Anda di halaman 1dari 73

LAPORAN PENDAHULUAN

TUJUH DIAGNOSA UTAMA


KEPERAWATAN JIWA

Disusun Oleh :
Nurul Imam, S.Kep
NIM 193161014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA CIPTA HUSADA
MALANG
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan tujuh diagnosa Gannguan Keperawatan Jiwa (Halusinasi, RBD,

perilaku kekerasan, isolasi sosial, HDR, DPD) sebagai syarat melengkapi tugas Profesi Stase

Jiwa Program Pendidikan Profesi Ners STIKes Widya Cipta Husada Malang oleh :

Nama : Nurul Imam

NIM : 193161014

Telah diteliti dan disahkan pada :

Hari :

Tanggal :

Malang,....................................2020

Mahasiswa

(Nurul Imam)

Mengetahui

Pembimbing Klinik Pembimbing Institusi

( ) ( )

Kepala Puskesmas

( )
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT KEPERAWATAN DIRI

Disusun Oleh :
Nurul Imam, S.Kep
NIM 193161014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA CIPTA HUSADA
MALANG
2020
A. Definisi
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu
keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri ( Depkes 2000).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Menurut Poter. Perry
(2005).
Kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan Wartonah 2000 ).
B. Etiologi
Menurut Tarwoto dan Wartonah, (2000) Penyebab kurang perawatan diri
adalah sebagai berikut :
1. Kelelahan fisik
2. Penurunan kesadaran
Menurut Dep Kes (2000: 20), penyebab kurang perawatan diri adalah :
1) Faktor Predisposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan
diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
2) Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri.
Menurut Depkes (2000: 59) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah:
1. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli
dengan kebersihan dirinya.
2. Praktik Sosial
Pada anak–anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan
akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat
gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik
dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes
mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
6. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan
diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
7. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan
perlu bantuan untuk melakukannya.

C. Jenis – Jenis Perawatan Diri


1. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri.
2. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan
memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
3. Kurang perawatan diri : Makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktivitas makan.
4. Kurang perawatan diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah : 2004,
79 ).
D. Tanda dan Gejala
Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit
perawatan diri adalah:
a) Fisik
 Badan bau, pakaian kotor.
 Rambut dan kulit kotor.
 Kuku panjang dan kotor
 Gigi kotor disertai mulut bau
 penampilan tidak rapi
b) Psikologis
 Malas, tidak ada inisiatif.
 Menarik diri, isolasi diri.
 Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c) Sosial
 Interaksi kurang.
 Kegiatan kurang
 Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
 Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi
dan mandi tidak mampu mandiri.

E. Dampak Yang Sering Timbul Pada Masalah Personal Hygiene


1. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang
sering terjadi adalah : Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa
mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.
2. Dampak psikososial.
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga
diri, aktualisasi diri dan gangguan interakisosial.
Pohon Masalah

Resiko gangguan integritas kulit

Defisit keperawatan diri

Harga diri rendah Isolasi social : menarik diri

Rentang Respon
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat merawat diri sendiri
adalah :
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.
c. Kuatkan kemampuan klien merawat diri.
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri.
a. Bantu klien merawat diri
b. Ajarkan ketrampilan secara bertahap
c. Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
3. Ciptakan lingkungan yang mendukung
a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi.
b. Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien.
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien misalnya, kamar mandi
yang dekat dan tertutup.
Mekanisme koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (Stuart &
Sundeen, 2000) yaitu :
1. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan
mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien bisa memenuhi kebutuhan perawatan
diri secara mandiri
2. Mekanisme koping maladaptive
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah
tidak mau merawat diri.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
I. IDENTITAS KLIEN
Nama :
Umur :
Alamat :
Pendidikan :
Agama :
Status :
Pekerjaan ;
Jenis kelamin :
Tanggal dirawat :
Tanggal pengkajian :
Ruang rawat :
Diagnosa medis :
II. ALASAN MASUK
a. Data primer
Px mengatakan malas mandi, gosok gigi.
b. Data sekunder
Baju kotor, Rambut acak acakan, Badan bau, Kulit kotor, Menggaruk tubuh

III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG dan FAKTOR PRESIPITASI


Faktor presipitasi :kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah atau lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri.
IV. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Pernah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu atau tidak
2. Pengobatan sebelumnya berhasil, kurang berhasil, atau tidak berhasil
3. a. Pernah mengalami penyakit fisisk (termasuk gangguan tumbuh kembang )
b. pernah ada riwayat NAPZA seperti narkotika, penyalahgunaan psikotropika, zat
aditif (kafein, nikotin, alkohol) atau tidak
4. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan (peristiwa kegagalan, kematian,
perpisahan )
5. Riwayat penyakit keluarga: Ada/tidak Anggota keluarga yang gangguan jiwa, (kalau
ada : hubungan dengan keluarga, gejala, dan riwayat pengobatan)
V. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : px terlihat kotor, bau, lusuh, kumal.
2. Tanda vital
TD :
N :
S :
P :
3. Ukur :
BB :
TB :
4. Keluhan fisik :
VI. PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL (sebelum dan sesudah sakit)
1. Genogram
2. Konsep diri
a. Citra tubuh
b. Identitas
c. Peran
d. Ideal diri
e. Harga diri
3. Hubungan sosial
a. Orang yang berarti/terdekat
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat
c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain
4. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan
b. Kegiatan ibadah
VII.STATUS MENTAL
1. Penampilan
2. Pembicaraan
3. Aktifitas motorik/psikomotor
Kelambatan : (hipokinesia, hipoaktifitas, katalepsi, sub stupor katatonik, fleksibilitas
area)
Peningkatan : (hiperkinesia, hiperaktifitas, gagap, stereotipi, gaduh gelisah katatonik,
mannarism, katapleksi, tik, ekhopraxia,grimace, tremor, otomatisma, negativisme,
reaksikonversi, verbigerasi, berjalan kaku/rigid)

4. Afek dan emosi


a. Afek (adekuat, tumpul, dangkal/datar, inadekuat, labil, ambivalensi)
b. Emosi (merasa kesepian, apatis, marah, anhedonia, eforia, cemas, sedih, depresi,
keinginan bunuh diri)
5. Interaksi selama wawancara (bermusuhan, tidak kooperatif, mudah tersinggung,
kontak mata kurang, defensif, curiga)
6. Persepsi – Sensorik (Halusinasi, Ilusi, Depersonalisasi, Derealisasi,)
7. Proses Pikir (Arus pikir, isi pikir)
8. Kesadaran (Menurun, Meninggi, Hipnosa, Disosiasi, Gangguan Perhatian)
9. Orientasi (Waktu, Tempat, Orang, Resiko tinggi cidera, Gangguan Proses Pikir)
10. Memori (Gangguan daya ingat jangka panjang (>1 Bulan), Gangguan daya ingat
jangka pendek (1 hari-1 bulan), Gangguan daya ingat saat ini (<24 jam), Amnesia,
Paramnesia, Konfabulasi, Dejavu,Jamaisvu)
11. Tingkat Konsentrasi dan berhitung (mudah beralih, tidak mampu berkonsentrasi,
tidak mampu menghitung sederhana)
12. Kemampuan penilaian
13. Daya Tilik Diri (Mengingkari penderita yang diderita, menyalahkan hal-hal diluar
dirinya )
VIII. KEBUTUHAN PERSIAPAN PULANG
1. Makan (Mandiri, bantuan minimal, bantuan total)
2. BAB / BAK (mandiri, bantuan minimal, bantuan total)
3. Mandi (mandiri, bantuan minimal, bantuan total)
4. Sikat Gigi (mandiri, bantuan minimal, bantuan total)
5. Keramas (mandiri, bantuan minimal, bantuan total)
6. Berpakaian /berhias (mandiri, bantuan minimal, bantuan total)
7. Istirahat dan tidur (lama tidur siang, lama tidur malam)
8. Penggunaan obat (bantuan minimal, bantuan total)
9. Pemeliharaan kesehatan
10. Aktifitas dalam rumah (mempersiapkan makanan, menjaga kerapihan rumah,
mencuci pakaian, pengaturan keuangan)
11. Aktifitas diluar rumah (belanja, transportasi, lain-lain)
IX. MEKANISME KOPING
Skor Keterangan Karakteristik

0 Tidak cukup informasi

1 Sangat berat Menyelesaikan masalah dengan memakai


mekanisme pertahanan ego disertai perilaku
menciderai diri
2 Berat Menyelesaiakan masalah dengan memakai
mekanisme pertahanan ego
3 Sedang Tidak mampu menyelesaiakan masalah
dengan cara adaptif meskipun telah dibantu
orang lain
4 Ringan Mampu menyelesaikan masalah dengan cara
adaptif dengan bantuan orang lain

X. MASALAH PSIKOSOSIAL DAN LINGKUNGAN


o Masalah debgan dukungan kelompok
o Masalah berhubungan dengan lingkungan
o Masalah dengan pendidikan
o Masalah dengan pekerjaan
o Masalah dengan perumahan
o Masalah dengan ekonomi
o Masalah dengan pelayanan kesehatan
o Masalah lainnya
XI. ASPEK PENGETAHUAN
Apakah klien mempunyai masalah yang berkaitan dengan pengetahuan yang kurang
tentang suatu hal ? seperti : penyakit/gangguan jiwa, sistem pendukung, faktor presipitasi,
mekanisme koping, penyakit fisik, obat-obatan, lainnya.
XII.ASPEK MEDIS
1. Diagnosis medik
2. Terapi medik
XIII. ANALISA DATA
No. DATA DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. DS : px mengatakan malas mandi, gosok Deficit perawatan diri
gigi.
DO : px terlihat kumal, bau, lusuh.

B. Diagnosa
Defisit perawatan diri
C. Rencana Tindakan Keperawatan

No TINDAKAN KEPERAWATAN
A Pasien
SP I
1 Mengidentifikasi penyebab defisit perawatan diri pasien
2 Berdiskusi dengan pasien tentang pentingnya kebersihan diri
3 Berdiskusi dengan pasien tentang cara menjaga kebersihan diri
4 Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP II
1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2 Menjelaskan cara mandi yang baik
3 Membantu pasien mempraktekkan cara mandi yang baik
4 Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP III p
1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2 Menjelaskan cara eliminasi yang baik
3 Membantu pasien mempraktekkan cara eliminasi yang baik dan memasukkan dalam
jadual
4 Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP IV p
1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2 Menjelaskan cara berdandan
3 Membantu pasien mempraktekkan cara berdandan
4 Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
B Keluarga
SP I
1 Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala defisit perawatan diri, dan jenis defisit
perawatan diri yang dialami pasien beserta proses terjadinya
3 Menjelaskan cara-cara merawat pasien defisit perawatan diri
SP II
1 Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan defisit perawatan diri
2 Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien defisit perawatan
diri
SP III
1 Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
2 Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI

Disusun Oleh :
Nurul Imam, S.Kep
NIM 193161014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA CIPTA HUSADA
MALANG
2020
1. Pengertian

Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera
(Isaacs, 2002).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra
tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui
panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007).
Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai halusinasi di
atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa halusinasi adalah persepsi klien
melalui panca indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang
nyata.

2. Klasifikasi

Menurut (Menurut Stuart, 2007), jenis halusinasi antara lain :


a. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang,
biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang
sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi penglihatan (Visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,
gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks.
Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan
seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum. Biasanya
berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
d. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus
yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau
orang lain.
e. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
f. Halusinasi sinestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
g. Halusinasi Kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

3. Etiologi

Menurut stuart ( 2007) faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:


 faktor predisposisi
1. biologis
abnormalitas perkambangan syaraf berhubungan dengan respon neorologis yang
maladaftif baru mulai dipahami, ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian
sebagai berikut:
a. penelitian pencitraan otak sudah menunjukan keterlibatan otak yang lebih
luas dalam perkembangan skizofren
b. beberapa zat kimia diotak seperti dopamin neorotransmiter yang berlebihan
c. pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukan terjadinya
atropi yang signifikan pada otak manusia.
2. Psikolagis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keaadan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan
kekerasan dalam rentang hidup klien.
3. sosial budaya
kondisi ini mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti : kemiskinan,
perang, kerusuhan, bencana alam dan kehidupan yang terisolasi

 faktor presipitasi
secara fisik klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan
tidak berdaya. Penilaian induvidu terhadap stressor dan maslah koping dapat
mengindikasi kemungkinnan kekambuhan (kelliat,2006).
Faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah :
1. biologis
ganngguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnomalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak akibat
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh
otak untuk diinterpretasikan.
2. Sterss lingkungan
Ambang toleransi terhadap sress yang berinteraksi terhadap stresor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan prilaku.
3. sumber koping.
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

4. Fase halusinasi

Fase halusinasi ada 4 yaitu (Stuart dan Laraia, 2001):


a. Comforting
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa
yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat,
diam dan asyik.
b. Condemning
Pada ansietas berat pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien
mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf
otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung,
pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan
kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
c. Controling
Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap
halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan
dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari
orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan
berhubungan dengan orang lain.
d. Consquering
Terjadi pada panik Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien
mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik
diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu
berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.

5. Tanda gejala

Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku
dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri,
secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti
sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang
dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan). Berikut ini merupakan gejala
klinis berdasarkan halusinasi (Budi Anna Keliat, 1999) :
a. Tahap 1: halusinasi bersifat tidak menyenangkan
Gejala klinis:
1) Menyeriangai/tertawa tidak sesuai
2) Menggerakkan bibir tanpa bicara
3) Gerakan mata cepat
4) Bicara lambat
5) Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan
b. Tahap 2: halusinasi bersifat menjijikkan
Gejala klinis:
1) Cemas
2) Konsentrasi menurun
3) Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata
c. Tahap 3: halusinasi bersifat mengendalikan
Gejala klinis:
1) Cenderung mengikuti halusinasi
2) Kesulitan berhubungan dengan orang lain
3) Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah
4) Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti petunjuk).
d. Tahap 4: halusinasi bersifat menaklukkan
Gejala klinis:
1) Pasien mengikuti halusinasi
2) Tidak mampu mengendalikan diri
3) Tidak mamapu mengikuti perintah nyata
4) Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
6. Rentan respon Halusinasi
Rentan Respon Neurobiologis

Respon Adaptif Respon Maladaptif

1. Pikiran logis 1. Kadang proses pikir 1. Gangguan proses pikir


2. Persepsi akurat terganggu (waham)
3. Emosi konsisten dengan 2. Ilusi 2. Halusinasi
pengalaman 3. Emosi 3. Kerusakan proses emosi
4. Perilaku sesuai berlebihan/kurang 4. Perilaku tidak
5. Hubungan sosial 4. Perilaku tidak biasa terorganisir
harmonis 5. Menarik diri 5. Isolasi sosial

(Stuart dan Laraia 2007)

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma social dan
budaya secara umum yang berlaku didalam masyarakat, dimana individu menyelesaikan
masalah dalam batas normal yang meliputi :
1. Pikiran logis adalah segala sesuatu yang diucapkan dan dilaksanakan oleh individu sesuai
dengan kenyataan.
2. Persepsi akurat adalah penerimaan pesan yang disadari oleh indra perasaan, dimana dapat
membedakan objek yang satu dengan yang lain dan mengenai kualitasnya menurut berbagai
sensasi yang dihasilkan.
3. Emosi konsisten dengan pengalaman adalah respon yang diberikan individual sesuai
dengan stimulus yang datang.
4. Prilaku sesuai dengan cara berskap individu yang sesuai dengan perannya.
5. Hubungan social harmonis dimana individu dapat berinteraksi dan berkomunkasi dengan
orang lain tanpa adanya rasa curiga, bersalah dan tidak senang.
Sedangkan mal adaptif adalah suatu respon yang tidak dapat diterima oleh norma-
norma sosial dan budaya secara umum yang berlaku dimasyarakat, dimana individu dalam
menyelesaikan masalah tidak berdasarkan norma yang sesuai diantaranya :
1. Gangguan proses pikir / waham adalah ketidakmampuan otak untuk memproses data
secara akurat yang dapat menyebabkan gangguan proses pikir, seperti ketakutan,
merasa hebat, beriman, pikiran terkontrol, pikiran yang terisi dan lain-lain.
2. Halusinasi adalah gangguan identifikasi stimulus berdasarkan informasi yang diterima
otak dari lima indra seperti suara, raba, bau, dan pengelihatan
3. Kerusakan proses emosi adalah respon yang diberikan Individu tidak sesuai dengan
stimulus yang datang.
4. Prilaku yang tidak terorganisir adalah cara bersikap individu yang tidak sesuai dengan
peran
5. Isolasi social adalah dimana individu yang mengisolasi dirinya dari lingkungan atau
tidak mau berinteraksi dengan lingkungan

7. Patofisiologi
Menurut Trimelia ( 2012 ), pohon masalah pada klien dengan gangguan sensori
persepsi : halusinasi pendenganran dan perabaan sebagai beriku:

Resiko Prilaku Kekerasan

Gangguan persepsi sensori: Halusinasi

Isolasi Sosial
8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :


1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat
halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan
usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang.
Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke
kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan
meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang
akan di lakukan.
Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang
perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam
dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan
rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif
tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di
telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali
masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu
mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan
keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
4. Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya
berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu
mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang
lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien
agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny
dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar
laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak
terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan
menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada.
Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Halusinasi

A. Identitas klien
Identitas ditulis lengkap seperti nama, usia dalm tahun, alamat, pendidikan,
agama, status perkawinan, pekerjaan, jenis kelamin, nomer rekam medic dan diagnose
medisnya.
B. Alasan Masuk
Menanyakan kepada klien/keluarga/pihak yang berkaitan dan tulis hasilnya, apa
yang menyebabkan klien dating ke rumah sakit, apa yang sudah dilakukan oleh
klien/keluarga sebelumnya atau dirumah untuk mengatasi masalah ini dan bagaimana
hasilnya.
Pasien dengan halusinasi biasanya dilaporkan oleh keluarga bahwa paien sering
melamun, menyendiri dan terlihat berbicara sendiri, tertawa sendiri.
C. Riwayat Penyakit sekarang dan Faktor Presipitasi
Menanyakan riwayat timbulnya gejala gangguan jiwa saaf ini, penyebab
munculnya gejala, uapaya yang dilakukan keluarga untuk mengatasi dan bagaimana
hasilnya.
D. Factor Predisposisi
Menanyakan apakah pasien perah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu,
pengobatan yang pernah dilakukan sebelumnya, adanya trauma masa lalu, factor
genetic dan silsilah orang tuanya dan pengalaman masa lalu yang tidak menyenagkan.
E. Pemeriksaan Fisik
Mengkaji keadaan umum klien, tanda-tanda vital, tinggi badan/berat badan,
ada/tidak keluhan fisik seperti nyeri dll.
F. Pengkajian Psikososial
1. Genogram
Membuat genogram beserta keterangannya, untuk mengetahui kemungkinan adanya
riwayat genetic yang menyebabkan/menurunkan gangguan jiwa
2. Konsep Diri
a. Citra tubuh, bagaimana persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuhnya yang
paling/tidak disukai
b. Identitas diri, bagaimana persepsi tentang status dan posisi klien sebelum dirawat,
kepuasan klien terhadap suatu/ posisi tersebut, kepuasan klien sebagai laki-laki
atau perempuan.
c. Peran, bagaimana harapan klien terhadap tubuhnya, posisi, status, tugas/peran
yang harapannya dalam keluarga, kelompok, masyarakat dan bagaimana
kemampuan klien dalam melaksanakan tugas/peran tersebut.
d. Ideal diri, bagaimana harapan klien terhadap tubuhnya, posisi, status, tugas/peran
dan harapan klien terhadap lingkungan.
e. Harga diri, bagaimana persepsi klien terhadap dirinya dalam hubungannya
dengan orang lain sesuai dengan kondisi dan bagaimana penilaian/ penghargaan
orang lain terhadap diri dan lingkungan klien.
3. Hubungan social
Mengkaji siapa orang yang berarti/terdekat dengan klien, bagaimana peran serta
dalam kegiatan dalam kelompok/masyarakat serta ada/tidak hambatan dalam
berhubungan dengan orang lain.
4. Spiritual
Apa agama/keyakinan klien. Bagaimana nilai, norma, pandangan dan keyakinan diri
klien, keluarga dan masyarakat setempat tentang gangguan jiwa sesuai dengan norma
budaya dan agam yang dianut.
G. Status Mental
1. Penampilan
Observasi penampilan umum klien yaitu penampilan usia, cara berpakaian,
kebersihan, sikap tubuh, cara berjalan, ekspresi wajah, kontak mata.
2. Pembicaraan
Bagaimana pembicaraan yang didapatkan pada klien, apakah cepat, keras. Gagap,
inkoheren, apatis, lambat, membisu dll.
3. Aktivitas motorik (Psikomotor)
Aktivitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik perlu dicatat dalam hal tingkat
aktivitas (latergik, tegang, gelisah, agitasi), jenis (tik, seringan, tremor) dan isyarat
tubuh yang tidak wajar.
4. Afek dan emosi
Afek adalah nada perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang
menyertai suatu pikiran dan berlangsung relative lama dan dengan sedikit
komponen fisiologis/fisik seperti bangga, kecewa.
Emosi adalah manifestasi afek yang ditampilkan/diekspresikan keluar, disertai
banyak komponen fisiologis dan berlangsung relative lebih singkat/spontan seperti
sedih, ketakutan, putus asa, kuatir atau gembira berlebihan.
5. Interaksi selama wawancara
Bagaimana respon klien saat wawancara, kooperatif/tidak, bagaimana kontak mata
dengan perawat dll.
6. Persepsi sensori
Memberikan pertanyaan kepada klien seperti “ apakah anda sering mendengar
suara saat tidak ada orang? Apa anda mendengar suara orang yang tidak dapat anda
lihat? Apa yang dilakukan oleh suara itu. Memeriksa ada/ tidak halusinasi, ilusi.
7. Proses pikir
Bagaimana proses pikir klien, bagai mana alur pikirnya (koheren/inkoheren),
bagaimna isi pikirnya realistis/ tidak.
8. Kesadaran
Bagaimana tingkat kesadaran klien menurun atau meninggi.
9. Orientasi
Bagaimna orientasi pasien terhadap waktu, tempat dan orang.
10. Memori
Apakah klien mengalami gangguan daya ingat.
11. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Apakah klien mengalami kesulitan saat berkonsentrasi, bagaimana kemampuan
berhitung klien.
12. Kemampuan penilaian
skor Keterangan karakteristik

0 Tidak ada Tidak cukup informasi

1 Sangat berat Keputusan yang diambil maladaptive dan


prilakunya berisiko membahayakan diri
sendiri dan orang lain

2 Berat Penilaian yang diambil maladaptif

3 Sedang Tidak mampu membuat penilain sederhana


(konstruktif dan adaptif) meskipun telah
mendapatkan bantuan orang lain

4 Ringan Mampu membuat penilaian sederhana


dengan bantuan orang lain

13. Daya tilik diri


Apakah klien mengingkari penyakit yang diderita, apakah klien menyalahkan hal-
hal diluar dirinya
H. Analisa Data
Data Problem

Subjektif: Gangguan sensori persepsi: halusinasi


 Pasien mengatakan mendengar
bisikan/melihat bayangan
 Pasien menyatakan senang dengan
suara-suara
Objektif:

 Pasien terlihat bicara sendiri, tertawa


sendiri, sering melamun, menyendiri
dan marah tanpa sebab

I. Diagnose keperawatan
Gangguan sensori persepsi: halusinasi

J. Intervensi
Pasien Keluarga
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi 1. Mendiskusikan maslah yang
pasien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Mengidentifikasi isi halusinasi pasien
pasien 2. Menjelaskan pengertian, tand gejala
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi dan jenis halusinasi yang dialami
pasien pasien beserta proses terjadinya
4. Mengidentifikasi frekuensi 3. Menjelaskan cara-cara merawat
halusinasi pasien pasien halusinasi
5. Mengidentifikasi situasi yang
SP 2
menimbulkan halusinasi
6. Mengidentifikasi respon pasien 1. Melatih keluarga mempraktikkan
terhadap halusinasi cara merawat pasien dengan
7. Mengajarkan pasien menghardik halusinasi
halusinasi 2. Melatih keluarga melakukan cara
8. Menganjurkan pasien memasukkan merawat langsung kepada pasien
cara menghardik halusinasi dalam halusinasi
jadwal kegiatan harian

SP 2
SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien 1. Membantu keluarga membuat jadwal
2. Melatih pasien mengendalikan aktivitas dirumah termasuk minum
halusinasi dengan cara bercakap- obat
cakap dengan oang lain 2. Menjelaskan follow up pasien setelah
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian pulang
SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Melatih pasien mengendalikan
halusinasi dengan melakukan
kegiatan yang biasa dilakukan
pasien
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian

SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Memberikan pendidikan kesehatan
tentang penggunaan obat secara
teratut
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL : MENARIK DIRI

Disusun Oleh :

Nurul Imam, S.Kep


NIM 193161014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA CIPTA HUSADA
MALANG
2020
A. Pengertian Isolasi Sosial : Menarik Diri

Isolasi sosial adalah individu yang mengalami ketidakmampuan untuk mengadakan


hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya secara wajar dalam
khalayaknya sendiri yang tidak realistis. Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian
yang dialami oleh seseorang karena orang lain mengatakan sikap negatif atau
mengancam. (Dalami dkk, 2009).
Gangguan hubungan sosial merupakan suatu ganggguan hubungan interpersonal
yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku
maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam berhubungan sosial. (Riyadi
Sujono, 2009).
Isolasi sosial adalah keadaan ketika seorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.
(Dr.Keliat, 2009).
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau
bahkaan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. (Yosep,
2007).
Berdasarkan definisi yang telah disebutkan sebelumnya, jadi dapat disimpulkan
bahwa isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal atau perasaan
kesepian yang dialami oleh seseorang karena akibat penolakan dan sikap negatif serta
kepribadian yang tidak fleksibel sehingga muncul perilaku maladaptif seperti
menghindari/kehilangan hubungan dengan orang, tidak mempunyai kesempatan untuk
membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan, yang dimanifestasikan dengan
sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian sehingga fungsi hubungan sosial seseorang
terganggu.

B. Etiologi

Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi diantaranya


perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu tidak
percaya diri, tidak percaya pada orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan
merasa tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi
dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri, menghindar dari orang lain, dan
kegiatan sehari-hari terabaikan. (Farida, 2010).

C. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial antara lain :


a. Menyendiri dalam ruangan
b. Tidak berkomunikasi, menarik diri, tidak melakukan kontak mata
c. Sedih, afek datar
d. Perhatian dan tindakan yang tidak sesuai dengan perkembangan usianya
e. Berpikir menurut pikirannya sendiri, tindakan berulang dan tidak bermakna
f. Mengekspresikan penolakan atau kesepian pada orang lain
g. Tidak ad asosiasi antara ide satu dengan yang lainnya
h. Menggunakan kata-kata simbolik (neologisme)
i. Menggunakan kata yang tak berarti
j. Kontak mata kurang/tidak mau menatap lawan bicara Klien cenderung menarik diri
dari lingkungan pergaulan, suka melamun, berdiam diri. (Farida, 2010).

D. Patofisiologi

Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau
isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bisa dialami klien
dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan dan
kecemasan.
Perasaan tidak berharga menyebabkan klien makin sulit dalam mengembangakan
hubungan dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami
penurunan dalam aktifitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan
diri.
Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah
laku primitif antara lain pembicaraan yang austik dan tingkah laku yang tidak sesuai
dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi. (Dalami, 2009).

Rentang Respons

Respon Adaptif : Respon Maladaptif :


Solitude Kesepian
Autonom Menarik Diri
Kebersamaan Ketergantungan
Saling Ketergantungan Manipulasi
Implusif
Narkisisme
Keterangan rentang respon :
a. Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma sosial dan kultural dimana
individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal. Adapun respon rentang
adaptif tersebut :
 Solitude atau menyendiri
Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang telah dilakukan
dilingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengawasi diri dan menentukan
langkah berikutnya.
 Otonomi
Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide pikiran
dan perasaan dalam hubungan sosia. Individu mampu menetapkan diri untuk
inetrdependen dan mengatur diri.
 Mutuality atau Kebersamaan
Suatu keadaan dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu
untuk memberi dan menerima.
 Interdependen atau Saling ketergantungan
Saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam hubungan
interpersonal.
b. Respon maladaptif adalah respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan kebudayaan suatu tempat.
Karakteristik diri perilaku maladaptif tersebut adalah :
 Menarik diri
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan
dengan orang lain untuk mencari ketengan sementara waktu.
 Manipulasi
Adalah hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap orang lain
sebagai objek dan bberorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan
berorientasi pada orang lain. Individu tidak dapat membina hubungan sosial secara
mendalam.
 Ketergantungan
Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan yang dimiliki.
 Implusif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman,
tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan cenderung
memaksakan kehendak.
 Narkisisme
Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan
dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah jika orang lain tidak
mendukung. (Dalami, 2009).

E. Faktor penyebab

Faktor Predisposisi
a. Faktor Perkembangan
Pada dasarnya kemampuan seseorang untuk berhubungan social berkembang
sesuai dengan proses tumbuh kembang mulai dari usia bayi sampai usia lanjut
untuk dapat mengembangkan hubungan social yang positif, diharapkan setiap
tahapan perkembangan dapat dilalui dengan sukses. Sistem keluarga yang
terganggu dapat menunjang perkembangan respon social maladaptif.
b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
 Sikap bermusuhan/hostilitas
 Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
 Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
 Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur
sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak
diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.
 Ekspresi emosi yang tinggi
 Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang
membuat bingung dan kecemasannya meningkat)
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti anggota
tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
d. Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi
skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang menderita
skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot apabila salah
diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot
persentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran
ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik,
diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
Faktor Presipitasi
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya
penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang
dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh,
dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
a. Stresor Biokimia
1) Teori dopamine yaitu kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik
serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah
sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga
dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien
skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat
oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan
hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.
4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala
psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel
otak.
b. Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat
interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
c. Stresor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu
untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan
memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah
akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe
psikotik. Menurut teori psikoanalisa perilaku skizofrenia disebabkan karena
ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang
berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas
untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara
hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis
individu terhambat.

F. Mekanisme Koping

Individu yang mengalami respon sosial maladaptif menggunakan berbagai


mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan
dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik (Gail, W Staurt 2006). Koping yang
berhubungan dengan gangguan kepribadian antisosial antara lain proyeksi, splitting dan
merendahkan orang lain, koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian
ambang splitting, formasi reksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang lain, merendahkan
orang lain dan identifikasi proyeksi.
G. Perilaku

Pada klien gangguan sosial menarik diri yaitu: kurang sopan, apatis, sedih, afek
tumpul, kurang perawatan diri, komunikasi verbal turun, menyendiri, kurang peka
terhadap lingkungan, kurang energy, harga diri rendah dan sikap tidur seperti janin saat
tidur. Sedangkan perilaku pada gangguan sosial curiga meliputi tidak mempercayai
orang lain, sikap bermusuhan, mengisolasi diri dan paranoia. Kemudian perilaku pada
klien dengan gangguan sosial manipulasi adalah kurang asertif, mengisolasi diri dari
lingkungan, harga diri rendah, dan sangat tergantung pada orang lain.

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis :
a. Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah suatu jenis pengobatan dimana arus
listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan
dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan kanan). Arus tersebut menimbulkan
kejang grand mall yang berlangsung 25-30 detik dengan tujuan terapeutik.
Respon bangkitan listriknya di otak menyebabkan terjadinya perubahan faal
dan biokimia dalam otak.
Indikasi :
1) Depresi mayor
 Klien depresi berat dengan retardasi mental, waham, tidak ada perhatian
lagi terhadap dunia sekelilingnya, kehilangan berat badan yang
berlebihan dan adanya ide bunuh diri yang menetap.
 Klien depresi ringan adanya riwayat responsif atau memberikan respon
membaik pada ECT.
 Klien depresi yang tidak ada respon terhadap pengobatan antidepresan
atau klien tidak dapat menerima antidepresan.
2) Maniak
Klien maniak yang tidak responsif terhadap cara terapi yang lain atau terapi
lain berbahaya bagi klien.
3) Skizofrenia
Terutama akut, tidak efektif untuk skizofrenia kronik, tetapi bermanfaat
pada skizofrenia yang sudah lama tidak kambuh.
b. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relatif cukup lama dan merupakan bagian penting
dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan
rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat
empati, menerima klien apa adanya, memotivasi klien untuk dapat
mengungkapkan perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan dan jujur
kepada klien.
c. Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri seseorang.

Penatalaksanaan Keperawatan :
Terapi Modalitas Keperawatan yang dilakukan adalah:
a. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
1) Pengertian
TAK merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada
sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama.
2) Tujuan
Membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah
perilaku yang destruktif dan maladaptif.
3) Terapi aktivitas kelompok yang digunakan untuk pasien dengan isolasi sosial
adalah TAK Sosialisasi dimana klien dibantu untuk melakukan sosialisasi
dengan individu yang ada di sekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan
secara bertahap dari interpersonal, kelompok dan massa.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
ISOLASI SOSIAL : MENARIK DIRI

1. Pengkajian

a. Data yang dikaji


1. Wawancara :
 Merasa sepi
 Merasa tidak aman
 Hubungan tidak berarti
 Bosan dan waktu terasa lambat
 Tidak mampu konsentrasi
 Merasa tidak berguna
 Tidak yakin hidup
 Merasa ditolak.
2. Observasi
 Banyak diam
 Tidak mau bicara
 Menyendiri
 Tidak mau berinteraksi
 Tampak sedih
 Ekspresi datar dan dangkal
 Kontak mata kurang.

2. Diagnosa Keperawatan

1. Isolasi Sosial : Menarik Diri

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

a. Pasien
SP 1 :
 Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien
 Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain
 Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang
lain
 Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang
 Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan harian
SP 2 :
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
 Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara berkenalan
dengan satu orang
 Membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang
lain sebagai salah satu kegiatan harian
SP 3 :
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
 Memberikan kesempatan kepada klien berkenalan dengan dua orang atau
lebih
 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
b. Keluarga
SP 1 :
 Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami pasien
beserta proses terjadinya
 Menjelaskan cara - cara merawat pasien isolasi sosial
SP 2 :
 Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
 Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien isolasi
sosial
SP 3 :
 Membantu keluarga membuat jadual aktivitas dirumah termasuk minum
obat (Discharge planning)
 Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERUBAHAN PROSES PIKIR : WAHAM

Oleh :

Nurul Imam, S.Kep


NIM 193161014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA CIPTA HUSADA
MALANG
2020
A. Pengertian
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas
yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya klien. Waham dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan
perkembangan seperti adanya penolakan, kekerasan, tidak ada kasih sayang,
pertengkaran orang tua dan aniaya. (Budi Anna Keliat,1999).
Waham adalah keyakinan tentang suatu pikiran yang kokoh, kuat, tidak
sesuai dengan kenyataan, tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang
budaya, selalu dikemukakan berulang-ulang dan berlebihan biarpun telah
dibuktikan kemustahilannya atau kesalahannya atau tidak benar secara umum.
(Tim Keperawatan PSIK FK UNSRI, 2005). Waham adalah keyakinan keliru
yang sangat kuat yang tidak dapat dikurangi dengan menggunakan logika (Ann
Isaac, 2004)

B. Tanda dan Gejala :


1. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan
2. Klien tampak tidak mempunyai orang lain
3. Curiga
4. Bermusuhan
5. Merusak (diri, orang lain, lingkungan)
6. Takut, sangat waspada
7. Tidak tepat menilai lingkungan/ realitas
8. Ekspresi wajah tegang
9. Mudah tersinggung

C. Macam – macam waham yaitu :


1. Waham agama: percaya bahwa seseorang menjadi kesayangan supranatural atau
alat supranatural
2. Waham somatik: percaya adanya gangguan pada bagian tubuh
3. Waham kebesaran: percaya memiliki kehebatan atau kekuatan luar biasa
4. Waham curiga: kecurigaan yang berlebihan atau irasional dan tidak percaya
dengan orang lain
5. Siar pikir: percaya bahwa pikirannya disiarkan ke dunia luar
6. Sisip pikir: percaya ada pikiran orang lain yang masuk dalam pikirannya
7. Kontrol pikir: merasa perilakunya dikendalikan oleh pikiran orang lain

D. RENTANG RESPON WAHAM

Respon Adaptif <-----------------------------------> Respon Maladaptif


Pikiran Logis Distorsi Pikiran Gangguan Pikiran
1. Persepsi Kuat 1. Ilusi 1. Sulit Berespon
2. Emosi Konsisten 2. Reaksi Emosi 2. Emosi
Dengan Pengalaman Berlebihan 3. Perilaku kacau
3. Perilaku Sesuai
4. Berhubungan Sesuai

Rentang respon waham yaitu ada respon adaptif dan ada respon maladaptif :
Respon adaptif terdapat pikiran yang logis. Dibagi beberapa bagian :
a. Persepsi Kuat : dimana apa yang diyakini seseorang tersebut sangatlah kuat dan tidak
bisa di ganggu gugat, serta dapat dibuktikan kebenarannya.
b. Emosi Konsisten : pengalaman bisa membuat seseorang mengalami atau mempunyai
emosi yang stabil atau tetap.
c. Perilaku sesuai : perilaku tidak menyimpang dari kenyataan yang ada
d. Berhubungan sesuai : dalam berhubungan antar teman dan keluarga berbeda, jadi
seaharusnya dalam berhubungan kita harus dapat menyesuaikan diri.
Dalam rentang respon ada Distorsi pikiran, terdiri dari :
a. Ilusi : keadaan proses berfikir yang tidak benar tentang mengartikan suatu benda.
b. Reaksi Emosi : dimana tingkat emosi seseorang meningkat, tidak lagi stabil atau
konstan.
Rentang respon maladaptif terdapat gangguan pikiran. Terbagi beberapa masalah :
a. Sulit Berespon : sesorang yang terganggu pikirannya akan susah sekali untuk diajak
berinteraksi.
b. Emosi : dalam tingkatan ini emosi seseorang sudah tidak lagi bisa terkontrol, dia
mudah marah, dan mudah tersinggung.
c. Perilaku kacau : dimana seseorang berprilaku tidak sesuai dengan keadaan, mereka
menunjukan prilaku yang sesuai dengan pola pikir mereka tersebut.
E. Penyebab
Faktor presdisposisi
 Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan menggangu hubungan interpersonal seseorang. Hal ini
dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakir dengan gangguan presepsi, klien
menekankan perasaan nya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak
efektif
 Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa di asingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbul nya waham
 Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda bertentangan dapat menimbulkan ansietas
dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan
 Faktor biologis
Waham di yakini terjadi karena ada nya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak atau
perubahan pada sel kortikal dan lindik
 Faktor genetik
Gangguan orientasi realita yang ditemukan pada klien dengan skizoprenia

Faktor presipitasi
 Faktor sosial budaya
Waham dapat di picu karena ada nya perpisahan dengan orang yang berarti atau di
asingkan dari kelompok.
 Faktor biokimia
Dopamin, norepinepin, dan zat halusinogen lain nya di duga dapat menjadi penyebab
waham pada seseorang
 Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasan nya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang
menyenagkan.

Salah satu penyebab dari perubahan proses pikir : waham yaitu Gangguan konsep
diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Gangguan harga diri dapat
digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, dan
merasa gagal mencapai keinginan.
Tanda-tanda dan Gejala Waham
1. Menolak makan
2. Tidak ada perhatian pada perawatan diri
3. Ekspresi wajah sedih / gembira / ketakutan
4. Gerakan tidak terkontrol
5. Mudah tersinggung
6. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
7. Tidak bisa membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan
8. Menghindar dari orang lain
9. Mendominasi pembicaraan\
10. Berbicara kasar
11. Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan

F. POHON MASALAH

Resiko ----- Resiko Perilaku Kekerasan

CP ---------- Perubahan proses pikir: waham

Etiologi ---- Gangguan konsep diri: harga diri rendah

G. Akibat dari Waham

Klien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai diri, orang lain
dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat
melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
Tanda dan Gejala :
1. Memperlihatkan permusuhan
2. Mendekati orang lain dengan ancaman
3. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
4. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
5. Mempunyai rencana untuk melukai
H. Proses Berpikir
Arus Pikir
a. Koheren : Kalimat / pembicaran dapat difahami dengan baik.
b. Inkoheren : Kalimat tidak terbentuk, pembicaraan sulit difahami.
c. Sirkumstansial : Pembicaraan yangberbelit-belit tapi sampai pada tujuan pembicaraan.
d. Tangensial : Pembicaraan yang berbelit-belit tapi tidak sampai pada tujuan
pembicaraan.
e. Asosiasi longgar : Pembicaraan tidak ada hubungan antara kalimat yang satu dengan
kalimat yang lainnya, dan klien tidak menyadarinya.
f. Flight of ideas : Pembicaraan yang melompat dari satu topik ke topik lainnya, masih
ada hubungan yang tidak logis dan tidak sampai pada tujuan.
g. Blocking : Pembicaraan terhenti tiba-tiba tanpa gangguan eksternal kemudian
dilanjutkan kembali.
h. Perseverasi : Berulang-ulang menceritakan suatu ide, tema secara berlebihan.
i. Logorea : Pembicaraan cepat tidak terhenti.
j. Neologisme : Membentuk kata-kata baru yang tidak difahami oleh umum.
k. Irelefansi : Ucapan yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan atau dengan hal
yang sedang dibicarakan.
l. Assosiasi bunyi : Mengucapkan perkataan yang mempunyai persamaan bunyi
m. Main kata-kata : Membuat sajak secara tidak wajar.
n. Afasi : Bisa sensorik (tidakmengerti pembicaraan orang lain), motorik (tidak bisa atau
sukar berbicara)
Isi Pikir
1. Obsesif : Pikiran yang selalu muncul meski klien berusaha menghilangkannya
2. Phobia : Ketakutan yang pathologis / tidak logis terhadap obyek / situasi tertentu
3. Ekstasi : Kegembiraan yang luar biasa
4. Fantasi : Isi pikiran tentang suatu keadaan atau kejadian yang diinginkan
5. Bunuh diri : Ide bunuh diri
6. Ideas of reference : Pembicaraan orang lain, benda-benda atau suatu kejadian yang
dihubungkan dengan dirinya.
7. Pikiran magis : Keyakinan klien tentang kemampuannya melakukan hal-hal yang
mustahil / diluar kemampuannya
8. Alienasi : Perasaan bahwa dirinya sudah menjadi lain, berbeda atau asing
9. Rendah diri : Merendahkan atau menghina diri sendiri, menyalahkan diri sendiri
tentang suatu hal yang pernah atu tidak pernah dilakukan
10. Pesimisme : Mempunyai pandangan yang suram mengenai banyak hal dalam
hidupnya
Bentuk pikir
a. Realistik : Cara berfikir sesuai kenyataan atau realita yang ada
b. Non realistic : Cara berfikir yang tidak sesuai dengan kenyataan
c. Autistik : Cara berfikir berdasarkan lamunan / fantasi / halusinasi / wahamnya sendiri
d. Dereistik : Cara berfikir dimana proses mentalnya tidak ada sangkut pautnya dengan
kenyataan, logika atau pengalaman.

I. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


1. Masalah keperawatan : Perubahan proses pikir : waham
Data Subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran, kecurigaan,
keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan.
Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri, orang lain,
lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai lingkungan/ realitas,
ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.
Diagnosa Keperawatan
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan waham.
Perubahan proses pikir : waham berhubungan dengan harga diri rendah.
Intervensi Keperawatan waham :
Pasien Keluarga
SP 1 SP 1
1. Membantu orientasi realita 1. Mendiskusikan masalah yang
2. Mendiskusikan kebutuhan yang dirasakan keluarga dalam merawat
tidak terpenuhi pasien
3. Membantu pasien memenuhi 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala
kebutuhannya dan jenis waham yang dialami pasien
4. Menganjurkan pasien memasukkan beserta proses terjadinya
dalam jadwal kegiatan harian 3. Menjelaskan cara-cara merawat
pasien waham

SP 2 SP 2
1. Mejadwal kegiatan harian pasien 1. Melatih keluarga mempraktikkan
2. Berdiskusi tentang kemampuan cara merawat pasien dengan waham
yang dimiliki 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Melatih kemampuan yang dimiliki merawat langsung kepada pasien
waham

SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Membantu keluarga membuat jadwal
harian pasien aktivitas dirumah termasuk minum
2. Memberikan pendidikan kesehatan obat
tentang penggunaan obat secara 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang
teratur bisa dijangkau keluarga
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN
PRILAKU KEKERASAN

Oleh :
Nurul Imam, S.Kep
NIM 193161014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA CIPTA HUSADA
MALANG
2020
A. Pengertian
Prilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993). Perilaku
kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak
konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen,
1995).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain
(Yosep, 2007; hal, 146). Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Depkes, RI, 2000). Sedangkan
menurut Carpenito 2000, perilaku kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu
beresiko menimbulkan bahaya langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain. Jadi,
perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan individu yang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak
lingkungan.

B. Etiologi
Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga
diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh
perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan
sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal
mencapai keinginan. Frustasi, seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai
tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa
terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain
tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.

C. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perilaku Kekerasan


a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang
dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan
memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus
frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada
penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem
neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin,
dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls
agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan
oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif
dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik
dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan
penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2. Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan
membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan
kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan
arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya
harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya
orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan
sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan
pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka
selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang
dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain.
Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua
yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum
menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya.
Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu
menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat
berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat
menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa
frustasi.
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
D. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan yaitu;
a. Muka merah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengatupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Jalan mondar-mandir
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Mengancam secara verbal atau fisik
i. Melempar atau memukul benda/orang lain
j. Merusak barang atau benda
k. Tidak memiliki kemampuan mencegah atau mengendalikan perilaku kekerasan

E. Rentang Respon
Rentang adaptif Respon Maladaptif

Asertif frustasi pasif agresif kekerasan

Keterangan :
a. Asertif
individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan ketenangan.
b. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kupuasan saat marah dan tidak dapat menemukan
alternative
c. Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaanya
d. Agresif
Prilaku yang menyertai marah terhadap dorongan untuk menuntut tetapi masih
terkontrol
e. Kekerasan
Perasan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya control
Perbandingan antara prilaku asertif, pasif, agrsif / kekerasan
Pasif Asertif Agresif
Isi Negatif menurun Positif dan Menyombongkan diri,
pembicar menandakan diit, menwarkan diri, memindahkan orang lain
aan contoh contoh : contoh
“dapatkah saya?” “saya dapat…. “ kamu selalu….”
“Dapatkah kamu “saya akan…. “kamu tidak pernah…”
?”
Tekanan Cepat lambat , Sedang Keras dan mengotot
suara mengeluh.
Posisi Menundukan Tegap dan santai Kaku, cenderung
badan kepala
Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak dan
dengan sikap acuh jarak yang nyaman menyerang orang lain
mengabaikan
Penampil Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam posisi
an tenang menyerang
Kontak Sedikit/ sama Mepmpertahankan Mata melotot dan di
mata sekali tidak kontak mata sesuai pertahankan
dengan hubungan

F. Pohon Masalah
Resiko tinggi mencederai orang lain, diri sendiri,dan lingkungan
Prilaku kekerasan

PPS
Halusinasi

Regimen terapeutik HDR kronis isolasi sosial


Inefektif

Koping keluarga berduka disfungsional


Tdk efektif
G. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Prilaku kekerasan
2. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
3. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
4. Harga diri rendah kronis
5. Isolasi social
6. Berduka disfungsional
7. Penaktalaksanaan regimen terapeutik inefektif
8. Koping keluarga inefektif

H. Data yang perlu dikaji


Masalah Keperawatan Data yang perlu di kaji
Perilaku Kekersan Subjektif
Klien mengancam
Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
Klien mengaatkan dendam dan jengkel
Klien mengatakan ingin berkelahi
Klien mengatakan menyalahkan dan menuntut
Klien meremehkan
Objektif
Mata melotot/pandangan tajam
Tangan mengepal
Rahang mengatup
Wajah memerah dan tegang
Postur tubuh kaku
Suara keras

Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan, antara lain sebagai
berikut:
1. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
2. Stimulus lingkungan
3. Konflik interpersonal
4. Status mental
5. Putus obat
6. Penyalahgunaan narkoba

I. Diagnosa keperawatan.
Perilaku Kekerasan
J. Rencana Tindakan Keperawatan
Pasien Keluarga
SP 1 SP 1

1. Mengidentifikasi penyebab PK 1. Mendiskusikan masalah yang


2. Mengidentifikasi tand gejala PK dirasaka keluarga dalam merawat
pasien
3. Mengidentifikasi PK yang dilkukan
2. Menjelaskan pengertian PK, tanda
4. Menidentifikasi akibat PK gejala serta proses tejadinya PK
5. Menyebutkan cara mengontrol PK 3. Menjelaskan cara merawat pasien
6. Membantu pasien mempraktikkan dengan PK
latihan cara mengontrol PK
7. Mengnjurkan pasien memasukkan
dalam kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktikkan
pesien cara merawat pasien dengan PK
2. Melatih pasien mengontrol PK 2. Melatih keluarga melakukan cara
dengan cara fisik II merawat langsung kepada pasien PK
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat jadwal
pasien aktivitas di rumah termasuk minum
2. Melatih pasien mengontrol PK obat
2. Menjelaskan follow up pasien setelah
dengan cara verbal
pulang
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Melatih pasien mengontrol PK
dengan cara spiritual
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP 5
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Menjelaskan cara mengontrol PK
dengan minum obat
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH

Oleh :
Nurul Imam, S.Kep
NIM 193161014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA CIPTA HUSADA
MALANG
2020
A. Definisi
Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Pencapaian ideal diri atau
cita – cita atau harapan langsung menghasilkan perasaan bahagia. (Budi Ana Keliat,
1998).Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan
diri yang negatif, dapat secara langsung atau tidak langsung di ekspresikan. Harga diri
rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan tidak dapat
bertanggungjawab pada kehidupannya sendiri.(Stuart dan Sundeen, 2005). Harga diri
rendah adalah penilaian negative seseorang terhadap diri dan kemampuan yang
diekspresikan secara langsung dan tidak langsung (Bawlis,2002).
Seseorang yang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan
memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa – apa, tidak
kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik
terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik
terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Akan ada dua pihak yang bisa
disalahkannya, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan
orang lain (Rini, J.F, 2002). Dari pengertian diatas dapat disimpulakan bahwa harga diri
rendah adalah sebagai perasaan negative terhadap diri sendiri dalam kepercayaan diri
yang gagal mencapai keinginan.

B. Konsep Diri
Konsep diri terdiri atas komponen-komponen berikut ini :
1. Citra tubuh (Body Image)
Citra tubuh (Body Image) adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari dan
tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta
perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi. Yang secara
berkesinambungan dimodifikasi dengan persepsi dan pengalaman yang baru (Stuart
& Sundeen, 1998).
2. Ideal Diri (Self Ideal)
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai
dengan standar, aspirasi, tujuan atau nilai personal tertentu (Stuart & Sundeen,
1998). Sering juga disebut bahwa ideal diri sama dengan cita – cita, keinginan,
harapan tentang diri sendiri.
3. Identitas Diri (Self Identifity)
Identitas adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab
terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan keunikkan individu (Stuart &
Sundeen, 1998). Pembentukan identitas dimulai pada masa bayi dan terus
berlangsung sepanjang kehidupan tapi merupakan tugas utama pada masa remaja.
4. Peran Diri (Self Role)
Serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan
dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial. Peran yang diterapkan adalah
peran dimana seseorang tidak mempunyai pilihan. Peran yang diterima adalah peran
yang terpilih atau dipilih oleh individu (Stuart & Sundeen, 1998).
5. Harga Diri (Self Esteem)
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan
menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri
yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri tanpa syarat,
walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, tetap merasa sebagai seorang yang
penting dan berharga (Stuart & Sundeen, 1998.
C. Rentang HDR
Rentang harga diri rendah :
1. Aktualisasi diri
Pengungkapan pertanyaan atau kepuasan dari konsep diri positif.
2. Konsep diri positif
Dapat menerima kondisi dirinya sesuai dengan yang diharapkannya dan sesuai
dengan kenyataan.
3. Harga diri rendah
Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri merasa gagal mencapai
keinginan.
4. Kerancunan identitas
Ketidakmampuan individu mengidentifikasi aspek psikologi pada masa dewasa, sifat
kepribadian yang bertentangan perasaan hampa dan lain-lain.
5. Dipersonalisasi
Merasa asing terhadap diri sendiri, kehilangan identitas misalnya malu dan sedih
karena orang lain.
Kepribadian yang sehat mempunyai konsep diri sebagai berikut :
1. Konsep diri posistif
2. Gambaran diri yang tepat dan positif
3. Ideal diri yang realistis
4. Harga diri yang tinggi
5. Penampilan diri yang memuaskan
6. Identitas yang jelas
D. Proses Terjadinya Harga Diri Rendah
Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang
diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri.
Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa
syarat, walaupun melakukan kesalahan,kekalahan, dan kegagalan, tetapi merasa sebagai
seorang yang penting dan berharga. Gangguan harga diri rendah merupakan masalah
bagi banyak orang dan diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai
berat.Umumnya disertai oleh evalauasi diri yang negative membenci diri sendiri dan
menolak diri sendiri. Gangguan harga diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara :
1. Situasional
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, missal harus dioperasi, kecelakaan, dicerai
suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, dll. Pada pasien yang dirawat dapat
terjadi harga diri rendah karena prifasi yang kurang diperhatikan : pemeriksaan fisik
yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan, harapan akan struktur,
bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/sakit/penyakit,
perlakuan petugas yang tidak menghargai.
2. Kronik
Yaitu perasaan negative terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu sebelum
sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berpikir yang negative. Kejadian sakit dan
dirawat akan menambah persepsi negative terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respons yang maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada pasien
gangguan fisik yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa.
E. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Faktor yang mempengaruhi HDR adalah penolakan orang tua, harapan orang tua yang
tidak realistic. Tergantung pada orang tua dan ideal diri yang tidak realistic. Misalnya ;
orang tua tidak percaya pada anak, tekanan dari teman, dan kultur sosial yang berubah
a. Faktor yang memiliki harga diri meliputi pendataan orang lain, harapan orang tua
yang tidak realistis, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggung
jawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran adalah peran seks, tuntutan peran
kerja, harapan peran kultural.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas personal, meliputi ketidak percayaan orang tua
tekanan dari kelompok sebaya, perubahan dalam stuktural sosial
2. Faktor Presipitasi
a. Ketegangan peran
Stress yang berhubungan dengan frustasi yang dialami dalam peran atau posisi
b. Konflik peran
Ketidaksesuaian peran dengan apa yang diinginkan
c. Peran yang tidak jelas
Kurangnya pengetahuan individu tentang peran
d. Peran yang berlebihan
Menampilkan seperangkat peran yang konpleks
e. Perkembangn transisi
Perubahan norma dengan nilai yang taksesuai dengan diri
f. Situasi transisi peran
Bertambah/ berkurangnya orang penting dalam kehidupan individu
g. Transisi peran sehat-sakit
Kehilangan bagian tubuh, prubahan ukuran, fungsi, penampilan, prosedur pengobatan
dan perawatan.

F. Manifestasi klinis (Gejala dan Tanda)


Perasaan malu pada diri sendiri akibat penyakit dan akibat terhadap tindakan penyakit.
Misalnya malu dan sedih karena rambut menjadi rontok (botak) karena pengobatan akibat
penyakit kronis seperti kanker.
1. Rasa bersalah terhadap diri sendiri misalnya ini terjadi jika saya tidak ke RS
menyalahkan dan mengejek diri sendiri.
2. Merendahkan martabat misalnya, saya tidak bisa, saya tidak mampu, saya memang
bodoh dan tidak tahu apa – apa.
3. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri, klien tak mau bertemu orang lain,
lebih suka menyendiri.
4. Percaya diri kurang, klien sukar mengambil keputusan yang suram mungkin
memilih alternatif tindakan.
5. Mencederai diri dan akibat HDR disertai dengan harapan yang suram mungin klien
ingin mengakhiri kehidupan.

Menurut Struart & Sundden (1998) perilaku klien HDR ditunjukkan tanda – tanda sebagai
berikut :
1. Produktivitas menurun.
2. Mengukur diri sendiri dan orang lain.
3. Destructif pada orang lain.
4. Gangguan dalam berhubungan.
5. Perasaan tidak mampu.
6. Rasa bersalah.
7. Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan.
8. Perasaan negatif terhadap tubuhnya sendiri.
9. Ketegangan peran yang dihadapi atau dirasakan.
10. Pandangan hidup yang pesimis.
11. Keluhan fisik.
12. Pandangan hidup yang bertentangan.
13. Penolakan terhadap kemampuan personal.
14. Destruktif terhadap diri sendiri.
15. Menolak diri secara sosial.
16. Penyalahgunaan obat.
17. Menarik diri dan realitas.
18. Khawatir.

G. Akibat harga diri rendah berkepanjangan (kronis).


Harga diri rendah dapat membuat klien menjdai tidak mau maupun tidak mampu
bergaul dengan orang lain dan terjadinya isolasi sosial : menarik diri. Isolasi sosial
menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku yang
maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DEPKES RI,
1998 : 336).

H. Patopsikologi
Menurut Stuart (2005), berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep
diri seseorang yaitu Faktor predisposisi yang merupakan faktor pendukung harga diri
rendah meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak relistis, kegagalan
yang berulang kali, kurang mempunyai tanggungjawab personal, ketergantungan pada
orang lain dan ideal diri yang tidak realistis. Faktor yang mempengaruhi performa
peran adalah peran gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya. Faktor
yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakpercayaan orang tua, tekanan
dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial. Sedangkan faktor presipitasi
munculnya harga diri rendah meliputi trauma seperti penganiayaan seksual dan
psikologis atau menyaksikan kejadian yang megancam kehidupan dan ketegangan
peran beruhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dimana individu
mengalami frustrasi. Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga
merasa tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal dari
lingkungan yang penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan dimana tidak mungkin
mengembangkan kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dengan orang
lain yang menimbulkan rasa aman. Klien semakin tidak dapat melibatkan diri dalam
situasi yang baru. Ia berusaha mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu
menyakitkan dan menyulitkan sehingga rasa aman itu tidak tercapai. Hal ini
menyebabkan ia mengembangkan rasionalisasi dan mengaburkan realitas daripada
mencari penyebab kesulitan serta menyesuaikan diri dengan kenyataan. Semakin klien
menjauhi kenyataan semakin kesulitan yang timbul dalam mengembangkan hubungan
dengan orang lain.Tanda dan gejala yang muncul pada gangguan konsep diri harga diri
rendah yaitu mengkritik diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri,
merasa gagal mencapai keinginan,gangguan dalam berhubungan, penurunan
produktivitas, destruktif yang diarahkan pada orang lain, rasa bersalah, ketegangan
peran yang dirasakan, pandangan hidup yang pesimis, adanya keluhan fisik, perasaan
tidak mampu, mudah tersinggung, menarik diri secara realitas,penyalahgunaan zat dan
menarik diri secara sosial.(Stuart & Sundeen, 1998, hal. 230).Melihat tanda dan gejala
diatas apabila tidak ditanggulangi secara intensif akan menimbulkan distress spiritual,
perubahan proses pikir (curiga), perubahan interaksi sosial (menarik diri) dan resiko
terjadi amuk.

WOC
Isolasi Sosial Curiga Halusinasi Resiko amuk

Harga Diri Rendah


Distress spiritual Intoleransi aktivitas
Rendah

Defisit perawatan diri Kurang Percaya Diri


Rendah

I. Penatalaksanaan Medis
Menurut hawari (2001), terapi pada gangguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih
manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi :
1. Psikofarmaka
Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Dosis rendah dengan efektifitas terapi dalam waktu yang cukup singkat.
b. Tidak ada efek samping kalaupun ada relative kecil.
c. Dapat menghilangkan dalam waktu yang relative singkat, baik untuk gejala positif
maupun gejala negative skizofrenia.
d. Tidak menyebabkan kantuk
e. Memperbaiki pola tidur
f. Tidak menyebabkan lemas otot.
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya diperoleh
dengan resep dokter, dapat dibagi dalan 2 golongan yaitu golongan generasi pertama
(typical) dan golongan kedua (atypical). Obat yang termasuk golongan generasi pertama
misalnya chlorpromazine HCL, Thoridazine HCL, dan Haloperidol. Obat yang termasuk
generasi kedua misalnya : Risperidone, Olozapine, Quentiapine, Glanzapine, Zotatine,
dan aripiprazole.

2. Psikoterapi
Therapy kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain,
penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi
karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan
untuk mengadakan permainan atau latihan bersama. (Maramis,2005)
3. Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial dengan
melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu atau dua temples. Therapi
kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika
oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik. (Maramis, 2005)
4. Therapy Modalitas
Therapi modalitas/perilaku merupakan rencana pengobatan untuk skizofrrenia yang
ditujukan pada kemampuan dan kekurangan klien. Teknik perilaku menggunakan latihan
keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri
sendiri dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal. Therapi kelompok bagi
skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana dan masalah dalam hubungan kehidupan
yang nyata.
Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas kelompok stimulasi
kognitif/persepsi, theerapy aktivitas kelompok stimulasi sensori, therapi aktivitas
kelompok stimulasi realita dan therapy aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat dan
Akemat,2005). Dari empat jenis therapy aktivitas kelompok diatas yang paling relevan
dilakukan pada individu dengan gangguan konsep diri harga diri rendah adalah
therapyaktivitas kelompok stimulasi persepsi. Therapy aktivitas kelompok (TAK)
stimulasi persepsi adalah therapy yang mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait
dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi
kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.(Keliat
dan Akemat,2005).

J. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tanggal MRS
(masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No Rumah Sakit dan alamat klien.
b. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/klien hal yang menyebabkan klien dan keluarga datang ke
rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah, dan
perkembangan yang dicapai.
c. Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa pada
masa lalu, pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual, penolakan
dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan criminal. Dan pengkajiannya
meliputi psikologis, biologis, dan social budaya.
d. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB, BB) dan keluhan
fisik yang dialami oleh klien.
e. Aspek psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri

3) Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan, kelompok, yang
diikuti dalam masyarakat
4) Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
f. Status mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik klien, afek klien,
interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori,
tingkat konsentrasi, dan berhitung.

g. Kebutuhan persiapan pulang


1) Kemampuan makan klien dan menyiapkan serta merapikan lat makan kembali.
2) Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC serta membersihkan
dan merapikan pakaian.
3) Mandi dan cara berpakaian klien tampak rapi.
4) Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
5) Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
h. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan stimulus internal,
menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada
orang lain.
i. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
j. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara klien dan disimpulkan dalam masalah.
k. Aspek medik
Diagnose medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi, psikomotor,
okopasional, TAK dan rehabilitas.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Keliat ( 1999 ), diagnosa yang lazzim muncul pada pasien dengan gangguan konsep
diri : harga diri rendah adalah :
a. Gangguan harga diri rendaah
b. Keputus asaan
c. Isolasi sosial : menarik diri
d. Resiko perilaku social

3. Intervensi Keperawatan
Pasien Keluarga
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi kemampuan dan 1. Mendiskusikan masalah ynag
aspek positif yang dimiliki pasien dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2. Membantu pasien menilai
kemampuan pasien yang masih 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala
dapat digunakan harga diri rendah yang dialami pasien
beserta proses terjadinya
3. Membantu pasien memilih kegiatan
yang akan dilatih sesuai dengan 3. Menjelaskan cara-cara merawat
kemampuan pasien pasien harga diri rendah
4. Melatih pasien sesuai dengan
kemampuan yang dipilih
SP 2
5. Memberikan pujian yang wajar
1. Melatih keluarga mempraktikkan
terhadap keerhasilan klien
cara merawat pasien dengan harga
6. Menganjurkan pasien memasukkan diri rendah
dalam jadwal kegiatan harian
2. Melatih keluarga melakukan cara
merawat langsung kepada pasien
harga diri rendah
SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien SP 3
2. Melatih kemampuan kedua 1. Membantu keluarga membuat jadwal
aktivitas di rumah termasuk minum
3. Menganjurkan pasien memasukkan
obat
kedalam jadwal kegiatan harian
2. Menjelaskan follow up pasien setelah
pulang
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

Oleh :
Nurul Imam, S.Kep
NIM 193161014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA CIPTA HUSADA
MALANG
2020
A. Pengertian
Bunuh diri adalah suatu keadaan di mana individu mengalami risiko untuk menyakiti diri
sendiri atau tindakan yang dapat mengancam jiwa. (Stuart dan Sundeen, 1995 dalam
Fitria, 2009). Bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk
mengakhiri kehidupan, individu secara sadar berhasrat dan berupaya untuk mewujudkan
hasratnya untuk mati. Perilaku bbunuh diri ini meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau
ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka, atau menyakiti diri sendiri
(Clinton, 1995 dalam Yosep, 2010). Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak
dicegah dapat mengarah pada kematian. (Gail w. Stuart, 2007. Dikutip Dez, Delicious,
2009.)
Bunuh diri adalah suatu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar
dilakukan oleh pasien untuk mengakhiri kehidupannya.Menurut Maris, Berman,
Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:
1) Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
2) Bunuh diri dilakukan dengan intensi
3) Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
4) Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif),
misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup
atau secara sengaja berada di rel kereta api.

B. Etiologi
1. Faktor predisposisi
Lima factor predisposisi yang penunjang pemahaman perilaku destruktif diri sepanjang
siklus kehidupan (Fitria, 2009):
a. Diagnosa Psikiatrik. Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri mempunyai ganggguan jiwa (ganggan afektif, penyalagunaan zat,
dan skizofrenia).
b. Sifat Kepribadian. Tiga kepribadian yang erat hubungannya dengan risiko bunuh diri
adalah antipasti, impulsive, dan depresi.
c. Lingkungan Psikososial. Diantaranya adalah pengalaman kehilangan, kehilangan
dukungan social, kejadian-kkejadian negative dalam hidup, penyakit kronis,
perpisahan, atau bahkan perceraian.
d. Riwayat Keluarga. Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor penting yang dpaat menyebabkan seseorang melakukan tinfdakan bunuh diri.
e. Faktor Biokimia. Data menunjukkan bahwa pada klien dengan risiko bunuh diri
terdapat peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti serotonin,
adrenalin, dan dopamine yang dapat dilihat dengan EEG.
Menurut Iyus Yosep (2010), terdapat beberapa factor yang berpengaruh dalam bunuh
diri, anatara lain:
a. Faktor mood dan biokimia otak.
b. Faktor riwayat gangguan mental.
c. Faktor meniru, imitasi, dan factor pembelajaran.
d. Faktor isolasi sosial dan human relations.
e. Faktor hilangnya rasa aman dan ancaman kebutuhan dasar.
f. Faktor religiusitas.

2. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif dapat ditimbulkan oleh stress yang berlebihan yang dialami oleh
individu. Pencetusnya seringkali kejadian hidup yang memalukan, melihat atau
membaca melalui media tentang orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri (Fitria, 2009).

C. Manifestasi Klinis
Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2009) :
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis
mematikan).
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan
mengasingkan diri).
9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis dan menyalahgunakan alcohol).
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal).
11. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karier).
12. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14. Pekerjaan.
15. Konflik interpersonal.
16. Latar belakang keluarga.
17. Orientasi seksual.
18. Sumber-sumber personal.
19. Sumber-sumber social.
20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.

D. Akibat
klien dengan resiko bunuh diri dapat melakukan tindakan-tindakan berbahaya atau
mencederai dirinya, orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang orang lain,
memecahkan perabot, membakar rumah, dll.

E. Pohon Masalah

Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Resiko bunuh diri

Harga diri rendah

F. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat atau dikamar pertolongan
darurat di RS, dibagian penyakit dalam atau bagian bedah. Dilakukan pengobatan
terhadap luka-luka atau keadaan keracunan, kesadaran penderita tidak selalu
menentukan urgensi suatu tindakan medis. Penentuan perawatan tidak tergantung pada
faktor sosial tetapi berhubungan erat dengan kriteria yang mencerminkan besarnya
kemungkinan bunuh diri. Bila keadaan keracunan atau terluka sudah dapat diatasi
maka dapat dilakukan evaluasi psikiatri. Tidak adanya hubungan beratnyagangguan
badaniah dengan gangguan psikologik. Penting sekali dalam pengobatannya untuk
menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan
terapi elektro konvulsi, obat obat terutama anti depresan dan psikoterapi.
G. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
1. Masalah keperawatan
a. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
b. Resiko bunuh diri
c. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
2. Data yang perlu dikaji
a. Resiko bunuh diri
DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya hidup.

DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba bunuhdiri.

b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah


1) Data subjektif
a) Mengungkapkan ingin diakui jati dirinya
b) Mengungkapkan tidak ada lagi yang peduli
c) Mengungkapkan tidak bisa apa-apa
d) Mengungkapkan dirinya tidak berguna
e) Mengkritik diri sendiri
2) Data objektif
a) Merusak diri sendiri
b) Merusak orang lain
c) Menarik diri dari hubungan sosial
d) Tampak mudah tersinggung
e) Tidak mau makan dan tidak tidur
c. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
1) Data subyektif
Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin
membakar atau mengacak-acak lingkungannya.
2) Data obyektif
Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan tindakan
kekerasan pada orang-orang disekitarnya.
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Core Problem : Resiko bunuh diri
Diaggnosa Penyerta : Gangguan konsep diri : harga diri rendah (HDR)
I. RENCANA TINDAKAN KEPERAWAAN
Pasien Keluarga
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi benda-benda yang 1. Mendiskusikan masalah yang
dapat membahayakan pasien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Mengamankan benda-benda yang pasien
dapat membahayakan pasien 2. Menjelaskan pengertian, tanda
3. Melakukan kontrak treatment gejala resiko bunuh diri dan jenis
4. Mengajarkan cara mengendalikan prilaku bunuh diri yang dialami
dorongan bunuh diri pasien beserta proses terjadinya
5. Melatih cara mengendalikan menjelaskan cara-cara merawat
dorongan bunuh diri pasien resiko bunuh diri
3. Menjelaskan cara-cara merawat
pasien resiko bunuh diri

SP 2 SP 2
1. Mengidentifikasi aspek positif 1. Melatih keluarga mempraktikkan
pasien cara merawat pasien dengan resiko
2. Mendorong apsien untuk berpikir bunuh diri
positif terhadap diri 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Mendorong pasien untuk merawat langsung kepada pasien
menghargai diri sebagai individu resiko dunuh diri
yang berharga
SP 3
1. Membantu keliarga membuat
SP 3 jadwal aktivitas dirumah termasuk
1. Mengidentivikasi pola koping yang minum obat
biasa diterapkan pasien 2. Mendiskusikan sumber rujukan
2. Menilai pola koping yang biasa yang biasa dijangkau oleh keluarga
dilakukan
3. Mengidentifikasi pola koping yang
konstruktif
4. Mendorong pasien memilih pola
koping yang konstruktif
5. Menganjurkan pasien menerapkan
pola koping konstruktif dalam
kegiatan harian

SP 4
1. Membuat rencana masa depan yang
realistis bersama pasien
2. Mengidentifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan pasien
melakukan kegiatan dalam rangka
meraih masa depan yang realistis
DAFTAR PUSTAKA

(Jenny., dkk. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Psikososial dan
Gangguan Jiwa ).

Anda mungkin juga menyukai