestinal dapat terjadi sebagai komplikasi penatalaksanaan setelah beberapa
hari, hal ini karena terjadinya strees ulcer.
Pertimbangan dilakukannya ekstubasi, tergantung beratnya injuri yang
terjadi, dengan atau tanpa trauma abdoment atau trauma thorak, penyakit dasarnya
21
2.4
pembedahan untuk membantu ahli bedah dalam operasi bedah saraf yaitu:
1. Mengendalikan TIK dan volume otak
2. Melindungi jaringan saraf dari iskemia dan cedera
3. Mengurangi perdarahan
Prinsip pengelolaan anestesi pada operasi bedah saraf adalah mengatur
Airway, Breating, Circulation, Drugs dan Environment yang disebut sebagai
ABCDE neuroanestesi. Airway berarti jalan nafas selalu bebas sepanjang waktu,
Breathing berarti ventilasi kendali untuk mendapatkan oksigenasi adekuat dan
sedikit hipokarbia pada operasi tumor otak atau normokarbi pada cedera kepala,
Circulation berarti hindari lonjakan tekanan darah bisa memperberat edema
serebral dan kenaikan ICP, hindali faktor-faktor mekanis yang meningkatkan
tekanan vena serebral, Drugs berarti hindari obat-obat dan teknik anestesi yang
meningkatkan tekanan intrakranial, Environtmen berarti suhu mild hipotermia.
Pengelolaan anestesi pada cidera kepala, secara prinsip sama dengan
pasien-pasien peningkatan TIK yang lain. Obat-obatan dan teknik anestesi yang
merupakan kontraindikasi pada pasien dengan cidera kepala berat adalah:
premedikasi dengan narkotik, napas spontan, neuroleptik analgesia, ketamin, N2O
bila ada aerosel, halotan, spinal anestesi. Hal ini karena narkotik analgesi
mendepresi napas, ketamin meningkatkan TIK, CMRO2 mempresipitasi kejang.
Keterbatasan ini bisa dipertimbangkan bila anestesi dilakukan setelah autoregulasi
22
kembali (dimulai hari kelima, dan maksimal pada hari kesembilan setelah cedera
kepala).
Prinsip dasar pengelolaan anestesi pada cedera kepala adalah:
1. Mengoptimalkan perfusi otak dengan rumatan hemodinamik sistemik MAP,
CPP.
2. Menghindari iskemia serebral dengan melihat DO2, PaO2, CPP dan CBF
3. Menghindari teknik dan obat yang meningkatkan TIK
2.4.1
outcome yang negatif pada pasien dengan cedera kepala berat. Pneyebab hipotensi
pada umumnya banyak faktor. Anak-anak kemungkinan bisa menderita hipotensi
dan hipovolemia karena perdarahan intrakranial atau luka pada SCALP, tetapi hal
ini tidak mungkin terjadi pada dewasa, dan adanya hipotensi pada dewasa harus
dicari adanya kehilangan darah ditempat lain.
Disebebkan karena pda cedera kepala terjadi stimulasi simpatis yang kuat,
kebanyakan pasien berada dalam keadaan hipertensi dan takikardi. Kebanyakan
pasien dewasa yang hanya menderita cedera kepala dan terjadi kenaikan ICP yang
nyata, terdapat hipertensi dan bila ada kompresi batang otak terjadi bradikardi
(Cushing refleks). Disebabkan karena kenaikan tekanan darah adalah mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan perfusi otak, maka peningkatan tekanan darah
yang sedang (Moderate) tidak perlu di terapi. Kenaikan tekanan darah yang
ekstrim (melebihi batas atau autoregulasi) harus diterapi sebab akan meningkatkan
CBF dan mungkin akan memperbesar kenaikan TIK. Tidak adanya hipertensi dan
bradikardi tidak menyingkirkan kemungkinan adanya kompensasi batang otak,
sebab adanya hipotensi sistemika kan mencegah terjadinya hipertensi dan
stimulasi simpatis akan mencegah terjadinya bradikardi. Urin output yang adekuat
adalah indikator yang jelek untuk status volume, terutama jika baru diberikan
manitol.
23
2.4.2
2.4.3
tetap tidak selalu, tetap dipertahankan. Pada pasien dengan reaktivitas CO2
normal dan CBF yang rendah setelah trauma, hiperventilasi bisa menyebabkan
penurunan regional CBF ke level di bawah level yang menimbulkan. CPP akan
diperburuk dengan adanya hipotensi sistemik.
2.4.4
kardiovaskuler, tetapi pada pasien bedah saraf harus dipikirkan efeknya terhadap
CBF, CBV, ICP, CSF, autoregulasi dan lain-lain. Antara anestetika volatik
(halotan, enfluran, isofluran sevofluran, desfluran) semuanya menurunkan tekanan
darah tetapi mekanismenya yang berbeda. Halotan lebih bersifat depresi
miokardium, sedikit menurun resisitensi perifer, sebaliknya isofluran terutama
karena penurunan resisitensi vaskular sistemik. Enfluran merupakan tekanan
darah karena depresi miokard dan menurunkan resistensi perifer. Efek pemurunan
tekanan darah pada MAC yang sama, sama antara halotan, isofluran dan enfluran
dan hanya sentengahnya pada sevofluaran.
24
Obat-obat yang menurunkan ICP dan CBF dari golongan obat induksi
intravena adalah pentotal lalu etomidat, propofol, midazolam. Jadi pilihan utama
dalah pentotal. Pelemas otot, semuanya meningkatkan CBF, tetapi yang paling
sedikit menaikkan CBF adalah vekuronium, sehingga vekuronium merupakan
obat relaksan pilihan untuk bedah saraf.
Obat anestesi yang tidak mempengaruhi CBF dan metabolisme serebral
mungkin menguntungkan atau merugikan pada pasien cedera kepala. Hasil akhir
bukan saja dari pengaruh obat anestesi terhadap CBF dan metabolisme serebral,
tetapi juga interaksi hemodinamik sistemik, ICP, reaktivitas CO2, produksi atau
absorbsi CSF dan stimulasi bedah.