Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PENDAHULUAN DEPARTEMEN KEPERAWATAN

MEDIKAL BEDAH PADA KLIEN “CKD (Chronic Kidney Disease)


HIPERTENSI Yang Mendapatkan Terapi HEMODIALISA”

Oleh :

Nita Febrilia Robi

19.30.034

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM PROFESI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Resume dengan CKD (Chronic Kidney Disease) Komp Hiperkalemia di Ruang


Hemodialisa Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang yang dilakukan oleh :

Nama : Nita Febrilia Robi

NIM : 19.30.034

Prodi : Pendidikan Profesi Ners Program Profesi STIKes Kepanjen


Malang

Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Profesi Ners
Departemen Keperawatan Medikal Bedah, yang dilaksanakan pada tanggal 16
September 2019 – 21 September 2019, yang telah disetujui dan disahkan pada :

Hari : Sabtu

Tanggal : 21 September 2019

Malang, 16 September 2019

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

(.............................................) (.............................................)
BAB 1

1.1 Latar Belakang


Chronic Kidney Disease adalah kondisi ireversibel di mana fungsi ginjal
menurun dari waktu ke waktu. CKD biasanya berkembang secara perlahan dan
progresif, kadang sampai bertahun-tahun, dengan pasien sering tidak menyadari
bahwa kondisi mereka telah parah. Kondisi fungsi ginjal memburuk, kemampuan
untuk memproduksi erythropoietin yang memadai terganggu, sehingga terjadi
penurunan produksi baru sel-sel darah merah dan akhirnya terjadi anemia.
Dengan demikian, anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada CKD,
dan sekitar 47% pasien dengan CKD anemia (Denise, 2007).
Prevalensi gagal ginjal kronik (GGK) setiap tahunya di Amerika Serikat
dengan jumlah penderita selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2007
jumlah penderita sekitar 80.000 orang, tahun 2010 mengalami peningkatan
menjadi 660.000 orang. Di indonesia pada tahun 2007 prevalensi pasien
penderita gagal ginjal kronik mencapai 2.148 orang, dan tahun 2008 menjadi
2.260 orang (Alam dan Hadibroto, 2008).
Berdasarkan diagnosis dokter prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia
sebesar 0,2%. Provinsi yang menempati urutan pertama dan mempunyai
prevalensi 0,5% dari 33 provinsi pada tahun 2013 adalah provinsi Sulawasi
Tengah diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi utara masing-masing 0,4%.
Untuk provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur masing-masing 0,3%
(Riskesdas, 2013).
Hemodialisis merupakan proses terapi sebagai pengganti ginjal yang
menggunakan selaput membran semi permeabel berfungsi seperti nefron
sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi
gangguan keseimbangan cairan maupun elektrolit pada pasien gagal ginjal.
Hemodialisis yang dijalani oleh pasien dapat mempertahankan kelangsungan
hidup sekaligus merubah pola hidup pasien. Perubahan yang akan terjadi
mencakup diet pasien, tidur dan istirahat, penggunaan obat-obatan, dan
aktivitas sehari-hari. Pasien yang menjalani hemodialisis juga rentan terhadap
masalah emosional seperti stress berkaitan dengan pembatasan diet dan cairan,
keterbatasan fisik, penyakit, efek samping obat, serta ketergantungan terhadap
dialisis yang akan berdampak terhadap menurunnya kualitas hidup pasien
(Mailani, 2015).
Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik semakin menurun karena pasien
tidak hanya menghadapi masalah kesehatannya tetapi juga masalah terapi
yang akan berlangsung seumur hidup, akibatnya kualitas hidup pasien yang
menjalani terapi hemodialisis lebih rendah dibanding penyakit yang lain.
Kepatuhan pasien gagal ginjal kronik dalam menjalani terapi hemodialisa juga
akan mempengaruhi kualitas hidup pasien yang menjalani terapi hemodialysis.
BAB 2

LAPORAN PENDAHULUAN

2.1 Definisi Cronic Kidney Disease

CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana
ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan
samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan
metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia
atau azotemia (Smeltzer, 2009).

2.2 Etiologi

a. Infeksi misalnya pielonefritis kronik (Infeksi saluran kemih),


glomerulonefritis (penyakit peradangan).

Pielonefritis adalah proses infeksi peradangan yang biasanya mulai di


renal pelvis, saluran ginjal yang menghubungkan ke saluran kencing
(ureter) dan parencyma ginjal atau jaringan ginjal. Glomerulonefritis
disebabkan oleh salah satu dari banyak penyakit yang merusak baik
glomerulus maupun tubulus. Pada tahap penyakit berikutnya keseluruhan
kemampuan penyaringan ginjal sangat berkurang.

b. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,


nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis.

Disebabkan karena terjadinya kerusakan vaskularisasi di ginjal oleh


adanya peningkatan tekanan darah akut dan kronik.

c. Gangguan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis


nodosa, sklerosis sistemik progresif.

Disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang ada dalam membran
basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan. Penyakit peradangan
kronik dimana sistem imun dalam tubuh menyerang jaringan sehat,
sehingga menimbulkan gejala diberbagai organ.

d. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,


asidosis tubulus ginjal.
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral, dan
berekspansi yang lambat laun akan mengganggu dalam menghancurkan
parenkim ginjal normal akibat penekanan, semakin lama ginjal tidak
mampu mempertahankan fungsi ginjal sehingga ginjal akan menjadi rusak.

e. Penyakit metabolik misalnya DM (Diabetes Mellitus), gout,


hiperparatiroidisme, amiloidosis.

f. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal.


Penyebab penyakit yang dapat dicegah bersifat refersibel, sehingga
penggunaan berbagai prosedur diagnostik.

g. Nefropati obstrukstif misalnya saluran kemih bagian atas : kalkuli


neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah :
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung
kemih dan uretra.

h. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis.

Merupakan penyebab gagal ginjal dimana benda padat yang dibentuk oleh
presipitasi berbagai zat terlarut dalam urin pada saluran kemih.

2.3 Manifestasi Klinis

Menurut Brunner & Suddart (2013) setiap sistem tubuh pada gagal ginjal
kronis dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan
sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada
bagian dan tingkat kerusakan ginjal, usia pasien, dan kondisi yang mendasari.
Tanda dan gejala pasien gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut :
a. Manifestasi kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki, tangan,
sakrum), edema periorbital, Friction rub perikardial, pembesaran vena
leher.
b. Manifestasi dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis,
kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Manifestasi Pulmoner
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan Kussmaul
d. Manifestasi Gastrointestinal
Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia,
mual,muntah, konstipasi dan diare, pendarahan saluran gastrointestinal
e. Manifestasi Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan
tungkai, panas pada telapak kaki, perubahan perilaku
f. Manifestasi Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop
g. Manifestasi Reproduktif
Amenore dan atrofi testikuler

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju


Filtration Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2
dengan rumus Kockroft – Gault sebagai berikut :

Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau berat 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Sumber : Sudoyo, 2010 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

2.5 Patofisiologi

Disfungsi ginjal mengakibatkan keadaan patologik yang komplek


termasuk diantaranya penurunan GFR (Glumerular Filtration Rate),
pengeluaran produksi urine dan eksresi air yang abnormal,
ketidakseimbangan elektrolit dan metabolik abnormal. Homeostatis
dipertahankan oleh hipertropi nefron. Hal ini terjadi karena hipertrofi nefron
hanya dapat mempertahankan eksresi solates dan sisa-sisa produksi dengan
jalan menurunkan reabsorbsi air sehingga terjadi hipostenuria (kehilangan
kemampuan memekatkan urin) dan polyuria adalah peningkatan output
ginjal. Hipostenuria dan polyuria adalah tanda awal CKD dan dapat
menyebabkan dehidrasi ringan. Perkembangan penyakit selanjutnya,
kemampuan memekatkan urin menjadi semakin berkurang. Osmolitasnya
(isotenuria). Jika fungsi ginjal mencapai tingkat ini serum BUN meningkat
secara otomatis, dan pasien akan beresiko kelebihan beban cairan seiring
dengan output urin yang makin tidak adekuat. Pasien dengan CKD mungkin
menjadi dehidrasi/mengalami kelebihan beban cairan tergantung pada tingkat
gagal ginjal.

Perubahan metabolik pada gagal ginjal juga menyebabkan gangguan


eksresi BUN dan kreatinin. Kreatinin sebagian dieksresikan oleh tubulus
ginjal dan penurunan fungsi ginjal berdampak pada pembentukan serum
kreatinin. Adanya peningkatan konsentrasi BUN dan kreatinin dalam darah
disebut azotemia dan merupakan salah satu petunjuk gagal ginjal.

Perubahan kardiak pada CKD menyebabkan sejumlah gangguan system


kardiovaskuler. Manifestasi umumnya diantaranya anemia, hipertensi, gagal
jantung kongestif, dan perikaraitis, anemia disebabkan oleh penurunan
eritropetin, penurunan masa hidup sel darah merah akibat dari uremia,
defisiensi besi dan asam laktat dan perdarahan gastrointestinal.

Hipertropi terjadi karena peningkatan tekanan darah akibat overlood cairan


dan sodium dan kesalahan fungsi sistem renin. Angiostin aldosteron CRF
menyebabkan peningkatan beban kerja jantung karena anemia, hipertensi, dan
kelebihan cairan (Brunner & Suddart, 2013).

1. Tahap I : Diminishid Renal Reserve

Tahap ini penurunan fungsi ginjal, tetapi tidak terjadi penumpukan sisa-
sisa metabolik dan ginjal yang sehat akan melakukan kompensasi terhadap
gangguan yang sakit tersebut.
2. Tahap II : Renal Insufficiency (insufisiensi ginjal)

Pada tahap ini dikategorikan ringan apabila 40-80% fungsi normal, sedang
apabila 15-40% fungsi normal dan berat bila fungsi ginjal normal hanya 2-
20%. Pada insufisiensi ginjal sisa-sisa metabolik mulai berakumulasi
dalam darah karena jaringan ginjal yang lebih sehat tidak dapat
berkompensasi secara terus-menerus terhadap kehilangan fungsi ginjal
karena adanya penyakit tersebut. Tingkat BUN, kreatinin, asam urat, dan
fosfor mengalami peningkatan tergantung pada tingkat penurunan fungsi
ginjal.

3. Tahap III : End Stage Renal Desease (penyakit ginjal tahap lanjut)

Sejumlah besar sisa nitrogen (BUN, Kreatinin) berakumulasi dalam darah


dan ginjal tidak mampu mempertahankan hemostatis. Ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit terjadi bila segera dianalisa akan menjadi
fatal/kematian.
2.6 Pathway
2.7 Pemeriksaan Penunjang

Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu


pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun
kolaborasi antara lain :

1. Pemeriksaan Laboratorium Darah

a. Hematologi

Hb, Hematokrit, Eritrosit, Leukosit, Trombosit

b. RFT (Renal Fungsi Test)

Ureum dan Kreatinin

c. LFT (Liver Fungsi Test)

d. Elektrolit

Klorida, kalium, kalsium

e. Koagulasi Studi

PIT, PTTK

f. BGA

g. Urine

h. Urine rutin

i. Urine khusus : benda keton, analisa kristal batu

j. Pemeriksaan Kardiovaskular

k. ECG

l. ECO

m. Radiodiagnostik

n. USG abdominal
o. CT scan abdominal

p. BNO/IVP, FPA

q. Renogram

r. RPG (Retio Pielografi)

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :

a) Konservatif

1. Dilakukan pemeriksaan lab. darah dan urin

2. Observasi balance cairan

3. Observasi adanya cairan

4. Batasi cairan yang masuk

b) Dialysis

1. Peritoneal dialysis

Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan


dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CAPD (Continues Ambulatori Peritonial Dialysis).

2. Hemodialisis

Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan


dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodialisis dilakukan
melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka
dilakukan :

a. AV fistule : menggabungkan vena dan arteri


b. Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke
jantung.
c. Operasi
a. Pengambilan batu
b. Transplantasi ginjal
2.8 Pengkajian Keperawatan

Pengkajian Keperawatan

Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada
Carpenito (2006) sebagai berikut :

1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada
juga yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh
berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan
sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan
juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena
kebiasaan kerja dengan duduk/berdiri yang terlalu lama dan lingkungan
yang tidak menyediakan cukup air minum/mengandung banyak senyawa/
zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,
glomerulo nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi
saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu
kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam
kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan
nutrisi dan air naik atau turun.
4. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidakseimbangan antara output dan input.
Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi
peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan
darah dan suhu.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan/keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
pasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan
nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning/kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum,
bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat
otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara
tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung,
terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refill lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan
mengkilat/uremia, dan terjadi perikarditis.
HIPERTENSI
A. Definisi Hipertensi
World Health Organization (WHO) dan The International Society of
Hypertension (ISH) menetapkan bahwa hipertensi merupakan kondisi ketika
tekanan darah (TD) sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan tekanan darah
diastolic lebih besar dari 90 mmHg. Nilai ini merupakan hasil rerata minimal
dua kali pengukuran setelah melakukan dua kali atau lebih kontak dengan
petugas kesehatan hipertensi usia dewasa telah diklasifikasikan dalam Sixtth
Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Preassure (INC VI) pada tahun 1997. Hal ini
dapat dilihat pada tabel:
Kategori TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)
Optimal <120
Normal <130
Tinggi-normal 130-139
Hipertensi
Derajat 1 140-159
Derajat 2 160-179
Derajat 3 >180
(Yasmara dkk, 2016).
B. Etiologi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya, Hipertensi dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :
1. Hipertensi esensial atau primer
Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini masih belum dapat
diketahui. Namun, berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab
hipertensi primer, seperti bertambahnya umur, stres psikologis, dan
hereditas (keturunan). Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong
Hipertensi primer sedangkan 10% nya tergolong hipertensi sekunder.
2. Hipertensi sekunder
Jumlah Hipertensi sekunder hanya sekitar 5-10% dari kejadian hiertensi
secara keseluruhan. Hipertensi jenis ini merupakan dampak dari penyakit
tertentu. Berbagai kondisi yang bisa menyebabkan hipertensi antara lain
penyempitan arteri renalis, penyakit parenkim ginjal, hiperaldosteron
maupun kehamilan. Selain itu obat-obatan tertentu bisa juga pemicu jenis
hipertensi sekunder.
Hipertensi primer maupun sekunder memiliki potensi untuk berkembang
menjadi hipertensi berat atau dengan pula sebagai krisis hipertensi.
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya
perubahan-perubahan pada:
a) Elastisitas dinding aorta menurun
b) Katub jantung menebal dan menjadi kaku
c) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
d) Kehilangan elastisitas pembuluh darah
Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk
oksigenasi
e) Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
C. Pathway

D. Manifestasi Klinis Hipertensi


Tanda dan gejala hipertensi dibedakan menjadi:
a. Tidak ada gejala : tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan
dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh
dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan
pernah terdiagnosa jika arteri tidak teratur.
b. Gejala yang lazim : sering dikatakan bahwa gejala yang lazim menyertai
hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini
merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang
mencari pertolongan medis.Beberapa pasien yang menderita hipertensi
yaitu:
1) Mengeluh sakit kepala, pusing
2) Lemas, kelelahan
3) Sesak nafas
4) Gelisah
5) Mual, muntah
6) Epitaksis
7) Kesadaran menurun
8) Tengkuk terasa pegal, dan lain-lain.
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi adalah kerusakan ginjal,
pendarahan pada selaput bening (retina mata), pecahnya pembuluh darah di
otak, serta kelumpuhan.
E. Pemeriksaan Penunjang Hipertensi
1. Hemoglobin / hematokrit : mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap
volume cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor-faktor resiko
seperti hipokoagulabilitas, anemia.
2. BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi/fungsi ginjal.
3. Glukosa : Hiperglikemia (diabetes melitus adalah pencetus hipertensi)
dapat diakibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin (meningkatkan
hipertensi).
4. Kalium serum : hipokalemia dapat mengindikasikan adanya aldosteron
utama (penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
5. Kalsium serum : peningkatan kadar kalsium serum dapat meningkatkan
hipertensi.
6. Kadar nitrogen urea darah normal (normal = 5-25 mg/dL)2 atau meningkat
> 20 mg/dL dan kadar kreatinin serum normal (normal = 0,5-1,5 mg/dL)2
atau >1,5 mg/dL menunjukkan penyakit ginjal.
7. Kolesterol dan trigeliserida serum : peningkatan kadar dapat
mengindikasikan pencetus untuk/adanya pembentukan plak ateromatosa
(efek kardiofaskuler)
8. Pemeriksaan tiroid : hipertiroidisme dapat mengakibatkan vasikonstriksi
dan hipertensi.
9. Kadar aldosteron urin dan serum : untuk menguji aldosteronisme primer
(penyebab).
10. Urinalisa : darah, protein dan glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan
atau adanya diabetes.
11. VMA urin (metabolit katekolamin) : kenaikan dapat mengindikasikan
adanya feokomositoma (penyebab); VMA urin 24 jam dapat digunakan
untuk pengkajian feokromositoma bila hipertensi hilang timbul.
12. Asam urat: hiperurisemia telah menjadi implikasi sebagai faktor resiko
terjadinya hipertensi.
13. Steroid urin : kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme,
feokromositoma atau disfungsi ptuitari, sindrom Cushing’s; kadar renin
dapat juga meningkat.
14. IVP : dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi, seperti penyakit
parenkim ginjal, batu ginjal dan ureter.
15. Foto dada : dapat menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub;
deposit pada dan/ EKG atau takik aorta; perbesaran jantung.
16. CT scan : mengkaji tumor serebral, CSV, ensevalopati, atau
feokromositoma.
17. EKG: dapat menunjukkan perbesaran jantung, pola regangan, gangguan
konduksi. Catatan : Luas, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda
dini penyakit jantung hipertensi.

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Non Farmakologis.
1. Diet
Pembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat
menurunkan
tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin dalam plasma
dan
kadar adosteron dalam plasma.
2. Aktivitas.
Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan
dengan
batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging,
bersepeda atau berenang.
Penatalaksanaan Farmakologis
Secara garis besar terdapat bebrapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2. Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4. Tidak menimbulakn intoleransi
5. Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
6. Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
Golongan obat - obatan yang diberikan pada klien dengan hipertensi
seperti golongan diuretic, golongan betabloker, golongan antagonis
kalsium,golongan penghambat konversi rennin angitensin.
F. Komplikasi
Organ organ tubuh sering terserang akibat hipertensi anatara lain mata berupa
perdarahan retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan,gagal
jantung, gagal ginjal, pecahnya pembuluh darah otak.

Hubungan hipertensi Dengan kejadian Cronic Kidney Deseases (CKD)


Hipertensi dapat menyebabkan penyakit ginjal. Hipertensi dalam jangka
waktu yang lama dapat mengganggu ginjal. Beratnya pengaruh hipertensi
terhadap ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya
menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama makin
berat komplikasi yang mungkin ditimbulkan. Hipertensi merupakan penyebab
gagal ginjal kronik kedua terbesar setelah diabetes militus. Adanya
peningkatan tekanan darah yang berkepanjangan nantinya akan merusak
pembuluh darah pada daerah di sebagian besar tubuh. Ginjal memiliki jutaan
pembuluh darah kecil dan nefron yang memiliki fungsi untuk menyaring
adanya produksi darah. Ketika pembuluh darah pada ginjal rusak dapat
menyebabkan aliran darah akan menghentikan pembuangan limbah serta
cairan ekstra dari tubuh.
Hubungan antara CKD dan hipertensi dapat dijelaskan oleh beberapa
faktor. CKD dapat menyebabkan retensi garam dan volume overload
berikutnya. Hal ini mungkin atau tidak disertai dengan pembengkakan
(edema) bersama dengan peningkatan tekanan darah. Selain itu, gagal ginjal
muncul untuk memicu peningkatan aktivitas dari sistem saraf simpatik,
menyebabkan sesuatu seperti gelombang adrenalin.
Mekanisme hormonal juga memainkan peran penting dalam hubungan
antara CKD dan hipertensi, terutama melalui sistem renin-angiotensin.
Hormon ini bisa dilepaskan sebagai respons terhadap kerusakan kronis dan
jaringan parut pada ginjal, dan dapat memberikan kontribusi untuk hipertensi
pasien dengan merangsang baik retensi garam, serta penyempitan pembuluh
darah.
Hormon lain yang dapat meningkatkan tekanan darah dan telah
meningkatkan jumlah dengan CKD memajukan adalah hormon paratiroid
(PTH). PTH ini menimbulkan kalsium dalam darah, yang juga dapat
menyebabkan penyempitan pembuluh darah, mengakibatkan hipertensi.
Sebuah kondisi yang dapat menyebabkan CKD dan hipertensi arteri
stenosis ginjal (penyempitan pembuluh darah yang mendukung ginjal).
Ketika penyempitan menjadi cukup parah, kurangnya aliran darah dapat
menyebabkan hilangnya fungsi ginjal. Jika suplai darah ke kedua ginjal
dipengaruhi, atau aliran darah ke ginjal berfungsi tunggal, seperti setelah
penghapusan ginjal akibat kanker, terganggu, pasien akan mengembangkan
CKD. Penurunan aliran darah memicu sistem renin angiotensin,
menyebabkan hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan
struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi
dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal,
dan mata. Pada ginjal, arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan
nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena
penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Penyumbatan arteri dan
arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga
seluruh nefron rusak. Terjadilah gagal ginjal kronik.
Gagal ginjal kronik sendiri sering menimbulkan hipertensi. Sekitar 90%
hipertensi bergantung pada volume dan berkaitan dengan retensi air dan
natrium, sementara < 10% bergantung pada renin.
Tekanan darah adalah hasil perkalian dari curah jantung dengan tahanan
perifer. Pada gagal ginjal, volum cairan tubuh meningkat sehingga
meningkatkan curah jantung. Keadaan ini meningkatkan tekanan darah.
Selain itu, kerusakan nefron akan memacu sekresi renin yang akan
mempengaruhi tahanan perifer sehingga semakin meningkat.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut
maupun penyakit ginjal kronik, baik pada kelainan glumerolus maupun pada
kelainan vaskular. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan
dalam :
1. Penyakit glumerolus akut
Hipertensi terjadi karena adanya retensi natrium yang menyebabkan
hipervolemik. Retensi natrium terjadi karena adanya peningkatan
reabsorbsi natrium di duktus koligentes. Peningkatan ini dimungkankan
abibat adanya retensi relatif terhadap Hormon Natriuretik Peptida dan
peningkatan aktivitas pompa Na – K – ATPase di duktus koligentes.

2. Penyakit vaskuler
Pada keadaan ini terjadi iskemi yang kemudian merangsang sistem
rennin angiotensin aldosteron.
3. Gagal ginjal kronik
Hipertensi yang terjadi karena adanya retensi natrium, peningkatan
system.
4. Renin Angiotensinogen Aldosteron
Akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, aktifitas saraf
simpatik yang meningkat akibat kerusakan ginjal, hiperparatiroidit
sekunder, dan pemberian eritropoetin.
5. Penyakit glumerolus kronik Sistem
Renin-Angiotensinogen-Aldoteron (RAA) merupakan satu system
hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalm
naiknya tekanan darah, pangaturan keseimbangan cairan tubuh dan
elektrolit.
Dengan terjadinya kegagalan ginjal berpengaruh terhadap nefron-
nefron. Sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh
sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang
utuh akan mengalami hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat dan disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan
GFR / daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾
dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar daripada yang bisa direabsorpsi sehingga berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak maka oliguri timbul disertai retensi produk sisa.
Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal
telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian,
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah dari
itu (Barbara C Long, 1996).
Dengan menurunnya fungsi renal, maka produk akhir metabolisme
protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam
darah, sehingga Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin
berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner &
Suddarth, 2001).
HEMODIALISA
1. DEFINISI
Hemodialisa berasal dari kata hemo dan dialisa. Hemo adalah darah
sedangkan dialisa adalah pemisahan atau filtrasi. Pada prinsipnya hemodialisa
menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci yang
dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini
dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut
dialysis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi
permeable.
Menurut Price dan Wilson, dialisa merupakan suatu proses solute dan air
mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa
peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa.
Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari
plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau
tekanan tertentu.(15)
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox, hemodialisa didefinisikan
sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan
untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan
melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang
besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran.
Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan
produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi
metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di
Amerika Serikat.(17)
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus
yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan
untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan
beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan
masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan
vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan.
2. INDIKASI
Hemodialisa sebagai terapi penyakit ginjal end-stage. Terapi ini juga
mempertimbangkan segi pendidikan, pekerjaan, dan kondisi kesehatan
pasien. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan terapi berdasarkan
kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat
jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup
lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan
gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar
kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria sedangkan pada wanita diatas 4
mg/100 ml. Selain itu, nilai kadar glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari
4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat
tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.(1)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Stadium Fungsi Ginjal Laju Filtrasi Glomerulus
(mL/menit/1,73m2)
Risiko meningkat Normal > 90, terdapat faktor risiko
Stadium 1 Normal atau meningkat > 90, terdapat kerusakan ginjal,
proteinuria menetap, kelainan
sedimen urin, kelainan kimia
darah dan urin, kelainan pada
pemeriksaan radiologi.
Stadium 2 Penurunan ringan 60-89
Stadium 3 Penurununan sedang 30-59
Stadium 4 Penurunan berat 15-29
Stadium 5 Gagal Ginjal <15
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
(2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Glomerolus (LFG)
kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala
uremia atau malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa
gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan
adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem
paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik
diabetik.(4,5,14)
Thiser dan Wilcox menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai
ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding
dengan kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala
uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan
dilakukan hemodialisa. (17)
Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan
Clearance Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal
Nilai GFR Kreatinin Clearance Rate
(mg/dl) (ml/menit/1,73 m2) (ml/menit)
Normal >90 Pria : <1,3 Pria : 90-145
Wanita : <1,0 Wanita : 75-115
Gangguan 60-89 Pria : 1,3-1,9 56-100
Ginjal Ringan Wanita : 1,0-1,9
Gangguan 30-59 2-4 35-55
Ginjal Sedang
Gangguan 15-29 >4 <35
Ginjal Berat
Tabel 2. Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan
Clearance Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis
adalah laju filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari < 15 mL/menit,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai pemeriksaan
tanda dan gejala serta pemeriksaan laboratorium, sebagai berikut :
1. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
Penderita dapat mengalami gangguan kesadaran. Adanya gangguan
asidosis metabolik dan atau gejala sindrom uremia seperti mual, muntah
dan anoreksia. Tanda – tanda overload cairan seperti edem, sesak napas
akibat edema paru, serta adanya gangguan jantung. Penderita juga dapat
mengeluhkan sulit kencing (anuria) lebih dari 5 hari.
2. Pemeriksaan Laboratorium ditemukan :
a) Kreatinin serum > 8 mg/dL
b) Ureum darah > 200 µ/dL
c) Hiperkalemi
d) pH darah < 7,1

3. KONTRAINDIKASI
Kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif
terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak
didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas
hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain
diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom
hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut.
4. PROSES HEMODIALISA
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan
melaui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki
konsentrasi tinggi, kecairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah.
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient
tekanan, gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif
yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Karena pasien tidak
dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan
cairan hingga tercapai isovelemia (keseimbangan cairan).
Sistem tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan
berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami
metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan
kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena.
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu
saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk
menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan
hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang
akan masuk ke dalam mesin hemodialisa. Hemodialisa dilakukan pada
penyakit gagal ginjal terminal yaitu dengan mengalirkan darah ke dalam
suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang
terpisah. Darah pasien dialirkan dan dipompa ke kompartemen darah yang
dibatasi oleh selaput permiabel buatan (artificial) dengan kompartemen
dialisat. Kompartemen dialisat dialairi cairan dialysis yang bebas pirogen,
berisi larutan dengan komposisi elektrolit yang sama dengan serum normal
dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialysis dan darah
yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zar terlarut
berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah
sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada
proses dialysis, air juga berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen
cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negative pada
kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air disebut dengan ultrafiltrasi.
Cairan dialysis adalah cairan yang digunakan pada proses hemodialisa,
terdiri dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir
sama dengan serum normal dan mempunyai tekanan osmotic yang sama
dengan darah. Fungsi cairan dialysis adalah mengeluarkan dan menampung
cairan serta sisa-sisa metabolisme dari tubuh, serta mencegah kehilangan zat-
zat vital dari tubuh selama dialisa.
Cairan dialysis mengandung macam-macam garam, elektrolit dan atau
zat antara lain :
1) NaCl / Sodium Chloride.
2) CaCl2 / Calium Chloride.
3) Mgcl2 / Magnesium Chloride.
4) NaC2H3O2 3H2O / acetat atau NaHCO3 / Bilkarbonat.
5) KCl / potassium chloride, tidak selalu terdapat pada dialisat.
6) Dextrose.
Gambar 1. Cairan Dializer

Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa


berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan
aliran darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau
fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin
melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi
yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan
larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat
dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan
larutan.
Gambar 2. Mesin Hemodialisa
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian
lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah
dialisat ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer
merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan
serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian
tengah tabung-tabung kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya.
Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas
akibat adanya banyak tabung kapiler.

Gambar 3. Aliran Darah


Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter
masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan
dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya
terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah
dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).

Gambar 4. Sirkuit
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi
untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur
arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui
jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan
dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan
konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat
atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer,
dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui
drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran
semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.
Komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi
ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan
cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang
umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl- , asetat dan glukosa. Urea,
kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke
dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Natrium
asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat, akan berdifusi ke
dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis
penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh pasien menjadi
bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah ditambahkan ke dalam
dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam dialisat yang dapat
menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada hemodialisa tidak
dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena pembuangan
cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara
darah dengan dialisat.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat
dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah
dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau
dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan
pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran
dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem
dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum
dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin
cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar
tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran
dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan
aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada
jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah.
Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien.
Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi
dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter.
Menurut PERNEFRI waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15
jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Pada akhir interval 2–3 hari
diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal
lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel
darah merah rusak dalam proses hemodialisa.
Price dan Wilson menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan
meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan
hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien
meninggal. Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran
kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat.
Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama
pengobatan berkisar dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa
yang digunakan dan keadaan pasien.

5. PENATALAKSANAAN HEMODIALISA
Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal
terminal atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal
yang sangat membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang
dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa
tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien tetapi
hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal
ginjal.
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu
mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini
akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin.
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung
kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga
merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan
hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun
biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada asupan
protein, natrium, kalium dan cairan.
6. KOMPLIKASI
Hemodialisa sangat penting untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak
tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa
hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan
muntah (5-15% dari dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-
5% dialisis), sakit tulang belakang (2- 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari
dialisis) dan demam pada anak-anak (<1% dari dialisis). Sedangkan
komplikasi serius yang paling sering terjadi adalah sindrom disequilibrium,
arrhythmia, tamponade jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis dan
emboli paru.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam dan menggigil.
Komplikasi dari renal replacement theraphy
complication Hemodialisis Peritonel dialysis
cardiovascular Air embolism Arrytmia
Angina Hipotension
Arrytmia Pulmonary edema
Cardiac tamponade
Hypotension*
Infection Bacterimia Catheter exit sitre
Colonization of temporary infection
central venous cateters peritonitis
Endocarditis
Meningitis
Osteomyelitis
Sepsis
Vascular access celulitis or
absess
Mecahnical Obstruksi pada arterivena, Catheter obstruction by
terbentuk fistul trombosis atau clots, fibrin, omentum, or
infeksi fibrous encasement
Stenosis atau trombosis pada Dialysate leakage around
vena subklavia atau superior the catheter
vena cava dan intern vena Dissection of fluid into
jugular the abdominal wall
Hematoma in the
pericatheter tract
Perforation of a viscus by
the catheter
Metabolic Hipoglikemi pada orang Hipoalbumin
diabetik yang memakai insulin Hiperglikemi
Hipokalemi Hipertrigliserid
Hiponatremi dan hipernatremi Obesitas

Pulmonary Dispnea sampai reaksi Atelectasis


anafilasis oleh membran Efusi pleura
hemodialisa Pneumonia
Hipoksia
Miscellaneous Deposit amiloid Abdominal and inguinal
Hemorragic cateter hernias
Demam yang disebabkan oleh Catheter-related intra-
bakterimia, pirogen, atau panas abdominal bleeding
dialysate Hypothermia
Perdarahan (GI, Intracranial, Peritoneal sclerosis
retroperitonel, intraocular) Seizures
Insomnia
Pruritus
Keram otot
Restlessness
Kejang
*most common complication overall
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda,
dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
b. Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi),
mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal
pada kulit.
c. Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic
Hyperplasia, prostatektomi.
3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
4) Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat
dan dalam (Kussmaul), dyspnea.
a. Pemeriksaan Fisik :
1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala: Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk
dengan/tanpa sputum, kental dan banyak.
Tanda: Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk
produktif dengan / tanpa sputum.
2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada
atau angina dan sesak nafas, gangguan irama jantung,
edema.
Tanda: Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting
pada kaki, telapak tangan, Disritmia jantung, nadi lemah
halus, hipotensi ortostatik, friction rub perikardial, pucat,
kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.
3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent
sampai koma.
4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Gejala: Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari
400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak
dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)
oliguria atau anuria.
5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis
erosiva dan Diare
6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki,
(memburuk saat malam hari), kulit gatal,
ada/berulangnya infeksi.
Tanda: Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area
ekimoosis pada kulit, fraktur tulang, defosit fosfat
kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan
gerak sendi.
5) Pola aktivitas sehari-hari
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata
laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak
gagal ginjal kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif
terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya
penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake
minum yang kurang. dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang
dapat mempengaruhi status kesehatan klien. Peningkatan berat badan
cepat (oedema) penurunan berat badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri
ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan diuretic,
Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan
memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis,
kuku rapuh.
c. Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan
pekat, tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria,
anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi,
Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau
anuria.
d. Pola tidur dan Istirahat
Gelisah, cemas, gangguan tidur.
e. Pola Aktivitas dan latihan
Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien
tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal,
Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
f. Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran).
g. Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati /
mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma.
Klien mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak, klien
mengalami disorientasi/ tidak.
h. Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran
pada keluarga (self esteem).
i. Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual,
gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses
ejakulasi serta orgasme. Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
j. Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor
stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat
menyebabkan klien tidak mampu menggunakan mekanisme koping
yang konstruktif / adaptif. Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada
harapan, tak ada kekuatan. Menolak, ansietas, takut, marah, mudah
terangsang, perubahan kepribadian.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta
gagal ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan
ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah klien
7. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan tekanan vaskuler serebral dan iskemia
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen
Rencana Keperawatan

NO Diagnosa Keperawatan Tujuan & KH Intervensi Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan Tujuan : Pain Management


dengan tekanan vaskuler Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
serebral dan iskemia selama 3x24 jam nyeri akut berkurang komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
Kriteria Hasil:
kualitas dan faktor presipitasi
Kriteria Hasil
2. Tentukan lokasi, karakteristik,
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu kualitas, dan derajat nyeri sebelum
penyebeb nyeri, mampu pemberian obat
menggunakan tehnik 3. Observasi reaksi nonverbal dari
nonfarmakologi untuk mengurangi ketidaknyamanan
nyeri, mencari bantuan) 4. Kurangi faktor presipitasi nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang 5. Kontrol lingkungan yang dapat
dengan menggunakan tehnik mempengaruhi nyeri, seperti suhu
manajemen nyeri. ruangan, pencahayaan, dan kebisingan
3. Mampu mengenali nyeri (skala, 6. Ajarkan tehnik non farmakologi
intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri) 7. Tingkatkan istirahat
4. Menyatakan rasa nyaman setelah 8. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
nyeri berkurang. keluhan dan tindakan penaganan nyeri
tidak berhasil

2 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan Activity Therapy


berhubungan dengan selama 3x24 jam pasien dapat 1. Bantu klien untuk mengidentifikasi
kelemahan, beraktivitas fisik tanpa disertai aktivitas yang mampu dilakukan
ketidakseimbangan suplai peningkatan tekanan darah, nadi dan 2. Bantu untuk memilih aktivitas
dan kebutuhan oksigen RR konsisten yang sesuai dengan
Kriteria Hasil: kemampuan fisik, psikologi dan social.
3. Bantu klien untuk membuat jadwal
1. Tanda tanda vital normal
latihan diwaktu luang
2. Mampu melakukan aktivitas
4. Monitor respon fisik, emosi, social,
sehari-hari (ADLs) secara
dan spiritual
mandiri
5. Bantu untuk mengidentifikasi dan
3. Mampu berpindah dengan atau
mendapatkan sember yang diperlukan
tanpa bantuan alat
untuk aktivitas yang diinginkan
3 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Pertahankan catatan intake dan output
berhubungan dengan selama 1x24 jam pasien terbebas dari yang akurat
gangguan mekanisme edema 2. Monitor vital sign
regulasi 3. Kaji lokasi dan luas edema
Kriteria Hasil
4. Monitor masukan makanan / cairan dan
`1. Bunyi nafas bersih, tidak ada
hitung intake kalori
dyspneu/ortopneu
5. Monitor status nutrisi
2. Terbebas dari kelelahan,
6. Monitor tanda dan gejala odema
kecemasan, atau kebingungan
7. Kolaborasi dengan dokter jika tanda
3. Memelihara tekanan vena sentral,
cairan berlebih muncul lebih buruk.
tekanan kapiler paru, output
jantung dan vital sign dalam batas
normal.
BAB 4

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu
tak dapat pulih, dan dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia telah dipakai
sebagai nama keadaan ini selama lebih dari satu abad, walaupun sekarang kita
sadari bahwa gejala gagal ginjal kronik tidak seluruhnya disebabkan retensi urea
dalam darah.

Adapun kriteria penyakit ginjal kronik adalah :

1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa kelainan
struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi
lomerulus (LGF), berdasarkan :

Kelainan patologik atau

Pertanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urin,
atau kelainan pada pemerikasaan pencitaraan.

2. LFG <60 ml/menit/1,73 m2 yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.

Banyak hal yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Banyak penyakit
ginjal yang mekanisme patofisiologinya bermacam-macam tetapi semuanya
sama-sama menyebabkan destruksi nefron yang progresif pada tabel dibawah
dapat dilihat dua golongan utama penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan gagal ginjal kronik.

1.2 Saran

Sebagai tindakan pencegahan sebaiknya kita banyak melakukan olahraga,


menjaga asupan nutrisi yang adekuat serta istirahat yang teratur. Semoga dengan
pembelajaran ini saya sebagai mahasiswa keperawatan, akan lebih mudah
mengetahui seluk beluk penyakit Gagal Ginjal Kronik, bagaimana gejala hingga
komplikasinya sehingga saya mampu memberikan asuhan keperawatan yang
tepat untuk pasien penderita gagal ginjal kronik kelak.
DAFTAR PUSTAKA

Alam, S & Hadibroto, I., 2008.Gagal Ginjal. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume
2.Jakarta EGC
Carpenito, Linda Juall.2006.Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Alih Bahasa: Yasmin
Asih.Editor Monica Ester.EGC.Jakarta
Denise, (2007) Assessment of the Impact of Weekly Versus Monthly
ErythropoiesisStimulating Protein Therapy on Patients with CKD and Their
Families.Nephrology Nursing Journal
Mailani Fitri (2015) kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis: systematic review. http;//vol11no1_2015_4.pdf.com
diaksespada tanggal 20 Agustus 2019
Riskesdas. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI.
Smeltzer, Suzanne, C. 2006. Keperawatan Medikal Bedah. ECG. Jakarta.
Sudoyo, A.W. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI.

Anda mungkin juga menyukai