Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kanker ovarium merupakan keganasan ginekologi yang menempati urutan

keempat dari semua jenis kanker ginekologi yang paling sering terjadi diseluruh

dunia dan merupakan penyebab kematian utama (47% dari semua kematian akibat

kanker ginekologi) (Ferlay et al., 2013). Menurut World Health Organization

(WHO) pada tahun 2002, kanker ovarium di Indonesia menempati urutan ke

empat terbanyak dengan angka kematian mencapai 15 kasus per 100.000 wanita

setelah kanker payudara, korpus uteri, dan kolorektal (Fauzan, 2009). Kanker

ovarium tipe epitel adalah salah satu keganasan ginekologi yang paling sering

terjadi dengan angka kematian sebanyak 150.000 jiwa setiap tahunnya di seluruh

dunia (Ferlay et al., 2013). Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil studi

pendahuluan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, jumlah

kasus kanker ovarium menempati urutan kedua terbanyak setelah kanker serviks,

dimana pada tahun 2013 jumlah pasien kanker ovarium sebanyak 482 dan

mengalami kenaikan jumlah pasien yang cukup besar di tahun 2014 yaitu

sebanyak 1119 kasus. Hal ini menjadi salah satu yang harus dijadikan perhatian,

mengingat jumlah kasus penderita kanker ovarium yang akan terus meningkat.

Penanganan pasien dengan kanker ovarium stadium lanjut terdiri dari

kombinasi operasi sitoreduksi yang diikuti dengan kemoterapi kombinasi

(Busmar, 2006). Kemoterapi memainkan peran penting dalam penanganan pasien

dengan keganasan ginekologi, yaitu dapat memberikan respon terapi yang baik,

1
2

selain itu terdapat juga efek toksik yang tidak dapat dihindarkan dari pemberian

kemoterapi (Elisabeth, 2012).

Berdasarkan data respon terapi, pemberian kemoterapi kombinasi memiliki

keunggulan jika dibandingkan dengan regimen tunggal, yaitu laju respon terapi

yang dihasilkan lebih baik dibandingkan dengan kemoterapi tunggal dan dapat

memperpanjang harapan hidup pasien (Skeel and Khleif, 2011). Kombinasi

paklitaksel-karboplatin menjadi pilihan utama pada pengobatan kanker ovarium

karena telah terbukti memiliki khasiat terapi yang lebih baik dan toksisitas yang

lebih rendah jika dibandingkan dengan kombinasi sisplatin-karboplatin (Ozols et

al., 2003). Selain itu, menurut Piccart et al. (2000), kemoterapi kombinasi

paklitaksel-karboplatin juga memberikan efektivitas yang lebih baik yaitu dapat

meningkatkan angka kelangsungan hidup 5 tahun yang lebih tinggi dibandingkan

dengan kemoterapi tunggal. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSUP

Sanglah Denpasar, regimen paklitaksel-karboplatin ini juga merupakan salah satu

prosedur tetap yang digunakan untuk pengobatan kemoterapi pada pasien kanker

ovarium.

Penilaian respon keberhasilan terhadap kemoterapi yang digunakan dalam

pengobatan pasien kanker ovarium salah satunya dapat ditentukan dengan melihat

konsentrasi tumor marker HE4 (Mokhtar et al., 2012). Human Epidydimis protein

4 (HE4) merupakan tumor marker yang berhasil ditemukan dengan memiliki

sensitivitas 72,9% dan spesifisitas 95% pada jaringan kanker ovarium yang tidak

ditemukan pada jaringan tumor ovarium jinak maupun jaringan ovarium normal

dan diekspresikan cukup tinggi dalam serum darah pasien kanker ovarium (Moore
et al., 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hatzipetros et al. (2013)

menemukan bahwa kemoterapi kombinasi paklitaksel-karbopaltin yang dilakukan

sebanyak 6 siklus menunjukan efektivitas yang baik pada pasien kanker ovarium

yang ditandai dengan penurunan kadar HE4 yang signifikan.

Selain efek terapi yang diperoleh pasien, juga terdapat efek toksik yang tidak

dapat dihindarkan selama pengobatan dengan kemoterapi, diantaranya dapat

menyebabkan terjadinya efek toksik yang merugikan bagi pasien. Berdasarkan

hasil penelitian dari Khemapech et al. (2013), dari 64 pasien kanker ovarium yang

diberikan kemoterapi paklitaksel-karboplatin, menyebabkan anemia sebesar

58,3%, leukopenia 66,7% dan trombositopenia 22,2%. Menurut Takakura et al.

(2010), pemberian obat kemoterapi paklitaksel-karboplatin pada 50 pasien

menyebabkan anemia 32,0%, leukopenia 60,0% dan trombositopenia 24,0%.

Menurut Ehrenpreis dan Eli (2001) efek samping dari karboplatin diketahui dapat

terjadi myelosuppressive atau depresi sumsum tulang belakang yaitu

menyebabkan penurunan produksi sel darah merah sehingga mudah terjadinya

anemia dan trombositopenia. Depresi sumsum tulang dapat disebabkan oleh

toksisitas hampir setiap jenis kemoterapi, yaitu penurunan kadar hemoglobin yang

mengindikasikan adanya anemia (Ariawati, dkk. 2007). Berdasarkan American

Cancer Society (2013), kadar leukosit yang rendah pada pasien yang menderita

kanker dapat meningkatkan adanya resiko infeksi yang serius, dan menurut Kuter

(2013) pemberian obat sitotoksik juga menyebabkan toksisitas pada trombosit

sehingga dengan penurunan kadar trombosit dalam darah akan menyebabkan

pendarahan yang spontan dan menyebabkan kondisi pasien memburuk. Oleh


karena itu, pemberian kemoterapi pada pasien kanker diberikan pada kadar

trombosit yang normal sehingga tidak memperburuk kondisi dan resiko

pendarahan (Kuter, 2013). Berdasarkan hasil review beberapa penelitian yang

telah dilakukan oleh Caro et al. (2001), mendapatkan hasil bahwa angka kematian

pasien-pasien yang mengalami penurunan kadar hemoglobin dapat meningkat

hingga sebesar 65%, sehingga efek toksik yang menjadi fokus dalam penelitian ini

adalah hemoglobin, leukosit dan trombosit.

Berdasarkan pemaparan di atas, karenanya perlu dilakukan penelitian ini

untuk menilai respon kemoterapi dan efek toksik pada pasien kanker ovarium

stadium IC-IIIC di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar yang

mendapatkan regimen paklitaksel-karboplatin.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah

sebagai berikut:

1.2.1 Apakah terdapat perbedaan nilai HE4 sebelum kemoterapi siklus I dan

sesudah kemoterapi siklus VI dengan paklitaksel-karboplatin pada pasien

kanker ovarium stadium IC-IIIC?

1.2.2 Apakah terdapat perbedaan kadar hemoglobin sebelum kemoterapi siklus I

dan sesudah kemoterapi siklus VI dengan paklitaksel-karboplatin pada

pasien kanker ovarium stadium IC-IIIC?

1.2.3 Apakah terdapat perbedaan kadar leukosit sebelum kemoterapi siklus I dan

sesudah kemoterapi siklus VI dengan paklitaksel-karboplatin pada pasien

kanker ovarium stadium IC-IIIC?


1.2.4 Apakah terdapat perbedaan kadar trombosit sebelum kemoterapi siklus I

dan sesudah kemoterapi siklus VI dengan paklitaksel-karboplatin pada

pasien kanker ovarium stadium IC-IIIC?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui efektivitas kemoterapi paklitaksel-karboplatin pada pasien

kanker ovarium sel epitel stadium IC-IIIC.

2. Untuk mengetahui toksisitas kemoterapi paklitaksel-karboplatin pada pasien

kanker ovarium sel epitel stadium IC-IIIC.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perbedaan nilai HE4 sebelum kemoterapi siklus I dan

sesudah kemoterapi siklus VI dengan paklitaksel-karboplatin pada pasien

kanker ovarium sel epitel stadium IC-IIIC.

2. Untuk mengetahui perbedaan kadar hemoglobin sebelum kemoterapi siklus I

dan sesudah kemoterapi siklus VI dengan paklitaksel-karboplatin pada pasien

kanker ovarium stadium IC-IIIC.

3. Untuk mengetahui perbedaan kadar leukosit sebelum kemoterapi siklus I dan

sesudah kemoterapi siklus VI dengan paklitaksel-karboplatin pada pasien

kanker ovarium stadium IC-IIIC.


4. Untuk mengetahui perbedaan kadar trombosit sebelum kemoterapi seri I dan

sesudah kemoterapi seri VI dengan paklitaksel-karboplatin pada pasien kanker

ovarium stadium IC-IIIC.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1.4.1 Bagi Dokter

Dapat memberikan informasi efektivits dan efek toksik mengenai regimen

paklitaksel-karboplatin sebagai dasar pertimbangan kemoterapi pada pasien

kanker ovarium.

1.4.2 Bagi Apoteker

Dapat meningkatkan peran apoteker sebagai tenaga kesehatan dalam

memonitor respon terapi dan efek samping kemoterapi pada pasien kanker

ovarium untuk menjamin keamanan pasien kanker ovarium khususnya tipe

sel epitel.

1.4.3 Bagi Pasien

Dapat mendapatkan efek terapi yang maksimal dan efek toksik yang

minimal sehingga memperoleh pengobatan yang rasional.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Ovarium

Kanker ovarium adalah kanker primer yang berasal dari ovarium. Kanker ovarium

merupakan penyebab kematian tertinggi pada kanker alat genitalia perempuan.

Kanker ovarium tipe epitelial merupakan keganasan ovarium yang paling banyak

ditemukan dan biasanya asimtomatis sampai terjadi metastase sehingga

kebanyakan pasien yang datang sudah memasuki stadium lanjut (Cannistra, 2004;

Andrijono, 2009).

2.2 Epidemiologi dan Klasifikasi

Kanker ovarium biasanya terdeteksi pada stadium lanjut dan masih merupakan

penyebab kematian yang tinggi pada keganasan ginekologi. Kanker ovarium

merupakan penyebab kematian terbanyak pada wanita dengan keganasan

ginekologi dan terhitung sebanyak 5% dari keseluruhan kematian akibat kanker.

Pada tahun 2011, di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 21.990 kasus baru

kanker ovarium dan 15.460 kasus kematian (Hennessy, dkk.,2009; Su, dkk.,

2012). Angka harapan hidup lima tahun pada stadium awal kanker ovarium kira-

kira 92% tetapi sangat sulit untuk mendeteksi kanker ovarium pada stadium ini

oleh karena gejala yang tidak jelas. Kebanyakan pasien terdiagnosis dengan

stadium lanjut dimana angka harapan hidup lima tahun hanya 30% (Su, dkk.,

2012; Bosse, K., dkk., 2006.). Berdasarkan data American Cancer Society pada

10
tahun 2010 diperkirakan terdapat sebanyak 21.880 kasus baru kanker ovarium dan

13.850 diantaranya meninggal akibat kanker ovarium (Park, dkk., 2010).

Tumor ovarium diklasifikasikan berdasarkan World Health Organization

(WHO) dan International Federation of Gynecolgy and Obstetric (FIGO).

Berdasarkan kriteria WHO, tumor ovarium dibedakan menjadi 3 kategori utama

berdasarkan struktur anatomi dari mana mereka berasal yaitu: 1) surface epitelial-

stromal tumors (65%), 2) germ cell tumors(15%), 3) sex cord-stromal tumors

(10%). Masing-masing kategori dibagi kembali menjadi beberapa subtipe. Disebut

mixed tumors apabila terdapat kombinasi dua atau lebih subtipe (Pearson, 2009).

Kanker ovarium tipe epitelial berasal dari transformasi ganas epitel

permukaan ovarium yang berdekatan dengan mesotelium peritoneum. Hampir

90% kanker ovarium berasal dari jaringan coelomic epithelium atau mesotelium.

Sel tersebut adalah produk mesoderm yang dapat mengalami metaplasia (Pearson,

2009).

Karakteristik tumor serous pada pemeriksaan digambarkan dengan lesi

kistik dimana epitelium papiler terkandung di dalam beberapa kista berdinding

fibrous (intrakistik), atau diproyeksikan dari permukaan ovarium. Tumor jinak

secara tipikal ditunjukkan dengan dinding kista halus berkilau tanpa penebalan

epitel atau dengan proyeksi papiler kecil. Tumor borderline berisikan peningkatan

jumlah proyeksi papiler. Proporsi penting pada tumor serous borderline dan tumor

serous ganas melibatkan (atau berasal dari) permukaan ovarium. Pada

pemeriksaan histologi, kista dilapisi oleh epitel kolumnar yang mempunyai

banyak silia pada tumor jinak. Papilae mikroskopik mungkin ditemukan. Tumor
serous borderline menunjukkan peningkatan kompleksitas papilae stroma,

stratisikasi epitelium dan nukleus atipikal ringan, tetapi pertumbuhan infiltrative

destruktif ke stroma tidak ditemukan. Proliferasi epitel dapat mengikuti pola

papiler yang disebut “micropapillary carcinoma” dan merupakan prekursor low

grade serous carcinoma. Banyaknya massa solid atau massa tumor papiler,

bentuk massa yang irregular dan fiksasi atau nodularitas kapsul merupakan

indicator kemungkinan keganasan. Hal ini merupakan karakteristik high-grade

serous carcinoma, secara mikroskopik menunjukkan pola pertumbuhan lebih

kompleks dan infiltrasi stroma. Sel tumor pada high-grade carcinoma

menggambarkan nuclear atypia, pleomorfisme, gambaran mitotik atipikal dan

multinukleasi. Kalsifikasi konsentrik (psammoma bodies) merupakan karakteristik

tumor jinak namun tidak spesifik untuk neoplasia (Kumar, dkk., 2010; Berek dan

Hacker, 2010).

Tumor musinus memiliki karakteristik yaitu jarang melibatkan bagian

permukaan dan jarang bilateral. Tumor musinus menghasilkan massa kistik besar,

multilokular berisi cairan lengket, gelatin yang kaya glikoprotein. Pada

pemeriksaan histologi, tumor musinus jinak dilapisi oleh sel epitelial kolumnar

dengan musin apikal dan tidak ada silia, sama dengan epitelia usus atau servikal

jinak. Kistadenokarsinoma mengandung daerah pertumbuhan padat dan sel

epitelial atipia mencolok dan stratifikasi, hilangnya arsitektur kelenjar dan

nekrosis (Kumar, dkk., 2010; Berek dan Hacker, 2010; Maharaj, A.G., 2012).

Tumor endometrioid jinak (endometrioid adenofibromas) dan tumor

endometrioid borderline ditemukan kurang lebih 20% dari kanker ovarium.


Tumor endometrioid dibedakan dari tumor serous dan musinus dari adanya

kelenjar tubuler yang sangat mirip dengan endometrium jinak atau ganas.

Karsinoma endometrioid menunjukkan gambaran kombinasi antara bagian kistik

dan solid yang mirip dengan kistadenokarsinoma. Sebanyak 40% melibatkan

kedua ovarium dan biasanya bilateral (Kumar, dkk., 2010; Berek dan Hacker,

2010).

Tumor clear cell jinak dan borderline sangat jarang ditemukan begitu juga

dengan tipe karsinoma. Gambarannya berupa sel epitelial besar dengan banyak

sitoplasma jernih mirip dengan endometrium gestasional hipersekretorik. Karena

beberapa tumor ini terjadi sehubungan dengan endometriosis atau karsinoma

endometrioid ovarium dan menyerupai clear cell carcinoma endometrium,

mereka dikatakan berasal dari Mullerian dan varian adenokarsinoma

endometrioid. Tumor clear cell ovarium dapat berupa massa solid atau kistik.

Pada neoplasma solid, clear cells tersusun dalam lembaran atau tubulus. Pada

jenis kistik, sel neoplastik tersusun berbaris (Kumar, dkk., 2010; Berek dan

Hacker, 2010).

Kistadenofibroma adalah varian dimana terdapat lebih banyak proliferasi

stroma fibrous yang melapisi epitelium kolumnar. Tumor jinak ini biasanya kecil

dan multilokular, berisikan epitelium musinus, serous, endometrioid dan

transisional (Brenner tumor). Brenner tumors diklasifikasikan sebagai

adenofibroma dimana komponennya terdiri dari sel epitelial tipe transisional yang

menyerupai lapisan kandung kencing (Kumar, dkk., 2010; Berek dan Hacker,

2010).
Stadium kanker ovarium ditentukan berdasarkan pada penemuan yang

dilakukan saat melakukan eksplorasi. Klasifikasi tumor ovarium tipe epitelial

dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan stadium kanker ovarium menurut International

Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) berdasarkan pada hasil evaluasi

pembedahan terhadap tumor ovarium primer dan penemuan penyebarannya dapat

dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Ovarium tipe Epitelial sesuai WHO

Tipe Histologi Tipe Seluler


I. Serous Endosalpingeal
A. Jinak
B. Borderline
C. Ganas
II. Musinus Endoservikal
A. Jinak
B. Borderline
C. Ganas
III. Endometrioid Endometrial
A. Jinak
B. Borderline
C. Ganas
IV. Clear-cell mesonephroid Mullerian
A. Jinak
B. Borderline
C. Ganas
V. Brenner Transitional
A. Jinak
B. Borderline (proliferating)
C. Ganas
VI. Mixed epithelial Mixed
A. Jinak
B. Borderline
C. Ganas
VII. Undifferentiated Anaplastic
VIII. Unclassified Mesothelioma dll.
(Sumber: Berek dan Novak’s, 2007)
Tabel 2.2 Stadium Kanker Ovarium Menurut Kriteria FIGO

Stadium Kriteria
I Pertumbuhan terbatas pada ovarium
IA Pertumbuhan tumor terbatas pada satu ovarium, cairan asites tidak
mengandung sel-sel ganas, tidak ada pertumbuhan tumor pada permukaan luar
dan kapsul utuh
IB Pertumbuhan tumor terbatas pada kedua ovarium, cairan asites tidak
mengandung sel-sel ganas, tidak ada pertumbuhan tumor pada permukaan luar
dan kapsul utuh
IC Tumor terbatas pada satu atau kedua ovarium
IC1 Tumor pecah saat pembedahan
IC2 Kapsul tumor pecah sebelum pembedahan atau tumor pada permukaan
ovarium
IC3 Terdapat sel-sel ganas dalam cairan ascites atau cairan bilasan peritoneum
II Tumor pada satu atau kedua ovarium, dengan perluasan ke dinding pelvis
(dibawah pelvic brim) atau kanker peritoneum primer.
IIA Perluasan dan atau metastasis ke uterus dan atau tuba falopi
IIB Perluasan ke jaringan pelvis lainnya
III Tumor pada satu atau kedua ovarium dengan sitologi atau histologi implantasi
diluar peritoneal pelvis dan atau metastase ke kelenjar limfe retroperitoneal.
IIIA Penyebaran pada kelenjar limfe retroperitoneal dan atau secara mikroskopis
metastase keluar pelvis.
IIIA1 Penyebaran hanya pada kelenjar limfe retroperitoneal
IIIA1(1) Metastase ≤ 10 mm
IIIA1(2) Metastase > 10 mm
IIIA2 Secara mikroskopis, melibatkan peritoneum ekstrapelvik (diatas brim) ±
kelenjar getah bening retroperitoneal positif
IIIB Secara makroskopis, ekstrapelvik, metastase peritoneum ≤ 2 cm ± kelenjar
getah bening retroperitoneal positif. Termasuk perluasan tumor ke kapsul
hati/empedu.
IIIC Secara makroskopis, ekstrapelvik, metastase peritoneum > 2 cm ± kelenjar
getah bening retroperitoneal positif. Termasuk perluasan tumor ke kapsul
hati/empedu.
IV Metastase jauh, tidak termasuk metastase peritoneal
IVA Efusi pleura dengan sitologi positif
IVB Metastase hepar dan atau metastase parenkim limpa, metastase ke organ
ekstraabdominal (termasuk kelenjar getah bening inguinal dan kelenjar getah
bening diluar kavum abdomen)
(Sumber: J Gynecol Oncol Vol. 26, No. 2:87-89, 2015)

2.3 Etiologi Kanker Ovarium

Etiologi kanker ovarium masih belum jelas, beberapa hipotesis yang mungkin saat

ini menjelaskan terjadinya kanker ovarium antara lain: hipotesis trauma ovulasi

dan hipotesis gonadotropin. Saat ovulasi, terjadi kerusakan epitel permukaan

ovarium pada waktu pecahnya folikel dan kemudian diikuti oleh perbaikan
sel/DNA. Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin banyak pembelahan sel yang

diikuti proses perbaikan meningkatkan peluang untuk terjadinya mutasi spontan

yang menyebabkan karsinogenesis. Hipotesis gonadotropin didasarkan pada

pembentukan kista inklusi yang kemudian berkembang karena stimulasi estrogen

akibat tingginya gonadotropin. Overstimulasi sel epitel permukaan ovarium oleh

gonadotropin, follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH)

menyebabkan peningkatan pembelahan sel dan mutasi yang menyebabkan

karsinogenesis. Beberapa hipotesis lain yang menjelaskan terjadinya kanker

ovarium adalah hipotesis stimulasi hormonal, hipotesis inflamasi, dan interaksi

gen-lingkungan (Berek dan Novak’s, 2007; Gardner, dkk., 2009). Reaksi inflamasi

akan menghasilkan oksidan yang toksik, menyebabkan kerusakan DNA, protein

dan lipid. Kerusakan DNA menyebabkan mutasi DNA. Mekanisme perbaikan

DNA tubuh akan melakukan perbaikan DNA yang rusak, dengan demikian

inflamasi kronik akan menimbulkan efek yang lama, menyebabkan kematian sel

sehingga tubuh mengkompensasinya dengan melakukan pembelahan pertama sel.

Pembelahan yang dipacu atau diakselerasi akan memudahkan kesalahan

pembentukan DNA, memudahkan terjadinya mutasi dan terjadi mutagenesis.

Sitokin yang dilepaskan pada reaksi inflamasi juga berperan dalam regulasi

cylooxygenase (COX-2) yang berfungsi dalam sintesis prostaglandin. Dimana

fungsi prostaglandin itu antara lain: penurunan diferensiasi sel, menghambat

apoptosis, meningkatkan proliferasi sel dan merangsang pembentukan

angiogenesis melalui growth factor dan matrix metalloprotease. Inflamasi kronik

berhubungan dengan faktor imunitas selular dan humoral dimana masing-masing


menghasilkan sitokin T-helper 1 (Th-1) dan immune suppressive cytokine (Moore,

dkk., 2008; Andrijono, 2009).

2.4 Faktor Risiko Kanker Ovarium

Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya kanker ovarium antara

lain: umur, riwayat keluarga, infertilitas, obesitas, hormone replacement therapy

(HRT), endometriosis, menarche awal dan atau menopause terlambat, ras dan area

geografis, serta merokok. Sedangkan faktor protektif yang berhubungan dengan

penurunan risiko kanker ovarium antara lain: salfingooforektomi bilateral

(bilateral salphyngoooporectomy/BSO), kehamilan, pil kontrasepsi oral (oral

contraception pill/OCPs), histerektomi dan ligasi tuba, laktasi/menyusui, dan gaya

hidup sehat. Insiden kanker ovarium meningkat seiring peningkatan umur,

biasanya terjadi pada wanita berumur antara 50-79 tahun dengan median umur

saat diagnosis adalah 63 tahun. Lebih dari 70% kanker ovarium terjadi setelah

umur 50 tahun (Gardner,dkk.,2009). Dua sindrom (familial ovarian cancer) yang

berhubungan dengan kejadian kanker ovarium adalah sindroma kanker payudara

dan ovarium (the breast-ovarian cancer syndrome) dan sindrom Lynch

II/HNPCC(hereditary non-poliposus colorectal cancer). Sindroma kanker

payudara dan ovarium terjadi akibat adanya mutasi pada tumor supressor

gene(TSG) BRCA1 (breast cancer antigen) atau BRCA2. Risiko menderita

kanker ovarium pada populasi hanya sebesar 1,4%, akan meningkat menjadi 28-

60% jika terjadi mutasi BRCA1 dan 11-27% pada BRCA2. Mutasi BRCA1

menyebabkan kerusakan TSG p53 dan p21 yang mengakibatkan TSG tersebut
tidak berfungsi. Sindroma Lynch II meliputi kanker kolon, kanker payudara,

kanker ovarium, kanker endometrium dan kanker prostat. Kanker timbul setelah

proses mutasi pada gen MLH1 atau MHS2 yang berperan pada reparasi gen.

Insidennya sebanyak 2% dari kanker ovarium tipe epithelial (Andrijono, 2009;

Gardner, dkk., 2009).

Obesitas meningkatkan risiko kanker ovarium sebesar 1,3 kali

dibandingkan dengan wanita dengan berat badan normal. Peningkatan kasus

kanker ovarium mungkin berhubungan dengan mekanisme hormonal yang

berkaitan dengan obesitas termasuk peningkatan estrogen, insulin dan insulin-like

growth factor dan penurunan progesteron. Penggunaan HRT berhubungan dengan

peningkatan risiko kanker ovarium sebanyak 24% dibandingkan dengan tanpa

penggunaan HRT (Gardner, dkk., 2009). Insiden kanker ovarium tertinggi pada

wanita kulit putih dan di negara-negara industri barat. Wanita perokok memiliki

risiko dua kali menderita kanker ovarium tipe musinus dibandingkan dengan

wanita bukan perokok (Cannistra, 2004; Partheen, dkk., 2011).

Pada wanita berisiko tinggi kanker ovarium, BSO profilaktik mengurangi

risiko kanker ovarium sebesar 90%. Kehamilan berhubungan dengan penurunan

risiko kanker. Kehamilan tunggal mengurangi risiko sebesar 20-40% dan masing-

masing kehamilan lainnya mengurangi risiko sebesar 10-15%. Pengunaan obat

kontrasepsi oral saja mengurangi risiko kanker ovarium hampir sebesar 60%.

Diperkirakan bahwa sebanyak 200.000 kasus dan 100.000 kematian karena kanker

ovarium bisa dicegah dalam 50 tahun terakhir dengan penggunaan obat

kontrasepsi oral. Prosedur histerektomi dan ligasi tuba mengurangi risiko kanker
ovarium sebesar 30-40%. Mekanismenya adalah mencegah karsinogen potensial

menuju ke ovarium atau menurunkan aliran darah menuju ke ovarium. Pada

wanita yang menyusui juga dikatakan terjadi penurunan risiko kanker ovarium.

Pengaruh gaya hidup sehat tidak kalah pentingnya. Hubungan antara aktivitas

fisik dan insiden kanker ovarium masih belum jelas, begitu pula dengan konsumsi

sayur-sayuran dan biji padi-padian (Gardner, dkk., 2009).

2.5 Skrining Kanker Ovarium

Salah satu cara untuk deteksi awal kanker ovarium adalah dengan metode

skrining. Namun skrining yang murah dan efektif masih sulit diimplementasikan

oleh karena beberapa hal antara lain: 1) perjalanan alamiah penyakit kanker

ovarium belum diketahui, 2) kanker ovarium adalah penyakit yang tidak umum

sehingga memerlukan tes skrining dengan spesifisitas tinggi, 3) kebanyakan

kanker ovarium pada wanita terjadi tanpa faktor risiko yang teridentifikasi, dan 4)

pembedahan masih merupakan skrining definitif yang relatif mahal dan berisiko

(Lutz, dkk.,2011). Kriteria untuk skrining penyakit yang disarankan oleh World

Health Organization (WHO) dapat dilihat pada Tabel 2.3.


Tabel 2.3 Kriteria Untuk Skrining Penyakit Sesuai WHO
1. Kondisi yang diskrining seharusnya menggambarkan penyebab utama
kematian dan memiliki prevalensi yang substansial di populasi.
2. Perjalanan alamiah penyakit dari fase laten hingga munculnya penyakit
harus memiliki karakteristik yang jelas.
3. Seharusnya terdapat pengobatan untuk penyakit pada fase laten atau awal
sehingga meningkatkan kesembuhan.
4. Tes skrining harus diterima pada populasi.
5. Pengobatan yang efektif harus tersedia untuk penyakit tahap lanjut.
6. Fasilitas untuk diagnosis dan pengobatan harus tersedia.
7. Harus terdapat persetujuan berdasarkan petunjuk klinis siapa yang diobati.
8. Skrining harus cost effective
9. Skrining tes harus mempunyai positive predictive value, negative
predictive value, sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
(Sumber: Pearson, 2009).

2.6 Tumor Marker

Tumor marker adalah substansi kimia yang ditemukan dalam darah, cairan tubuh

atau di jaringan tubuh lainnya yang dapat dideteksi dalam hubungan dengan

perkembangan keganasan. Tumor marker dapat digunakan untuk diagnosis dan

memantau perkembangan penyakit. Tumor marker adalah protein yang dapat

digunakan untuk mendeteksi adanya sel kanker yang hidup, pada umumnya tumor

marker adalah protein yang dihasilkan oleh sel kanker tersebut. Tumor marker

tergantung pada jenis histologi tumor, masing-masing jenis histologi tumor

mempunyai tumor marker yang spesifik (Andrijono, 2009; Molina,dkk.,2011;

Montagnana, dkk.,2011).
Salah satu tantangan utama perkembangan tes skrining adalah dimana tes

skrining tersebut harus memiliki spesifisitas tinggi karena rendahnya prevalensi

kanker ovarium dan untuk menghindari banyaknya nilai positif palsu. Secara

statistik, keberhasilan tes skrining memerlukan sensitifitas lebih dari 75% dan

spesifisitas lebih dari 99,6% untuk mendapatkan positive predictive value (PPV)

10%. Kombinasi CA125 dan symptom index dapat mendeteksi 89,3% wanita

dengan kanker ovarium, 80,3% pada stadium awal dan 95,1% pada stadium akhir

penyakit. Beberapa peneliti lain membandingkan risiko indeks keganasan (Risk

Malignancy Index/RMI) berdasarkan CA125, pencitraan/imaging, dan status

menopause dengan predictive probability (PP) berdasarkan novel bioassay

menggunakan CA125, HE4 dan status menopause untuk memprediksi kanker

ovarium tipe epitelial pada pasien dengan massa pelvis. Pada pasien dengan tumor

jinak ovarium dan kanker ovarium tipe epitelial dengan spesifisitas 75%

didapatkan sensitifitas pada PP 94,3% dan sensitifitas pada RMI 83,7%. Pada

pasien stadium I dan II, sensitifitas pada PP 85,3% dan pada RMI sensitifitasnya

61,8%. Sensitifitas pada kanker ovarium stadium III dan IV masing-masing 98,8%

dan 93% (Keeler, 2006; Stany, 2009; Anderson, dkk.,2010; Ruggeri, dkk.,2011).

2.6.1 CA125 (Cancer Antigen 125)

Tumor marker yang paling luas dipakai dalam deteksi kanker ovarium adalah

CA125 sehingga sering disebut “standar emas”. Pertama kali diidentifikasi oleh

Bast, Knapp dan koleganya di tahun 1981. CA125 adalah high molecular weight

glycoprotein yang meningkat pada kira-kira 90% pasien dengan kanker ovarium
tipe epitelial stadium lanjut. CA125 dihasilkan dari fetal amniotic dan coelomic

epithelium dan pada jaringan dewasa berasal dari coelomic epithelium (sel

mesotelial pleura, pericardium, dan peritoneum) dan Mullerian (tuba,

endometrium, dan endoservik). CA125 mengandung 2 domain antigen utama

yaitu A dan B yang mengikat antibodi monoklonal OC125 dan M11. Kekurangan

CA125 sendiri sebagai tumor marker pada skrining kanker ovarium adalah

tingginya nilai positif palsu dengan sensitifitas 50-62% pada stadium awal dan

90% pada stadium lanjut dan spesifisitas 94%-98,5% (Montagnana, dkk.,2011;

Gupta, D. dan Lis, CG., 2009).

Gambar 2.1 Diferensiasi Mullerian dan kontrol HOX


(Sumber: Hennessy,dkk.,2009)
CA125 diekspresikan sebagai sebuah membran protein di permukaan sel-

sel yang mengalami diferensiasi metaplastik menjadi epithelium tipe Mullerian

atau larut dalam cairan tubuh. CA125 masih merupakan biomarker yang paling

banyak dipelajari untuk digunakan dalam deteksi dini dari karsinoma ovarium dan

dalam monitoring dan deteksi penyakit. Tetapi peningkatan kadar CA125 juga

terdapat pada beberapa penyakit keganasan seperti kanker payudara,

mesothelioma, limfoma non-hodgkin, kanker lambung, leiomyoma dan

leiomyosarcoma yang berasal dari saluran pencernaan. CA125 juga ditemukan

tinggi dalam kondisi jinak seperti endometriosis, kehamilan, siklus ovulatorik,

penyakit hati dan gagal jantung kongestif, serta penyakit menular seperti

tuberculosis (Scholler, dkk.,2007; Saldova, dkk.,2013).

Gambar 2.2 Struktur Molekular CA125 (Sumber: Weiland,dkk.,2012)


CA125 juga disebut mucin 16/MUC 16 merupakan protein pada manusia

yang terkode oleh gen MUC 16. MUC 16 adalah bagian dari kelompok

glikoprotein. MUC 16 mengandung domain transmembran tunggal, ukurannya

dua kali lebih panjang dari MUC 1 dan MUC 4 dan mengandung 22.000 asam

amino. MUC 16 tersusun dari 3 domain berbeda yaitu: (1) N-terminal domain, (2)

Tandem repeat domain dan (3) C-terminal domain. N-terminal dan tandem repeat

domain sepenuhnya ekstraseluler dan sangat O-glikolisasi. Semua mucin

mengandung tandem repeat domain yang mengulang rangkaian asam amino

tinggi serine, threonine dan proline. C-terminal domain tersebut mengandung

SEA(sea urchin sperm protein, enterokinasi dan agrin) ekstraseluler, domain

transmembran dan ekor sitoplasmik. Bagian ekstraseluler MUC 16 dapat

dilepaskan dari sel permukaan dengan pembelahan proteolitik (Sandri, dkk.,2013;

Felder, dkk.,2014).

MUC 16 adalah komponen permukaan ocular (termasuk kornea dan

konjungtiva), saluran pernafasan dan epitel saluran reproduksi wanita. Saat MUC

16 ini terglikosilasi tinggi, menciptakan sebuah lingkungan hidrofilik yang

berfungsi sebagai penghalang terhadap partikel asing dan agen infeksi pada

membrane sel epitel. Cytoplasmic tail MUC 16 berinteraksi dengan sitoskeleteon

dengan mengikat protein ERM (Felder, dkk.,2014).

MUC 16 berperan dalam tumoregenesis dan proliferasi tumor melalui

mekanisme yang berbeda-beda. Salah satu cara bahwa MUC 16 membantu

pertumbuhan tumor adalah dengan menekan respon sel-sel pembunuh alami (NK

cell) yang melindungi sel kanker dari respon imun. Bukti lebih lanjut bahwa MUC
16 dapat melindungi sel tumor dari sistem imun adalah penemuan tandem repeat

domain MUC 16 terglikosilasi tinggi dapat berikatan dengan galectin-1 (protein

imunosupresif) (Felder, dkk.,2014).

MUC 16 berpartisipasi dalam interaksi antar sel yang memungkinkan

untuk metastasis dari sel tumor. Hal tersebut didukung oleh bukti bahwa MUC 16

secara selektif dengan mesothelin, glikoprotein sel-sel mesothelial peritoneum

(lapisan rongga perut). Interaksi MUC 16 dan mesothelin memberikan langkah

pertama dalam invasi sel tumor di peritoneum. Mesothelin juga telah ditemukan

dalam beberapa jenis kanker termasuk mesothelioma, kanker ovarium dan

karsinoma sel skuamosa. Saat mesothelin juga diekspresikan oleh sel tumor,

interaksi mesothelial dan MUC 16 dapat membantu pertemuan sel tumor lain

menuju lokasi metastasis, sehingga meningkatkan ukuran metastasis (Felder,

dkk.,2014). Beberapa bukti menyatakan bahwa ekspresi cytoplasmic tail MUC 16

membantu pertumbuhan sel tumor, motilitas sel dan memfasilitasi invasi. Hal ini

berhubungan dengan kemampuan C-terminal domain MUC 16 untuk

memfasilitasi pensinyalan yang menyebabkan penurunan ekspresi E-cadherin dan

peningkatan ekspresi N-cadherin dan vimentin. MUC 16 juga berperan

menurunkan sensitifitas sel kanker terhadap terapi obat. Ekpresi berlebihan dari

MUC 16 terbukti melindungi sel dari dampak genotoxic obat-obatan seperti

cisplatin (Felder, dkk.,2014).

Dalam perkembangannya, perhitungan kadar CA125 serum menjadi

standar penatalaksanaan yang rutin pada pasien kanker ovarium. Kadar CA125

dibawah 35U/mL dikatakan normal. Jika dikelompokkan berdasarkan stadium


penyakit, maka hampir 90% peningkatan kadar CA125 terjadi pada kanker

ovarium stadium lanjut dan hanya 50% terjadi pada stadium I. Peningkatan kadar

CA125 lebih berhubungan dengan tumor ovarium tipe serous daripada tipe

musinus. Selain untuk mendeteksi kanker ovarium, penilaian kadar CA125 juga

sering digunakan untuk menilai perkembangan penyakit atau respon terapi serta

prognosisnya. Berbagai variasi tumor marker dievaluasi untuk melengkapi CA125

untuk deteksi awal kanker ovarium seperti OVX1, HE4, mesothelin (MES)

(Felder, dkk.,2014).

2.6.2 Human Epididymis Protein 4 (HE4)

Human epididymis protein 4 (HE4) adalah tumor marker baru dan ditemukan

dengan kesatuan DNA pada kanker ovarium dengan sensitifitas 76% dan jika

dikombinasikan dengan CA125 akan memiliki sensitivitas 95%. HE4 adalah low

molecular weight glycoprotein dan merupakan golongan stable 4-disulfide dimana

fungsinya belum diketahui (Montagnana, dkk.,2011).

HE4 (WFDC2) pertama kali ditemukan oleh Kirchhoff dkk. dalam

pengkodean skrining cDNA jaringan epididimal manusia. Kajian-kajian

berikutnya mengungkapkan ekspresi HE4 dalam sejumlah jaringan di luar sistem

reproduksi lelaki. Menggunakan hibridisasi, Bingle dkk. mendeteksi mRNA HE4

di paru-paru, ginjal, dan kelenjar ludah. Galgano dkk. menganalisis HE4 dalam

jaringan normal dan jaringan ganas manusia menggunakan sebuah microarray

cDNA. HE4 relatif tinggi dalam trakea dan kelenjar ludah. Dengan menggunakan

PCR kuantitatif, mRNA HE4 tingkat tinggi terdeteksi di epididimis, trakea dan
paru-paru, dan tingkat menengah di prostat, endometrium, dan payudara. Sedikit

atau tidak ada HE4 dideteksi pada usus besar, indung telur, hati, plasenta, sel-sel

darah perifer dan otot rangka (Li,dkk.,2009).

HE4 adalah salah satu dari 14 gen homolog pada kromosom 20q12-13.1

yang mengkode protein dengan WFDC. Dimana WFDC terdiri dari 50 sekuens

asam amino dengan delapan cysteine residu yang membentuk empat ikatan

disulfide. Gen HE4 mengkode 13kD protein, walaupun di dalam proses maturasi

glycocylated membentuk protein kira-kira 20-25 kD. Lokus kromosom 20q13

menunjukkan variasi kromosom pada beberapa tipe kanker, seperti keganasan

pada rongga mulut, payudara, ovarium, kolon, pankreas, lambung dan uterus.

Pada lokus kromosom ini juga mempunyai beberapa protein WAP lain, seperti

elafin dan Secretory Leucocyte Proteinase Inhibitor (SLPI), yang telah digunakan

sebagai penanda tumor untuk penyakit keganasan (Li, dkk.,2009).

Gambar 2.3 Daerah Kromosom 20q13 Yang Menyimpan Kluster Gen


Wap termasuk HE4, SLPI, Eppin-1 (Sumber: Drapkin,dkk,2005)
Pada pemeriksaan kuantitatif kadar serum HE4 dengan metode ELISA

didapatkan kadar HE4 yang berbeda-beda. Pemeriksaan HE4 – EIA (Enzyme

Immunometric Assay) ini juga dapat digunakan untuk menilai rekurensi dan

progresifitas pada pasien yang menderita tumor ganas ovarium. Peningkatan kadar

serum HE4 juga dapat dijumpai pada penyakit bukan keganasan, sehingga

pemeriksaan HE4 tidak dapat digunakan secara absolut untuk menentukan

diagnosa, maka pemeriksaan kadar serum HE4 untuk tumor ganas ovarium

sebaiknya diikuti dengan monitoring atau penilaian secara klinis terhadap

penyakit ini (Li, dkk.,2009).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Immuni-Biological Laboratories,

didapatkan 94,4% wanita sehat mempunyai nilai kadar serum HE4 dibawah 150

pM (picomolar) atau picomole/L. Huhtinen dkk.,pada penelitiannya menunjukkan

rata-rata kadar serum HE4 pada endometriosis 45,5 pM dimana kontrol pada

wanita sehat mempunyai nilai rata-rata 40,5 pM dengan rentang 15,2 – 111,0 pM.

Dan didapatkan konsentrasi yang sangat tinggi pada tumor ganas ovarium dengan

nilai rata-rata 1.125,4 pM dengan rentang 46,5 – 10.250,0 pM. Dan juga ada

peningkatan secara signifikan pada kanker endometrial (99,2 pM) dengan rentang

26,5 – 330,5 pM (Li, dkk.,2009).

HE4 disekresikan dan terlihat pada epitel jaringan genitalia wanita yang

normal. Kemunculannya pada kista ovarium kortikal menandakan bahwa

pembentukan epitel Mullerian adalah prasyarat dalam perkembangan beberapa

tipe kanker ovarium dimana lebih dari 90% ditemukan pada kanker ovarium.

Kombinasi HE4 dengan CA125 ternyata memiliki sensitifitas dan spesifisitas


yang lebih besar daripada HE4 sendiri. Pada suatu penelitian yang menggunakan

kombinasi pemeriksaan HE4 dan CA125 pada serum wanita dengan

endometriosis, kanker endometrium, kanker ovarium dan wanita sehat sebagai

kontrol. Maka didapatkan konsentrasi HE4 serum tinggi pada pasien dengan

kanker endometrium dan kanker ovarium, tidak pada endometrioma atau

endometriosis dengan sensitifitas 95% dan spesifisitas 92,9% (pada kombinasi

HE4 dan CA125) dan 78,6% pada HE4 sendiri atau CA125 sendiri. Pada

penelitian lain yang menggunakan HE4 dan CA125 sebagai tumor marker pada

wanita premenopause dan postmenopause yang digolongkan menjadi risiko

rendah dan risiko tinggi sesuai risk of ovarian malignancy algorithm (ROMA)

didapatkan sensitifitas pada pasien postmenopause risiko tinggi sebesar 92,3%

dengan spesifisitas 74,7%. Untuk pasien postmenopause risiko rendah

sensitifitasnya 94,6% dan spesifisitasnya 75%. Sedangkan pada pasien

premenopause risiko tinggi didapatkan sensitifitasnya 76,5% dan spesifisitasnya

74,8% dan pada pasien premenopause risiko rendah didapatkan sensitifitas dan

spesifisitasnya masing-masing sebesar 88,9% dan 75%. Gabungan pasien

premenopause dan postmenopause memiliki sensitifitas dan spesifisitas sebesar

86% dan 74,7%. Analisis selanjutnya pasien dengan kanker ovarium tipe epitelial

invasif menunjukkan 94,6% pasien postmenopause dan 88,9% pasien

premenopause teridentifikasi dengan baik (Montagnana, dkk.,2011).


2.7 Peran Ultrasonografi pada Kanker Ovarium

Teknik ultrasonografi transvaginal dan transabdominal merupakan modalitas

pencitraan dalam pemeriksaan organ pelvis oleh karena noninvasif, murah, dan

banyak tersedia. Dengan penggunaan ultrasonografi transvaginal, frekuensi probe

yang digunakan bisa lebih tinggi sehingga resolusi gambar menjadi lebih baik.

Selain untuk menilai infertilitas dan komplikasi kehamilan muda, kelainan

menstruasi dan nyeri pelvis, penggunaan TVS saat ini juga berperan dalam

evaluasi massa adneksa yang sejalan dengan program skrining kanker ovarium.

Pengetahuan tentang anatomi ovarium normal dan fungsinya adalah penting untuk

dapat melihat adanya kelainan pada ovarium (Jermy dan Bourne, 2003; Bharwani,

2010).

Ovarium dinilai pada tiga bidang dan volume ovarium dihitung

berdasarkan formula ellipsoid:

Volume ovarium = 0.5 x panjang x lebar x tinggi

Pada pasien premenopause, ovarium biasanya terletak diatas pembuluh

darah iliaka interna, lateral dari fundus uteri. Ovarium mudah dideteksi dengan

adanya folikel yang banyak dengan berbagai variasi diameter. Pada pasien

postmenopause, ovarium tampak lebih kecil dan biasanya folikel-folikel ini tidak

ada. Jika tidak terlihat dengan TVS, ovarium bisa dilihat melalui teknik

transabdominal. Pada kasus adanya leimioma uteri besar dan saat kehamilan,

ovarium menjadi bagian struktur abdomen. Juga setelah histerektomi struktur

adneksa mungkin mengalami retraksi keluar dari pelvis (Jermy dan Bourne, 2003;

Olivier, dkk.,2006).
Gambar 2.4 USG Ovarium normal (Sumber: Jermy dan Bourne, 2003)

Morfologi dan volume ovarium bergantung pada beberapa faktor

diantaranya umur dan status menopause pasien. Rata-rata volume ovarium adalah

konstan antara 6,6-6,7 cm3 hingga usia 40 tahun. Setelah itu, terjadi penurunan

volume ovarium pada masing-masing dekade hingga volume ovarium wanita

setelah umur 70 tahun adalah 1,8 cm3. Rata-rata volume ovarium wanita

postmenopause adalah bervariasi antara 1,2-5,8 cm 3. Perubahan volume dan

morfologi ovarium pada beberapa kelompok umur dapat dilihat pada table 2.4.

Tabel 2.4 Perubahan Volume Dan Morfologi Ovarium Sesuai Umur

Neonatus 0,8 cm3 Folikel < 1 cm


Umur 2 tahun 1 cm3 Folikel < 0,5 cm
Prepubertas < 2,5 cm3 Folikel < 1 cm
Postpubertas 10 cm3 ± 5 cm3 Folikel ada
Postmenopause ↓ ukuran Folikel tidak ada
(Sumber: Jermy dan Bourne, 2003).
Tabel 2.5 Klasifikasi Tumor Ovarium Sesuai Gambaran Radiologi
Tanpa atau sedikit elemen Beberapa Elemen
solid/padat solid/padat
Tumor Kistik Serous cystadenoma Borderline serous tumour
Serous adenofibroma

- Berisi cairan serous Mucinous cystadenoma Borderline mucinous


tumour, mucinous
adenofibroma
- Berisi darah Kista korpus luteum Borderline endometrioid
Kista endometriosis tumour
Kista jinak dengan Endometrioid adenofibroma
perdarahan Borderline cyst with
sekunder secondary haemorraghe

- Berisi lemak Kista dermoid Kista dermoid


Tumor Solid dominan Serous cystadenocarcinoma
Mucinous
cystadenocarcinoma

- Epithelial Endometrioid
cystadenocarcinoma
Clear cell
cystadenocarcinoma
Brenner tumour, jinak,
borderline atau ganas
- Berisi lemak Granulose cell tumour
Thecoma dan tumor stroma
Kista dermoid

- Lainnya Fibroma, dysgerminoma,


Yolk sac tumor, lymphoma,
tumor metastase.

(Sumber: Jermy dan Bourne, 2003).

Morfologi ovarium premenopause secara konstan berubah dibawah

pengaruh aksis hipotalamus-hipofise. Saat siklus menstruasi, morfologi ovarium

berubah ke bentuk dasar. Pertumbuhan folikel awal bergantung pada gonadotropin

dan folikel kecil (<5 mm) akan terlihat begitupun pada wanita yang
mengkonsumsi kontrasepsi oral kombinasi. Folikel dominan dapat mencapai

diameter hingga 20 mm saat sebelum ovulasi. Dinding folikel terlihat jelas dengan

tepi tajam dan jelas, menjadi tebal dan kabur jika telah mendekati ovulasi.

Cumulus oophorus mungkin terlihat pada folikel 2-3 hari sebelum terjadi ovulasi

(Jermy dan Bourne, 2003; Bharwani, 2010).

Hilangnya folikel dominan dengan ovulasi menyebabkan munculnya

korpus luteum dengan cairan bebas dalam kavum Douglas. Morfologi korpus

luteum bervariasi pada fase luteal dan didominasi oleh bagian kistik dan solid.

Karena pola morfologi yang bervariasi maka dapat menyerupai beberapa kelainan

seperti kehamilan ektopik dan keganasan ovarium. Pengetahuan tentang hari

siklus menstruasi dapat membantu diagnosis (Jermy dan Bourne, 2003; Bharwani,

2010).

Sindroma ovarium polikistik pertama kali ditemukan pada tahun 1935 oleh

Stein dan Leventhal dengan manifestasi kegemukan, infertilitas, hirsuitisme dan

amenore. Lebih dari 10% wanita usia reproduktif mengalami PCOS. Morfologi

ovarium dikatakan polikstik jika terdapat 10 atau lebih kista perifer dengan

diameter 2-8 mm yang tersusun disekeliling stroma tebal (string of pearls).

Gambar 2.5 Ovarium Polikistik (Sumber: Jermy dan Bourne, 2003).


Beberapa studi menilai densitas/kepadatan dan volume stroma

menggunakan TVS. Peningkatan kepadatan stroma berhubungan dengan disfungsi

androgenik ovarium. Terdapat perbedaan wanita dengan PCOS dari multifolikel

dan kontrol berdasarkan penilaian stroma atau rasio area total (Jermy dan Bourne,

2003; Gorp, dkk.,2012).

Pada pasien postmenopause kebanyakan ovarium tidak terdeteksi dengan

ultrasonografi. Penelitian pada populasi asimtomatik yang sehat mendapatkan

tingkat deteksi ovarium (minimal satu ovarium terdeteksi dengan TVS) antara

76% dan 72%. Dua studi yang menghubungkan TVS preoperatif dan penilaian

patologi mendapatkan tidak terdeteksinya ovarium dengan ultrasonografi dapat

mengeklusi kelainan ovarium. Ukuran ovarium rata-rata yang tidak terdeteksi

TVS adalah 0,7x0,4 cm, dikatakan atrofi pada penilaian patologi (Jermy dan

Bourne, 2003; Gorp, dkk.,2012).

Ultrasonografi merupakan salah satu metode pencitraan yang digunakan

pada pasien dengan kecurigaan kelainan patologi adneksa untuk menentukan

sumber asal tumor dan membedakan tumor ovarium jinak dengan ganas.

Walaupun morfologi USG memiliki sensitifitas tinggi (88-100%) untuk deteksi

keganasan, namun spesifisitasnya relatif rendah (39-87%). Transvaginal

ultrasonografi (TVS) memiliki spesifisitas yang lebih tinggi daripada

transabdominal ultrasonografi (TAS). Tumor jinak ovarium mempunyai ciri-ciri:

dinding tipis, struktur kista unilokular dengan diameter < 5 cm. Sedangkan

kecurigaan keganasan bila ditemukan dinding kista menebal tidak teratur atau

septa (> 3 mm), vegetasi atau pembentukan papil, diameter massa kista > 10 cm,
komponen solid atau lesi solid. Adanya ascites atau nodul peritoneum pada

ultrasonografi dapat dicurigai suatu keganasan (Bharwani, dkk.,2010). Pada suatu

penelitian yang menggunakan volume ovarium, karakteristik dinding kista dan

adanya septa, dihitung skor risiko dimana sensitivitas dan spesifisitasnya sebesar

89% dan 70%. Indeks morfologi yang lain menyatakan sensitifitas mencapai

100% dan spesifisitas 83% dalam membedakan lesi jinak dengan ganas

(Pearson,2009; Gorp,dkk.,2012).

Tabel 2.6 Indeks Morfologi Berdasarkan Ultrasonografi Untuk Deteksi


Kanker Ovarium
Variabel Indeks morfologi
0 1 2 3 4
Struktur Halus (tebal Halus (tebal Papiler(dia Papiler(diam Dominan
dinding < 3 mm) ≥ 3 mm) meter < 3 eter ≥ 3 mm) Solid
kista mm)
Volume < 10 cm3 10-50 cm3 >50-200 >200-500 >500 cm3
tumor cm3 cm3
Struktur Tidak ada Septa tipis Septa tebal Area solid Dominan
septa septa (tebal<3mm) (tebal 3- (tebal ≥ 10 solid
10mm) mm)
(Sumber: Pearson, 2009)

Skor morfologi lebih dari 5 sangat dicurigai suatu keganasan ovarium

dengan sensitifitas 89%, spesifisitas 70%, positive predictive value 46%.

(Pearson,2009; Gorp,dkk.,2012). Pemeriksaan Doppler digunakan untuk melihat

neovaskularitas tumor dalam massa solid dan complex area dari massa kistik.

Pemeriksaan Doppler dapat membedakan massa jinak dan ganas karena

karakteristik vaskuler pada neoplasma ganas berbeda dari neoplasma jinak

(Bharwani, dkk.,2010).

Terdapat metode lain dalam mendeteksi risiko keganasan pada wanita

premenopause tanpa menggunakan CA125 berdasarkan aturan IOTA. Grup IOTA


mempublikasikan suatu penelitian yang menggunakan ultrasonografi untuk

membedakan massa ovarium jinak atau ganas. Aturannya, massa ovarium

dikelompokkan menjadi massa ovarium jinak(B-rules) atau massa ovarium ganas

(M-rules). Dengan metode ini sensitivitas dicapai 95%, spesifisitas 91%, positive

likehood ratio 10,37 dan negative likehood ratio 0,06.

Tabel 2.7 Klasifikasi Massa Jinak (B-rules) atau Ganas (M-rules)


sesuai IOTA
B-rules M-rules
 Kista unilocular  Tumor solid irregular
 Adanya komponen solid dimana  Ascites
komponen solid terbesar <7 mm
 Adanya “acoustic shadowing”  Minimal 4 struktur papiler
 Tumor multilocular halus 1 Tumor solid multilocular
dengan diameter terbesar <100 irregular dengan diameter
mm terbesar ≥100 mm
1. Tidak ada aliran darah 1. Aliran darah sangat kuat
(Sumber : Anonim, 2011)
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kanker ovarium adalah kanker primer yang berasal dari ovarium. Kanker

ovarium merupakan penyebab kematian tertinggi pada kanker alat genitalia

perempuan. Kanker ovarium tipe epitelial merupakan keganasan ovarium yang

paling banyak ditemukan dan biasanya asimtomatis sampai terjadi metastase

sehingga kebanyakan pasien yang datang sudah memasuki stadium lanjut

(Cannistra, 2004; Andrijono, 2009).

Kanker adalah penyakit tidak menular (Non-communicable diseases atau NCD)

yang merupakan penyebab kematian tertinggi di sebagian besar negara-negara di

Asia, termasuk Indonesia. Pada pasien kanker sel-sel kanker bertindak sebagai

benalu dalam tubuh, sehingga memerlukan banyak energi untuk berkembang biak,

selain mengambil zat gizi yang masuk kedalam tubuh, jaringan kanker juga

meningkatkan katabolisme terutama protein, yang menyebabkan tubuh menjadi

kurus dan lemah. Terjadinya penurunan status gizi pada pasien kanker disebabkan

oleh turunnya asupan zat gizi, baik akibat gejala penyakit kanker atau efek

samping pengobatan. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan anoreksia, mual,

muntah maupun diare, keadaan ini akan memperburuk kondisi pasien, adanya

dukungan keluarga sangat dibutuhkan untuk memberikan ketenangan pada pasien

sehingga membawa pengaruh baik terhadap nutrisi pasien kanker.

3.2 Saran

Setelah membaca dan memahami makalah ini dapat menambah wawasan

pembaca tentang kanker ovarium.

Anda mungkin juga menyukai