Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA

1.1 Definisi Cedera kepala

Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala,


tengkorak, dan otak. Cedera kepala menjadi penyebab utama kematian
disabilitas pada usia muda. Penderita cedera kepala seringkali mengalami
edema serebri yaitu akumulasi kelebihan cairan di intraseluler atau
ekstraseluler ruang otak atau perdarahan intrakranial yang mengakibatkan
meningkatnya tekanan intrakranial. (Morton, 2012).
Cedera kepala adalah trauma kepala dengan GCS 15 (sadar penuh
tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing, nyeri kepala hematoma
abrasi dan laserasi (Mansjoer, 2009). Menurut Brain Injury Assosiation of
America. Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
1.2 Etiologi
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi,
akselerasi deselerasi, coup – counter cop dan cedera rotasional.
1. Cedera akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak.
2. Cedera deselerasi
Terjadi jika kepala membentur objek yang diam.
3. Cedera akseles\rasi – deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan
episode kekersan fisik.
4. Cedera coup – counter cop
Terjadi jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam
ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang
berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur.
5. Cedera rational
Terjadi jika pukulan atau benturan yang menyebabkan otak berputar
dalam rongga tengkorak yang mengakibatkan peregangan atau
robeknya neuron dalam substanasi alba serta robeknya pembu,uh
darah yang memfiksasi otak bagian dalam rongga tengkorak.
1.3 Klasifikasi
Klasifikasi Cedera Kepala dan Penilaian cedera kepala dapat
dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). (Tim Pusbankes, 2018)
1. Berdasarkan keparahan cedera :
a. Cedera Kepala Ringan (CKR)
a) Tidak ada fraktur tengkorak
b) Tidak ada kontusio serebri, hematom
c) GCS 13-15
d) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
a) Kehilangan kesadaran >30 menit, <24jam
b) Muntah
c) GCS 9-12
d) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
a) GCS 3-8
b) Hilang kesadaran >24 jam
c) Adanya kontusio serebri, laserasi/hematom intrakranial
Tabel GCS
Mata – Eye (E) Suara – Verbal (V) Gerak – Motorik (M)
4. Spontan membuka mata 5. Orientasi baik 6. Mengikuti perintah
3. Membuka mata saat 4. Bingung, bicara kacau, 5. Melokalisir nyeri
diajak bicara/sentuhan disorientasi tempat dan (menjangkau dan
2. Membuka mata saat waktu menstimulus saat diberi
diberi rangsangan nyeri 3. Bisa berkata-kata tapi rangsangan nyeri)
1. Tidak ada respon tidak bisa membentuk 4. Menghindar/ menarik
kalimat ekstemitas atau tubuh
2. Hanya mengerang menjauhi stimulus saat
1. Tidak ada respon diberi rangsangan nyeri
3. Menjauhi rangsangan nyeri
2. Ekstensi spontan lengan,
adduksi, endorotasi bahu,
pronasi lengan bawah
1. Tidak ada respon
1.4 Patofisiologi
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut (yang
membuat kita seperti adanya) akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Cedera memegang peranan yang sangat besar
dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu
trauma kepala. Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam
rongga kepala. Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian
dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu
sendiri. Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis
keadaan, yaitu :
a. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak
b. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan
c. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang
lain dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet). Terjadinya
lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala
diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi
tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak.
1.5 Pathway

Terlampir

1.6 Manifestasi Klinis


Menurut Mansjoer (2008) tanda dan gejala dan beratnya cidera
kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang
dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
a. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15
Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak
kehilangan kesadaran, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat
terlarang, klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, klien
dapat menderita laserasi, dan hematoma kulit kepala.
b. Cidera kepala sedang dengan nilai GCS = 9-13
Klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah,
namun tidak memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang
diberikan, amnesia pasca trauma, muntah, tanda kemungkinan
fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea
atau rinorea cairan serebro spinal), dan kejang.
c. Cidera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8
Penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologis
fokal, cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium,
kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam, disertai kontusio cerebral,
laserasi, hematoma intrakrania dan edema serebral. Perdarahan
intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya pembuluh darah
pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi
benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).
1.7 Pemeriksaan Penunjang
1. CT – scan dan rontgen mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Angiografi serebral menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X – Ray mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis.
4. Elektrolit untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan intrkranial.
1.8 Diagnosa Banding
1. Gangguan struktural intra cerebral
a) Cerebral Vascular Accident (stroke)
b) Cerebral Vein Thrombosis
c) Hydrocephalus
d) Intracranial tumor
e) Subdural empyema
f) Trauma (intracranial haemorrhage, diffuse cerebral, edema
cerebri)
2. Gangguan medis non-struktural (Toxic-Infectious-Metabolic)
a) Anoxia
b) Diabetic ketoacidosis
c) Electrolyte abnormality
d) Encephalopathy
e) Hypoglycaemia
f) Hypothermia or hyperthermia
g) Infection
h) Meningitis and encephalitis
i) Psychogenic
j) Postictal state
k) Toxins
l) Uremia (haemolytic-uremic-syndrome)

1.9 Penatalaksanaan
a. Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
1) Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan
terapi suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan
darah.
2) Berikan O2 dan monitor
3) Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik
tidak kurang dari 90 mmHg.
4) Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
5) Stop makanan dan minuman
6) Imobilisasi
7) Kirim kerumah sakit.
b. Perawatan di bagian Emergensi
1) Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.

2) Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan


obat-obatan sedative misalnya etomidate serta blok
neuromuskuler. Intubasi digunakan sebagai fasilitas untuk
oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi bila
diperlukan. Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal
dinyatakan aman atau gunakan posis trendelenburg untuk
mengurangi tekanan intra kranial dan untuk menambah drainase
vena.
3) Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik
turun sampai 90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan
akibat adanya peningkatan tekanan intra kranial.
4) Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30
mmHg apabila sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial (ICP).
5) Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma,
karena phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan
pada kejang dengan onset lama atau keadaan kejang yang
berkembang dari kelainan kejang sebelumnya.
1.10 Komplikasi
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan
hematoma intracranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak.
a) Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan
TIK pada pasien yang mendapat cedera kepala, puncak
pembengkakan yang terjadi kira-kira 72 jam setelah cedera.
TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk
membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan
otak diakibatkan trauma.
b) Defisit neurologic dan psikologic pasien cedera kepala dapat
mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia(tidak dapat
mencium bau-bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan
deficit neurologic seperti afasia, efek memori, dan kejang post
traumatic atau epilepsy
c) Komplikasi lain secara traumatic
1. Infeksi iskemik (pneumonia, SK, sepsis)
2. Infeksi bedah neurologi (infeksi, luka,
meningitis, ventikulitis

Komplikasi berdasarkan B6

1. Breathing : perubahan pola nafas akibat pendarahan yang


menekan saraf sistem pernafasan.

2. Blood : adanya pendarahan sehingga aliran darah ke otak


menurun

3. Brain : adanya penumpukan darah di otak sehingga penurunan


kesadaran sensori

4. Bladder : penurunan sirkulasi volume darak ke ginjal


menyebabkan penurunan produksi urine

5. Bowel : penurunan nafsu makan, mual, muntah


6. Bone : adanya fraktur tulang
1.11 Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Identitas klien seperti nama, usia, alamat, tempat tanggal
lahir merupakan langkah pertama untuk melakukan pengkajian
karena hal ini sangat penting untuk data sebagai rekam medik.
2. Keluhan utama saat masuk rumah sakit
Keluhan utama adalah keluhan yang membuat seseorang
datang ke tempat pelayanan kesehatan untuk mencari
pertolongan, misalnya demam, sesak nafas, nyeri pinggang, dll.
3. Riwayat alergi obat
Riwayat alergi obat itu sangat penting untuk dikaji karena
alergi obat itu sendiri suatu kondisi ketika tubuh menunjukkan
reaksi berlebihan usai mengonsumsi suatu obat.
Reaksi alergi yang muncul umumnya adalah kemerahan pada
kulit, timbulnya rasa gatal, bengkak di beberapa bagian kulit,
hingga sesak napas.
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit intinya adalah perjalanan penyakit itu
sangat penting bagi dokter dalam memberi penjelasan kepada
pasien mengenai penyakit yang di derita.
5. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat kesehatan keluarga adalah catatan informasi
kesehatan seseorang dan kerabat dekatnya.
6. Pengkajian pola aktivitas
a. Pola makan / cairan : mual, muntah, gangguan pencernaan/
menelan makanan, jadi bising usus
b. Eliminasi : perubahan pada BAK/BAB (inkontinensia,
obstipasi, hematuri)
c. Istirahat : kelemahan, mobilisasi, kelelahan, tidur kurang
d. Psikologis : gangguan emosi/ apatis, delirium
e. Sosial : hubungan dengan orang terdekat
f. Nyeri/ kenyamanan : sakit kepala, gelisah
7. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala tanda-tanda mikro atau makrosepali,
adakah dispersi bentuk kepala, apakah tanda-tanda kenaikan
tekanan intrakranial, adakah hematoma atau edema, adakah luka
robek, fraktur, perdarahan dari kepala, keadaan rambut, adakah
pembesaran pada leher, telinga bagian luar dan membran
timpani, cedera jaringan lunak periorbital.
b. Sistem integument
Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit, warna kebiruan menunjukkan
adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, bibir, dan
mebran mukosa). Pucat pada wajah dan membrane mukosa
dapat berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin atau
syok. Pucat dan sianosis pada klien yang menggunakan
ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Warna
kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya demam, dan
infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan decubitus.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensori atau paralise/hemiplegi, mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
c. Sistem pernafasan\
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun
frekuensi, nafas bunyi ronchi. Adakah sesak nafas, batuk,
sputum, nyeri dada. Pada pasien cedera kepala berat dapat
ditemukan adanya perubahan pola pernafasan, pola napas
abnormal, perubahan frekuensi napas, dispnea, penggunaan otot
bantu napas, pernafasan cuping hidung, penurunan kemampuan
batuk efektif, penumpukan sputum/secret berlebih di jalan
napas, adanya bunyi napas tambahan, bunyi napas menurun,
nilai gas darah arteri abnormal, PCO2 meningkat, PO2 menurun,
SaO2 menurun, sianosis, napas mengap-mengap, adanya
penggunaan ventilator, upaya napas dan bantuan ventilator tidak
sinkron.
d. Sistem kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah
meningkat, denyut nadi bradikardi kemudian takikardi. Perfusi
jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang,
hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
e. Sistem gastrointestinal
Didapatkan adanya kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dnegan peningkatan produksi asam lambung
sehinggan menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic
usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas. Pemeriksaan rongga mulut dengan
melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau
perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi.
Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan
kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi
abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada
paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus
selama kurang lebih 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat
terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang
endotrakeal dan nasotrakeal.
f. Sistem urinary
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan
karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah
urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi pada ginjal. Setelah cedera kepala, klien
mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi,
ketidakmampuan untuk menggunakan sistem perkemihan karena
kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol
sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama
periode ini, dilakukan katerisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
g. Sistem musculoskeletal
Kelemahan otot, deformasi
h. Sistem neurologis
Tingkat kesadaran/nilai GCS, reflek bicara, pupil,
orientasi waktu dan tempat, amnesia, vertigo, syncope, tinnitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan
pengecapan. Perubahan kesadaran sampai koma, perubahan
status mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan
memori.
i. Mengkaji skelet tubuh
Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang
yang abnormalakibat tumor tulang. Pemendekan ekstremitas,
amputasi dan bagian tubuh yangtidak dalam kesejajaran
anatomis. Angulasi abnormal pada tulang panjang atau gerakan
pada titik selain sendi biasanya menandakan adanya patah
tulang.
j. Mengkaji tulang belakang
1) Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang)
2) Kifosis (kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada)
3) Lordosis (membebek, kurvatura tulang belakang bagian
pinggangberlebihan)
k. Mengkaji system persendian
Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif,
deformitas, stabilitas, danadanya benjolan, adanya kekakuan
sendi
a) Mengkaji system otot
Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan
koordinasi, dan ukuran masing-masing otot. Lingkar
ekstremitas untuk mementau adanya edema atau
atropfi,nyeri otot.
b) Mengkaji cara berjalan
Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak
normal. Bila salah satuekstremitas lebihpendek dari
yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang
berhubungan dengan cara berjalan abnormal (mis.cara
berjalan spastichemiparesis - stroke, cara berjalan
selangkah- selangkah – penyakit lowermotor neuron,
cara berjalan bergetar – penyakit Parkinson).
c) Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer
Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang
lebih panas atau lebihdingin dari lainnya dan adanya
edema. Sirkulasi perifer dievaluasi denganmengkaji
denyut perifer, warna, suhu dan waktu pengisian
kapiler.
B. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d cedera kepala (D.0017)
b. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d jalan nafas buatan d.d gelisah
(D.0001)
c. Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial b.d tingkat kesadaran
menurun (D.0066)
d. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan,
penekanan reseptor nyeri (D.0077)
e. Resiko infeksi berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
tulang, jaringan kulit, otot, dan laserasi pembuluh darah (D.0142)
f. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran (D.0136)
g. Gangguan pertukaran gas b.d Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
(D.0003)
h. Pola napas tidak efektif b.d Gangguan neurologis (D.0005)
i. Gangguan persepsi sensori b.d Hipoksia serebral (D.0085)
k. Risiko defisit nutrisi b.d faktor psikologis (D.0032)
l. Gangguan eliminasi urine b.d ketidakmampuan mengakses toilet
(D.0040)
m. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot (D.0054)
1.12 Perencanaan

STANDAR DIAGNOSIS STANDAR LUARAN KEPERAWATAN STANDAR INTERVENSI KEPERAWATAN


KEPERAWATAN INDONESIA (SLKI) INDONESIA (SIKI)
INDONESIA (SDKI)

Resiko perfusi serebral tidak Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
efektif b.d cedera kepala 1x24 jam maka resiko perfusi jaringan serebral tidak (1. 06194)
(D.0017) efektif membaik dengan kriteri hasil : Observasi :
Perfusi Serebral (L. 02014)
• Identifikasi penyebab peningkatan TIK
INDIKATOR SA ST
Tekanan intrakranial 1 4 • Monitor tanda/gejala peningkatan TIK

Sakit kepala 1 4 • Monitor status pernapasan


gelisah 1 4
• Monitor intake dan output cairan
Keterangan :
Teraupetik :
1: menurun
• Minimalkan stimulus dengan menyediakan
2: cukup menurun
3: sedang lingkungan yang tenang
4: cukup meningkat • Pertahankan suhu tubuh normal
5: meningkat Kolaborasi :
• Pemberian sedasi dan anti konvulsan jika perlu

• Pemberian diuretic osmosis jika perlu


Bersihan jalan napas tidak Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama Manajemen Napas Buatan (1.01012)
efektif b.d jalan nafas buatan d.d 1x24 jam maka bersihan jalan nafas membaik
Observasi :
gelisah (D.0001) dengan kriteria hasil :
• Monitor posisi selang ETT, terutama setelah
Bersihan Jalan Napas (L.01001)
mengubah posisi
INDIKATOR SA ST
• Monitor tekanan balon ETT setiap 4-
Dispnea 1 4
8jam Terapeutik
Wheezing 1 4
• Kurangi tekanan balom secara periodik tiap shift
Sulit berbicara 1 4
• Cegah ETT terlipat atau kinking
Keterangan : • Ganti fiksasi ETT setiap 24 jam
1: menurun Kolaborasi
2: cukup menurun
3: sedang • Kolaborasi intubasi ulang jika terbentuk mucous
4: cukup meningkat plug yang tidak dapat dilakukan penghisapan.
5: meningkat
Penurunan Kapasitas Adaptif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
Intrakranial b.d tingkat 1x14 jam defisit nutrisi dapat teratasi. (1.06194)
kesadaran menurun (D.0066) Kriteria hasil : Observasi :
Kapasitas adaptif intra kranial (l.0604)
• Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis : lesi,
INDIKATOR SA ST gangguan metabolisme, edema serebral)
Sakit kepala 1 4
Gelisah 1 4 • Monitor status pernapasan
Terapeutik :
Keterangan :
• Minimalkan stimulus dengan menyediakan
1: menurun
lingkungan tenang
2: cukup menurun
3: sedang • Pertahankan suhu tubuh normal
4: cukup meningkat Kolaborasi :
5: meningkat
• Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu.
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arief. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media
Aesculaplus.
Satynegara, 2010. Ilmu Bedah Saraf. Edisi IV. Tangerang : Gramedia Pustaka
Utama.
Smeltzer Dan Bare. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume II
Edisi 8. Jakarta : EGC.
Tarwoto, 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persyarafan.

Jakarta : CV. Sagung Seto.

WHO. World Health Statistic, 2015 : World Health Organization; 2015.

Wahyudi, S. 2012. Faktor Resiko Yang Berhubungan Dengan Tingkat


Keperawatan Cidera Kepala. Diakses tanggal 3 Juli 2018.

Anda mungkin juga menyukai