CIDERA KEPALA
DESI PRATIWI
2011040068
D. Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi akibat
benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunderyaitu cedera yang terjadi
akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea /
hipotensi sistemik.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi (Hickey, 2003).
Menurut Tarwoto, dkk. (2007) cidera kepala dapat di sebabkan karena kecelakaan lalu
lintas, terjatuh, kecelakaan industri, kecelakaan olah raga, luka pada persalinan.
E. Klasifikasi/Jenis
Klasifikasi cedera kepala dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Berdasarkan Patologi
a. Cedera Kepala Primer
Cedera kepala primer merupakan cedera awal yang dapat menyebabkan
gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut, yang
menyebabkan kematian sel.
b. Cedera Kepala sekunder
Cedera kepala sekunder merupakan cedera yang terjadi setelah trauma sehingga
dapat menyebabkan kerusakan otak dan TIK yang tidak terkendali, seperti
respon fisiologis cedera otak, edema serebral, perubahan biokimia, perubahan
hemodinamik serebral, iskemia serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal
atau sistemik.
2. Berdasarkan jenis cedera
a. Cedera kepala terbuka
Cedera kepala terbuka adalah cedera yang menembus tengkorak dan jaringan
otak sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
diameter.
b. Cedera kepala tertutup
Cedera kepala tertutup merupakan cedera gegar otak ringan dengan cedera
serebral yang luas.
3. Berdasarkan Glasgown Coma Scale
a. Cedera Kepala Ringan (Minor), dengan ciri-ciri:
GCS 14-15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran dan amnesia <30 menit
Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusia serebral dan hematoma
b. Cedera Kepala Sedang, dengan ciri-ciri:
GCS 9-13
Kehilangan kesadaran dan dan amnesia >30 menit namun tidak lebih dari
24 jam
Dapat mengalami fraktur tengkorak, contusia serebral, laserasia dan
hematoma intrakranial
c. Cedera Kepala Berat, dengan ciri-ciri:
GCS 3-8
Kehilangan kesadaran, amnesia lebih dari 24 jam
Mengalami kontusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranial
F. Komplikasi
Menurut Tarwoto, dkk.(2007), Komplikasi yang mungkin terjadi pada cidera kepala
diantaranya:
1. Defisit neurologik
2. Kejang
3. Pneumonia
4. Perdarahan
5. Perdarahan gastrointestinal
6. Disritmia jantung
7. Syndrom of inappropriate secretion of antidiuretuc hormone (SIADH)
8. Hidrocepalus
9. Kerusakan kontrol respirasi
10. Inkontinensia bladder dan bowel
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan:
1. Primary survey
a. Jalan nafas (airway)
1) Lihat, dengar, raba (Look, Listen, Feel)
2) Buka jalan nafas, yakinkan adekuat
3) Bebaskan jalan nafas dengan proteksi tulang cervical dengan menggunakan
teknik Head Tilt/Chin Lift/Jaw Trust, hati-hati pada korban trauma
4) Cross finger untuk mendeteksi sumbatan pada daerah mulut
5) Finger sweep untuk membersihkan sumbatan di daerah mulut
6) Suctioning bila perlu
b. Pernafasan (breathing)
Lihat, dengar, rasakan udara yang keluar dari hidung/mulut, apakah ada
pertukaran hawa panas yang adekuat, frekuensi nafas, kualitas nafas, keteraturan
nafas atau tidak
c. Perdarahan (circulation)
1) Lihat adanya perdarahan eksterna/interna
2) Hentikan perdarahan eksterna dengan Rest, Ice, Compress, Elevation
(istirahatkan lokasi luka, kompres es, tekan/bebat, tinggikan)
3) Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi : capillary refill time, nadi,
sianosis, pulsus arteri distal
4) Pemasangan infus dengan cairan Nacl 0,9% atau RL lebih efektif cairan
isotoner dalam mengganti volume intravaskuler dari pada cairan hipotonis
dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
d. Susunan Saraf Pusat (disability)
1) Cek kesadaran. Pada klien dengan koma (skor GCS <8) atau pada kllien
dengan tanda herniasi lakukan tindakan berikut:
1. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mardatorik intermiten dengan kecepatan
16 -20x /mnt dengan volume tidal 10 – 12ml /kg BB.
2. Pemberian manitol 20% IV dalam 20 -30 menit. Dari ulangan dapat diberikan 4 -6 jam
sampai maksimal 48 jam.
3. Konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi (hematoma epidural besar, hematoma
subdural, cedera kepala terbuka dan fraktur impresi).
2) Adakah cedera kepala?
3) Adakah cedera leher dan tulang belakang? Jika iya, pasang neck collar.
e. Kontrol Lingkungan (Exposure/ environmental )
Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah
hipotermi/kedinginan
H. Pemeriksaan Penunjang
I. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
1) Chin lift / jaw trust
2) Suction / hisap
3) Guedel airway
4) Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral.
b. Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang
sulit dan/atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi/aspirasi, whezzing, sonor,
stidor/ngorok, ekspansi dinding dada.
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa
pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau
atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara
yang cukup jelasa dan cepat adalah:
Awake :A
Respon bicara :V
Respon nyeri :P
Tidak ada respon :U
e. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang
mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka
imobilisasi in line harus dikerjakan.
2. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dapat
meggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post illnes, Last meal, dan Event/
Environment yang berhubungan dengan kejadian). Pemeriksaan fisik dimulai dari
kepala hingga kaki dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik. Pengkajian
sekunder dilakukan dengan menggunakan metode SAMPLE, yaitu sebagai berikut :
S : Sign and Symptom.
Tanda gejala terjadinya tension pneumothoraks, yaitu Ada jejas pada
thorak, Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi, Pembengkakan
lokal dan krepitasi pada saat palpasi, Pasien menahan dadanya dan bernafas
pendek, Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan, Penurunan tekanan
darah
A : Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi obat-
obatan ataupun kebutuhan akan makan/minum.
M : Medications
(Anticoagulants, insulin and cardiovascular medications especially).
Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai dengan keadaan
klien dan tidak menimbulka reaksi alergi. Pemberian obat dilakukan sesuai dengan
riwayat pengobatan klien.
P :Previous medical/surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.
L :Last meal (Time)
Waktu klien terakhir makan atau minum.
E :Events /Environment surrounding the injury; ie. Exactly what happened
Pengkajian sekunder dapat dilakukan dengan cara mengkaji data dasar klien yang
kemudian digolongkan dalam SAMPLE.
a. Aktivitas / istirahat
Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
b. Sirkulasi
Takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama jantung gallop,
nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda
homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan
udara dalam mediastinum).
c. Psikososial
Ketakutan, gelisah.
d. Makanan / cairan
Adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.
e. Nyeri / kenyamanan
Perilaku distraksi, mengerutkan wajah. Nyeri dada unilateral meningkat karena
batuk, timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan, tajam atau nyeri
menusuk yang diperberat oleh napas dalam.
f. Pernapasan
Pernapasan meningkat/takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan otot
aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas menurun/
hilang (auskultasi à mengindikasikan bahwa paru tidak mengembang dalam
rongga pleura), fremitus menurun, perkusi dada : hipersonor diatas terisi udara,
observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama bila trauma, kulit : pucat,
sianosis, berkeringat, mental: ansietas, gelisah, bingung, pingsan. Kesulitan
bernapas, batuk, riwayat bedah dada / trauma : penyakit paru kronis, inflamasi /
infeksi paru (empiema / efusi), keganasan (mis. Obstruksi tumor).
g. Keamanan
Adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.
Intervensi :
a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan
yang terjadi.
Rasional :
Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi
pilihan intervensi yang akan dilakukan.
b. Berikan/bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.
Rasional :
Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas dan
menurunkan terjadinya vena yang statis.
c. Instruksi/bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi.
Tingkatkan aktivitas dan dan partidipasi dalam merawat diri sendiri sesuai
kemampuan.
Rasional :
Proses penyembuhan yang lambat seringkali menyertai trauma kepala dan
pemulihan secara fisik merupakan bagian yang amat penting dari suatu program
pemulihan tersebut. Keterlibatan pasien dalam perencanaan dan kegiatan adalah
sangat penting untuk meningkatkan kerjasama pasien atau keberhasilan dari
suatu program tersebut.
d. Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab, dan ganti
linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan bebas
dari kerutan.
Rasional :
Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko terjadinya
ekskoriasi kulit.
e. Pantau saluran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan latihan
kandung kemih jika memungkinkan.
Rasional :
Pemakaian kateter Foley selama fase akut mungkin dibuuthkan untuk jangka
wakut yang panjang sebelum memungkinkan untuk melakukan latihan kandung
kemih.
f. Pantau pola eliminasi dan berikan/bantu untuk dapat melakukan defekasi secara
teratur.
Rasional :
Defekasi yang teratur merupakan kebutuhan yang sederhana tetapi merupakan
tindakan yang amat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi.
5. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan.
Tujuan dan kriteria hasil :
a. Mendemonstrasikan pemeliharaan atau kemajuan peningkatan berat badan sesuai
tujuan
b. Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam
rnatang normal.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyak, menelan, batuk, dan mengatasi
sekresi.
Rasional :
Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus
terlindungi dari aspirasi.
b. Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional :
Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
c. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, seperti tinggikan kepala
tempat tidur selama makan atau selama pemberian makan lewat lewat selang
NGT.
Rasional :
Menurunkan resiko reguritasi dan/atau terjadinya aspirasi.
d. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
Rasional :
Meningkarkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang
diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama apsien saat makan.
e. Kaji feses, cairan lambung, muntah darah dan sebagainya.
Rasional :
Perdarahan subakut/akut dapat terjadi (ulkus Cushing) dan perlu intervensi dan
metode alternative pemberian makan.
f. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
Rasional :
Meningkarkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang
diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama apsien saat makan.
g. Kaji feses, cairan lambung, muntah darah dan sebagainya
Rasional :
Perdarahan subakut/akut dapat terjadi (ulkus Cushing) dan perlu intervensi dan
metode alternative pemberian makan.
h. Kolaborasi : Konsultasi dengan ahli gizi
Rasional :
Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi
tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang
(trauma, penyakit jantung/masalah metabolisme).
DAFTAR PUSTAKA
Cholik, Harun. (2009). Buku Ajar Keperawatan Cidera Kepala Dan Penyakit Stroke.
Yogyakarta : Ardina Madia
Hickey, V. J. (2003). The Clinical Practice Of Neurological andNeurosurgical Nursing,
4thEdition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Hudak dan Gallo.2013. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Edisi -VIII Jakarta:
EGC.
Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern. (2015). Buku Saku Diagnosis Keperawatan
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria hasil NOC Edisi 9. Alih Bahasa Ns.
Esti Wahuningsih, S.Kep dan Ns. Dwi Widiarti, S,Kep. EGC. Jakarta.
PERDOSSI. (2007). Pedoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia
Pierce A.G, Neil R.B., 2014. At A Glance Ilmu BedahEd.3. Surabaya. Airlangga University
Press.
Riyadina, W, Suhardi, Permana M. 2011. Pola Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat
Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia. Maj Kedokt Indon, 59 (10): pp. 464–472.
Sjahrir, Hasan. 2012. Nyeri Kepala dan Vertigo. Jogjakarta: Pustaka Cendekia Press
Tarwoto, Wartona, dkk. (2007). KeperawatanMedical Bedah Gangguan SystemPersarafan
Edisi1.Jakarta: CV. Sagung Seto.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
WHO. World Health Statistics 2015: World Health Organization; 2015.