Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KASUS SUBDURAL HEMATOMA (SDH) DI INSTALASI


GAWAT DARURAT RS DKT JEMBER

Oleh:
IFRAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS dr. SOEBANDI JEMBER
YAYASAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL (JIS)
2022/2023

9
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA KASUS SUBDURAL HEMATOMA (SDH)

1.1 Pengeritian
Subdural Hematamoma merupakan tipe trauma yang sering terjadi perdarahan
pada meningeal yang menyebakan akumulasi darah pada daerah subdural antara
duramater dan arachnoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan
temporal. Pada subdural hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah
“bridging vein”, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging
vein”. Lesi ini lebih sering ditemukan daripada Epidural Hematoma (EDH).
Namun dengan onset of time yang lambat, karena sobekan pembuluh darah terjadi
pada vena sedangakan pada EDH mengenai arteri. Terjadi karena laserasi
arteri/vena kortikal pada saat berlangsungnya akselerasi dan deselerasi. Pada anak
dan usia lanjut sering disebabkan oleh robekan. Perdarahan subdural akut (PSD
akut ) merupakan salah satu penyakit bedah syaraf yang mempunyai mortalitas
relative tinggi baik penderita dioperasi atau tidak. Oleh karena itu perdarahan
subdural perlu mendapatkan perhatian baik di dalam pengetahuan patofisiologinya
maupun di dalam penguasaan tindakan menanggulanginya (Satrodiningrat, 2006).
Subdural hematoma adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Subdural hematoma dalam bentuk akut yang hebat merupakan kondisi dimana
baik darah maupun cairan serebospinal memasuki ruang subdural sebagai akibat
dari laserasi otak atau robeknya arachnoid sehingga menambah penekanan
subdural pada jejas langsung di otak. Subdural hematoma dalam bentuk kronik
merupakan kondisi dimana hanya darah yang efusi keruang subdural akibat
pecahnya vena-vena penghubung, kondisi kronis tersebut ummunya disebabkan
oleh cedera kepala tertutup. Efusi merupakan proses bertahap yang menyebabkan
timbulnya sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi
gumplan darah bebeapa minggu setelah cedera terjadi.
Gambar Subdural Hematoma
1.2 Klasfikasi
Subdural Hematoma dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori
berikut: Perdarahan subdural dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan saat
timbulnya gejala-gejala klinis, yaitu:
a. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera berjam-jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda
vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
Pada gambaran Ct-scan, didapatkan lesi hiperdens.
b. Perdarahan sub akut
Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 2-14 hari sesudah trauma.
Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan
darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada bentukan kapsula
disekitarnya. Pada gambaran scanning tomografi didapatkan lesi isodens dan
hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah
dan reabsorbsi dari hemoglobin.
c. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan
kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu
ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan
hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila
pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah.
Pada perdarahan subdural kronik, hematoma lama kelamaan bisa menjadi
membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan
herniasi. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini
dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan
kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma
akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri.
Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia
di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi
hipodens.

1.3 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera atau trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural. Perdarahan subdural dapat terjadi pada kondisi:
a. Trauma
1. Trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak
itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.
2. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
3. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak – anak.
b. Non trauma
1. Pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural.
2. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
3. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan.

1.4 Patofisiologi
Pada orang dewasa, otak, medula spinalis, dan cairan spinal terbungkus
bersama dengan pembuluh-pembuluh serebrum, dalam wadah tulang yang kaku
dan tertutup yang tak dapat mengembang (setelah sutura menutup). Rongga
tengkorak dalam keadaan normal mengandung sebuah otak dengan berat sekitar
1400 gram, 75 mL darah dan 75 Ml cairan spinal. Karena jaringan otak dan
serebospinal pada dasarnya tidak dapat ditekan, maka volume darah, cairan
serebopsinal dan otak setiap saat dalam tengkorak harus relatif konstan.
Hukum Monroe-Kelli mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan
volumenya tetap. Berdasarkan hal ini hukum Monroe-Kellie menyatakan bahwa
volume intrakranial adalah volume otak ditambah dengan cairan otak dan darah
yang mengalir di dalam pembuluhnya. Sesuai dengan hukum tersebut, volume
otak yang bertambah akan mengganggu keseimbangan dari seluruh volume
intrakranial. Hukum ini berimplikasi bahwa perubahan volume salah satu atau
lebih unsur intra kranial harus diikuti oleh perubahan salah satu unsur lainnya
sebagai kompensasi. Apabila suatu kompensasi ini tidak dapat berfungsi lagi,
maka terjadi peninggian tekanan intra kranial. Selanjutnya volume otak yang
mengembang akibat edema atau jaringan otak yang tertekan akibat bertambahnya
masa intrakranial, akan menyesuaikan mencari lokus minoris resistensi dan
terjadilah herniasi otak (Dahrmajaya, 2014).
Seluruh volume intrakranial tersebut terletak di rongga tulang tertentu yang
disebut tengkorak (kranium). Rongga tengkorak ini bersifat rigid dan tidak lentur.
Sisa rongga tengkorak di luar volume otak, cairan otak dan darah, adalah sangat
terbatas. Bila terjadi penambahan masa di dalam rongga tengkorak akan
menyebabkan pergeseran kenormalan anatomis dan meningkatkan tekanan dalam
rongga tersebut. Peningkatan tekanan ini disebut peningkatan tekanan intrakranial
(TIK). Ada dua mekanisme kerusakan otak pada peningkatan tekanan intrakranial:
perubahan mekanikal atau perubahan vaskular. Perubahan mekanikal disebabkan
karena tekanan area perdarahan pada jaringan otak. Tekanan ini menyebabkan
perpindahan jaringan otak (herniasi). Selain itu, ada efek vaskular dimana
peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak.
Menurunnya tekanan darah ke otak akhirnya akan menyebabkan hipoksia dan
iskemia di otak. Iskemia ini akan menyebabkan edema sitotoksik yang akhirnya
menyebabkan lebih banyak jaringan otak yang rusak. Penghantaran dan
penyerapan oksigen yang terganggu dapat menyebabkan pembengkakan sel otak.
Pembengkakan sel otak ini mengakibatkan volume otak semakin bertambah.
Proses ini adalah dampak lanjutan di cedera kepala sekunder dan dapat
berlangsung hingga 48 sampai 72 jam pascatrauma (Ferly. 2014).
Pada trauma kepala, terjadinya peningkatan tekanan intrakranial tersebut
disebabkan karena terdapatnya pendarahan di kepala sebagai akibat langsung
trauma tersebut. Awalnya, kenaikan volume di kepala tersebut akan
dikompensasikan dengan turunnya cairan serebrospinal ke corda spinalis. Namun,
kapabilitas kompensasi tersebut akan sangat minimal dan akan cepat dikalahkan
apabila tidak ditangani secara cepat. Itulah yang menyebabkan gejala peningkatan
tekanan intrakranial sangat cepat memburuk. Oleh karena itu diperlukan
mekanisme pemantauan yang baik. Sistem sirkulasi serebral mempunyai
persarafan simpatik yang kuat, yang berjalan bersama-sama dengan arteri serebral
ke atas berasal dari ganglion simpatik cervical superior. Persarafan ini merawat
arteri-arteri besar yang terletak pada permukaan dan arteri-arteri kecil yang
menembus ke dalam jaringan otak.
Pada beberapa kondisi tertentu, perangsangan simpatik dapat menyempitkan
arteri serebral dengan nyata sekali. Alasan mengapa keadaan ini bisa terjadi, sebab
mekanisme autoregulasi yang mengatur aliran darah lokal itu begitu kuatnya
sehingga dalam keadaan normal akan mengimbangi hampir semua pengaruh yang
ditimbulkan akibat rangsangan simpatik tadi. Pada kondisi dimana mekanisme
autoregulasi itu gagal untuk mengimbangi, maka pengaturan simpatik terhadap
aliran darah serebral akan menjadi lebih penting. Bila tekanan darah arteri
meningkat sampai sampai pada suatu nilai yang cukup tinggi yang menimbulkan
aktivitas sirkulasi hebat, ternyata sistem simpatik akan menyempitkan pembuluh-
pembuluh arteri yang berukuran besar sedang dan keadaan ini mencegah naiknya
tekanan darah dalam pembuluh-pembuluh darah yang lebih kecil.
Pada saat terjadi peningkatan tekanan intrakanial pembuluh-pembuluh
serebrum akan meningkat. Setiap perubahan tekanan dengan cepat akan
menimbulkan perubahan serupa dalam dalam tekanan intrakranial. Dengan
demikian, peningkatan tekanan vena menurunkan aliran darah serebrum baik
dengan melalui penurunan tekanan perfusi efektif maupun melalui penekanan
pada pembuluh serebrum. Hubungan ini membantu kompensasi perubahan
tekanan arteri di tingkat kepala. Misalnya, apabila tubuh mengalami akselerasi ke
atas (g positif), maka darah bergerak menuju kaki dan tekanan arteri ditingkat
kepala menurun. Namun, tekanan vena dan intrakanial juga menurun, sehingga
tekanan pada pembuluh-pembuluh berkurang dan aliran dan aliran darah tidak
terlalu berkurang. Sebaliknya, selama akselerai kebawah, gaya yang bekerja pada
kepala (g negatif) meningkatkan tekanan arteri di tingkat kepala, tetapi tekanan
intrakranial juga meningkat, sehingga pembuluh terlindung dan tidak pecah
(Ganong, 1998).
Dampak lanjutan cedera kepala sekunder tersebut semakin menambah beban
tekanan di dalam rongga tengkorak. Hal tersebut berakibat terjadi kematian sel
otak dan memperberat kondisi patologis otak. Di titik dekompensasi tertentu, saat
rongga tengkorak tidak mampu menahan volume yang semakin meningkat,
terjadilah herniasi yang mengakibatkan kematian.

1.5 Manifestasi Klinis


Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada
tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal
primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak
khas dan merupakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti:
sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n.
III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya, kadang kala dengan
riwayat trauma yang tidak jelas, sering diduga tumor otak.
Tanda dan gejala yang pada umumnya timbul pada pasien dengan subdural
hematoma meliputi:
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48
jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan
pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya
pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural
akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan
subdural. Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial
seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap
sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Hematoma subdural yang bertambah luas
secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh)
dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan,
sehingga selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Gejala-gejala
antara lain: sakit kepala yang menetap, rasa mengantuk yang hilang-timbul,
linglung, perubahan ingatan, kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala
bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

1.6 Pemeriksaan Penunjang


a. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan: untuk
mengetahui adanya infark atau iskemia jangan dilekukan pada 24-72 jam
setelah injuri
b. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. X-ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
d. Analisa gas darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial (Batticaca, 2008).

1.7 Penatalaksanaan
a. Penanganan darurat :
1. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
2. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
b. Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena.
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a) Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga
mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
b) Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol per infus
untuk menarik air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular
untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Manitol digunakan
untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial pada cidera kepala
c) Barbiturat, digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme
otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen
juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun
suplai oksigen berkurang.
c. Operasi di lakukan bila terdapat :
1. Volume hamatom > 30 ml
2. Keadaan pasien memburuk
3. Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan
kedalaman >1 cm
4. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis
tengah dengan GCS 8 atau kurang
5. Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg (Sidharta, 2005).
1.8 Komplikasi
a. Pneumonia
Merupakan infeksi pada paru-paru. Infeksi dapat disebabkan bakteri, virus
maupun jamur. Pasien dengan SDH mengalami gangguan menelan dan
seringkali mengalami aspirasi sehingga makanan dan air liur memasuki trakea
dan menyebabkan terjadinya pneumonia. Gejala pneumonia antara lain berupa
nyeri tenggorokan, batuk, serta disertai dengan demam tinggi.
b. Hemiplegia
c. Disfasia atau afasia
d. Epilepsi
e. Hidrosepalus
f. Subdural empiema
g. Dekubitus. Keterbatasan gerak atau tirah baring pada pasien SDH akan
menyebabkan klien tidak dapat bergerak. Kondisi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan kulit akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit
yang menutupi tulang yang menonjol akibat penekanan yang lama
1.9 Clinical Pathway

Trauma tumpul,
tembus, Cedera Otak Fraktur tulang
deselarisasi

1.10...........................................................................................................
Terputusnya Ruftur pembuluh darah Terputusnya jaringan
kontinuitas tulang otot, kulit dan vaskuler

Pelepasan prostaglandin, Subdural Hematom


bradikinin, leukotrien, Gangguan suplai
histamin darah ke otak
Perubahan sirkulasi CSS
Iskemi
Penuruanan Kapasitas
Adaptif Intrakranial
Hipoksia

Bradikinin merangsang Mual


nosisepr Penurunan Risiko perfusi
kesadaran cerebral tidak
efektif
Penurunan nafsu
Nyeri Akut makan
Tirah baring
Peningkatan
lama
pernapasan
Nutrisi tidak adekuat
Kelemahan otot
Penumpukan Penggunaan otot
sekret bantu pernapasan
Penurunan berat badan
Tidak bisa
melakukan Pola nafas tidak
Bersihan jalan nafas
perawatan efektif
tidak efektif
mandiri

Defisit perawatan diri: mandi, Ketidak seimbangan


makan, berpakaian, nutrisi kurang dari
kubutuhan tubuh

Gangguan Mobilitas Fisik


1.10 Proses Keperawatan
1.10.1 Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama, umur, agama, pendidikan, status, perkawinan
b. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Pada umumnya klien mengalami penurunan kesadaran baik biasanya
mengeluh sakit atau nyeri kepala, pusing, mual muntah.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Kaji penyebab trauma : biasanya karena kecelakaan lalu lintas atau sebab
lain tanyakan kapan dimana apa penyebab serta bagaimana proses
terjadinya trauma. Apakah saat trauma pingsan, disertai muntah
perdarahan atau tidak. Riwayat amnesia setelah cedera kepala
menunjukkan derajat kerusakan otak.
3. Riwayat penyakit terdahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, DM,
penyakit jantung anemia, stroke, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol yang
berlebihan.
4. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota keluarga yang dapat memicu timbulnya
penyakit yang sama.
Apakah ada salah satu anggota keluarga yang mengalami penyakit
hipertensi jantung dan sebagainya.
5. Riwayat psikososial
Bagaimana mekanisme klien terhadap penyakit dan perubahan perannya,
pola persepsi dan konsep diri sebagairasa tidak berdaya tidak ada harapan,
mudah marah dantidak kooperatif, kondisi ekonomi klien seperti dampak
biaya perawatan dan pengobatan yang besar.
6. Primary Survey
a) Airway apakah ada sumbatan jalan nafas seperti darah secret lidah
dan benda sing lainnya, suara nafas normal/tidak, apakah ada
kesulitan bernafas
b) Breathing : pola nafas teratur, observasi keadaan umumdengan
metode : look : liat pergerakan dada pasien,teratur, cepat dalam atau
tidak. Listen : dengarkan aliranudara yang keluar dari hidung pasien.
Feel : rasakanaliran udara yang keluar dari hidung pasien
c) Sirkulasi : akral hangat atau dingin, sianosis atau tidak,nadi teraba
apakah ada.
d) Disability apakah terjadi penurunan kesadaran, nilai GCS, pupil
isokor, nilai kekuatan otot, kemampuan ROM.
e) Eksposure ada atau tidaknya trauma kepala ada atau tidaknya luka
lecet ditangan atau dikaki. Fareinhead ada atau tidaknya trauma
didaerah kepala, ada tau tidaknya peningkatan suhu yang mendadak,
demam. 
c. Pemeriksaan Fisik Keperawatan
1. Keadaan umum
Tergantung berat ringannya cedera, keadaan umum biasanya mengelami
penurunan kesadaran
2. Kesadaran
Pada cidera berat, tidak sadar lebih dari 24 jam. Perubahan kesadaran
sampai koma.
Penilaian GCS:
Membuka Mata (Eye)
Nilai
4 Spontan
3 Rangsang suara (pasien disuruh membuka mata)
2 Rangsang nyeri
1 Tidak membuka mata
Respon Bicara (Verbal)
5 Baik dan tidak terdapat disorientasi
4 Kacau (terdapat disorientasi tempat dan waktu)
3 Tidak tepat (mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk
kalimat dan kata-kata tidak tepat)
2 Mengerang (tanpa mengucapkan kata-kata)
1 Tidak terdapat jawaban
Respon Gerakan (Motorik)
6 Menuruti perintah
5 Mengetahui lokasi nyeri
4 Refleks menghindari nyeri
3 Refleks fleksi
2 Refleks ekstensi
1 Tidak terdapat refleks

Tingkat kesadaran dapat dibedakan kedalam beberapa tingkatan, yaitu:


a) Composmentis (nilai GCS 15-14), yaitu kondisi seseorang yang sadar
sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya
dan dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan
baik.
b) Apatis (nilai GCS 13-11), yaitu kondisi seseorang yang tampak segan
dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
c) Delirium (nilai GCS (11-10), yaitu kondisi seseorang yang mengalami
kekacauan gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak
gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta.
d) Somnolen (nilai GCS 9-7) yaitu kondisi seseorang yang mengantuk
namun masih dapat sadar bila dirangsang, tetapi bila rangsang
berhenti akan tertidur kembali.
e) Sopor/stupor (nilai GCS 6-5), yaitu kondisi seseorang yang
mengantuk yang dalam, namun masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun
sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.
f) Semi-coma (nilai GCS 4) yaitu penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan
sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi
refleks kornea dan pupil masih baik.
g) Koma (nilai GCS 3), yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam,
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan
tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
3. Tanda-tanda vital
Tekanan darah hipertensi bila ada peningkatan Tekanan Intrakranial dan
bisa normal pada keadaan yang lebih ringan, nadi bisa terjadi bradicardi,
tachicardi.
4. Kepala
Kulit kepala: pada trauma tumpul terdapat hematom, bengkak dan
nyeritekan. Pada luka terbuka terdapat robekan dan perdarahan
5. Wajah
Pada cedera kepala sedang, cedera kepala berat yang terjadi contusion
cerebri, terjadi mati rasa pada wajah
6. Mata
Terjadi penurunan fungsi penglihatan, reflek cahayamenurun, keterbatasan
lapang pandang. Dapat terjadi perubahan ukuran pupil, bola mata tidak
dapat mengikuti perintah.
7. Telinga
Penurunan fungsi pendengaran pada trauma yang mengenai lobus
temporal yang menginterprestasikan pendengaran,drainase cairan spinal
pada fraktur dasar tengkorak, kemungkinan adanya perdarahan dari tulang
telinga.
8. Hidung
Pada cedera kepala yang mengalami lobus oksipital yang merupakan
tempat interprestassi penciuman dapat terjadi penurunan fungsi
penciuman.
9. Mulut
Gangguan menelan pada cedera kepala yang menekan reflek serta
gangguan pengecapan pada cedera kepala dan berat.
10. Leher
Dapat terjadi gangguan pergerakan pada cedera kepala sedang dan berat
yang menekan pusat motorik, kemungkinan didapatkan kaku kuduk.
11. Dada. 
Inspeksi : biasanya bentuk simetris, terjadi perubahan irama, frekuensi dan
kedalaman pernafasan terdapat retraksi dinding dada
Palpasi : biasanya terjadi nyeri tekan apabila terjadi traumac. 
Perkusi : bunyi resonan pada seluruh lapang paru, terkecuali daerah
jantung dan hepar bunyi redup
Auskultasi : biasanya bunyi nafas normal (vesikuler), bisa ronchi apabila
terdapat gangguan, bunyi S1 dan S2 bisa teratur bisa tidak, perubahan
frekuensi dan irama
12. Abdomen
Jika terdapat trauma maka akan timbul jejas ataupun perdarahan
intraabdomen
13. Ekstremitas
Perubahan pada tonus otot ataupun fraktur, hemiparase, hemiplegi
14. Pemeriksaan neurologi:
a) Pemeriksaan nervus cranialis: Umumnya terdapat gangguan nervus
cranialis VII dan XII central. Gangguan nervus cranial yang biasanya
terjadi pada pasien dengan stroke hemoragik adalah:
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi
I: Olfaktorius Penciuman Mata pasien terpejam dan
letakkan bahan-bahan aromatic
dekat hidung untuk
diidentifikasi.
II: Optikus Penglihatan Akuitas visual kasar dinilai
dengan menyuruh pasien
membaca tulisan cetak.
Kebutuhan akan kacamata
sebelum pasien sakit harus
diperhatikan.
III: Gerak mata; hilangnya akomodasi, pupil
Okulomotorius kontriksi pupil; mengecil
akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Terbatas
V: Trigeminus Sensasi umum Saraf trigeminal mempunyai 3
wajah, kulit kepala, bagian: optalmikus, maksilaris,
dan gigi; gerak dan madibularis. Bagian sensori
mengunyah dari saraf ini mengontrol sensori
pada wajah dan kornea. Bagian
motorik mengontrol otot
mengunyah. Saraf ini secara
parsial dinilai dengan menilai
reflak kornea; jika itu baik
pasien akan berkedip ketika
kornea diusap kapas secara
halus. Kemampuan untuk
mengunyah dan mengatup
rahang harus diamati.
VI: Abdusen Gerak mata Terbatas
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi Bagian sensori saraf ini
umum pada platum berkenaan dengan pengecapan
dan telinga luar; pada dua pertiga anterior lidah.
sekresi kelenjar Bagian motorik dari saraf ini
lakrimalis, mengontrol otot ekspresi wajah.
submandibula dan Tipe yang paling umum dari
sublingual; ekspresi paralisis fasial perifer adalah
wajah bell’s palsi.
VIII: Pendengaran; Tuli; tinnitus (berdenging terus
Vestibulokoklea keseimbangan menerus); vertigo; nitagmus
ris (gerakan bola mata yg cepat di
luar kemampuan)
IX: Pengecapan; sensasi Hilangnya daya pengecapan
Glosofaringeus umum pada faring pada sepertiga posterior lidah;
dan telinga; anestesi pada farings; mulut
mengangkat kering sebagian
palatum; sekresi
kelenjar parotis
X: Vagus Pengecapan; sensasi Disfagia (gangguan menelan)
umum pada farings, suara parau; Ketidak mampuan
laring dan telinga; untuk batuk yang kuat, kesulitan
menelan; fonasi; menelan dan suara serak dapat
parasimpatis untuk merupakan pertanda adanya
jantung dan visera kerusakan saraf ini.
abdomen
XI: Asesorius Fonasi; gerakan Suara parau; kelemahan otot
Spinal kepala; leher dan kepala, leher dan bahu
bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah
a) Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan
pada salah satu sisi tubuh.
b) Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi.
c) Pemeriksaan refleks: Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh
akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali didahuli dengan refleks patologis.
Pemeriksaan Tanda Rangsangan Meningeal
a) Kaku kuduk:
Cara: Pasien tidur telentang
tanpa bantal. Tangan pemeriksa
ditempatkan dibawah kepala
pasien yang sedang berbaring,
kemudian kepala ditekukan
( fleksi) dan diusahakan agar
dagu mencapai dada. Selama
penekukan diperhatikan adanya
tahanan. Bila terdapat kaku
kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku
kuduk dapat bersifat ringan atau berat.
Hasil pemerikasaan: Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat
menyentuh sternum, atau fleksi leher  normal. Adanya rigiditas leher
dan keterbatasan gerakan fleksi leher  kaku kuduk
b) Brudzinski I
Cara: Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan
pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan
sehingga dagu menyentuh dada.
Hasil Pemeriksaan: Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala
disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai
secara reflektorik.
c) Kernig :
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan
pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat.
Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai
membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat
tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat, maka
dikatakan kernig sign positif.

d) Brudzinski II
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang
difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada
sendi panggul.
Hasil Pemeriksaan: Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi
tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini
postif.

1.10.2 Diagnosa Keperawatan


1. Penuruanan Kapasitas Adaptif Intrakranial berhubungan dengan suplai darah
ke otak menurun
2. Risiko perfusi cerebral tidak efektif berhubungan dengan suplai darah ke otak
menurun
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
4. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera biologis
5. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
6. Ganggaun komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan fisiologis
7. Gangguan persepsi sensori gangguan fisiologis
8. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan penurunan ketrampilan
motorik, penurunan rentang gerak, kesulitan membolak balik posisi, gerakan
tidak terkoordinasi, intoleran aktivitas, penurunan kekuatan otot, penurunan
ketahanan tubuh
9. Gangguan Menelan berhubungan dengan ganggaun saraf kranial
10. Defisit Nutrisi berhubungan dengan gangguan sensasi rasa, ketidakmampuan
memakan makanan, tonus otot menurun
11. Defisist perawatan diri ketidakmampuan menjangkau kamar mandi,
ketidakmampuan mengenakan dan melepaskan atribut pakaian,
ketidakmampuan memasukkan makan kemulut, ketidakmampuan eliminasi
1.10.3 Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan SLKI SKI
1. Penuruanan Kapasitas Status Neurologi 1. Kaji sirkulasi perifer secara komprehensif (nadi
Adaptif Intrakranial Setelah dilakukan tindakan keperawatan perifer, edema, CRT, warna, dan suhu
selama 1x4 jam perfusi jaringan otak ekstremitas)
membaik dengan kriteria hasil: 2. Hindarkan cedera pada area dengan perfusi yang
1. Kesadaran membaik minimal
2. Mampu mengontrol motorik sentral 3. Hindarkan klien dari posisi trendelenberg yang
3. mampu melakukan fungsi sensorik meningkatkan TIK
dan motorik cranial 4. Hindarkan adanya penekanan pada area cedera
4. Komunkasi yang tepat dengan 5. Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai
situasi program
6. Kolaborasi pemberian terapi medikamentosa
2. Risiko perfusi cerebral Status Neurologi Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan Tekanan Intrakranial
selama 1x4 jam perfusi jaringan otak Monitor Neurologi
membaik dengan kriteria hasil: 1. Monitor tingkat kesadaran
5. Kesadaran membaik 2. Monitor tanda-tanda vital : suhu, tekanan darah,
6. Mampu mengontrol motorik sentral denyut nadi, dan respirasi
7. mampu melakukan fungsi sensorik 3. Monitor kesimetrisan wajah
dan motorik kranial 4. Monitor karakteristik berbicara : kelancaran,
8. Komunkasi yang tepat dengan adaya aphasia, atau kesulitan menemukan kata
situasi 5. Monitor respon terhadap stimulasi : verbal, taktil,
dan (respon) bahaya
6. Monitor paresthesia : mati rasa dan kesemutan
3. Pola nafas tidak efektif Status pernafasan Manajemen jalan nafas
Status pernafasan: ventilasi 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

13
Status pernafasan (kepatenan jalan 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi
nafas) 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan respirasi
selama 1x4 jam, pola nafas pasien 4. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan
kembali efektif dengan kriteria hasil: kesulitan bernafas
1. Frekuensi nafas normal (16-20 5. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
x/menit) penggunaan otot bantu nafas
2. Irama pernafasan reguler 6. Monitor suara nafas
3. Tidak menggunakan otot bantu 7. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,
pernafasan hiperventilasi, kusmaul)
4. Retraksi dinding dada 8. Monitor saturasi oksigen
5. Tidak terdapat pernafasan bibir Monitor tanda-tanda vital
6. Tidak terdapat sianosis 9. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
7. Tidak terdapat suara nafas tambahan pernafasan dengan tepat
4. Bersihan jalan nafas tidak Status pernafasan Manajemen Ventilasi Mekanik
efektif Status pernafasan: ventilasi Pengaturan Posisi
Status pernafasan (kepatenan jalan Penghisapan Jalan Nafas
nafas) Latihan Batuk Efektif
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen jalan nafas
selama 1x4 jam, pola nafas pasien 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
kembali efektif dengan kriteria hasil: 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi
8. Frekuensi nafas normal (16-20 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
x/menit) Pemantauan respirasi
9. Irama pernafasan reguler 4. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan
10. Tidak menggunakan otot bantu kesulitan bernafas
pernafasan 5. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
11. Tidak terdapat suara nafas tambahan penggunaan otot bantu nafas
6. Monitor suara nafas
7. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,
hiperventilasi, kusmaul)
8. Monitor saturasi oksigen
5. Nyeri akut Kontrol nyeri Manajemen nyeri
Tingkat nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
selama 1x4 jam, nyeri akut pasien 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
kembali normal dengan kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
1. Pasien dapat mengenali kapan nyeri Terapi relaksasi
terjadi 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
2. Pasien mampu menyampaikan faktor nafas dalam dan musik
penyebab nyeri 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
3. Mampu menyampaikan tanda dan Pemberian analgesik
gejala nyeri 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
4. Penurunan skala nyeri keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
5. Ekspresi wajah tidak mengerang dan 8. Cek adanya riwayat alergi obat
meringis kesakitan 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
6. Nyeri terkontrol frekuensi obat analgesik yang diresepkan
Kompres Dingin atau hangat
Latihan Pernapasan
Edukasi Teknik Napas
Teknik Distraksi
Terapi Musik
Terapi Relaksasi
Terapi Sentuhan
Terapi Pemijatan
6. Defisit Nutrisi Status nutrisi Manajemen nutrisi
Status nutrisi: asupan nutrisi 1. Monitor intake makanan dan cairan pasien
Nafsu makan 2. Ciptakan lingkungan yang optimal saat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan mengonsumsi makanan (bersih dan bebas dari bau
selama 1x4 jam, intake nutrisi pasien yang menyengat)
adekuat dengan kriteria hasil: 3. Anjurkan keluarga untuk membawa makanan
1. Asupan makanan secara oral favorit pasien (yang tidak berbahaya bagi
meningkat (porsi makan habis) kesehatan pasien)
2. Asupan cairan secara oral meningkat 4. Anjurkan pasien makan sedikit tapi sering
3. Nafsu makan meningkat 5. Beri dukungan (kesempatan untuk membicarakan
4. Ekspresi wajah tidak meringis perasaan) untuk meningkatkan peningkatan
makan
6. Anjurkan pasien menjaga kebersihan mulut
7. Kolaborasi pemberian obat
Monitor nutrisi
8. Timbang berat badan pasien
9. Monitor turgor kulit dan mobilitas
10. Monitor adanya mual dan muntah
7. Gangguan Mobilitas Fisik Koordinasi pergerakan Pemantauan Neurologis
setelah dilakukan perwatan selama 1x4 Dukungan Ambulasi
jam mobilitas fisik pasien membanik Dukungan Mobilisasi
dengan kriteria hasil: Manajamen Program Latihan
1. Dapat mengontrol kontraksi 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk memfasilitasi
pergerakkan mobilisasi sesuai indikasi
2. Dapat melakukan kemantapan 2. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi
pergerakkan penyebab nyeri otot atau sendi
3. Dapat menahan keseimbangan 3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
pergerakkan mengembangkan peningkatan mekanika tubuh
sesuai indiksi
Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan
4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
fisiologis, dan konsekuensi dari
penyalahgunaannya
5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk terlibat dalam latihan otot progresif
6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi
latihan menurut lefel kebugaran dan ada atau
tidaknya faktor resiko
7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
selesai satu set jika dipelukan
8. Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan tanpa
beban terlebih dahulu sampai gerakan yang benar
sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi
9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
terhadap fungsi sendi
10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah program
latihan
11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan
latihan ROM pasif, dan aktif
13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan
8. Defisist perawatan diri Perawatan diri: mandi Dukungan Perawatan Diri
Perawatan diri: kebersihan Dukungan perawatan diri: mandi/kebersihan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Fasilitasi pasien untuk menggosok gigi dengan
selama 1x24 jam diharapkan perawatan tepat
diri pasien: mandi tidak mengalami 2. Fasilitasi pasien untuk seka dengan tepat
gangguan dengan kriteria hasil: 3. Monitor kebersihan kuku
1. Keluarga mampu melakukan 4. Monitor integritas kulit
2. Mencuci tangan pasien 5. Jaga kebersihan secara berkala
3. Membersihkan telinga 6. Dukung keluarga berpartisipasi dalam
4. Menjaga kebersihan untuk mempertahankan kebersihan dengan tepat
kemudahan bernafas Dukungan Perawatan Diri: BAB/BAK
5. Mempertahankan kebersihan mulut Dukungan Perawatan Diri: Makan/Minum
6. Memperhatikan kuku jari tangan Dukungan Perawatan Diri: Berapakian
7. Memperhatikan kuku jari kaki
Mempertahankan kebersihan tubuh
DAFTAR PUSTAKA

Awaloei, A. C., Mallo, N. T., & Tomuka, D. (2016). Gambaran cedera kepala
yang menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP
Prof Dr. e-CliniC, 4(2).

Doenges M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC

Fountain, D. M., Kolias, A. G., Lecky, F. E., Bouamra, O., Lawrence, T., Adams,
H., ... & Hutchinson, P. J. (2017). Survival Trends After Surgery for Acute
Subdural Hematoma in Adults Over a 20-year Period. Annals of surgery,
265(3), 590.

Karibe, H., HayasHi, T., Hirano, T., KaMeyaMa, M., Nakagawa, A., &
Tominaga, T. (2014). Surgical management of traumatic acute subdural
hematoma in adults: a review. Neurologia medico-chirurgica, 54(11), 887-76
894.

Lonto, A. K., Loho, E., Mamesah, Y. P., & Timban, J. F. (2015). Gambaran Ct
Scan Pada Penderita Perdarahan Subdural Di Rsup Prof. Dr. R. D Kandou
Manado Periode Januari 2011-Oktober 2014. e-CliniC, 3(1).

Meagher, J Richard. 2013. Subdural hematoma Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar


Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Diagnosis


Keperawatan Indonsesi (SDKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Intervnesi


Keperawatan Indonsesi (SDKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Luaran Keperawatan


Indonsesi (SLKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Sastrodiningrat, A Gofar. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada


PerdarahanSubdural Akut. Volume 39 No 3.Medan : Majalah Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai