Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA CERVIKAL DI IGD RSD DR. SOEBANDI JEMBER PERIODE


30 JANUARI – 04 FEBRUARI 2023

Disusun Oleh:

Nama: Robiatul Maulidah S.Kep

NIM: 2202031062

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
Januari, 2023

1
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Anatomi Fisiologi
a. Servikal I-VII
Vertebra servikal I juga disebut atlas, pada dasarnya berbeda dengan lainnya
karena tidak mempunyai corpus vertebra oleh karena pada atlas dilukiskan adanya
arcus anterior terdapat permukaan sendi, fovea, vertebralis, berjalan melalui arcus
posterior untuk lewatan arcus posterior untuk lewatnya arteri vertebralis.
Vertebra servikal II juga disebut aksis, berbeda dengan vertebra servikal ke-3
sampai ke-6 karena adanya dens atau processus odontoid. Pada permukaan cranial
corpus aksis memiliki tonjolan seperti gigi, dens yang ujungnya bulat, aspek
dentis.
Vertebra servikal III-V processus spinosus bercabang dua. Foramen
transversarium membagi processus transversus menjadi tuberculum anterior dan
posterior. Lateral foramen transversarium terdapat sulcus nervi spinalis, didahului
oleh nervi spinalis.
Vertebra servikal VI perbedaan dengan vertebra servikal I sampai dengan
servikal V adalah tuberculum caroticum, karena dekat dengan arteri carotico.
Vertebra servikal VII merupakan processus spinosus yang besar, yang biasanya
dapat diraba sebagai processus spinosus columna vertebralis yang tertinggi, oleh
karena itu dinamakan vertebra prominens Syaifuddin, 2017).

Gambar Vertebra Servikal I-VII


(Sumber: Syaifuddin, 2017)
b. Ligamentum.
Ligamentum adalah pita jaringan fibrosa yang kuat dan berfungsi untuk

2
mengikat serta menyatukan tulang atau bagian lain atau untuk menyangga suatu
organ
1. Ligamentum longitudinal anterior
Ligamentum longitudinal anterior merupakan suatu serabut yang membentuk
pita lebar dan tebal serta kuat, yang melekat pada bagian corpus vertebra,

dimulai dari sebelah anterior corpus


Gambar Ligamentum Longitudinal Anterior
(Sumber: Syaifuddin, 2017)
2. Ligamentum longitudinal posterior
Ligamentum longitudinal posterior berada pada permukaan posterior corpus
vertebrae sehingga dia berada di sebelah depan canalis vertebralis.
Ligamentum ini melekat pada corpus vertebra servikal II dan memanjang
kebawah os sacrum. Ligamentum ini diatas discus intervertebralis diantara
kedua vertebra yang berbatasan akan melebar, sedangkan dibelakang corpus
vertebra akan menyempit sehingga akan membentuk rigi. Ligamentum ini

3
berfungsi seperti ligamentum-ligamentum lain pada bagian posterior vertebra
colum, yaitu membatasi gerakan ke arah fleksi dan membantu memfiksasi dan
memegang dalam posisi yang betul dari suatu posisis reduksi ke arah
hyperextensi, terutama pada daerah thorakal
Gambar Ligamentum Longitudinal Posterior
(Sumber: Syaifuddin, 2017)
3. Ligamentum intertransversarium
Ligamentum intertransversarium melekat antara processus transversus dua
vertebra yang berdekatan. Ligamentum ini berfungsi mengunci persendian
sehingga membentuk membuat stabilnya persendiaan.

Gambar Ligamentum Intertransversarium


(Sumber: Syaifuddin, 2017)

c. Otot & leher


Otot yang terdapat pada leher terdiri dari otot sternocleidomastoideus origonya
terletak pada processus mastoideus dan linea nuchae superior, insersio Pada
incisura jugularis sterni dan articulation sternoclavicularis, fungsi rotasi, lateral
flexi, kontraksi bilateral mengangkat kepala dan membantu pernapasan bila kepal
difixasi inervasi nervus accessorius dan plexus servikal (C1 dan C2) (Daniel, S.
Wibowo, 2018).

4
Gambar Otot Sternocleidomastoideus
(Sumber: Daniel, 2018)
Otot scaleni terbagi atas 3 serabut, yang pertama otot scalenus anterior, origo
pada tuberculum anterius processus transversus vertebra cervicalis III sampai VI,
insersio pada tuberculum scaleni anterior, inervasi plexus brachialis (C5-C7) dan
berfungsi menarik costa I, menekuk leher ke latero anterior dan menekuk leher ke
anterior. Yang kedua otot scalenus medius origo terletak pada tuberculum posterior
processus transversus vertebra cervicalis II sampai dengan VII, insersio pada costa
I di belakang sulcus a.subclavicula dan kedalam membran intercostalis externa dari
spatium intercostalis I, inervasi plexus cervicalis dan brachialis (C4-C8) dan
berfungsi mengangkat costa I dan menekuk leher ke lateral costa I. Yang terakhir
otot scalenus posterior origo terletak pada processus transversus vertebra
cervicalis V sampai VII, insersio pada permukaan lateral costa II, inervasi plexus
brachialis ( C7-C8) dan berfungsi fleksi leher, membantu rotasi leher dan kepala
serta mengangkat costa I (Daniel, S. Wibowo, 2018).

Gambar Otot Scaleni


(Sumber : Daniel, 2018)
Otot trapezius dibagi menjadi 3 serabut yaitu yang pertama pars descendens
origo berasal dari linea nuchae superior, protuberantia occipitalis externa dan
ligamentum nuchea, insersio pada sepertiga lateral clavicula, berfungsi untuk

5
melakukan gerakan adduksi dan retraksi dan menginervasi nervus accessorius dan
rami trapezius (C2- C4). Otot pars tranversa origo berasal dari servikal, insersio
pada sepertiga lateral clavicula, berfungsi untuk melakukan gerakan adduksi dsn
retraksi. dan menginervasi nervus accessorius dan rami trapezius (C2-C4). Yang
ketiga pars ascendens origo berasal dari vertebra thoracalis III sampai XII, dari
processus spinosus dan ligamentum supraspinasum, insersio pada trigonum spinale
dan bagian spina scapulae yang berdekatan, berfungsi untuk menarik ke bawah
(depresi) dan menginervasi nervus accessorius dan rami trapezius (C2-C4) (Daniel,
S. Wibowo, 2018).

Gambar Otot Trapezius


(Sumber: Daniel, 2018)

Otot levator scapula origo terletak pada tuberculum posterior processus


transversus vertebra cervicalis I sampai IV, insersio pada angulus superior
scapula, berfungsi mengangkat scapula sambil memutar angulus inferior ke medial
dan menginervasi nervus dorsalis scapulae (C4-C8). Otot ini difungsikan untuk
mengangkat pinggir medial scapula. Bila bekerja sama dengan serabut tengah otot
trapezius dan rhomboideus, otot ini menarik scapula ke medial dan atas, yakni pada
gerakan menjepit bagu ke belakang

6
Gambar anatomi cervical
B. Pengertian Trauma Servikal
Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal dan
medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau fraktur vertebra
servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis daerh servikal. Dislokasi
servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari tulang servikal. Subluksasi servikal
merupakan kondisi sebagian dari tulang servikal lepas. Fraktur servikal adalah
terputusnya hubungan dari badan tulang vertebra servikalis (Muttaqin, 2020).
C. Etiologi
Cedera medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang
mengenai tulang belakang di mana tulang tersebut melampaui kemampauan tulang
belakang dalam melindungi saraf-saraf belakangnya. Menurut Emma, (2020) Trauma
langsung tersebut dapat berupa :
a. Cedera traumatik dapat disebabkan oleh :
A. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan.

B. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari


lokasi benturan misalnya jatuh dengan kaki berjulur sehingga
menyebabkan fraktur

C. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot


yang kuat
b. Fraktur patologik
Dalam hal ini, kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur yang dapat terjadi
pada berbagai keadaan berikut :
7
a. Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat
dan nyeri
c. Osteoporosis
c. Secara spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.

D. Patofisiologi
Kolumna vertebralis normal dapat menahan tekanan yang berat dan
mempertahankan integritasnya tanpa mengalami kerusakan pada medula spinalis. Akan
tetapi, beberapa mekanisme trauma tertentu dapat merusak sistem pertahanan ini dan
mengakibatkan kerusakan pada kolumna vertebralis dan medula spinalis. Pada daerah
kolumna servikal, kemungkinan terjadinya cedera medula spinalis adalah 40%. Trauma
servikal dapat ditandai dengan kerusakan kolumna vertebralis (fraktur, dislokasi, dan
subluksasi), kompresi diskus, robeknya ligamen servikal, dan kompresi radiks saraf
pada setiap sisinya yang dapat menekan spinal dan menyebabkan kompresi radiks dan
distribusi saraf sesuai segmen dari tulang belakang servikal (Price, 2019).
Pada cidera hiperekstensi servikal, pukulan pada wajah atau dahi akan memaksa
kepala kebelakang dan tidak ada yang menyangga oksiput dan diskus dapat rusak atau
arkus saraf mengalami kerusakan. Pada cidera yang stabil dan merupakan tipe frakutur
vertebra yang paling sering di temukan. Jika ligamen posterior robek, cedera, bersifat
tidak stabil dan badan vertebra bagian atas dapat miring ke depan di atas badan vertebra
di bawahnya. Trauma servikal dapat menyebabkan cedera yang komponen vertebranya
tidak akan tergeser oleh gerakan normal sehingga sumsum tulang tidak rusak dan resiko
biasanya lebih rendah (Muttaqin, 2020).
Cedera yang tidak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran lebih
jauh dan perubahan struktur oseoligamentosa posterior (pedikulis, sendi permukaan,
arkus tulang posterior, ligamen interspinosa, dan supraspinosa), komponen pertengahan
(sepertiga bagian posterior badan vertebra, bagian posterior diskus intervertebra, dan
ligamen longitudinal posterior), dan kolumna anterior (dua pertiga bagian anterior

8
korpus vertebra, bagian anterior diskus intervertebra dan ligamen longitudinal anterior)
(Muttaqin, 2020).
Cedera spinal tidak stabil menyebabkan resiko tinggi cedera pada korda
sehingga menimbulkan masalah aktual atau resiko ketidakefektifan pola napas dan
penurunan curah jantung akibat kehilangnya kontrol organ viseral. Kompresi saraf dan
spasme otot servikal memberikan stimulasi nyeri. Kompresi diskus menyebabkan
paralisis dan respons sistemik dengan munculnya keluhan mobilisasi fisik, gangguan
defekasi akibat penurunan peristaltik usus, dan ketidak seimbangan nutrisi (Price,
2019).
Tindakan dekompresi dan stabilitas pada pascabedah akan menimbulkanport de
entree luka pascabedah yang menyebabkan masalah resiko tinggi infeksi. Selain itu,
tindakan tersebut dapat menyebabkan kerusakan neuromuskular, yang menimbulkan
resiko trauma sekunder akibat ketidaktahuan tentang teknik mobilisasi yang tepat.
Kondisi psikologis karena prognosis penyakit menimbulkan respons anastesi.
Manipulasi yang tidak tepat akan menimbulkan keluhan nyeri dan hambatan mobilitas
fisik (Muttaqin, 2020).

9
E. Pathway

10
F. Manifestasi Klinis
Menurut Hudak & Gallo, (1996) menifestasi klinis trauma servikal adalah sebagai
berikut:
1. Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4. Otot trapezius, sternomastoid dan otot plastisma masih berfungsi.
Otot diafragma dan otot interkostal mengalami partalisis dan tidak ada gerakan
(baik secara fisik maupun fungsional) di bawah transeksi spinal tersebut.
Kehilangan sensori pada tingkat C1 malalui C3 meliputi daerah oksipital, telinga
dan beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori diilustrasikan oleh diagfragma
dermatom tubuh.
Pasien dengan quadriplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan perhatian penuh
karena ketergantungan pada semua aktivitas kebutuhan sehari-hari seperti makan,
mandi, dan berpakaian. quadriplegia pada C4 biasanya juga memerlukan ventilator
mekanis tetapi mengkn dapat dilepaskan dari ventilator secara. intermiten. pasien
biasnya tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
meskipun dia mungkin dapat makan sendiri dengan alat khsus.
2. Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak
sekunder terhadap edema pascatrauma akut. paralisis intestinal dan dilatasi lambung
dapat disertai dengan depresi pernapasan. Ekstremitas atas mengalami rotasi ke arah
luar sebagai akibat kerusakan pada otot supraspinosus. Bahu dapat di angkat karena
tidak ada kerja penghambat levator skapula dan otot trapezius. setelah fase akut,
refleks di bawah lesi menjadi berlebihan. Sensasiada pada daerah leher dan triagular
anterior dari daerah lengan atas.
3. Lesi C6
pada lesi segen C6 disters pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan
edema asenden dari medulla spinalis. Bahu biasanya naik, dengan lengan abduksi
dan lengan bawah fleksi. Ini karena aktivitasd tak terhambat dari deltoid, bisep dan
otot brakhioradialis.
4. Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesori untuk
mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Ekstremitas atas mengambil posis
yang sama seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan biasnya berlebihan ketika kerja
refleks kembali.

11
Menurut Price, (2019 )menyampaikan manifestasi klinik pada fraktur adalah sebagai
berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme
otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan
sekitarnya.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. paralysis
dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
G. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges, (2020) ada pun pemeriksaan penunjang trauma servikal yaitu:
1) Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk kesejajaran,
reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
12
2) CT scan
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
3) MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
4) Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya
tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis.
5) Foto rontgen torak
Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada diagfragma,
anterlektasis)
6) GDA
Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.
H. Komplikasi
Menurut Emma, (2020) komplikasi pada trauma servikal adalah :
a) Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending
pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan
kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah
dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
b) Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya
cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit
walaupun tidak seluruh bagian rusak.
c) Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari
cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau torakal
atas.
d) Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti nasal,
bradikardi dan hipertensi.
I. Penatalaksanaan
MenurutENA, (2020) penatalaksanaan pada pasien truama servikal yaitu :
1. Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)

13
2. Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin lip, jaw
thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi),
mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
3. Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar,
imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
4. Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7) dengan
menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi), member lipatan
selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.
5. Menyediakan oksigen tambahan.
6. Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.
7. Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
8. Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh dari
hipotensi dan bradikardi.
9. Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
10. Berikan antiemboli
11. Tinggikan ekstremitas bawah
12. Gunakan baju antisyok.
13. Meningkatkan tekanan darah
14. Monitor volume infus.
15. Berikan terapi farmakologi (vasokontriksi)
16. Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi
gejala bradikardi.
17. Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
18. Memepersiapkan pasien untuk reposisi spina.
19. Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan spinal cord :
steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari 24 jam, dimulai dari
8 jam setelah kejadian.
a. Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien.
b. Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan aspirasi
jika ada indikasi.
c. Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.
d. Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya dekubitus.
e. Memepersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan).

14
f. Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi secara
konsisten untuk menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan.
g. Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses penyembuhan.

15
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Teoritis
Menurut ENA, (2020) pengkajian pada pasien trauma servikal adalah:
a) Pengkajian primer
Data Subyektif
1) Riwayat Penyakit Sekarang
a. Mekanisme Cedera
b. Kemampuan Neurologi
c. Status Neurologi
d. Kestabilan Bergerak
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
a. Keadaan Jantung dan pernapasan
b. Penyakit Kronis
Data Obyektif
1. Airway
Adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga
mengganggu jalan napas
2. Breathing
Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada.
3. Circulation
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba
hangat dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang
mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan)
4. Disability
Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan
sensasi, kelemahan otot.
5. Exposure
Adanya deformitas tulang belakang
Pengkajian Sekunder
1. Five Intervensi

16
Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi, CT
Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas, MRI untuk mengidentifikasi
kerusakan saraf spinal, foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru,
sinar – X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(Fraktur/Dislokasi)
2. Give Comfort
Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
3. Head to Toe
a. Leher :Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
b. Dada  :Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan,
pergerakan dinding dada, bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan
interkosta akibat cedera spinal
c. Pelvis dan Perineum :Kehilangan control dalam eliminasi urin dan
feses, terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism)
d. Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau
quadriparesis/quadriplegia
e. Inspeksi Back / Posterior Surface
f. Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang.
b) Diagnosa
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan
dispnea,terdapat otot bantu napas.
2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran
darah.
3. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular
ditandai dengan paralisis dan paraplegia pada ekstremitas.
5. Kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan sensori motorik
ditandai dengan kehilangan kontrol dalam eliminasi urine.
6. Risiko decera berhubungan dengan penurunan kesaradaran.

17
c) Intervensi

No Diagnosa Tujuan/Kriteria Intervensi Rasional


Keperawatan Hasil

1. Pola napas tidak Setelah diberikan Manajemen jalan 1.Perubahan pola


tindakan keperawatan napas (I. 01011)
efektif selama 2x15 menit, nafas dapat
berhubungan diharapkan pola napas Observasi mempengaruhi
dengan pasien membaik 1. Monitor pola tanda-tanda vital
dengan kriteria hasil:
hiperventilasi napas (frekuensi,
2.Pengembangan
ditandai dengan 1. Pernapasan teratur kedalaman, usaha
dispnea,terdapat 2. Takipnea tidak ada napas), pertahankan dada dan
3. Pengembangan ABC penggunaan otot
otot bantu napas.
dada simetris bantu pernapasan
2.Monitor bunyi
antara kanan dan
napas ta,bahan dan mengindikasikan
kiri
usaha pernapasan gangguan pola
4. Tanda vital dalam
pengembangan nafas.
batas normal (nadi
dada, keteraturan
60-100x/menit,
pernapasan nafas 3.Mempermudah
RR 16-20 x/menit,
bibir dan ekspansi paru.
tekanan darah 110-
penggunaan otot
140/60-90 mmHg, 4.Stabilisasi
bantu pernapasan.
suhu 36,5-37,5 oC)
tulang servikal.
5. Tidak ada Terapeutik
penggunaan otot
3.Berikan posisi 5.Oksigen yang
bantu napas.
semifowler jika adekuat dapat
tidak ada kontra menghindari
indiksi. resiko kerusakan
4.Gunakan servikal jaringan
collar, imobilisasi
lateral kepala,
meletakkan papan
di bawah tulang
belakang.
5.Berikan oksigen
sesuai indikasi

2. Perfusi jaringan Setelah dilakukan Perawatan sirkulasi 1.Untuk


tindakan keperawatan (I.02079)
perifer tidak selama 3x5 menit mempertahankan
efektif diharapkan perfusi 1. Atur posisi ABC dan
berhubungan jaringan adekuat. kepala dan leher mencegah terjadi
untuk mendukung
dengan obstruksi jalan

18
penyumbatan Kriteria hasil : airway (jaw thrust). napas
Jangan memutar
aliran darah a.Nadi teraba kuat
atau menarik leher 2.Meningkatkan
b.Tingkat kesadaran ke belakang aliran balik vena
composmentis (hiperekstensi), ke jantung
mempertimbangkan
c.Sianosis atau pucat pemasangan
3.Stabilisasi
tidak ada intubasi nasofaring. tulang servikal
d.Nadi Teraba lemah, 2.Tinggikan
terdapat sianosis, 4.Mencukupi
ekstremitas bawah.
kebutuhan
e.Akral teraba hangat 3.Gunakan servikal oksigen tubuh
f.CRT < 2 detik collar, imobilisasi
dan oksigen juga
lateral kepala,
g.GCS 13-15 meletakkan papan dapat
h.AGD normal di bawah tulang menurunkan
belakang. terjadinya
4.Sediakan oksigen sickling
dengan nasal  canul
5.Perubahan
untuk mengatasi
hipoksia tanda-tanda vital
seperti bradikardi
5.Ukur tanda-tanda
vital. akibat dari
kompensasi
6.Awasi
jantung terhadap
pemeriksaan AGD
penurunan fungsi
hemoglobin

6.Penurunan
perfusi jaringan
dapat
menimbulkan
infark terhadap
organ jaringan

3. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri 1.Pengkajian


tindakan keperawatan
berhubungan selama 3 x 15 menit 1.Kaji PQRST yang tepat dapat
dengan gangguan diharapkan nyeripasien. membantu dalam
neurologis. pasien dapat berkurang 2.Pantau tanda- memberikan
dengan kriteria hasil :
tanda vital intervensi yang
a.Tanda-tanda vital
3.Berikan analgesic tepat.
dalam batas normal
untuk menurunkan 2.Nyeri bersifat
(Nadi 60-100 x/menit),

19
(Suhu 36,5-37,5), nyeri. proinflamasi
( Tekanan Darah 110-
4.Gunakan servikal sehingga dapat
140/60-90 mmHg),
collar, imobilisasi mempengaruhi
(RR 16-20 x/menit)
lateral kepala, tanda-tanda vital.
b.Penurunan skala meletakkan papan
nyeri( skala 0-10) di bawah tulang 3.Analgetik dapat
belakang. mengurangi nyeri
c.Wajah pasien tampak
tidak meringis        yang berat
(memberikan
kenyamanan
pada pasien)

4.Stabilisasi
tulang belakang
untuk
mengurangi nyeri
yang timbul jika
tulang belakang
digerakkan

DAFTAR PUSTAKA

H. Nurbaiti Iskandar. Prof, Buku Ajar Telinga Hidung dan Tenggorokan, Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia, Hlm 366 dan hlm 411.

20
Marilynn E. Doenges/ Mary Frances Moorhouse/ Alice C. Geisler, Rencana Asuhan
keperawatan ( Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien
), Buku kedokteran EGC Edisi 3, Hlm 205 – 210, Tahun 2020.

R. Syamsu Hidayat dan Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Buku kedokteran EGC Edisi 2,
Hlm 489.

21

Anda mungkin juga menyukai