Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PASIEN DENGAN INTRACEREBRAL HEMORRHAGE (ICH)

Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Praktek Profesi


Keperawatan Departemen Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis
Di Ruang ICU RST dr. Soepraoen Malang

Oleh:
Nama: Fransisca Mareta D A
NIM : P17212225086

PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN
INTRACEREBRAL HEMORRHAGE (ICH)
A. Definisi
Cerebro vascular accident (CVA) atau biasa dikenal sebagai stroke, suatu
penyakit neurologis yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak secara
mendadak yang mengakibatkan kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara,
proses berpikir, dan bentuk kecacatan yang lain akibat gangguan fungsi otak
(Okdiyantino, Sri S, & Setyaningsih, 2019).

Intracerebral hemorrhage (ICH) merupakan suatu kondisi patologis dimana


pembuluh darah pada paremkim otak pecah dan membentuk hematoma yang
menyebabkan kerusakan jaringan di sekitarnya melalui efek mekanis yang
ditimbulkan (mass effect) dan neurotoksisitas dari komponen darah dan produk
degradasinya. Setyopranoto (2012).

B. Etiologi
Beberapa penyakit juga dapat menyebabkan terjadinya ICH. Menurut Raya (2017)
beberapa keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya ICH sebagai berikut

1. Hipertensi
Pecahnya arteriola kecil dikarenakan oleh perubahan degeneratif akibat
hipertensi yang tidak terkontrol risiko tahunan perdarahan rekuren adalah 2%,
dapat dikurangi dengan pengobatan hipertensi diagnosis berdasarkan riwayat
klinis(Raya,2017)
2. Amyloid Angiopathy
Pecahnya arteri ukuran kecil dan menengah dengan deposisi protein β- amyloid
dapat berupa perdarahan lobar pada orang berusia diatas 70 tahun risiko tahunan
perdarahan rekuren adalah 10,5% diagnosis berdasarkan riwayat klinis dan juga
imaging seperti CT Scan, MRI dan juga Angiography (Raya, 2017).
3. Arteriovenous Malformation
Pecahnya pembuluh darah abnormal yang menghubungkan arteri dan vena risiko
tahunan perdarahan rekuren adalah 18% dapat dikurangi dengan eksisi bedah,
embolisasi, dan radiosurgery diagnosis berdasarkan imaging seperti MRI dan
angiografi konvensional (Raya, 2017).
4. Aneurisma intracranial
5. Pecahnya pelebaran sakular dari arteri ukuran medium, biasanya berhubungan
dengan perdarahan subarachnoid. Risiko perdarahan rekuren adalah 50% dalam
6 bulan pertama, dimana berkurang 3% tiap tahunnya, surgical clipping atau
pemasangan endovascular coils dapat secara signifikan mengurangi risiko
perdarahan rekuren diagnosis berdasarkan imaging seperti MRI dan angiografi
(Raya, 2017).
6. Angioma Cavernosum
Pecahnya pembuluh darah kapiler abnormal yang dikelilingi oleh jaringan ikat
memiliki risiko perdarahan rekuren adalah 4,5% dapat dikurangi dengan eksisi
bedah atau radiosurgery diagnosis berdasarkan gambaran MRI (Raya, 2017).

C. Manifestasi Klinis

Menurut Tarwoto (2013) dalam Putri Geofani, 2017), manifestasi klinis ICH
tergantung dari sisi atau bagian mana yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi
dan adanya sirkulasi kolateral. Pada stroke hemoragik, gejala klinis meliputi:

1. Kelumpuhan Anggota Badan


Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparise) atau emiplegia
(paralisis) yang timbul secara mendadak. Kelumpuhan terjadi akibat adanya
kerusakan pada area motorik di korteks bagian frontal, kerusakan ini bersifat
kontralateral artinya jika terjadi kerusakan pada hemisfer kanan maka
kelumpuhan otot pada sebelah kiri. Pasien juga akan kehilangan kontrol otot
volunteer dan sensorik sehingga pasien tidak dapat melakukan ekstensi maupun
fleksi (Putri Geofani, 2017) .
2. Gangguan sensibilitas
Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan. Gangguan
sensibilitas terjadi karena kerusakan system saraf otonom dan gangguan saraf
sensorik (Putri Geofani, 2017).
3. Penurunan kesadaran
Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma), terjadi
akibat perdarahan, kerusakan otak kemudian menekan batang otak atau
terjadinya gangguan metabolik otak akibat hipoksia (Putri Geofani, 2017).
4. Afasia (kesulitan dalam bicara)
Afasia adalah defisit kemampuan komunikasi bicara, termasuk dalam
membaca, menulis dan memahami bahasa. Afasia terjadi jika terdapat
kerusakan pada area pusat bicara primer yang berada pada hemisfer kiri dan
biasanya terjadi pada stroke 21 dengan gangguan pada arteri middle sebelah
kiri. Afasia dibagi menjadi 3 yaitu afasia motorik, sensorik dan afasia global.
Afasia motorik atau ekspresif terjadi jika area pada area Broca, yang terletak
pada lobus frontal otak (Putri Geofani, 2017). Pada afasia jenis ini pasien dapat
memahami lawan bicara tetapi pasien tidak dapat mengungkapkan dan
kesulitan dalam mengungkapkan bicara. Afasia sensorik terjadi karena
kerusakan pada area Wernicke, yang terletak pada lobus temporal. Pada afasia
sensori pasien tidak dapat menerima stimulasi pendengaran tetapi pasien
mampu mengungkapkan pembicaraan. Sehingga respon pembicaraan pasien
tidak nyambung atau koheren. Pada afasia global pasien dapat merespon
pembicaraan baik menerima maupun mengungkapkan pembicaraan (Putri
Geofani, 2017).
5. Disatria (bicara cedel atau pelo)
Merupakan kesulitan bicara terutama dalam artikulasi sehingga ucapannya
menjadi tidak jelas. Namun demikian, pasien dapat memahami pembicaraan,
menulis, mendengarkan maupun membaca. Disartria terjadi karena kerusakan
nervus cranial sehingga terjadi kelemahan dari otot bibir, lidah dan laring.
Pasien juga terdapat kesulitan dalam mengunyah dan menelan (Putri Geofani,
2017).
6. Gangguan Penglihatan (Diplopia)
Pasien dapat kehilangan penglihatan atau juga pandangan menjadi ganda,
gangguan lapang pandang pada salah satu sisi. Hal ini terjadi karena kerusakan
pada lobus temporal atau parietal yang dapat menghambat serat saraf optik pada
korteks oksipital. Gangguan penglihatan juga dapat disebabkan karena
kerusakan pada saraf cranial III, IV dan VI (Putri Geofani, 2017).
7. Disfagia
Disfagia atau kesulitan menelan terjadi karena kerusakan nervus cranial IX.
Selama menelan bolus didorong oleh lidah dan glottis menutup kemudian
makanan masuk ke esophagus (Putri Geofani, 2017).
8. Inkontinensia
Inkontinensia baik bowel maupun badder sering terjadi karena terganggunya
saraf yang mensarafi bladder dan bowel (Putri Geofani, 2017).
9. Vertigo, mual, muntah, nyeri kepala, terjadi karena peningkatan tekanan
intrakranial, edema serebri

D. Klasifikasi ICH

Stroke ini terjadi akibat pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu.
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologi fokal akut yang disebabkan oleh
perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan karena trauma
kapitis melainkan pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler. Perdarahan otak
dibagi dua, yaitu (Lestari, 2017) :

1. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intrasebral ialah keadaan pecahnya pembuluh darah
(mikroaneurisma) terutama karena hipertensi yang mengakibatkan darah masuk
ke dalam jaringan otak membentuk massa yang menekan jaringan otak dan
menimbulkan edema otak, jika peningkatan TIK terjadi secara cepat dapat
mengakibatkan kematian mendadak akibat herniasi otak (Lestari, 2017).
2. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid ialah keadaan pecahnya arteri dan keluarnya darah ke
ruang subaraknoid yang menyebabkan TIK meningkat secara mendadak,
menurunnya respon terhadap nyeri dan vasospasme pembuluh darah cerebral
yang berakibat disfungsi otak global (sakit kepala, penurunan kesadaran)
maupun fokal (hemiparase, gangguan sensorik, afasia dll) (Wijaya & Putri, 2013
dalam Lestari, 2017). Stroke Hemoragik terjadi karena adanya perdarahan
didalam otak. Perdarahan otak dibagi menjadi dua yaitu :
 Perdarahan Intraserebri (PIS) Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma)
terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan
otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak dan menimbulkan
edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi secara cepat dapat mengakibatkan
kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intraserebri yang
disebabkan hipertensi sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons dan
serebellum (Muttaqin, 2009).
 Perdarahan Subarakhnoid (PSA) Perdarahan ini berasal dari pecahnya
aeurisma berry atau AVM. Menurut Juwono dalam Muttaqin (2009)
Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi Wilisi dan
cabang-cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak. Pecahnya arteri dan
keluarnya darah ke ruang subarakhnoid menyebabkan TIK meningkat
mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh
darah serebri yang berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan
kesadaran) maupun fokal (hemiparase, gangguan hemisensorik, afasia dan
lainnya). Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subarakhnois
mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya
struktur peka nyeri, sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai
kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatan
TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina
dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarakhnoid dapat mengakibatkan
vasospasme pembuluh darah serebri. Vasospasme seringkali terjadi dalam 3-
5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5 sampai
dengan ke 9. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-
bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan ke dalam cairan serebrospinal
dengan pembuluh arteri di ruang subrakhnoid. Vasospasme ini menyebabkan
disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal
(hemiparase, gangguan hemisensorik, afasia dan lainnya) (Muttaqin, 2009). .
Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat dipenuhi.
Energi yang dihasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan O2 sehingga jika ada kerusakan
atau kekurangan aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolisme sel otak, tidak boleh kurang sari 20 % karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa
tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi
gejala disfungsi serebri. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha
memuhi kebutuhan O2 melalui proses anaerob yang dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah otak (Muttaqin, 2009).

E. Patofisologis

Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria serebri
yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. keluarnya darah dari pembuluh
darah didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau didekatnya, sehingga
jaringan yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan. Darah yang keluar dari
pembuluh darah sangat mengiritasi otak, sehingga mengakibatkan vosospasme pada
arteri disekitar perdarahan, spasme ini dapat menyebarkeseluh hemisfer otak dan
lingkatran willisi, perdarahan aneorisma-aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan
bedinding tipis yang menonjol pada arteri pada tempat yang lemah. Makin lama
aneorisme makin besar dan kadang-kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam
keadaan fisiologis pada orang dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58
ml/menit per 100 gr jaringan otak. bila aliran darah ke otak turun menjadi 18
ml/menit per 100 gr jaringan otak akan menjadi penghentian aktifitas listrik pada
neuron tetapi stroktur sel masih baik, sehingga gejala ini massih revisibel. Oksigen
sangat dibutuhkan oleh otak sedangkan O2 diperoleh dari darah, otak sendiri hampir
tidak ada cadangan O2 dengan demikian otak sangat tergantung pada keadaan aliran
darah setiap saat. Bila suplay O2 terputus 8-10 detik akan terjadi gangguan fungsi
otak, bila lebih lama dari 6-8 menit akan terjadi jelas/lessi yang tidak putih
lagi(ireversibel)dan kemudian kematian. Pedarahan dapata meninggikan tekana
intrakranial dan menyebabkan ischemic di daaerah lain yang tidak perdarahan,
sehingga dapat berakibat mengurangnya aliran darah ke otak baik secara umum
maupun lokal. Timbulnya penyakit ini sangat cepat dan konstan dapat berlangsung
beberapa meni, jam bahkan beberapa hari.(Corwin,2009).

F. Pemeriksaan Penunjang

Untuk mengetahui terjadinya ICH dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai


berikut :

1. CT Scan (Computed Tomography Scan) CT Scan digunakan untuk


memperlihatkan edema, hematoma, iskemik dan adanya infark (Lestari, 2017).
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging) Pemeriksaan MRI dilakukan dengan
menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi dan besar/luas
terjadinya perdarahan otak (Lestari,2017).
3. Angiogram Angiogram digunakan untuk membantu menentukan penyebab
stroke secara spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri, oklusi atau ruptur
(Lestari,2017).
4. Ekokardiogram Ekokardiogram merupakan pemeriksaan dengan menggunakan
gelombang suara pada jantung. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui
fungsi katup- katup jantung, mengetahui ketebalan dinding jantung dan melihat
adanya gumpalan darah yang dapat menyebakan stroke (Lestari, 2017)
3. Lumbal Puncture atau Fungsi Lumbal Lumbal Lumbal Puncture atau fungsi
Lumbal digunakan untuk mengidentifikasi adanya tekanan normal hemoragik,
Malformasi Arterial Artirivena (MAV) (Lestari, 2017).
5. Ultrasonografi Doppler Ultrasonografi Ultrasonografi doppler adalah sebuah tes
untuk mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis atau
aliran darah) (Lestari, 2017).
6. EEG (Electro ensefalography) Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengidentifikasi masalah dengan melihat gelombang pada otak.
7. Pemeriksaan Laboratorium
- Test darah koagulasi Test darah ini terdiri dari 4 pemeriksaan, yaitu:
prothrombin time, partial thromboplastin (PTT), International Normalized
Ratio (INR) dan agregasi trombosit. Keempat test ini gunanya mengukur
seberapa cepat darah pasien menggumpal. 32 Gangguan penggumpalan bisa
menyebabkan perdarahan atau pembekuan darah. Jika pasien sebelumnya
sudah menerima obat pengencer darah seperti warfarin, INR digunakan
untuk mengecek apakah obat itu diberikan dalam dosis yang benar. Begitu
pun bila sebelumnya sudah diobati heparin, PTT bermanfaat untuk melihat
dosis yang diberikan benar atau tidak (Putri Geofani,2017).
- Test kimia darah Cek darah ini untuk melihat kandungan gula darah,
kolesterol, asam urat, dll. Apabila kadar gula darah atau kolesterol berlebih,
bisa menjadi pertanda pasen sudah menderita diabetes dan jantung. Kedua
penyakit ini termasuk ke dalam salah satu pemicu ICH (Putri Geofani, 2017)
- Pemeriksaan darah lengkap Pemeriksaan darah lengkap seperti Hb,
Leukosit, Trombosit, Eritrosit. Hal ini berguna untuk mengetahui apakah
pasien menderita anemia. Sedangkan leukosit untuk melihat sistem imun
pasien. Bila kadar leukosit diatas normal, berarti ada penyakit infeksi yang
sedang menyerang pasien (Putri Geofani, 2017)
H. Penatalaksanaan ICH

1. Tatalaksana Farmakologi dan Pembedahan Terapi Terapi dari stroke


hemoragik bertujuan ganda yaitu meminimalkan cedera otak dan
membatasi komplikasi sistemik dari cedera otak yang terjadi. Terapi
ditujukan pada penghentian perdarahan, mencegah kerusakan neurologis
lanjut, pengontrolan tekanan darah, terapi simtomatik dan mencegah
kekambuhan. Manajemen awal, perhatian tertuju pada keadaan jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya harus diusahakan dalam
keadaan baik (Suwita, 2015). Selama 24 jam pertama sesudah perdarahan
intraparenchymal, umumnya menyebabkan penurunan fungsi neurologis
pada lebih dari 40% pasien, dan hal ini merupakan petanda outcome klinis
yang buruk. Dilakukan penurunan tekanan darah sistolik 20 % dari 24 jam
pertama, atau kurang dari 160 mmHg. Diberikan labetalol atau nicardipine
melalui intravena. Untuk mencegah herniasi pada perdarahan
intraparenchymal yang masif dapat dilakukan hemicraniectomy (Suwita,
2015). Mencegah kerusakan neurologis lebih lanjut. Diberikan terapi
osmotik seperti manitol 0,25-1 g/kgBB bolus dan elevasi kepala 40 derajat
untuk membantu mengurangi tekanan intrakranial. Mencegah
kekambuhan dengan memberikan obat antihipertensi. Indikasi
pembedahan pada stroke hemoragik adalah jika perdarahan yang terjadi
dengan diameter lebih dari 3 cm atau adanya tanda klinis terjadinya
kompresi batang otak (Suwita, 2015).
2. Tatalaksana Nutrisi Pemantauan status hidrasi sangat penting untuk
mempertahankannya tetap dalam kondisi yang seimbang. Keseimbangan
elektrolit perlu dijaga. Faktor risiko stroke juga perlu diperhatikan dalam
tatalaksana nutrisi yang diberikan. Asupan natrium perlu dibatasi untuk
mengontrol tekanan darah, mengurangi asupan lemak jenuh dan menjaga
status gizi tetap normal (Suwita, 2015).

I. Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1) Identitas
Meliputi: umur (dari berbagai penelitian, diketahui bahwa usia semakin
tua semakin besar pula resiko terkena stroke. Hal ini berkaitan dengan
proses degenerasi/penuaan yang terjadi secara alamiah.
2) Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, dan penurunan kesadaran pasien.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Kronologis peristiwa CVA Infark sering setelah melakukan aktifitas
tiba-tiba terjadi keluhan neurologis misal: sakit kepala hebat, penurunan
kesadaran seperti koma.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji apakah pasien pernah menderita penyakit DM, CVA,
Hipertensi, Kelainan jantung, Pernah TIA, Policitemia karena hal ini
berhubungan dengan penurunan kualitas pembuluh darah.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes mellitus,
atau adanya riwayat CVA pada generasi terdahulu.
6) Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Pernafasan (B1/Breathing)
Batuk, peningkatam produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas, serta perubahan kecepatan dan kedalaman pernafasan.
Adanya ronchi akibat peningkatan produksi secret dan penurunan
kesadaran klien. Pada klien yang sadar baik sering kali tidak didapati
kelainan pada pemeriksaan sistem respirasi.
b. Sistem Peredaran Darah (B2/Blood)
Dapat terjadi hipotensi atau hipertensi, denyut jantung irreguler,
adanya murmur.
c. Sistem Persyarafan (B3/Brain)
Tingkat kesadaran: bisa sadar baik sampai terjadi koma. Penilaian
GCS untuk menilai tingkat kesdaran klien. Reflek Patologis: Reflek
babinski positif menunjukkan adanya perdarahan di otak/perdarahan
intraserebri dan untuk membedakan jenis CVA yang ada apakah
bleeding atau infark. Pemeriksaan saraf kranial
a) Saraf 1: biasanya pada klien dengan CVA tidak ada kelainan pada
fungsi penciuman.
b) Saraf 11: disfungsi persepsi visual karena gangguan jarak
sensorik primer diantara sudut mata dan kortek visual. Gangguan
hubungan visual-spasial sering terlihat pada klien dengan
hemiplegi kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian
tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokan
pakaian ke bagian tubuh.
c) Saraf 111, 1V, dan V1 apabila akibat CVA mengakibatkan
paralisis seisi otot-otot okularis didapatkan penurunan
kemampaun gerakan konjugat unilateral disisi yang sakit.
d) Saraf V11 persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
e) Saraf X11 lidah asimetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d. Sistem Perkemihan (B4/Bladder)
Terjadi inkontinensia urine sementara karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk megendalikan kandung kemih karena
kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter
urine eksternal hilang atau berkurang, sehingga selama periode ini,
dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia
urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologi luas.
e. Sistem Pencernaan (B5/Bowel)
Adanya keluhan sulit menelan, nafsu makan menurun, mual dan
muntah pada fase akut. Mungkin mengalami inkontinensia alvi atau
terjadinya konstipasi akibat penurunan peristaltic usus. Adanya
gangguan pada saraf V yaitu pada beberapa keadaan CVA
menyebabkan paralisis saraf trigeminus, di dapatkan penurunan
kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang
bawah pada sisi ipsilateral dan kelumpuhan seisin otot-otot
pterigoideus dan pada saraf IX dan X yaitu kemampuan menelan
kurang baik, kesukaran membuka mulut.
f. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6/Bone)
Kehiangan kontrol volenter gerakan motorik. Terdapat hemiplegia
atau hemiparese ekstremitas, kaji adanya dekubitus akibat
immobilisasi fisik.
g. Sistem Penginderaan (B7)
Pada pengindraan pasien biasanya tidak mengalami masalah.
h. Sistem Endokrin (B8)
Ada atau tidaknya pembesaran kelenjar endokrin, biasanya tidak
mengalami pembesaran kelenjar endokrin
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia
(D.0054)
2. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan sensori,
penurunan penglihatan (D.0085)
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi
darah otak (D.0119)
4. Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah
dan menelan (D.0032)
5. Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan tirah baring lama
(D.0139)
6. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (D.0077)
7. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan embolisme
(D.0017)
8. Risiko jatuh ditandai dengan kekuatan otot menurun (D.0143)
C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Gangguan mobilitas fisik b.d Tujuan (L.05042) Dukungan mobilisasi (I.05173)
hemiparase/ hemiplegia (D.0054) Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
selama .... diharapkan mobiltas fisik  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
meningkat lainya
Kriteria hasil:  Identifikasi toleransi fisik melakukan
 Pergerakan ekstremitas meningkat pergerakan
 Kekuatan otot meningkat Terapeutik
 Rentang gerak (ROM) meningkat  Fasilitasi melakukan pergerakan
 Fasilitasi aktivitasi mobilisi dengan alat bantu
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
 Anjurkan melakukan mobilisasi dini
2. Gangguan persepsi sensori b.d Tujuan (L.12107) Minimalisasi Rangsangan (I.08241)
penurunan sensori (D.0085) Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
selama ..... diharapkan fungsi sensori  Periksa status mental, status sensori, dan
membaik tingkat kenyamanan
Kriteria hasil: Terapeutik
 Ketajaman pendengaran membaik  Batasi stimulus lingkungan
 Ketajaman pengelihatan membaik  Jadwalkan aktivitas harian dan waktu istirahat
Edukasi
 Ajarkan cara meminimalisasikan stimulus
Kolaborasi
 Kolaborasi dalam meminimalkan prosedur atau
tindakan
3. Gangguan komunikasi verbal b.d Tujuan (L.13118) Promosi komunikasi: Defisit bicara (I.13492)
penurunan sirkulasi darah otak Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
(D.0119) selama .... diharapkan komunikasi verbal  Monitor kecepatan, tekanan, kuantitas, volume,
meningkat dan diksi bicara
Kriteria hasil:  Monitor proses kognitif, anatomis, dan
 Kemampuan berbicara meningkat fisiologi yang berkaitan dengan bicara
 Kesesuaian ekspresi wajah/ tubuh Terapeutik
meningkat  Gunakan metode komunikasi alternatif
 Berikan dukungan psikologis

Edukasi
 Anjurkan berbicara perlahan
 Ajarkan pasien dan keluarga proses kognitif
Kolaborasi
 Rujuk ke ahli patologi bicara atau terapis
4. Resiko defisit nutrisi b.d kelemahan Tujuan (L.03030) Menajemen gangguan makan (I.03111)
otot mengunyahdan menelan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
(D.0032) selama .... diharapkan status nutrisi  Monitor asupan dan keluarnya makanan dan
meningkat cairan serta kebutuhan kalori
Kriteria hasil: Terapeutik
 Porsi makanan yang dihabiskan  Timbang berat badan secara rutin
meningkat  Diskusikan perilaku makan dan jumlah
 Kekuatan otot mengunyah meningkat aktivitas fisik
 Kekuatan otot menelan meningkat Edukasi
 Ajarkan pengaturan diet yang tepat
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat
badan
5. Resiko gangguan integritas kulit b.d Tujuan (L.14125) Pencegahan luka tekan (I.14543)
tirah baring lama (D.0139) Observasi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan  Monitor suhu kulit yang tertekan
selama .... Diharapkan integritas kulit  Periksa adanya luka tekan sebelumnya
dan jaringan meningkat. Terapeutik
Kriteria hasil:  Berikan bantalan pada titik tekan atau tonjolan
 Kerusakan jaringan menurun tulang
 Kerusakan lapisan kulit menurun  Ubah posisi dengan hati-hati setiap 1-2 jam
 Kemerahan menurun  Buat jadwal perubahan posisi
Edukasi
 Jelaskan tanda- tanda kerusakan kulit
 Ajarkan cara merawat kulit
6. Nyeri akut berhubungan dengan Tujuan (L.08066) Menejemen Nyeri (I.08238)
agen pencedera fisiologis (D.0077) Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
selama .... diharapkan tingkat nyeri  Identifikasi skala nyeri
menurun.  Identifikasi respon nyeri non verbal
Kriteria hasil:  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
 Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
 Gelisah menurun Terapeutik
 Kesulitan tidur menurun  Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
7. Risiko perfusi serebral tidak efektif Tujuan (L.02014) Pemantauan tekanan intrakranial (I.06198)
ditandai dengan embolisme Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
(D.0017) selama .... diharapkan perfusi serebral  Monitor penyebab peningkatan TIK
meningkat  Monitor peningkatan TD
Kriteria hasil: Terapeutik
 Tingkat kesadaran meningkat  Pertahankan posisi kepala dan leher netral
 Kognitif meningkat  Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan
8. Resiko jatuh ditandai dengan Tujuan (L.14138) Pencegahan jatuh (I.14540)
kelemahan otot (D.0143) Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
selama .... diharapkan tingkat jatuh  Identifikasi faktor risiko jatuh
menurun
Kriteria hasil:  Monitor kemampuan berpindah dari tempat
 Jatuh dari tempat tidur menurun tidur ke kursi roda dan sebaliknya
 Jatuh saat berdiri menurun Terapeutik
 Pasang handrail tempat tidur
 Atur tempat tidur mekanis pada posisi rendah
 Gunakan alat bantu berjalan
Edukasi
 Ajarkan memanggil perawat jika
membutuhkan bantuan
 Anjurkan menggunakan alas kaki yang tidak
licin
DAFTAR PUSTAKA

A, M. (2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.


Anggraheni, D, F., 2020. Asuhan Keperawatan pada Tn.J dengan Diagnosa Medis
CVA (Cerebro Vascular Accident) Infark di Ruang Krissan RSUD Bangil
Pasuruan.
Asyifaurrohman. (2017). Asuhan Keperawatan pada Pasien Stroke Hemorrhage
dengan Masalah Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Serebral Posisi Head Up 30 di
Ruang ICU. ICU PKU Muhammadiyah.
Geofani, P. (2017). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Stroke Hemoragik.
Bangsal Saraf RSUP Dr. M Djamil.
Geofani, P. (2017). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Stroke Hemoragik.
Bangsal Saraf RSUP Dr. M Djamil.
Gunawan, V. Ss., Arifin, J., & Ismail, A. (2015). Jumlah Pasien Masuk Ruang
Perawatan Intensif Berdasarkan Kriteria Prioritas Masuk di RSUP Dr. Kardiadi
Periode Juli-September 2014. Media Medika Muda, 4(4), 1561– 1568.
Padila. 2012. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika
Salemba. A, R. (2017). Karakteristik Terjadinya Intracerebral Hematoma Spontan di
Ruang Rawat Bedah Saraf. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.
SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP
PPNI.
SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI.
SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI.
Suwita. S. (2015). Tatalaksana Nutrisi Pasien Stroke Hemoragik dengan Berbagai
Fraktur Risiko.
Tarwoto. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sisten Persarafan. Wiruh, R.
A. (2016). Family Nursing in The ICU: The Sistematic Literature

Anda mungkin juga menyukai