Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

EPIDURAL HEMATOM

A. KONSEP DASAR TEORI EPIDURAL HEMATOM (EDH)


1. Pengertian Epidural Hematom (EDH)
Beberapa pengertian mengenai epidural hematoma (EDH) sebagai berikut:
a. Epidural hematom adalah salah satu akibat yang ditimbulkan dari sebuah
trauma kepala (Greenberg et al, 2013).
b. Epidural hematom adalah hematom/perdarahan yang terletak antara durameter
dan tubula interna/lapisan bawah tengkorak, dan sering terjadi pada lobus
temporal dan pareteral. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat
robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior
(Smeltzer&Bare, 2014).
c. Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency
danbiasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang
lebih besar,sehingga menimbulkan perdarahan (Anderson, 2015).

Gambar Epidural Hematoma

2. Etiologi
Epidural hematom terjadi karena laserasi atau robekan pembuluh darah
yang ada diantara durameter dan tulang tengkorak akibat benturan yang
menyebabkan fraktur tengkorak seperti kecelakaan kendaraan dan trauma
(Japardi, 2015). Perdarahan biasanya bersumber dari robeknya arteri
meningica media (paling sering), vena diploica (karena fraktur kalvaria), vena
emmisaria, dan sinus venosus duralis (Bajamal, 2017).
3. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala yang biasanya dijumpai pada orang yang menderita
epidural hematom diantaranya adalah mengalami penurunan kesadaran sampai
koma secara mendadak dalam kurun waktu beberapa jam hingga 1-2 hari,
adanya suatu keadaan “lucid interval” yaitu diantara waktu terjadinya trauma
kepala dan waktu terjadinya koma terdapat waktu dimana kesadaran penderita
adalah baik, tekanan darah yang semakin bertambah tinggi, nadi semakin
bertambah lambat, sakit kepala yang hebat, hemiparesis, dilatasi pupil yang
ipsilateral, keluarnya darah yang bercampur CSS dari hidung (rinorea) dan
telinga (othorea), susah bicara, mual, pernafasan dangkal dan cepat kemudian
irregular, suhu meningkat, funduskopi dapat memperlihatkan papil edema
(setelah 6 jam kejadian), dan foto rontgen menunjukan garis fraktur yang
jalannya melintang dengan jalan arteri meningea media atau salah satu
cabangnya (Greenberg et al, 2013).

4. Patofisiologi
Epidural hematom secara khas timbul sebagai akibat dari sebuah luka
atau trauma atau fraktur pada kepala yang menyebabkan laserasi pada
pembuluh darah arteri, khususnya arteri meningea media dimana arteri ini
berada diantara durameter dan tengkorak daerah temporal. Rusaknya arteri
menyebabkan perdarahan yang memenuhi epidural. Apabila perdarahan terus
mendesak durameter, maka darah akan memotong atau menjauhkan daerah
durameter dengan tengkorak, hal ini akan memperluas hematoma. Perluasan
hematom akan menekan hemisfer otak dibawahanya yaitu lobus temporal ke
dalam dan ke bawah. Seiring terbentuknya hematom maka akan memberikan
efek yang cukup berat yakni isi otak akan mengalami herniasi. Herniasi
menyebabkan penekanan saraf yang ada dibawahnya seperti medulla oblongata
yang menyebabkan terjadinya penurunan hingga hilangnya kesadaran. Pada
bagian ini terdapat nervus okulomotor yang menekan saraf sehingga
menyebabkan peningkatan TIK, akibatnya terjadi penekanan saraf yang ada
diotak (Japardi, 2015 dan Mcphee et al, 2014).
5. Pathway
Non Trauma Trauma

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot, Jaringan otak rusak


dan vaskuler (kontusio laserasi)

Perdarahan Gangguan suplai Port de entry kuman Meningkatkan - Perubahann autoregulasi


darah mediator nyeri - Oedem serebral
Risiko Peruba Risiko infeksi
syok han Iskemia Nyeri akut Kejang
sirkulas
Pnurunan RR
i CSS Inflamasi
Hipoksia Jaringan Gangguan
Risiko Pola
Nafas neurologis vokal
Peningkatan TIK - Mual ketidakefektifan Pelepasan mediator kimia
- Papilodema perfusi jaringan Tidak
- Pandangan otak Efektif Defisit neurologis
Gilus medialis kabur Eksudat purulen
lobus temporalis - Penurunan Risiko
tergeser Gangguan
fungsi kekurangan Akumulasi sekret
pendengaran persepsi sensori
volume cairan
Herniasi unkus - Nyeri kepala
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
Mesenfalon Risiko cidera Tonsil cerebrum Kompresi medula oblongata
tertekan bergeser
Gangguan Imobilisasi Hambatan mobilitas Supine terlalu lama Kerusakan
kesadaran fisik integritas kulit
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doengoes (2015), pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan
pada kasus epidural hematom yaitu sebagai berikut:
1. CT Scan : untuk mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler pergeseran otak. CT Scan merupakan pilihan primer dalam hal
mengevaluasi trauma kepala. Sebuah epidural hematom memiliki batas yang kasar
dan penampakan yang bikonveks pada CT Scan dan MRI. Tampakan biasanya
merupakan lesi bikonveks dengan densitas tinggi yang homogen, tetapi mingkin
juga tampok sebagai ndensitas yang heterogen akibat dari pencampuran antara
darah yang menggumpal dan tidak menggumpal.
2. MRI : memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih jelas
karena mampu melakukan pencitraan dari berbagai posisi apalagi dalam
pencitraan hematom dan cedera batang otak.
3. Angiografi serebral : untuk menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak karena edema dan trauma.
4. EEG : untuk memperlihatkan gelombang patologis.
5. Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan/edema), dan adanya fragmen tulang.
6. BAER (brain auditory evoked respons) : untuk menentukan fungsi korteks dan
batang otak.
7. PET (positron emmision topography): untuk menunjukan metabolisme otak.
8. Pungsi lumbal : untuk menduga kemungkinan perdarahan subarachnoid.
9. AGD : untuk melihat masalah ventilasi/oksigenasi yang meningkatkan TIK.

7. Penatalaksanaan Epidural Hematom


Penatalaksanaan epidural hematom terdiri dari:
a. Terapi Operatif.
Terapi operatif bisa menjadi penanganan darurat yaitu dengan melakukan
kraniotomi. Terapi ini dilakukan jika hasil CT Scan menunjukan volume
perdarahan/hematom sudah lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 cm atau
dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang
dilakukan adalah evakuasi hematom untuk menghentikan sumber perdarahan
sedangkan tulang kepala dikembalikan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanya
edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan (Bajamal, 1999).
b. Terapi Medikamentosa.
Terapi medikamentosa dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) mengelevasikan kepala pasien 30o setelah memastikan tidak ada cedera spinal
atau posisikan trendelenburg terbalik untuk mengurangi TIK.
2) Berikan dexametason (pemberian awal dengan dosis 10 mg kemudian dilanjutkan
dengan dosis 4 mg setiap 6 jam).
3) Berikan manitol 20% untuk mengatasi edema serebri.
4) Berikan barbiturat untuk mengatasi TIK yang meninggi.

8. Pengkajian
a. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera meliputi
:
Data yang perlu dikaji
1. Identitas klien meliputi:
a) Nama
b) Umur: EDH biasanya sering terjadi pada usia produktif dihubungkan
enganangka kejadian kecelakaan yang rata-rata sering dialami oleh usia
produktif
c) Jenis kelamin: EDH dapat terjadi baik pada laki-laki maupun
perempuan
d) Agama
e) Pendidikan
f) Alamat
g) Pekerjaan
h) Status perkawinan
2. Riwayat kesehatan:
a) Diagnosa medis,
b) Keluhan utama: keluhan utama biasanya nyeri kepala setelah
kecelakaan, dapat menjadi lucid interval (kehilangan kesadaran secara
mendadak) ketika EDH tidak ditangani dengan segera.
c) Riwayat penyakit sekarang berisi tentang kejadian yang mencetuskan
EDH, kondisi paseien saat ini serta uapaya yang sudah dilakukan pada
pasien.
d) Riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah dialami,
alergi, imunisasi, kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan,
riwayat penyakit keluarga
3. Genogram
4. Pengkajian Keperawatan (11 pola Gordon)
5. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum, tanda vital
b) Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas.
c) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia,takikardia yang diselingi dengan bradikardia,disritmia).
d) Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan
mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis,
maka dapat terjadi :
a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori).
b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata.
d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Pengkajian saraf kranial :
Pengkajian saraf kranial yang ditemui pada Epidural Hematom :
1) Saraf I : klien akan mengalami gangguan penciuman/anosmia
unilateral dan bilateral
2) Saraf II : klien yang mengalami hematom palpebra akan mengalami
penurunan lapang pandang dan mengganggu fungsi saraf optikus
3) Saraf III, IV, dan VI : klien mengalami gangguan anisokoria
4) Saraf V : klien mengalami gangguan koordinasi kemampuan dalam
mengunyah
5) Saraf VII : persepsi pengecapan mengalami perubahan
6) Saraf VIII ; pendengaran mengalami perubahan
7) Saraf IX dan X : kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan
dalam membuka mulut
8) Saraf XI : klien tidak mampu mobilisasi
9) Saraf XII : indra pengecapan mengalami perubahan
e) Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia
uri, ketidakmampuan menahan miksi.
f) Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguanmenelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
g) Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat
pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di
otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan
tonus otot.
9. Diagnosa
1) Risiko perfusi cerebral tidak efektif
2) Pola nafas tidak efektif
3) Nyeri akut
4) bersihan jalan napas tidak efektif
Rencana asuhan keperawatan (kriteria hasil, intervensi, rasional)
No. Diagnosa SLKI SIKI Rasional
1. Risiko perfusi Tissue Perfusion: Cerebral Circulatory Precaution 1. Mengetahui status sirkulasi
cerebral tidak efektif Kriteria hasil: 1. Kaji sirkulasi perifer secara komprehensif (nadi perifer, perifer dan adanya kondisi
1. Menunjukkan perfusi jaringan edema, CRT, warna, dan suhu ekstremitas) abnormal pada tubuh
membaik TD dalam batas normal, tidak 2. Kaji kondisi ekstremitas meliputi kemerahan, nyeri, atau 2. Mengetahui adanya
ada keluhan sakit kepala. pembengkakan perubahan akibat gangguan
2. Tanda-tanda vital stabil 3. Hindarkan cedera pada area dengan perfusi yang minimal sirkulasi perifer
3. Tidak menunjukkan adanya gangguan 4. Hindarkan klien dari posisi trendelenberg yang 3. Menghindari cedera untuk
perfusi meliputi disorientasi, meningkatkan TIK meminimalkan luka
kebingungan, maupun nyeri kepala 5. Hindarkan adanya penekanan pada area cedera 4. Posisi trendelenberg akan
6. Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai program meningkatkan TIK
7. Health education tentang keadaan dan kondisi pasien sehingga memperparah
kepada keluarga kondisi klien
8. Kolaborasi pemberian terapi medikamentosa 5. Mengurangi penekanan
agar perfusi tidak terganggu
6. Obat-obatan untuk
meningkatkan sattus perfusi
7. Mengurangi kecemasan
keluarga
8. Membantu mempercepat
kesembuhan klien
2. Pola Nafas Tidak Respiratory status : Ventilation Respiratory monitoring 1. Mengetahui kondisi
Efektif Status sistem pernapasan : ventilasi 1. Monitor kecepatan, frekuensi, kedalaman dan kekuataan pernapasan pasien
Pola napas pasien adekuat ditandai dengan: ketika pasien bernapas 2. Mengetahui keadaaan paru
1. Pasien bernapas tanpa kesulitan 2. Monitor hasil pemeriksaan rontgen dada dan jantung pasien
2. Menunjukkan perbaikan pernapasan 3. Monitor suara napas pasien 3. Mengetahui suara napas
3. Paru-paru bersih pada pemeriksaan 4. Kaji dan pantau adanya perubahan dalam pernapasan pasien
auskultasi 5. Monitor sekret yang dikeluarkan oleh pasien 4. Mengetahui kondisi pasien
4. Kadar PO2 dan PCO2 dalam batas 6. Health education tentang keadaan dan kondisi pasien untuk menentukan intervensi
normal kepada keluarga selanjutnya sesuai indikasi
7. Kolaborasi pemberian terapi medikamentosa 5. Untuk memantau kondisi
pasien (suara napas pasien)
untuk menentukan intervensi
sesuai indikasi
6. Mengurangi kecemasan
keluarga
7. Membantu penyembuhan
klien
3 bersihan jalan napas
tidak efektif 1. Respiratory status : Ventilation Airway suction
2. Respiratory status : Airway patency 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning 1. Menjaga kebersihan oral
3. Aspiration Control 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning. mencegah penumpukan
Kriteria Hasil : 3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning sputum
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan 4. Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan. 2. Mengetahui ada tidaknya
suara nafas yang bersih, tidak ada 5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk sputum
sianosis dan dyspneu (mampu memfasilitasi suksion nasotrakeal 3. Informed consent tindakan
mengeluarkan sputum, mampu bernafas 6. Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan 4. Menampung O2 sebagai
dengan mudah, tidak ada pursed lips) 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah cadangan
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten kateter dikeluarkan dari nasotrakeal 5. O2 masih ada untuk
(klien tidak merasa tercekik, irama 8. Monitor status oksigen pasien pernapasan
nafas, frekuensi pernafasan dalam 9. Hentikan suction dan berikan oksigen apabila pasien 6. Mencegah infeksi
rentang normal, tidak ada suara nafas menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll. 7. Memberikan waktu pasien
abnormal) Airway Management untuk istirahat
3. Mampu mengidentifikasikan dan 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust 8. Mengetahui status oksigen
mencegah factor yang dapat bila perlu pasien
menghambat jalan nafas 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 9. Mencegah hipoksia yang
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas berlebihan
buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo 1. Membuat jalan napas paten
9. Berikan bronkodilator bila perlu 2. Memposisikan yang nyaman
10. Berikan pelembab udara kassa basah NaCl lembab untuk ventilasi
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. 3. Mengetahui status respirasi
12. Monitor respirasi dan status O2 pasien adekuat atau tidak
4. Membantu jalan napas
supaya paten
5. Membantu mengeluarkan
sputum
6. Mencegah penumpukan
sputum didalam paru
7. Mengetahui adanya suara
tambahan
8. Mencegah jalan napas tidak
buntu
9. Vasodilatasi paru
10. Mencegah gesekan yang
berlebihan
11. Menjaga balance cairan
12. Mengetahui status oksigen
pasien
5. Nyeri akut a. Membantu dalam
berhubungan dengan - Pain level Pain Management menentukan status nyeri
terputusnya - Pain control a. Kaji karakteristik pasien secara PQRST pasien dan menjadi data
kontinuitas jaringan - Comfort level b. Lakukan manajemen nyeri sesuai skala nyeri misalnya dasar untuk intervensi dan
Kriteria hasil: pengaturan posisi fisiologis monitoring keberhasilan
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu c. Ajarkan teknik relaksasi seperti nafas dalam dan distraksi intervensi
penyebab nyeri, mampu menggunakan pada saat rasa nyeri datang (jika pasien sadar dan b. Meningkatkan rasa nyaman
teknik nonfarmakologi untuk kooperatif) dengan mengurangi sensasi
mengurangi nyeri) d. Beri manajemen sentuhan berupa pemijatan ringat pada tekan pada area yang sakit
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang area sekitar nyeri c. Hipoksemia lokal dapat
dengan menggunakan manajemen nyeri e. Kolaborasi dengan pemberian analgesik secara periodik menyebabkan rasa nyeri dan
c. Mampu mengenali nyeri (skala, peningkatan suplai oksigen
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) pada area nyeri dapat
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri membantu menurunkan rasa
berkurang nyeri
d. Meningkatkan respon aliran
darah pada area nyeri dan
merupakan salah satu metode
pengalihan perhatian
e. Mempertahankan kadar obat
dan menghindari puncak
periode nyeri
DAFTAR PUSTAKA

Bruner & Sudart. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2015. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.
Jakarta: EGC.

Herdman, T. H. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

Muttaqin, Arif. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan


Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Price, Sylvia Anderson. 2013. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Sloane, Ethel. 2013. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Anda mungkin juga menyukai