Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


CEDERA OTAK BERAT (COB) DI RUANG ICU RSUD. BANGIL

Oleh
Fitri Yunita Ardhiyanti
NIM 1601470067

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
Cedera Otak Berat

1. Definisi Cedera Otak Berat


Cidera kepala adalah cidera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak
dan otak. Cidera kepala adalah gangguan neurologic yang paling sering terjadi
dan gangguan neurologik yang serius di antara gangguan neurologik dan
merupakan proporsi epidemik sebagai akibat kecelakaan di jalan raya (Smeltzer &
Bare 2002). Cidera otak berat atau COB adalah kerusakan neurologis yang terjadi
akibat adanya trauma pada otak secara langsung maupun efek sekunder dari
trauma yang terjadi (Price, 1995). Cedera otak berat merupaka keadaan dimana
struktur lapisan otak mengalami cedera berkaitan dengan edema, hyperemia,
hipoksia dimana pasien tidak dapat mengikuti perintah, dengan GCS < 8 dan tidak
dapat membuka mata.
2. Etiologi
Cidera kepala paling sering akibat dari trauma. Mekanisme terjadinya
cidera kepala berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut
Nurarif dan Kusuma (2013) yaitu sebagai berikut:
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang
diam kemudian dipukul atau dilempari batu.
b. Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala
yang terbentur benda padat.
c. Akselerasi-deselerasi
Terjadi pada kcelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan
kendaraan yang berjalan
d. Coup-counter coup
Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang
intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan
yang terbentur dan area yang pertama terbentur
e. Rotasional

2
Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan neuron yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak

3. Tanda dan gejala


Menurut Mansjoer (2008) tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala
dapat diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang dikelompokkan menjadi tiga
yaitu :
a. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15
Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak kehilangan kesadaran,
tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri
kepala dan pusing, klien dapat menderita laserasi, dan hematoma kulit kepala.
b. Cidera kepala sedang dengan nilai GCS = 9-13
klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah, namun tidak
memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang diberikan, amnesia
pasca trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle,
mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal), dan
kejang.
c. Cidera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8.
Penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cidera kepala
penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium, kehilangan kesadaran lebih dari
24 jam, disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania dan edema
serebral. Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya
pembuluh darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).

4. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2
proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.Cedera otak
primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
trauma dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan
lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi
stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu

3
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan
trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh
sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan
sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala
terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat
menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan
karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus-
menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai
tulang kepala akan menyebabkanrobekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera
kepala intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan
jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama
motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.

5. Penatalaksanaan
a. Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
1) Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi
suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
2) Berikan O2 dan monitor
3) Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak kurang
dari 90 mmHg.
4) Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
5) Stop makanan dan minuman
6) Imobilisasi
7) Kirim kerumah sakit.

b. Perawatan di bagian Emergensi


1) Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.

4
2) Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat-obatan
sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan
sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi
bila diperlukan.
3) Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan
posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan untuk
menambah drainase vena.
4) Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai
90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya
peningkatan tekanan intra kranial.
5) Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila
sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
(ICP).
6) Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena
phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan
onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan kejang
sebelumnya.

c. Terapi obat-obatan:
1) Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan
intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak dianjurkan,
karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol dapat digunakan
untuk mengurangi tekanan intrakranial dan memperbaiki sirkulasi darah.
Phenitoin digunakan sebagai obat propilaksis untuk kejang – kejang pada
awal post trauma. Pada beberapa pasien diperlukan terapi cairan yang cukup
adekuat yaitu pada keadaan tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH 2O, dapat
digunakan norephinephrin untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya
diatas 90 mmHg.
2) Diuretik Osmotik
Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv.
Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru,
dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung yang
progresiv.

5
Fungsi : Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan  tekanan
intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi darah
otak dan kebutuhan oksigen. 
3) Antiepilepsi
Misalnya Phenitoin :  Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh berlebihan
dari 50 (Dilantin) mg/menit.
Kontraindikasi; pada penderita hipersensitif, pada penyakit dengan blok
sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes.Fungsi  : Untuk
mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma.

d. Terapi yang perlu diperhatikan


a. Airway dan Breathing
Perhatikan adanya apneu. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen
100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat
terhadap FiO2.Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi
asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil
yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
b. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada cedera otak sedang. Hipotensi merupakan petunjuk adanya
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi
hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan
darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang
sementara penyebab hipotensi dicari.
c. Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dinilai sebagai
data akurat, karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon
terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan
darahnya normal. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan
reflek cahaya pupil. GCS diukur untuk menilai respon pasien yang
menunjukkan tingkat kesadaran pasien. GCS didapat dengan berinteraksi
dengan pasien, secara verbal atau dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku
atau anterior ketiak. Pada pasien dengan cedera otak sedang perlu dilakukan
pemeriksaan GCS setiap setengah jam sekali idealnya. Untuk mendapatkan
keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara kwantitatif (yang

6
sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis,
somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak
seragam antara satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka
dilakukan pemeriksaan dengan skala kesadaran secara glasgow, ada 3
macam indikator yang diperiksa yaitu reaksi membuka mata, reaksi verbal,
reaksi motorik.
Glasgow Coma Scale Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

6. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Adapun pemeriksaan laboratorium darah yang berguna pada kasus cedera
kepala yaitu :
a) Hemoglobin sebagai salah satu fungsi adanya perdarahan yang berat
b) Leukositosis untuk salah satu indikator berat ringannya cedera
kepala yang terjadi.
c) Golongan Darah persiapan bila diperlukan transfusi darah pada
kasus perdarahan yang berat.

7
d) GDS memonitor agar jangan sampai terjadi hipoglikemia maupun
hiperglikemia.
e) Fungsi Ginjal memeriksa fungsi ginjal, pemberian manitol tidak
boleh dilakukan pada fungsi ginjal yang tidak baik.
f) Analisa Gas Darah PCO2 yang tinggi dan PO2 yang rendah akan
memberikan prognosis yang kurang baik, oleh karenanya perlu
dikontrol PO2 tetap > 90 mmHg, SaO2 > 95 % dan PCO2 30-50
mmHg. Atau mengetahui adanya masalah ventilasi perfusi atau
oksigenisasi yang dapat meningkatkan TIK.
g) Elektrolit adanya gangguan elektrolit menyebabkan penurunan
kesadaran.
h) Toksikologi mendeteksi obat yang mungkin menimbulkan
penurunan kesadaran.

2) Pemeriksaan Radiologi
a) CT Scan adanya nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran,
mengidentifikasi adanya hemoragi, pergeseran jaringan otak.
b) Angiografi Serebral menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti
pergeseran cairan otak akibat oedema, perdarahan, trauma.
c) EEG (Electro Encephalografi) memperlihatkan keberadaan/perkembangan
gelombang patologis.
d) MRI (Magnetic Resonance Imaging) mengidentifikasi perfusi jaringan
otak, misalnya daerah infark, hemoragik.
e) Sinar X mendeteksi adanya perubahan struktur tulang tengkorak.
f) Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG) untuk menentukan apakah
pasien trauma kepala sudah pulih daya ingatnya.

8
B. Pathway COB

Trauma kepala

Terputusnya kontinuitas Kerusakan sel


Risiko otak
jaringan tulang, jaringan kulit, Gangguan
infeksi
otot, dan laserasi pembuluh suplai darah
darah Meningkatkan
Perubahan sirkulasi cairan Iskemia rangsangan
serebrospinal Nyeri
akut simpatis
Cairan serebrospinal di lapisan
Hipoksia
subdural Meningkatkan
Subdural hygroma tahanan vaskuler
Ketidakefektifan
sistemik dan
Edema serebri perfusi jaringan
tekanan darah
Mual otak
Peningkatan TIK muntah Menurunkan
tekanan
Risiko pembuluh darah
Mesensefalon pulmonal
tertekan kekurangan
volume cairan
Peningkatan
Pandangan
Gangguan kabur tekanan
kesadaran Penurunan hidrostatik
fungsi
Kebocoran cairan
Imobilisasi kapiler
Risiko cidera

Penumpukan Oedem paru


sekret Risiko Defisit
gangguan perawatan
integritas kulit diri Difusi O2
terhambat
Ketidakfektifan
bersihan jalan Ketidakefektifan
nafas pola nafas

BAB 2. ASUHAN KEPERAWATAN

9
a) Data yang perlu dikaji
a. Identitas Klien: untuk mengkaji status klien (nama, umur, jenis
kelamin, agama, pendidikan, alamat, pekerjaan, status perkawinan)
b. Riwayat kesehatan: diagnosa medis, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang
pernah dialami, alergi, imunisasi, kebiasaan/pola hidup, obat-obatan
yang digunakan, riwayat penyakit keluarga
c. Genogram
d. Pengkajian Keperawatan (11 pola Gordon)
e. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum, tanda vital
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala,
mata, telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital,
ekstremitas, kulit dan kuku, dan keadaan lokal.
Perlu dilakukan pengkajian yang lebih menyeluruh dan mendalam
dari berbagai aspekuntuk mengetahui permasalahan yang ada pada
klien dengan cidera otak berat dan trauma pada abdomen, sehingga
dapat ditemukan masalah-masalah yang ada pada klien. Prinsip
umum yang dapat dilakukan untuk mengkaji permasalahan pada
pasien yaitu dengan B6:
a. Breathing : Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan
gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola
napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa
Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor,
ronkhi, wheezing (kemungkinankarena aspirasi), cenderung
terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. Trauma
tumpul pada abdomen dapat menimbulkan munculnya
pembengkakan organ intraabdomen sehingga terjadi kompresi
diafragma yang dapat menimbulkan frekuensi pernapasan
meningkat.
b. Blood:Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan
darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan
meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung
yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan

10
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi
dengan bradikardia, disritmia). Kerusakan jaringan vaskuler
pada abdomen dapat menyebabkan terjadinya perdarahan masif
sehingga terjadi potensial komplikasi perdarahan
intraabdomen.
c. Brain :Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk
manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala.
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada
ekstrimitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan
terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
1. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah
laku dan memori)
2. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia
3. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi
pada mata.
4. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada
nervus vagusmenyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah
jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan
menelan.
7. Pemeriksaan GCS

11
8. Pengkajian saraf kranial :

d. Bladder : Pada cidera kepala dan abdomen sering terjadi


gangguan berupa retensi, inkontinensia urin, ketidakmampuan
menahan miksi.
e. Bowel : Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus
lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan
mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan
terganggunya proses eliminasi alvi.
f. Bone :Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan
parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi
kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas
atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi
karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak
dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi
penurunan tonus otot.
f. Terapi, pemeriksaan penunjang & laboratorium

12
1. Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan
aliran darah ke otak
b) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, kompresi diafragma, ekspansi paru tidak maksimal
c) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
akumulasi sekret
d) Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan kesadaran
dan mual muntah yang terus menerus
e) Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan, penekanan reseptor nyeri
f) Resiko infeksi berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan tulang, jaringan kulit, otot, dan laserasi pembuluh darah
g) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah yang
terus menerus
h) Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan
kesadaran
i) Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
j) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
akumulasi sekret pada jalan napas
k) Resiko kerusakan integritas kulit berhubuingan dengan imobilisasi
dalam waktu yang lama
l) Nausea berhubungan dengan distress pada lambung

13
Perencanaan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


1 Gangguan perfusi NOC: Tissue Perfusion: NIC: 1. Mengetahui status sirkulasi
jaringan serebral Cerebral Circulatory Precaution perifer dan adanya kondisi
abnormal pada tubuh
berhubungan dengan Kriteria hasil: 1. Kaji sirkulasi perifer secara
penurunan aliran 1. menunjukkan perfusi komprehensif (nadi perifer, edema,
CRT, warna, dan suhu ekstremitas) 2. Mengetahui adanya perubahan
darah ke otak jaringan membaik TD dalam
2. Kaji kondisi ekstremitas meliputi akibat gangguan sirkulasi
batas normal, tidak ada
kemerahan, nyeri, atau perifer
keluhan sakit kepala.
pembengkakan 3. Menghindari cedera untuk
2. Tanda-tanda vital stabil
3. Hindarkan cedera pada area meminimalkan luka
3. Tidak menunjukkan adanya
dengan perfusi yang minimal 4. Posisi trendelenberg akan
gangguan perfusi meliputi
4. Hindarkan klien dari posisi meningkatkan TIK sehingga
disorientasi, kebingungan,
trendelenberg yang meningkatkan memperparah kondisi klien
maupun nyeri kepala
TIK 5. Mengurangi penekanan agar
5. Hindarkan adanya penekanan pada perfusi tidak terganggu
area cedera 6. Obat-obatan untuk
6. Pertahankan cairan dan obat- meningkatkan sattus perfusi
obatan sesuai program 7. Mengurangi kecemasan
7. Health education tentang keadaan keluarga
dan kondisi pasien kepada keluarga 8. Membantu mempercepat
8. Kolaborasi pemberian terapi kesembuhan klien
medikamentosa

14
2 Pola napas tidak Respiratory status : Ventilation Respiratory monitoring
efektif berhubungan Status sistem pernapasan : 1. Monitor kecepatan, frekuensi, 1. Mengetahui kondisi pernapasan
dengan kerusakan ventilasi kedalaman dan kekuataan ketika pasien
pasien bernapas 2. Mengetahui keadaaan paru dan
neuromuskuler Pola napas pasien adekuat
2. Monitor hasil pemeriksaan jantung pasien
ditandai dengan: rontgen dada 3. Mengetahui suara napas pasien
1. Pasien bernapas tanpa 3. Monitor suara napas pasien 4. Mengetahui kondisi pasien
kesulitan 4. Kaji dan pantau adanya perubahan untuk menentukan intervensi
2. Menunjukkan perbaikan dalam pernapasan selanjutnya sesuai indikasi
pernapasan 5. Monitor sekret yang dikeluarkan 5. Untuk memantau kondisi
3. Paru-paru bersih pada oleh pasien pasien (suara napas pasien)
pemeriksaan auskultasi 6. Health education tentang keadaan untuk menentukan intervensi
4. Kadar PO2 dan PCO2 dan kondisi pasien kepada sesuai indikasi
dalam batas normal keluarga 6. Mengurangi kecemasan
7. Kolaborasi pemberian terapi keluarga
medikamentosa 7. Membantu penyembuhan klien
3 Ketidakefektifan NOC : NIC :
bersihan jalan napas 1. Respiratory status : Airway suction
berhubungan dengan Ventilation 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal 1. Menjaga kebersihan oral
2. Respiratory status : Airway suctioning mencegah penumpukan sputum
akumulasi sekret
patency 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan 2. Mengetahui ada tidaknya
3. Aspiration Control sesudah suctioning. sputum
Kriteria Hasil : 3. Informasikan pada klien dan 3. Informed consent tindakan

15
1. Mendemonstrasikan batuk keluarga tentang suctioning 4. Menampung O2 sebagai
efektif dan suara nafas yang 4. Minta klien nafas dalam sebelum cadangan
bersih, tidak ada sianosis dan suction dilakukan. 5. O2 masih ada untuk pernapasan
dyspneu (mampu 5. Berikan O2 dengan menggunakan 6. Mencegah infeksi
mengeluarkan sputum, nasal untuk memfasilitasi suksion 7. Memberikan waktu pasien
mampu bernafas dengan nasotrakeal untuk istirahat
mudah, tidak ada pursed 6. Gunakan alat yang steril setiap 8. Mengetahui status oksigen
lips) melakukan tindakan pasien
2. Menunjukkan jalan nafas 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan 9. Mencegah hipoksia yang
yang paten (klien tidak napas dalam setelah kateter berlebihan
merasa tercekik, irama nafas, dikeluarkan dari nasotrakeal
frekuensi pernafasan dalam 8. Monitor status oksigen pasien
rentang normal, tidak ada 9. Hentikan suction dan berikan
suara nafas abnormal) oksigen apabila pasien
3. Mampu mengidentifikasikan menunjukkan bradikardi,
dan mencegah factor yang peningkatan saturasi O2, dll.
dapat menghambat Airway Management
jalannafas 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik
chin lift atau jaw thrust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk 1. Membuat jalan napas paten
memaksimalkan ventilasi 2. Memposisikan yang nyaman
3. Identifikasi pasien perlunya untuk ventilasi
pemasangan alat jalan nafas buatan 3. Mengetahui status respirasi
4. Pasang mayo bila perlu pasien adekuat atau tidak

16
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu 4. Membantu jalan napas supaya
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau paten
suction 5. Membantu mengeluarkan
7. Auskultasi suara nafas, catat sputum
adanya suara tambahan 6. Mencegah penumpukan sputum
8. Lakukan suction pada mayo didalam paru
9. Berikan bronkodilator bila perlu 7. Mengetahui adanya suara
10. Berikan pelembab udara kassa tambahan
basah NaCl lembab 8. Mencegah jalan napas tidak
11. Atur intake untuk cairan buntu
mengoptimalkan keseimbangan. 9. Vasodilatasi paru
12. Monitor respirasi dan status O2 10. Mencegah gesekan yang
berlebihan
11. Menjaga balance cairan
12. Mengetahui status oksigen
pasien
4 Ketidakseimbangan NOC : NIC :
pemenuhan 1. Nutritional Status : Food Nutrition Management
kebutuhan nutrisi and Fluid Intake 1. Pasang pipa lambung sesuai 1. Memenuhi kebuthan nutrisi
Kriteria Hasil : indikasi, periksa posisi pipa pasien
kurang dari
1. Adanya peningkatan berat lambung setiap akan memberikan 2. Untuk mencegah terjadinya
kebutuhan tubuh
badan sesuai dengan tujuan makanan regurgitasi dan aspirasi
berhubungan dengan 2. Berat badan ideal sesuai 2. Tinggikan bagian kepala tempat 3. Mengetahui jumlah intake
penurunan kesadaran dengan tinggi badan tidur setinggi 30 derajat harian pasien

17
3. Mampu mengidentifikasi 3. Catat makanan yang masuk 4. Mengetahui adanya tidaknya
kebutuhan nutrisi 4. Kaji cairan gaster, muntahan perdarahan gastrointestinal
4. Tidak ada tanda tanda 5. Health education tentang diet 5. Meningkatkan pengetahuan
malnutrisi dengan keluarga keluarga
5. Tidak terjadi penurunan 6. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam 6. Memenuhi kebutuhan nutrisi
berat badan yang berarti pemberian diet yang sesuai dengan harian pasien
kondisi pasien
5 Nyeri akut NOC : NIC : a. Membantu dalam menentukan
berhubungan dengan - Pain level Pain Management status nyeri pasien dan menjadi
- Pain control data dasar untuk intervensi dan
terputusnya a. Kaji karakteristik pasien secara
- Comfort level monitoring keberhasilan
kontinuitas jaringan PQRST
Kriteria hasil: intervensi
b. Lakukan manajemen nyeri sesuai
b. Meningkatkan rasa nyaman
a. Mampu mengontrol nyeri skala nyeri misalnya pengaturan
dengan mengurangi sensasi
(tahu penyebab nyeri, posisi fisiologis
tekan pada area yang sakit
mampu menggunakan teknik c. Ajarkan teknik relaksasi seperti
c. Hipoksemia lokal dapat
nonfarmakologi untuk nafas dalam dan distraksi pada saat
menyebabkan rasa nyeri dan
mengurangi nyeri) rasa nyeri datang (jika pasien sadar
peningkatan suplai oksigen
b. Melaporkan bahwa nyeri dan kooperatif)
pada area nyeri dapat
berkurang dengan d. Beri manajemen sentuhan berupa
membantu menurunkan rasa
menggunakan manajemen pemijatan ringat pada area sekitar
nyeri
nyeri nyeri
d. Meningkatkan respon aliran
c. Mampu mengenali nyeri e. Kolaborasi dengan pemberian
darah pada area nyeri dan
(skala, intensitas, frekuensi analgesik secara periodik
merupakan salah satu metode
dan tanda nyeri)
pengalihan perhatian

18
d. Menyatakan rasa nyaman e. Mempertahankan kadar obat
setelah nyeri berkurang dan menghindari puncak
periode nyeri

19
20
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M., et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth
Edition. Mosby Elsevier.
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI.
Moorhead, Sue., et al. Tanpa tahun. Nursing Outcomes Classification (NOC).
Mosby Elsevier.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
NANDA. 2012. Nursing Diagnosis Definitions and Classification. Wiley-
Blackwell.
Price, Sylvia Anderson, dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume II. Edisi VI. Jakarta: EGC.

21

Anda mungkin juga menyukai