Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KASUS SUBDURAL HEMATOMA (SDH) DI INTENSIVE


CARE UNIT (ICU) RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr.
SOEBANDI JEMBER

Oleh:
Nama : Ahmad Abdul Ghofar Abdulloh, S. Kep.
NIM : 19020001

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER
YAYASAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL (JIS)
2019/2020

9
PERSETUJUAN

Laporan pendahuluan pada kasus “Subdural Hematoma (SDH)”. Telah dibuat


pada tanggal 2 Februari 2020. Pada pasien di Instalasi Gawat Darurat Rumah
Sakit Umum Daerah dr. Soebandi Jember.

Jember, 02 Februari 2020


Pembimbing Ruangan, Pembimbing Akademik,

(………................…………………...………..) (……………….....…………………………..)
NIP/NIK NIK.

Kepala Ruangan,

(……………………….............……………………..)
NIP/NIK
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA KASUS SUBDURAL HEMATOMA (SDH) DI
INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr.
SOEBANDI JEMBER

1.1 Pengeritian
Subdural Hematamoma merupakan tipe trauma yang sering terjadi perdarahan
pada meningeal yang menyebakan akumulasi darah pada daerah subdural antara
duramater dan arachnoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan
temporal. Pada subdural hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah
“bridging vein”, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging
vein”. Lesi ini lebih sering ditemukan daripada Epidural Hematoma (EDH).
Namun dengan onset of time yang lambat, karena sobekan pembuluh darah terjadi
pada vena sedangakan pada EDH mengenai arteri. Terjadi karena laserasi
arteri/vena kortikal pada saat berlangsungnya akselerasi dan deselerasi. Pada anak
dan usia lanjut sering disebabkan oleh robekan. Perdarahan subdural akut (PSD
akut ) merupakan salah satu penyakit bedah syaraf yang mempunyai mortalitas
relative tinggi baik penderita dioperasi atau tidak. Oleh karena itu perdarahan
subdural perlu mendapatkan perhatian baik di dalam pengetahuan patofisiologinya
maupun di dalam penguasaan tindakan menanggulanginya (Satrodiningrat, 2006).
Subdural hematoma adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Subdural hematoma dalam bentuk akut yang hebat merupakan kondisi dimana
baik darah maupun cairan serebospinal memasuki ruang subdural sebagai akibat
dari laserasi otak atau robeknya arachnoid sehingga menambah penekanan
subdural pada jejas langsung di otak. Subdural hematoma dalam bentuk kronik
merupakan kondisi dimana hanya darah yang efusi keruang subdural akibat
pecahnya vena-vena penghubung, kondisi kronis tersebut ummunya disebabkan
oleh cedera kepala tertutup. Efusi merupakan proses bertahap yang menyebabkan
timbulnya sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi
gumplan darah bebeapa minggu setelah cedera terjadi.
Gambar Subdural Hematoma

1.2 Klasfikasi
Subdural Hematoma dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori
berikut: Perdarahan subdural dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan saat
timbulnya gejala-gejala klinis, yaitu:
a. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera berjam-jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda
vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
Pada gambaran Ct-scan, didapatkan lesi hiperdens.
b. Perdarahan sub akut
Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 2-14 hari sesudah trauma.
Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan
darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada bentukan kapsula
disekitarnya. Pada gambaran scanning tomografi didapatkan lesi isodens dan
hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah
dan reabsorbsi dari hemoglobin.
c. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan
kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu
ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan
hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila
pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah.
Pada perdarahan subdural kronik, hematoma lama kelamaan bisa menjadi
membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan
herniasi. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini
dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan
kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma
akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri.
Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia
di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi
hipodens.

1.3 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera atau trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural. Perdarahan subdural dapat terjadi pada kondisi:
a. Trauma
1. Trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak
itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.
2. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
3. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak – anak.
b. Non trauma
1. Pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural.
2. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
3. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan.

1.4 Patofisiologi
Pada orang dewasa, otak, medula spinalis, dan cairan spinal terbungkus
bersama dengan pembuluh-pembuluh serebrum, dalam wadah tulang yang kaku
dan tertutup yang tak dapat mengembang (setelah sutura menutup). Rongga
tengkorak dalam keadaan normal mengandung sebuah otak dengan berat sekitar
1400 gram, 75 mL darah dan 75 Ml cairan spinal. Karena jaringan otak dan
serebospinal pada dasarnya tidak dapat ditekan, maka volume darah, cairan
serebopsinal dan otak setiap saat dalam tengkorak harus relatif konstan.
Hukum Monroe-Kelli mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan
volumenya tetap. Berdasarkan hal ini hukum Monroe-Kellie menyatakan bahwa
volume intrakranial adalah volume otak ditambah dengan cairan otak dan darah
yang mengalir di dalam pembuluhnya. Sesuai dengan hukum tersebut, volume
otak yang bertambah akan mengganggu keseimbangan dari seluruh volume
intrakranial. Hukum ini berimplikasi bahwa perubahan volume salah satu atau
lebih unsur intra kranial harus diikuti oleh perubahan salah satu unsur lainnya
sebagai kompensasi. Apabila suatu kompensasi ini tidak dapat berfungsi lagi,
maka terjadi peninggian tekanan intra kranial. Selanjutnya volume otak yang
mengembang akibat edema atau jaringan otak yang tertekan akibat bertambahnya
masa intrakranial, akan menyesuaikan mencari lokus minoris resistensi dan
terjadilah herniasi otak (Dahrmajaya, 2014).
Seluruh volume intrakranial tersebut terletak di rongga tulang tertentu yang
disebut tengkorak (kranium). Rongga tengkorak ini bersifat rigid dan tidak lentur.
Sisa rongga tengkorak di luar volume otak, cairan otak dan darah, adalah sangat
terbatas. Bila terjadi penambahan masa di dalam rongga tengkorak akan
menyebabkan pergeseran kenormalan anatomis dan meningkatkan tekanan dalam
rongga tersebut. Peningkatan tekanan ini disebut peningkatan tekanan intrakranial
(TIK). Ada dua mekanisme kerusakan otak pada peningkatan tekanan intrakranial:
perubahan mekanikal atau perubahan vaskular. Perubahan mekanikal disebabkan
karena tekanan area perdarahan pada jaringan otak. Tekanan ini menyebabkan
perpindahan jaringan otak (herniasi). Selain itu, ada efek vaskular dimana
peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak.
Menurunnya tekanan darah ke otak akhirnya akan menyebabkan hipoksia dan
iskemia di otak. Iskemia ini akan menyebabkan edema sitotoksik yang akhirnya
menyebabkan lebih banyak jaringan otak yang rusak. Penghantaran dan
penyerapan oksigen yang terganggu dapat menyebabkan pembengkakan sel otak.
Pembengkakan sel otak ini mengakibatkan volume otak semakin bertambah.
Proses ini adalah dampak lanjutan di cedera kepala sekunder dan dapat
berlangsung hingga 48 sampai 72 jam pascatrauma (Ferly. 2014).
Pada trauma kepala, terjadinya peningkatan tekanan intrakranial tersebut
disebabkan karena terdapatnya pendarahan di kepala sebagai akibat langsung
trauma tersebut. Awalnya, kenaikan volume di kepala tersebut akan
dikompensasikan dengan turunnya cairan serebrospinal ke corda spinalis. Namun,
kapabilitas kompensasi tersebut akan sangat minimal dan akan cepat dikalahkan
apabila tidak ditangani secara cepat. Itulah yang menyebabkan gejala peningkatan
tekanan intrakranial sangat cepat memburuk. Oleh karena itu diperlukan
mekanisme pemantauan yang baik. Sistem sirkulasi serebral mempunyai
persarafan simpatik yang kuat, yang berjalan bersama-sama dengan arteri serebral
ke atas berasal dari ganglion simpatik cervical superior. Persarafan ini merawat
arteri-arteri besar yang terletak pada permukaan dan arteri-arteri kecil yang
menembus ke dalam jaringan otak.
Pada beberapa kondisi tertentu, perangsangan simpatik dapat menyempitkan
arteri serebral dengan nyata sekali. Alasan mengapa keadaan ini bisa terjadi, sebab
mekanisme autoregulasi yang mengatur aliran darah lokal itu begitu kuatnya
sehingga dalam keadaan normal akan mengimbangi hampir semua pengaruh yang
ditimbulkan akibat rangsangan simpatik tadi. Pada kondisi dimana mekanisme
autoregulasi itu gagal untuk mengimbangi, maka pengaturan simpatik terhadap
aliran darah serebral akan menjadi lebih penting. Bila tekanan darah arteri
meningkat sampai sampai pada suatu nilai yang cukup tinggi yang menimbulkan
aktivitas sirkulasi hebat, ternyata sistem simpatik akan menyempitkan pembuluh-
pembuluh arteri yang berukuran besar sedang dan keadaan ini mencegah naiknya
tekanan darah dalam pembuluh-pembuluh darah yang lebih kecil.
Pada saat terjadi peningkatan tekanan intrakanial pembuluh-pembuluh
serebrum akan meningkat. Setiap perubahan tekanan dengan cepat akan
menimbulkan perubahan serupa dalam dalam tekanan intrakranial. Dengan
demikian, peningkatan tekanan vena menurunkan aliran darah serebrum baik
dengan melalui penurunan tekanan perfusi efektif maupun melalui penekanan
pada pembuluh serebrum. Hubungan ini membantu kompensasi perubahan
tekanan arteri di tingkat kepala. Misalnya, apabila tubuh mengalami akselerasi ke
atas (g positif), maka darah bergerak menuju kaki dan tekanan arteri ditingkat
kepala menurun. Namun, tekanan vena dan intrakanial juga menurun, sehingga
tekanan pada pembuluh-pembuluh berkurang dan aliran dan aliran darah tidak
terlalu berkurang. Sebaliknya, selama akselerai kebawah, gaya yang bekerja pada
kepala (g negatif) meningkatkan tekanan arteri di tingkat kepala, tetapi tekanan
intrakranial juga meningkat, sehingga pembuluh terlindung dan tidak pecah
(Ganong, 1998).
Dampak lanjutan cedera kepala sekunder tersebut semakin menambah beban
tekanan di dalam rongga tengkorak. Hal tersebut berakibat terjadi kematian sel
otak dan memperberat kondisi patologis otak. Di titik dekompensasi tertentu, saat
rongga tengkorak tidak mampu menahan volume yang semakin meningkat,
terjadilah herniasi yang mengakibatkan kematian.

1.5 Manifestasi Klinis


Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada
tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal
primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak
khas dan merupakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti:
sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n.
III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya, kadang kala dengan
riwayat trauma yang tidak jelas, sering diduga tumor otak.
Tanda dan gejala yang pada umumnya timbul pada pasien dengan subdural
hematoma meliputi:
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48
jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan
pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya
pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural
akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan
subdural. Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial
seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap
sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Hematoma subdural yang bertambah luas
secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh)
dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan,
sehingga selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Gejala-gejala
antara lain: sakit kepala yang menetap, rasa mengantuk yang hilang-timbul,
linglung, perubahan ingatan, kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala
bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

1.6 Pemeriksaan Penunjang


a. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan: untuk
mengetahui adanya infark atau iskemia jangan dilekukan pada 24-72 jam
setelah injuri
b. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. X-ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
d. Analisa gas darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial (Batticaca, 2008).
1.7 Penatalaksanaan
a. Penanganan darurat :
1. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
2. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
b. Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena.
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a) Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga
mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
b) Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol per infus
untuk menarik air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular
untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Manitol digunakan
untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial pada cidera kepala
c) Barbiturat, digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme
otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen
juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun
suplai oksigen berkurang.
c. Operasi di lakukan bila terdapat :
1. Volume hamatom > 30 ml
2. Keadaan pasien memburuk
3. Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan
kedalaman >1 cm
4. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis
tengah dengan GCS 8 atau kurang
5. Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg (Sidharta, 2005).
1.8 Komplikasi
a. Pneumonia
Merupakan infeksi pada paru-paru. Infeksi dapat disebabkan bakteri, virus
maupun jamur. Pasien dengan SDH mengalami gangguan menelan dan
seringkali mengalami aspirasi sehingga makanan dan air liur memasuki trakea
dan menyebabkan terjadinya pneumonia. Gejala pneumonia antara lain berupa
nyeri tenggorokan, batuk, serta disertai dengan demam tinggi.
b. Hemiplegia
c. Disfasia atau afasia
d. Epilepsi
e. Hidrosepalus
f. Subdural empiema
g. Dekubitus. Keterbatasan gerak atau tirah baring pada pasien SDH akan
menyebabkan klien tidak dapat bergerak. Kondisi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan kulit akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit
yang menutupi tulang yang menonjol akibat penekanan yang lama
1.9 Clinical Pathway

Trauma tumpul,
tembus, Cedera Otak Fraktur tulang
deselarisasi

1.10 ...............................................................................................
Terputusnya Ruftur pembuluh darah Terputusnya jaringan
kontinuitas tulang otot, kulit dan vaskuler

Pelepasan prostaglandin, Subdural Hematom


bradikinin, leukotrien, Gangguan suplai
histamin darah ke otak
Perubahan sirkulasi CSS
Iskemi
Penuruanan Kapasitas
Adaptif Intrakranial Hipoksia

Bradikinin merangsang Mual


nosisepr Penurunan Risiko perfusi
kesadaran cerebral tidak
efektif
Penurunan nafsu
Nyeri Akut makan
Tirah baring
Peningkatan
lama
pernapasan
Nutrisi tidak adekuat
Kelemahan otot
Penumpukan Penggunaan otot
sekret bantu pernapasan
Penurunan berat badan
Tidak bisa
melakukan Pola nafas tidak
Bersihan jalan nafas
perawatan efektif
tidak efektif
mandiri

Defisit perawatan diri: mandi, Ketidak seimbangan


makan, berpakaian, nutrisi kurang dari
kubutuhan tubuh

Gangguan Mobilitas Fisik


1.10 Proses Keperawatan
1.10.1 Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama, umur, agama, pendidikan, status, perkawinan
b. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Pada umumnya klien mengalami penurunan kesadaran baik biasanya
mengeluh sakit atau nyeri kepala, pusing, mual muntah.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Kaji penyebab trauma : biasanya karena kecelakaan lalu lintas atau sebab
lain tanyakan kapan dimana apa penyebab serta bagaimana proses
terjadinya trauma. Apakah saat trauma pingsan, disertai muntah
perdarahan atau tidak. Riwayat amnesia setelah cedera kepala
menunjukkan derajat kerusakan otak.
3. Riwayat penyakit terdahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, DM,
penyakit jantung anemia, stroke, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol yang
berlebihan.
4. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota keluarga yang dapat memicu timbulnya
penyakit yang sama.
Apakah ada salah satu anggota keluarga yang mengalami penyakit
hipertensi jantung dan sebagainya.
5. Riwayat psikososial
Bagaimana mekanisme klien terhadap penyakit dan perubahan perannya,
pola persepsi dan konsep diri sebagairasa tidak berdaya tidak ada harapan,
mudah marah dantidak kooperatif, kondisi ekonomi klien seperti dampak
biaya perawatan dan pengobatan yang besar.
6. Primary Survey
a) Airway apakah ada sumbatan jalan nafas seperti darah secret lidah
dan benda sing lainnya, suara nafas normal/tidak, apakah ada
kesulitan bernafas
b) Breathing : pola nafas teratur, observasi keadaan umumdengan
metode : look : liat pergerakan dada pasien,teratur, cepat dalam atau
tidak. Listen : dengarkan aliranudara yang keluar dari hidung pasien.
Feel : rasakanaliran udara yang keluar dari hidung pasien
c) Sirkulasi : akral hangat atau dingin, sianosis atau tidak,nadi teraba
apakah ada.
d) Disability apakah terjadi penurunan kesadaran, nilai GCS, pupil
isokor, nilai kekuatan otot, kemampuan ROM.
e) Eksposure ada atau tidaknya trauma kepala ada atau tidaknya luka
lecet ditangan atau dikaki. Fareinhead ada atau tidaknya trauma
didaerah kepala, ada tau tidaknya peningkatan suhu yang mendadak,
demam.
c. Pemeriksaan Fisik Keperawatan
1. Keadaan umum
Tergantung berat ringannya cedera, keadaan umum biasanya mengelami
penurunan kesadaran
2. Kesadaran
Pada cidera berat, tidak sadar lebih dari 24 jam. Perubahan kesadaran
sampai koma.
Penilaian GCS:
Membuka Mata (Eye)
Nilai
4 Spontan
3 Rangsang suara (pasien disuruh membuka mata)
2 Rangsang nyeri
1 Tidak membuka mata
Respon Bicara (Verbal)
5 Baik dan tidak terdapat disorientasi
4 Kacau (terdapat disorientasi tempat dan waktu)
3 Tidak tepat (mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk
kalimat dan kata-kata tidak tepat)
2 Mengerang (tanpa mengucapkan kata-kata)
1 Tidak terdapat jawaban
Respon Gerakan (Motorik)
6 Menuruti perintah
5 Mengetahui lokasi nyeri
4 Refleks menghindari nyeri
3 Refleks fleksi
2 Refleks ekstensi
1 Tidak terdapat refleks

Tingkat kesadaran dapat dibedakan kedalam beberapa tingkatan, yaitu:


a) Composmentis (nilai GCS 15-14), yaitu kondisi seseorang yang sadar
sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya
dan dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan
baik.
b) Apatis (nilai GCS 13-11), yaitu kondisi seseorang yang tampak segan
dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
c) Delirium (nilai GCS (11-10), yaitu kondisi seseorang yang mengalami
kekacauan gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak
gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta.
d) Somnolen (nilai GCS 9-7) yaitu kondisi seseorang yang mengantuk
namun masih dapat sadar bila dirangsang, tetapi bila rangsang
berhenti akan tertidur kembali.
e) Sopor/stupor (nilai GCS 6-5), yaitu kondisi seseorang yang
mengantuk yang dalam, namun masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun
sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.
f) Semi-coma (nilai GCS 4) yaitu penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan
sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi
refleks kornea dan pupil masih baik.
g) Koma (nilai GCS 3), yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam,
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan
tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
3. Tanda-tanda vital
Tekanan darah hipertensi bila ada peningkatan Tekanan Intrakranial dan
bisa normal pada keadaan yang lebih ringan, nadi bisa terjadi bradicardi,
tachicardi.
4. Kepala
Kulit kepala: pada trauma tumpul terdapat hematom, bengkak dan
nyeritekan. Pada luka terbuka terdapat robekan dan perdarahan
5. Wajah
Pada cedera kepala sedang, cedera kepala berat yang terjadi contusion
cerebri, terjadi mati rasa pada wajah
6. Mata
Terjadi penurunan fungsi penglihatan, reflek cahayamenurun, keterbatasan
lapang pandang. Dapat terjadi perubahan ukuran pupil, bola mata tidak
dapat mengikuti perintah.
7. Telinga
Penurunan fungsi pendengaran pada trauma yang mengenai lobus
temporal yang menginterprestasikan pendengaran,drainase cairan spinal
pada fraktur dasar tengkorak, kemungkinan adanya perdarahan dari tulang
telinga.
8. Hidung
Pada cedera kepala yang mengalami lobus oksipital yang merupakan
tempat interprestassi penciuman dapat terjadi penurunan fungsi
penciuman.
9. Mulut
Gangguan menelan pada cedera kepala yang menekan reflek serta
gangguan pengecapan pada cedera kepala dan berat.
10. Leher
Dapat terjadi gangguan pergerakan pada cedera kepala sedang dan berat
yang menekan pusat motorik, kemungkinan didapatkan kaku kuduk.
11. Dada.
Inspeksi : biasanya bentuk simetris, terjadi perubahan irama, frekuensi dan
kedalaman pernafasan terdapat retraksi dinding dada
Palpasi : biasanya terjadi nyeri tekan apabila terjadi traumac.
Perkusi : bunyi resonan pada seluruh lapang paru, terkecuali daerah
jantung dan hepar bunyi redup
Auskultasi : biasanya bunyi nafas normal (vesikuler), bisa ronchi apabila
terdapat gangguan, bunyi S1 dan S2 bisa teratur bisa tidak, perubahan
frekuensi dan irama
12. Abdomen
Jika terdapat trauma maka akan timbul jejas ataupun perdarahan
intraabdomen
13. Ekstremitas
Perubahan pada tonus otot ataupun fraktur, hemiparase, hemiplegi
14. Pemeriksaan neurologi:
a) Pemeriksaan nervus cranialis: Umumnya terdapat gangguan nervus
cranialis VII dan XII central. Gangguan nervus cranial yang biasanya
terjadi pada pasien dengan stroke hemoragik adalah:
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi
I: Olfaktorius Penciuman Mata pasien terpejam dan
letakkan bahan-bahan aromatic
dekat hidung untuk
diidentifikasi.
II: Optikus Penglihatan Akuitas visual kasar dinilai
dengan menyuruh pasien
membaca tulisan cetak.
Kebutuhan akan kacamata
sebelum pasien sakit harus
diperhatikan.
III: Gerak mata; hilangnya akomodasi, pupil
Okulomotorius kontriksi pupil; mengecil
akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Terbatas
V: Trigeminus Sensasi umum Saraf trigeminal mempunyai 3
wajah, kulit kepala, bagian: optalmikus, maksilaris,
dan gigi; gerak dan madibularis. Bagian sensori
mengunyah dari saraf ini mengontrol sensori
pada wajah dan kornea. Bagian
motorik mengontrol otot
mengunyah. Saraf ini secara
parsial dinilai dengan menilai
reflak kornea; jika itu baik
pasien akan berkedip ketika
kornea diusap kapas secara
halus. Kemampuan untuk
mengunyah dan mengatup
rahang harus diamati.
VI: Abdusen Gerak mata Terbatas
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi Bagian sensori saraf ini
umum pada platum berkenaan dengan pengecapan
dan telinga luar; pada dua pertiga anterior lidah.
sekresi kelenjar Bagian motorik dari saraf ini
lakrimalis, mengontrol otot ekspresi wajah.
submandibula dan Tipe yang paling umum dari
sublingual; ekspresi paralisis fasial perifer adalah
wajah bell’s palsi.
VIII: Pendengaran; Tuli; tinnitus (berdenging terus
Vestibulokoklea keseimbangan menerus); vertigo; nitagmus
ris (gerakan bola mata yg cepat di
luar kemampuan)
IX: Pengecapan; sensasi Hilangnya daya pengecapan
Glosofaringeus umum pada faring pada sepertiga posterior lidah;
dan telinga; anestesi pada farings; mulut
mengangkat kering sebagian
palatum; sekresi
kelenjar parotis
X: Vagus Pengecapan; sensasi Disfagia (gangguan menelan)
umum pada farings, suara parau; Ketidak mampuan
laring dan telinga; untuk batuk yang kuat, kesulitan
menelan; fonasi; menelan dan suara serak dapat
parasimpatis untuk merupakan pertanda adanya
jantung dan visera kerusakan saraf ini.
abdomen
XI: Asesorius Fonasi; gerakan Suara parau; kelemahan otot
Spinal kepala; leher dan kepala, leher dan bahu
bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah
a) Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan
pada salah satu sisi tubuh.
b) Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi.
c) Pemeriksaan refleks: Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh
akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali didahuli dengan refleks patologis.
Pemeriksaan Tanda Rangsangan Meningeal
a) Kaku kuduk:
Cara: Pasien tidur telentang tanpa
bantal. Tangan pemeriksa ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang
berbaring, kemudian kepala ditekukan (
fleksi) dan diusahakan agar dagu
mencapai dada. Selama penekukan
diperhatikan adanya tahanan. Bila
terdapat kaku kuduk kita dapatkan
tahanan dan dagu tidak dapat mencapai
dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat.
Hasil pemerikasaan: Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat
menyentuh sternum, atau fleksi leher  normal. Adanya rigiditas leher
dan keterbatasan gerakan fleksi leher  kaku kuduk
b) Brudzinski I
Cara: Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan
pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan
sehingga dagu menyentuh dada.
Hasil Pemeriksaan: Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala
disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai
secara reflektorik.
c) Kernig :
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan
pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat.
Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai
membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat
tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat, maka
dikatakan kernig sign positif.

d) Brudzinski II
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang
difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada
sendi panggul.
Hasil Pemeriksaan: Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi
tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini
postif.

1.10.2 Diagnosa Keperawatan


1. Penuruanan Kapasitas Adaptif Intrakranial berhubungan dengan suplai darah
ke otak menurun
2. Risiko perfusi cerebral tidak efektif berhubungan dengan suplai darah ke otak
menurun
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
4. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera biologis
5. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
6. Ganggaun komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan fisiologis
7. Gangguan persepsi sensori gangguan fisiologis
8. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan penurunan ketrampilan
motorik, penurunan rentang gerak, kesulitan membolak balik posisi, gerakan
tidak terkoordinasi, intoleran aktivitas, penurunan kekuatan otot, penurunan
ketahanan tubuh
9. Gangguan Menelan berhubungan dengan ganggaun saraf kranial
10. Defisit Nutrisi berhubungan dengan gangguan sensasi rasa, ketidakmampuan
memakan makanan, tonus otot menurun
11. Defisist perawatan diri ketidakmampuan menjangkau kamar mandi,
ketidakmampuan mengenakan dan melepaskan atribut pakaian,
ketidakmampuan memasukkan makan kemulut, ketidakmampuan eliminasi
1.10.3 Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan NOC NIC
1. Penuruanan Kapasitas Status Neurologi 1. Kaji sirkulasi perifer secara komprehensif (nadi
Adaptif Intrakranial Setelah dilakukan tindakan keperawatan perifer, edema, CRT, warna, dan suhu
selama 3 x 24 jam perfusi jaringan otak ekstremitas)
membaik dengan kriteria hasil: 2. Hindarkan cedera pada area dengan perfusi yang
1. Kesadaran membaik minimal
2. Mampu mengontrol motorik sentral 3. Hindarkan klien dari posisi trendelenberg yang
3. mampu melakukan fungsi sensorik meningkatkan TIK
dan motorik cranial 4. Hindarkan adanya penekanan pada area cedera
4. Komunkasi yang tepat dengan 5. Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai
situasi program
6. Kolaborasi pemberian terapi medikamentosa
2. Risiko perfusi cerebral Status Neurologi Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan Tekanan Intrakranial
selama 3 x 24 jam perfusi jaringan otak Monitor Neurologi
membaik dengan kriteria hasil: 1. Monitor tingkat kesadaran
5. Kesadaran membaik 2. Monitor tanda-tanda vital : suhu, tekanan darah,
6. Mampu mengontrol motorik sentral denyut nadi, dan respirasi
7. mampu melakukan fungsi sensorik 3. Monitor kesimetrisan wajah
dan motorik kranial 4. Monitor karakteristik berbicara : kelancaran,
8. Komunkasi yang tepat dengan adaya aphasia, atau kesulitan menemukan kata
situasi 5. Monitor respon terhadap stimulasi : verbal, taktil,
dan (respon) bahaya
6. Monitor paresthesia : mati rasa dan kesemutan
3. Pola nafas tidak efektif Status pernafasan Manajemen jalan nafas
Status pernafasan: ventilasi 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

13
Status pernafasan (kepatenan jalan 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi
nafas) 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan respirasi
selama 3x24 jam, pola nafas pasien 4. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan
kembali efektif dengan kriteria hasil: kesulitan bernafas
1. Frekuensi nafas normal (16-20 5. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
x/menit) penggunaan otot bantu nafas
2. Irama pernafasan reguler 6. Monitor suara nafas
3. Tidak menggunakan otot bantu 7. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,
pernafasan hiperventilasi, kusmaul)
4. Retraksi dinding dada 8. Monitor saturasi oksigen
5. Tidak terdapat pernafasan bibir Monitor tanda-tanda vital
6. Tidak terdapat sianosis 9. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
7. Tidak terdapat suara nafas tambahan pernafasan dengan tepat
4. Bersihan jalan nafas tidak Status pernafasan Manajemen Ventilasi Mekanik
efektif Status pernafasan: ventilasi Pengaturan Posisi
Status pernafasan (kepatenan jalan Penghisapan Jalan Nafas
nafas) Latihan Batuk Efektif
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen jalan nafas
selama 3x24 jam, pola nafas pasien 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
kembali efektif dengan kriteria hasil: 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi
8. Frekuensi nafas normal (16-20 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
x/menit) Pemantauan respirasi
9. Irama pernafasan reguler 4. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan
10. Tidak menggunakan otot bantu kesulitan bernafas
pernafasan 5. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
11. Tidak terdapat suara nafas tambahan penggunaan otot bantu nafas
6. Monitor suara nafas
7. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,
hiperventilasi, kusmaul)
8. Monitor saturasi oksigen
5. Nyeri akut Kontrol nyeri Manajemen nyeri
Tingkat nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
selama 3x24 jam, nyeri akut pasien 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
kembali normal dengan kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
1. Pasien dapat mengenali kapan nyeri Terapi relaksasi
terjadi 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
2. Pasien mampu menyampaikan faktor nafas dalam dan musik
penyebab nyeri 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
3. Mampu menyampaikan tanda dan Pemberian analgesik
gejala nyeri 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
4. Penurunan skala nyeri keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
5. Ekspresi wajah tidak mengerang dan 8. Cek adanya riwayat alergi obat
meringis kesakitan 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
6. Nyeri terkontrol frekuensi obat analgesik yang diresepkan
Kompres Dingin atau hangat
Latihan Pernapasan
Edukasi Teknik Napas
Teknik Distraksi
Terapi Musik
Terapi Relaksasi
Terapi Sentuhan
Terapi Pemijatan
6. Defisit Nutrisi Status nutrisi Manajemen nutrisi
Status nutrisi: asupan nutrisi 1. Monitor intake makanan dan cairan pasien
Nafsu makan 2. Ciptakan lingkungan yang optimal saat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan mengonsumsi makanan (bersih dan bebas dari bau
selama 3x24 jam, intake nutrisi pasien yang menyengat)
adekuat dengan kriteria hasil: 3. Anjurkan keluarga untuk membawa makanan
1. Asupan makanan secara oral favorit pasien (yang tidak berbahaya bagi
meningkat (porsi makan habis) kesehatan pasien)
2. Asupan cairan secara oral meningkat 4. Anjurkan pasien makan sedikit tapi sering
3. Nafsu makan meningkat 5. Beri dukungan (kesempatan untuk membicarakan
4. Ekspresi wajah tidak meringis perasaan) untuk meningkatkan peningkatan
makan
6. Anjurkan pasien menjaga kebersihan mulut
7. Kolaborasi pemberian obat
Monitor nutrisi
8. Timbang berat badan pasien
9. Monitor turgor kulit dan mobilitas
10. Monitor adanya mual dan muntah
7. Gangguan Mobilitas Fisik Koordinasi pergerakan Pemantauan Neurologis
setelah dilakukan perwatan selama 3 x Dukungan Ambulasi
24 jam mobilitas fisik pasien membanik Dukungan Mobilisasi
dengan kriteria hasil: Manajamen Program Latihan
1. Dapat mengontrol kontraksi 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk memfasilitasi
pergerakkan mobilisasi sesuai indikasi
2. Dapat melakukan kemantapan 2. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi
pergerakkan penyebab nyeri otot atau sendi
3. Dapat menahan keseimbangan 3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
pergerakkan mengembangkan peningkatan mekanika tubuh
sesuai indiksi
Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan
4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
fisiologis, dan konsekuensi dari
penyalahgunaannya
5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk terlibat dalam latihan otot progresif
6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi
latihan menurut lefel kebugaran dan ada atau
tidaknya faktor resiko
7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
selesai satu set jika dipelukan
8. Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan tanpa
beban terlebih dahulu sampai gerakan yang benar
sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi
9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
terhadap fungsi sendi
10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah program
latihan
11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan
latihan ROM pasif, dan aktif
13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan
8. Defisist perawatan diri Perawatan diri: mandi Dukungan Perawatan Diri
Perawatan diri: kebersihan Dukungan perawatan diri: mandi/kebersihan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Fasilitasi pasien untuk menggosok gigi dengan
selama 2x24 jam diharapkan perawatan tepat
diri pasien: mandi tidak mengalami 2. Fasilitasi pasien untuk seka dengan tepat
gangguan dengan kriteria hasil: 3. Monitor kebersihan kuku
1. Keluarga mampu melakukan 4. Monitor integritas kulit
2. Mencuci tangan pasien 5. Jaga kebersihan secara berkala
3. Membersihkan telinga 6. Dukung keluarga berpartisipasi dalam
4. Menjaga kebersihan untuk mempertahankan kebersihan dengan tepat
kemudahan bernafas Dukungan Perawatan Diri: BAB/BAK
5. Mempertahankan kebersihan mulut Dukungan Perawatan Diri: Makan/Minum
6. Memperhatikan kuku jari tangan Dukungan Perawatan Diri: Berapakian
7. Memperhatikan kuku jari kaki
Mempertahankan kebersihan tubuh
KONSEP VENTILATOR MEKANIK
a. Ventilator Mekanik/ Ventilator
Ventilator (mechanical ventilation) adalah alat yang digunakan untuk
membantu pasien yang mengalami gagal napas. Pada prinsipnya ventilator adalah
suatu alat yang bisa menghembuskan gas (dalam hal ini oksigen) ke dalam paru-
paru pasien. Saat menghembuskan gas, ventilator bisa tidak tergantung otot
pernapasan (ventilator menggantikan sepenuhnya kerja otot pernapasan), atau
ventilator bersifat membantu otot pernapasan sehingga kerja otot pernapasan
diperkuat. Jumlah gas yang ditiupkan tergantung dengan pengaturan yang kita
kehendaki. Ventilator, dikenal juga dengan istilah respirator, merupakan alat
bantu mekanik yang mempertahankan udara dapat mengalir ke dalam paru-paru.
Banyak orang mengenal penggunaaan ventilator pada rumah sakit, sepeti di ICU,
dimana penggunaan ventilator akut dan kompleks banyak dijumpai. Ventilasi
mekanik mengambil alih proses ventilasi dan memudahkan pernapasan dengan
membantu otot pernapasan yang mengalami paralisis. Otot abdomen juga penting
dalam proses ekspirasi dan batuk. Otot ekspirasi pernapasan yang lemah
menghasilkan batuk yang lemah juga ketidakmampuan pengeluaran sekret yang
dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan pneumonia.

b. Tipe Ventilator
1. Ventilator Volume-Konstan
Ventilator ini memberikan gas dalam volume yang diatur sebelumnya
kepada pasien, biasanya melalui piston pengatur bermotor dalam sebuah silinder
atau peniup bermotor. Curah dan frekuensi pompa dapat disesuaikan untuk
memberi ventilasi yang diperlukan. Rasio inspirasi terhadap waktu ekspirasi dapat
dikendalikan oleh mekanisme kenop khusus. Oksigen dapat ditambahkan ke udara
inspirasi sesuai keperluan, dan sebuah pelembab dimasukkan dalam sirkuit.
Ventilator volume-konstan adalah mesin kuat dan dapat diandalkan yang cocok
untuk ventilasi jangka lama. Alat ini banyak digunakan dalam anestesia. Alat ini
memiliki keuntungan dapat mengetahui volume yang diberikan ke pasien
walaupun terjadi perubahan sifat elastik paru atau dinding dada maupun
peningkatan resistensi jalan napas. Kekurangannya adalah dapat terjadi tekanan
tinggi. Akan tetapi, dalam praktik sebuah katup pengaman aliran mencegah
tekanan mencapai tingkat berbahaya. Memperkirakan ventilasi pasien dari volume
stroke dan frekuensi pompa dapat menyebabkan kesalahan penting karena
kompresibilitas gas dan kebocoran, dan lebih baik mengukur ventilasi ekspirasi
dengan spirometer.
2. Ventilator Tekanan-Konstan
Ventilator ini memberi gas pada tekanan yang diatur sebelumnya dan
merupakan mesin yang kecil dan relatif tidak mahal. Alat ini tidak memerlukan
tenaga listrik, tetapi bekerja dari sumber gas terkompresi bertekanan minimal 50
pon/inci persegi. Kekurangan utamanya, yaitu jika digunakan sebagai metode
tunggal ventilasi, volume gas yang diberikan dipengaruhi perubahan komplians
paru atau dinding dada. Peningkatan resistensi jalan napas juga dapat mengurangi
ventilasi karena mungkin tidak cukup waktu untuk menyeimbangkan tekanan
yang terjadi antara mesin dan alveoli. Oleh karena itu, volume ekspirasi harus
dipantau. Kekurangan lain ventilator tekanan-konstan adalah konsentrasi oksigen
inspirasinya bervariasi sesuai kecepatan aliran inspirasi. Ventilator tekanan-
konstan kini terutama digunakan untuk “ventilasi bantuan-tekanan”, yaitu
membantu pasien yang diintubasi mengatasi peningkatan kerja napas yang terjadi
karena slang endotrakeal yang relatif sempit. Pemakaian dengan cara ini berguna
untuk melepaskan pasien dari ventilator, yaitu peralihan dari ventilasi mekanik ke
ventilasi spontan.
3. Ventilator Tangki
Ventilator tipe (1) dan (2) adalah ventilator tekanan-positif karena memberi
tekanan positif ke jalan napas. Sebaliknya, respirator tangki memberi tekanan
negatif (kurang dari atmosferik) ke luar dada dan tubuh lain, kecuali kepala.
Ventilator tangki terdiri dari sebuah kotak kaku (“paru besi”) yang dihubungkan
dengan pompa bervolume besar, bertekanan rendah yang mengendalikan siklus
pernapasan. Ventilator tangki tidak lagi digunakan dalam penanganan gagal napas
akut karena membatasi akses ke pasien, ukuran besar, dan tidak nyaman. Alat ini
dipergunakan secara luas untuk ventilasi pasien dengan penyakit neuromuskular
kronik yang perlu diventilasi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sebuah
modifikasi ventilator tangki adalah perisai yang pas di atas toraks dan abdomen
serta menghasilkan tekanan negatif. Ini biasanya dicadangkan bagi pasien yang
sudah sembuh parsial dari gagal napas neuromuskular.
4. Patient-Cycled Ventilators
Pada ventilator ini, fase inspirasi dapat dipicu oleh pasien ketika ia
melakukan upaya inspirasi. Istilah “ventilasi bantuan” terkadang diberikan untuk
cara kerja ini. Banyak ventilasi tekanan-konstan memiliki kemampuan ini.
Ventilator ini berguna pada terapi pasien yang sembuh dari gagal napas dan
sedang dilepas dari penggunaan ventilasi terkendali.

c. Pola Ventilasi
1. Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV)
Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV) terkadang disebut
pernapasan tekanan positif intermiten (Intermitten Positive Pressure
Breathing/IPPB) dan merupakan pola umum berupa pengembangan paru oleh
penerapan tekanan positif ke jalan napas dan dapat mengempis secara pasif pada
FRC. Dengan ventilator modern, variabel utama yang dapat dikendalikan meliputi
volume tidal, frekuensi napas, durasi inspirasi versus ekspirasi, kecepatan aliran
inspirasi, dan konsentrasi oksigen inspirasi. Pada pasien dengan obstrksi jalan
napas, perpanjangan waktu ekspirasi memiliki keuntungan karena daerah paru
dengan konstan waktu yang lama akan memiliki waktu untuk mengosongkan diri.
Di sisi lain, tekanan jalan napas positif yang lama dapat mengganggu aliran balik
vena ke toraks. Umumnya, dipilih frekuensi yang relatif rendah dan waktu
ekspirasi yang lebih besar dari inspirasi, tetapi setiap pasien memerlukan
perhatian yang berbeda-beda.
2. Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)
Pada pasien ARDS, perbaikan PO2 arterial yang besar sering kali dapat
dicapai dengan mempertahankan tekanan jalan napas positif yang kecil pada akhir
ekspirasi. Nilai sekecil 5 cm H2O sering kali bermanfaat. Akan tetapi, tekanan
setinggi 20 cm H2O atau lebih kadang kala digunakan. Katup khusus tersedia
untuk memberi tekanan. Keuntungan PEEP adalah alat ini memungkinkan
konsentrasi oksigen inspirasi diturunkan sehingga mengurangi risiko toksisitas
oksigen. Beberapa mekanisme mungkin berperan pada peningkatan PO arterial
yang dihasilkan dari PEEP. Tekanan positif meningkatkan FRC, yang tipikalnya
kecil pada pasien ini karena pengingkatan rekoil elastik paru. Volume paru yang
kecil menyebaban penutupan jalan napas dan ventilasi intermiten (atau tidak ada
ventilasi sama sekali) di beberapa daerah, terutama di daerah dependen, dan
absorpsi atelektasis. PEEP cenderung membalikkan perubahan ini. Pasien dengan
edema jalan napasnya juga mendapat keuntungan, mungkin karena cairan
bregeser ke dalam jalan napas perifer kecil atau alveoli, memungkinkan beberapa
daerah paru diventilasi ulang.

Terkadang, penambahan PEEP yang terlalu besar menurunkan PO arteri,


bukan meningkatkannya. Mekanisme yang mungkin meliputi: 1) curah jantung
sangat menurun, yang menurunkan PO2 dalam darah vena campuran dan PO2 ; 2)
penurunan ventilasi daerah berperfusi baik (karena peningkatan ruang mati dan
ventilasi ke daerah berperfusi buruk); 3) peningkatan aliran darah dari daerah
berventilasi ke tidak berventilasi oleh peningkatan tekanan jalan napas. Akan
tetapi, efek PEEP membahayakan ini pada PO2 ini jarang terjadi. PEEP cenderung
menurunkan curah jantung dengan menghambat aliran balik vena ke toraks,
terutama jika volume darah yang bersirkulasi menurun karena perdarahan atau
syok. Oleh karena itu, nilainya tidak boleh diukur dari efeknya pada PO2 arteri
saja, tetapi bersamaan dengan jumlah total oksigen yang dikirim ke jaringan.
Hasil dari konsentrasi oksigen arterial dan curah jantung merupakan indeks yang
berguna karena perubahan padanya akan mengubah PO2 inspirasi menurun dapat
menurunkan curah jantung dengan menghambat aliran balik vena PEEP tingkat
tinggi dapat merusak kapiler paru darah vena campuran dan kemudian PO2 banyak
jaringan. Beberapa dokter menggunakan kadar PO dalam darah vena campuran
sebagai panduan untuk tingkat optimal PEEP. Dalam keadaan tertentu,
pemasangan PEEP menyebabkan penurunan seluruh konsumsi oksigen pasien.
Konsumsi oksigen menurun karena perfusi di beberapa jaringan sangat marginal
sehingga jika aliran darahnya menurun lagi, jaringan tidak dapat mengambil
oksigen dan mungkin mati perlahan. Bahaya PEEP tingkat tinggi yang lain adalah
kerusakan pada kapiler paru akibat regangan tinggi pada dinding alveolar.
Dinding alveolar dapat dianggap sebagai benang kapiler. Tegangan tingkat tinggi
meningkatkan stres pada dinding kapiler yang menyebabkan robekan pada epitel
alveolar, endotel kapiler, atau semua lapisan dinding.
3. Continious Positive Airway Pressure (CPAP)
Beberapa pasien yang sedang disapih dari ventilator bernapas spontan,
tetapi masih diintubasi. Pasien demikian mendapat keuntungan dari tekanan
positif yang diberikan kontinu ke jalan napas melalui sistem katup pada ventilator.
Perbaikan oksigenasi dihasilkan dari mekanisme yang sama seperti PEEP. Suatu
bentuk CPAP telah digunakan secara sukses dalam ARDS. CPAP bentuk lain
berguna untuk menangani gangguan pernapasan saat tidur yang disebabkan oleh
obstruksi jalan napas atas. Di sini, peningkatan tekanan diberikan melalui masker
wajah yang dipakai sepanjang malam.
4. Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)
Ini merupakan modifikasi IPPV, yaitu pemberian volume tidal besar pada
interval yang relatif jarang kepada pasien diintubasi yang bernapas spontan. IMV
sering dikombinasi dengan PEEP atau CPAP. Pola ini berguna untuk menyapih
ventilator dari pasien, dan mencegah oklusi jalan napas atas pada apnea tidur
obstruktif dengan menggunakan CPAP nasal pada malam hari.
5. Ventilasi Frekuensi Tinggi
Gas darah dapat dipertahankan normal dengan ventilasi tekanan positif
berfrekuensi tinggi (sekitar 20 siklus/detik) dengan volume sekuncup yang rendah
(50-100 ml). Paru digetarkan bukan dikembangkan seperti cara konvensional, dan
transpor gas terjadi melalui kombinasi difusi dan konveksi. Salah satu
pemakaiannya adalah pada pasien yang mengalami kebocoran gas dari paru
melalui fistula bronkopleura.

d. Indikasi Pemasangan Ventilasi Mekanik


Adapun indikasi pemasangan ventilasi mekanik dibagi atas :
e. Fase dalam pernapasan dengan ventilator
Fase bernapas dengan ventilator adalah sebagai berikut:
1. Awal bernapas (initiating/triggering)
Awal bernapas bisa terjadi secara otomatis karena pengaturan waktu pada
ventilator (machine triggering) atau atas picuan (rangsangan/usaha bernapas)
pasien yang merangsang mesin (patient triggering) sehingga mesin memulai
menghembuskan gas ke pasien. Rangsangan napas dari pasien bisa atas dasar
perubahan flow atau tekanan yang terjadi pada mesin. Perubahan flow atau
tekanan berapa yang bisa merangsang mesin (sensitivity/trigger) tergantung
pengaturan kita. Artinya bisa dibuat lebih sensitif atau kurang sensitif.
2. Pembatasan variabel (limitation)
Selama inspirasi, beberapa variabel (volume, tekanan atau flow) akan
terbatasi dan tetap dipertahankan (sesuai dengan pengaturan) sebelum
inspirasi berakhir.
3. Siklus perpindahan (cycling)
Cycling adalah perpindahan dari fase inspirasi ke fase awal ekspirasi.
Perpindahan ini akan terjadi sesuai dengan pengaturan. Pengaturan tersebut
bisa berdasar atas waktu (time cycle), tekanan (pressure cycle), volume
(volume cycle) atau aliran udara (flow cycle). Time cycle, artinya fase inspirasi
berakhir setelah alokasi waktu inspirasi berdasarkan pengaturan sudah
terlampaui. Pressure/volume cycle, artinya inspirasi berakhir setelah tidak ada
flow yang masuk (flow berhenti). Flow akan berhenti kalau pressure/volume
sesuai pengaturan sudah tercapai. Flow cycle, artinya inspirasi berakhir kalau
flow mencapai pengaturan yang dibuat. Agar lebih menyelaraskan dengan
pola napas pasien, pengaturan pada flow cycle bisa diatur berbeda dengan
pengaturan pabrik. Pengaturan ini sering disebut sebagai ETS (expiratory
trigger sensitivity) atau inspiratory cycling off. Misalnya pengaturan ETS
40%, artinya bila flow mencapai 40% dari peak flow maka akan terjadi
cycling. Pengaturan pabrik biasanya 25%.
f. Pengaturan Ventilasi Mekanik ( Setting)
Parameter yang harus ditetapkan sangat bervariasi tergantung pada mode
ventilasi yang digunakan. Beberapa parameter tersebut antara lain:
1. Laju pernapasan (respiratory rate)
Rentang laju pernapasan yang digunakan pada ventilator mandatori cukup
luas. Hal ini tergantung pada nilai sasaran ventilasi semenit (minute
ventilation) yang berbeda-beda pada tiap individu maupun kondisi klinis
tertentu. Secara umum, rentang laju pernapasan berkisar antara 4 sampai 20
kali tiap menit dan pada sebagian besar pasien-pasien yang stabil, berkisar
antara 8 sampai 12 kali tiap menit. Pada pasien dewasa dengan sindroma
distres pernapasan akut, penggunaan volume tidal yang rendah harus
diimbangi dengan peningkatan laju pernapasan sampai 35 kali tiap menit
untuk mempertahankan ventilasi semenit yang adekuat.
2. Volume tidal
Pada beberapa kasus, volume tidal harus lebih rendah terutama pada sindroma
distres pernapasan akut. Pada saat mengatur volume tidal pada mode tertentu,
perkiraan kasarnya berkisar antara 5 sampai 8 ml/kg berat badan ideal. Pada
pasien dengan paru-paru normal yang terintubasi karena alasan tertentu,
volume tidal yang digunakan sampai 12 ml/kg berat badan ideal. Volume tidal
harus disesuaikan sehingga dapat mempertahankan tekanan plato di bawah 35
cm H2O. Tekanan plato ditentukan dengan manuver menahan napas selama
inspirasi yang disebut dengan istilah tekanan alveolar akhir inspirasi pada
pasien-pasien yang direlaksasi. Peningkatan tekanan plato tidak selalu
meningkatkan risiko barotrauma. Risiko tersebut ditentukan oleh tekanan
transalveolar yang merupakan hasil pengurangan antara tekanan alveolar
dengan tekanan pleura. Pada pasien-pasien dengan edema dinding dada,
distensi abdomen atau asites, komplians dinding dada menurun. Hal ini
menyebabkan tekanan pleura meningkat selama pengembangan paru.
Peningkatan tekanan transalveolar jarang terjadi pada pasien yang memiliki
komplians paru yang normal.
3. Tekanan inspirasi
Pada ventilasi tekanan terkontrol (PCV) dan ventilasi pressuresupport,
tekanan inspirasi diatur sedemikian rupa sehingga tekanan plato kurang atau
sama dengan 35 cm H2 O. Volume tidal juga harus dipertahankan pada
rentang yang telah ditetapkan sebelumnya.
4. Fraksi oksigen terinspirasi (FiO2)
Pada sebagian besar kasus, FiO2 harus 100% pada saat pasien diintubasi dan
dihubungkan dengan ventilator untuk pertama kali. Ketika penempatan pipa
endotrakea sudah ditetapkan dan pasien telah distabilisasi, FiO2 harus
diturunkan sampai konsentrasi terendah yang masih dapat mempertahankan
saturasi oksigen hemoglobin , karena konsentrasi oksigen yang tinggi dapat
menyebabkan toksisitas pulmonal. Tujuan utama ventilasi adalah
mempertahankan nilai saturasi 90 % atau lebih. Kadang-kadang nilai tersebut
bisa berubah, misalnya pada keadaan-keadaan yang membutuhkan suatu
proteksi terhadap paru-paru dari volume tidal, tekanan dan konsentrasi
oksigen yang terlalu besar. Pada keadaan ini, target saturasi oksigen dapat
diturunkan sampai 85% saat faktor-faktor yang berperan pada penyaluran
oksigen sedang dioptimalkan.
5. Tekanan positif akhir ekspirasi (Postive end-expiratory pressure/PEEP)
Sesuai dengan namanya, PEEP berfungsi untuk mempertahankan tekanan
positif jalan napas pada tingkatan tertentu selama fase ekspirasi. PEEP
dibedakan dari tekanan positif jalan napas kontinyu (continuous positive
airway pressure/ CPAP) berdasarkan saat digunakannya. PEEP hanya
digunakan pada fase ekspirasi, sementara CPAP berlangsung selama siklus
respirasi. Penggunaan PEEP selama ventilasi mekanik memiliki manfaaat
yang potensial. Pada gagal napas hipoksemia akut, PEEP meningkatkan
tekanan alveolar rata-rata, meningkatkan area reekspansi atelektasis dan dapat
mendorong cairan dari ruang alveolar menuju interstisial sehingga
memungkinkan alveoli yang sebelumnya tertutup atau terendam cairan, untuk
berperan serta dalam pertukaran gas. Pada edema kardiopulmonal PEEP
dapat mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri sehingga memperbaiki
kinerja jantung. Pada gagal napas hiperkapnea yang disebabkan oleh
obstruksi jalan napas, pasien sering mengalami kekurangan waktu untuk
ekspirasi sehingga menimbulkan hiperinflasi dinamik. Hal ini menyebabkan
timbulnya auto PEEP yaitu tekanan akhir ekspirasi alveolar yang lebih tinggi
dari tekanan atmosfer. Bila didapatkan auto-PEEP, maka dibutuhkan pemicu
ventilator (trigger) berupa tekanan negatif jalan napas yang lebih tinggi dari
sensitivitas pemicu maupun auto-PEEP. Jika pasien tidak mampu
mencapainya, maka usaha inspirasi menjadi sia-sia dan dapat meningkatkan
kerja pernapasan (work of breathing). Pemberian PEEP dapat mengatasi hal
ini karena dapat mengurangi auto-PEEP dari tekanan negatif total yang
dibutuhkan untuk memicu ventilator. Secara umum, PEEP ditingkatkan
secara bertahap sampai usaha napas pasien dapat memicu ventilator secara
konstan hingga mencapai 85% dari auto-PEEP yang diperkirakan.
6. Sensitivitas Pemicu (trigger sensitivity)
Sensitivitas pemicu adalah tekanan negatif yang harus dihasilkan oleh pasien
untuk memulai suatu bantuan napas oleh ventilator. Tekanan ini harus cukup
rendah untuk mengurangi kerja pernapasan, namun juga harus cukup tinggi
untuk menghindari sensitivitas yang berlebihan terhadap usaha napas pasien.
Tekanan ini berkisar antara -1 sampai -2 cm H2O. Pemicu ventilator ini
timbul bila aliran napas pasien menurun 1 sampai 3 l/menit.
7. Laju aliran (flow rate)
Hal ini sering dilupakan pada mode yang bersifat volume-target. Laju aliran
ini penting terutama untuk kenyamanan pasien karena mempengaruhi kerja
pernapasan, hiperinflasi dinamik dan auto-PEEP. Pada sebagian besar
ventilator, laju aliran diatur secara langsung. Pada ventilator lainnya,
misalnya Siemen 900 cc, laju aliran ditentukan secara tidak langsung dari laju
pernapasan dan I:E ratio.
Contohnya adalah sebagai berikut:
a) Laju pernapasan = 10
b) Waktu siklus respirasi = 6 detik
c) I:E ratio = 1:2
d) Waktu inspirasi = 2 detik
e) Waktu ekspirasi = 4 detik
f) Volume tidal = 500 ml
g) Laju aliran = volume/ waktu inspirasi
= 500 ml tiap 2 detik
g. Perbandingan waktu inspirasi terhadap waktu ekspirasi
Sejalan dengan laju aliran inspirasi, ahli terapi respirasi mengatur I:E ratio
tanpa permintaan dari dokter. Tetapi para klinisi dituntut untuk mengerti
tentang perubahan ini yang dapat mempengaruhi mekanika sistem respirasi
dan kenyamanan pasien. I:E ratio yang umum digunakan adalah 1:2. Pada
gagal napas hipoksemia akut, perbandingan ini dapat meningkat dengan
adanya pemanjangan waktu inspirasi, tekanan jalan napas rata-rata atau alveoli
yang terisi cairan yang dapat memperbaiki oksigenasi. Pada hipoksemia berat,
I:E ratio kadang-kadang terbalik menjadi 2:1, sehingga kewaspadaan harus
dipertahankan untuk mengatasi akibat yang merugikan terhadap hemodinamik
dan integritas paru-paru.
h. Komplikasi
i. Keseimbangan Asam-Basa
Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan pengaturan
konsentrasi ion H bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4, pH
darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35. Jika pH darah < 7,35 dikatakan asidosis,
dan jika pH darah > 7,45 dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari
aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan kontinyu akan
ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:
1. pembentukan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H
dan bikarbonat
2. katabolisme zat organik
3. disosiasi asam organic pada metabolisme intermedia, misalnya pada
metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam
ini akan berdisosiasi melepaskan ion H.
j. Nilai Normal dalam penilaian AGD
DAFTAR PUSTAKA

Awaloei, A. C., Mallo, N. T., & Tomuka, D. (2016). Gambaran cedera kepala
yang menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP
Prof Dr. e-CliniC, 4(2).

Doenges M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC

Fountain, D. M., Kolias, A. G., Lecky, F. E., Bouamra, O., Lawrence, T., Adams,
H., ... & Hutchinson, P. J. (2017). Survival Trends After Surgery for Acute
Subdural Hematoma in Adults Over a 20-year Period. Annals of surgery,
265(3), 590.

Karibe, H., HayasHi, T., Hirano, T., KaMeyaMa, M., Nakagawa, A., &
Tominaga, T. (2014). Surgical management of traumatic acute subdural
hematoma in adults: a review. Neurologia medico-chirurgica, 54(11), 887-76
894.

Lonto, A. K., Loho, E., Mamesah, Y. P., & Timban, J. F. (2015). Gambaran Ct
Scan Pada Penderita Perdarahan Subdural Di Rsup Prof. Dr. R. D Kandou
Manado Periode Januari 2011-Oktober 2014. e-CliniC, 3(1).

Meagher, J Richard. 2013. Subdural hematoma Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar


Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Diagnosis


Keperawatan Indonsesi (SDKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Intervnesi


Keperawatan Indonsesi (SDKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Luaran Keperawatan


Indonsesi (SLKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Sastrodiningrat, A Gofar. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada


PerdarahanSubdural Akut. Volume 39 No 3.Medan : Majalah Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai