Anda di halaman 1dari 92

HUBUNGAN RETENSI SPUTUM DENGAN SATURASI OKSIGEN

PADA PASIEN KANKER NASOFARING YANG TERPASANG


TRAKEOSTOMI DI INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT KANKER DHARMAIS
TAHUN 2022

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan


Program Studi Ilmu Keperawatan Program Sarjana

Disusun Oleh :
REPIDAWATI SINAGA
NIM. 19216270

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


UNIVERSITAS YATSI MADANI TANGERANG
TAHUN 2022/ 2023
LEMBAR PERSETUJUAN

Tugas Akhir ini telah disetujui dan diperiksa untuk dipertahankan


dihadapan Penguji Proposal Skripsi
Program Studi S1 Keperawatan
Universitas Yatsi Madani Tangerang

Tangerang, Desember 2022

Menyetujui,
Pembimbing,

Yuni Susilowati, S.Pd, M.Pd

Mengetahui,
Rektor Universitas Yatsi Madani Tangerang

Drs. Trisonjaya, M.Si.,MM

ii
LEMBAR PENGESAHAN

HUBUNGAN RETENSI SPUTUM DENGAN SATURASI OKSIGEN


PADA PASIEN KANKER NASOFARING YANG TERPASANG
TRAKEOSTOMI DI INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT KANKER DHARMAIS TAHUN 2022

Disusun Oleh :
Repidawati Sinaga
19216270

“Skripsi Keperawatan ini telah diperiksa dan disetujui untuk dipertanggung


jawabkan dihadapan Penguji Progran Studi S1 Keperawatan”
Tangerang, Desember 2022
Menyetujui
Penguji 1 Penguji 2

Yuni Susilowati, S.Pd, M.Pd

Mengetahui
Rektor Universitas Yatsi Madani Tangerang

Drs. Trisonjaya, M.Si.,MM

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Repidawati Sinaga
NIM : 19216270
Tempat Tanggal Lahir : Dolok Saratus 26 Juni 1982
Institusi : Universitas Yatsi Madani

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan Retensi Sputum dengan


Saturasi Oksigen pada Pasien Kanker Nasofaring yang Terpasang Trakeostomi di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022” adalah
bukan skripsi hasil karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan, kecuali
dalam bentuk kutipan yang telah disebutkan sumbernya.
Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan
apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi akademis.

Tangerang, Desember 2022

Pembimbing Yang Menyatakan

Yuni Susilowati, S.Pd, M.Pd Repidawati Sinaga

iv
BACHELOR DEGREE OF NURSING STUDY PROGRAM
INSTITUTE OF HEALTH SCIENCE YATSI TANGERANG
2023

REPIDAWATI SINAGA
NIM. 19216270

THE RELATIONSHIP BETWEEN SPUTUM RETENTION AND OXYGEN


SATURATION IN NASOPHARYNCHAL CANCER PATIENTS WITH
TRCHEOSTOMIES IN THE EMERGENCY INSTALLATION OF
DHARMAIS CANCER HOSPITAL IN 2022
xii + 79 Pages + 8 Tables + 2 Charts + 10 Appendices

ABSTRACT

Background: Post-tracheostomy care for patients is very important due to


blockage in the cannula due to accumulation of secretions/sputum retention
which results in decreased oxygen saturation. The Dharmais Cancer Hospital in
2021 will reach 197 people. The therapy for this treatment is tracheostomy
surgery. Objective: to determine the relationship between sputum retention and
oxygen saturation in nasopharyngeal cancer patients who have tracheostomy
installed at the Dharmais Cancer Hospital Emergency Room in 2022. Research
method: quantitative analysis with a cross-sectional design. The sample size of
this study is 65 with total sampling technique. Data analysis using Chi Square
Test. Results: most of the sputum retention in nasopharyngeal cancer patients
who had tracheostomy attached was not good 61.5%, oxygen saturation with
moderate hypoxemia was 63.1%. There is a relationship between sputum
retention and oxygen saturation in patients with nasopharyngeal cancer who have
tracheostomy installed with p = 0.000. Conclusion: There is a relationship
between sputum retention and oxygen saturation in nasopharyngeal cancer
patients who have tracheostomy installed at the Dharmais Cancer Hospital
Emergency Room. Research suggestion: Patients are expected to be able to
maintain their airways with deep breathing exercises and try to cough as an effort
to expel the sputum that is in the patient's cannula so that they do not experience
airway obstruction which has an impact on decreasing oxygen saturation.

Keywords : Sputum Retention, Oxygen Saturation, Tracheostomy Attached


Nasopharyngeal Cancer
Literature : 23 Books, 17 Journals and Articles Online (2017 - 2022)

v
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YATSI TANGERANG
2023

REPIDAWATI SINAGA
NIM. 19216270

HUBUNGAN RETENSI SPUTUM DENGAN SATURASI OKSIGEN PADA


PASIEN KANKER NASOFARING YANG TERPASANG TRAKEOSTOMI
DI INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT KANKER
DHARMAIS TAHUN 2022
xii+ 79 Halaman + 8 Tabel + 2 Gambar + 10 Lampiran

ABSTRAK

Latar Belakang: Perawatan pasien pasca trakeostomi sangatlah penting


disebabkan oleh sumbatan pada kanul karena penumpukan sekret/ retensi sputum
yang berdampak pada menurunnya saturasi oksigen. Rumah Sakit Kanker
Dharmais pada tahun 2021 mencapai 197 jiwa, terapi yang dilakukan dengan pada
pengobatan ini dengan pembedahan trakeostomi. Tujuan: mengetahui hubungan
retensi sputum dengan saturasi oksigen pada pasien kanker nasofaring yang
terpasang trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais
Tahun 2022. Metode Penelitian: analitik kuantitatif dengan rancangan cross
sectional. Besar sampel penelitian ini 65 dengan tehnik total sampling. Analisa
data dengan menggunakan Uji Chi Square. Hasil Penelitian: sebagian besar
retensi sputum pada pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi tidak
baik 61,5%, saturasi oksigen dengan hipoksemia sedang 63,1%. Ada hubungan
retensi sputum dengan saturasi oksigen pada pasien kanker nasofaring yang
terpasang trakeostomi dengan nilai p =0,000. Kesimpulan: Ada hubungan retensi
sputum dengan saturasi oksigen pada pasien kanker nasofaring yang terpasang
trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais. Saran
penelitian: Pasien diharapkan dapat menjaga saluran nafas dengan latihan nafas
dalam dan berupaya untuk batuk sebagai upaya untuk mengeluarkan sputum yang
ada di dalam saluran kanule pasien agar tidak mengalami sumbatan jalan nafas
yang berdampak pada menurunnya saturasi oksigen.

Kata Kunci : Retensi Sputum, Saturasi Oksigen, Kanker Nasofaring


Terpasang Trakeostomi
Kepustakaan : 23 Buku, 17 Jurnal dan Artikel Online (2017- 2022)

vi
KATA PENGANTAR

„Alhamdulilahirobilalamin‟ Segala puji dan puji sukur saya panjatkan


kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan karunianya sehingga saya
dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Hubungan Retensi Sputum
dengan Saturasi Oksigen pada Pasien Kanker Nasofaring yang Terpasang
Trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun
2022”. Saya menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa
adanya Ridho Illahi, dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk
itu saya mengucapkan beserta terimakasih yang sebesar- besarnya kepada:
1. Drs. Trisonjaya, M.Si., MM Selaku Rektor Universitas Yatsi Madani
Tangerang.
2. Bambang Eko Supriyanto, S.Kom., M.Kom., sebagai Wakil Rektor I
Universitas Yatsi Madani
3. Ikhsan Kamil, SE., MM., sebagai Wakil Rektor II Universitas Yatsi Madani
4. Nuryanti, S.ST., M.KM., sebagai Wakil Rektor III Universitas Yatsi Madani
5. Ns. Rangga Saputra, S.Kep., M.Kep., Selaku Kaprodi S1 Keperawatan
Universitas Yatsi Madani.
6. Yuni Susilowati, S.Pd, M.Pd selaku dosen pembimbing 1 yang telah memberi
dorongan, saran dan ilmu dalam proses pembuatan proposal dan skripsi.
7. Seluruh dosen dan staf Universitas Yatsi Madani
8. Pihak Rumah Sakit Kanker Dharmais terimakasih atas kerja sama- nya yang
telah mengizinkan saya utuk melakukan penelitian.
Akhirnya saya sebagai mahluk yang tadak sempurna memohon maaf
apabila ada kesalahan baik secara teknik, format ataupun isi dari skripsi saya.
Harapan saya semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Tangerang, Desember 2022
Peneliti

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN....................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN....................................................................................iv
ABSTRACT...............................................................................................................v
ABSTRAK..............................................................................................................vi
KATA PENGANTAR...........................................................................................vii
DAFTAR ISI.........................................................................................................viii
DAFTAR TABEL....................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................4
C. Tujuan Penelitian..............................................................................................5
1. Tujuan Umum...................................................................................................5
2. Tujuan Khusus..................................................................................................5
D. Manfaat Penelitian............................................................................................5
1. Manfaat Teoritis................................................................................................5
2. Manfaat Praktis.................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................7
A. Deskripsi Teori..................................................................................................7
1. Kanker Nasofaring............................................................................................7
2. Trakeostomi....................................................................................................15
3. Sputum ........................................................................................................21
4. Saturasi Oksigen.............................................................................................30
B. Penelitian Relevan...........................................................................................38
C. Kerangka Konsep............................................................................................40
D. Hipotesis Penelitian.........................................................................................40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................................42
A. Metode Penelitian..........................................................................................42

viii
B. Lokasi dan Waktu Penelitian..........................................................................42
C. Populasi dan Sampel Penelitian......................................................................42
1. Populasi Penelitian..........................................................................................42
2. Sampel Penelitian............................................................................................43
D. Definisi Operasional Penelitian.......................................................................43
E. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data..........................................................44
1. Instrumen Penelitian.......................................................................................44
2. Cara Pengumpulan Data.................................................................................44
F. Pengolahan Data.............................................................................................46
G. Analisis Data...................................................................................................47
1. Prasarat Analisis Data.....................................................................................47
2. Analisis Univariat...........................................................................................48
3. Analisis Bivariat..............................................................................................48
H. Etika Penelitian...............................................................................................49
I. Keterbatasan Penelitian...................................................................................50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN.....................................51
A. Hasil Penelitian...............................................................................................51
1. Hasil Analisis Univariat..................................................................................51
2. Hasil Analisis Bivariat....................................................................................52
B. Pembahasan Penelitian....................................................................................53
BAB V PENUTUP.............................................................................................60
A. Kesimpulan.....................................................................................................60
B. Saran................................................................................................................60
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................62

ix
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi stadium TNM (Sistem Tumor-Kelnjar-Metastasis)............11
Tabel 2.2 Stadium Kanker Nasofaring..................................................................12
Tabel 2.3 Derajat Hipoksemia berdasarkan Nilai PaO2 dan SaO2.......................33
Tabel 2.4 Penelitian Relevan.................................................................................38
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian.............................................................43
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Retensi Sputum pada Pasien Kanker
Nasofaring yang Terpasang Trakeostomi di Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022 (N=65)..............51
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Saturasi Oksigen pada Pasien Kanker
Nasofaring yang Terpasang Trakeostomi di Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022 (N=65)...............52
Tabel 4.3 Hubungan Hubungan Retensi Sputum dengan Saturasi Oksigen
pada Pasien Kanker Nasofaring yang Terpasang Trakeostomi
di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais
Tahun 2022 (N=65)...............................................................................52

x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Alat Pulse Oximetry untuk Mengukur Saturasi Oksigen.................34
Gambar 2.2 Kerangka Konsep..............................................................................40

xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

Lampiran 1. Riwayat Hidup................................................................................65


Lampiran 2. Permohonan Izin Penelitian............................................................66
Lampiran 3. Balasan Izin Penelitian...................................................................67
Lampiran 4. Lembar Informed Consent..............................................................68
Lampiran 5. Lembar persetujuan Menjadi Responden.......................................69
Lampiran 6. Lembar Observasi...........................................................................70
Lampiran 7. Kerangka Teori...............................................................................71
Lampiran 8. Master Data.....................................................................................72
Lampiran 9. Hasil Output SPSS..........................................................................75
Lampiran 10. Lembar Konsultasi..........................................................................78

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kanker nasofaring merupakan suatu keganasan yang memiliki
karakteristik epidemiologi yang unik, dengan insiden yang bervariasi sesuai
ras dan perbedaan geografi (Sudiono dan Hassan, 2019). Secara umum,
kanker nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang
hidung dan belakang langit – langit rongga mulut. Di bagian THT, kanker
nasofaring merupakan keganasan paling banyak atau tertinggi di seluruh yang
banyak mengenai laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan
tiga berbanding satu. Beberapa faktor etiologi seperti merokok, alkoholisme,
genetik, polusi, asap pembakaran, konsumsi makanan yang dibakar, makanan
yang diawetkan dengan cara diasinkan, diasap, ataupun formalin dan adanya
Epsteinbar Virus (EBV) atau virus yang bisa ditemukan di daerah nasofaring
yang berhubungan langsung dengan kanker nasofaring (Ariwibowo, 2020).
Global Burden of Cancer Study (Globocan) dari World Health
Organization (WHO) mencatat angka insidensi kanker nasofaring di dunia
kurang dari 1 per 100.000 setiap tahunnya. Prevalensi karsinoma nasofaring
lebih tinggi pada beberapa regio, seperti Cina, Hong Kong dan Asia Tenggara
dengan insidensi 10-30 kali lipat lebih tinggi dibandingkan wilayah lain.
Terdapat 81% kasus baru terjadi di Asia dan 9% kasus terjadi di Afrika setiap
tahun. Sedangkan di Inggris, insidensi karsinoma nasofaring cenderung lebih
rendah, yaitu 0,25 per 1.000.000 penduduk setiap tahunnya (Anggita, 2022).
Indonesia sendiri menurut Global Burden of Cancer Study (Globocan)
dari World Health Organization (WHO) mencatat bahwa kanker nasofaring
berada pada urutan kelima penyakit kanker terbesar dimana pada urutan
pertama didominasi oleh kanker payudara sebesar 65.858 jiwa, kedua kanker
serviks sebesar 36.633 jiwa, ketiga kanker paru-paru sebesar 34.783 jiwa,
keempat yaitu kanker hati sebesar 21.392 jiwa lalu disusul kelima yaitu
2

kanker nasofaring sebesar 19.943 jiwa (Rizaty, 2021). Rumah Sakit Kanker
Dharmais merupakan rumah sakit kanker yang berada di provinsi DKI Jakarta
pada tahun 2020 pasien dengan kanker nasofaring sebesar 189 jiwa,
sementara itu pada tahun 2021 mencapai 197 jiwa. Hal ini menandakan
bahwa penyakit kanker nasofaring mengalami peningkatan setiap tahunnya
(Rumah Sakit Kanker Dharmais, 2022).
Penderita kanker nasofaring, gejala yang ditimbulkan dapat dibagi
menjadi gejala awal dan gejala lanjut. Gejala awal yang biasanya muncul
antara lain telinga berdenging, terasa penuh dan kemampuan pendengaran
yang menurun. Selain itu, hidung penderita akan merasa tersumbat karena
pilek yang kronik hingga terdapat lendir bercampur dengan darah. Sedangkan
gejala lanjut yang dialami oleh penderita kanker nasofaring meliputi adanya
gejala perluasan intrakranial yang ditandai dengan sakit kepala kronik, mata
juling (diplopia), nyeri wajah, wajah kebas dan munculnya benjolan leher
yang semakin lama semakin membesar namun tidak menimbulkan nyeri
(Wijaya dan Soeseno, 2017).
Salah satu terapi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan terapi
pembedahan yaitu dengan cara trakeostomi. Trakeostomi adalah prosedur
pembedahan dengan memasang slang melalui sebuah lubang ke dalam trakea
untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas atau mempertahankan jalan
nafas dengan cara menghisap lendir, atau untuk penggunaan ventilasi
mekanik yang kontinu (Marelli, 2018). Menurut Novialdi dan Surya (2019)
manfaat trakeostomi diantaranya adalah meningkatkan kenyamanan pasien,
kebersihan rongga mulut, kemampuan untuk berkomunikasi, kemungkinan
makan secara oral serta perawatan yang lebih mudah dan aman dan memiliki
potensi untuk menurunkan penggunaan obat sedasi dan analgesic sehingga
dapat menfasilitasi proses penyapihan dan menghidari pneumonia akibat
ventilator mekanik.
Perawatan pasien pasca trakeostomi sangatlah penting, karena
perawatan yang buruk dapat mengakibatkan kematian. Kematian yang sering
3

terjadi biasanya disebabkan oleh sumbatan pada kanul karena penumpukan


sekret/ retensi sputum (Dina, 2019).
Keberadaan dahak/lendir di tenggorokan tetap dibutuhkan, akan tetapi
terkadang produksi dahak/lendir di tenggorokan meningkat. Kondisi tersebut
justru menimbulkan banyak gangguan dan rasa tidak nyaman di bagian
tenggorokan (Dyiah, 2019). Menurut Law (2019) tanda-tanda klinis retensi
sputum adalah gangguan pernapasan dengan cepat, pernapasan dangkal dan
seperti berbuih. Rogers dan Duncan (2019) menjelaskan jika sputum berlebih
mempengaruhi saluran nafas diantaranya mengalami obstruksi saluran nafas
yang berdampak pada menurunnya saturasi oksigen yang ditandai dengan
sianosis (Kozier, 2019).
Apabila retensi sputum tidak baik maka akan mengakibatkan terjadinya
hipoksia atau hipoksemia dimana saturasi oksigen berada di bawah 95%. Hal
ini dapat dilihat dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Septimar dan Novita (2018) didapatkan hasil rata-rata saturasi O2 pasien
sebelum dilakukan suction adalah 95,78% setelah dilakukan suction adalah
97,25% sehingga terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata saturasi
oksigen pasien kritis di ICU sebelum dan setelah dilakukan suction sebesar
0,000. Langkah pertama yang penting untuk mengenali akan terjadinya gagal
napas adalah kewaspadaan terhadap keadaan dan situasi yang dapat
menimbulkan gagal napas.
Hasil penelitian lainnya dilakukan oleh Wulan dan Huda (2022)
didapatkan rata-rata sebelum suction terdapat 93.38% sedangkan setelah di
suction nilai rata-rata sebesar 94.19%. didapatkan nilai mean rank 4,50%
artinya nilai posttes lebih tinggi dengan nilai pretest. Hasil uji statistik
didapatkan nilai p 0,009 (< 0,05) maka dapat disimpulkan Ho ditolak
sehingga dapat diartikan secara statistik terdapat pengaruh sebelum dan
sesudah tindakan suction yang signifikan terhadap saturasi oksigen pada
responden yang di rawat di ICU RSUD RAA Soewondo Pati.
Menurut Maisyaroh (2020) pasien dengan penurunan kesadaran atau
sedang terpasang jalan napas buatan beresiko mengalami obstruksi jalan nafas
4

karena kehilangan reflek protektif. Penghisapan sangat di perlukan untuk


membersihkan jalan napas dan mempertahankan jalan nafas yang paten dan
mencegah infeksi akibat akumulasi secret karena pada pasien sakit kritis
sebagian mengalami kegagalan fungsi organ yang mengancam jiwa, untuk itu
perlunya support teknologi yang tinggi untuk membantu kelangsungan hidup
pasien. Maka tindakan suction diperlukan untuk memperbaiki keadaan
respirasi responden.
Berdasarkan data survey pendahuluan kepada 5 pasien dengan kanker
nasofaring yang terpasang trakheostomi datang ke IGD (Instalasi Gawat
Darurat) Rumah Sakit Kanker Dharmais dengan keluhan secara keseluruhan
mengalami sesak nafas. Saat dilakukan saturasi seluruhnya mengalami
hipoksia baik hipoksia ringan (91-94%) sebanyak 2 orang (40%), ada juga
yang mengalami hipoksia sedang (85-90%) sebanyak 3 orang (60%). Saat
dilakukan section ada yang mudah dikeluarkan ada juga yang sulit
dikeluarkan sehingga harus dilakukan pemasangan nebulizer terlebih dahulu
untuk mengencerkan sputum yang ada di dalam salurang nafas pasien.
Berdasarkan latar belakang dan studi pendahuluan peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Retensi Sputum dengan
Saturasi Oksigen pada Pasien Kanker Nasofaring yang Terpasang
Trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais
Tahun 2022”.

B. Rumusan Masalah
Mengacu pada pemikiran diatas dan memperhatikan pada latar
belakang masalah, maka peneliti kemukakan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah gambaran retensi sputum pada pasien kanker nasofaring
yang terpasang trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Kanker Dharmais Tahun 2022?
5

2. Bagaimanakah gambaran saturasi oksigen pada pasien kanker nasofaring


yang terpasang trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Kanker Dharmais Tahun 2022?
3. Adakah hubungan retensi sputum dengan saturasi oksigen pada pasien
kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan retensi sputum dengan saturasi oksigen
pada pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi di IGD
(Instalasi Gawat Darurat) Rumah Sakit Kanker Dharmais.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran retensi sputum pada pasien kanker nasofaring
yang terpasang trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Kanker Dharmais Tahun 2022.
b. Mengetahui gambaran saturasi oksigen pada pasien kanker
nasofaring yang terpasang trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022.
c. Mengetahui hubungan retensi sputum dengan saturasi oksigen pada
pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi di Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai referensi bahan ajar yang
terbaru terkait tentang hubungan retensi sputum dengan saturasi oksigen
pada pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi dan pedoman
untuk memberikan pelayanan di ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat)
bagi pasien yang mengalami hipoksia.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit
6

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai


informasi tambahan perawat dalam memberikan pendidikan
kesehatan dan meningkatkan pelayanan keperawatan tentang
hubungan retensi sputum dengan saturasi oksigen pada pasien
kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi rumah
sakit untuk menyusun kebijakan dalam rangka peningkatan mutu
pelayanan kesehatan.
b. Bagi Perawat
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman dan
untuk meningkatkan mutu pelayanan di Instalasi Gawat Darurat
khususnya yang berkaitan dengan upaya penanganan pada pasien
kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi yang mengalami
retensi sputum sehingga dapat ditangani dengan segera agar saturasi
oksigen dapat membaik kembali.
c. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi pasien
tentang pentingnya merawat kanule saat dirumah agar tidak terjadi
infeksi yang berdampak pada saturasi oksigen menjadi rendah.
d. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini merupakan penelitian yang baru sehingga belum
ditemukan pembanding, Diharapkan hasil penelitian ini dapat
menjadi referensi dan bahan masukan yang bermanfaat dan data bagi
mahasiswa jurusan keperawatan pada penelitian berikutnya yang
berkaitan dengan hubungan retensi sputum dengan saturasi oksigen
pada pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori
1. Kanker Nasofaring
a. Pengertian Kanker Nasofaring
Kanker atau karsinoma adalah pembentukan jaringan baru
yang abnormal dan bersifat ganas, disebabkan oleh adanya
sekelompok sel yang secara mendadak menjadi liar dan
memperbanyak diri secara pesat dan terus – menerus (Tambayong,
2020). Nasofaring adalah suatu rongga kecil seperti kotak dilapisi
mukosa pada basis kranii yang mengandung tonsil faringeal dan
muara tuba esthachiusdan sinus sfenoideus (Schrock, 2020).
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul
pada daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang
hidung). Nasofaring adalah struktur kuboid yang dilapisi oleh epitel
kolumnar mukosilar berlapis. KNF biasanya berasal dari dinding
lateral nasofaring, yang meliputi fosa Rosenmuller. Fossa
Rosenmuller adalah tempat tersering untuk tumbuhnya tumor ganas
tersebut (Sudiono dan Hassan, 2019).
Berdasarkan pernyataan diatas dapat diketahui karsinoma
nasofaring (KNF) adalah tumor ganas epitel karsinoma yang berasal
dari epitel nasofaring. Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa
rossenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok serta dasar
tenggorok.
b. Etiologi dan Faktor Resiko Kanker Nasofaring
Penyebab kanker nasofaring belum diketahui secara pasti,
namun beberapa hal yang perlu diperhatikan yang dapat menjadi
faktor resiko terhadap terjadinya kanker nasofaring menurut
Ariwibowo (2020) antara lain:
8

1) Virus Epstein Barr (EBV)


Epstein-Barr Virus (EBV) adalah virus herpes yang dapat
menyerang semua organ tubuh manusia, virus ini menginfeksi
90% populasi orang dewasa di dunia. Sebagian besar sampel
pada penderita kanker nasofaring terdeteksi adanya EBV
terutama pada tipe undifferential. International Agency for
Research on Kankerncer (IARC) mengkategorikan EBV sebagai
kelompok karsinogenik karena keterkaitannya dengan kanker
nasofaring. pada penelitian in vitro didapatkan bahwa infeksi
EBV yang menetap pada sel epitel yang mengakibatkan sel
epitel menjadi rentan terhadap paparan zat karsinogenik.
2) Life style
Life style (gaya hidup) yang tidak sehat juga menjadi salah
satu faktor pencetus kejadian kanker nasofaring. Sebagai contoh
merokok atau mengonsumsi tembakau. Rokok menjadi salah
satu penyebab penyakit kanker. Merokok mengakibatkan
kematian dengan angka kejadian 4 sampai 5 juta pertahun dan
akan meningkat menjadi 10 juta pertahun pada 2030. Tembakau
atau rokok memiliki lebih dari 4000 zat karsinogenik, salah
satunya adalah nitrosamin yang meningkatkan faktor risiko
terjadinya kanker nasofaring.
3) Pajanan pekerjaan
Pajanan pekerjaan seperti debu, asap, atau bahan kimia
lain dapat meningkatkan risiko kanker nasofaring 2 sampai 6
kali lipat. Pajanan pekerjaan formaldehide meningkatkan risiko
kanker nasofaring 2 samai 4 kali. Formaldehide menyebabkan
inflamasi pada jalan nafas, berkurangnya kemampuan
pembersihan mukosiliar dan perubahan pada sel epitel karena
tertumpuknya debu, asap, dan pelarut serta pengawet kayu.
9

4) Makanan
Konsumsi ikan asin merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya kanker nasofaring karena kandungan nitrosiamin.
Nitrosiamin merupakan suatu molekul yang terdiri dari nitrogen
dan oksigen. Nitrosiamin dibagi menjadi 2, yaitu nitrosiamin
endogen dan eksogen. Nitrosiamin endogen berasal dari
berbagai makanan yang dicerna, sedangkan nitrosiamin eksogen
berasal dari bahan makanan, kosmetik, limbah industri, rokok
(tembakau) yang mengandung bahan nitrosiamin. Ikan asin
juga mengandung bakteri mutagen dan komponen yang dapat
mengaktifkan Epstein-Barr virus. Apabila dikonsumsi dalam
jangka waktu lama dan terus-menerus akan meningkatkan risiko
kanker nasofaring.
5) Genetik
Genetik juga tidak kalah berpengaruh terhadap risiko
terjadinya kanker nasofaring. Human Leucocyt Antigen (HLA)
menjadi salah satu faktor yang membuat genetik berisiko
terhadap kanker nasofaring. Riwayat keluarga dengan kanker
nasofaring membuat peningkatan risiko 2 sampai 4 kali. Selain
itu, kelainan genetik juga dapat menjadi risiko terjadinya kanker
nasofaring. reseptor immunoglobulin PIGR (Polymeric
Immunoglobulin Receptor) pada sel epitel dapat menjadi
penghantar masuknya Epstein-Barr virus ke nasofaring.
6) Riwayat infeksi di area nasofaring
Riwayat infeksi di area nasofaring memperlihatkan adanya
proses menahun yang berpotensi berubah menjadi kanker sel
epitel nasofaring.
7) Jenis kelamin
Angka kejadian kanker nasofaring pada populasi pria dua
sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan wanita. Beberapa
10

sumber menyebutkan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi


kanker nasofaring karena wanita memiliki angka kesehatan yang
lebih baik. Adanya efek proteksi dari esterogen sebagai
penyebab angka kejadian kanker nasofaring lebih rendah pada
wanita.
c. Tanda dan Gejala Kanker Nasofaring
Penelitian yang dilakukan Wijaya dan Soeseno (2017) tanda
dan gejala yang sering muncul pada penderita kanker nasofaring
dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:
1) Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan
hidung dan pilek Gejala sumbatan hidung yang didahului oleh
epitaksis yang berulang. Pada keadaan lanjut tumor masuk ke
dalam rongga hidung dan sinus paranasal.
2) Gangguan pada telinga. Gangguan pada telinga merupakan
gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor. Gangguan
dapat berupa tinitus, rasa penuh di telinga, berdengung sampai
rasa nyeri di telinga.
3) Gangguan penglihatan sehingga penglihatan menjadi diplopia
(penglihatan ganda). Gejala dimata terjadi karena tumor
berinfiltrasi ke rongga tengkorak, dan yang pertama terkena
ialah saraf otak ke 3, 4 dan 6, yaitu yang mempersarafi otot-otot
mata, sehingga menimbulkan gejala diplopia. Gejala yang lebih
lanjut ialah gejala neurologik, karena infiltrasi tumor ke
intrakranial melalui foramen laserum, dapat mengenai saraf otak
ke 3, sehingga mengenai saraf otak ke 9, 10, 11 dan 12, dan bila
keadaan ini terjadi prognosisnya buruk.
4) Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher. 60
– 90 % penderita KNF terjadi pembengkakan KGB di leher.
d. Etiologi dan Klasifikasi Kanker Nasofaring
Etiologi karsinoma nasofaring sudah hampir dapat dipastikan
bahwa faktor pencetus terbesarnya ialah suatu jenis virus yang
11

disebut virus Epstein-Barr karena pada semua pasien nasofaring


didapatkan titer anti-virus Epstein-Barr (EB) yang cukup tinggi.
Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher
dan kepala lainnya dan tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada
kelainan nasofaring yang lain sekalipun. Menentukan stadium
dipakai sistem TMN (sistem tumor- kelenjar-metastasis) menurut
American Joint Committee on Cancer (AJCC) / UICC (Union
Internationale Contre Cancer) (2010) dalam Soepardi et al (2020)
untuk kanker nasofaring dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel II.1
Klasifikasi stadium TNM (Sistem Tumor-Kelnjar-Metastasis)

Sumber : Soepardi et al (2020)


Berdasarkan TNM (sitemtumor-kelenjar-metastasis) tersebut,
stadium penyakit dapat dikelompokkan berdasarkan American Joint
12

Committee on Cancer (AJCC) (2010) dalam Soepardi et al (2020)


dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel II.2
Stadium Kanker Nasofaring

Sumber : Soepardi et al (2020)


Keterangan :
1) Stadium 0 = Tumor terbatas di nasofaring, tidak ada
pembesaran, tidak ada metastasis jauh.
2) Stadium II = Tumor terbatas di nasofaring, metastasis kelenjar
getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau
sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula, tidak ada
metastasis jauh. Terjadi perluasan tumor ke rongga hidung tanpa
perluasan ke parafaring, metastasis kelenjar getah bening
unilateral. Disertai perluasan ke parafaring, tidak ada
pembesaran dan metastasis kelenjar getah bening unilateral,
dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas
fossa supraklavikula, tidak ada metastasis jauh.
3) Stadium III = Tumor terbatas di nasofaring, metastasis kelenjar
getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula, dan tidak ada
metastasis jauh.
13

4) Stadium IVA = Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau


terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal,
hipofaring, orbita atau ruang mastikator. Tidak ada pembesaran
dan metastasis kelenjar getah bening unilateral serta metastasis
kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang
atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula. Tidak ada
metastasis jauh.
5) Stadium IVB = Tumor primer, tidak tampak tumor, tumor
terbatas di nasofaring, tumor meluas ke jaringan lunak,
perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa
perluasan ke parafaring, disertai perluasan ke parafaring, tumor
menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal, tumor
dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat keterlibatan
saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang
mastikator. Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan
ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa
supraklavikula. Tidak ada pembesaran.
6) Stadium IVC=Tumor primer, tidak tampak tumor, tumor
terbatas di nasofaring, tumor meluas ke jaringan lunak,
perluasan tumor ke rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring. Bisa jadi disertai perluasan ke parafaring, tumor
menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal, tumor
dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan
saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang
mastikator. Selain itu dapat juga pembesaran kelenjar getah
bening regional, pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat
dinilai, tidak ada pembesaran, metastasi kelenjar getah bening
unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6
cm, diatas fossa supraklavikula, metastasis kelenjar getah bening
bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm,
diatas fossa supraklavikula, Metastasis kelenjar getah bening
14

bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak di


dalam fossa supraklavikula, ukuran lebih dari 6 cm, di dalam
supraklavikula, dan terdapat metastasis jauh.
e. Diagnosa Kanker Nasofaring
Tambunan (2020) diagnose kanker nasofaring ditegakan
berdasarkan :
1) Simptom/ gejala
2) Pemeriksaan nasofaring. Pemeriksaan tumor primer nasofaring
dapat dilakukan dengan cara: rinoskopi posterior (tidak
langsung), dan nasofaringoskopi serta fibernasofaringskopi.
3) Radiologi. Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring
dan mengevaluasi invasi pada jaringan sekitarnya. Yang biasa
dilakukan adalah pemeriksaan dengan CT scan dan foto
nasofaring.
4) Patologi. Pemeriksaan patologi seperti sitologi, sitologi biopsi
aspirasi KGB, histopatologi.
f. Terapi Kanker Nasofaring
Menurut Sudiono dan Hassan (2019) kanker nasofaring selama
ini dikenal bukan hanya radiosensitive tetapi juga kemosensitive dan
menunjukan respon yang besar pada berbagai agent kemoterapi,
sehingga berdasarkan beberapa hasil penelitian, pengobatan
kombinasi kemoterapi dengan terapi radiasi pada pasien kanker
nasofaring dengan stadium III dan IV menunjukan hasil peningkatan
kontrol lokal, menurunkan laju metastasis sistemik dan
meningkatkan disease free dan overall survival pada pasien dengan
dengan obat kemoterapi berbasis cisplatin. Beberapa
penatalaksanaan kanker nasofaring menurut Fasial (2020) tergantung
stadium klinis penyakit yaitu :
1) Terapi penyinaran (radioterapi)
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan
penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring.
15

Penatalaksanaan pertama untuk kanker nasofaring adalah


radioterapi atau dengan kemoterapi. Radioterapi adalah metode
pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan sinar peng-
ion. Radioterapi bertujuan untuk mematikan sel – sel tumor
sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat disekitar
tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Hasil
pengobatan yang dinyatakan dalam angka respon penyinaran
tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor,
makin berkurang responnya.
2) Kemoterapi
Kemoterapi adalah pengobatan kanker dengan
menggunakan obat - obatan atau hormon. Sebagian besar obat
kemoterapi diberikan secara intravena (IV) atau secara oral.
Obat – obatan tersebut diberikan selama beberapa hari dan
diselingi dengan istirahat beberapa minggu, untuk memberikan
kesempatan bagi jaringan normal untuk tumbuh kembali yang
disebut dengan siklus kemoterapi. Berdasarkan siklus sel, obata
dapat digolongkan dalam 2 golongan yaitu Cell Cycle Spesific
(CCS) yang memperlihatkan toksisitas selektif terhadap fase –
fase tertentu dari siklus sel dan Cell Cycle Non Spesific (CCNS)
yang bekerja pada semua siklus.
3) Pembedahan (Operasi)
Untuk kontrol lokal tidak disarankan untuk pembedahan
karena posisi anatomi kanker nasofaring dan cenderung adanya
kehadiran metastasis kelenjar getah bening pada leher.
Penggunaan terapi pembedahan memiliki peran terbatas pada
terapi kanker nasofaring karena pada pembedahan tumor sulit
dijangkau

2. Trakeostomi
a. Pengertian
16

Trakeostomi adalah prosedur pembedahan dengan memasang


slang melalui sebuah lubang ke dalam trakea untuk mengatasi
obstruksi jalan nafas bagian atas atau mempertahankan jalan nafas
dengan cara menghisap lendir, atau untuk penggunaan ventilasi
mekanik yang kontinu. Trakeostomi dapat digunakan sementara
yaitu jangka pendek untuk masalah akut, atau jangka panjang
biasanya permanen dan slang dapat dilepas (Marelli, 2018).
Trakeostomi adalah prosedur dimana dibuat lubang ke dalam trakea,
ketika selang indweling dimasukkan ke dalam trakea, maka istilah
trakeostomi digunakan. Keputusan untuk melakukan trakeostomi
pada umumnya dapat dilakukan dalam waktu 7 hari dari intubasi
(Smeltzer dan Bare, 2019).
b. Manfaat
Menurut Novialdi dan Surya (2019) trakeostomi memiliki
kelebihan apabila dibandingkan dengan intubasi endotrakeal jangka
panjang antara lain:
1) Meningkatkan kenyamanan pasien
2) Kebersihan rongga mulut
3) Kemampuan untuk berkomunikasi
4) Kemungkinan makan secara oral serta perawatan yang lebih
mudah dan aman
5) Memiliki potensi untuk menurunkan penggunaan obat sedasi
dan analgesic sehingga dapat menfasilitasi proses penyapihan
dan menghidari pneumonia akibat ventilator mekanik.
c. Indikasi
Menurut Novialdi dan Surya (2019) indikasi dasar trakeostomi
secara garis besar adalah :
1) Pintas (bypass) Obstruksi jalan nafas atas
2) Membantu respirasi untuk periode yang lama
3) Membantu bersihan sekret dari saluran nafas bawah
17

4) Proteksi traktus trakeobronkhial pada pasien dengan resiko


aspirasi
5) Trakeostomi elektif, misalnya pada operasi bedah kepala leher
sehingga memudahkan akses dan fasilitas ventilasi.
6) Untuk elektif, misalnya pada operasi bedah kepala leher
7) Untuk mengurangi kemungkinan timbulnya stenosis subglotis.
d. Klasifikasi
Menurut Hadikawarta, et al. (2020), trakeostomi dibagi atas 2
(dua) macam, yaitu berdasarkan letak trakeostomi dan waktu
dilakukan tindakan. Berdasarkan letak trakeostomi terdiri atas letak
rendah dan letak tinggi dan batas letak ini adalah cincin trakea
ketiga. Sedangkan berdasarkan waktu dilakukan tindakan maka
trakeostomi dibagi dalam:
1) Trakeostomi darurat (dalam waktu yang segera dan persiapan
sarana sangat kurang)
2) Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat
dilakukan secara baik.
e. Teknik
Menurut Novialdi dan Surya (2019), berikut teknik trakeostomi :
1) Trakeostomi emergensi
Trakeostomi emergensi relatif jarang dilakukan dan
penyebab yang sering adalah obstruksi jalan nafas atas yang
tidak bisa diintubasi. Anoksia pada obstruksi jalan nafas akan
meyebabkan kematian dalam waktu 4-5 menit dan tindakan
trakeostomi harus dilakukan dalam 2-3 menit. Teknik insisi
yang paling baik pada trakeostomi emergensi adalah insisi kulit
vertikal dan insisi vertikal pada cincin trakea kedua dan ketiga
2) Trakeostomi elektif
Saat ini mayoritas tindakan trakeostomi dilakukan secara
elektif atau semi-darurat. Trakeostomi elektif paling baik
18

dilaksanakan diruang operasi dengan bentuan dan peralatan


yang adekuat.
3) Trakeostomi dilatasi perkutaneus
Trakeostomi dilatasi perkutaneus adalah suatu teknik
trakeostomi minimal invasif sebagai alternatif terhadap teknik
konvensional. Trakeostomi dilatasi perkutaneus (TDP)
dilakukan dengan cara menempatkan kanul trakeostomi dengan
bantuan serangkaian dilator dibawah panduan endoskopi.
f. Komplikasi
Menurut Smeltzer & Bare (2019) komplikasi yang terjadi
dalam penatalaksanaan selang trakeostomi dibagi atas:
1) Komplikasi dini
a) Perdarahan
b) Pneumothoraks
c) Embolisme udara
d) Aspirasi
e) Emfisema subkutan atau mediastenum
f) Kerusakan saraf laring kambuhan atau penetrasi sinding
trakea posterior
2) Komplikasi jangka panjang
a) Obstruksi jalan nafas akibat akumulasi sekresi
b) Infeksi
c) Ruptur arteri inominata
d) Disfagia
e) Fistula trakeoesofagus
f) Dilatasi trakea atau iskemia trakea
g) Nekrosis
g. Jenis Kanul
Kanul trakeostomi yang ideal harus cukup kaku untuk dapat
mempertahankan jalan nafas namun cukup fleksibel untuk
membatasi kerusakan jaringan dan memberikan kenyamanan pada
19

pasien. Kanul trakeostomi dibagi menjadi 2 bahan yaitu bahan


plastik dan bahan metal. Secara umum, kanul trakeostomi yang
terbuat dari bahan plastik lebih disukai dibandingkan bahan bahan
logam. Hal ini disebabkan bahan plastik lebih fleksibel dan nyaman
serta sedikit traumatik ke jaringan sekitarnya. Kanul trakeostomi
tersedia dengan kanul dalam (kanul ganda) dan tanpa kanul
dalam.Kanul ganda memiliki kanul dalam yang dapat menjaga kanul
tetap bersih sehingga mencegah sumbatan total kanul (Dina :2019)
Menurut Novialdi dan Surya (2019). Berikut beberapa jenis
kanul trakeostomi adalah:
1) Kanul dengan Cuff
Kanul ini diindikasikan suction. Tekanan uadara dalam
cuff dipertahankan 20-25 mmHg, jika tekanan cuff lebih tinggi
dapat menekan kapiler, menyebabkan iskemia mukosa dan
stenosis trakea. Jika tekanan cuff lebih rendah dapat
menyebabkan mikroaspirasi dan meningkatkan pneuomonia
nosokomial. Kanul ini relatif dikontraindikasikan pada anak-
anak usia kurang dari 12 tahun karena adanya resiko kerusakan
perkembangan membran trakea, memiliki cincin trakea yang
sempit terutama sekitar cincin krikoid sehingga kebocoran
udaranya minimal. Kanul ini memberikan jalan nafas yang aman
sampai pasien bisa dilepaskan dari ventilator dan sudah dapat
mengeluarkan sekretnya sendiri. Sebagian besar balon yang
digunakan berbentuk barel dengan volume yang tinggi dan
tekanan yang rendah untuk mendistribusikan tekanan dalam
balon sehingga dapat mengurangi ulserasi trakea, nekrosis dan
atau stenosis. Komplikasi dari kanul tipe ini adalah adanya
gangguan menelan karena balon akan menghalangi elevasi
laring saat proses menelan sehingga tidak ada proteksi dari
aspirasi sekret.
2) Kanul tanpa cuff
20

Tipe ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak


membutuhkan ventilasi tekanan positif jangka lama, tidak
adanya resiko aspirasi seperti pada pasien yang mengalami
kelumpuhan pita suara, tumor kepala dan leher, gangguan
neuromuskular, anak- anak dan neonatus.

3) Fenestrated tubes
Kanul ini mempunyai lobang tunggal atau multiple pada
lengkungan kanul. Kanul ini tersedia dengan atau tanpa balon
4) Extended tube tracheostomy
Kanul ini lebih panjang. Biasanya digunakan pada pasien
dengan pembesaran kelenjar tyroid atau pasien yang mengalami
penebalan jaringan lunak leher, trakeomalasia, stenosis trakea
pada level yang rendah, khypoidosis. Kanul ini tersedia dengan
atau tanpa anak kanul.
h. Perawatan Pasca Trakeostomi
Perawatan pasien pasca trakeostomi di ICU dan ruang rawat
inap sangatlah penting, karena perawatan yang buruk dapat
mengakibatkan kematian. Kematian yang sering terjadi biasanya
disebabkan oleh sumbatan pada kanul karena penumpukan sekret.
Perawatan pasca trakeostomi menurut Dina (2019) antara lain:
1) Pemberian humidifikasi buatan yaitu melembabkan udara
pernafasan dengan alat nebulizer tujuannya adalah untuk
mencegah terjadinya kekeringan pada trakea, traketis atau
terbentuknya krusta.
2) Pengisapan sekret secara berkala untuk menurunkan risiko
sumbatan pada kanul trakeostomi dan pengisapan dilakukan
secara steril untuk mencegah infeksi.
3) Pembersihan canul dalam, dilakukan untuk mencegah adanya
secret yang menyumbat yaitu dengan cara merendam dalam air
hangat kemudian disikat kemudian dibilas dengan air
21

hangat.Selama pembersihan kanul dalam dipasang kanul


pengganti.
4) Perawatan stoma lubang pada trakeostomi karena seringnya
banyak sekret disekitarnya yaitu dengan pemberian kassa pada
stoma dilakukan setiap hari untuk mencegah eskoriasis dan
infeksi luka operasi.
3. Sputum
a. Pengertian Sputum
Sputum adalah lendir dan materi lainnya yang dibawa dari
paru-paru, bronkus, dan trakea yang mungkin dibatukkan dan
dimuntahkan atau ditelan. Kata sputum yang dipinjam langsung dari
bahasa Latin meludah, disebut juga dahak (Dorland, 2021). Orang
dewasa normal membentuk sputum ± 100 ml/hari, jika produksi
berlebihan, proses pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga
sputum akan tertimbun. Perlu dipelajari sumber sputum, warna,
volume, dan kosistensi sputum (Muttaqin, 2018).
Retensi sputum adalah suatu keadaan di mana pasien tidak
dapat membersihkan sekret dari saluran pernapasan mereka sendiri
ataupun dengan bantuan. Sekresi trakeobronkial merupakan bagian
penting dari pertahanan sistem pernapasan. Sekresi berlebih yang
dibersihkan dari saluran udara melalui proses batuk dikenal sebagai
dahak (sputum), produksinya selalu normal. Warna, konsistensi, bau
dan volume sputum dapat menyediakan informasi untuk mendukung
diagnosis dan pengelolaan kondisi klinis pasien (Somantri, 2021).
b. Proses Terbentuknya Sputum
Orang dewasa normal bisa memproduksi mucus sejumlah 100
ml dalam saluran napas setiap hari. Mucus ini digiring ke faring
dengan mekanisme pembersihan silia dari epitel yang melapisi
saluran pernapasan. Keadaan abnormal produksi mucus yang
berlebihan (karena gangguan fisik, kimiawi atau infeksi yang terjadi
pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak
22

berjalan secara normal sehingga mucus ini banyak tertimbun. Bila


hal ini terjadi membran mukosa akan terangsang dan mukus akan
dikeluarkan dengan tekanan intra thorakal dan intra abdominal yang
tinggi, dibatukkan udara keluar dengan akselerasi yg cepat beserta
membawa sekret mucus yang tertimbun tadi. Mucus tersebut akan
keluar sebagai sputum. Sputum yang dikeluarkan oleh seorang
pasien hendaknya dapat dievaluasi sumber, warna, volume dan
konsistensinya, kondisi sputum biasanya memperlihatkan secara
spesifik proses kejadian patologic pada pembentukan sputum itu
sendiri (Price, et al, 2019).
c. Klasifikasi Sputum
Klasifikasi sputum dan kemungkinan penyebabnya menurut
Price, et al., (2019):
1) Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokan
kemungkinan berasal dari sinus atau saluran hidung bukan
berasal dari saluran napas bagian bawah.
2) Sputum banyak sekali dan purulen kemungkinan proses
supuratif.
3) Sputum yg terbentuk perlahan dan terus meningkat
kemungkinan tanda bronchitis /bronkhiektasis.
4) Sputum kekuning-kuningan kemungkinan proses infeksi
5) Sputum hijau kemungkinan proses penimbunan nanah, warna
hijau ini dikarenakan adanya verdoperoksidase, sputum hijau ini
sering ditemukan pada penderita bronkhiektasis karena
penimbunan sputum dalam bronkus yang melebar dan terinfeksi.
6) Sputum merah muda dan berbusa kemungkinan tanda edema
paru akut.
7) Sputum berlendir, lekat, abu-abu/putih kemungkinan tanda
bronchitis kronik.
8) Sputum berbau busuk kemungkinan tanda abses paru/
bronkhiektasis.
23

9) Berdarah atau hemoptisis sering ditemukan pada Tuberculosis.


10) Berwarna-biasanya disebabkan oleh pneumokokus bakteri
(dalam pneumonia).
11) Bernanah mengandung nanah, warna dapat memberikan
petunjuk untuk pengobatan yang efektif pada pasien bronkitis
kronis.
12) Warna (mukopurulen) berwarna kuning-kehijauan menunjukkan
bahwa pengobatan dengan antibiotik dapat mengurangi gejala.
13) Warna hijau disebabkan oleh Neutrofil myeloperoxidase
14) Berlendir putih susu atau buram sering berarti bahwa antibiotic
tidak akan efektif dalam mengobati gejala. Informasi ini dapat
berhubungan dengan adanya infeksi bakteri atau virus meskipun
penelitian saat ini tidak mendukung generalisasi itu.
15) Berbusa putih-mungkin berasal dari obstruksi atau bahkan
edema.
d. Kualitas Pengeluaran Sputum
Memperoleh kondisi sputum yang baik perawat harus
memberikan penjelasan mengenai pentingnya pemeriksaan sputum
baik, pemeriksaan pertama maupun pemeriksaan sputum ulang.
Memberi penjelasan tentang batuk yang benar untuk mendapatkan
sputum yang dibatukkan dari bagian dalam paru-paru setelah
beberapa kali bernafas dalam dan tidak hanya air liur dari dalam
mulut. Teliti pula volume sputumnya yaitu 3-5 ml, kondisi sputum
untuk pemeriksaan laboratorium adalah penting, sputum yang baik
mengandung beberapa partikel atau sedikit kental dan berlendir
kadang-kadang malah bernanah dan berwarna hijau kekuningan
(Tabrani, 2019).
Ketika menerima spesimen sputum didapatkan 5 kriteria
kondisi sputum menurut Price, et al., (2019) yaitu :
1) Purulen yaitu kondisi sputum dalam keadaan kental dan lengket
24

2) Mukopurulen yaitu kondisi sputum dalam keadaan kental,


kuning kehijauan
3) Mukoid yaitu kondisi sputum dalam keadaan berlendir dan
kental
4) Hemoptisis yaitu kondisi sputum dalam keadaan bercampur
darah
5) Saliva yaitu air liur
Cara mengukur kualitas sputum yang baik yaitu karakteristik
sputum dilihat dari warna, kekentalan dan jumlah sputum,
dikategorikan baik dan tidak baik dimana sputum berwarna kuning
kehijauan/mukopurulen, kental atau mukoid serta berjumlah 3-5ml
(Tabrani, 2019).
e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Sputum
Tenggorokan selalu berdahak bukannya terjadi tanpa sebab.
Pada dasarnya, dahak atau lendir memang tetap dibutuhkan di bagian
tenggorkan kita untuk menjaga kondisi tenggorokan agar selalu
dalam keadaan lembab dan membantu sistem pernapasan. Lendir di
tenggorokan memiliki beberapa fungsi diantaranya untuk menjaga
kondisi tenggorokan agar selalu lembab dan menyaring benda asing
ataupun bakteri yang masuk ke dalam tubuh melalui tenggorokan.
Keberadaan dahak/lendir di tenggorokan tetap dibutuhkan, akan
tetapi terkadang produksi dahak/lendir di tenggorokan meningkat.
Kondisi tersebut justru menimbulkan banyak gangguan dan rasa
tidak nyaman di bagian tenggorokan. Dahak/lendir diproduksi oleh
selaput mukosa, jika produksi dahak terlalu banyak, dahak tersebut
akan menempel di bagian tenggorokan sehingga tenggorokan selalu
berdahak padahal kondisi tubuh tidak dalam keadaan flu . Adapun
beberapa faktor yang dapat memicu peningkatan produksi sputum
menurut Dyiah (2019) adalah:
1) Peradangan di saluran pernapasan atau daerah sekitarnya. Secara
umum, kondisi sering ada dahak di tenggorokan timbul karena
25

adanya peradangan di saluran pernapasan kita atau di daerah


sekitar saluran pernapasan. Dahak bisa jadi merupakan
kumpulan zat dari cairan mukosa, sel-sel yang telah mati, dan
juga cairan yang berasal dari peradangan atau yang disebut
eksudat dan transudat. Jadi dengan kata lain, produksi dahak
meningkat karena saluran pernapasan mengalami peradangan.
2) Tenggorokan terkena infeksi atau alergi terhadap zat asing. Jika
tenggorokan terasa selalu berdahak di pagi hari atau terasa tidak
nyaman saat menghirup hal-hal tertentu seperti debu, asap,
parfum, atau lain sebagainya, maka bisa jadi pemicu
meningkatnya dahak di tenggorokan ialah karena tubuh kita
mengalami alergi atau karena tenggorokan terkena infeksi
bakteri atau organisme asing lainnya. Bisa jadi dahak tersebut
juga disebabkan karena kita alergi terhadap kondisi tertentu,
misalnya cuaca yang terlalu dingin sehingga setiap pagi atau
saat cuaca dingin tenggorokan akan berdahak.
3) Adanya gangguan pada lambung. Nyeri lambung yang
disebabkan oleh masalah pada lambung (biasanya terkait dengan
gejala asam lambung juga dapat memicu peningkatan dahak di
tenggorokan. Produksi asam lambung yang berlebih hingga
menyebabkan ciri asam lambung dan obatnya naik ke
tenggorokan (refluks esofageal) bisa jadi memicu peningkatan
produksi dahak.
4) Radang sinusitis. Radang gejala sinusitis terjadi karena adanya
gangguan (radang) di area rongga tengkorak. Peradangan
tersebut bisa disebabkan oleh infeksi bakteri tertentu atu virus
tertentu. Kondisi tersebut ternyata juga dapat memicu produksi
dahak di tenggorokan. Gejala semacam itu biasanya juga akan
diikuti dengan kondisi hidung yang meler.
5) Tubuh kekurangan cairan. Tenggorokan yang selalu berdahak
bisa jadi adalah respon tubuh karena kekurangan cairan.
26

Tenggorokan harus berada dalam kondisi lembab setiap saat.


Jika tubuh kekurangan cairan, produksi dahak akan ditingkatkan
agar tenggorokan tetap lembab.
Proses sekresi yang efektif dari saluran pernapasan tergantung
pada dua faktor kunci, yaitu: sistem transportasi mukosiliar dan
kemampuan untuk batuk. Orang yang merokok dan mereka dengan
kondisi yang berhubungan dengan produksi lendir yang berlebihan --
seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), bronkiektasis dan
cystic fibrosis berada pada risiko untuk mengembangkan retensi
sputum, khususnya selama eksaserbasi akut dari penyakit mereka.
Selama eksaserbasi dahak dapat menjadi baik lebih berlimpah dan
lebih kental sehingga lebih sulit untuk meludah. Kekuatan dan
efektivitas batuk dapat dikurangi karena sakit (terutama setelah
operasi), kelemahan fisik, kelelahan, teknik batuk yrng kurang dan
mulut kering. Oleh karena itu, pasien yang menjalani operasi dengan
riwayat merokok dan/atau penyakit paru-paru kronis mungkin sangat
rentan terhadap perkembangan retensi sputum (Law, 2019).
f. Tanda Gejala Retensi Sputum
Menurut Law (2019) tanda-tanda klinis retensi sputum adalah
gangguan pernapasan dengan cepat, pernapasan dangkal dan seperti
berbuih. Kondisi ini harus dicurigai pada pasien yang memiliki
tanda-tanda berikut ini:
1) Suara crackle (gemeretak) di dalam paru-paru yang terdengar
melalui stetoskop;
2) Kecurigaan pada bunyi nafas yang tenang;
3) Pasien mengatakan bahwa merasa terdapat sesuatu di dalam
dadanya, terutama jika ada riwayat penyakit paru-paru, operasi
terakhir, atau jika pasien mengalami dehidrasi.
g. Jenis Retensi Sputum
Bonde et al. (2018) menjelaskan retensi sputum terdiri dari dua
jenis diantaranya yaitu:
27

1) Fase kompensasi
Pada retensi sputum tahap awal pasien mengkompensasi
hilangnya fungsi pernapasan yang disebabkan oleh sekresi yang
tetap ada beserta dengan meningkatnya laju respirasi mereka.
Warna kulit pasien dan gas darah arteri dapat dalam keadaan
stabil, terutama jika diberikan oksigen tambahan, dan
selanjutnya tingkat retensi sputum meningkat dan berpotensi
berkembang menjadi pneumonia yang tidak diketahui. Jika tidak
diobati pasien menjadi semakin lelah dengan keadaan hipoksia
meningkat (kadar dalam jaringan oksigen yang rendah),
hiperkapnia (tingkat karbon dioksida dalam darah arteri dan
jaringan yang meninggkat) dan penurunan tingkat kesadaran
serta berlanjut ke fase dekompensasi.
2) Fase dekompensasi
Fase ini ditandai dengan meningkatnya rasa kantuk,
sianosis, takikardia, berkeringat dan pernapasan yang terdengar
seperti berbuih. Intervensi mendesak diperlukan sebagai retensi
cairan di saluran udara utama dapat menyebabkan tersumbatnya
saluran bronkopulmonalis dan atelektasis (kolaps dari jaringan
paru-paru). Kegagalan untuk mengatasi kondisi tersebut dapat
menyebabkan shunting paru, pneumonia, sepsis sistemik,
hipoksia, kegagalan pernafasan dan eksaserbasi iskemia otak
dan jantung.
h. Komplikasi Adanya Retensi Sputum
Rogers dan Duncan (2019) menjelaskan tentang komplikasi
yang terjadi jika sputum berlebih mempengaruhi saluran nafas yaitu:
1) Obstruksi saluran napas
Obstruksi saluran napas merupakan salah satu gejala sisa
yang paling umum dari sputum berlebih yang dapat
menyebabkan serangan fatal pada pasien dengan asma bronkial
dan penyakit lain yang menyebabkan hipersekresi sel yang
28

melapisi saluran bronkial. Obstruksi tuba endotrakeal atau


saluran pernapasan karena sputum berlebih juga dapat
menyebabkan gangguan dan henti pernapasan mendadak pada
pasien yang mengalami penyakit pernapasan. Diperlukan
suction untuk menghilangkan sputum berlebih yang mungkin
dapat menghalangi jalan pada pasien tersebut.
2) Atelektasis
Atelektasis, atau obstruksi paru-paru yang terlokalisir
yang mungkin dapat timbul karena obstruksi sputum berlebih,
dapat terjadi yang mengakibatkan kolapsnya sebagian dari paru-
paru. Tingkat morbiditas langsung adalah karena penurunan
sementara pasokan oksigen ke paru-paru yang menyebabkan
penurunan pengiriman oksigen ke bagian tubuh lainnya. Bagian
tengah paru kanan adalah bagian paru-paru paling sering terkena
atelektasis. Pembersihan sumbatan sputum berlebih secara
bronkoskopik sangat penting dalam pengelolaan pasien dengan
ateletasis yang parah.
3) Terbatasnya aliran udara
Aliran udara selama inhalasi dan ekshalasi dalam paru-
paru dapat menjadi terbatas pada pasien yang menderita
penyakit kronis obstruktif paru akibat obstruksi parsial dari
sputum berlebih yang berlebihan pada jalan napas. Hal ini dapat
mengakibatkan episode parah dari batuk, sesak dada, sesak
napas dan infeksi pernafasan. Manajemen medis pada pasien
penyakit kronis obstruktif paru melibatkan penggunaan terapi
oksigen, bronkodilator yaitu obat-obat yang mengendurkan otot
saluran napas, steroid, yang mengurangi peradangan saluran
napas untuk kasus sedang sampai parah penyakit paru obstruktif
kronik dan antibiotik untuk menangkal bakteri yang dapat
menyebabkan infeksi pernapasan.
i. Cara Mengeluarkan Sputum
29

Muttaqin (2018) menjelaskan cara mengeluarkan sputum


diantaranya:
1) Nafas dalam yaitu bentuk latihan nafas yang terdiri atas
pernafasan abdominal (diafragma) dan purs lips breathing.
Tujuan pernafasan yaitu abdominal memungkinkan nafas dalam
secara penuh dengan sedikit usaha, Pursed lips breathing
membantu klien mengontrol pernafasan yang berlebihan.
Prosedurnya yaitu: atur posisi yang nyaman, fleksikan lutut
pasien untuk merileksasikan otot abdominal, letakkan 1 atau 2
tangan pada abdomen tepat dibawah tulang iga, tarik nafas
dalam melalui hidung, jaga mulut tetap tertutup hitung sampai 3
selama inspirasi, hembuskan udara lewat bibir seperti meniup
(purs lips breathing) secara perlahan.
2) Batuk adalah reaksi refleks yang terjadi akibat stimulasi saraf-
saraf di lapisan dalam saluran pernapasan. Batuk efektif
merupakan latihan mengeluarka secret yang terakumulasi dan
mengganggu di saluran nafas dengan cara dibatukkan.
3) Postural drainage adalah suatu intervensi untuk melepaskan
sekresi dari berbagai segmen paru–paru dengan menggunakan
pengaruh gaya grafitasi. Prosedurnya yaitu: cuci tangan, pilih
area yang tersumbat yang akan di drainage, berdasarkan semua
area paru baringkan pasien dalam posisi untuk mendrainage area
yang tesumbat, minta pasien mempertahankan posisi tersebut
selama 10–15 menit, lakukan posisi dan vibrasi dada diatas area
yang di drainage setelah drainage pada posisi pertama minta
pasien duduk dan batuk bila tidak batuk minta pasien istirahat
sebentar bila perlu, anjurkan pasien minum sedikit air, ulangi
langkah–langkah diatas sampai semua area telah di drainage,
ulangi pengkajian dada pada semua bidang paru, cuci tangan
dan dokumentasi.
30

4) Fisiotherapi dada bertujuan secara mekanik dapat melepaskan


secret yang melekat pada dinding bronkus sehingga
menigkatkan efisiensi pola pernafasan. Prosedurnya yaitu: tutup
area yang akan diperkusi dengan handuk atau pakaian untuk
mengurangi sakit, anjurkan tarik nafas dalam dan lembut untuk
menigkatkan relaksasi perkusi pada setiap segmen paru selama
1- 2 menit, perkusi tidak boleh dilakukan pada daerah dengan
struktur yang mudah terjadi cidera seperti mammae, sterum dan
ginjal.
5) Vibrasi adalah getaran kuat secara serial yang dihasilkan oleh
tangan perawat yang diletakkan datar pada dinding dada pasien.
Vibrasi digunakan setelah perkusi untuk meningkatkan
turbelensi udara ekspirasi dan melepaskan mucus yang kental.
Prosedurnya yaitu: letakkan telapak tangan menghadap ke
bawah di area dada yang akan di drainage, satu tangan diatas
tangan yang lain dengan jari–jari menempel bersama dan
ekstensi cara lain tangan bisa diletakkan bersebelahan, anjurkan
pasien menarik nafas dalam melalui hidung dan
menghembuskan nafas secara lamban lewat mulut atau purs lips,
selama masa ekspresi tegangkan seluruh otot tangan dan lengan
dan gunakan hampir semua tumit tangan, getarkan tangan,
gerakan tangan kearah kebawah hentikan gerakan jika pasien
melakukan inspirasi tiap kali vibrasi, anjurkan pasien batuk dan
keluarkan secret ke tempat sputum, bila sputum juga tidak bisa
didahakkan.
6) Penggunaan Nebulizer
7) Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk
mempertahankan jalan nafas sehingga memungkinkan terjadinya
proses pertukaran gas yang adekuat dengan cara mengeluarkan
sekret pada klien yang tidak mampu mengeluarkannya sendiri.
Tindakan suction merupakan suatu prosedur penghisapan lendir,
31

yang dilakukan dengan memasukkan selang catheter suction


melalui selang endotracheal. Suctioning dapat diterapkan pada
oral, nasofaringeal, trakeal serta endotrakeal atau trakheostomy
tube.

4. Saturasi Oksigen
a. Pengertian Saturasi Oksigen
Saturasi oksigen adalah persentase hemoglobin terhadap
oksigen yang dapat diukur dengan oksimetri nadi (Potter & Perry,
2020). Saturasi oksigen merupakan ukuran seberapa banyak
persentase oksigen yang mampu dibawa oleh hemoglobin (Kozier,
2019). Presentase hemoglobin yang terikat dengan oksigen disebut
saturasi hemoglobin (Guyton & Hall, 2019). Berdasarkan beberapa
pendapat tersebut, maka dapat disimpulakan bahwa saturasi oksigen
adalah seberapa banyak total oksigen yang diikat oleh hemoglobin.
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Saturasi Oksigen
Menurut Sherwood (2020) fator-faktor yang mempengaruhi %
saturasi oksigen sebagai berikut :
1) PO2
PO2 adalah factor utama yang menentukan % saturasi oksigen
karena berkaitan dengan konsentrasi O2 yang yang secara fisik
larut dalam darah. Ketika PO2 darah naik terjadi peningkatan %
saturasi Hb, krtika PO2 turun akan terjadi HbO2 berdisosiasi
(penurunan % saturasi Hb).
2) PCO2
Adanya CO2 tambahan di darah pada efeknya menurunkan
afinitas Hb terhadap O2 sehingga Hb membebaskan lebih
banyak O2 di tingkat jaringan.
3) pH
32

Penurunan afinitas Hb terhadap O2 yang terjadi karena


peningkatan keasaman ini menambah jumlah O2 yang
dibebaskan.
4) Suhu
Peingkatan suhu menyebabkan lebih banyak O2 yang
dibebaskan pada PO2 tertentu. Peningkatan suhu local
meningkatkan pembebasan O2 dari Hb untuk digunakan oleh
jaringan yang lebih aktif.
5) Hemoglobin
Hemoglobin memegang peranan yang penting dalam fungsi
transport oksigen dalam darah, oksigen dibawa oleh aliran darah
ke jaringan sel-sel tubuh dan termasuk sel-sel otot jantung.
Konsetrasi hemoglobin yang rendah dapat mengurangi angka
maksimal pengiriman oksigen ke jaringan dan akan
mempengaruhi saturasi oksigen.
6) Merokok
Menurut penelitian Septia (2019) menyebutkan bahwa derajat
merokok aktif, ringan, sedang, dan berat sangat mempengaruhi
kadar saturasi oksigen
7) Aktivitas
Menggigil atau gerakan yang berlebihan pada area sensor akan
mempengaruhi pembacaan yang akurat.
c. Tanda dan Gejala Penurunan Saturasi Oksigen
Sianosis merupakan suatu tanda dan gejala dari penurunan
saturasi oksigen. Sianosis adalah tanda kebiruan pada kulit, bantalan
kuku, dibawah lidah, cuping telinga dan pada daerah wajah (Kozier,
2019). Sianosis yang ditandai dengan warna kebiru-biruan pada kulit
dan selaput ledir akibat peningkatan jumlah absolute Hb tereduksi
(Hb yang tidak berkaitan dengan oksigen) (Price, et al., 2019).
Sianosis dapat berupa retensi karbon dioksida yaitu berkeringat dan
takikardi (Smeltzer & Bare, 2019). Selain itu tanda dan gejala
33

lainnya wajah pasien akan tampak cemas, letih dikarenakan pasien


merasakan sesak napas dengan frekuensi napas tidak normal,
biasanya pasien akan mengambil sikap duduk dan condong kedepan
untuk memungkinkan ekspansi rogga thorak yang lebih besar
(Kozier, 2019).
Tanda dan gejala lainnya pada pasien dengan kanker
nasofaring yaitu terjadi hiperkapnia, hiperkapnia didefinisikan
sebagai peningkatan PaCO2 sampai diatas 45 mmHg, hiperkapnia
selalu disertai hipoksia dalam derajat tertentu apabila pasien
bernapas dengan udara yang terdapat dalam ruangan. Tanda dari
hiperkapnia seperti kekacauan mental yang berkembang menjadi
koma, sakit kepala, asteriksis atau tremor pada tangan yang teregang,
dan denyut nadi meningkat yang disertai tangan dan kaki yang terasa
panas dan berkeringat (Price, et al, 2019).

d. Kategori Hasil Saturasi Oksigen


Tingkat saturasi oksigen menunjukan persentase hemoglobin
yang tersaturasi dengan oksigen. Saturasi oksigen darah arteri
dengan PaO2 100 mmHg sekitar 97,5% sementara yang bercampur
darah vena dengan PaO2 40 mmHg sekitar 75%. Anfinitas
hemoglobin terhadap oksigen dapat mempengaruhi pelepasan
oksigen. Ketika hemoglobin memiliki afinitas yang lebih besar
terhadap oksigen, oksigenasi ke jaringan menjadi berkurang. Kondisi
seperti pH meningkat, penurunan suhu, penurunan tekanan partial
karbondioksida akan meningkatkan afinitas hemoglobin terhadap
oksigen dan membatasi oksigen ke jaringan dan terjadi Hipoksemia.
Hipoksemia terjadi karena penurunan tekanan oksigen dalam darah
(PaO2) (Faisal, 2020).
34

Tabel II.3
Derajat Hipoksemia berdasarkan Nilai PaO2 dan SaO2
Derajat Hipoksemia PaO2 (mmHg) SaO2 (%)
Normal 97-100 95-100
Hipoksemia ringan 60-79 91-94
Hipoksemia sedang 40-59 85-90
Hipoksemia berat <40 <85
Sumber : Faisal, 2020

e. Alat untuk Mengukur Saturasi Oksigen


Pengukuran saturasi dapat dilakukan dengan beberapa teknik.
Teknik pertama saturasi oksigen dapat diukur dengan metode
invasive berupa penilaian BGA (Blood Gas Analisis) dan teknik
kedua menggunakan metode non invasive menggunakan pulse
oximetry. Penggunaan pulse oximetry merupakan teknik yang efektif
untuk memantau perubahan saturasi oksigen yang kecil atau
mendadak (Smiltzer & Bare 2019). Oksimetry nadi suatu alat yang
non invasive yang dapat mengukur saturasi oksigen dalam darah
arteri klien dengan meletakkan sensor pada jari. Ibu jari kaki,
hidung, daun telinga dan dapat mendeteksi hipoksemia sebelum
munculnya tanda dan gejala klinis seperti sianosis (Kozier, 2019).
Cara kerja alat ini adalah menggunakan dua jenis panjang
gelombang dan frekuensi yang berbeda. Gelombang frekuensi
cahaya merah akan mengukur hemoglobin (Hb) desaturasi,
sedangkan gelombang frekuensi infrared akan mengukur Hb saturasi
(Smeltzer & Bare 2019). Sensor cahaya akan mengukur jumlah
cahaya merah dan infrared yang diserap oleh Hb terkoksigenasi dan
terdeoksigenasi dalam darah arteri dan mencatatnya sebagai SaO2
(Kozier, 2019). Sensor dapat mendeteksi perubahan tingkat saturasi
oksigen dengan cara memantau signal cahaya yang dibangkitkan
oleh oksimeter dan direfleksikan oleh darah yang berdenyut melalui
35

jaringan pada probe. Nilai saturasi oksigen normal yaitu 95% sampai
100%. Nilai <85% menunjukan jaringan tidak mendapatkan cukup
oksigen (Smeltzer & Bare 2019). Pada penelitian ini menggunakan
pulse oximetry sebagai alat pengukuran saturasi oksigen karena cara
penggunaanya yang mudah dilakukan dan menjadi cara yang efektif
untuk memantau penderita asma terhadap perubahan konsetrasi
oksigen yang kecil.

Sumber: Smeltzer & Bare 2019


Gambar II.1
Alat Pulse Oximetry untuk Mengukur Saturasi Oksigen

f. Saturasi Oksigen pada Pasien Kanker


Pada penderita kanker nasofaring, keluhan utama yang sering
terjadi adalah sesak napas. Sesak napas terjadi disebabkan oleh
adanya penyempitan saluran napas. Penyempitan saluran napas
terjadi karena adanya hiperraktivitas dari saluran napas terhadap
berbagai rangsangan, sehingga menyebabkan bronkospasme,
infiltrasi sel inflamasi yang menetap, edema mukosa, dan
hipersekresi mucus yang kental. Bronkospasme pada kanker
nasofaring menyebabkan terjadinya penurunan ventilasi. Penurunan
ventilasi paru menyebabkan terjadinya penurunan tekanan tranmural.
Penurunan tekanan transmural berdampak pada mengecilnya
gradient tekanan transmural (Perry & Potter, 2020).
36

Semakin kecil gradient tekanan transmural yang dibentuk


selama inspirasi semakin kecil compliance paru. Semakin kecil
compliance paru yang dihasilkan akan berakibat pengembangan paru
menjadi tidak optimal. Pengembangan paru yang tidak optimal
berdampak pada terjadinya penurunan kapasitas paru serta
peningkatan residu fungsional dan volume residu paru. Penurunan
kapasitas vital paru yang diikuti dengan peningkatan residu
fungsional dan volume residu paru menyebabkan timbulnya
perbedaan tekanan parsial gas dalam alveoli dengan tekanan parsial
gas dalam pembuluh kapiler paru (Guyton & Hall, 2019).
Penurunan tekanan parsial gas oksigen dalam alveoli,
menyebabkan kecilnya perbedaan gradient tekanan gas oksigen
dalam alveoli dengan kapiler (Potter & Perry, 2020). Penurunan
difusi oksigen menyebabkan konsentrasi oksigen dalam darah akan
berkurang sehingga dalam keadaan klinis akan terjadi penurunan
saturasi oksigen (Guyton & Hall, 2019). Jika saturasi oksigen dalam
tubuh rendah (<95%) dapat menimbulkan masalah kesehatan
diantaranya terjadi hipoksemia. Hipoksemia ditandai dengan sesak
napas, peningkatan frekuensi napas > 35% x/menit, nadi cepat dan
dangkal, sianosis serta penurunan kesadaran (Potter & Perry, 2020).
j. Hubungan Tingkat Retensi Sputum dengan Saturasi Oksigen
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang
muncul pada daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di
belakang hidung). KNF biasanya berasal dari dinding lateral
nasofaring, yang meliputi fosa Rosenmuller. Fossa Rosenmuller
adalah tempat tersering untuk tumbuhnya tumor ganas tersebut
(Sudiono dan Hassan, 2019). Penyebab kanker nasofaring belum
diketahui secara pasti, namun beberapa hal yang perlu diperhatikan
yang dapat menjadi faktor resiko terhadap terjadinya kanker
nasofaring menurut Ariwibowo (2020) antara lain Virus Epstein Barr
(EBV), gaya hidup, pajanan pekerjaan, makanan, genetik, riwayat
37

infeksi di area nasofaring dan jenis kelamin. Beberapa


penatalaksanaan kanker nasofaring menurut Fasial (2020) salah
satunya pembedahan dengan cara tracheostomy.
Trakeostomi adalah prosedur dimana dibuat lubang ke dalam
trakea, ketika selang indweling dimasukkan ke dalam trakea, maka
istilah trakeostomi digunakan. Keputusan untuk melakukan
trakeostomi pada umumnya dapat dilakukan dalam waktu 7 hari dari
intubasi (Smeltzer dan Bare, 2019). Menurut Novialdi dan Surya
(2019) manfaat trakeostomi diantaranya adalah meningkatkan
kenyamanan pasien, kebersihan rongga mulut, kemampuan untuk
berkomunikasi, kemungkinan makan secara oral serta perawatan
yang lebih mudah dan aman dan memiliki potensi untuk menurunkan
penggunaan obat sedasi dan analgesic sehingga dapat menfasilitasi
proses penyapihan dan menghidari pneumonia akibat ventilator
mekanik. Perawatan pasien pasca trakeostomi menurut Dina (2019)
antara lain diantaranya pemberian humidifikasi buatan, pengisapan
sekret secara berkala, pembersihan canul dalam, perawatan stoma
lubang pada trakeostomi.
Pasien dengan kanker nasofaring sering mengalami retensi
sputum. Saturasi oksigen adalah persentase hemoglobin terhadap
oksigen yang dapat diukur dengan oksimetri nadi (Potter & Perry,
2020). Sianosis merupakan suatu tanda dan gejala dari penurunan
saturasi oksigen. Sianosis yang ditandai dengan warna kebiru-biruan
pada kulit dan peningkatan sputum selaput ledir akibat peningkatan
jumlah absolute Hb tereduksi (Hb yang tidak berkaitan dengan
oksigen) (Price, et al., 2019). Sianosis dapat berupa retensi karbon
dioksida yaitu berkeringat dan takikardi (Smeltzer & Bare, 2019).
Penurunan saturasi oksigen akibat obstruksi jalan napas terjadi
penurunan difusi yang mengakibatkan terjadi hipoksemia yang jika
tidak ditangani dengan cepat akan menjadi hipoksia, dimana
hipoksia merupakan insufiensi oksigen jaringan (ketidakmampuan
38

untuk menjalankan fungsinya dengan memadai) guna untuk


metabolisme tubuh serta hipoksia sebagai penyebab penting dari
cidera dan kematian sel. Sel-sel bergantung pada suplai oksigen yang
kontinu, oleh karena itu tanpa oksigen berbagai aktifitas
pemeliharaan dan penyintesis sel berhenti dengan cepat (Price, et al,
2019). Tanpa oksigen dalam waktu tertentu sel tubuh akan
mengalami kerusakan yang data menimbulkan kematian. Organ yang
paling sensitive terhadap kekurangan oksigen yaitu otak. Apabila
otak tidak mendapatkan oksigen lebih dari 5 menit, dapat terjadi
kerusakan sel otak secara permanen (Kozier, 2019).
Sputum (dahak) adalah bahan yang dikeluarkan dari paru dan
trakea melalui mulut (Somantri, 2021). Kualitas sputum yang baik
yaitu karakteristik sputum dilihat dari warna, kekentalan dan jumlah
sputum, dikategorikan baik dan tidak baik dimana sputum berwarna
kuning kehijauan/mukopurulen, kental atau mukoid serta berjumlah
3-5ml (Tabrani, 2019). Beberapa faktor yang dapat memicu
peningkatan produksi sputum menurut Dyiah (2019) adalah
peradangan di saluran pernapasan atau daerah sekitarnya,
tenggorokan terkena infeksi atau alergi terhadap zat asing, adanya
gangguan pada lambung, radang sinusitis dan tubuh kekurangan
cairan.
Muttaqin (2018) menjelaskan bahwa suctioning atau
penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan jalan nafas
sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang
adekuat dengan cara mengeluarkan sekret pada klien yang tidak
mampu mengeluarkannya sendiri. Tindakan suction merupakan
suatu prosedur penghisapan lendir, yang dilakukan dengan
memasukkan selang catheter suction melalui selang endotracheal.
Suctioning dapat diterapkan pada oral, nasofaringeal, trakeal serta
endotrakeal atau trakheostomy tube.
39

B. Penelitian Relevan
Tabel II.4
Penelitian Relevan

Metode
No Peneliti /Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
1. Febrina Literature Review Desain Hasil dari penelitian
(2021) : Pengaruh literature ini dari kelima belas
Lamanya review yang jurnal yang telah di
Tindakan Suction diperoleh review didapatkan
Melalui dari google hasil bahwa ada
Endotrakeal Tube scholar, pengaruh tindakan
terhadap PubMed, suction melalui
Kadar Saturasi BMC endotrakeal tube
Oksigen pada Research terhadap kadar
Pasien Yang Notes dan saturasi oksigen pada
Dirawat di Ruang research pasien yang dirawat di
Intensive Care gate dengan ruang Intensive Care
Unit tahun Unit.
penelitian
10 tahun
terakhir.
2. Rivaldi, et al Hubungan Metode Sebanyak 70,0%
(2018) Paparan CO penelitian saturasi oksigen tidak
terhadap Saturasi kuantitatif normal. Hasil
Oksigen dan pendekatan menunjukkan bahwa
Kelelahan Kerja cross paparan CO tidak
pada Petugas sectional. normal dengan
Pakir Pengambila saturasi oksigen tidak
n sampel normal 75,0%. Hasil
total uji statistic diperoleh
sampling nilai p value = 0,035.
sebanyak 30
orang.
3. Sari dan Ikbal Pengaruh Jenis Rata-rata saturasi
(2019) Tindakan Suction penelitian oksigen sebelum
Terhadap Quasi tindakan suction pada
Perubahan Eksperiment kelompok kontrol
Saturasi Oksigen (Eksperimen adalah 94,77, rata-rata
Pada Pasien Semu) saturasi oksigen
Penurunan dengan sesudah tindakan
Kesadaran desain suction 99,48. Ada
Diruang ICU rancangan pengaruh antara
Rumah Sakit two group saturasi oksigen
Islam Siti pretest- sebelum dan sesudah
Rahmah posttest, pemberian tindakan
40

Metode
No Peneliti /Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
sampel 30 suction hasil uji
pasien statistik didapatkan
dengan nilai P Value 0,000
teknik
purpose
sampling
4. Kitu, et al Pengaruh Jenis Nilai kadar saturasi
(2019) Tindakan penelitian oksigen sesudah
Pengisapan Quasi dilakukan tindakan
Lendir Eksperiment penghisapan lendir
Endotrakeal Tube two group endotrakeal tube
(ETT) terhadap pretest- (ETT) dengan nilai
Kadar Saturasi posttest, rata-rata (mean)
Oksigen pada sampel 15 meningkat menjadi
Pasien yang responden 97,87, sedangkan
Dirawat di Ruang dengan sebelum dilakukan
ICU teknik tindakan penghisapan
Consecutive lendir endotrakeal
sampling tube (ETT) berada
pada skor 94. Hasil uji
statistik p value =
0,000.

C. Kerangka Konsep
Nursalam (2019) menyatakan bahwa kerangka konsep adalah abstraksi
dari suatu realita agar dapat di komunikasikan sehingga membentuk suatu
teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel (variabel yang diteliti
maupun yang tidak diteliti). Kerangka konsep pada penelitian ini
menggambarkan ada tidaknya hubungan retensi sputum dengan saturasi
oksigen pada pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais. Kerangka konsep
dalam penelitian ini dapat ditunjukan pada gambar 3.1.
Variabel Independen Variabel Dependen

Retensi sputum Saturasi oksigen


41

Gambar II.1
Kerangka Konsep

D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian adalah hipotesis kerja (hipotesis alternatif Ha atau
H1) yaitu hipotesis yang dirumuskan untuk menjawab permasalahan dengan
menggunakan teori-teori yang ada hubungannya dengan masalah penelitian
dan belum berdasarkan fakta serta dukungan data yang nyata dilapangan
(Notoatmodjo, 2019). Adapun hipotesis yang peneliti jelaskan adalah sebagai
berikut:
Ha : Ada hubungan retensi sputum dengan saturasi oksigen pada pasien
kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi di Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022.
H0 : Tidak ada hubungan retensi sputum dengan saturasi oksigen pada
pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi di Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Desain dalam penelitian ini yang digunakan adalah penelitian analitik
kuantitatif. Menurut Notoatmodjo (2019), penelitian kuantitatif yaitu
penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data numerik (angka-
angka) yang diolah dengan metode statistik. Penelitian ini menggunakan
rancangan cross sectional. Rancangan cross sectional adalah suatu penelitian
untuk mempelajari dinamika kolerasi antara faktor-faktor resiko atau variabel
independen dengan efek atau variabel dependen yang di observasi atau
pengumpulan datanya sekaligus pada suatu saat yang sama. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui hubungan retensi sputum dengan saturasi
oksigen pada pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian dilakukan di IGD (Instalasi Gawat Darurat) Rumah
Sakit Kanker Dharmais dengan alamat di Jalan Letjen S Parman No 84 RT
04/RW 09 Kota Bambu Selatan. Kecamatan Palmerah Kota Jakarta Barat.
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Desember 2022 – Januari 2023.

C. Populasi dan Sampel Penelitian


A. Populasi Penelitian
Populasi didefinisikan sebagai kelompok subyek yang hendak
dikenai generalisasi hasil penelitian (Badriah, 2019). Populasi yang
diambil dalam penelitian ini adalah seluruh pasien kanker nasofaring
yang terpasang trakeostomi yang ada dalam data SIM Rumah Sakit
Kanker Dharmais periode bulan Agustus hingga November tahun 2022
sebanyak 65 responden.
43

B. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian atau mewakili dari
populasi yang diteliti. Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah total sampling. Total sampling merupakan teknik pengambilan
sampel dimana seluruh anggota populasi dijadikan sampel semua, hal ini
terjadi karena jumlah sampel kurang dari 100 sehingga jumlah sampel
dalam penelitian ini adalah sebanyak 65 responden (Nursalam, 2019).
Agar tidak menjadi bias, peneliti membatasi dengan kriteria inklusi dan
eksklusi. Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu:
a. Pasien dengan kanker nasofaring
b. Pasien dengan penggunaan trakeostomy
c. Pasien dengan Hb diatas 10gr/dL
d. Pasien bukan perokok
e. Pasien tidak bekerja
f. Pasien laki-laki dan perempuan.
g. Semua usia.
Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu:
a. Pasien kanker nasofaring namun tidak menggunakan trakeostomy
b. Pasien dengan penurunan kesadaran serta menggunakan ventilator

D. Definisi Operasional Penelitian


Definisi operasional merupakan penjelasan yang berdasarkan kenyataan
atau penjelasan di lapangan yang meliputi penjelasan tentang apa variabel
tersebut, alat ukur, hasil ukur dan skala ukur (Nursalam, 2019). Variabel-
variabel dalam penelitian ini akan dijelaskan dalam definisi sebagai berikut :
Tabel III.1
Definisi Operasional Penelitian
Alat dan Cara Skala
Hasil Ukur
Ukur ukur
Bebas
Retensi sputum Suatu keadaan SIM 1. Baik
RS (Sistim
(jika sputum Ordinal
dimana pasien Informasi
berwarna putih
kanker nasofaringManajemen Rumah
jernih, encer atau
44

yang terpasang Sakit)sertaDharmais


berjumlah 3-
trakeostomi yang5ml)
dimasukan ke
mengalami sputu dalam lembar
2. Tidak baik (jika
berlebih dan cheklist
sputum berwarna
dapat kuning
membersihkan kehijauan/mukopu
sekret dari saluran
rulen, kental atau
pernapasannya
mukoid serta
ataupun dengan
bantuan berjumlah 3-5ml)
Sumber: Tabrani,
2019
Terikat
Saturasi Persentase SIM
1. Normal
RS (Sistim
(95- Ordinal
oksigen hemoglobin Informasi
100%)
pasien kanker Manajemen Rumah
2. Hipoksemia
nasofaring yang Sakit)ringan
Dharmais
(91-94%)
terpasang yang
3. Hipoksemiake
dimasukan
trakeostomi yang dalam lembar
sedang (85-90%)
berikatan dengan cheklist
4. Hipoksemia berat
oksigen dalam
(<85%)
arteri
Sumber: Faisal,
2020

E. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data


1. Instrumen Penelitian
Alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengukur tingkat
retensi sputum dan saturasi oksigen pada pasien kanker nasofaring yang
terpasang trakeostomi dalam penelitian ini adalah data sekunder didapat
SIM RS (Sistim Informasi Manajemen Rumah Sakit) Dharmais yang
dimasukan ke dalam lembar cheklist.
2. Cara Pengumpulan Data
Data penelitian diperoleh melalui tahapan pengumpulan data
sebagai berikut:
a. Mempersiapkan materi dan konsep teori yang mendukung
Tahap awal penyusunan proposal penelitian, peneliti
menentukan masalah dan lahan penelitian terlebih dahulu, pada
45

tahap ini peneliti melakukan persiapan materi beserta konsep teori


yang mendukung penelitian.
b. Melakukan studi pendahuluan
Tahap berikutnya, peneliti melakukan pendekatan terhadap
institusi terkait, yaitu menyiapkan surat pengantar izin studi
pendahuluan ke Rumah Sakit Kanker Dharmais untuk melakukan
studi pendahuluan.
c. Melakukan konsultasi dengan pembimbing
Setelah mempersiapkan materi dan melakukan studi
pendahuluan, maka peneliti melakukan konsultasi dengan
pembimbing mengenai langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti.
d. Mengurus perijinan untuk pengambilan data
Setelah mendapatkan bimbingan mengenai langkah
selanjutnya, peneliti melanjutkan kegiatan dengan mengurus
perijinan untuk pengambilan data yang diperlukan pada saat
penelitian.
e. Melakukan pengambilan data yang didahului dengan pemilihan
sampel atau responden
Pada tahap ini peneliti melakukan pengambilan data dari SIM
RS (Sistim Informasi Manajemen Rumah Sakit) Dharmais yang
dimasukan ke dalam lembar cheklist saat dilakukan penelitian
sebanyak 65 responden.
f. Tahap mengumpulkan data dari sampel
Setelah menentukan jumlah sampel, peneliti selanjutnya
memasukan data tersebut ke lembar cheklist yang berkaitan dengan
sputum yang keluar dan saturasi oksigen. Langkah selanjutnya
mengecek ulang dan memasukannya ke dalam perangkat lunak
komputer untuk memproses hasil data yang dikumpulkan dari data
sekunder tersebut.
46

F. Pengolahan Data
Notoatmodjo (2019) menjelaskan bahwa pengolahan data adalah
bagian dari rangkaian kegiatan sesudah pengumpulan data. supaya analisis
penelitian dapat memberikan informasi yang akurat, peneliti harus melalui
setidaknya empat tahapan pengolahan data, yaitu editing, coding, entry data,
processing cleaning dan tabulating. Data yang terkumpul dalam penelitian ini
kemudian diolah dengan menggunakan program komputer multi langkah,
yaitu hasil jawaban kuesioner yang diisi oleh responden dijumlahkan
kemudian dilakukan
1. Editing
Pengolahan adalah proses verifikasi ulang data yang telah diterima
atau diperoleh. Pengeditan dapat dilakukan saat data sedang dikumpulkan
atau setelah data terkumpul. Semua data hasil dari lembar cheklist
dikumpulkan dan diperiksa ulang oleh peneliti.
2. Coding
Peneliti memberikan kode terhadap item-item pada masing-masing
variabel. Pemberian kode pada variabel tingkat retensi sputum pada
pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi diberi kode 1 jika
baik dan 2 jika tidak baik, selanjutnya untuk saturasi oksigen diberi kode
1 jika normal, 2 jika hipoksemia ringan, 3 jika hipoksemia sedang dan 4
jika hipoksemia berat.
3. Scoring
Skoring merupakan pengolahan data yang digunakan dengan cara
pemberian skor. Pada saat penelitian, peneliti memberikan skor pada
lembar cheklist yaitu retensi sputum pada pasien kanker nasofaring yang
terpasang trakeostomi diberi nilai 1 jika sputum berwarna putih jernih,
kental atau mukoid serta berjumlah 3-5ml menit dan 2 jika nilai sputum
berwarna kuning kehijauan/ mukopurulen, kental atau mukoid serta
berjumlah 3-5ml. Selanjutnya untuk saturasi oksigen diberi nilai 1 jika
saturasi oksigen 95-100%, 2 jika saturasi oksigen 91-94%, 3 jika saturasi
oksigen 85-90% dan 4 jika saturasi oksigen <85%. Kemudian
47

dipresentasikan dengan cara jumlah jawaban yang sesuai dibagi jumlah


responden dan dikalikan 100%.
4. Processing
Ini merupakan tahap akhir dari pengolahan data, dimana data saat
ini diproses oleh komputer, dengan dua analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu analisis univariat dan bivariat. Semua data
diolah sesuai dengan tujuan peneliti yaitu menganalisis data univariat
dengan menggunakan rumus distribusi frekuensi dan bivariat
menggunakan uji statistik Chi Square.
5. Cleaning
Data telah diperiksa dua kali pada saat ini untuk menjamin bahwa
itu bebas dari kesalahan. Peneliti dalam penelitian ini mengoreksi data
yang telah dimasukkan dan memperbaiki kesalahan atau kesalahan yang
terjadi pada saat pemasukan data. Data yang dimasukkan ke dalam
komputer diperiksa ulang dengan membandingkannya dengan data dari
lembar observasi.

G. Analisis Data
1. Prasarat Analisis Data
Peneliti tidak melakukan uji prasyarat dalam penelitian ini, hal ini
disebabkan oleh hasil ukur yang digunakan sudah ada ketentuannya
dimana tingkat retensi sputum pada pasien kanker nasofaring yang
terpasang trakeostomi dikatakan baik jika jika sputum berwarna putih
jernih, kental atau mukoid serta berjumlah 3-5ml menit dan tidak baik
jika sputum berwarna kuning kehijauan/mukopurulen, kental atau
mukoid serta berjumlah 3-5ml sehingga tidak memerlukan uji prasyarat
untuk menentukannya. Begitu juga dengan saturasi oksigen dikatakan
normal jika saturasi oksigen 95-100%, hipoksia ringan jika saturasi
oksigen 91-94%, hipoksia sedang jika saturasi oksigen 85-90% dan
hipoksia berat jika saturasi oksigen jika < 85%. Berdasarkan skala ukur
adalah ordinal dimana skala tersebut merupakan data dalam bentuk
48

kategorik yang merupakan non parametrik sehingga tidak dapat di ukur


dan tidak memerlukan uji prasarat.
2. Analisis Univariat
Menurut Badriah (2019), analisi univariat dilakukan terhadap tiap
variabel dan hasil penelitian. Analisis data yang digunakan peneliti
adalah menggunakan distribusi frekuensi yang ditampilkan dalam
bentuk persentase dari tiap variabel. Variabel independen atau variabel
bebas dalam penelitian ini yaitu tingkat retensi sputum pada pasien
kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi dan variabel dependen
atau variabel terikat dalam penelitian ini yaitu saturasi oksigen. Rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut:

f
P= x 100%
n

Keterangan:
P = Persentase
f = Frekuensi
n = Jumlah responden
100% = Bilangan tetap
(Notoatmodjo, 2019)
3. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan dengan dua variabel yang diduga
berhubungan atau korelasi (Notoatmodjo, 2019). Analisis bivariat juga
ditujukan untuk menguji hipotesis penelitian. Jenis analisis bivariat
menggunakan uji Uji statistik Chi Square. Uji Chi Square termasuk
kedalam statistik non-parametrik. Adapun rumus uji Chi Square menurut
Sugiyono (2019) adalah sebagai berikut:
( O−E ) ²
X 2 =∑
E
Keterangan :
X2 : Chi Square
49

O : Frekuensi yang diamati


E : Frekuensi yang diharapkan
Menentukan uji kemaknaan hubungan dengan cara
membandingkan nilai p (p value) dengan nilai α = 0,05 pada taraf
kepercayaan 95% dan derajat kebebasan = 1 dengan kaidah keputusan
sebagai berikut:
a. Jika nilai  < α berarti ada hubungan antara variabel bebas dengan
terikat.
b. Jika nilai  ≥ berarti tidak ada hubungan antara variabel terikat
dengan bebas.
Uji chi-square merupakan uji non parametris yang paling banyak
digunakan. Ada beberapa syarat menurut Sugiyono (2019) di mana chi-
square dapat digunakan yaitu:
a. Jenis data yang digunakan dalam dalam uji che square harus
berbentuk data frekuensi berskala nominal atau ordinal atau dapat
juga salah satu data berskala nominal atau ordinal.
b. Tidak ada cell dengan nilai frekuensi kenyataan atau disebut juga
Actual Count (F0) sebesar 0 (Nol).
c. Apabila bentuk tabel kontingensi 2 X 2, maka tidak boleh ada 1 cell
saja yang memiliki frekuensi harapan atau disebut juga expected
count ("Fh") kurang dari 5. Apabila tidak memenuhi syarat yaitu ada
cell dengan frekuensi harapan kurang dari 5, maka rumus harus
diganti dengan rumus “Fisher Exact Test”.
d. Apabila bentuk tabel lebih dari 2 x 2, misal 2 x 3, maka jumlah cell
dengan frekuensi harapan yang kurang dari 5 tidak boleh lebih dari
20%. Apabila tidak memenuhi syarat, maka dilanjutkan dengan test
kolmogorv smirnov.

H. Etika Penelitian
Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk
setiap kegiatan yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti
50

(subjek penelitian) dan masyarakat yang akan memperoleh dampak dari hasil
penelitian tersebut. Penelitian kesehatan yang mengikutsertakan subyek
manusia harus mempertahankan aspek etik dalam kaitan menaruh hormat atas
martabat manusia. Etika penelitian juga mencakup perilaku peneliti atau
perlakuan peneliti terhadap subjek penelitian secara serta sesuatu yang
dihasilkan peneliti bagi masyarakat (Notoatmodjo, 2019). Komisi Nasional
Etika Penelitian Kesehatan menyatakan bahwa:
1. Beneficence dan non maleficence (Prinsip etik berbuat baik)
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang maksimal
dengan risiko yang minimal; Peneliti mampu melakukan penelitian
dengan tetap menjaga kesejahteraan subjek penelitian dan subjek
penelitian tidak dirugikan atau dirugikan (tidak jahat). Pada penelitian ini
peneliti tidak mencantumkan nama hanya dalam bentuk inisial.
2. Respect for persons (prinsip menghormati harkat martabat manusia)
Ini adalah bentuk penghormatan terhadap martabat manusia
sebagai pribadi yang mempunyai hak atas kehendak atau pilihan bebas
serta untuk mengambil tanggung jawab pribadi atas keputusannya.
Peneliti data yang digunakan adalah data sekunder, untuk menghormati
identitas responden peneliti merahasiakan identitas responden melalui
enkripsi/kode.
3. Justice (keadilan)
Studi ini memperlakukan peserta penelitian dengan rasa hormat
yang pantas secara moral dan wajar untuk hak-hak mereka, dan distribusi
yang adil dan merata dari biaya dan penghargaan untuk berpartisipasi
dalam penelitian. Pada penelitian ini seluruh responden dijadikan sampel.

I. Keterbatasan Penelitian
Setiap penelitian beresiko mengalami masalah-masalah serta hal-hal
yang sering tidak diharapkan terjadi. Peneliti menyadari banyak keterbatasan
dalam melakukan penelitian ini, meskipun begitu, bukan berarti penelitian ini
tidak valid. Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain saat melakukan
51

observasi pada data SIM RS harus hati-hati agar tidak terjadi kesalahan
penulisan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Hasil Penelitian
1. Hasil Analisis Univariat
a. Gambaran Retensi Sputum pada Pasien Kanker Nasofaring yang
Terpasang Trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Kanker Dharmais Tahun 2022
Tabel IV.1
Distribusi Frekuensi Retensi Sputum pada Pasien Kanker
Nasofaring yang Terpasang Trakeostomi di Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais
Tahun 2022 (N=65)

Retensi Sputum Frekuensi (f) Persentase (%)


Baik 25 38,5
Tidak Baik 40 61,5
Jumlah 65 100
Sumber: Hasil Penelitian 2022

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa dari 65


responden pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi
sebagian besar dengan retensi sputum tidak baik sebanyak 40
responden (61,5%).
53

a. Gambaran Saturasi Oksigen pada Pasien Kanker Nasofaring yang


Terpasang Trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Kanker Dharmais Tahun 2022
Tabel IV.2
Distribusi Frekuensi Saturasi Oksigen pada Pasien Kanker
Nasofaring yang Terpasang Trakeostomi di Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker
Dharmais Tahun 2022 (N=65)

Saturasi Oksigen Frekuensi (f) Persentase (%)


Hipoksemia Ringan 24 36,9
Hipoksemia Sedang 41 63,1
Jumlah 65 100
Sumber: Hasil Penelitian 2022

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa dari 65


responden pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi
sebagian besar dengan saturasi oksigen hipoksemia sedang
sebanyak 41 responden (63,1%).
2. Hasil Analisis Bivariat
a. Hubungan Retensi Sputum dengan Saturasi Oksigen pada Pasien
Kanker Nasofaring yang Terpasang Trakeostomi di Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022
Tabel IV.3
Hubungan Hubungan Retensi Sputum dengan Saturasi Oksigen
pada Pasien Kanker Nasofaring yang Terpasang Trakeostomi
di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker
Dharmais Tahun 2022 (N=65)

Saturasi Oksigen
P
Retensi Hipoksemia Hipoksemia
Jumlah valu OR dan CI
Sputum Ringan Sedang
e
f % f % n %
Baik 17 68,0 8 32,0 25 100
10,018
Tidak Baik 7 17,5 33 82,5 40 100 0,000
(3,106-32,311)
Jumlah 24 36,9 41 63,1 65 100
Sumber: Hasil Penelitian 2022
54

Berdasarkan tabel 4.4 diketahuai bahwa dari 25 pasien kanker


nasofaring yang terpasang trakeostomi dengan retensi sputum baik
sebagian besar dengan saturasi oksigen hipoksemia ringan sebesar
17 responden (68,0%) dan dari 40 pasien pasien kanker nasofaring
yang terpasang trakeostomi dengan retensi sputum tidak baik
sebagian besar dengan saturasi oksigen hipoksemia sedang sebesar
33 responden (82,5%). Hasil analisis didapatkan nilai p =0,000 <
0,05, dengan demikian ada hubungan antara retensi sputum dengan
saturasi oksigen pada pasien kanker nasofaring yang terpasang
trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker
Dharmais Tahun 2022. Berdasarkan hasil Odds Ratio (OR) sebesar
10,018 dan nilai 95% Confidence Interval (CI) (3,106-32,311),
sehingga dapat dinyatakan pasien kanker nasofaring yang terpasang
trakeostomi dengan retensi sputum baik cenderung 10,018 kali
saturasi oksigen hipoksemia ringan dibandingkan pasien kanker
nasofaring yang terpasang trakeostomi dengan retensi sputum tidak
baik dengan nilai terendah sebesar 3,106 dan nilai tertinggi
32,311kali lipat dengan saturasi oksigen hipoksemia ringan.

B. Pembahasan Penelitian
1. Gambaran Retensi Sputum pada Pasien Kanker Nasofaring yang
Terpasang Trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker
Dharmais Tahun 2022
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 65
responden pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi sebagian
besar dengan retensi sputum tidak baik sebanyak 40 responden (61,5%).
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul
pada daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung)
(Sudiono dan Hassan, 2019). Beberapa penatalaksanaan kanker
nasofaring menurut Fasial (2020) salah satunya pembedahan dengan cara
tracheostomy. Sputum (dahak) adalah bahan yang dikeluarkan dari paru
55

dan trakea melalui mulut (Somantri, 2021). Kualitas sputum yang baik
yaitu karakteristik sputum dilihat dari warna, kekentalan dan jumlah
sputum, dikategorikan baik dan tidak baik dimana sputum berwarna
kuning kehijauan/mukopurulen, kental atau mukoid serta berjumlah 3-
5ml (Tabrani, 2019). Rogers dan Duncan (2019) menjelaskan tentang
komplikasi yang terjadi jika sputum berlebih mempengaruhi saluran
nafas yaitu obstruksi saluran napas dan terbatasnya aliran udara.
Klasifikasi sputum dan kemungkinan penyebabnya menurut Price, et al.,
(2019) sputum kekuning-kuningan kemungkinan proses infeksi, berdarah
atau hemoptisis sering ditemukan pada Tuberculosis, Warna
(mukopurulen) berwarna kuning-kehijauan menunjukkan bahwa
pengobatan dengan antibiotik dapat mengurangi gejala, berlendir putih
susu atau buram sering berarti bahwa antibiotic tidak akan efektif dalam
mengobati gejala. Informasi ini dapat berhubungan dengan adanya
infeksi bakteri atau virus meskipun penelitian saat ini tidak mendukung
generalisasi itu. Berbusa putih-mungkin berasal dari obstruksi atau
bahkan edema. Beberapa faktor yang dapat memicu peningkatan
produksi sputum menurut Dyiah (2019) adalah peradangan di saluran
pernapasan atau daerah sekitarnya, tenggorokan terkena infeksi atau
alergi terhadap zat asing, adanya gangguan pada lambung, radang
sinusitis dan tubuh kekurangan cairan. Muttaqin (2018) menjelaskan cara
mengeluarkan sputum diantaranya nafas dalam, batuk dan suctioning atau
penghisapan.
Peneliti menemukan didapatkan hasil bahwa pasien kanker
nasofaring yang terpasang trakeostomi sebagian besar dengan frekuensi
sputum tidak baik. Hal ini sesuai dengan hasil observasi di mana peneliti
melihat kualitas sputum berdasarkan karakteristik dari sputum tersebut
dilihat dari warna, kekentalan dan jumlah sputum. Berdasarkan hasil
observasi sebagian besar sputum yang ditemukan berwarna kuning,
kuning kehijauan, ada juga berwarna merah muda, berbusa putih dan
berlendir putih susu. Melihat dari segi kekentalan pada pasien dengan
56

sputum tidak baik mengalami kekentalan, sementara itu berkaitan dengan


jumlah sputum antara 3 sampai 5 ml. Berkaitan dengan hasil observasi
tersebut menandakan bahwa pasien mengalami kelainan pada saluran
pernapasan baik mengalami peradangan di saluran pernapasan atau alergi
terhadap benda asing atau gangguan pada lambung dan sebagainya.
Sebagai upaya untuk membersihkan jalan nafas pada pasien dengan
sputum yang baik dianjurkan untuk melakukan latihan nafas dalam atau
melakukan batuk sebagai upaya untuk mengeluarkan dahak yang ada di
dalam tubuh secara alamiah. Sementara itu pada sputum yang tidak baik
tenaga kesehatan melakukan suction atau pengisapan, yang selanjutnya
dilakukan pengobatan oleh dokter yang berwenang.
2. Gambaran Saturasi Oksigen pada Pasien Kanker Nasofaring yang
Terpasang Trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker
Dharmais Tahun 2022
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 65
responden pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi sebagian
besar dengan saturasi oksigen hipoksemia sedang sebanyak 41
responden (63,1%).
Trakeostomi adalah prosedur dimana dibuat lubang ke dalam
trakea, ketika selang indweling dimasukkan ke dalam trakea, maka istilah
trakeostomi digunakan. Keputusan untuk melakukan trakeostomi pada
umumnya dapat dilakukan dalam waktu 7 hari dari intubasi (Smeltzer
dan Bare, 2019). Menurut Novialdi dan Surya (2019) manfaat
trakeostomi diantaranya adalah meningkatkan kenyamanan pasien,
kebersihan rongga mulut, kemampuan untuk berkomunikasi,
kemungkinan makan secara oral serta perawatan yang lebih mudah dan
aman dan memiliki potensi untuk menurunkan penggunaan obat sedasi
dan analgesic sehingga dapat menfasilitasi proses penyapihan dan
menghidari pneumonia akibat ventilator mekanik. Nilai saturasi oksigen
normal yaitu 95% sampai 100%. Nilai <85% menunjukan jaringan tidak
mendapatkan cukup oksigen (Smeltzer & Bare 2019). Faisal (2020)
57

menambahkan bahwa nilai saturasi oksigen normal yaitu 95% sampai


100%, hipoksemia ringan 91-94%, hipoksemia sedang 85-90% dan
hipoksemia berat <85. Perawatan pasien pasca trakeostomi menurut Dina
(2019) antara lain diantaranya pemberian humidifikasi buatan,
pengisapan sekret secara berkala, pembersihan canul dalam, perawatan
stoma lubang pada trakeostomi. Muttaqin (2018) menjelaskan bahwa
suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan
jalan nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas
yang adekuat dengan cara mengeluarkan sekret pada klien yang tidak
mampu mengeluarkannya sendiri. Tindakan suction merupakan suatu
prosedur penghisapan lendir, yang dilakukan dengan memasukkan selang
catheter suction melalui selang endotracheal. Suctioning dapat diterapkan
pada oral, nasofaringeal, trakeal serta endotrakeal atau trakheostomy
tube.
Hasil penelitian terdahulu dilakukan oleh Rivaldi, et al (2018)
sebanyak 70,0% saturasi oksigen tidak normal. Sari dan Ikbal (2019)
Rata-rata saturasi oksigen sebelum tindakan suction pada kelompok
kontrol adalah 94,77, rata-rata saturasi oksigen sesudah tindakan suction
99,48. Kitu, et al (2019) Nilai kadar saturasi oksigen sesudah dilakukan
tindakan penghisapan lendir endotrakeal tube (ETT) dengan nilai rata-
rata (mean) meningkat menjadi 97,87%, sedangkan sebelum dilakukan
tindakan penghisapan lendir endotrakeal tube (ETT) berada pada skor
94%.
Peneliti menemukan sebagian besar responden dengan hipoksia
sedang. Hal ini sesuai dengan hasil observasi ditemukan saturasi oksigen
antara 86 hingga 94%. Saat dilakukan pengkategorian sebagian besar
mengalami hipoksia sedang yaitu antara 85 sampai 90%. Kondisi
tersebut menandakan bahwa pasien mengalami gangguan saluran nafas
yang salah satunya disebabkan oleh adanya referensi sputum. Sebagai
upaya untuk membersihkan jalan nafas maka dilakukan suction atau
58

pengisapan untuk mempertahankan jalan nafas sehingga proses


pertukaran oksigen akan berjalan kembali dengan baik.
3. Hubungan Retensi Sputum dengan Saturasi Oksigen pada Pasien Kanker
Nasofaring yang Terpasang Trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022
Berdasarkan hasil penelitian diketahuai bahwa dari 25 pasien
kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi dengan retensi sputum
baik sebagian besar dengan saturasi oksigen hipoksemia ringan sebesar
17 responden (68,0%) dan dari 40 pasien pasien kanker nasofaring yang
terpasang trakeostomi dengan retensi sputum tidak baik sebagian besar
dengan saturasi oksigen hipoksemia sedang sebesar 33 responden
(82,5%). Hasil analisis didapatkan nilai p =0,000 < 0,05, dengan
demikian ada hubungan antara retensi sputum dengan saturasi oksigen
pada pasien kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi di Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022. Berdasarkan
hasil Odds Ratio (OR) sebesar 10,018 dan nilai 95% Confidence Interval
(CI) (3,106-32,311), sehingga dapat dinyatakan pasien kanker nasofaring
yang terpasang trakeostomi dengan retensi sputum baik cenderung
10,018 kali saturasi oksigen hipoksemia ringan dibandingkan pasien
kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi dengan retensi sputum
tidak baik dengan nilai terendah sebesar 3,106 dan nilai tertinggi
32,311kali lipat dengan saturasi oksigen hipoksemia ringan.
Pasien dengan kanker nasofaring sering mengalami retensi sputum.
Saturasi oksigen adalah persentase hemoglobin terhadap oksigen yang
dapat diukur dengan oksimetri nadi (Potter & Perry, 2020). Sianosis
merupakan suatu tanda dan gejala dari penurunan saturasi oksigen.
Sianosis yang ditandai dengan warna kebiru-biruan pada kulit dan
peningkatan sputum selaput ledir akibat peningkatan jumlah absolute Hb
tereduksi (Hb yang tidak berkaitan dengan oksigen) (Price, et al., 2019).
Sianosis dapat berupa retensi karbon dioksida yaitu berkeringat dan
takikardi (Smeltzer & Bare, 2019). Penurunan saturasi oksigen akibat
59

obstruksi jalan napas terjadi penurunan difusi yang mengakibatkan


terjadi hipoksemia yang jika tidak ditangani dengan cepat akan menjadi
hipoksia, dimana hipoksia merupakan insufiensi oksigen jaringan
(ketidakmampuan untuk menjalankan fungsinya dengan memadai) guna
untuk metabolisme tubuh serta hipoksia sebagai penyebab penting dari
cidera dan kematian sel. Sel-sel bergantung pada suplai oksigen yang
kontinu, oleh karena itu tanpa oksigen berbagai aktifitas pemeliharaan
dan penyintesis sel berhenti dengan cepat (Price, et al, 2019). Tanpa
oksigen dalam waktu tertentu sel tubuh akan mengalami kerusakan yang
data menimbulkan kematian. Organ yang paling sensitive terhadap
kekurangan oksigen yaitu otak. Apabila otak tidak mendapatkan oksigen
lebih dari 5 menit, dapat terjadi kerusakan sel otak secara permanen
(Kozier, 2019).
Sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Rivaldi, et al (2018) Sebanyak 70,0% saturasi oksigen tidak normal yang
disebabkan oleh adanya retensi sputum. Sari dan Ikbal (2019) rata-rata
saturasi oksigen sebelum tindakan suction pada kelompok kontrol adalah
94,77, rata-rata saturasi oksigen sesudah tindakan suction 99,48. Ada
pengaruh antara saturasi oksigen sebelum dan sesudah pemberian
tindakan suction hasil uji statistik didapatkan nilai P Value 0,000. Kitu,
et al (2019) Nilai kadar saturasi oksigen sesudah dilakukan tindakan
penghisapan lendir endotrakeal tube (ETT) dengan nilai rata-rata (mean)
meningkat menjadi 97,87, sedangkan sebelum dilakukan tindakan
penghisapan lendir endotrakeal tube (ETT) berada pada skor 94. Hasil uji
statistik p value = 0,000. Febrina (2021) Hasil dari penelitian ini dari
kelima belas jurnal yang telah di review didapatkan hasil bahwa ada
pengaruh tindakan suction melalui endotrakeal tube terhadap kadar
saturasi oksigen pada pasien yang dirawat di ruang Intensive Care Unit.
Mengacu dari hasil penelitian terdahulu bahwa tindakan suction yang
digunakan untuk membersihkan sputum dari jalan nafas dapat
60

meningkatkan saturasi oksigen, dengan demikian dapat disimpulkan


bahwa terdapat hubungan antara retensi sputum dengan saturasi oksigen.
Peneliti menemukan adanya hubungan antara retensi sputum
dengan saturasi oksigen pada pasien kanker nasofaring yang terpasang
trakeostomi, hal ini disebabkan oleh karena pasien kanker nasofaring
mengalami kesulitan pada saat mengeluarkan sputum. Apabila sputum
tersebut sulit untuk dikeluarkan maka sputum tersebut akan menghambat
saluran pernafasan sehingga mengalami keterlambatan penyaluran
oksigen ke dalam tubuh yang mengakibatkan tubuh mengalami
kekurangan oksigen dalam waktu tertentu, adanya kekurangan oksigen
tersebut akan menurunkan saturasi oksigen. Kekurangan oksigen inilah
penyebab terjadinya saturasi oksigen menurun, dengan demikian adanya
retensi sputum dapat menimbulkan terjadinya saturasi oksigen berkurang.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai “Hubungan Retensi Sputum
dengan Saturasi Oksigen pada Pasien Kanker Nasofaring yang Terpasang
Trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais
Tahun 2022” maka peneliti membuat kesimpulan sebagai berikut :
1. Diketahui retensi sputum pada pasien kanker nasofaring yang terpasang
trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais
Tahun 2022 sebagian besar tidak baik sebanyak 61,5%.
2. Diketahui saturasi oksigen pada pasien kanker nasofaring yang terpasang
trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kanker Dharmais
Tahun 2022 sebagian besar dengan hipoksemia sedang sebanyak 63,1%
3. Ada hubungan retensi sputum dengan saturasi oksigen pada pasien
kanker nasofaring yang terpasang trakeostomi di Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2022 dengan nilai p =0,000.

B. Saran
1. Bagi Rumah Sakit
Rumah Sakit diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan pada
manajemen keperawatan di rumah sakit untuk mempertahankan dan
meningkatkan kualitas sumber daya keperawatan dengan memberikan
pendidikan dan pelatihan terjadwal terutama dalam melaksanaakan
manajemen jalan napas dalam keperawatan kritis.
2. Bagi Perawat
Perawat diharapkan dapat melakukan manajemen jalan napas
terutama saat tindakaan suction dengan pemantauan saturasi oksigen dan
pemberian hiperoksigenasi untuk mengetahui dan mengurangi resiko
hipoksemia, sehingga tindakan suction dapat meningkatkan mutu dan kualitas
62

pelayanan keperawatan yang lebih baik salah satunya dengan cara pada saat
pasien datang ke IGD segera diberikan tindakan.
3. Bagi Pasien
Pasien diharapkan dapat menjaga saluran nafas dengan latihan
nafas dalam dan berupaya untuk batuk sebagai upaya untuk
mengeluarkan sputum yang ada di dalam saluran kanule pasien agar tidak
mengalami sumbatan jalan nafas yang berdampak pada menurunnya
saturasi oksigen.
4. Bagi Instansi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan tambahan referensi
belajar pada manajemen keperawatan tindakan suction dengan pemantauan
saturasi oksigen lebih di utamakan.
DAFTAR PUSTAKA

Anggita, G.R. (2022). Epidemiologi Karsinoma Nasofaring. Artikel.


https://www.alomedika.com/penyakit/telinga-hidung-tenggorokan/karsinom
a -nasofaring/epidemiologi. Dikases tanggal 10 Desember 2022.
Ariwibowo, H. (2020). Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Volume 40 Nomor 5.
Asfuah, S. (2020). Buku Saku Klinik untuk Keperawatan dan Kebidanan.
Jogjakarta: Nuha Medika.
Badriah, D. L. (2019). Metodologi Penelitian Ilmu-Ilmu Kesehatan. Bandung: Al-
Multazam.
Bonde P, Papachristos I, McCraith A, Kelly B, Wilson C, McGuigan J and
McManus K. (2018). Sputum retention after lung operation: Prospective
randomised trial shows superiority of prophylactic minitracheostomy in
high risk patients. Annals of Thoracic Surgery 74: 196-203.
Dina, N. (2019). Proporsi Komplikasi Trakeostomi dan Faktor-Faktor yang
Berhubungan di Departemen THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Tesis Jakarta: FKUI.
Dyiah, R. (2019). Sering Ada Dahak di Tenggorokan – Penyebab dan Cara
Mengatasi. https://halosehat.com/penyakit/gejala/sering-ada-dahakditenggo
rokan. diakses tanggal 10 Desember 2022.
Dorland, W. (2021). Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC
Faisal H. (2020). Gambaran Karakteristik Karsinoma Nasofaring dan Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Prognosis. Skripsi. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Febrina, R. (2021). Literature Review: Pengaruh Lamanya Tindakan Suction
Melalui Endotrakeal Tube terhadap Kadar Saturasi Oksigen pada Pasien
yang Dirawat di Ruang Intensive Care Unit. Skripsi. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Medan.
Guyton A, Hall J. (2019). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hadikawarta, Rusmarjono, Soepardi. (2020). Penanggulangan Sumbatan Laring
dalam Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
64

Tenggorokan dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.


Kitu, N., Rohana, N., Widyaningsih, T. (2019). Pengaruh Tindakan Pengisapan
Lendir Endotrakeal Tube (ETT) terhadap Kadar Saturasi Oksigen pada
Pasien yang Dirawat di Ruang ICU. Jurnal Ners Widya Husada. Volume 6
No 2, Hal 57 - 64
Kozier. (2019). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Law, C. (2019). Recognition, Prevention and Management of Sputum Retention.
Journal of Nurs Times. Vol: 99, Issue: 23, p. 49.
Maisyaroh AP. (2020). Buku Ajar Keperawatan Gawat Darurat, Manajemen
Bencana, dan Keperawatan Kritis. Jakarta: KHD Production.
Marelli,T.M. (2018). Buku Saku Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : EGC.
Muttaqin, A. (2018). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, S. (2019). Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.
Novialdi, Surya, A (2019). Trakeostomi dan Krikotirotomi. Padang: Universitas
Andalas (Artikel tidak dipublikasikan).
Nursalam. (2019). Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktek
Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika.
Potter, & Perry, A. G. (2020). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,.
Proses dan Praktik. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia, A., Wilson, L. M. (2019). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Rivaldi, D., Suwondo, A., Suroto. (2018). Hubungan Paparan CO terhadap
Saturasi Oksigen dan Kelelahan Kerja pada Petugas Pakir. Journal of
Public Health. Vol. 1 Nomor 2.
Rizaty, M.A. (2021). 10 Jenis Kanker dengan Jumlah Kasus Tertinggi Nasional
(2020). Layanan Konsumen Kemenkes. Katadata Media Network
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/29/ini-jenis-kanker-
yang -paling-banyak-diderita-penduduk-indonesia. diakses tanggal 10
Desember 2022.
Rumah Sakit Kanker Dharmais. (2022). Profil Rumah Sakit Kanker Dharmais
Tahun 2022. Tidak dipublikasikan.
65

Sari, P., Ikbal, R. (2019). Pengaruh Tindakan Suction terhadap Perubahan Saturasi
Oksigen pada Pasien Penurunan Kesadaran Diruang ICU Rumah Sakit
Islam Siti Rahmah. Prosiding SainsTeKes Semnas MIPAKes UMRi. Vol: 1
No. 2
Schrock TR. (2020). Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Septia, N., Wungouw, H. and Doda, V. (2019). Hubungan merokok dengan
saturasi oksigen pada pegawai di fakultas kedokteran universitas Sam
Ratulangi Manado. Jurnal e-Biomedik, 4(2), pp. 2–7.
Septimar, Z., Novita, A. (2018). Pengaruh Tindakan Penghisapan Lendir
(Suction) terhadap Perubahan Kadar Saturasi Oksigen pada Pasien kritis di
ICU. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat. Vol 1 No, 2.
Sherwood L. (2020). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2019). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta : EGC. 
Somantri, I. (2021). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. 
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. (2020). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT-KL FK UI. Dalam: Gangguan Pendengaran dan Kelainan
Telinga. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
Sudiono, J., Hassan, I. (2019). DNA Epstein-Barr Virus (EBV) sebagai Biomaker
Diagnosis Karsinoma Nasofaring. Dental Jurnal. Volume 46 No 3.
Sugiyono. (2019). Metodologi Pemilihan Kuantitatif, dan R&D. Bandung: CV
Alfabeta.
Tabrani. (2019). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: CV. Trans Info Medika.
Tambayong. (2019). Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Tambunan, W. (2020). Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker.
Terbanyak di Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wijaya FO, Soeseno B. (2017). Deteksi Dini dan Diagnosis Karsinoma
Nasofaring. Jurnal Kalbemed. 44(7): 478-81
Wulan, ES., Huda, N. (2022). Pengaruh Tindakan Suction terhadap Saturasi
66

Oksigen pada Pasien yang Dirawat di Ruang ICU RSUD RAA Soewondo
Pati. Jurnal Profesi Keperawatan Vol 9 No 1.
Lampiran 1. Riwayat Hidup

CURRICULUM VITAE

Nama : Repidawati Sinaga


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Dolok Saratus 26 Juni 1982
Agama : Katholik
Golongan Darah :B
No. Telepon : 081291063686
Alamat E-mail : repidasinaga@gmail.com
Alamat Rumah : RS Cipinang muara Blok Pengajaran. No 410 RT
018/RW 002. Kelurahan Pondok Bambu. Kecamatan
Duren Sawit. Jakarta Timur
Riwayat Pendidikan
No Nama Sekolah/Institusi Tahun Ajaran
1. SDN NO 096128 Mariah Silau.
2. SMP Negeri 1 Silau Kahean
3. SMA Swasta Assisi. Kecamatan Siantar
Akademi Keperawatan Bina Husada
Tebing Tinggi Deli.
4. STIkes Yatsi Tangerang
Lampiran 2. Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 3. Balasan Izin Penelitian
Lampiran 4. Lembar Informed Consent

LEMBAR INFORMED CONSENT

Kepada Yth
Calon Responden
Di tempat
Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah mahasiswa Universitas Yatsi
Madani (UYM) Tangerang Prodi S1 Keperawatan.
Nama : Repidawati Sinaga
NIM : 19216270
Akan mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Retensi Sputum
pada Pasien Kanker Nasofaring yang Terpasang Trakeostomi dengan Saturasi
Oksigen di IGD (Instalasi Gawat Darurat) Rumah Sakit Kanker Dharmais”.
Untuk itu saya mohon bantuan kepada saudara, kiranya bersedia memberikan
informasi dengan cara kuesioner terlampir. Kerahasiaan semua informasi akan
dijaga dan hanya digunakan utuk kepentingan penelitian.
Atas perhatian, kerja sama dan kesediaannya dalam berpartisipasi sebagai
responden dalam penelitian ini, saya menyampai kan banyak terima kasih dan
berharap informasi anda akan berguna, khususnya dalam penelitian ini.

Tangerang, Desember 2022


Peneliti Responden

(Repidawati Sinaga) (………………………………..)


Lampiran 5. Lembar persetujuan Menjadi Responden

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN


(Inform Consent)

Yang bertandatangan di bawah ini :


Nama :………………………………………
Umur :………………………………………
Alamat :………………………………………
Setelah mendapatkan keterangan secukupnya serta mengetahui tentang manfaat
dan resiko penelitian yang berjudul “Hubungan Tingkat Retensi Sputum pada
Pasien Kanker Nasofaring yang Terpasang Trakeostomi dengan Saturasi Oksigen
di IGD (Instalasi Gawat Darurat) Rumah Sakit Kanker Dharmais”.
maka dengan ini saya menyatakan bersedia berpartisipasi menjadi responden,
dengan catatan apabila sewaktu –waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk
apapun, saya berhak membatalkan persetujuan ini.
Tangerang, ……………
Responden

( )
Lampiran 6. Lembar Observasi

LEMBAR OBSERVASI
Jenis Keadaan Sputum Keterangan
No Nama kelamin SPO2 Warna Kekentala Jumlah
n
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Hingga 65 responden
Lampiran 7. Kerangka Teori

Pasien Kanker Nasofaring yang Terpasang Trakeostomi

Mengeluarkan sputum

Tidak baik : Baik :


1. Sputum berwarna kuning 1. Sputum berwarna putih
kehijauan/mukopurulen jernih
2. Kental 2. Encer
3. Berjumlah 3-5ml 3. Berjumlah < 3ml

Saturasi oksigen
1. Normal (95-100%)
2. Hipoksemia ringan (91-94%)
3. Hipoksemia sedang (85-90%)
4. Hipoksemia berat (<85%)

Sumber: Sudiono dan Hassan (2019), Tabrani (2019), Faisal (2020)


74

Lampiran 8. Master Data

Jenis Kelamin SPO2 Keadaan Sputum


No. Nama
Ket Kode % Ket Kode Warna Kekentalan Jumlah Keterangan Kode
1 Ra Laki-laki 1 91 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 5 Baik 1
2 No Laki-laki 1 87 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
3 Sf Perempuan 2 93 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 3 Baik 1
4 Wi Perempuan 2 92 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 5 Baik 1
5 Wi Laki-laki 1 88 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 4 Tidak Baik 2
6 Le Laki-laki 1 94 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 5 Baik 1
7 Kl Laki-laki 1 94 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 5 Baik 1
8 Ri Laki-laki 1 93 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 3 Baik 1
9 Ni Laki-laki 1 89 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
10 Ev Laki-laki 1 93 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 4 Baik 1
11 Ju Perempuan 2 88 Hipoksemia Sedang 3 Kuning kehijauan Kental 4 Tidak Baik 2
12 Ai Perempuan 2 90 Hipoksemia Sedang 3 Kuning kehijauan Kental 4 Tidak Baik 2
13 Li Laki-laki 1 87 Hipoksemia Sedang 3 Kuning kehijauan Kental 5 Tidak Baik 2
14 Ya Laki-laki 1 89 Hipoksemia Sedang 3 Merah muda Kental 5 Tidak Baik 2
15 Ee Laki-laki 1 90 Hipoksemia Sedang 3 Merah muda Kental 4 Tidak Baik 2
16 Nu Laki-laki 1 87 Hipoksemia Sedang 3 Kuning kehijauan Kental 5 Tidak Baik 2
17 Zi Perempuan 2 90 Hipoksemia Sedang 3 Merah muda Kental 5 Tidak Baik 2
18 Uu Laki-laki 1 87 Hipoksemia Sedang 3 Merah muda Kental 5 Tidak Baik 2
19 An Perempuan 2 88 Hipoksemia Sedang 3 Kuning kehijauan Kental 5 Tidak Baik 2
20 Er Laki-laki 1 90 Hipoksemia Sedang 3 Berbusa putih Kental 5 Tidak Baik 2
21 Ya Perempuan 2 87 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
75

Jenis Kelamin SPO2 Keadaan Sputum


No. Nama
Ket Kode % Ket Kode Warna Kekentalan Jumlah Keterangan Kode
22 Np Perempuan 2 89 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 3 Tidak Baik 2
23 Ye Laki-laki 1 91 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 5 Baik 1
24 Ww Laki-laki 1 88 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
25 Su Laki-laki 1 91 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 5 Baik 1
26 Se Laki-laki 1 86 Hipoksemia Sedang 3 Putih Jernih Encer 3 Baik 1
27 Ya Perempuan 2 92 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 3 Baik 1
28 No Laki-laki 1 89 Hipoksemia Sedang 3 Berlendir putih susu Kental 4 Tidak Baik 2
29 El Perempuan 2 92 Hipoksemia Ringan 2 Berlendir putih susu Kental 3 Tidak Baik 2
30 Tu Laki-laki 1 94 Hipoksemia Ringan 2 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
31 Aa Perempuan 2 89 Hipoksemia Sedang 3 Kuning kehijauan Kental 4 Tidak Baik 2
32 Mn Perempuan 2 89 Hipoksemia Sedang 3 Kuning kehijauan Kental 4 Tidak Baik 2
33 Fi Laki-laki 1 88 Hipoksemia Sedang 3 Putih Jernih Encer 5 Baik 1
34 Nu Perempuan 2 87 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
35 Ju Perempuan 2 93 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 4 Baik 1
36 El Laki-laki 1 89 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 4 Tidak Baik 2
37 Oy Laki-laki 1 87 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
38 Ne Perempuan 2 89 Hipoksemia Sedang 3 Putih Jernih Encer 4 Baik 1
39 Ti Laki-laki 1 90 Hipoksemia Sedang 3 Berlendir putih susu Kental 3 Tidak Baik 2
40 Ti Laki-laki 1 88 Hipoksemia Sedang 3 Putih Jernih Encer 5 Baik 1
41 Mi Laki-laki 1 87 Hipoksemia Sedang 3 Putih Jernih Encer 5 Baik 1
42 Em Perempuan 2 91 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 3 Baik 1
43 El Laki-laki 1 93 Hipoksemia Ringan 2 Berbusa putih Kental 4 Tidak Baik 2
44 An Laki-laki 1 87 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
45 Nu Laki-laki 1 91 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 5 Baik 1
76

Jenis Kelamin SPO2 Keadaan Sputum


No. Nama
Ket Kode % Ket Kode Warna Kekentalan Jumlah Keterangan Kode
46 Sr Laki-laki 1 88 Hipoksemia Sedang 3 Berlendir putih susu Kental 5 Tidak Baik 2
47 Ya Laki-laki 1 93 Hipoksemia Ringan 2 Berbusa putih Encer 4 Baik 1
48 Ma Laki-laki 1 91 Hipoksemia Ringan 2 Berbusa putih Encer 4 Baik 1
49 Ev Perempuan 2 87 Hipoksemia Sedang 3 Putih Jernih Encer 4 Baik 1
50 Uu Perempuan 2 88 Hipoksemia Sedang 3 Berlendir putih susu Kental 5 Tidak Baik 2
51 Ev Perempuan 2 89 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 4 Tidak Baik 2
52 Ay Laki-laki 1 94 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 4 Baik 1
53 Yu Perempuan 2 94 Hipoksemia Ringan 2 Merah muda Kental 5 Tidak Baik 2
54 Si Perempuan 2 87 Hipoksemia Sedang 3 Merah muda Kental 5 Tidak Baik 2
55 Ra Laki-laki 1 92 Hipoksemia Ringan 2 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
56 Ro Laki-laki 1 92 Hipoksemia Ringan 2 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
57 Al Laki-laki 1 89 Hipoksemia Sedang 3 Putih Jernih Encer 5 Baik 1
58 Se Perempuan 2 94 Hipoksemia Ringan 2 Putih Jernih Encer 3 Baik 1
59 Sr Laki-laki 1 87 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
60 Uu Perempuan 2 92 Hipoksemia Ringan 2 Kuning Kental 4 Tidak Baik 2
61 Mm Laki-laki 1 90 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
62 Me Perempuan 2 88 Hipoksemia Sedang 3 Berbusa putih Kental 4 Tidak Baik 2
63 Ya Perempuan 2 88 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
64 Sr Perempuan 2 89 Hipoksemia Sedang 3 Kuning Kental 5 Tidak Baik 2
65 Sa Laki-laki 1 90 Hipoksemia Sedang 3 Putih Jernih Encer 4 Baik 1
77

Lampiran 9. Hasil Output SPSS

A. Hasil Analisis Univariat

Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 39 60,0 60,0 60,0
Perempuan 26 40,0 40,0 100,0
Total 65 100,0 100,0

Saturasi Oksigen
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Hipoksemia ringan 24 36,9 36,9 36,9
Hipoksemia sedang 41 63,1 63,1 100,0
Total 65 100,0 100,0

Retensi Sputum
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Baik 25 38,5 38,5 38,5
Tidak Baik 40 61,5 61,5 100,0
Total 65 100,0 100,0
78

B. Hasil Analisis Bivariat

Retensi Sputum * Saturasi Oksigen Crosstabulation


Saturasi Oksigen
Hipoksemia Hipoksemia
ringan sedang Total
Retensi Sputum Baik Count 17 8 25
% within Retensi 68,0% 32,0% 100,0%
Sputum
Tidak Baik Count 7 33 40
% within Retensi 17,5% 82,5% 100,0%
Sputum
Total Count 24 41 65
% within Retensi 36,9% 63,1% 100,0%
Sputum

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 16,846 a
1 ,000
Continuity Correctionb 14,748 1 ,000
Likelihood Ratio 17,169 1 ,000
Fisher's Exact Test ,000 ,000
Linear-by-Linear 16,587 1 ,000
Association
N of Valid Cases 65
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,23.
b. Computed only for a 2x2 table
79

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Retensi 10,018 3,106 32,311
Sputum (Baik / Tidak Baik)
For cohort Saturasi Oksigen 3,886 1,883 8,020
= Hipoksemia ringan
For cohort Saturasi Oksigen ,388 ,215 ,699
= Hipoksemia sedang
N of Valid Cases 65
Lampiran 10.Lembar Konsultasi

Anda mungkin juga menyukai