Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN

KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN


CEDERA KEPALA

OLEH
I GUSTI NGURAH AGUNG KUSUMA SEDANA
NIM. P07120319009
PROFESI NERS

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2020
LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN CEDERA KEPALA

A. KONSEP DASAR CEDERA KEPALA


1. Definsi Cedera Kepala
Menurut Sylvia & Price (2006), sedera kepala adalah kerusakan neurologi
yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung
maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi.
Selain itu, menurut Muttaqin (2008), cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial
dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi
disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala berat adalah cedera kepala dimana otak mengalami memar
dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi, pasien berada pada periode tidak
sadarkan diri (Smeltzer, S.C & Bare, B.C, 2002 : 2212). Cedera kepala berat
memiliki skala koma glasgow 3 – 8 atau dalam keadaan koma (Mansjoer, A,dkk,
2001 : 3)

2. Etiologi Cedera Kepala


Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
(Mansjoer, 2000:3). Penyebab cedera kepala antara lain kecelakaan lalu lintas,
perkelahian, terjatuh, dan cedera olah raga. Cedera kepala terbuka sering disebabkan
oleh peluru atau pisau (Corkrin, 2001:175).
Selain itu, penyebab dari cedera kepala antara lain :
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Jatuh
c. Trauma benda tumpul
d. Kecelakaan kerja
e. Kecelakaan rumah tangga
f. Kecelakaan olahraga
g. Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)
3. Manifestasi Klinis Cedera Kepala
Menurut Smeltzer & Bare (2002), tanda gejala dari cedera kepala antara lain :
a. Hilangnya tingkat kesadaran sementara
b. Hilangnya fungsi neurologi sementara
c. Sukar bangun
d. Sukar bicara
e. Konfusi
f. Sakit kepala berat
g. Muntah
h. Kelemahan pada salah satu sisi tubuh
Gambaran klinik dari cedera kepala berat adalah kehilangan kesadaran dan/
atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, kontusio serebral, laserasi, hematoma
intrakranial, dan skala koma glasgow 3 - 8 ( Hudak & Gallo, 1997: 226 ). Sedangkan
gejala lain yang lebih khas adalah pasien terbaring, kehilangan gerakan, denyut nadi
lemah, pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat, defekasi dan berkemih tanpa
disadari, tekanan darah dan suhu subnormal (Smeltzer, S.C & Bare, B.G, 2000)
Sementara itu, berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale), maka manifestasi
klinis dari cedera kepala antara lain :
a. Cedera kepala Ringan (CKR)
1) GCS 13 – 15
2) Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
3) Tidak ada fraktur tengkorak
4) Tidak ada kontusio celebral, hematoma
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
1) GCS 9-12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24 jam
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
1) GCS 3-8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
3) Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial
4. Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara
deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera
kepala.
a. Berdasarkan Mekanismenya Cedera Kepala
1) Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi atau
decelerasi yang menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial dan
melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.
2) Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan (IKABI, 2004).
b. Berdasarkan morfologi cedera kepala
Cedera kepala menurut Tandian (2011) dapat terjadi di area tulang tengkorak
yang meliputi :
1) Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit
kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin,
connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum
terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap
tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini.
Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar,
maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup
banyak.
2) Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi :
a) Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata
pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.
Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang
kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan
tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
b) Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg
tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis
fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum
menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi
pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum
epidural.
c) Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih
dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d) Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar
yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur
impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi
pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna
terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula
interna segmen tulang yang sehat.
e) Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada
durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii
berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur
fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan
struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis
krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis
melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga
bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter.
Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang
menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).
3) Cedera kepala di area intrakranial
a) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yaitu
ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter.
Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya
interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis
berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain
yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.
b) Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural
yang terjadi akut (3-6 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-
vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya
menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak di bawahnya
lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan
epidural.
c) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural
lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari
SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural
akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah
atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi
fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam
(korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran
tersebut akan diikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi
fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah
sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi
permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor di luar
membran masuk ke dalam membran sehingga cairan subdural bertambah
banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain
sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai
TIA (transient ischemic attack). Disamping itu dapat terjadi defisit
neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang.
d) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan
konfluen yang terdapat di dalam parenkim otak. Intra cerebral hematom
bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang
tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat
trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih
dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan
subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya
penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh
mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.
e) Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah
kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma
dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan
subarahnoit (PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan
pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas
akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan
iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
c. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000) dapat
diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi
1) Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 13 – 15
a) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
b) Tidak ada kehilangan kesadaran
c) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
d) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
2) Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 12
a) Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang diberikan
b) Amnesia pasca trauma
c) Muntah
d) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
e) Kejang
3) Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
a) Penurunan kesadaran sacara progresif
b) Tanda neorologis fokal
c) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium

5. Patofisiologi Cedera Kepala


Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan
otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi luasnya cedera
kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan dan kekuatan yang
datang, permukaan dari kekuatan yang menimpa, dan kondisi kepala ketika mendapat
benturan.
Luasnya luka bukan merupakan indikasi berat ringannya gangguan, pengaruh
umum cedera kepala dari ringan sampai berat ialah edema otak, defisit sesorik, dan
motorik, peningkatan intrakranial. Hal ini akan mengakibatkan perubahan perfusi
jaringan otak dimana kerusakan selanjutnya timbul herniasi otak, iskemi otak dan
hipoksia (Long, B.C, 1996 : 203). Pada saat otak mengalami hipoksia tubuh berusaha
memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob, yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada cedera kepala berat hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob
yang menyebabkan timbulnya asidosis metabolik. Produksi asam laktat akan
merangsang reseptor nyeri sehingga timbul sakit kepala.
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi . Otak tidak punya cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan
fungsi otak (Pahria, T, dkk, 1996).
6. Pathway Cedera Kepala
7. Pemeriksaan Diagnostik Cedera Kepala
a. CT Scan (Computerized Tomograhy Scanner)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan
jaringan otak.
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Digunakan sama dengan CT Scan dengan/tanpa kontras radio aktif
c. Serebral Angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder
menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
d. EEG (Electroencephalograph)
Untuk memperlihatkan keadaan atau berkembangnya gelombang patologis
e. Sinar-X
Mendeteksi perubuhan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
f. BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
g. PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
h. CSS (Cairan Serebro Spinal)
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarakhnoid.
i. Elektrolit darah
Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK
j. Rontgen thorax dua arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorax menyatakan akumulasi udara atau cairan pada area pleural
k. Analisa Gas Darah (AGD)
Analias Gas Darah (AGD) adalah salah satu test diagnostik untuk menentukan
status respirasi. Status respirasi yang dapat diigambarkan melalui pemerksaan
AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa (Muttaqin, 2008)

8. Penatalaksanaan Medis Cedera Kepala


Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala bertujuan untuk memantau
sedini mungkin. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Advanced cedera
Life Support telah menempatkan standar yang sesuai dengan tingkat keparahan
cedera. Penatalaksanaan penderita cedera kepala meliputi Survei primer yang di
prioritaskan adalah : A (airway), B (Breathing), C (Circulation), D (Disability), dan E
(Exposure/ environmental Control) kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala berat, survei primer sangatlah penting untuk mencegah
cedera otak sekunder dan menjaga homeostasis otak. Secara umum penatalaksanaan
therapeutic pasien cedera kepala berat adalah dengan :
a. Dexamethason / kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma
b. Therapi hiperventilasi untuk mengurangi vasodilatasi
c. Pemberian analgetik
d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa
40% atau gliserol.
e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
f. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama
dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
g. Pembedahan. (Smelzer, 2001)

9. Komplikasi Cedera Kepala


a. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien
yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira 72
jam setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk
membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan
trauma. Sebagai akibat dari edema dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan
pada jaringan otak dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung pada tempat
pembengkakan, perubahan posisi kebawah atau lateral otak (herniasi) melalui
atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia, infark, dan
kerusakan otak irreversible, kematian.
b. Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia (tidak
dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit
neurologik seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau epilepsy.
Pasien dapat mengalami penurunan psikologis organic (melawan, emosi labil)
tidak punya malu, emosi agresif dan konsekuensi gangguan.
c. Kebocoran cairan cerebrospinal
Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2 – 6 % pasien
dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi
kepala setelah beberapa hari pada 85% pasien. Drainase lumbai dapat
mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki resiko meningitis yang
meningkat (biasanya pneumolok), pemberian antibiotik profilaksis masih
kontoversial. Otorea atau rinorea cairan cerebrospinal yang menentap atau
meningitis berulang merupakan indikasi untuk operasi reparatif.
d. Fistel Karotis-Kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosisi dan bruit orbital dapat timbul
segera atau beberapa hari setelah cedera. Anglografi diperlukan untuk konformasi
diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular merupakan cara yang
paling efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
e. Kejang Pascatrauma
Dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut
(setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predesposisi untuk kejang
lanjut. Kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan
pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan
epilepsi pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah cedera kepala
tertutup adalah 5 %; resiko mendekati 20 % pada pasien dengan perdarahan
intrakranial ayau fraktur depresi.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian Primer
1) A : Airway (Jalan Nafas)
Kaji adanya sumbatan jalan nafas total ataupun sebagian dan gangguan
servikal, distress pernafasan, adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga,
ataupun mulut. Biasanya pada pasien cedera kepala berat atau yang
mengalami penurunan kesadaran dapat mengalami sumbatan jalan nafas oleh
karena lidah pasien yang menutup jalan nafas, muntahan, ataupun produksi
secret yang berlebih.
2) B : Breathing (Pola Nafas)
Kaji ada tidaknya pernafasan, adekuatnya pernafasan, frekuensi nafas,
pergerakan dinding dada, dan suara pernafasan. Pada pasien cedera kepala
berat, bisa terjadi penurunan frekuensi pernafasan atau bahkan apneu.
3) C : Circulation
Kaji ada tidaknya denyut nadi, CRT, kemungkinan syok, adanya perdarahan
eksternal, kekuatan dan kecepatan nadi, warna dan kelembaban kulit, tanda –
tanda perdarahan eksternal, serta tanda – tanda jejas atau trauma. Pada pasien
cedera kepala berat dapat mengalami syok hipovolemik apabila terjadi
perdarahan yang hebat.
4) D : Disability
Kaji kondisi neuromuscular pasien, tingkat kesadaran (GCS), keadaan
ekstremitas, kemampuan motorik dan sensorik. Pada pasien cedera kepala
berat akan mengalami penurunan kesadaran maupun paresis.
5) E : Exposure
Kaji suhu tubuh pasien serta kemungkinan adanya jejas atau perlukaan pada
anggota tubuh. Pada pasien cedera kepala berat, suhu tubuh dapat meningkat
apabila terjadi infeksi.
b. Pengkajian Sekunder
1) Identitas klien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal
masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama
3) Riwayat kesehatan
Pemeriksaan fisik
4) Lakukan pemeriksaan fisik head to toe dengan menggunakan teknik IAPP

2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko perfusi cerebral tidak efektif
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif
c. Pola nafas tidak efektif
d. Nyeri akut
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


1 Risiko perfusi serebral Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
tidak efektif …….x……. maka Perfusi Serebral Meningkat Observasi
dengan kriteria hasil :  Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi, gangguan
 Tingkat kesadaran meningkat metabolisme, edema serebral)
 Kognitif meningkat  Monitor tanda /gejala peningkatan TIK (mis. Tekanan darah
 Sakit kepala menurun meningkat, tekanan nadi melebar, bradikardi, pola nafas
 Gelisah menurun ireguler, kesadaran menurun)

 Kecemasan menurun  Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)

 Agitasi menurun  Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika perlu

 Demam menurun  Monitor PAWP, jika perlu

 Tekanan arteri rata-rata membaik  Monitor PAP , jika perlu

 Tekanan intra kranial membaik  Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia

 Tekanan darah sistolik membaik  Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)

 Tekanan darah diastolit membaik  Monitor gelombang ICP

 Reflex saraf membaik  Monitor setatus pernapasan


 Monitor intake dan ouput cairan
 Monitor cairan serebro-spinalis (mis. Warna, konsistensi)
Terapeutik
 Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang
tenang
 Berikan posisi semi Fowler
 Hindari maneuver valsava
 Cegah terjadinya kejang
 Hindari penggunaan PEEP
 Hindari pemberian cairan IV hipotonik
 Atur ventilator agar PaCO2 optimal
 Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan, jika perlu
 Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
 Kolaborasi pemberian pelunak tinja , jika perlu
2 Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Latihan Batuk Efektif
efektif …… x …….… diharapkan bersihan jalan nafas 1. Observasi
meningkat dengan kriteria hasil :  Identifikasi kemampuan batuk
 Batuk efektif meningkat  Monitor adanya retensi spuntum
 Produksi sputum menurun  Monitor tanda dan gejala infeksi
 Mengi menurun  Monitor input dan output cairan (mis. Jumlah dan
 Wheezing menurun karakteristik)
 Mekonium menurun 2. Terapeutik
 Dispnea menurun  Atur posisi semi fowler atau fowler

 Ortopnea menurn  Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien

 Tidak sulit bicara  Buang secret pada tempat spuntum

 Sianosis menurun 3. Edukasi


 Gelisah menurun  Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
 Frekuensi napas membaik  Anjurkan Tarik nafas dalam melalui hidung selama 4
 Pola nafas membaik detik, ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir mencucu, selama 8 detik
 Anjurkan mengulangi Tarik nafas dalam hingga 3 kali
 Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah Tarik
nafas dalam yang ke 3
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika
perlu

Manajemen Jalan Nafas


1. Observasi
a. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
b. Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
wheezing, ronkhi)
c. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2. Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head tilt chin lift
( jaw thrust jika curiga trauma servikal)
 Posisikan semifowler/fowler
 Berikan minuman hangat
 Lakukan fisioterapi dada jika perlu
 Lakukan pengisapan lendir kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
 Kelyarkan subatan benda padat dengan forcep McGill
 Berikan oksigen jika perlu
3. Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 200 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
 Ajarkan teknik batuk efektif
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

Pemantauan Respirasi
1. Observasi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya nafas
 Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes, ataksisk)
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan nafas
 Auskultasi bunyi nafas
 Monitor saturasi ksigen
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray thoraks
2. Terapeutik
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
3 Pola nafas tidak efektif Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … Manajemen Jalan Nafas
x… jam diharapkan pola nafas membaik dengan 5. Observasi
kriteria hasil : d. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
 Ventilasi semenit meningkat e. Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
 Kapasitas vital meningkat wheezing, ronkhi)

 Diameter thoraks anterior-posterior meningkat f. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

 Tekanan ekspirasi meningkat 6. Terapeutik

 Tekanan inspirasi meningkat  Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head tilt chin lift
( jaw thrust jika curiga trauma servikal)
 Dispnea menurun
 Posisikan semifowler/fowler
 Penggunaan otot bantu nafas menurun
 Berikan minuman hangat
 Pemanjangan fase ekspirasi menurun
 Lakukan fisioterapi dada jika perlu
 Ortopnea menurun
 Lakukan pengisapan lendir kurang dari 15 detik
 Pernafasan pursed lip menurun
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
 Pernafasan cuping hidung menurun
 Kelyarkan subatan benda padat dengan forcep McGill
 Frekuensi nafas membaik
 Kedalaman nafas membaik  Berikan oksigen jika perlu
 Ekskursi dada membaik 7. Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 200 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
 Ajarkan teknik batuk efektif
8. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

Pemantauan Respirasi
4. Observasi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya nafas
 Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes, ataksisk)
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan nafas
 Auskultasi bunyi nafas
 Monitor saturasi ksigen
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray thoraks
5. Terapeutik
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
6. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
4 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri
selama .... X .... jam diharapkan tingkat nyeri Observasi
menurun dengan kriteria hasil :  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Tingkat nyeri : kualitas , intensitas nyeri
 Keluhan nyeri menurun  Identifikasi skala nyeri
 Meringis menurun  Identifikasi respons nyeri non verbal
 Sikap protektif menurun  Identifikasi faktor yang memperberat nyeri dan
 Gelisah menurun memperingan nyeri
 Kesulitan tidur menurun  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Menarik diri menurun  Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Berfokus pada diri sendiri menurun  Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Diaforesis menurun  Monitor keberhasilan terapi komplementer yan sudah
 Perasaan depresi (tertekan) menurun diberikan

 Perasan takut mengalami cedera berulang  Monitor efek samping penggunaan analgetik
menurun Terapeutik

 Anoreksia menurun  Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa

 Perineum terasa tertekan menurun nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi music,

 Uterus teraba membulat menurun biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
 Ketegangan otot menurun terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
 Pupil dilatasi menurun  Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis.
 Muntah menurun Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)

 Mual menurun  Fasilitas istirahat dan tidur

 Frekuensi nadi membaik  Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan

 Pola napas membaik strategi meredakan nyeri


Edukasi
 Tekanan darah membaik
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
 Proses berpikir membaik
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Fokus membaik
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Fungsi kemih membaik
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Perilaku membaik
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
 Nafsu makan membaik
nyeri
 Pola tidur membaik
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Carolyn M. Hudak. 2001. Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Edisi VII. Volume II.

Alih Bahasa : Monica E. D Adiyanti. Jakarta: EGC

Corwin, E.J. 2002. Handbook of Pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan sistem

persarafan. Jakarta: Salemba Medika

PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI.2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Price, S.A. & Wilson, L.M. 2002. Pathophysiology : Clinical Concept of Disease Processes.

4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC

Sandra M. Nettina. 2002. Pedoman Praktik Keperawatan, Jakarta: EGC

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2002. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical – Surgical

Nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8. Jakarta:

EGC

Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI

Tandian, D. 2011. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Sagung Seto


Badung, 02. Oktober 2018
Nama Pembimbing / CI Nama Mahasiswa

…………………………………….… …………………………………….…
NIP. NIM.

Nama Pembimbing / CT

…………………………………….…
NIP.

Anda mungkin juga menyukai