Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA OTAK RINGAN


DI RUANG MELATI RSD Dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh
Cantik Bahirah Zakarija, S.Kep
NIM 202311101072

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Cedera Otak


Ringan di Ruang Melati RSD dr. Soebandi Kabupaten Jember disusun oleh
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas
Jember sebagai berikut:
Nama : Cantik Bahirah Zakarija, S. Kep.
NIM : 202311101072

Telah diperiksa dan disahkan pada:


Hari :
Tanggal :
Jember, 2021
TIM PEMBIMBING
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik
Stase Keperawatan Medika Bedah Ruang Melati RSD dr. Soebandi
Fkep Universitas Jember Kabupaten Jember

Mengetahui,
Kepala Ruang Melati RSD dr. Soebandi
Kabupaten Jember
LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELLITUS

A. Anatomi Otak
Gambar 1. Otak Manusia

Otak manusia adalah pusat dari sistem saraf manusia. Otak memiliki
80-120 juta neuron pada otak manusia dewasa. Otak terletak di dalam rongga
kranium tengkorak. Otak dilindungi dengan tulang tengkorak yang tebal,
tersuspensi dalam cairan serebrispinal dan diisolasi dari aliran darah oleh
penghalang darah-otak. Otak rntang terkenak kerusakan dan penyakit
(Nugrahaeni, 2020) Berdasarkan pembentukan otak dibagi menjadi 3 bagian
otak besar yaitu otak depan, otak tengah dan otak belakang baru kemudia
membentuk batang otak (Pearce, 2010). Bagian bagian otak sebagai berikut
(Nugrahaeni, 2020)
1. Korteks serebral, merupakan bagian paling besar otak manusia.
Korteks serebral ditutupi dengang lapisan kortokal dan memiliki
topografi yang berbelit belit.
Divisi korteks, struktur oyak ini memberi label lobus, paretal, lobus
oksipital, lobus frontal, lobus temporal, kranium, korteks, otak kecil,
ganglia basal, batang otak, dura, dan sumsum tulang belakang.
Belahan kiri dan kanan korteks hampir simetris. Stiap belahan otak
dibagi menjadi 4 lobus yaitu Frontal (kontrol motorik khusus,
pembelajaran, pencernaan, dan ucapan), parietal (kontrol fungsi
sensoris dan somatik), occipital (kontrol penglihatan), dan lobus
temporal (kontrol pendengaran dan pidato).
2. Batang otak dan otak kecil, serebrum melekat pada struktur sperti
tangkai yang disebut batang otak yang terdiri dari otak tengah, pons
dan medulla. Dibagian belakang otak dibawah otak besar dan
dibelakang batang otak adalah otak kecil.
3. Hippocampus, berbentuk kuda laut mempunyai peran dalam ingatan.
Amigdala adalah struktur kecil berbentuk almond jauh dalam lobus
temporal yang berfungsi sebagai mediasi dan kontrol kegitan dan
perasaan. Amigdala adalah pusat identifikasi bahaya.
4. Talamus, berada diatas batang otak dekat pusat otak, dengan serabut
saraf memproyeksi ke korteks serebral kesegala arah. Fungsinya
menyampaikan sinyal sensorik dan mtorik kekorteks serebral dan
mengatur kesadaran tidur dan kewaspadaan.
5. Hipotalamus adalah bagian kecil dari otak yang terletak tepat dibawah
talamus di kedua sisi ventrikel ketiga. Hipotalamus juga berperan
dalam emosi. secara khusus bagian lateral dengan kesenangan dan
kemarahan, sedangkan bagian medial terkait keendangan, ketidak
senangan, dan kencenderungan tertawa keras.
6. Kelenjar hipofisis, organ kecil seukuran kacang polong yang terletak
di dasar otak berfungsi sebagai pengatur dan perangsang kelenjar
untuk bekerja misalnya kelenjar tiroid dan kelenjar adrenal.
7. Ventrikel, ruangan berisi cairan didalam otak, cairan didalam ventrikel
disebut cairan serebrospinal.
8. Kelenjar pineal, kelenjar kecil yang berada di ventrikel otak yang
berperan sebagai perkembangan sistem reproduksi dan menghasilkan
hormn melatonin yang mempengaruhi pola tidur.
9. Saraf kranial, terdapat 12 pasang saraf yang memiliki fungsi
mengendalikan pergerakan mata dan otot wajah, mempengaruhi indra
perasa dan pendengaran, menjaga keseimbangan tubuh, dan
mengandalikan otot-otot serta kinerja organ tubuh.
10. Sistem limbik, berperan dalam mengendalikan amarah dan rasa takut
dan mempengaruhi daya ingat seseorang.
B. Definisi
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas,
2006). Cedera otak adalah semua cedera terkait otak yang mempengaruhi
seseorang secara fisik, emosional dan sikap. Cedera mengakibatkan
perubahan aktivitas saraf otak yang kemudian memengaruhi integritas fisik,
aktivitas metabolism atau kemampuan fungsional sel-sel saraf otak (Supripto,
2018).
Cedera Otak Ringan (COR) adalah cedera otak yang diklasifikasikan
berdasarkan tingkat kesadaran yang diukur dengan menggunakan skala GCS
(Glasgow Coma Scale) 13-15 yang diukur 30 menit setelah trauma (Bajamal,
AH., dkk, 2016).
C. Klasifiskasi
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera
kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan
morfologi.
Berdasarkan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat
memperkirakan dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama
diantaranya kekuatan cedera (kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional,
translational, atau angular), dan besar serta lamanya dampak tersebut
berlangsung.
Beratnya cedera kepala pasien diklasifikasikan secara klinis sesuai
dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis dan
tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera
kepala dan faktor patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran.
Gambar 2. Glasgow Coma Scale (GCS)
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS
9- 13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai
GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury
Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala
yaitu:

Gambar 3. Klasifikasi berdasarkan beratnya cedera kepala


Cerdera berdasarkan morfologi. Cedera yang tampak pada kepala
bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala
tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen
tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and
Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah
apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga
menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka
adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater.
(Anderson, Heitger, and Macleod, 2006).
D. Etiologi
Penyebab terjadinya cedera kepala termasuk kecelakaan lalulintas,
kekerasan/pemukulan, jatuh, cedera olahraga, dan kecelakaan industri.
Pukulan keras pada kepala dan leher, sehingga menyebabkan otak terguncang
secara paksa di dalam tulang tengkorak. Trauma atau kecelakaan yang
menyebabkan guncangan keras dan mendadak pada area kepala. Faktor resiko
lain seperti melakukan olahraga yang berisiko, seperti sepak bola, rugby,
hockey, tinju, maupun olahraga lain yang melibatkan kontak fisik. Terjatuh
(risiko ini semakin tinggi pada anak-anak usia dini dan para lanjut usia),
pernah menderita cedera kepala ringan, korban kekerasan fisik (Bajamal,
AH., dkk, 2016).
E. Patofisiologi Cedera Otak
Trauma yang diseabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau
kecelakaan dapat menyebabkan trauma pada kepala dan mengalami cedera
kepala di ekstra cranial atau kulit kepala, tulang cranial, dan juga intra cranial
atau di jaringan otak. Pada ekstra cranial terjadi putusnya kontinuitas jaringan
otot, kulit dan vaskuler yang mengakibatkan perdarahan, sehingga akan
mengalami perubahan sirkulasi CSS (cairan serebrospinal) dan akan terjadi
peningkatan TIK (tekanan intrakranial) dimana klien akan mengalami nyeri
akut. Cedera yang terjadi di tulang cranial akan mengalami gangguan suplai
darah keotak sehingga mengakibatkan hipoksia dan kemudian mengalami
gangguan perfusi jaringan. Sedangkan cedera yang terjadi di intra cranial atau
jaringan otak, akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan otak dan akan
terjadi odeme pada serebral sehingga klien mengalami kejang-kejang. Kejang
yang berlangsung lama akan mempengaruhi pernapasan yaitu terjadi
obstruksi jalan napas sehingga akan mengalami ketidakefektifan bersihan
jalan napas (Padila, 2012).
F. Manifestasi klinis
Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat
kelainan berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama
dirawat di rumah sakit < 48 jam (George, 2009). GCS 13 – 15 setelah
stabilisasi ABC: Cedera otak ringan (COR). Tanda–tanda atau gejala klinis
untuk yang cedera kepala ringan adalah pasien tertidur atau kesadaran yang
menurun selama beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap
atau berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan tidur dan nafsu makan
yang menurun, perubahan kepribadian diri, letargik (Reisner, 2009).
G. Pathway

Kecelakaan, pukulan, trauma benda tumpul, cedera olah


raga, kecelakaan kerja dan lain-lain

Trauma Kepada/ Cedera Otak

Pasien sadar GCS 13-15 Ekstrakranial/Kulit Cidera tulang kranial Intrakranial/ Jaringan Otak
(mis. fraktur)

Respon pasien bingung Kerusakan kulit, Perubahan Sirkulasi CSS dan


dan gelisah jaringan, otot dan Gangguan suplai
Peningkatan TIK
vaskuler darah ke Otak

Ansietas
Gangguan integritas Hipoksia Odema Sakit Kepala Mual / Muntah
kulit / jaringan

Resiko perfusi Kejang Nyeri Akut Resiko Hipovolemia


serebral tidak efektif

Resiko Cedera
H. Komplikasi Cedera Kepala
Pada cedera otak ringan komplikasi yang dapat muncul berupa,
vertigo pascatrauma, bisa muncul selama berhari-hari, berminggu-minggu,
bahkan berbulan-bulan setelah cedera. Sindrom pasca gegar otak, meliputi
sakit kepala, pusing berputar, dan sulit berpikir yang tak kunjung hilang
hingga 3 minggu setelah cedera. Selain itu secara umum komplikasi yang
dapat muncul pada cedera kepala yaitu:
1. Pendarahan Otak
2. Kejang
3. Keluar cairan bening dari telinga
4. Gangguan bicara, ingatan, dan emosi
5. Infeksi
I. Pemeriksaan penunjang
1. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat
kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang disertai
kebingungan, kejang, atau tanda neurologis fokal (Ginsberg, 2007).
CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan kemungkinan
komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom
subdural (Pierce & Neil, 2014). CT Scan diindikasikan pada pasien
COR dengan salah satu kelainan berikut (Bajamal, AH., dkk, 2016):
a. GCS <15 2 jam setelah cedera
b. Curiga fraktur kepala terbuka atau impresi
c. Tanda FBC: Hemotimpanum, racoo eyes, battle’s sign, atau
kebocoran LCS
d. Dua atau lebih muntah
e. Usia 65 tahun lebih
f. Lupa ingatan kejadian 30 menit atau lebih
2. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien
mengalami gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah
cedera, adanya tanda fisik eksternal yang menunjukkan fraktur pada
basis cranii fraktur fasialis, atau tanda neurologis fokal lainnya.
Fraktur kranium pada regio temporoparietal pada pasien yang tidak
sadar menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang
disebabkan oleh robekan arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
3. MRI. MRI lebih sensitif untuk menunjukkan area kecil kontusional
atau perdarahan kecil, cedera aksonal, dan perdarahan kecil ekstra
aksial. Pada pasien COR, didapatkan sebanyak 15% kelainan MRI
yang pada CT Scan-nya normal.
4. Whole Body CT (WBCT) digunakan pada kasus multitrauma untuk
mengurangi waktu diagnosis, dapat digunakan pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil.
J. Penatalaksanaan medis
1. Operasi, bila didapatkan lesi intrakranial yang indikasi untuk
dilakukan operasi (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
perdarahan intraserebral).
2. Medikamentosa
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan
tekanan intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat
sebelum evakuasi hematom intrakranial pada pasien dengan
penurunan kesadaran.
b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
c. Antikonvulsan untuk kejang.
d. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat
memperburuk penurunan kesadaran.
K. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Keluhan utama: pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama
beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap atau
berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan tidur dan nafsu makan
yang menurun, perubahan kepribadian diri, letargi (Reisner, 2009).
b. Riwayat penyakit sekarang: Penyebab terjadinya cedera kepala termasuk
kecelakaan lalulintas, kekerasan/pemukulan, jatuh, cedera olahraga, dan
kecelakaan industri. Pukulan keras pada kepala dan leher, sehingga
menyebabkan otak terguncang secara paksa di dalam tulang tengkorak.
Tanda gejala yang muncul hingga dibawa ke Rumah Sakit.
c. Riwayat penyakit dahulu: Riwayat COR, Korban kekerasan fisik,
riawayat terjatuh.
d. Status neurologis: tingkat kesadaran pasien dengan COR berdasarkan
skala Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera kepala berdasar GCS, yang
dinilai setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan: GCS 13 – 15 : Cedera
otak ringan (COR).
e. Head to toe
1) Pemeriksaan kepala
Inspeksi dan Palpasi:
a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka
terbuka, luka tembus dan benda asing.
b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill
hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan
otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi
kanalis auditorius.
c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla, fraktur rima
orbita dan fraktur mandibula
d. Trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan
bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
Auskultasi: pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis
2) Leher dan tulang belakang
Inspeksi: Jejas, deformitas, status motorik dan sensorik.
Palpasi: nyeri tekan.
2. Diagnosa Keperawatan (PPNI, 2017)
a. Ansietas (D.0080) b.d krisis situasional (setelah trauma) d.d merasa
bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi,
tampak gelisah.
b. Gangguan Integritas kulit/jaringan (D.0129) b.d cedera ekstrakranial d.d
kerusakan jaringan/kulit, jejas, deformitas, nyeri, perdarahan, kemarahan,
hematoma subkutan.
c. Resiko perfusi sereberal tidak efektif (D.0017) d.d Cedera kepala, hipoksia
jaringan otak.
d. Resiko cedera (D.0136) d.d kejang, kemungkinan vertigo pada pasien
komplikasi.
e. Nyeri akut (D.0077) b.d Cedera traumatis (COR) d.d mengeluh nyeri,
tampak meringis, gelisah, nadi meningkat, sulit tidur.
f. Resiko Hipovolemia (D.0034) d.d muntah, trauma/ perdarahan.
3. Rencana Keperawatan

Diagnosa SLKI (PPNI, 2019) SIKI (PPNI, 2018) Rasional Paraf


Keperawatan

a. Ansietas Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas (I.09314) 1. Untuk mengetahui tingkat
(D.0080) Keperawatan selama ...x... jam maka ansietas pasien.
Observasi
Tingkat Ansietas (L.09093) menurun 2. Untuk mengetahui
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi tingkat munculnya ansietas pada Cantik
ansietas berubah. pasien
Kriteria hasil Skala Skala
2. Monitor tanda-tanda 3. Agar pasien merasa lebih
awal akhir
Verbalisasi 3 5 ansietas nyaman
kebingungan 4. Perawat dapat lebih
Terapeutik
Verbalisasi 3 5
khawatir akibat mengerti apa yang
3. Ciptakan suasana
kondisi yang dicemaskan oleh pasien
dihadapi terapeutik untuk
5. Agar pasien dapat
Perilaku gelisah 3 5 menumbuhkan
memahami kondisinya
Keterangan : kepercayaan.
dengan baik.
1 = meningkat, 2 = cukup meningkat, 3 4. Pahami situasi yang
6. Untuk memberikan
= sedang, 4 = cukup menurun, 5 = membuat ansietas
dukungan mental pada
menurun dengarkan dengan
penuh perhatian. pasien.
7. Agar perawat dapat lebih
Edukasi
memahami apa yang
5. Informasikan secara dirasakan pasien.
faktual mengenai 8. Untuk mengurangi dan
diagnosis, pengobatan mengontrol ansietas
dan progosis. 9. Untuk mengurangi
6. Anjurkan keluarga ansietas secara
untuk tetap bersama farmakologis.
pasien.
7. Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan persepsi
8. Latih teknik relaksasi

Kolaborasi

9. Kolaborasi peberian
obat antlansietas, jika
perlu
Gangguan Setelah dilakukan tindakan Perawatan Luka (I.14564) 1. Agar memahami konsisi
Integritas Keperawatan selama ...x... jam maka luka
Observasi
kulit/jaringan Integrtasn kulit/jaringan (L.14125) 2. Mengetahui luka infeksi
(D.0129) Meningkat dengan kriteria hasil: 1. Monitor karakteristik atau tidak dan mencegah Cantik
luka (mis. Drainase, infeksi
Kriteria hasil Skala Skala
wrna, bau) 3. Agar pasien tidak
awal akhir
Kerusakan jaringan 3 5 2. Monitor tanda-tanda merasakan kesakitan.
Kerusakan lapisan 3 5 infeksi 4. Untuk mempermudah
kulit
Terapeutik proses perawatan luka
Nyeri 3 5
Hematoma 3 5 pasien.
3. Lepaskan balutan dan
Keterangan : 5. Membersihkan luka
plester secara perlahan
1 = meningkat, 2 = cukup meningkat, 3 mengurangi resiko infeksi.
4. Cukur rambut di sekitar
= sedang, 4 = cukup menurun, 5 = 6. Mempercapat proses
daerah luka jika perlu
menurun penyembuhan luka.
5. Bersihkan dengan
7. Mengurangi resiko infeksi
cairan NaCl atau
pada luka pasien.
pembersih nontosik,
8. Untuk memantau infeksi
sesuai kebutuhan.
yang terjadi pada luka
6. Berikan salep yang
9. Agar luka dapat dirawat
sesuai dengan lesi/kulit, secara mandiri pasien dan
jika perlu. keluarga.
7. Pertahankan teknik 10. Untuk mencegah infeksi
steril saat melakukan secara farmakologis.
perawatan luka

Edukasi

8. Jelaskan tanda dan


gejala infeksi
9. Anjurkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri.

Kolaborasi

10. Kolaborai pemberian


antibiotik, jika perlu.
Resiko perfusi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Peningkatan 1. Mengetahui akar masalah
sereberal tidak Keperawatan selama ...x... jam maka Tekanan Intrakranial yang menyebabkan
efektif (D.0017) Perfusi serebral (L.02014) meningkat (I.06194) peningkatan TIK.
dengan kriteria hasil: 2. Mengetahui tanda tanda Cantik
Observasi
peningkatan TIK.
Kriteria hasil Skala Skala
1. Identifikasi penyebab 3. Untuk mencegah rangsang
awal akhir
Tingkat kesadaran 3 5 peningkatan TIK (mis. yang menyebabkan
Keterangan : Lesi, edema serebral) peningkatan TIK menjadi
1 = menurun, 2 = cukup menurun, 3 = 2. Monitor tanda dan kejang.
sedang, 4 = cukup meningkat, 5 = gejala peningkatan TIK 4. Untuk mengurangi TIK
meningkat (mis. TD meningkat, akibat sirkulasi darah ke
tekanan nadi melebar, otak.
Kriteria hasil Skala Skala
bradikardi, pola nafas 5. Mencagah kejang
awal akhir
TIK 3 5 irreguler, kesadaran 6. Untuk mencegah
Sakit kepala 3 5 menurun) terjadinya kejang
Gelisah 3 5
Kecemasan 3 5 Terapeutik
Keterangan :
3. Minimalkan stimulus
1 = meningkat, 2 = cukup meningkat, 3
dengaan menyediakan
= sedang, 4 = cukup menurun, 5 =
menurun lingkungan yang
tenang.
Kriteria hasil Skala Skala
awal akhir 4. Berikan posisi semi
Kesadaran 3 5 fowler.
Keterangan : 5. Cegah terjadinya
1 = memburuk, 2 = cukup memburuk, 3 kejang
= sedang, 4 = cukup membaik, 5 =
Kolaborasi
membaik
6. Kolaborasi pemberian
sedai dan anti
konvulsen, jika perlu.

Resiko cidera Setelah dilakukan tindakan Pencegahan kejang 1. Untuk mengetahui status
(D.0136) Keperawatan selama ...x... jam maka (I.14542) neurologis pasien.
Kontrol kejang (L.06050) meningkat 2. Menjaga TTV dalam batas
Observasi
dengan kriteria hasil: normal. Cantik
1. Monitor status 3. Mencegah jatuh pada
Kriteria hasil Skala Skala
neurologis pasien ketika kejang
awal akhir
Kemampuan 3 5 2. Monitor TTV 4. Mecegah jatuh pada
mengidentifikasi
faktor Terapeutik pasien ketika kejang.
resiko/pemicu 5. Untuk mengetahui waktu
kejang 3. Baringkan pasien agar
dan tanda akan kejang.
Kemampuan 3 5 tidak terjatuh
mencegahfaktor 6. Agar keluarga dapat
4. Pasang side-rile tempat
resiko/pemicu memberikan pertolongan
kejang tidur.
pertama yang tepat.
Kepatuhan minum 3 5
Edukasi 7. Mencegah kejang secara
obat
Keterangan : 5. Anjurkan melapor jika farmakologis.
1 = menurun, 2 = cukup menurun, 3 = merasakan aura
sedang, 4 = cukup meningkat, 5 = 6. Ajarkan keluarga
meningkat pertolongan pertama
pada kejang

Kolaborasi

7. Kolaborasi pemberian
antikonvulsen, Jika
perlu.
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (I.08238) 1. Untuk mengetahui
(D.0077) Keperawatan selama ...x... jam maka karakteristik nyeri.
Observasi
Tingkat nyeri (L.08066) menurun 2. Untuk mengetahui tingkat
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi lokasi, nyeri. Cantik
karaktersistik, durasi, 3. Untuk mengetahui respon
frekuensi, kualitas, pasien.
Kriteria hasil Skala Skala intensitas nyeri. 4. Guna mengurangi nyeri
awal akhir
2. Identifikasi skala nyeri dan mengkontrol nyeri
Keluhan nyeri 3 5
Meringis 3 5 3. Indentifikasi respon yang dirasakan pasien.
Sikap proteksi 3 5 nyeri nonverbal. 5. Mencegah faktor yang
gelisah 3 5
Terapeutik memperberat nyeri.
Perasaan takut 3 5
mengalami cedera 6. Agar pasien memahami
4. Berikan teknik
berulang kondisinya.
mual 3 5 nonfarmakologis untuk
7. Agarpasien dapat
Muntah 3 5 mengurangi nyeri
meredakan nyeri sevata
Keterangan : 5. Kontrol lingkungan
mandiri.
1 = meningkat, 2 = cukup meningkat, 3 yang memperberat
8. Untuk memantau nyeri
= sedang, 4 = cukup menurun, 5 = nyeri.
secara mandiri
menurun
9. Agar pasien meminum
Edukasi obat analgesik secara
benar baik dosis, rute dan
6. Jelaskan penyebab,
waktu.
perode dan pemicu
10. Agar pasien dapat
nyeri.
melakukan teknik
7. Jelaskan strategi
nonfarmakologi tersebut
meredakan nyeri.
secara mandiri
8. Anjurkan memonitor
11. Mengurangi nyeri secara
nyeri secara mandiri.
farmakologis.
9. Anjurkan
menggunakan analgetik
secara tepat.
10. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri

Kolaborasi

11. Kolaborasi pemberian


analgetik, jika perlu.
Resiko Setelah dilakukan tindakan Manajemen muntah 1. Memantau kondisi muntah
Hipovolemia Keperawatan selama ...x... jam maka (I.03118) pasien.
(D.0034) Keseimbangan cairan (L.03020) 2. Mengetahui banyaknya
Observasi
meningkat dengan kriteria hasil: muntah pasien. Cantik
1. Identifikasi 3. Mengetahui penyebab
Kriteria hasil Skala Skala
karakteristik muntah pasien muntah.
awal akhir
Asupan cairan 3 5 (mis. Warna 4. Memantau keseimbangan
Keterangan : konsistensi, adanya cairan dan elektrolit
1 = menurun, 2 = cukup menurun, 3 = darah, wkatu, frekuensi pasien.
sedang, 4 = cukup meningkat, 5 = dan durasi). 5. Untuk mencegah muntah
meningkat 2. Periksa volume muntah berulang.
3. Identifikasi faktor 6. Agar pasien tidak tersedak
Kriteria hasil Skala Skala
penyebab muntah ketika muntah.
awal akhir
Edema 3 5 4. Monitor keseimbangan 7. Meningkatkan
Dehidrasi 3 5 cairan dan elektrolit. kenyamanan pasien
Keterangan :
Terapeutik 8. Membantu pasien ketika
1 = meningkat, 2 = cukup meningkat, 3
muntah agar posisi nya
= sedang, 4 = cukup menurun, 5 = 5. Kurangi atau hilangkan
nyaman.
menurun keadaan penyebab
9. Agar muntah pasien dapat
muntah diukur volumenya dan
6. Atur posisi untuk agar muntah tidak
pencegahan aspirasi. berceceran.
7. Bersihkan mulut dan 10. Agar pasien dapat
hidung. mengelola muntah dengan
8. Berikan dukungan fisik teknik nonfarmakologi
saat muntah secara mandiri.
11. Mencegah muntah dengan
Edukasi
farmakologi.
9. Anjurkan membawa
kantong pelastik untuk
menampung muntah
10. Ajarkan teknik
nonfoarmakologis
untuk mengelola
muntah.
Kolaborasi

11. Kolaborasi pemberian


antiemetik, jika perlu.
DAFTAR PUSTAKA

Advanced Trauma Life Support (ATLS) for Doctors. (2015).8th Edition.

Anderson, T., Heitger, M. (2006). Macleod ADConcussion and mild head injury.
Practical Neurology. Vol 6:342-357.

Bajamal, A.H., dkk. (2016). MODUL TRAUMA. Surabaya:UNAIR

Brain Injury Association of Michigan. (2005). Traumatic Brain Injury Provider


Training Manual. Michigan Department Of Community Health.

George, D. (2009). Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf.


Jakarta. EGC.

Ginsberg, Lionel. (2007). Lecture Notes: Neurology. Jakarta: Erlangga.

Langlois J.A., Rutland-Brown W., Thomas K.E. (2006). Traumatic brain injury in
the United States: emergency department visits, hospitalizations, and
deaths. Atlanta (GA): National Center for Injury Prevention and Control.

Nugrahaeni, Ardhina. (2020). Pengantar Anatomi Fisiologi Manusia.Jakarta: PT


Gramedia

Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medika Bedah. Yogyakarta: Nuh


Pearce, C, Evelyn. (2010). Anatomi dan Fisiologis untuk Paramedis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1 Cetakan Kedua. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI.
Suripto, Yoga. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Cidera Otak
Sedang (COS) dengan Masalah Nyeri Akut. Jombang: STIKES INSAN
CENDIKIA MEDIKA

Anda mungkin juga menyukai