Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Sindroma Mielodisplasia

di Ruang Airlangga Dalam RSUD Kanjuruhan Malang

Disusun Oleh :

Nurul Imam, S.Kep


NIM.193116014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKes WIDYA CIPTA HUSADA MALANG

2019 / 2020
A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Sindrom mielodisplasia (MDS) adalah sejumlah gangguan yang terjadi
akibat satu atau seluruh sel darah yang dihasilkan sumsum tulang tidak terbentuk
dengan baik. Sindrom mielodisplasia dapat menyerang orang-orang dari segala
usia. Namun, sindrom ini paling sering terjadi pada orang dewasa usia 60 tahun
ke atas (Willy, 2018). Sindroma Mielodisplasia atau MDS (Myelodysplastic
Syndrome) biasa disebut pre leukemia karena mayoritas penyakit ini pada
kemudian hari akan berkembang menjadi leukemia akut (AML). MDS
merupakan suatu kumpulan kelainan dari sel punca (stem cell) darah yang
ditandai dengan terganggunya proliferasi dan pendewasaan sel hematopoiesis,
juga terganggunya pertumbuhan jaringan baru sel sel darah manusia. Sebagian
besar sindroma ini mengenai penderita berumur lebih dari 50 tahun. Penyebab
MDS ini masih belum diketahui. Kemungkinan karena paparan bahan kimia atau
akibat radioterapi dan kemoterapi penyakit yang lain.
Karakteristik dari MDS adalah hematopoiesis (pembentukan sel darah)
yang tidak efektif dan adanya displasia sel punca akibat proliferasi dan maturasi
yang abnormal. Dua karakteristik inilah yang menyebabkan terjadinya anemia,
leukopenia, dan/atau trombositopenia pada penderita MDS. Gejala dan tanda
klinis yang dialami merupakan akibat dari turunnya jumlah sel darah, yaitu lemah
lesu dan sesak (karena anemia), rentan terhadap infeksi (karena leukopenia), dan
rentan terhadap perdarahan, ptekiae, purpura, ekimosis (karena trombositopenia).
Meningkatnya resiko kematian pada MDS terutama karena perdarahan dan
infeksi. Selain itu, penderita MDS memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
berkembang menjadi leukemia akut.
Gambaran laboratorium yang biasa ditemukan adalah turunnya kadar Hb,
jumlah leukosit, dan jumlah trombosit. Sebagian besar pasien menunjukkan
gambaran eritrosit yang makrositik (MCV>102). Jumlah leukosit bisa saja normal
atau turun dengan disertai perubahan displasia seperti netrofil hipogranulasi,
hiposegmentasi, fragmentasi inti dan kelainan Pelger-Huet. Sedangkan jumlah
trombosit bisa normal atau turun, namun dengan riwayat perdarahan yang
berlebihan pada cedera yang ringan, menunjukkan telah terjadi kelainan fungsi
trombosit. Namun untuk lebih memastikan seseorang terkena MDS atau bukan
haruslah melalui pemeriksaan sumsum tulang belakang (BMP), dimana pada
pemeriksaan ini dapat diketahui kelainan kelainan bentuk sel serta perubahan
perubahan pada eritrosit dan neutrophil.
2. Etiologi
Sindrom mielodisplasia (MDS) terjadi ketika fungsi sumsum tulang
terganggu. Sumsum tulang memiliki jaringan spons yang memproduksi sel darah
merah untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh, sel darah putih untuk
membantu melawan infeksi, dan trombosit untuk membantu proses pembekuan
darah. Pada penderita sindrom mielodisplasia, sumsum tulang tidak mampu
menghasilkan sel-sel darah sehat (matang) dan hanya mampu memproduksi sel-
sel darah abnormal yang tidak sepenuhnya berkembang. Sel-sel darah abnormal
ini akan mati ketika masih di dalam sumsum tulang atau ketika baru memasuki
aliran darah. Seiring waktu, jumlah sel darah abnormal akan semakin banyak dan
menekan jumlah sel darah sehat, sehingga jumlah sel darah yang masuk ke aliran
darah semakin sedikit (Willy, 2018).
Hal tersebut disebabkan oleh perubahan genetik. Perubahan genetik yang
dapat mengakibatkan kelainan pada sumsum tulang tidak diketahui penyebabnya.
Beberapa faktor pemicu yang diduga dapat mengakibatkan perubahan genetik
sehingga menimbulkan MDS, yaitu:
a. Bertambahnya usia. Sebagian besar penderita MDS berusia lebih dari 60
tahun.
b. Paparan bahan kimia, seperti asap rokok, pestisida, dan benzena.
c. Paparan logam berat, seperti timah dan merkuri.
d. Pengobatan dengan kemoterapi atau radioterapi sebelumnya. Obat
kemoterapi, seperti etoposide, dan radioterapi yang dilakukan sebelumnya
untuk pengobatan kanker dapat meningkatkan risiko timbulnya MDS

Myelodysplastic syndromes terjadi saat produksi sel darah terganggu dan


tidak terkendali. Penderita praleukimia memiliki sel darah yang belum matang
dan cacat. Bukannya terbentuk dengan normal, sel akan mati dalam sumsum
tulang atau sesaat setelah memasuki aliran darah. Lama-lama, jumlah sel yang
belum matang dan cacat mulai meningkat lebih banyak daripada sel darah yang
sehat. Hal ini dapat menyebabkan masalah seperti anemia, infeksi, dan
perdarahan berlebih (Tania, 2017). MDS menjadi dua kategori berdasarkan
penyebabnya.
a. MDS tanpa penyebab yang diketahui. Disebut de novo myelodysplastic
syndromes, dokter tidak mengetahui penyebabnya. De novo
myelodysplastic syndromes biasanya lebih mudah diatasi dibandingkan
dengan myelodysplastic syndromes dengan penyebab yang diketahui.
b. MDS disebabkan oleh zat kimia dan radiasi. Myelodysplastic syndromes
yang terjadi sebagai respons terhadap perawatan kanker seperti
kemoterapi dan radiasi, atau paparan zat kimia disebut myelodysplastic
syndromes sekunder. Myelodysplastic syndromes sering kali lebih sulit
ditangani.
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala tidak spesifik dan umumnya terkait dengan sitopenia darah
(Sindrom Myelodysplastic, 2007):
a. Anemia (jumlah RBC rendah atau hemoglobin berkurang) - kelelahan
kronis, sesak napas, sensasi dingin, kadang-kadang nyeri dada
b. Neutropenia (jumlah neutrofil rendah) - peningkatan kerentanan terhadap
infeksi
c. Trombositopenia (jumlah trombosit rendah) - peningkatan kerentanan
terhadap perdarahan dan ekimosis (memar), serta pendarahan subkutan
yang mengakibatkan purpura atau petekie
4. Patofisiologi
MDS disebabkan paparan lingkungan seperti radiasi dan benzene yang
merupakan faktor resikonya. MDS sekunder terjadi pada toksisitas lama akibat
pengobatan kanker biasanya dengan kombinasi radiasi dan radiomimetik
alkylating agent seperti bisulfan, nitrosourea atau procarbazine ( dengan masa
laten 5-7 tahun) atau DNA topoisomerase inhibitor (2tahun). Baik anemia
aplastik yang didapat yang diikuti dengan pengobatan imunosupresif maupun
anemia Fanconi’s dapat berubah menjadi MDS.
MDS diperkirakan berasal dari mutasi pada sel sumsum tulang yang
multipoten tetapi defek spesifiknya belum diketahui. Diferensiasi dari sel
prekursor darah tidak seimbang dan ada peningkatan aktivitas apoptosis sel di
sumsum tulang. Ekspansi klonal dari sel abnormal mengakibatkan sel yang telah
kehilangan kemampuan untuk berdiferensiasi. Jika keseluruhan persentasi dari
blas sumsum berkembang melebii batas (20-30%) maka ia akan bertransformasi
menjadi AML. Pasien MDS akan menderita sitopenia pada umumnya seperti
anemia parah. Tetapi dalam beberapa tahun pasien akan menderita kelebihan besi.
Komplikasi yang berbahaya bagi mereka adalah pendarahan karena kurangnya
trombosit atau infeksi karena kurangnya leukosit.
Beberapa penlitian menyebutkan bahwa hilangnya fungsi mitokondria
mengakibatkan akumulasi dari mutasi DNA pada sel sitem hematopoietik dan
meningkatkan insiden MDS pada pasien yang lebih tua. Dan adanya akumulasi
dari besi mitokondria yang berupa cincin sideroblas merupakan bukti dari
disfungsi mitokondria pada MDS.
5. Pathways

1. Radiasi dan benzene


2. Toksisitas lama akibat pengobatan kanker
3. Radiomimetik alkylating agent
4. Pengobatan imunosupresif pada anemia
aplastik maupun anemia fanconi’s

Mutasi pada sel sumsum

Sel kehilangan kemampuan


untuk berdiferensiasi

MDS

Menurunnya jumlah sel darah

Menurunnya jumlah Menurunnya jumlah sel


trombosit (trombositopenia) Menurunnya jumlah sel darah putih (leukimia)
darah merah (anemia)

Resiko injury lesu, kelelahan penurunan Hb Resiko infeksi

Intoleransi aktivitas Suplai oksigen Perfusi jaringan


berkurang tidak efektif
6. Komplikasi
a. Perdarahan hemorrhagic
b. Infeksi karena salah satu manifestasi klinis dari pasien MDS adalah
penurunan jumlah leukosit (leukopenia) sehingga pasien akan rentan
mengalami infeksi
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Penurunan kadar Hb, jumlah leukosit, dan jumlah trombosit.
b. Hasil pemeriksaan yang paling khas adalah kelainan diferensiasi (displasia)
yang mengenai ketiga garis-turunan sel darah (eritroid, mieloid dan
megakariosit).
1. Garis turunan eritroid:
Sideroblas bercincin, eritroblas dengan mitokondria yang penuh zat
besi dan terlihat sebagai granul perinuklear pada pewarnaan Prussian
blue. Maturasi megaloblastoid yang menyerupai gambaran yang
terlihat pada defisiensi vitamin B12 atau folat. Kelainan pembentukan
tunas nukleus yang memproduksi nukleus salah bentuk dan sering
dengan garis polipoid.
2. Garis turunan granulositik:
Sel-sel neutrofil dengan berkurangnya jumlah granul sekunder,
granulasi toksik atau Dohle bodies (badan Dohle). Sel-sel pseudo-
Pelger-Huet (sel-sel neutrofil dengan dua lobus nukleus saja).
Mieloblas mungkin meningkat tetapi berdasarkan definisi terdiri
kurang dari 20% keseluruhan selularitas sumsum tulang.
3. Garis turunan megakariositik: megakariositik dengan lobus nukleus
yang tunggal atau nukleus multiple yang terpisah (megakariosit
“pawn ball”). Darah perifer: darah perifer sering mengandung sel-sel
pseudo-Pelger-Huet, trombosit raksasa, makrosit, poikilosit dan
monositosis relatif atau absolut. Biasanya mieloblas membentuk
kurang dari 10% leukosit perifer
c. Darah tepi
Pansitopenia sering ditemukan. Eritrosit biasanya makrositik atau
dimorfik tetapi kadang – kadang hipokrom, mungkin ditemukan normoblas.
Hitungretikulosit rendah. Jumlah granulosit sering kali menurun dan
memperlihatkan tidak adanya granulasi. Fungsi kemotaktik, fagositik dan
adhesinya terganggu. Kelainan perlger (inti tunggal dan berlobus dua)
sering ditemukan. Pada cmml monosit > 1,0 x 109 / l dalam darah dan
jumlah leukosit total mungkin > 100 x 109 / l. Trombosit dapat sangat besar
atau kecil dan biasanya berkurang jumlahnya tetapi meningkat pada 10 %
kasus. Pada kasus yang sama memiliki prognosis yang buruk, ditemukan
mieloblas dengan jumlah yang bervariasi dalam darah.
d. Sumsum tulang belakang
Selularitas biasanya meningkat. Normoblas ditemukan berinti banyak
dan gambaran diseritropoiesis lain. Prekursor granulosit memperlihatkan
adanya gangguan granulasi primer dan sekunder dan sering ditemukan sel –
sel yang sulit diidentifikasi apakah sebagai meilosit agranular, monosit atau
premonosit. Megakariosit abnormal dengan bentuk mikronuklear, binuklear
kecil, atau polinuklear. Biopsi sumsum tulang memperlihatkan fibrosis pada
10 % kasus
8. Penatalaksanaan Medis
a. Pada sindroma mielodisplasia resiko rendah
Pasien yang memiliki jumlah sel blas kurang dari 5 % dalam sumsum
tulang didefinisikan sebagai penderita sindroma mielodisplasia resiko
rendah. Sehingga ditangani dengan konservatif dengan tranfusi eritrosit,
trombosit, atau pemberian antibiotik sesuai dengan keperluan. Upaya
memperbaiki keperluan fungsi sumsum dengan faktor pertumbuhan
hemopeitik sedang dilakukan. Eritropoietin dosis tinggi dapat
meningkatkan konsentrasi Hb sehingga tranfusi tidak perlu dilakukan.
Siklosporin atau globulin antilimfosit (GAL) kadang membuat pasien lebih
baik terutama pasien dengan sumsum tulang hiposeluler. Untuk jangka
panjang penimbunan besi tranfusi berulang harus diatasi dengan chelasi
besi setelah mendapat tranfusi 30 - 50 menit. Pada pasien usia muda
terkadang transplantasi alogenik dapat memberikan kesembuhan permanen.
Perlu diperhatikan pada pasien yang memerlukan banyak tranfusi
RBC(red blood cell) adalah level serum ferritin yang dapat berakibat
disfungsi organ dan harus dikontrol < 1000 mg mcg / L, dan ada 2 macam
chelasi besi seperti deferoxamine IV dan deferasinox per oral. Pada kasus
yang jarang, deferasinox dapat menyebabkan gagal ginjal dan hati yang
berakhir dengan kematian.
b. Pada sindroma mielodisplasia resiko tinggi
Pada pasien yang memiliki jumlah sel blas lebih dari 5 % dalam sumsum
dapat diberi beberapa terapi:
1) Perawat suportif umum sesuai diberikan untuk pasien usia tua dengan
masalah medis mayor. Tranfusi eritrosit dan trombosit, trapi
antibiotik dan obat anti jamur diberikan sesuai dengan kebutuhan.
2) Kemoterapi agen tunggal hidroksiurea, etopasid, merkaptopurin,
ezasitidin, atau sitosin arabinosida dosis rendah dapat diberikan
dengan sedikit manfaat pada pasien cml (chronik myeloid leukimia)
atau anemia refrakter dengan kelebihan sel blas dalam tranformasi
dengan jumlah leukosit dalam darah yang tinggi.
3) Kemotrapi intensif seperti pada aml (acut myelogeneus leukimia).
Kombinasi fludarabin dengan sitosin sitosin arabinosida (ara-c) dosis
tinggi dengan faktor pembentukan koloni granulosit (g-csf) (flag)
dapat sangat bermanfaat untuk mencapai remisi pada mds.
4) Transplantasi sel induk. Pada pasien dengan usia yang lebih muda
(kurang dari 50 – 55 tahun) dengan saudara laki-laki atau
perempuannya yang hila-nya sesuai atau donor yang tidak berkerabat
tetapi sesuai hila-nya. Sct memberikan prospek kesembuhan yang
lengkap dan biasanya dilakukan pada mds tanpa mencapai remisi
lengkap dengan kemoterapi sebelumnya, walaupun pada kasus resiko
tinggi dapat dicoba kemoterapi awal untuk mengurangi proporsi sel
blas dan resiko kambuhnya kbs. Sct hanya dapat dilaksanakan pada
sebagian kecil pasien karena umumnya pasien mds berusia tua.

Tiga agen yang diterima oleh FDA (food and drug administration)sebagai
pengobatan MDS:

1) 5-azacytidine : rata – rata bertahan hidup 21 bulan


2) Decitabine : respon komplit dilaporkan setinggi 43 % dan pada A,L
decitabine lebih efektif apabila dikombinasikan dengan asam valporat
3) lenalidomine : efektif dalam mengurangi tranfusi sel eritrosit pada
pasien MDSdelesi kromosom 5 q.
4)
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian fokus
a. Data subjektif
1) Pasien mengeluh lesu
2) Pasien megeluh pusing
3) Pasien mengeluh lemas
4) Pasien mengeluh gelisah
5) Pasien mengatakan tidak nafsu makan
b. Data objektif
1) Aktivitas
Takikardia/ takipnae ; dispnea pada waktu bekerja atau istirahat.
Letargi, , apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya. Kelemahan
otot, dan penurunan kekuatan. Ataksia, tubuh tidak tegak. Bahu
menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang
menunujukkan keletihan.
2) Sirkulasi
Ekstremitas (warna) : pucat pada kulit dan membrane mukosa
(konjuntiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku. (catatan: pada
pasien kulit hitam, pucat dapat tampak sebagai keabu-abuan). Kulit
seperti berlilin, pucat (aplastik) atau kuning lemon terang. Sklera :
biru atau putih seperti mutiara. Pengisian kapiler melambat
(penurunan aliran darah ke kapiler dan vasokontriksi kompensasi)
kuku : mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia). Rambut :
kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara premature.

2. Diagnosa keperawatan
a. Perfusi jaringan tidak efektif b/d penurunan konsentrasi Hb dan darah,
suplai oksigen berkurang
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan fatigue atau anemia
c. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan jumlah leukosit
d. Resiko Injury berhubungan dengan kecenderungan perdarahan sekunder
3. Perencanaan keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria


No Intervensi
Keperawatan Hasil
1 Perfusi jaringan Setelah diberikan 1. Monitor tekanan perfusi
tidak efektif b/d asuhan keperawatan serebral
penurunan selama ... x 24 jam 2. Catat respon pasien
konsentrasi Hb dan diharapkan perfusi terhadap stimulus
darah, suplai jaringan pasien efektif 3. Monitor tekanan
oksigen berkurang Kriteria Hasil : intrakranial pasien dan
respon neurology terhadap
1. Tekanan systole
aktivitas
dandiastole dalam
4. Monitor jumlah drainage
rentang yang
cairan serebrospinal
diharapkan
5. Monitor intake dan output
2. Tidak ada
cairan
ortostatik
6. Restrain pasien jika perlu
hipertensi
7. Monitor suhu dan angka
3. Tidak ada tanda
WBC
tanda peningkatan
8. Kolaborasi pemberian
tekanan
antibiotik
intrakranial (tidak
9. Posisikan pasien pada
lebih dari 15
posisi semifowler
mmHg)
10. Instruksikan keluarga
4. Berkomunikasi
untuk mengobservasi kulit
dengan jelas dan
jika ada lsi atau laserasi
sesuai dengan
11. Monitor kemampuan BAB
kemampuan
12. Kolaborasi pemberian
5. Menunjukkan
analgetik
perhatian,
13. Monitor adanya
konsentrasi dan
tromboplebitis
orientasi
14. Diskusikan menganai
6. Memproses
penyebab perubahan
informasi
sensasi
7. Membuat
keputusan dengan
benar
8. Tingkat kesadaran
mambaik, tidak
ada gerakan
gerakan involunter
2. Intoleransi aktivitas Setelah diberikan 1. Observasi adanya
berhubungan asuhan keperawatan pembatasan klien dalam
dengan fatigue atau selama ... x 24 jam melakukan aktivitas
anemia diharapkan pasien 2. Kaji adanya factor yang
dapat melakukan menyebabkan kelelahan
aktivitas sehari – 3. Monitor nutrisi dan
harinya sesuai dengan sumber energi tangadekuat
kemampuannya 4. Monitor pasien akan
adanya kelelahan fisik dan
Kriteria Hasil : emosi secara berlebihan
1. Berpartisipasi 5. Monitor respon
dalam aktivitas kardivaskuler terhadap
fisik tanpa disertai aktivitas
peningkatan 6. Monitor pola tidur dan
tekanan darah, nadi lamanya tidur/istirahat
dan RR pasien
2. Mampu melakukan 7. Kolaborasikan dengan
aktivitas sehari hari Tenaga Rehabilitasi Medik
(ADLs) secara dalam merencanakan
mandiri progran terapi yang tepat.
8. Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan
9. Bantu untuk memilih
aktivitas konsisten
yangsesuai dengan
kemampuan fisik,
psikologi dan social
10. Bantu untuk
mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas
yang diinginkan
11. Bantu untuk mendpatkan
alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek
12. Bantu untu
mengidentifikasi aktivitas
yang disukai
13. Bantu klien untuk
membuat jadwal latihan
diwaktu luang
14. Bantu pasien/keluarga
untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
15. Sediakan penguatan positif
bagi yang aktif beraktivitas
16. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi
diri dan penguatan
17. Monitor respon fisik,
emosi, social dan spiritual
3. Resiko infeksi Setelah diberikan 1. Bersihkan lingkungan
berhubungan asuhan keperawatan setelah dipakai pasien lain
dengan penurunan selama ... x 24 jam 2. Pertahankan teknik isolasi
jumlah leukosit diharapkan pasien 3. Batasi pengunjung bila
terhindar dari infeksi perlu
4. Instruksikan pada
Kriteria Hasil : pengunjung untuk mencuci
1. Klien bebas dari tangan saat berkunjung
tanda dan gejala dan setelah berkunjung
infeksi (tumor, meninggalkan pasien
rubor, kalor, dolor, 5. Gunakan sabun
dan fungsio laesa) antimikrobia untuk cuci
2. Menunjukkan tangan
kemampuan untuk 6. Pertahankan lingkungan
mencegah aseptik selama
timbulnya infeksi pemasangan alat
3. Jumlah leukosit 7. Ganti letak IV perifer dan
dalam batas line central dan dressing
normal (4.000 – sesuai dengan petunjuk
11.000) (ul) umum
4. Menunjukkan 8. Gunakan kateter
perilaku hidup intermiten untuk
sehat menurunkan infeksi
kandung kencing
9. Tingkatkan intake nutrisi
10. Berikan terapi antibiotik
bila perlu
11. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
12. Monitor hitung granulosit,
WBC
13. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
14. Batasi pengunjung
15. Saring pengunjung
terhadap penyakit menular
16. Partahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
17. Pertahankan teknik isolasi
18. Berikan perawatan kuliat
pada area epidema
19. Inspeksi kulit dan
membran mukosa terhadap
kemerahan, panas,
drainase
20. Dorong masukkan nutrisi
yang cukup
21. Dorong masukan cairan
22. Dorong istirahat
23. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai
resep
24. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi
25. Ajarkan cara menghindari
infeksi
4. Resiko Injury Setelah diberikan 1. Berikan lingkungan yang
berhubungan asuhan keperawatan aman untuk pasien
dengan selama ... x 24 jam 2. Identifikasi kebutuhan
kecenderungan diharapkan pasien keamanan pasien, sesuai
perdarahan terbebas dari resiko dengan kondisi fisik dan
sekunder injury dengan kriteria fungsi kognitif pasien dan
hasil: riwayat penyakit terdahulu
pasien
1. Klien mampu
3. Menghindarkan
menjelaskan factor
lingkungan yang
resiko dari
berbahaya (misalnya
lingkungan/perilak
memindahkan perabotan)
u personal
4. Memasang side rail tempat
2. Mampu
tidur
memodifikasi gaya
5. Menyediakan tempat tidur
hidup untuk
yang nyaman dan bersih
mencegah injury
6. Menempatkan saklar
3. Menggunakan
lampu ditempat yang
fasilitas kesehatan
mudah dijangkau pasien.
yang ada
7. Membatasi pengunjung
4. Mampu mengenali
8. Memberikan penerangan
perubahan status
yang cukup
kesehatan
9. Menganjurkan keluarga
untuk menemani pasien.
10. Mengontrol lingkungan
dari kebisingan
11. Memindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan
12. Berikan penjelasan pada
pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status kesehatan
dan penyebab penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Richard N. Mitchel. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran.
Jakarta:EGC.

Sindrom Myelodysplastic (2007) Wekepedia.com. Available at:


https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Myelodysplastic_
syndrome&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp.

Tania, S. (2017) Praleukimia (Myelodysplastic Syndrome), www.hallosehat.com. Available


at: https://hellosehat.com/penyakit/praleukimia-myelodysplastic-syndrome/.

Willy, T. (2018) Sindrom Mielodisplasia, www.alodokter.com. Available at:


https://www.alodokter.com/sindrom-mielodisplasia.

........2013, Nursing intervension and Nursing Outcame Calsicfication. Edisi Lima, Editor
Terjemah Intasi Nurjannah & Roxana

........2015-2017, Diagnosis Keperawatan (definis &klasifikasi. Edisi 10. Buku Kodekteran.


EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai