Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA KEPALA

DESI PRATIWI

2011040068

PROGAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2020
A. Pengertian Cidera Kepala
Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce dan Neil, 2014).
Cedera kepala adalah satu di antara kebanyakan bahaya yang menimbulkan kematian
dan kecacatan pada manusia (Cholik Harun,dkk.2009).
Cedera kepala adalah suatu traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa di
sertai perdarahan intertisial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontuniutas
otak. Cedera kepala (cedera kraniocerebral) merupakan salah satu penyebab utama
kecacatan dan kematian (Tarwoto,dkk.2007)
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa perdarahan interstitial dalam subtansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontiunitas otak (Hudak, dkk.2013).
Cidera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak cranial serebri,
contusio (memar) dan perdarahan serebral (subarakhanial), subdural, epidural,
intraserebral(batang otak). Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak
langsung (akselerasi atau deselarasi otak) (Hudak,dkk. 2013).
B. Patofisiologi
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan contrecoup. Lesi
coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi di daerah yang letaknya berlawanan dengan
lokasi benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi akibat kepala bergerak dan berhenti
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak dan
otak menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (PERDOSSI, 2007).
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain. Kekuatan rotasional
dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti dan tidak perlu
adanya cederacoup dan contrecoup yang jelas. Hal ini menimbulkan regangan pada
akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi. Perubahan-
perubahan tersebut diatas dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury.
C. Pathway Cidera Kepala

D. Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi akibat
benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunderyaitu cedera yang terjadi
akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea /
hipotensi sistemik.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi (Hickey, 2003).
Menurut Tarwoto, dkk. (2007) cidera kepala dapat di sebabkan karena kecelakaan lalu
lintas, terjatuh, kecelakaan industri, kecelakaan olah raga, luka pada persalinan.
E. Klasifikasi/Jenis
Klasifikasi cedera kepala dibedakan menjadi 2, yaitu:

1. Berdasarkan Patologi
a. Cedera Kepala Primer
Cedera kepala primer merupakan cedera awal yang dapat menyebabkan
gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut, yang
menyebabkan kematian sel.
b. Cedera Kepala sekunder
Cedera kepala sekunder merupakan cedera yang terjadi setelah trauma sehingga
dapat menyebabkan kerusakan otak dan TIK yang tidak terkendali, seperti
respon fisiologis cedera otak, edema serebral, perubahan biokimia, perubahan
hemodinamik serebral, iskemia serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal
atau sistemik.
2. Berdasarkan jenis cedera
a. Cedera kepala terbuka
Cedera kepala terbuka adalah cedera yang menembus tengkorak dan jaringan
otak sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
diameter.
b. Cedera kepala tertutup
Cedera kepala tertutup merupakan cedera gegar otak ringan dengan cedera
serebral yang luas.
3. Berdasarkan Glasgown Coma Scale
a. Cedera Kepala Ringan (Minor), dengan ciri-ciri:
 GCS 14-15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran dan amnesia <30 menit
 Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusia serebral dan hematoma
b. Cedera Kepala Sedang, dengan ciri-ciri:
 GCS 9-13
 Kehilangan kesadaran dan dan amnesia >30 menit namun tidak lebih dari
24 jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak, contusia serebral, laserasia dan
hematoma intrakranial
c. Cedera Kepala Berat, dengan ciri-ciri:
 GCS 3-8
 Kehilangan kesadaran, amnesia lebih dari 24 jam
 Mengalami kontusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranial

F. Komplikasi
Menurut Tarwoto, dkk.(2007), Komplikasi yang mungkin terjadi pada cidera kepala
diantaranya:
1. Defisit neurologik
2. Kejang
3. Pneumonia
4. Perdarahan
5. Perdarahan gastrointestinal
6. Disritmia jantung
7. Syndrom of inappropriate secretion of antidiuretuc hormone (SIADH)
8. Hidrocepalus
9. Kerusakan kontrol respirasi
10. Inkontinensia bladder dan bowel

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan:
1. Primary survey
a. Jalan nafas (airway)
1) Lihat, dengar, raba (Look, Listen, Feel)
2) Buka jalan nafas, yakinkan adekuat
3) Bebaskan jalan nafas dengan proteksi tulang cervical dengan menggunakan
teknik Head Tilt/Chin Lift/Jaw Trust, hati-hati pada korban trauma
4) Cross finger untuk mendeteksi sumbatan pada daerah mulut
5) Finger sweep untuk membersihkan sumbatan di daerah mulut
6) Suctioning bila perlu
b. Pernafasan (breathing)
Lihat, dengar, rasakan udara yang keluar dari hidung/mulut, apakah ada
pertukaran hawa panas yang adekuat, frekuensi nafas, kualitas nafas, keteraturan
nafas atau tidak
c. Perdarahan (circulation)
1) Lihat adanya perdarahan eksterna/interna
2) Hentikan perdarahan eksterna dengan Rest, Ice, Compress, Elevation
(istirahatkan lokasi luka, kompres es, tekan/bebat, tinggikan)
3) Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi : capillary refill time, nadi,
sianosis, pulsus arteri distal
4) Pemasangan infus dengan cairan Nacl 0,9% atau RL lebih efektif cairan
isotoner dalam mengganti volume intravaskuler dari pada cairan hipotonis
dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
d. Susunan Saraf Pusat (disability)
1) Cek kesadaran. Pada klien dengan koma (skor GCS <8) atau pada kllien
dengan tanda herniasi lakukan tindakan berikut:
1. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mardatorik intermiten dengan kecepatan
16 -20x /mnt dengan volume tidal 10 – 12ml /kg BB.
2. Pemberian manitol 20% IV dalam 20 -30 menit. Dari ulangan dapat diberikan 4 -6 jam
sampai maksimal 48 jam.
3. Konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi (hematoma epidural besar, hematoma
subdural, cedera kepala terbuka dan fraktur impresi).
2) Adakah cedera kepala?
3) Adakah cedera leher dan tulang belakang? Jika iya, pasang neck collar.
e. Kontrol Lingkungan (Exposure/ environmental )
Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah
hipotermi/kedinginan

H. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto polos tengkorak (skull X-ray)


2. Angiografi serebral
3. Pemeriksaan MRI
4. CT scan: Indikasi muntah-muntah, penurunan GCS lebih dari 1 point, adanya
laterasi dan bradikardi (nadi<60x/menit), fraktur impresi dengan lateralisasi tidak
sesuai, tidak ada perubahan selama 3 hari perawatan dan luka tembus benda
tajam/peluru.
Pemeriksaan diagnostic:
1. Laboratorium
a. GDA untuk menentukan adanya masalah ventilasi atau oksigenasi dan
peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
b. Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan yang
memperberat peningkatan TIK, sedangkan peningkatan laju dari metabolisme
dan diaforesis dapat menyebabkan hipernatremia.
2. Pencitraan
a. CT scan diperlukan untuk mengidentifikasi adanya hematoma, hemoragi,
kontusia, fraktur tengkorak, pembengkakan atau pergeseran jaringan otak.
b. MRI untuk memeriksa defisit neurologis yang tidak terdeteksi oleh CT scan.
c. Prosedur Diagnostik
EEG diperlukan untuk mengidentifikasi adanya gelombang patologis.

I. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
1) Chin lift / jaw trust
2) Suction / hisap
3) Guedel airway
4) Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral.
b. Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang
sulit dan/atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi/aspirasi, whezzing, sonor,
stidor/ngorok, ekspansi dinding dada.
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa
pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau
atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara
yang cukup jelasa dan cepat adalah:
Awake :A
Respon bicara :V
Respon nyeri :P
Tidak ada respon :U
e. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang
mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka
imobilisasi in line harus dikerjakan.
2. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dapat
meggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post illnes, Last meal, dan Event/
Environment yang berhubungan dengan kejadian). Pemeriksaan fisik dimulai dari
kepala hingga kaki dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik. Pengkajian
sekunder dilakukan dengan menggunakan metode SAMPLE, yaitu sebagai berikut :
S : Sign and Symptom.
Tanda gejala terjadinya tension pneumothoraks, yaitu Ada jejas pada
thorak, Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi, Pembengkakan
lokal dan krepitasi pada saat palpasi, Pasien menahan dadanya dan bernafas
pendek, Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan, Penurunan tekanan
darah
A : Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi obat-
obatan ataupun kebutuhan akan makan/minum.
M : Medications
(Anticoagulants, insulin and cardiovascular medications especially).
Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai dengan keadaan
klien dan tidak menimbulka reaksi alergi. Pemberian obat dilakukan sesuai dengan
riwayat pengobatan klien.
P :Previous medical/surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.
L :Last meal (Time)
Waktu klien terakhir makan atau minum.
E :Events /Environment surrounding the injury; ie. Exactly what happened
Pengkajian sekunder dapat dilakukan dengan cara mengkaji data dasar klien yang
kemudian digolongkan dalam SAMPLE.
a. Aktivitas / istirahat
Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
b. Sirkulasi
Takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama jantung gallop,
nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda
homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan
udara dalam mediastinum).
c. Psikososial
Ketakutan, gelisah.
d. Makanan / cairan
Adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.
e. Nyeri / kenyamanan
Perilaku distraksi, mengerutkan wajah. Nyeri dada unilateral meningkat karena
batuk, timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan, tajam atau nyeri
menusuk yang diperberat oleh napas dalam.
f. Pernapasan
Pernapasan meningkat/takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan otot
aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas menurun/
hilang (auskultasi à mengindikasikan bahwa paru tidak mengembang dalam
rongga pleura), fremitus menurun, perkusi dada : hipersonor diatas terisi udara,
observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama bila trauma, kulit : pucat,
sianosis, berkeringat, mental: ansietas, gelisah, bingung, pingsan. Kesulitan
bernapas, batuk, riwayat bedah dada / trauma : penyakit paru kronis, inflamasi /
infeksi paru (empiema / efusi), keganasan (mis. Obstruksi tumor).
g. Keamanan
Adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.

J. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul (Menurut SDKI, Edisi 1)


1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.
2. Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra
kranial.
4. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.
5. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan.

K. Contoh Intervensi Keperawatan


1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.
Tujuan dan kriteria hasil :
a. Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi dan fungsi
motorik / sensori.
b. Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan
Intervensi :
a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau
menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan
TIK.
Rasional :
Menentukan pilihan intervensi. Penurunan tanda/gejala neurologis atau
kegagalan dalam pemilihannya setelah serangan awal mungkin menunjukkan
bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk memantau
tekanan TIK dan/atau pembedahan.
b. Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
(misalnya skala normal Glascow).
Rasional :
Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.
c. Pantau TD
Rasional :
Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada
saat ada fluktuasi tekanan darah sistemik.
d. Frekuensi jantung, catat adanya pradikardia, takikardia, atau bentuk disritmia
lainnya.
Rasional :
Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul
yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada batang otak pada pasien yang
tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
e. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajakan, kesamaan antara kiri dan kanan,
dan reaksinya terhadap cahaya.
Rasional :
Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial akulomotor (III) dan berguna untuk
menentukan apakah batang otak masih baik.UKuran/kesamaan ditentukan oleh
keseimbangan antara persarafan simatis dan parasimpatis. Respons terhadap
cahaya mencerminan fungsi yang terkombinasi dari saraf cranial optikus (II) dan
akulomotor (III).
f. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda,
lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
Rasional :
Gangguan penglihatan, yang dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada
otak, memunyai konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempengaruhi
pilihan intervensi.
g. Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah atau pada posisi netral, sokong
dengan gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Hindari pemakaian bantak besar
pada kepala.
Rasional :
Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan bena jugularis dan
menghambat aliran darah vena, yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.
h. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan, dan tingkah
laku yang tidak sesuai lainnya.
Rasional :
Petunjuk nonverbal ini mengidentifikasikan adanya peningkatan TIK atau
menandakan adanya nyeri ketika pasien tidak dapat mengungkapkan keluhannya
secara berbal. Nyeri yang tidak hilang dapat menjadi pemacu.
i. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasional :
Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningktkan vasodilatasi dan
volume darah derebral yang meningkatkan TIK.
2. Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
Tujuan dan criteria hasil :
a. Mempertahankan normotemia, bebas tanda-tanda infeksi.
b. Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
Intervensi :
a. Berikan perawatan aseptic dan antiseptic, pertahankan teknik cuci tangan yang
baik.
Rasional :
Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan),
daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infuse dan sebagainya), catat
karakteritrik dari drainase dan adanya inflamasi.
Rasional :
Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan
dengan cara dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
c. Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, menggigil diaforesis, dan
perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Rasional :
Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan
evaluasi atau tindakan dengan segera.
d. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang
mengalami infeksi saluran napas bagian atas.
Rasional :
Menurunkan pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”.
e. Kolaborasi : Berikan antibiotic sesuai indikasi
Rasional :
Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma
(perlukaan), kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.
3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra
kranial.
Tujuan dan kriteria hasil :
a. Melakukan kembali atau memperhatahankan tingkat kesadaran biasanya dan
fungsi persepsi.
b. Mengkaji perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residu.
c. Mendemonstrasikan perubahan perilaku atau gaya hidup untuk
mengkompensasi/defisit hasil.
Intervensi :
a. Evaluasi/pantau secara teratur prubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam
perasaan/afektif, sensorik, dan proses pikir.
Rasional :
Fungsi serbral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksogenasi.
b. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda
tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan
adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain.
c. Buat jadwal istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa ada gangguan Rasional :
Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan untuk
tidur REM (ketidakadaan tidur REM ini).
4. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.
Tujuan dan kriteria hasil :
a. Melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal, dibuktikan oleh tak
adanya kontraktuas, footdrop.
b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
sakit dan atau kompensasi.
c. Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang memungkinkan dilakukannya
kembali aktivitas.

Intervensi :
a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan
yang terjadi.
Rasional :
Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi
pilihan intervensi yang akan dilakukan.
b. Berikan/bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.
Rasional :
Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas dan
menurunkan terjadinya vena yang statis.
c. Instruksi/bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi.
Tingkatkan aktivitas dan dan partidipasi dalam merawat diri sendiri sesuai
kemampuan.
Rasional :
Proses penyembuhan yang lambat seringkali menyertai trauma kepala dan
pemulihan secara fisik merupakan bagian yang amat penting dari suatu program
pemulihan tersebut. Keterlibatan pasien dalam perencanaan dan kegiatan adalah
sangat penting untuk meningkatkan kerjasama pasien atau keberhasilan dari
suatu program tersebut.
d. Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab, dan ganti
linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan bebas
dari kerutan.
Rasional :
Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko terjadinya
ekskoriasi kulit.
e. Pantau saluran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan latihan
kandung kemih jika memungkinkan.
Rasional :
Pemakaian kateter Foley selama fase akut mungkin dibuuthkan untuk jangka
wakut yang panjang sebelum memungkinkan untuk melakukan latihan kandung
kemih.
f. Pantau pola eliminasi dan berikan/bantu untuk dapat melakukan defekasi secara
teratur.
Rasional :
Defekasi yang teratur merupakan kebutuhan yang sederhana tetapi merupakan
tindakan yang amat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi.
5. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan.
Tujuan dan kriteria hasil :
a. Mendemonstrasikan pemeliharaan atau kemajuan peningkatan berat badan sesuai
tujuan
b. Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam
rnatang normal.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyak, menelan, batuk, dan mengatasi
sekresi.
Rasional :
Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus
terlindungi dari aspirasi.
b. Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional :
Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
c. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, seperti tinggikan kepala
tempat tidur selama makan atau selama pemberian makan lewat lewat selang
NGT.
Rasional :
Menurunkan resiko reguritasi dan/atau terjadinya aspirasi.
d. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
Rasional :
Meningkarkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang
diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama apsien saat makan.
e. Kaji feses, cairan lambung, muntah darah dan sebagainya.
Rasional :
Perdarahan subakut/akut dapat terjadi (ulkus Cushing) dan perlu intervensi dan
metode alternative pemberian makan.
f. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
Rasional :
Meningkarkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang
diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama apsien saat makan.
g. Kaji feses, cairan lambung, muntah darah dan sebagainya
Rasional :
Perdarahan subakut/akut dapat terjadi (ulkus Cushing) dan perlu intervensi dan
metode alternative pemberian makan.
h. Kolaborasi : Konsultasi dengan ahli gizi
Rasional :
Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi
tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang
(trauma, penyakit jantung/masalah metabolisme).
DAFTAR PUSTAKA

Cholik, Harun. (2009). Buku Ajar Keperawatan Cidera Kepala Dan Penyakit Stroke.
Yogyakarta : Ardina Madia
Hickey, V. J. (2003). The Clinical Practice Of Neurological andNeurosurgical Nursing,
4thEdition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Hudak dan Gallo.2013. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Edisi -VIII Jakarta:
EGC.
Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern. (2015). Buku Saku Diagnosis Keperawatan
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria hasil NOC Edisi 9. Alih Bahasa Ns.
Esti Wahuningsih, S.Kep dan Ns. Dwi Widiarti, S,Kep. EGC. Jakarta.
PERDOSSI. (2007). Pedoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia
Pierce A.G, Neil R.B., 2014. At A Glance Ilmu BedahEd.3. Surabaya. Airlangga University
Press.
Riyadina, W, Suhardi, Permana M. 2011. Pola Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat
Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia. Maj Kedokt Indon, 59 (10): pp. 464–472.
Sjahrir, Hasan. 2012. Nyeri Kepala dan Vertigo. Jogjakarta: Pustaka Cendekia Press
Tarwoto, Wartona, dkk. (2007). KeperawatanMedical Bedah Gangguan SystemPersarafan
Edisi1.Jakarta: CV. Sagung Seto.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
WHO. World Health Statistics 2015: World Health Organization; 2015.

Anda mungkin juga menyukai