Oleh:
IFRAN
9
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA KASUS SUBDURAL HEMATOMA (SDH)
1.1 Pengeritian
Subdural Hematamoma merupakan tipe trauma yang sering terjadi perdarahan
pada meningeal yang menyebakan akumulasi darah pada daerah subdural antara
duramater dan arachnoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan
temporal. Pada subdural hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah
“bridging vein”, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging
vein”. Lesi ini lebih sering ditemukan daripada Epidural Hematoma (EDH).
Namun dengan onset of time yang lambat, karena sobekan pembuluh darah terjadi
pada vena sedangakan pada EDH mengenai arteri. Terjadi karena laserasi
arteri/vena kortikal pada saat berlangsungnya akselerasi dan deselerasi. Pada anak
dan usia lanjut sering disebabkan oleh robekan. Perdarahan subdural akut (PSD
akut ) merupakan salah satu penyakit bedah syaraf yang mempunyai mortalitas
relative tinggi baik penderita dioperasi atau tidak. Oleh karena itu perdarahan
subdural perlu mendapatkan perhatian baik di dalam pengetahuan patofisiologinya
maupun di dalam penguasaan tindakan menanggulanginya (Satrodiningrat, 2006).
Subdural hematoma adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Subdural hematoma dalam bentuk akut yang hebat merupakan kondisi dimana
baik darah maupun cairan serebospinal memasuki ruang subdural sebagai akibat
dari laserasi otak atau robeknya arachnoid sehingga menambah penekanan
subdural pada jejas langsung di otak. Subdural hematoma dalam bentuk kronik
merupakan kondisi dimana hanya darah yang efusi keruang subdural akibat
pecahnya vena-vena penghubung, kondisi kronis tersebut ummunya disebabkan
oleh cedera kepala tertutup. Efusi merupakan proses bertahap yang menyebabkan
timbulnya sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi
gumplan darah bebeapa minggu setelah cedera terjadi.
Gambar Subdural Hematoma
1.2 Klasfikasi
Subdural Hematoma dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori
berikut: Perdarahan subdural dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan saat
timbulnya gejala-gejala klinis, yaitu:
a. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera berjam-jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda
vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
Pada gambaran Ct-scan, didapatkan lesi hiperdens.
b. Perdarahan sub akut
Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 2-14 hari sesudah trauma.
Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan
darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada bentukan kapsula
disekitarnya. Pada gambaran scanning tomografi didapatkan lesi isodens dan
hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah
dan reabsorbsi dari hemoglobin.
c. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan
kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu
ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan
hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila
pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah.
Pada perdarahan subdural kronik, hematoma lama kelamaan bisa menjadi
membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan
herniasi. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini
dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan
kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma
akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri.
Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia
di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi
hipodens.
1.3 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera atau trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural. Perdarahan subdural dapat terjadi pada kondisi:
a. Trauma
1. Trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak
itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.
2. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
3. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak – anak.
b. Non trauma
1. Pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural.
2. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
3. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan.
1.4 Patofisiologi
Pada orang dewasa, otak, medula spinalis, dan cairan spinal terbungkus
bersama dengan pembuluh-pembuluh serebrum, dalam wadah tulang yang kaku
dan tertutup yang tak dapat mengembang (setelah sutura menutup). Rongga
tengkorak dalam keadaan normal mengandung sebuah otak dengan berat sekitar
1400 gram, 75 mL darah dan 75 Ml cairan spinal. Karena jaringan otak dan
serebospinal pada dasarnya tidak dapat ditekan, maka volume darah, cairan
serebopsinal dan otak setiap saat dalam tengkorak harus relatif konstan.
Hukum Monroe-Kelli mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan
volumenya tetap. Berdasarkan hal ini hukum Monroe-Kellie menyatakan bahwa
volume intrakranial adalah volume otak ditambah dengan cairan otak dan darah
yang mengalir di dalam pembuluhnya. Sesuai dengan hukum tersebut, volume
otak yang bertambah akan mengganggu keseimbangan dari seluruh volume
intrakranial. Hukum ini berimplikasi bahwa perubahan volume salah satu atau
lebih unsur intra kranial harus diikuti oleh perubahan salah satu unsur lainnya
sebagai kompensasi. Apabila suatu kompensasi ini tidak dapat berfungsi lagi,
maka terjadi peninggian tekanan intra kranial. Selanjutnya volume otak yang
mengembang akibat edema atau jaringan otak yang tertekan akibat bertambahnya
masa intrakranial, akan menyesuaikan mencari lokus minoris resistensi dan
terjadilah herniasi otak (Dahrmajaya, 2014).
Seluruh volume intrakranial tersebut terletak di rongga tulang tertentu yang
disebut tengkorak (kranium). Rongga tengkorak ini bersifat rigid dan tidak lentur.
Sisa rongga tengkorak di luar volume otak, cairan otak dan darah, adalah sangat
terbatas. Bila terjadi penambahan masa di dalam rongga tengkorak akan
menyebabkan pergeseran kenormalan anatomis dan meningkatkan tekanan dalam
rongga tersebut. Peningkatan tekanan ini disebut peningkatan tekanan intrakranial
(TIK). Ada dua mekanisme kerusakan otak pada peningkatan tekanan intrakranial:
perubahan mekanikal atau perubahan vaskular. Perubahan mekanikal disebabkan
karena tekanan area perdarahan pada jaringan otak. Tekanan ini menyebabkan
perpindahan jaringan otak (herniasi). Selain itu, ada efek vaskular dimana
peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak.
Menurunnya tekanan darah ke otak akhirnya akan menyebabkan hipoksia dan
iskemia di otak. Iskemia ini akan menyebabkan edema sitotoksik yang akhirnya
menyebabkan lebih banyak jaringan otak yang rusak. Penghantaran dan
penyerapan oksigen yang terganggu dapat menyebabkan pembengkakan sel otak.
Pembengkakan sel otak ini mengakibatkan volume otak semakin bertambah.
Proses ini adalah dampak lanjutan di cedera kepala sekunder dan dapat
berlangsung hingga 48 sampai 72 jam pascatrauma (Ferly. 2014).
Pada trauma kepala, terjadinya peningkatan tekanan intrakranial tersebut
disebabkan karena terdapatnya pendarahan di kepala sebagai akibat langsung
trauma tersebut. Awalnya, kenaikan volume di kepala tersebut akan
dikompensasikan dengan turunnya cairan serebrospinal ke corda spinalis. Namun,
kapabilitas kompensasi tersebut akan sangat minimal dan akan cepat dikalahkan
apabila tidak ditangani secara cepat. Itulah yang menyebabkan gejala peningkatan
tekanan intrakranial sangat cepat memburuk. Oleh karena itu diperlukan
mekanisme pemantauan yang baik. Sistem sirkulasi serebral mempunyai
persarafan simpatik yang kuat, yang berjalan bersama-sama dengan arteri serebral
ke atas berasal dari ganglion simpatik cervical superior. Persarafan ini merawat
arteri-arteri besar yang terletak pada permukaan dan arteri-arteri kecil yang
menembus ke dalam jaringan otak.
Pada beberapa kondisi tertentu, perangsangan simpatik dapat menyempitkan
arteri serebral dengan nyata sekali. Alasan mengapa keadaan ini bisa terjadi, sebab
mekanisme autoregulasi yang mengatur aliran darah lokal itu begitu kuatnya
sehingga dalam keadaan normal akan mengimbangi hampir semua pengaruh yang
ditimbulkan akibat rangsangan simpatik tadi. Pada kondisi dimana mekanisme
autoregulasi itu gagal untuk mengimbangi, maka pengaturan simpatik terhadap
aliran darah serebral akan menjadi lebih penting. Bila tekanan darah arteri
meningkat sampai sampai pada suatu nilai yang cukup tinggi yang menimbulkan
aktivitas sirkulasi hebat, ternyata sistem simpatik akan menyempitkan pembuluh-
pembuluh arteri yang berukuran besar sedang dan keadaan ini mencegah naiknya
tekanan darah dalam pembuluh-pembuluh darah yang lebih kecil.
Pada saat terjadi peningkatan tekanan intrakanial pembuluh-pembuluh
serebrum akan meningkat. Setiap perubahan tekanan dengan cepat akan
menimbulkan perubahan serupa dalam dalam tekanan intrakranial. Dengan
demikian, peningkatan tekanan vena menurunkan aliran darah serebrum baik
dengan melalui penurunan tekanan perfusi efektif maupun melalui penekanan
pada pembuluh serebrum. Hubungan ini membantu kompensasi perubahan
tekanan arteri di tingkat kepala. Misalnya, apabila tubuh mengalami akselerasi ke
atas (g positif), maka darah bergerak menuju kaki dan tekanan arteri ditingkat
kepala menurun. Namun, tekanan vena dan intrakanial juga menurun, sehingga
tekanan pada pembuluh-pembuluh berkurang dan aliran dan aliran darah tidak
terlalu berkurang. Sebaliknya, selama akselerai kebawah, gaya yang bekerja pada
kepala (g negatif) meningkatkan tekanan arteri di tingkat kepala, tetapi tekanan
intrakranial juga meningkat, sehingga pembuluh terlindung dan tidak pecah
(Ganong, 1998).
Dampak lanjutan cedera kepala sekunder tersebut semakin menambah beban
tekanan di dalam rongga tengkorak. Hal tersebut berakibat terjadi kematian sel
otak dan memperberat kondisi patologis otak. Di titik dekompensasi tertentu, saat
rongga tengkorak tidak mampu menahan volume yang semakin meningkat,
terjadilah herniasi yang mengakibatkan kematian.
1.7 Penatalaksanaan
a. Penanganan darurat :
1. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
2. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
b. Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena.
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a) Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga
mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
b) Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol per infus
untuk menarik air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular
untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Manitol digunakan
untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial pada cidera kepala
c) Barbiturat, digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme
otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen
juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun
suplai oksigen berkurang.
c. Operasi di lakukan bila terdapat :
1. Volume hamatom > 30 ml
2. Keadaan pasien memburuk
3. Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan
kedalaman >1 cm
4. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis
tengah dengan GCS 8 atau kurang
5. Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg (Sidharta, 2005).
1.8 Komplikasi
a. Pneumonia
Merupakan infeksi pada paru-paru. Infeksi dapat disebabkan bakteri, virus
maupun jamur. Pasien dengan SDH mengalami gangguan menelan dan
seringkali mengalami aspirasi sehingga makanan dan air liur memasuki trakea
dan menyebabkan terjadinya pneumonia. Gejala pneumonia antara lain berupa
nyeri tenggorokan, batuk, serta disertai dengan demam tinggi.
b. Hemiplegia
c. Disfasia atau afasia
d. Epilepsi
e. Hidrosepalus
f. Subdural empiema
g. Dekubitus. Keterbatasan gerak atau tirah baring pada pasien SDH akan
menyebabkan klien tidak dapat bergerak. Kondisi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan kulit akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit
yang menutupi tulang yang menonjol akibat penekanan yang lama
1.9 Clinical Pathway
Trauma tumpul,
tembus, Cedera Otak Fraktur tulang
deselarisasi
1.10...........................................................................................................
Terputusnya Ruftur pembuluh darah Terputusnya jaringan
kontinuitas tulang otot, kulit dan vaskuler
d) Brudzinski II
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang
difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada
sendi panggul.
Hasil Pemeriksaan: Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi
tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini
postif.
13
Status pernafasan (kepatenan jalan 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi
nafas) 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan respirasi
selama 1x4 jam, pola nafas pasien 4. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan
kembali efektif dengan kriteria hasil: kesulitan bernafas
1. Frekuensi nafas normal (16-20 5. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
x/menit) penggunaan otot bantu nafas
2. Irama pernafasan reguler 6. Monitor suara nafas
3. Tidak menggunakan otot bantu 7. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,
pernafasan hiperventilasi, kusmaul)
4. Retraksi dinding dada 8. Monitor saturasi oksigen
5. Tidak terdapat pernafasan bibir Monitor tanda-tanda vital
6. Tidak terdapat sianosis 9. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
7. Tidak terdapat suara nafas tambahan pernafasan dengan tepat
4. Bersihan jalan nafas tidak Status pernafasan Manajemen Ventilasi Mekanik
efektif Status pernafasan: ventilasi Pengaturan Posisi
Status pernafasan (kepatenan jalan Penghisapan Jalan Nafas
nafas) Latihan Batuk Efektif
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen jalan nafas
selama 1x4 jam, pola nafas pasien 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
kembali efektif dengan kriteria hasil: 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi
8. Frekuensi nafas normal (16-20 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
x/menit) Pemantauan respirasi
9. Irama pernafasan reguler 4. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan
10. Tidak menggunakan otot bantu kesulitan bernafas
pernafasan 5. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
11. Tidak terdapat suara nafas tambahan penggunaan otot bantu nafas
6. Monitor suara nafas
7. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,
hiperventilasi, kusmaul)
8. Monitor saturasi oksigen
5. Nyeri akut Kontrol nyeri Manajemen nyeri
Tingkat nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
selama 1x4 jam, nyeri akut pasien 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
kembali normal dengan kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
1. Pasien dapat mengenali kapan nyeri Terapi relaksasi
terjadi 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
2. Pasien mampu menyampaikan faktor nafas dalam dan musik
penyebab nyeri 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
3. Mampu menyampaikan tanda dan Pemberian analgesik
gejala nyeri 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
4. Penurunan skala nyeri keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
5. Ekspresi wajah tidak mengerang dan 8. Cek adanya riwayat alergi obat
meringis kesakitan 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
6. Nyeri terkontrol frekuensi obat analgesik yang diresepkan
Kompres Dingin atau hangat
Latihan Pernapasan
Edukasi Teknik Napas
Teknik Distraksi
Terapi Musik
Terapi Relaksasi
Terapi Sentuhan
Terapi Pemijatan
6. Defisit Nutrisi Status nutrisi Manajemen nutrisi
Status nutrisi: asupan nutrisi 1. Monitor intake makanan dan cairan pasien
Nafsu makan 2. Ciptakan lingkungan yang optimal saat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan mengonsumsi makanan (bersih dan bebas dari bau
selama 1x4 jam, intake nutrisi pasien yang menyengat)
adekuat dengan kriteria hasil: 3. Anjurkan keluarga untuk membawa makanan
1. Asupan makanan secara oral favorit pasien (yang tidak berbahaya bagi
meningkat (porsi makan habis) kesehatan pasien)
2. Asupan cairan secara oral meningkat 4. Anjurkan pasien makan sedikit tapi sering
3. Nafsu makan meningkat 5. Beri dukungan (kesempatan untuk membicarakan
4. Ekspresi wajah tidak meringis perasaan) untuk meningkatkan peningkatan
makan
6. Anjurkan pasien menjaga kebersihan mulut
7. Kolaborasi pemberian obat
Monitor nutrisi
8. Timbang berat badan pasien
9. Monitor turgor kulit dan mobilitas
10. Monitor adanya mual dan muntah
7. Gangguan Mobilitas Fisik Koordinasi pergerakan Pemantauan Neurologis
setelah dilakukan perwatan selama 1x4 Dukungan Ambulasi
jam mobilitas fisik pasien membanik Dukungan Mobilisasi
dengan kriteria hasil: Manajamen Program Latihan
1. Dapat mengontrol kontraksi 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk memfasilitasi
pergerakkan mobilisasi sesuai indikasi
2. Dapat melakukan kemantapan 2. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi
pergerakkan penyebab nyeri otot atau sendi
3. Dapat menahan keseimbangan 3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
pergerakkan mengembangkan peningkatan mekanika tubuh
sesuai indiksi
Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan
4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
fisiologis, dan konsekuensi dari
penyalahgunaannya
5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk terlibat dalam latihan otot progresif
6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi
latihan menurut lefel kebugaran dan ada atau
tidaknya faktor resiko
7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
selesai satu set jika dipelukan
8. Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan tanpa
beban terlebih dahulu sampai gerakan yang benar
sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi
9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
terhadap fungsi sendi
10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah program
latihan
11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan
latihan ROM pasif, dan aktif
13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan
8. Defisist perawatan diri Perawatan diri: mandi Dukungan Perawatan Diri
Perawatan diri: kebersihan Dukungan perawatan diri: mandi/kebersihan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Fasilitasi pasien untuk menggosok gigi dengan
selama 1x24 jam diharapkan perawatan tepat
diri pasien: mandi tidak mengalami 2. Fasilitasi pasien untuk seka dengan tepat
gangguan dengan kriteria hasil: 3. Monitor kebersihan kuku
1. Keluarga mampu melakukan 4. Monitor integritas kulit
2. Mencuci tangan pasien 5. Jaga kebersihan secara berkala
3. Membersihkan telinga 6. Dukung keluarga berpartisipasi dalam
4. Menjaga kebersihan untuk mempertahankan kebersihan dengan tepat
kemudahan bernafas Dukungan Perawatan Diri: BAB/BAK
5. Mempertahankan kebersihan mulut Dukungan Perawatan Diri: Makan/Minum
6. Memperhatikan kuku jari tangan Dukungan Perawatan Diri: Berapakian
7. Memperhatikan kuku jari kaki
Mempertahankan kebersihan tubuh
DAFTAR PUSTAKA
Awaloei, A. C., Mallo, N. T., & Tomuka, D. (2016). Gambaran cedera kepala
yang menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP
Prof Dr. e-CliniC, 4(2).
Fountain, D. M., Kolias, A. G., Lecky, F. E., Bouamra, O., Lawrence, T., Adams,
H., ... & Hutchinson, P. J. (2017). Survival Trends After Surgery for Acute
Subdural Hematoma in Adults Over a 20-year Period. Annals of surgery,
265(3), 590.
Karibe, H., HayasHi, T., Hirano, T., KaMeyaMa, M., Nakagawa, A., &
Tominaga, T. (2014). Surgical management of traumatic acute subdural
hematoma in adults: a review. Neurologia medico-chirurgica, 54(11), 887-76
894.
Lonto, A. K., Loho, E., Mamesah, Y. P., & Timban, J. F. (2015). Gambaran Ct
Scan Pada Penderita Perdarahan Subdural Di Rsup Prof. Dr. R. D Kandou
Manado Periode Januari 2011-Oktober 2014. e-CliniC, 3(1).