Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN CRANIOTOMY

DIRUANG ICU RSUD KOTA SALATIGA

Disusun Oleh :
IKE DIAH AYU LARASATI
NIM : 18.04.06.24

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES AN-NUR PURWODADI
2019
CRANIOTOMY

A. PENGERTIAN
Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala)
dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak.
Craniotomy adalah perbaikan pembedahan, reseksi atau pengangkatan
pertumbuhan atau abnormalitas di dalam cranium, terdiri atas pengangkatan dan
penggantian tulang tengkorak untuk memberikan pencapaian pada struktur
intracranial (Susan, 2016).
B. ANATOMI FISIOLOGI
Otak adalah suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat
computer dari semua alat tubuh, jaringan otak dibungkus oleh selaput otak dan
tulang tengkorak yang kuat dan terletak dalam cavum cranii. Otak terdiri dari tiga
selaput otak (meningiens), antara lain:
1. Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat.
2. Arakhnoida (lapisan tengah)
Selaput tipis yang memisahkan duramater dengan piamater membentuk
sebuah balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh sistem syaraf sentral.
3. Piamater (lapisan dalam)
Selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater
berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat disebut
tuberkel.
Bagian-bagian Otak menurut Hudak dan Gallo (2012):
1. Serebrum (otak besar)
Merupakan bagian terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur mengisi
penuh depan ats rongga pada otak besar ditemukan lobus-lobus yaitu :
a. Lobus Frontalis
adalah bagian depan dari serebrum yang terletak di depan sulkus sentralis.
Lobus Frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik ( misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali
sepatu) lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.
b. Lobus Parietalis
terdapat dibawah lateral dari fisura serebralis dan di depan lobus
oksipitalis. Lobus paretalis pada korteks serebri menggabungkan kesan
dari bentuk tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum, kemampuan
matematika dan bahasa berasal dari daerah ini, juga membantu
mengarhkan posisi pada ruang sekitarnya dan mersakan posisi dari bagian
tubuhnya.
c. Lobus temporalis
terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan lobus
oksipitalis. Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi
menjadi mengingatnya sebagai memori jangka panjang, juga memahami
suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali
serta menghasilkan jalur emosional.
d. Lobus Oksipitalis, yang mengisi bagian belakang dari cerebrum.
2. Batang Otak (trunkus serebri)
Disensepalon ke ats berhubungan dengan serebrum dan medula oblongata ke
bawah dengan medula spinalis. Serebrum melukat pada batang otak di bagian
medula oblongata, pons varoli dan mensesepalon.
3. Serebrum (otak kecil)
Terletak pada bagian bawah dan belakang tengkorak dipisahkan dengan
serebrum oleh fisura transversalis dibelakang oleh pons varoli dan di atas
medula oblongata. Oragn ini banyak menerima serabut aferent sensoris
merupakan pusat koordinasi dan intelegensi.
C. ETIOLOGI
Etiologi menurut Elizabeth, (2012) yaitu:
1. Tumor
2. Oleh benda tajam
3. Pukulan benda tumpul
4. Pukulan benda tajam
5. Kecelakaan lalu lintas
6. Terjatuh
7. Kecelakaan kerja
8. Kongenital
D. TANDA DAN GEJALA
Menurut Brunner dan Suddarth, (2017) yaitu:
1. Penurunan kesadaran dan nyeri kepala sebentar, kemudian membaik.
2. Beberapa waktu kemudian timbul gejala yang berat dan sifatnya progresif
seperti : nyeri kepala hebat, pusing, penurunan kesadaran.
3. Pada kepala terdapat hematoma subkutan, pipil anisokor.
4. Kelemahan respon motorik kontralateral (berlawanan dengan tempat
hematoma).
5. Refleks hiperaktif atau sangat cepat.
6. Bila hematoma semakin meluas akan timbul gejala deserebrasi dan gangguan
tanda vital dan fungsi pernafasan.
E. KOMPLIKASI
Menurut Brunner dan Suddarth, (2017) yaitu:
1. Kejang
2. Edema pulmonal
3. Kebocoran cairan serebrospinal
4. Peningkatan tekanan intrakranial
5. Herniasi otak
6. Kegagalan pernafasan
7. Defisit neurologis
Sedangkan komplikasi Post-Operasi Craniotomy antara lain:
1. Edema cerebral
2. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral
3. Hypovolemik syok
4. Hydrocephalus
5. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus)
6. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
7. Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati,
dan otak.
8. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini.
9. Infeksi.
10. Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang
paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme;
gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari
infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan
memperhatikan aseptik dan antiseptik.
11. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
12. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah
keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau
eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik menurut Doengoes Marillyn, (2016) antara lain:
1. CT-Scan (Ceputeraise Tomografi Scanning)
Untuk mengindentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinasi ventikuler dan
perubahan jaringan otak.
2. MRI (Magnetik Resonan Imaging)
Digunakan untuk mengidentifikasi luas dan letak cedera.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi oedema, trauma dan perdarahan.
4. EEG (Elektro Ensefalo Graphy)
Untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis.
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan stuktur garis
(perdarahan/oedema).
6. BAER (Brain Evoked Respone)
Mengoreksi batas fungsi kortek dan otak kecil.
7. PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.
8. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan TIK
(Tekanan Intra Kranial).
9. GDA (Gas Darah Analisa)
Untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigen yang dapat
meningkatkan TIK (Tekanan Intra Kranial).
10. Ekoensephalografi
Untuk menentukan posisi stuktur otak dibagian garis tengah dan jarak dari
garis tengah ke dinding ventikuler atau dinding ventikuler ke – 3.
11. EMG (Elektromiografi)
Digunakan untuk menentukan ada tidaknya gangguan neuromuskuler dan
miopatis.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Penatalaksanaan umum cedera kepala menurut Barbara, (2012) sebagai
berikut :
a. Untuk kontusio dengan kehilangan kesadran kurang dari 20 menit
1) Biasanya tidak perlu dirawat di rumah sakit
2) Titah baring
3) Pemberian asetaminofen untuk sakit kepala.
b. Untuk kontusio, laserasi atau kehilangan kesadaran lebih dari 20 menit
1) Rawat inap
2) Tirah baring
3) Kraniotomi untuk mengeluarkan hematoma, khususnya bila perdarahan
berasal dari arteri.
4) Buat lubang untuk mengeluarkan hematoma epidural
5) Antiboitik untuk melindungi terhadap meningitis bila ada kebocoran
cerebrospinal (CCS) dan tutup dengan kapaa steril untuk mencegah
masuknya bakteri.
2. Penatalaksanaan khusus pada cedera kepala adalah :
a. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi
b. Monitor tekanan darh jika pasien mempoerlihatkan tanda kestabilan
hemodinamik
c. Pemasangan alat monitor tekanan intra kranial
H. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
2. Mempercepat penyembuhan.
3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
4. Mempertahankan konsep diri pasien.
5. Mempersiapkan pasien pulang.
Perawatan pasca pembedahan :
1. Tindakan keperawatan post operasi
a. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output
b. Observasi dan catat sifat darai drain (warna, jumlah) drainage.
c. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati, jangan
sampai drain tercabut.
d. Perawatan luka operasi secara steril.
2. Makanan
Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan menelan
makanan sesudah pembedahan. makanan yang dianjurkan pada pasien post
operasi adalah makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat
diperlukan pada proses penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang
mengandung antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk
pencegahan infeksi.
pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (nothing peroral)
Biasanya makanan baru diberikan jika:
a. Perut tidak kembung
b. Peristaltik usus normal
c. Flatus positif
d. Bowel movement positif
3. Mobilisasi
Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya
stabil. Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan
perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien yang menjalani
pembedahan abdomen dianjurkan untuk melakukan ambulasi dini.
4. Pemenuhan kebutuhan eliminasi
a. Sistem Perkemihan.
Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia
inhalasi, IV, spinal.
b. Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi, retensi urine.
1) Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusi abdomen bawah (distensi buli-
buli).
2) Dower catheter : kaji warna, jumlah urine, out put urine < 30 ml / jam,
komplikasi ginjal.
c. Sistem Gastrointestinal.
1) Mual muntah 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat
menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada
bedah kepala dan leher serta TIO meningkat.
2) Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.
3) Kaji paralitic ileus suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus.
4) Kaji jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.
5) Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan
decompresi dan drainase lambung.
a) Meningkatkan istirahat.
b) Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
c) Memonitor perdarahan.
d) Mencegah obstruksi usus.
e) Irigasi atau pemberian obat.
Proses penyembuhan luka
1. Fase pertama
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak / rapuh. Sel-
sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut
bening digunakan sebagai kerangka.
2. Fase kedua
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran
sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan
kuat dan kemerahan.
3. Fase ketiga
Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul
jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
4. Fase keempat
Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
Upaya untuk mempercepat penyembuhan luka
1. Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin C.
2. Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid.
3. Pencegahan infeksi.
4. Pengembalian Fungsi fisik.
5. Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan
napas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data untuk evaluasi dan
mengidentifikasi status pasien (Nursalam, 2017).
1. Pengkajian primer
Survey primer dalam asuhan keperawatan gawat darurat adalah :
a. Airway
1) Bebas, ada obstruksi: parsial/total, penyebab obstruksi: darah, lendir,
lidah jatuh.
2) Normal, suara nafas karena obstruksi: snoring, gurling, growing,
stridor.
3) Kondisi utama sevikal/spine control: bebas, jelas, fraktur.
4) Penggunaan otot bantu pernafasan
5) Sianosis : di sekitar mulut/mukosa, kuku
b. Breathing
1) Respirasi berapa kali per menit, regular/irregular
2) Gerakan otot pernafasan tambahan
3) Suara abnormal : wheezing, ronkhi, krekles, friction rub pleural.
4) Eupnea, bradipnoe, cheyne stokes, apnoe, takhipnoe
c. Sirkulasi
1) Tekanan darah.
2) Nadi.
3) Suhu.
4) Abnormalisasi warna kulit : pucat, kebiruan, eritema, ikterik,
kehilangan pigmen, merah.
5) Henti jantung : bradycardi, tachycardi.
6) Capilary refill: < 2 detik, > 2 detik.
7) Kehilangan cairan dalam jumlah besar : muntah, diare.
8) Perdarahan : tidak terlihat, terlihat : 500 cc, > 500cc
9) Luka bakar: luas, grade.
d. Disability
1. Kesadaran.
2. Nilai GCS E, M,V, total GCS.
3. Pupil : isokor, anisokor, miosis, midriasis, pin point.
4. Reaksi pupil terhadap cahaya : positif, negatif
5. Lateralisasi motorik : reflek abnormal satu sisi, kejang salah satu sisi.

e. Eksposure
Buka semua pakaian pasien untuk melihat adanya luka.
2. Pengkajian sekunder
Pengkajian pola fungsional menurut Doenges (2017) :
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda: Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia,
ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam
keseimbangan, cedera (tauma) ortopedi, kehilangan tonus
otot, otot spastik.
2) Sirkulasi
Gejala: Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi),
perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang
diselingi dengan bradikardi, disritmia).
3) Integritas EGO
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis).
Tanda: Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi dan inpulsif.
4) Eliminasi
Gejala: Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami
gangguan fungsi.
5) Makanan/Cairan
Gejala: Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda: Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air
liur keluar, disfagia).
6) Neurosensori
Gejala: Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian. Vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, tingling, baal pada ekstermitas. Perubahan
dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia. Gangguan
pengecapan dan juga penciuman.
Tanda: Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya,
simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan pengindraan, seperti: pengecapan, penciuman
dan pendengaran. Wajah tidak simetris. Genggaman lemah,
tidak seimbang. Reflek tendon dalam tidak ada atau lemah.
Apraksia, hemiparase, quadreplegia. Postur (dekortikasi,
deserebrasi), kejang. Sangat sensitive terhadap sentuhan
dan gerakan. Kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan
dalam menentukan posisi tubuh.
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya lama.
Tanda: Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
8) Pernafasan
Tanda: Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak. Ronkhi,
mengi positif (kemungkinan karena respirasi).
9) Keamanan
Gejala: Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda: Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
Kulit: Laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye”,
Tanda battle disekitar telinga (merupakan Tanda adanya
trauma). Adanya aliran cairan (drainase) dari
telinga/hidung (CSS). Gangguan kognitif, gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis. Demam, gangguan dalam regulasi
suhu tubuh.
10) Interaksi Sosial
Tanda: Afasia motorik dan sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria, anomia.
11) Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Penggunaan alkohol/obat lain
Pertimbangan rencana pemulangan: Membutuhkan
bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi,
menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan,
tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang, atau
penempatan fasilitas lainnya dirumah.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi
pergerakan, dan meningkatnya tekanan intracranial
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala, luka post op.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post op, kondisi penyakit akibat
trauma kepala.
8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
9. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,
mual, muntah
C. Patway
Pathway dan Masalah Keperawatan
Trauma Tumor

I. Luka tembus, Cedera primer/langsung Cedera sekunder/


luka lecet tak langsung
J.

K. Kerusakan jaringan Laserasi Kerusakan syaraf otak


kulit kepala
L.
Aliran darah ke otak menurun Reflek batuk
menurun
Risiko tinggi infeksi
Suplai nutrien ke otak menurun
(O2,glukosa)
Bersihan jalan nafas
Fraktur tulang tengkorak tidak efektif
Perubahan metabolisme aerob
menjadi anaerob

Asam laktat meningkat Hipoksia Produksi ATP berkurangMetabolisme Asidosis


M.

Oedema Jaringan otak


Vasodilatasi cerebral Energi berkurang Peningkatan
N. asam laktat
Gangguan
perfusi serebral
Aliran darah ke otak
O.bertambah Depresi sistem
TIK meningkat Lemah,lesu pernapasan

Penekanan pembuluh darah Nyeri kepala Gangguan mobilitas


dan P.
jaringan cerebral fisik/intoleran Pola nafas
aktivitas tak efektif

Q. Gangguan Gangguan rasa


persepsi-sensori nyaman: nyeri

Mual, muntah, nafsu Risiko kurang nutrisi


makan turun dari kebutuhan

(Doengoes,2017)
(Hudak dan Gallo,2016)
(Brunner dan Suddarth,2011)
D. Intervensi Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi
pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial. Tujuan : Pola nafas dan
bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau
kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi
a. Kaji Airway, Breathing,
Circulasi.
b. Kaji anak, apakah ada
fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala
ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
c. Pastikan jalan nafas tetap
terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan
lendir.
d. Kaji status pernafasan
kedalamannya, usaha dalam bernafas.
e. Bila tidak ada fraktur
servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30
derajat.
f. Pemberian oksigen sesuai
program.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi
Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk
menurunkan tekanan vena jugularis.
Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala,
valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau
suction, perkusi). tekanan pada vena leher pembalikan posisi dari samping ke
samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada
anggota badan, fleksi (harus bersamaan). Berikan pelembek tinja untuk
mencegah adanya valsava maneuver.
a. Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan
sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
b. Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial
sesuai program.
c. Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena
dapat meningkatkan edema serebral.
d. Monitor intake dan out put.
e. Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
f. Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan
pemenuhan nutrisi.
g. Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran. Tujuan : Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai
dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan,
tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air
besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi :
a. Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum,
mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan
kebersihan perseorangan.
b. Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi. Perawatan kateter bila
terpasang.
c. Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk
memudahkan BAB.
d. Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.
4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau
dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit
baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal. Intervensi : Kaji intake dan out
put. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-
ubun atau mata cekung dan out put urine. Berikan cairan intra vena sesuai
program.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial.
Tujuan : Anak terbebas dari injuri. Intervensi : Kaji status neurologis anak:
perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks,
perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang. Kaji tingkat
kesadaran dengan GCS Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai
dengan protokol. Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan. Berikan
analgetik sesuai program.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala Tujuan : Anak akan merasa nyaman
yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam
batas normal. Intervensi : Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala
nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat
atau lambat, berkeringat dingin. Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk
mengurangi nyeri. Kurangi rangsangan. Pemberian obat analgetik sesuai
dengan program. Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri. Tujuan : Anak akan
terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda
infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit
dalam batas normal. Intervensi : Kaji adanya drainage pada area luka.
Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh. Lakukan perawatan luka dengan steril
dan hati-hati. Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk,
iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.
8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi. Tujuan :
Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan
kulit tetap utuh. Intervensi : Lakukan latihan pergerakan (ROM). Pertahankan
posisi postur tubuh yang sesuai. Rubah Kaji area kulit: adanya lecet. Lakukan
“back rub” setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet dan pelan-
pelan agar tidak menimbulkan nyeri.
9. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,
mual, muntah, Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan
kriteria hasil: menunjukan BB stabil, Awasi konsumsi makanan / cairan,
Perhatikan adanya mual dan muntah, Beikan makanan sedikit tapi sering,
Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan, Berikan perawatan
mulut sering
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart.201.Keperawatan Medikal Bedah Volume 1, Jakarta : EGC

Brunner & Suddart.2017.Keperawatan Medikel Bedah Volume 2, Jakarta : EGC

Carpenito.2012.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik, Edisi 6,


Jakarata: EGC

Doenges.2017. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 , Jakarta: EGC.

Markam, S.2016. Cedera tertutup kepala. Jakarta : FKUI

Muttaqin, Arif.2016. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem


Persarafan.Jakarta: Salemba Medika

Rosjidi.2016. Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala dan Stroke untuk Mahasiswa D
III Keperawatan. Yogyakarta : Ardana Media.

Anda mungkin juga menyukai