Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN DENGAN POST

CRANIATOMY DI RUANG ICU RSUD dr. DORIS


SYLVANUS PALANGKA RAYA

Oleh :
Winny Kartika
2021-01-14901-071

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2022
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.2 Konsep Dasar Teori Craniotomy


1.2.1 Definisi
Trepanasi/Craniotomy adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Craniotomy adalah
operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK,
mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan (Hinchliff Sue, 2011).
Craniotomy mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk
meningkatkan akses pada struktur intrakranial (Brunner & Suddarth, 2012).
Craniotomy adalah insisi pada tulang tengkorak dan membersihkan tulang
dengan memperluas satu atau lebih lubang. Pembedahan craniektomy dilakukan
untuk mengangkat tumor, hematom, luka, atau mencegah infeksi pada daerah
tulang tengkorak. Jadi post craniotomy adalah setelah dilakukannya operasi
pembukaan tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengeluarkan bekuan
darah atau menghentikan perdarahan.

Gambar 1.1 Penampang Lapisan Kranium


1.2.2 Indikasi Operasi
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai
berikut :
1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
2. Adanya tanda herniasi/lateralisasi
3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT
Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
4. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
5. Mengurangi tekanan intrakranial.
6. Mengevakuasi bekuan darah.
7. Mengontrol bekuan darah,
8. Pembenahan organ-organ intrakranial,
9. Tumor otak,
10. Perdarahan (hemorrage),
11. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
12. Peradangan dalam otak
13. Trauma pada tengkorak.

Gambar 1.2 Kraniotomi


1.2.3 Etiologi
Penyebab cedera kepala ada 2 yaitu:
1. Bersifat terbuka menembus melalui dura meter (peluru, pisau)
2. Bersifat tertutup trauma tumpul, tanpa penetrasi menembus dura
(kecelakaan lalu lintas, jatuh, cedera olahraga).

1.2.4 Patofisiologi
Trauma kepala (trauma eraniocerebral) dapat terjadi karena cedera
kulitkepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun
seluruhn"a. Beberapa variabel yang mempengaruhi luasnya cedera
kepala adalah sebagai berikut:
1. Lokasi dan arah dari penyebab benturan.
2. Kecepatan kekuatan yang datang.
3. Permukaan dari kekuatan yang menimpa.
4. Kondisi kepala ketika mendapat penyebab bentura
1.2.5 WOC
Trauma tumpul
kecelakaan,terjatuh,trauma
Trauma tajam/Tekenan Persalinan,Penyalah gunaan
pleura,benda tajam Obat-obatan
Trauma
kepala
WOC POST OP CRANIOTOMY

Ekstra Kranial/ kulit kepala Tulang Kranial Pendarahan otak Intra karnial/jaringan otak

Proses opersa Invasif Trauma jaringan Pembedahan kepala Proses anastesi

Proses pembedahan Crainiotomy


Post op craniotomy

B2 B3 Trauna B4 B5 B6 Fraktur tulang


B1 Penurunan tengkorak
kesadaran jaringan
Perdarahan Gangguan Perdarahan Penurunan Fraktur tulang
Perdarahan Suplai kesadaran tengkorak Gg, saraf
Bed rest lama Penuruanan motorik
hematoma,kerus darah kelembaban
akan jaringan Kompensasi Penuruna
luka Penurunan itake
tubuh yaitu: Siklus darah Gg, saraf
Penurunan ke ginjal dan output
vasodilatasi Iskemia motorik Gangguan
Penekanan kemampuan Infeksi koordinasi gerak
sistem saraf batuk bakteri
pernafasan Aliran Hipoksia Produksi Mual, muntah Gangguan
Urine koordinasi
Akumulasi darah ke Ekstermitas
gerak
Perubahan pola Mukus dan Gangguan Resiko hemiprase
nafas secret fungsi otak infeksi hemiplegi
Tidak mampu
Hipoksia mencerna makan Ekstermitas
jaringan oliguria hemiprase Tidak mampu
RR/hiperpneu, Batuk tidak Mk : Penurunan
hiperventilasi melakukan
efektif Ronci kapasitas adaptif Resiko defisit
MK: Resiko Mk: Gangguan ADL
RR Intra kranial Nutrisi
perfusi jaringan MK: Gangguan mobilitas fisik
MK: Bersihan selebral tidak eliminasi urine
Mk: Pola efektif Membutuhkan
jalan nafas tidak Defisit
nafas tidak bantuan orang lain
efektif perawatan diri
efektif
1.2.6 Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang
spesifikdari otak) :
1) Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nistagmus, diplopia,
kebutaan, tanda-tanda papil edema.
2) Perubahan bicara, misalnya: aphasia
3) Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi
sensorik.
4) Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis.
5) Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin,
dan konstipasi.
6) Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus
7) Perubahan dalam seksual
2. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari
CSF):
1) Sakit kepala
2) Nausea atau muntah proyektil
3) Pusing
4) Perubahan mental
5) Kejang

1.2.5 Pemeriksaan Penunjang


Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi :
1. Tomografi komputer (pemindaian CT)
Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak
sekitarnya, ukuran ventrikel, dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan
otak, hemoragik. Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan
karena pada iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam
pasca trauma.
2. Pencitraan resonans magnetik (MRI)
Sama dengan scan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi
dipotongan lain.
3. Electroencephalogram (EEG)
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis
4. Angiografy Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan trauma
5. Sinar-X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan,edema), adanya fragmen
tulang
6. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak
7. Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak
8. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarachnoid
9. Gas Darah Arteri (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK
10. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam meningkatkan TIK/perubahan mental
11. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung
jawab terhadap penurunan kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat
terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

1.2.6 Penatalaksanaan
1. Preoperasi
Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien diterapi dengan
medikasi antikonvulsan (fenitoin) untuk mengurangi resiko kejang pasca
operasi. Sebelum pembedahan, steroid (deksametason) dapat diberikan
untuk mengurangai edema serebral. Cairan dapat dibatasi. Agens
hiperosmotik (manitol) dan diuretik (furosemid) dapat diberikan secara
intravena segera sebelum dan kadang selama pembedahan bila pasien
cenderung menahan air yang terjadi pada individu yang mengalami
disfungsi intrakranial. Kateter urinarius menetap di pasang sebelum pasien
dibawa ke ruang operasi untuk mengalirkan kandung kemih selama
pemberian diuretik dan untuk memungkinkan haluaran urinarius dipantau.
Pasien dapat diberikan antibiotik bila serebral sempat terkontaminasi atau
diazepam pada praoperasi untuk menghilangkan ansietas. Kulit kepala di
cukur segera sebelum pembedahan (biasanya di ruang operasi) sehingga
adanya abrasi superfisial tidak semua mengalami infeksi.
2. Pasca Operasi
1) Mengurangi Edema Serebral
Terapi medikasi untuk mengurangi edema serebral meliputi pemberian
manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari
area otak (dengan sawar darah-otak utuh). Cairan ini kemudian
dieksresikan melalui diuresis osmotik. Deksametason dapat diberikan
melalui intravena setiap 6 jam selama 24 sampai 72 jam; selanjutnya
dosisnya dikurangi secara bertahap.
2) Meredakan Nyeri dan Mencegah Kejang
Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu di atas 37,5 C dan untuk
nyeri. Sering kali pasien akan mengalami sakit kepala setelah kraniotomi,
biasanya sebagai akibat syaraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi
selama pembedahan. Codein, diberikan lewat parenteral, biasanya cukup
untuk menghilangkan sakit kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin,
diazepam) diresepkan untuk pasien yang telah menjalani kraniotomi
supratentorial, karena resiko tinggi epilepsi setelah prosedur bedah neuro
supratentorial. Kadar serum dipantau untuk mempertahankan medikasi
dalam rentang terapeutik.
3) Memantau Tekanan Intrakranial
Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase, sering dipasang pada
pasienyang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Kateter
disambungkan ke sistem drainase eksternal. Kepatenan kateter
diperhatikan melalui pulsasi cairan dalam selang. TIK dapat dikaji dengan
menyusun sistem dengan sambungan stopkok ke selang bertekanan dan
tranduser. TIK dalam dipantau dengan memutar stopkok. Perawatan
diperlukan untuk menjamin bahwa system tersebut kencang pada semua
sambungan dan bahwa stopkok ada pada posisiyang tepat untuk
menghindari drainase cairan serebrospinal, yang dapat mengakibatkan
kolaps ventrikel bila cairan terlalu banyak dikeluarkan. Kateter diangkat
ketika tekanan ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberi tahu
kapanpun kateter tanpak tersumbat. Pirau ventrikel kadang dilakuakan
sebelum prosedur bedah tertentu untuk mengontrol hipertensi intrakranial,
terutama pada pasien tumor fossa posterior
1.2.7 Teknik Operasi
1. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up
kurang lebih15 derajat(pasang donat kecil dibawah kepala).Letakkan
kepala miring kontralateral lokasilesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi
saja pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di
bahu kiridan sebaliknya.

2. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek
sterildi bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi.
3. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah
benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut –
untuk kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk
mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas basis crani, jalannya N VII
(kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis
orbita).

4. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan
Adrenalin1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan
operasi dengandoek steril.
5. Prosedur Operasi
1) Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60
derajat.
3) Buka flap secara tajam pada looseconnective tissue. Kompres dengan
kasa basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh
darah tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulitkepala). Klem pada
pangkal flap dan fiksasi pada doek.
4) Buka perikranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan diburrhole dan gergaji kemudian
dan rawat perdarahan.
5) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom
sesuaigambar CT scan.
6) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace)
kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah
menembus tabula interna.
7) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
8) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup
lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
9) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole.
Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus
lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji
dan asisten memfixir kepala penderita.
10) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara
tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi
dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat
mematahkan tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan
spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang
dapat dihentikan dengan bone wax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle.
Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila
ada perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan
hitchstitch pada daerah tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di
bawah tulang. Bila perdarahan profus dari bawah tulang (berasal dari
arteri) tulang boleh di-knabel untuk mencari sumber perdarahan
kecuali dicurigai berasal dari sinus.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0
secara simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada
lagi perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah
selanjutnya adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U)
berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait
dura, kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai
terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan
otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas
berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah duramater di dalam ruang
subdural, dan selanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap
kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.
Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan
untuk pembuluh darah kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan
otakdengan pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan
diruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak
dibawahnya tak ada darah lagi
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian
otak yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak
bebas dari perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya
dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar,
untuk memegang jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai
alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya
tulang dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila
tidak dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis
dengan cara sebagai berikut:
(1) Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus
keluar kulit.
(2) Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
(3) Pasang drain subgaleal.
(4) Jahit galea dengan vicryl 2.0.
(5) Jahit kulit dengan silk 3.0.
(6) Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
(7) Operasi selesai.
22) Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama
pada tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang
yang akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang
pada tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di
fiksasi (3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel
dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup
lapis demi lapis seperti diatas.
1.2.8 Komplikasi Pasca Operasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pascabedah
intrakranial atau kraniotomi adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan tekanan intrakranial
2. Perdarahan dan syok hipovolemik
3. Ketidakseimbangan cairan dan elekrolit
4. Infeksi
5. Kejang
6. Edema cerebral.
7. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
8. Hipovolemik syok.
9. Hidrocephalus.
10. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus).
11. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
12. Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi.
13. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
14. Pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli keparu-paru,
hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi,
ambulatif. (Brunner & Suddarth, 2002).
1.2.9 Perawatan Pasca bedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
1.2.10 Follow-Up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik
dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

1.3 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Kraniotomi


1.3.5 Pengkajian
1. Primary Survey
1) Airway
(1) Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah
dilakukan pembedahan akibat pemberian anestesi.
(2) Potensi jalan nafas, meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
(3) Auscultasi paru keadekuatan expansi paru, kesimetrisan.
2) Breathing
(1) Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau
Ataxiabreathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
( kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
(2) Perubahan pada pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR <
10 X /menit depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal gangguan
kardiovascular atau rata-rata metabolisme yang meningkat.
(3) Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu
pernafasan diafragma, retraksi sternal efek anathesi yang
berlebihan, obstruksi.
3) Circulating:
(1) Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi.Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
(2) Inspeksi membran mukosa: warna dan kelembaban, turgor kulit,
balutan.
4) Disability : berfokus pada status neurologi
(1) Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata, respon
motorik dan tanda-tanda vital.
(2) Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan
menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual
dan gelisah
5) Exposure
Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya perdarahan
2. Secondary Survey : Pemeriksaan fisik
1) Abdomen.
Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati teraba 2 jari bawah iga, dan limpa
tidak membesar, perkusi bunyi redup, bising usus 14 X/menit. Distensi
abdominal dan peristaltic usus adalah pengkajian yang harus dilakukan
pada gastrointestinal.
2) Ekstremitas
Mampu mengangkat tangan dan kaki. Kekuatan otot ekstremitas atas
4-4 dan ekstremitas bawah 4-4, akral dingin dan pucat.
3) Integumen. Kulit keriput, pucat, turgor sedang
4) Pemeriksaan neurologis
5) Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi
gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
(1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku
danmemori).
(2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
(3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata.
(4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
(5) Sering timbul cegukan oleh karena kompresi pada nervusvagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
(6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
1.3.6 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada Cedara Otak berat post op
craniotomy adalah sebagai berikut:
1.3.6.1 Bersihan jalan napas tidakefektif yang berhubungan dengan penumpukan
sputum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan kemampuan batuk
(ketidakmampuan batuk/batuk efektif). (D.0001 Hal. 18)
1.3.6.2 Pola napas tidakefektif yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot
pernapasan atau kelumpuhan otot diafragma. (D.0005 Hal.26)
1.2.6.3 Risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif yang berhubungan dengan
Adanya cedera kepala . (D.0017 Hal.51)
1.3.6.4 Penurunan kapasitas adaptif intrakarnial berhubungan dengan edema
selebral (D.0066.Hal 149)
1.3.6.5 Nyeri Akut berhubungan dengan adanya prosedur tindakan bedah.
(D.0077 Hal.172)
1.3.6.6 Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi. ( D.0142 Hal 304 )
1.3.6.7 Gangguan eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhansaraf
perkemihan.(D,0040 Hal 96)
1.3.6.8 Defisit nutrisi yang berhubungan dengan kemampuan mencerna makanan
dan peningkatan kebutuhan metabolisme. (D.0019 Hal.56)
1.3.6.9 Konstipasi yang berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan
rektum. (D.0049 Hal 113)
1.3.6.10 Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan
kerusakan neuromuskular. (D.0054 Hal.124)
1.3.6.11 Defisit perawatan diri berhubungn dengan gangguan neuromuskuler
(D.0109, halm 240)
1.3.7 Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil)
1 Bersihan jalan napas Bersihan jalan nafas (SLKI,L.01001, Manajemen Jalan Nafas Buatan
tidakefektif yang Hal18) (I.01012 Hal. 187)
berhubungan
dengan penumpukan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
sputum,
peningkatan sekresi sekret, selama 1x7 jam diharapkan penurunan 1. Monitor posisi selang endotrakeal (ETT),
dan
penurunan kemampuan produksi sekret, obstruksi jalan nafas terutama setelah mengubah posisi
batuk
(ketidakmampuan untuk mempertahankan kepatenan 2. Monitor tekanan balon ETT setiap 4-8
batuk/batuk
efektif). (D.0001 Hal. 18) jalan nafas. Dengan kriteria hasil : jam
1. Produksi sputum menurun 3. Monitor area stoma trakeostomi (mis.
2. Dispnea menurun Kemerahan, drainase, perdarahan)
3. Sulit berbicara sedang Terapeutik
4. Sianosis menurun 1. Kurangi tekana balon secara periodik
5. Frekuensi nafas membaik setiap shif
6. Pola nafas membaik 2. Pasang oropharingeal airway (OPA)
untuk mencegah ETT tergigit
Cegah ETT terlipat (kinking)
3. Berikan pre oksigenasi 100% selama 30
detik (3-6 kali ventilasi) sebelum dan
setelah pengisapa
4. Berikan volume pre-oksigenasi (bagging
atau ventilasi mekanik) 1,5 kali volume
tidal
6. Lakukan pengisapan lendir kurang dari 15
detik jika diperlukan (bukan secara
berkala/rutin)
7. Gantik fikasi ETT setiap 24 jam
8. Ubah posisi ETT secara bergantian (kiri
dan kanan) setiap 24 Jam
9. Lakukan perawatan mulut(mis, dengan
sikat
gigi,kasa,pelembab bibir)
10. Lakukan perawatan trakeostomi
Edukasi
1. Jelaskan pasien dan/atau keluargatujuan
dan prosedur pemasangan jalan nafas
buatan
Kolaborasi
1.Kolaborasi intubasi ulang jika terbentuk
mocus plug yang tidak dapat di lakukan
pengisapan
2 Pola napas tidak efektif yang Pola nafas SLKI (L.08066 hal 145 ) Menajemen jalan nafas (I.01011 hal:
berhubungan dengan kelemahan Setelah di lakukan tindakan selama 186)
otot-otot pernapasan atau 1x7 jam di harapkan Observasi
kelumpuhan otot diafragma. inspirasi/ekspirasi tidak memberikan 1. Monitor pola nafas (frekuensi,
(D.0005 Hal.26) ventilasi adekuat dengan kriteria hasil kedalaman, usaha nafas)
: 2. Monitor bunyi nafas (mis.Gurgling,
1. Dispnea menurun skor 5 mengi, wheezing, ronki kering)
2. Penggunaan alat bantu otot nafas 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
menurun skor 5 Terapeutik
3. Ortopnea menurun skor 5 1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
4. Pernafasan pursed lip menurun dengan head lift dan chin lift (jaw- thrust
skor 5 jika dicurigai trauma sevikal)
5. Pernafasan cuping hidung 2. Posisikan semi-fowler atau fowler
menurun skor 5 3. Berikan minuman hangat
6. Frekuensi nafas membaik skor 5 4. Lakukan fisioterapi dada, jika
7. Kedalaman nafas membaik skor 5 5. Perlu
6. Lakukan pengisapan lendir kurang
7. dari 15 detik
8. Lakukan hiper oksigenasi sebelum
9. pengisapan endotrakeal
10. Keluarkan sumbatan benda padat
11. dengan forsep Mcgil
12. Berikan oksigenasi, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 200ml/hari, jika
tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator,ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
3 Penurunan kapasitas adaktif intra Setelah diberi Asuhan Keperawatan Pemantuan tekanan intrakranial
karnial berhubungn dengan selama 1x7 jam, diharapkan fungsi kerja (I.06198, hal 249)
edema selebral (D.0066 hal 149) otak dapat membaik, dengan kriteria Observasi
hasil : 1. Identifikasi penyebab penyakit
1. Funsi kognitif meningkat skor 5 2. TIK
2. Sakit kepala membaik skor 5 3. Monitor peningkatan TD
3. Tekanan darah membaik skor 5 4. Monitor pelebaran tekanan nadi
4. Tekanan nadi membaik skor 5 5. Monitor penurunan frekuensi jantung
5. Pola nafas membaik skor 5 6. Monitor tingkat kesadaran
6. Respon pupil membaik skor 5 Monitor perlambatan atau
7. Refleks neurologis membaik skor 5 ketidaksimetrisan respon pupil
8. Tekanan intra karnial membaik skor 7. Monitor kadar CO2 dan
5 pertahankan dalam rentang yang
diindikasikan
8. Monitor tekanan perfusi serebral
9. Monitor jumlah, kecepatan dan
karakteristik drainase cairan serebrospinal
10. Monitor efek stimulasi
lingkungan terhadap TIK
Terapeutik
1. Ambil sampel drainase cairan
serebrospinal
2. Kalibrasi transduser
3. Pertahankan posisi kepala dan leher
netral
4. Bilas sistem pemantuan,jika perlu
5. Atur intervensi pemantuan sesuai
kondisi pasien.
6. Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantuan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
4 Nyeri akut berhubungan dengan Tingkat Nyeri (L. 08066, hal 145) Manajemen Nyeri (I.08238 hal: 201)
adanya prosedur bedah Atau adanya Setelah diberikan askep selama 3x24 jam Observasi:
luka di kepala (D 0077, hal: diharapkan tingkat nyeri menurun. 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
172). Kriteria hasil: durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
1. Keluhan nyeri menurun (skor 5) nyeri
2. Gelisah menurun (skor 5) 2. Identifikasi skala nyeri
3. Frekuensi nadi membaik (skor 5) 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
4. Pola nafas membaik (skor 5 4. Identifikasi faktor
5. Pola tidur membaik (skor 5) yangmemperberat dan memperingan
nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya
terhadaprespon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan -
Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik:
1. Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hipnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
2. aromaterapi, teknik imajinasi
3. terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
4. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
5. Fasilitasi istirahat dan tidur
6. Pertimbangkan jenis dan sumbernyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi:
1. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
5 Risiko perfusi jaringan serebral Perfusi selebral (SLKI, L.02014 hal Menajemen Peningkatan Tekanan Intrakarnial
tidak efektif yang berhubungan 86) (I.06194 Hal 205)
dengan cedera kepala akut. (D.0017 Setelah diberi Asuhan Keperawatan Obsrevasi
Hal.51) selama 1x7 jam, diharapkan fungsi kerja 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK,
otak dapat membaik, dengan kriteria ( mis.lesi, gangguan metabolisme,edema
hasil : selebral )
1. Tingkat kesadaran meingkat 2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK,
2. Tekanan intra karnial menurun (mis. Tekanan darah meningkat, tekanan
3. Sakit kepala menurun nadi melebar, bradikardia, pola nafas
4. Tekanan darah sistolik membaik ireguler, kesadaran menurun)
5. Tekanan dara diastolik membaik 3. Monitor MAP (Mean Arteri Pressure)
6. Reflek saraf membaik 4. Monitor CVP (Central Venous Pressure),
7. Mobilitas fisik membaik Jika perlu
8. Status neurologis membaik 5. Monitor PAWP, Jika perlu
6. Monitor PAP, Jika perlu
7. Monitor ICP, (Inta Carnial Pessure), Jika
tersedia
8. Monitor CPP,(Celebral Perfusion
Pressure)
9. Monitor gelombang ICP
10. Monitor status pernafasan
11. Monitor intake dan output cairan
12. Monitor cairan serebro-spinalis (mis.
Warna,konsistensi)
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang tenang
2. Berika posisi semi fowler
3. Hindari manuver Valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari pemberian cairan IV hiotonik
6. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
7. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
1. Kolaboraasi pemberian sedasi dan anti
konvulsan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian Diuretik osmosis,
jika perlu
3. Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika
perlu
6 Defisit perawatan diri berhubungn Perawatan diri (SLKI. L.1103, halm Dukungan perawatan diri ( I.11348, halm
dengan gangguan neuromuskuler 81) 36)
(D.0109, halm 240) Setelah diberi Asuhan Keperawatan Observasi
selama 1x7 jam, diharapkan kemampuan 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas
melakukan atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri sesuai usia
perawatan diri. Dengan kriteria hasil: 2. Monitor tingkat kemandirian
1. Kemampuan mandi 3. Identifikasi kebutuhan alat bantu
meningkat dengan skor 5 kebersihan diri, berpakaian, berhias,
2. Kemampuan mengenakan dan makan
pakaian meningkat 5 Terapeutik
3. Kemampuan ketoilet 1. Sediakan lingkungan yang terapeutik
meningkat 2. Siapkan keperluan pribadi
4. Minat melakukan perawan diri 3. Dampingi dalam melalukan perawatan
meningkat 5 diri
5. Mempertahankan 4. Fasilitasi untuk menerima keadaan
kebersihan diri meningkan ketergantungan
6. Mempertahankan 5. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak
kebersihan mulut meningkat 5 mampu melakukan perawatan dir
6. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
Edukasi
1. Anjurkan melakukan perawatan diri
secara konsisten sesuai kemampuan
1.2.8 Implementasi
Pada tahap ini ada pengolahan dan perwujudan dari rencana perawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan keperawatan yang telah ditentukan dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan secara optimal.

1.2.9 Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sitematik dan terencana tentang kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah dilakukan dengan berkesinambungan dengan
melibatkan pasien dan tenaga Kesehatan lain.

Anda mungkin juga menyukai