Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS SEMINAR

PRAKTIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I


“POST OP LAPARATOMI DENGAN KISTA DUKTUS KOLEDOKUS”

Pembimbing Akademik :
Ns. Dewi Masyitah, M. Kep, Sp. KMB

Clinical Instructure :
1. Ns. Elis Trisundari, S. Kep
2. Ns. Elvi Maryanti, S. Kep

Anggota Kelompok Ruang Bedah :


Afifah Khairunnisa Gifa Syahiratul Aisy
Meidyta Dwiputri Atika Puspa Dewi
Rora Futriani Deby Novita
Ayuni Atiqah

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
laporan ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai
penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan laporan ini.

Jambi, 14 November 2021

Kelompok Ruang Bedah

DAFTAR ISI
COVER.....................................................................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Rumusan Masalah..........................................................................................
C. Tujuan............................................................................................................
D. Manfaat..........................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................
A. Konsep Kista Duktus Koledokus...................................................................
1. Definisi.....................................................................................................
2. Etiologi.....................................................................................................
3. Klasifikasi................................................................................................
4. Manifestasi Klinik....................................................................................
5. Pemeriksaan Diagnostik...........................................................................
6. Penatalaksanaan.......................................................................................
7. Komplikasi...............................................................................................
B. Konsep Laparatomi........................................................................................
1. Definisi.....................................................................................................
2. Tujuan......................................................................................................
3. Indikasi.....................................................................................................
4. Prinsip Perawatan Luka Post Op..............................................................
5. Komplikasi Penyembuhan Luka..............................................................
C. Konsep Asuhan Keperawatan Teoritis...........................................................
1. Pengkajian................................................................................................
2. Diagnosis Keperawatan............................................................................
3. Perencanaan..............................................................................................
BAB III LAPORAN KASUS...................................................................................
BAB IV PEMBAHASAN.........................................................................................
A. Analisis Kasus................................................................................................
B. Analisis Intervensi Keperawatan....................................................................
C. Rancangan Ide-Ide Baru.................................................................................
BAB V PENUTUP....................................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................................
B. Saran ..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kista koledokus adalah dilatasi dari duktus biliaris ekstrahepatik dengan atau tanpa
dilatasi duktus biliaris intrahepatik. Ada beberapa jenis klasifikasi dari kista koledokus.
Klasifikasi yang paling sering digunakan adalah klasifikasi Todani, yang merupakan
modifikasi dari klasifikasi Alonso-Lej. Klasifikasi tersebut membagi kista koledokus
menjadi lima tipe utama dengan beberapa sub-tipe. Tipe yang paling sering ditemui
adalah tipe I berupa dilatasi sakular atau fusiform dari saluran empedu ekstrahepatik
dengan presentasi 50-90% kasus. Tipe IV adalah jenis yang paling banyak kedua pada
tipe dewasanya dengan presentasi 11-35 %. Tipe IV berupa dilatasi saluran empedu
ekstrahepatal atau intrahepatal atau keduanya.
Pada tahun 1973, Babbitt mengajukan hipotesis bahwa terjadinya kista koledokus
berhubungan dengan refluk dari cairan pankreas kronis akibat dari hubungan tidak
normal duktus pankreatikus (duktus wirsungi) dengan duktus koledokus (anomali
pancreaticobiliary junction [APBJ]) ditandai dengan extraduodenal junction dari
koledokus dengan saluran pankreas, yang tidak mengenai sfinkter Oddi. Saluran ini
ukurannya lebih panjang dan posisinya lebih tinggi, yang menyebabkan refluks cairan
pankreas. Regurgitasi cairan dari pankreas ke duktus koledokus menyebabkan
peradangan, penggundulan epitel, dan kelemahan dari dinding saluran empedu, akhirnya
mengarah pada pembentukan kista. Jadi, kemungkinan besar terjadinya kista karena
asosiasi dari beberapa faktor, dan bukan hanya karena perkembangan abnormal dari
sistem duktal saat pembentukan janin dikandungan (kelainan bawaan).
Kista koledokus dapat terjadi pada semua usia. Sekitar dua pertiga pasien
memperlihatkan gejala klinis sebelum usia 10 tahun. Trias gejala klinis klasik yaitu nyeri
perut, jaundice dan teraba massa kuadran kanan atas perut ditemukan pada 30%-60 %
dari pasien yang datang pada dekade pertama kehidupan dan hanya 20 % pada pasien
yang lebih tua.1,2,3,4,5 Gejala klinis kista koledokus biasanya akibat dari stasis empedu,
pembentukan batu, superinfeksi berulang dan peradangan. Obstruksi dan infeksi di
semua kista koledokus, terutama dengan keterlibatan intrahepatik, juga menyebabkan
sirosis bilier sekunder pada 40% -50% dari pasien, sehingga dapat timbul tanda-tanda
dan gejala hipertensi portal seperti perdarahan pencernaan bagian atas, splenomegali dan
pansitopenia. Oleh karena itu diagnosis yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk
mengurangi morbiditas maupun mortalitas akibat komplikasi kista koledokus.
Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis kista
koledokus dengan tepat. Penegakan diagnosis kista duktus koledokus dilakukan dengan
memperhatikan tanda dan gejala dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratoris dan hasil pemeriksaan radiologis. Modalitas yang dapat dipergunakan untuk
pemeriksaan kista koledokus adalah ultrasonografi (USG), computed tomography (CT)
scan, endoscopic retrograde cholangio pancreatography (ERCP), Magnetic resonance
cholangio pancreatography (MRCP).
Kista duktus koledus memerlukan diagnosis yang cepat dan tepat sangat diperlukan
untuk mengurangi morbiditas maupun mortalitas akibat komplikasi kista koledokus.
Maka dari itu, kelompok memilih untuk mengangkat kasus klien post op laparatomi
dengan kista duktus koledokus sebagai kasus untuk dibahas lebih lanjut dalam seminar
praktik klinik keperawatan medikal bedah I.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas maka rumusan masalah yang dapat diambil yaitu
“bagaimana asuhan keperawatan pada klien post op relaparatomi dengan kista duktus
koledokus di Ruang Bedah RSUD Rd Mattaher Jambi?”

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah kelompok dapat menerapkan asuhan
keperawatan pada klien Nn.S dengan post op relaparatomi kista duktus koledokus di
Ruang Bedah RSUD Rd Mattaher Jambi.
2. Tujuan Khusus
Pada tujuan khusus kelompok mampu :
a. Mampu melakukan pengkajian secara langsung pada klien Nn.S dengan post op
relaparatomi kista duktus koledokus.
b. Mampu merumuskan dan menegakkan diagnosis keperawatan pada klien Nn.S
dengan post op relaparatomi kista duktus koledokus.
c. Mampu menyusun rencana keperawatan pada klien Nn.S dengan post op
relaparatomi kista duktus koledokus.
d. Mampu melakukan tindakan keperawatan pada klien Nn.S dengan post op
relaparatomi kista duktus koledokus.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada klien Nn.S dengan post op
relaparatomi kista duktus koledokus.
f. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien Nn.S dengan post op
relaparatomi kista duktus koledokus.

D. Manfaat
1. Bagi RSUD Rd Mattaher
Dapat dijadikan sebagai bahan informasi dalam melakukan asuhan
keperawatan agar dapat meningkatkan mutu pelayanan khsususnya pada klien
post op relaparatomi kista duktus koledokus.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan bahan informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan
pengembangan ilmu keperawatan sehingga dapat meningkatkan mutu dan
pelayanan.
3. Bagi Mahasiswa
Menambah informasi bagi mahasiswa keperawatan khususnya tentang
pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan post op relaparatomi kista
duktus koledokus ditatanan pelayanan kesehatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kista Duktus Koledokus
1. Definisi
Kista koledokus merupakan dilatasi kistik dari saluran empedu baik
intrahepatik maupun ekstrahepatik, yang menyebabkan obtruksi biliaris dan sirosis
biliaris progresif. Kista koledokus didefenisikan sebagai suatu dilatasi terlokalisasi
atau difus dari traktus bilier yang dapat terjadi secara kongenital maupun akuisita.
Adanya dilatasi ini mengganggu aliran empedu ekstrahepatik, aliran empedu
intrahepatik, maupun keduanya nantinya akan menyebabkan obstruksi saluran
empedu dan bahkan duodenum. Dilatasi paling sering terjadi pada duktus koledokus
(common bile duct), tapi dilatasi saluran empedu intra hepatik saja atau berkombinasi
dengan abnormalitas saluran ekstrahepatik juga mulai banyak ditemukan (Brunner &
Suddarth, 2015).

2. Etiologi
Etiologi kista koledokus tidak jelas. Kemungkinan kelainan ini dimulai dengan
anomali penyaliran saluran empedu dan saluran pankreas. Serta gangguan
mekanisme sfingter Oddi. Infeksi dengan atau refluks cairan pankreas mungkin
merupakan faktor kausal, kemungkinan besar terjadinya kista karena asosiasi dari
beberapa faktor, dan bukan hanya karena perkembangan abnormal dari sistem duktal
saat pembentukan janin dikandungan (kelainan bawaan).
Menurut Brunner & Suddarth (2015), terdapat beberapa teori berkenaan
dengan etiologi dan patogenesis dari kista duktus koledokus, antara lain :
a. Terjadinya kegagalan rekanalisasi sehingga terjadi kelemahan kongenital pada
dinding duktus biliaris, dimana hal ini merupakan hipotesis awal.
b. Terdapatnya abnormalitas pada inervasi dari distal common bile ductyang
menyebabkan terjadinya obstruksi fungsional dan dilatasi proksimal.
c. Kelemahan yang didapat dari dinding duktus biliaris yang berhubungan dengan
PBM (pancreaticobiliary maljunction), dimana digambarkan terdapatnya common
pancreaticobiliary channel pada kistaduktus koledokus, dan terjadinya refluks
enzim pankreas dapat menyebabkan kerusakan pada duktus biliaris dan dilatasi.
d. Terdapatnya obstruksi dari bagian distal duktus biliaris, stenosis sering ditemukan
dibagian bawah dari kista tipe 1, tetapi apakah penyebabnya kongenital ataupun
sekunder akibat dari inflamasi masih belum jelas.
3. Klasifikasi

Klasifikasi kista duktus koledokus menurut Alonzo-Todani (1977) :


a. Tipe I Tunggal : Paling umum terjadi (80-90%) yaitu dilatasi kistik tunggal yang
meliputi seluruh duktus koledokus komunis, duktus hepatikus komunis, atau
keduanya.
1) Tipe Ia : Berbentuk sacular (kantong) dan melibatkan seluruh duktus
ekstrahepatik.
2) Tipe Ib : Berbentuk sacular dan melibatkan sebagian segmen dari duktus
biliaris.
3) Tipe Ic : Berbentuk fusiform dan melibatkan sebagian besar hingga seluruh
duktus ekstrahepatik.
b. Tipe II Divertikulum : Berbentuk divertikulum (tabung/kantung dengan ujung yang
buntu, sebagai percabangan dari suatu saluran atau rongga) yang terpisah dari
kandungan empedu dan saluran ekstrahepatik yang asli (3%).
c. Tipe III Intraduodenum : Dilatasi kistik saluran empedu yang berdasar di dinding
duodenum (5%).
d. Tipe IV Intrahepatik : Campuran beberapa jenis kista, yang dapat meliputi saluran
intrahepatik (10%).
1) Tipe IVa : Terjadi dilatasi (perubahann ukuran) multipel dari duktus
intrahepatik dan ekstrahepatik.
2) Tipe IVb : Dilatasi hanya melibatkan duktus ekstrahepatik saja.
e. Tipe V Penyakit Caroli : Jenis kelima yang jarang di temukan, yaitu kistik
intrahepatik murni yang disertai fibrosis hati bawaan yang disebut penyakit Caroli.

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis akan berbeda sesuai dengan usia pada saat permulaan gejala.
Menurut Brunner & Suddarth (2015), gejala pada pasien dengan kista duktus koledokus
dapat diklasifikasikan menjadi gejala pada anak bayi dan pada anakyang lebih besar.
a. Pada bayi, dengan rentang usia 1 sampai 3 bulan,gejala yang muncul adalah :
1) Obstruktif jaundice
2) Feses yang akholis
3) Hepatomegali
b. Pada kelompok umur yang lebih besar, biasanya manifestasi klinis akan tampak pada
anak setelah usia 2 tahun. Pada anak yang lebih besar, gejalanya dapat dibedakan
menjadi 2 kelompok, yaitu :
1) Massa pada perut kanan atas dengan jaundice intermittent karena
obstruksibiliaris, yang umumnya dijumpai pada pasien dengan kista duktus
koledokus sakuler.
2) Nyeri perut akibat pankreatitis, yang biasanya tampak pada bentuk yang fusiform.
Pada kelompok umur ini, classictriad berupa nyeri perut, terabanya massa, dan
jaundice yang dikemukan oleh Alonso-Lej dan kolega biasanya dijumpai. Karena
obstruksi yang terjadi pada kelompok umur ini hanya parsial, makagejala bersifat
intermiten.

5. Pemeriksaan Diagnostik
Beberapa pemeriksaan diagnostik menurut Mansjoer, A (2015), diantaranya :
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak mampu untuk menegakkan diagnosis dari kista
duktus koledokus, tetapi dapat menggambarkan kondisi klinisdari pasien. Oleh
karena gejala tersering adalah jaundice, hasil laboratorium terpenting adalah
conjugated hiperbilirubinemia, peningkatan alkaline phosphatase, dan marker lain
untuk obstruktif jaundice. Apabila obstruksi biliaris sudah terjadi dalam jangka
waktuyang lama, maka dapat pula disertai profil koagulasi yang abnormal. Nilai
amilase plasma dapat menunjukkan peningkatan pada saat episode nyeri perut.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Computed tomography (CT) cholangiography
Dahulu digunakan sebagai alat penunjang dalam menegakkan diagnosis dari
kistaduktus koledokus, saat ini digantikanoleh pemeriksaan yang lebih akurat.
b. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan penunjang awal yang terpilih dan dapat menggambarkan ukuran,
bentuk, duktus proksimal, pembuluh darah dan bentuk dari hepar. Komplikasi
seperti kolelitiasis, hipertensi portal dan biliary ascites dapat pula terlihat.
c. Percutaneus transhepatic cholangiography dan endoscopic retrograde cholangio
pancreatography (ERCP)
Dapat memberikan gambaran yang akurat darisistem pancreaticobiliary.
Tetapi pemeriksaan ini bersifat invasif dan tidak cocok untuk digunakanberulang
kali serta merupakan kontraindikasi apabila dilakukan dalam keadaan pankreatitis
akut. Pemeriksaan ini dilakukan dengananesthesia umum.
d. Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP)
Dapat dilakukan dibawah pengaruh sedasi pada anak tanpa menggunakan
bahan kontras atau tanapa radiasi. MRCP merupakan pemeriksaan yang bersifat
noninvasif dan dapat digunakan untuk menggambarkan duktus pankreatik dan
biliaris proksimal dariobstruksi. Pada anak dengan usia dibawah 3 tahun, MRCP
mungkin tidak dapat menggambarkan sistem pankreticobiliaris dikarenakan
kalibernya yang kecil.

6. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer, A. (2015) Prinsip pengobatan kista koledokus adalah :
a. Reseksi (pengangkatan seluruh/sebagian organ) kista dengan laparatomi.
b. Memperbaiki dan menjamin penyaliran empedu sambil memperhatikan keutuhan
saluranpankreas yang mungkin juga mengalami anomali.
Untuk mencegah bahaya perubahan keganasan, reseksi total kista koledokus dianggap
tindakan terbaik. Perbaikan pengaliran empedu dengan prosedur sistoenterotomi tidak
memuaskan karena timbul kolestasis dan refluks cairan usus, yang mengakibatkan
kolangitis berulang. Perubahan keganasan sering timbul di sisa dinding kista. Oleh
karenaitu, bedah penyaliran sebagai tindakan sementara dilakukan pada bayi dengan
keadaan umum terlalu lemah untuk menjalani bedah defenitif berupa reseksi kista.
Alternatif lain sebagai tindakan sementara adalah pemasangan pipa empedu secara
endoskopik.

7. Komplikasi
Menurut Brunner & Suddarth. (2015) terdapat beberapa komplikasi yang akan terjadi,
diantaranya :
a. Cholangitis
b. Pembentukan batu
c. Struktur anatomosis
d. Pancreatitis
e. Disfungsi hepar
f. Keganasan

B. Konsep Laparatomi
1. Definisi
Menurut Syamsuhidayat (2005), Laparatomi adalah salah satu prosedur
pembedahan mayor, dengan melakukan penyayatan pada lapisan dinding abdomen
untuk mendapatkan bagian dari abdomen yang mengalami masalah (hemoragi,
perforasi, kanker, dan obstruksi).
Laparatomi adalah proses pembedahan perut sampai membuka selaput perut,
dengan 4 cara yaitu :
a. Midline incision
Metode insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit perdarahan,
eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup, serta tidak memotong
ligamen dan saraf.
b. Paramedian
Yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah (2,5 cm), panjang (12,5 cm). Terbagi atas
2 yaitu, paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi lambung,
eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah, serta plenoktomi.
Paramedian insicion memiliki keuntungan antara lain : merupakan bentuk insisi
anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan saraf, dan insisi mudah
diperluas ke arah atas dan bawah.
c. Transverse upper abdomen incision
Yaitu insisi dibagian atas contohnya pembedahan colesistotomy dan
splenektomy.
d. Transverse lower abdomen
Yaitu insisi melintang dibagian bawah kurang lebih 4 cm diatas anterior spinal
iliaka misalnya apendiktomi.

Latihan fisik seperti latihan nafas dalam, latihan batuk, menggerakkan otot otot kaki,
menggerakkan otot bokong semuanya dilakukan pada hari ke 2 setelah operasi
(Jitowiyono & Kristiyanasari, 2010).

2. Tujuan
Prosedur ini dapat direkomendasikan pada pasien yang mengalami nyeri
abdomen yang tidak diketahui penyebabnya atau pasien yang mengalami trauma
abdomen. Laparatomi eksplorasi digunakan untuk mengetahui sumber nyeri atau
akibat trauma dan perbaikan bila diindikasikan (Smeltzer, 2014).

3. Indikasi
Menurut Jitowiyono (2010), tindakan laparatomi dapat dilakukan berdasarkan
indikasi dibawah ini :
a. Adanya massa abdomen.
b. Perdarahan saluran Pencernaan.
c. Peritonitis.
d. Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
e. Trauma abdomen (tumpul atau tajam) Ruptur hepar.

4. Prinsip – Prinsip Perawatan Luka Post Operasi


Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka menurut Taylor (2011) yaitu :
a. Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya
kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang.
b. Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga.
c. Respon tubuh secara sistemik pada trauma.
d. Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka.

5. Komplikasi – Komplikasi Dari Penyembuhan Luka


Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan, dehiscence dan
eviscerasi.
a. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan
atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari
setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent,
peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka,
peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih (Sjamsurihidayat dan
Jong, 2010).
b. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada
garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti
drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan (dan luka
di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam pertama
setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu.Jika perdarahan berlebihan terjadi,
penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan
dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan (Sjamsurihidayat dan Jong,
2010).
c. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius.
Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah
keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan,
kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan,
muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka.
Dehiscence luka dapat terjadi 4 –5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas
di daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup
dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan
untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka (Sjamsurihidayat dan Jong,
2010).
C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
Pada biodata diperoleh data tentang nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal,
pekerjaan, pendidikandan status perkawinan. Dimana beberapa faktor tersebut
dapat menempatkan klien pada resiko pada pankreatitis akut.
b. Keluhan utama
1) Sirkulasi
Tanda :
a) Hipertensi (nyeri akut), hipotensi dan takikardi (syok hipovolemia atau
toksemia), edema, asites.
b) Kulit pucat, dingin, berkeringat (vasokontriksi), ikterik
(inflamasi/obstruksi duktus koleduktus), warna hijau-biru kecoklatan
disekitar umbilicus (tanda cullen) dari akumulasi darah (pankreatitis
hemoragi).
c) Membran mukosa kering, kulit dingin dan lembab, sianosis yang dapat
mencerminkan dehidrasi ringan sampai sedang akibat muntah atau
sindrom kebocoran kapiler. Perubahan warna keunguan pada panggul
(tanda turney grey) atau pada area periumbilikus (tanda cullen) terjadi
pada nekrosis hemoragik yang luas.
2) Integritas Ego
Tanda : Agitasi, gelisah, distress, ketakutan.
3) Eliminasi
Tanda :Diare, muntah, Oliguria, azotemia atau trombosis vena renalis bisa
menyebabkan gagal ginjal.
Gejala : Sakit abdomen, distensi dan nyeri lepas, ketakutan. Peristaltik usus
menurun, warna urine gelap dan berbusa, poliuria (terjadi DM)
4) Makanan / Cairan
Gejala : Tidak toleran terhadap makanan, anoreksia, mual, muntah,
penurunan BB
5) Neurosensori
Tanda : Bingung, agitasi, tremor kasar pada ektremitas (hipokelemia).
Kaji perubahan tingkah laku dan sensori yang dapat berhubungan dengan
penggunaan alkohol atau indikasi hipoksia yang disertai syok.
6) Nyeri / kenyamanan
Gejala:Nyeri abdominal dalam berat yang tak berhubungan, biasanya
terlokasi pada epigastrium dan periumbikal tetapi tidak menyebar
kepunggung. Timbulnya dapat tiba-tiba dan sering berhubungan dengan
minuman keras atau makan terlalu banyak.
Tanda: dapat meringkuk dengan kedua tangan diatas abdomen.
7) Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan/ atau tanpa dispnea. Penurunan kedalaman
pernafasan dengan tindakan menekan/tegang, rales pada kedua basal (efusi
Pleural).

2. Diagnosis Keperawatan
Menurut Brunner & Suddarth,(2015) diagnosis keperawatan yang mungkin
muncul pada klien dengan kista duktus koledokus adalah :
Pre Operatif :
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
b. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien

Post Operatif Laparatomi :


a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (luka operasi)
b. Gangguan integritas kulit bd faktor mekanis (luka insisi)
c. Risiko infeksi b.d peningkatan paparan organisme patogen lingkungan (luka post
op laparatomi)

3. Perencanaan
Pre Operatif :
N Diagnosis Tujuan & Intervensi Paraf
O Keperawatan Kriteria Hasil
1. Nyeri akut b.d Setelah MANAJEMEN NYERI (I. 08238) Kelompok
agen pencedera dilakukan Ruang
1. Observasi
fisiologis tindakan Bedah
 lokasi, karakteristik,
keperawatan
durasi, frekuensi, kualitas,
diharapkan
intensitas nyeri
tingkat nyeri
 Identifikasi skala nyeri
menurun
 Identifikasi respon
dengan KH :
nyeri non verbal
- Pola nafas
membaik  Identifikasi faktor
- Frekuensi yang memperberat dan
nadi normal memperingan nyeri
- Keluhan  Identifikasi
nyeri pengetahuan dan keyakinan
menurun tentang nyeri
- Tidak ada  Identifikasi pengaruh
meringis budaya terhadap respon
- Tidak ada nyeri
keluhan  Identifikasi pengaruh
sulit tidur nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan
terapi komplementer yang
sudah diberikan
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik
2. Terapeutik
 Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
 Control lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan
tidur
 Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Edukasi
 Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor
nyri secara mandiri
 Anjurkan
menggunakan analgetik
secara tepat
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

2. Defisit nutrisi Setelah MANAJEMEN NUTRISI (I. 03119) Kelompok


b.d dilakukan Ruang
1. Observasi
ketidakmampuan tindakan Bedah
 Identifikasi status
mengabsorbsi keperawatan
nutrisi
nutrien diharapkan
 Identifikasi alergi dan
status nutrisi
intoleransi makanan
membaik
 Identifikasi makanan
dengan KH :
yang disukai
- Pola makan
 Identifikasi kebutuhan
dihabiskan
kalori dan jenis nutrient
- Nafsu
 Identifikasi perlunya
makan
penggunaan selang
meningkat
nasogastrik
- BB atau
IMT dalam  Monitor asupan
rentang makanan
normal  Monitor berat badan
 Monitor hasil
pemeriksaan laboratorium
2. Terapeutik
 Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika perlu
 Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
 Sajikan makanan
secara menarik dan suhu
yang sesuai
 Berikan makan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
 Berikan makanan
tinggi kalori dan tinggi
protein
 Berikan suplemen
makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasigastrik jika asupan oral
dapat ditoleransi
3. Edukasi
 Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang
diprogramkan
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan,
jika perlu

PROMOSI BERAT BADAN

1. Observasi
 Identifikasi
kemungkinan penyebab BB
kurang
 Monitor adanya mual
dan muntah
 Monitor jumlah
kalorimyang dikomsumsi
sehari-hari
 Monitor berat badan
 Monitor albumin,
limfosit, dan elektrolit
serum
2. Terapeutik
 Berikan perawatan
mulut sebelum pemberian
makan, jika perlu
 Sediakan makan yang
tepat sesuai kondisi
pasien( mis. Makanan
dengan tekstur halus,
makanan yang diblander,
makanan cair yang
diberikan melalui NGT atau
Gastrostomi, total perenteral
nutritition sesui indikasi)
 Hidangkan makan
secara menarik
 Berikan suplemen, jika
perlu
 Berikan pujian pada
pasien atau keluarga untuk
peningkatan yang dicapai
3. Edukasi
 Jelaskan jenis
makanan yang bergizi
tinggi, namuntetap
terjangkau
 Jelaskan peningkatan
asupan kalori yang
dibutuhkan

Post Operatif :
NO Diagnosis Tujuan & Intervensi Paraf
Keperawatan Kriteria Hasil
1. Nyeri akut b.d Setelah MANAJEMEN NYERI (I. 08238) Kelompok
agen pencedera dilakukan Ruang
1. Observasi
fisik (luka tindakan Bedah
operasi) keperawatan
 lokasi, karakteristik,
diharapkan
durasi, frekuensi, kualitas,
tingkat nyeri
intensitas nyeri
menurun dengan
 Identifikasi skala
KH :
nyeri
- Pola nafas
 Identifikasi respon
membaik
nyeri non verbal
- Frekuensi
 Identifikasi faktor
nadi normal yang memperberat dan
- Keluhan memperingan nyeri
nyeri  Identifikasi
menurun pengetahuan dan
- Tidak ada keyakinan tentang nyeri
meringis  Identifikasi pengaruh
- Tidak ada budaya terhadap respon
keluhan sulit nyeri
tidur  Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan
terapi komplementer yang
sudah diberikan
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik

2. Terapeutik
a. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
b. Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Edukasi
a. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyri
secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
e. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

2. Gangguan Setelah PERAWATAN LUKA( I.14564 ) Kelompok


integritas kulit dilakukan Ruang
1. Observasi
bd faktor tindakan Bedah
 Monitor karakteristik
mekanis (luka keperawatan
luka (mis:
insisi) diharapkan
drainase,warna,ukuran,bau
integritas kulit
 Monitor tanda –tanda
meningkat
inveksi
dengan KH :
2. Terapiutik
- Kerusakan
 lepaskan balutan dan
integritas
plester secara perlahan
jaringan
 Cukur rambut di
menurun
sekitar daerah luka, jika
- Nyeri
perlu
menurun
 Bersihkan dengan
- Perdarahan
menurun cairan NACL atau
- Kemerahan pembersih non
menuru toksik,sesuai kebutuhan
- Hematoma  Bersihkan jaringan
menurun nekrotik
 Berika salep yang
sesuai di kulit /lesi, jika
perlu
 Pasang balutan sesuai
jenis luka
 Pertahan kan teknik
seteril saaat perawatan luka
 Ganti balutan sesuai
jumlah eksudat dan
drainase
 Jadwalkan perubahan
posisi setiap dua jam atau
sesuai kondisi pasien
 Berika diet dengan
kalori 30-35
kkal/kgBB/hari dan
protein1,25-1,5
g/kgBB/hari
 Berikan suplemen
vitamin dan mineral (mis
vitamin A,vitamin
C,Zinc,Asam
amino),sesuai indikasi
 Berikan terapi
TENS(Stimulasi syaraf
transkutaneous), jika perlu
3. Edukasi
 Jelaskan tandan dan
gejala infeksi
 Anjurkan
mengonsumsi makan tinggi
kalium dan protein
 Ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri
4. Kolaborasi
 Kolaborasi prosedur
debridement(mis:
enzimatik biologis
mekanis,autolotik), jika
perlu
 Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu

3. Risiko infeksi Setelah PERAWATAN LUKA( I.14564 ) Kelompok


b.d peningkatan dilakukan Ruang
1. Observasi
paparan tindakan Bedah
 Monitor karakteristik
organisme keperawatan
luka (mis:
patogen diharapkan
drainase,warna,ukuran,bau
lingkungan derajat infeksi
 Monitor tanda –tanda
(luka post op menurun dengan
inveksi
laparatomi) KH :
2. Terapiutik
- Tidak ada
 lepaskan balutan dan
demam
plester secara perlahan
- Tidak ada
 Cukur rambut di
kemerahan
sekitar daerah luka, jika
- Tidak ada
perlu
nyeri
 Bersihkan dengan
- Tidak ada
cairan NACL atau
pembengakan
pembersih non
- Sel darah
toksik,sesuai kebutuhan
putih dalam
batas normal  Bersihkan jaringan
nekrotik
 Berika salep yang
sesuai di kulit /lesi, jika
perlu
 Pasang balutan sesuai
jenis luka
 Pertahan kan teknik
seteril saaat perawatan luka
 Ganti balutan sesuai
jumlah eksudat dan
drainase
 Jadwalkan perubahan
posisi setiap dua jam atau
sesuai kondisi pasien
 Berika diet dengan
kalori 30-35
kkal/kgBB/hari dan
protein1,25-1,5
g/kgBB/hari
 Berikan suplemen
vitamin dan mineral (mis
vitamin A,vitamin
C,Zinc,Asam
amino),sesuai indikasi
 Berikan terapi
TENS(Stimulasi syaraf
transkutaneous), jika perlu
3. Edukasi
 Jelaskan tandan dan
gejala infeksi
 Anjurkan
mengonsumsi makan tinggi
kalium dan protein
 Ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri
4. Kolaborasi
 Kolaborasi prosedur
debridement(mis:
enzimatik biologis
mekanis,autolotik), jika
perlu
 Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2015). Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC
Mansjoer, A.  (2015). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Elizabeth, J, Corwin. (2017). Buku saku Fatofisiologi, EGC : Jakarta.
Jitowiyono S. 2010. Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta : Muha Medika
PPNI, T.P. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesi (SDKI) : Definisi dan Indikator
Diagnosis (Cetakan III). Jakarta. DPP PPNI
PPNI, T.P. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) : Definisi dan Tindakan
Keperawatan (Cetakan III). Jakarta : DPP PPNI
PPNI, T.P. 2019. Standar Luaran Keperawatan (SLKI) : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan (Cetakan III). Jakarta. DPP PPNI
Sjamsuhidajat dan Wim De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Vol 3. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai