Anda di halaman 1dari 16

SATUAN ACARA PELAKSANAAN KEGIATAN

PENYULUHAN KESEHATAN MAHASISWA PROFESI


NERS TENTANG DISIPLIN MINUM OBAT

Pokok Bahasan : Perawatan Gangguan Jiwa


Sub Pokok Bahasan : Peran Keluarga dalam Perawatan Gangguan Jiwa
Sasaran : Pasien
Waktu : 30 menit
Hari, Tanggal :
Tempat : Ruang Poli Rumah Sakit Menur Surabaya

I. LATAR BELAKANG
Gangguan jiwa merupakan suatu masalah kesehatan yang masih
sangat penting untuk diperhatikan, hal itu dikarenakan penderita tidak
mempunyai kemampuan untuk menilai realitas yang buruk. Gejala dan
tanda yang ditunjukkan oleh penderita gangguan jiwa antara lain gangguan
kognitif, gangguan proses pikir, gangguan kesadaran, gangguan emosi,
kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh ( Nasir, 2011).
Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang
sangat signifikan, dan setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah
penderita gangguan jiwa bertambah. Berdasarkan data dari World Health
Organisasi (WHO) dalam Yosep (2013) , ada sekitar 450 juta orang di
dunia yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan hasil penelitian dari
Rudi Maslim dalam Mubarta (2011 ) prevalensi masalah kesehatan jiwa di
Indonesia sebesar 6,55%. Angka tersebut tergolong sedang dibandingkan
dengan negara lainnya. Data dari 33 Rumah Sakit Jiwa ( RSJ ) yang ada di
seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah penderita gangguan
jiwa berat mencapai 2,5 juta orang.
Kejadian gangguan jiwa yang terjadi ini dapat ditimbulkan akibat
adanya suatu pemicu dari fungsi afektif dalam keluarga yang tidak berjalan
dengan baik. Apabila fungsi afektif ini tidak dapat berjalan semestinya,
maka akan terjadi gangguan psikologis yang berdampak pada kejiwaan
dari seluruh unit keluarga tersebut ( Nasir & Muhith, 2011). Fenomena

1
yang terjadi saat ini, jika ada seorang anggota keluarga yang dinyatakan
sakti jiwa, maka anggota keluarga lain dan masyarakat pasti akan
menyarankan untuk dibawa ke RS Jiwa atau psikolog dan lebih parahnya
lagi orang sakit jiwa tersebut diasingkan atau dipasung supaya tidak
menjadi aib bagi keluarga. Tindakan memasung ini akan berdampak buruk
pada pasien, selain itu nantinya akan sulit untuk sembuh dan dapat
mengalami kekambuhan yang sangat sering. Hal ini perlu adanya
dukungan dari keluarga dalam proses penyembuhan.
Peran dan keterlibatan keluarga dalam proses penyembuhan dan
perawatan pasien gangguan jiwa sangat penting, karena peran keluarga
sangat mendukung dalam proses pemulihan penderita gangguan jiwa.
Keluarga dapat mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap, dan perilaku
anggota keluarga. Disamping itu, keluarga mempunyai fungsi dasar
seperti memberi kasih sayang, rasa aman, rasa memiliki, dan menyiapkan
peran dewasa individu di masyarakat. Keluarga merupakan suatu sistem,
maka jika terdapat gangguan jiwa pada salah satu anggota keluarga maka
dapat menyebabkan gangguan jiwa pada anggota keluarga ( Nasir &
Muhith, 2011 ).
Berdasarkan latar belakang diatas penulis ingin melakukan
penyuluhan kesehatan tentang “Peran Keluarga Dalam Perawatan Pasien
Gangguan Jiwa” di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.

II. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Setelah mengikuti pendidikan kesehatan, keluarga yang
berkunjung ke poli RSJ Menur Surabaya mampu melakukan terapi
lingkungan dirumah untuk klien.

III. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah diberikan penyuluhan pasien dan keluarga dapat:
1. Konsep dasar dan tujuan terapi keluarga
2. Macam – macam terapi pada penderita gangguan jiwa
3. Peran Keluarga dalam terapi lingkungan

2
4. Hal yang perlu diperhatikan oleh keluarga dan lingkungan dalam
merawat penderita gangguan jiwa di rumah
5. Dampak gangguan jiwa
IV. SASARAN
Pasien dan Keluarga Pengunjung Poli RSJ Menur Surabaya
V. MATERI
1. Konsep dasar dan tujuan terapi keluarga
2. Macam – macam terapi pada penderita gangguan jiwa
3. Peran Keluarga dalam terapi lingkungan
4. Hal yang perlu diperhatikan oleh keluarga dan lingkungan dalam
merawat penderita gangguan jiwa di rumah
5. Dampak gangguan jiwa
VI. METODE
1. Ceramah
2. Tanya jawab
VII. MEDIA
 LEAFLET
 POSTER
VIII. EVALUASI
1. Evaluasi Struktur
 Peserta hadir ditempat penyuluhan
 Penyelenggaraan penyuluhan dilaksanakan di Poli RSJ Menur
Surabaya
 Pengorganisasian penyelenggaraan penyuluhan dilakukan
sebelumnya
2. Evaluasi Proses
 Peserta antusias terhadap materi penyuluhan yang disampaikan oleh
pembicara
 Tidak ada peserta yang meninggalkan tempat penyuluhan sebelum
kegiatan selesai
 Peserta terlibat aktif dalam kegiatan penyuluhan
3. Evaluasi Hasil

3
 Pasien dan keluarga pasien mampu menjelaskan konsep dasar dan
tujuan terapi keluarga
 Pasien mampu menyebutkan macam – macam terapi pada penderita
gangguan jiwa
 Pasien mampu menyebutkan peran keluarga dalam terapi lingkungan
 Pasien mampu menyebutkan hal yang perlu diperhatikan oleh
keluarga dan lingkungan dalam merawat penderita gangguan jiwa di
rumah
 Pasien mampu menyebutkan dampak gangguan jiwa

IX. KEGIATAN PENYULUHAN

No. WAKTU KEGIATAN PENYULUHAN KEGIATAN


PESERTA

1. 3 Pembukaan:
menit
 Membuka kegiatan dengan  Menjawab salam
mengucapkan salam.
 Memperkenalkan diri  Menjawab
 Validasi pengetahuan  Menjawab
keluarga pasien tentang
perawatan pasien gangguan
jiwa
 Menjelaskan tujuan dari  Memperhatikan
penyuluhan
 Menyebutkan materi yang  Memperhatikan
akan diberikan
2. 15 Pelaksanaan:
menit  Menjelaskan Konsep dasar  Memperhatikan
dan tujuan terapi keluarga
 Menjelaskan Macam – macam  Memperhatikan
terapi pada penderita
gangguan jiwa
 Menjelaskan Peran Keluarga  Memperhatikan
dalam terapi lingkungan
 Menjelaskan Hal yang perlu  Bertanya dan
diperhatikan oleh keluarga menjawab
pertanyaan yang
dan lingkungan dalam diajukan

4
merawat penderita gangguan
jiwa di rumah
 memperhatikan
 Menjelaskan Dampak
gangguan jiwa

3. 10 Evaluasi:
menit
 Menanyakan kepada peserta  Menjawab
tentang materi yang telah pertanyaan
diberikan, dan reinforcement
kepada peserta yang dapat
menjawab pertanyaan.
4. 2 Terminasi:
menit
 Mengucapkan terima kasih  Mendengarkan
atas peran serta peserta.
 Mengucapkan salam penutup.  Menjawab salam

X. Setting tempat

:Moderator

:Penyaji

:Fasilitator

:Observer

:Peserta

5
XI. PENGORGANISASIAN
 Pembawa Acara :
 Pemateri :
 Fasilitator :
 Observer :

XII. DAFTAR PUSTAKA :


Hawari, O. 2007. Pendekatan holistik pada gangguan jiwa skizofrenia.
Jakarta: FKUI
Nasir, A dan Muhith, A. 2011. Dasar-dasar keperawatan jiwa
(penghantar dan teori). Jakarta: Salemba Medika.
Yosep, I. 2007. Keperawatan jiwa. Jakarta: Refika Aditama.

6
Materi Penyuluhan

A. Pengertian Gangguan Jiwa


Gangguan jiwa merupakan suatu masalah kesehatan yang masih sangat
penting untuk diperhatikan, hal itu dikarenakan penderita tidak mempunyai
kemampuan untuk menilai realitas yang buruk. Gejala dan tanda yang
ditunjukkan oleh penderita gangguan jiwa antara lain gangguan kognitif,
gangguan proses pikir, gangguan kesadaran, gangguan emosi, kemampuan
berpikir, serta tingkah laku aneh ( Nasir, 2011). Kriteria sehat jiwa menurut
WHO (2008) :
1. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan
2. Memperoleh kepuasan dari usahanya
3. Merasa lebih puas memberi daripada menerima
4. Hubungan antar manusia saling menolong dan memuaskan
5. Menerima kekecewaan sebagai pelajaran untuk memperbaiki yang akan
datang
6. Mengarahkan rasa bermusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif
7. Mempunyai rasa kasih sayang
B. Penyebab Gangguan Jiwa
1. Secara Fisik
a. Keturunan
Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin terbatas
dalam mengakibatkan kepekaan untuk mengalami gangguan jiwa tetapi
hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor lingkungan kejiwaan yang
tidak sehat.
b. Jasmaniah
Beberapa penyelidik berpendapat bentuk tubuh seseorang
berhubungan dengan gangguan jiwa tertentu, misalnya yang bertubuh
gemuk atau endoform cenderung menderita psikosa manik depresif,
sedang yang kurus atau ectoform cenderung menjadi skizofrenia.

7
c. Temperamen
Orang yang terlalu peka/sensitif biasanya mempunyai masalah
kejiwaan dan ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami
gangguan jiwa.
d. Penyakit dan cedera tubuh
Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker dan
sebagainya, mungkin menyebabkan merasa murung dan sedih.
Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa
rendah diri.
2. Secara Psikologis
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang
dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya dikemudian hari.
Hidup seorang manusia dapat dibagi atas 7 masa dan pada keadaan
tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa.
1. Masa bayi
Yang dimaksud masa bayi adalah menjelang usia 2 – 3 tahun,
dasar perkembangan yang dibentuk pada masa tersebut adalah
sosialisasi dan pada masa ini. Cinta dan kasih sayang ibu akan
memberikan rasa hangat/aman bagi bayi dan dikemudian hari
menyebabkan kepribadian yang hangat, terbuka dan bersahabat.
Sebaliknya, sikap ibu yang dingin acuh-tak acuh bahkan menolak
dikemudian hari akan berkembang kepribadian yang bersifat menolak
dan menentang terhadap lingkungan. Sebaiknya dilakukan dengan
tenang, hangat yang akan memberi rasa aman dan terlindungi,
sebaliknya, pemberian yang kaku, keras dan tergesa-gesa akan
menimbulkan rasa cemas dan tekanan.

2. Masa anak pra sekolah (antara 2 sampai 7 tahun)


Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan telah tumbuh disiplin
dan otoritas. Penolakan orang tua pada masa ini yang mendalam atau
ringan, akan menimbulkan rasa tidak aman dan ia akan
mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia mungkin menurut,
menarik diri atau malah menentang dan memberontak. Anak yang

8
tidak mendapat kasih sayang tidak dapat menghayati disiplin tak ada
panutan, pertengkaran, keributan, membingungkan dan menimbulkan
rasa cemas serta rasa tidak aman. Hal-hal ini merupakan dasar yang
kuat untuk timbulnya tuntutan tingkah laku dan gangguan kepribadian
pada anak dikemudian hari.

3. Masa Anak sekolah


Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmaniah dan intelektual
yang pesat. Pada masa ini, anak mulai memperluas lingkungan
pergaulannya. Keluar dari batas-batas keluarga. Kekurangan atau cacat
jasmaniah dapat menimbulkan gangguan penyesuaian diri. Dalam hal
ini sikap lingkungan sangat berpengaruh, anak mungkin menjadi
rendah diri atau sebaliknya melakukan kompensasi yang positif atau
kompensasi negatif. Sekolah adalah tempat yang baik untuk seorang
anak mengembangkan kemampuan bergaul dan memperluas
sosialisasi, menguji kemampuan, dituntut prestasi, mengekang atau
memaksakan kehendaknya meskipun tak disukai oleh si anak.

4. Masa Remaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahan-perubahan
yang penting yaitu timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri diri
kewanitaan atau kelaki-lakian). Sedang secara kejiwaan, pada masa ini
terjadi pergolakan-pergolakan yang hebat. Pada masa ini, seorang
remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, disuatu pihak ia
merasa sudah dewasa (hak-hak seperti orang dewasa), sedang di lain
pihak belum sanggup dan belum ingin menerima tanggung jawab atas
semua perbuatannya. Egosentris bersifat menentang terhadap otoritas,
senang berkelompok, idealis adalah sifat-sifat yang sering terlihat.
Suatu lingkungan yang baik dan penuh pengertian akan sangat
membantu proses kematangan kepribadian di usia remaja.
5. Masa Dewasa muda
Seorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan
bahagia akan cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan

9
umumnya ia akan berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan pada masa
ini. Sebaliknya yang mengalami banyak gangguan pada masa
sebelumnya, bila mengalami masalah pada masa ini mungkin akan
mengalami gangguan jiwa.

6. Masa dewasa tua


Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan dan sosial
seseorang sudah mantap. Sebagian orang berpendapat perubahan ini
sebagai masalah ringan seperti rendah diri dan pesimis Keluhan
psikomatik sampai berat seperti murung, kesedihan yang mendalam
disertai kegelisahan hebat dan mungkin usaha bunuh diri.

7. Masa Tua
Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada masa ini,
yaitu berkurangnya daya tanggap, daya ingat, berkurangnya daya
belajar, kemampuan jasmaniah dan kemampuan sosial ekonomi
menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta sering
mengakibatkan kesalahpahaman orang tua terhadap orang di
lingkungannya. Perasaan terasing karena kehilangan teman sebaya
keterbatasan gerak dapat menimbulkan kesulitan emosional yang
cukup hebat
3. Secara Lingkungan
Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat
dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan
penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa, biasanya terbatas
menentukan “warna” gejala-gejala. Disamping mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang, misalnya melalui
aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Menurut
Santrock (2002) beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut :
1. Cara-cara membesarkan anak
Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter, hubungan
orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-anak setelah

10
dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau pendiam dan tidak suka
bergaul atau justru menjadi penurut yang berlebihan.
2. Sistem Nilai
Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang
satu dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang sering
menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan
moral yang diajarkan di rumah/sekolah dengan yang dipraktekkan di
masyarakat sehari-hari.
3. Kepincangan antar keinginan dengan kenyataan yang ada
Iklan-iklan di radio, televisi, surat kabar, film dan lain-lain
menimbulkan bayangan-bayangan yang menyilaukan tentang
kehidupan modern yang mungkin jauh dari kenyataan hidup sehari-
hari. Akibat rasa kecewa yang timbul, seseorang mencoba
mengatasinya dengan khayalan atau melakukan sesuatu yang
merugikan masyarakat.
4. Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi
Dalam masyarakat modern kebutuhan dan persaingan makin
meningkat dan makin ketat untuk meningkatkan ekonomi hasil-hasil
teknologi modern. Memacu orang untuk bekerja lebih keras agar dapat
memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar dari
kebutuhan sehingga pengangguran meningkat, demikian pula
urbanisasi meningkat, mengakibatkan upah menjadi rendah. Faktor-
faktor gaji yang rendah, perumahan yang buruk, waktu istirahat dan
berkumpul dengan keluarga sangat terbatas dan sebagainya merupakan
sebagian mengakibatkan perkembangan kepribadian yang abnormal.
5. Perpindahan kesatuan keluarga
Khusus untuk anak yang sedang berkembang kepribadiannya,
perubahan-perubahan lingkungan (kebudayaan dan pergaulan), sangat
cukup mengganggu.
6. Masalah golongan minoritas
Tekanan-tekanan perasaan yang dialami golongan ini dari
lingkungan dapat mengakibatkan rasa pemberontakan yang selanjutnya

11
akan tampil dalam bentuk sikap acuh atau melakukan tindakan-
tindakan yang merugikan orang banyak.
C. Tanda – dan Gejala Gangguan Jiwa
Tanda dan gejala gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah sebagai
berikut :

a) Ketegangan (tension)
Rasa putus asa, murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang
terpaksa (convulsive), histeria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan,
takut dan pikiran-pikiran buruk.

b) Gangguan kognisi pada persepsi


Merasa mendengar (mempersepsikan) sesuatu bisikan yang menyuruh
membunuh, melempar, naik genting, membakar rumah, padahal orang di
sekitarnya tidak mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya tidak ada
hanya muncul dari dalam diri individu sebagai bentuk kecemasan yang
sangat berat dia rasakan. Hal ini sering disebut halusinasi, klien bisa
mendengar sesuatu, melihat sesuatu atau merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada menurut orang lain.

c) Gangguan kemauan
Klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah membuat
keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun pagi, mandi,
merawat diri sendiri sehingga terlihat kotor, bau dan acak-acakan.

d) Gangguan emosi
Klien merasa senang, gembira yang berlebihan, sebagai orang penting,
sebagai raja, pengusaha, orang kaya, titisan Bung karno tetapi di lain
waktu ia bisa merasa sangat sedih, menangis, tak berdaya (depresi) sampai
ada ide ingin mengakhiri hidupnya (waham kebesaran).

e) Gangguan psikomotor
Hiperaktivitas, klien melakukan pergerakan yang berlebihan naik ke
atas genting berlari, berjalan maju mundur, meloncat-loncat, melakukan

12
apa-apa yang tidak disuruh atau menentang apa yang disuruh, diam lama,
tidak bergerak atau melakukan gerakan aneh (Yosep, 2007).
D. Pengertian Keluarga
Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan
klien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak
diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan klien harus dirawat
kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di rumah sakit akan
meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien di rumah, sehingga
kemungkinan kekambuhan dapat dicegah (Purwanto, 2014).
Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah keluarga yang
tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah. Menurut Nasir dan Muhith
(2011), klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50%
pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun kelima
setelah pulang dan rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah
atau di masyarakat. Empat faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di
rumah sakit, menurut Sullinger (1998):

1. Klien : Diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat secara teratur
mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan 25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak
memakan obat secara teratur.
2. Dokter (pemberi resep) : Makan obat yang teratur dapat mengurangi
kambuh, namun pemakaian obat neuroleptik yang lama dapat
menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu
hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
3. Penanggung jawab klien: Setelah klien pulang ke rumah maka perawat
puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah.
4. Keluarga : Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan
ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak
menekan dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga
dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga
dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu klien juga mudah

13
dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan (naik pangkat, menikah)
maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan).
E. Peran Keluarga dalam Terapi Lingkungan
Peran keluarga dalam terapi lingkungan (Djiwandono, 2002):
1. Distribusi kekuatan
Keluarga mendistribusikan pengetahuan, pengalaman kepada seluruh
anggota keluarga agar kebutuhan yang dibuat bertujuan yang terbaik untuk
klien.
2. Komunikasi terbuka
Komunikasi dilakukan oleh anggota keluarga untuk mendapatkan
informasi guna menetapkan keputusan.
3. Memperhatikan struktur interaksi. Struktur interaksi meliputi :
a. Sikap bersahabat
b. Penuh perhatian
c. Lembut dan tegas
4. Aktifitas kerja
Diperlukan dorongan yang kuat dari lingkungan dengan jalan
mengijinkan pasien untuk memilih terapi. Akan lebih berarti bila dapat
diterapkan pada pekerjaan yang nyata.
5. Penyesuaian lingkungan dengan kebutuhan dan perkembangan klien
6. Pencipta lingkungan yang aman dan nyaman
7. Penyelenggaraan proses sosialisasi:
a. Membantu klien belajar berinteraksi dengan orang lain, mempercayai
orang lain, sehingga meningkatkan harga diri dan berguna bagi orang
lain.
b. Mendorong klien untuk berkomunikasi tentang ide-ide, perasaan dan
perilakunya secara terbuka sesuai dengan aturan di dalam kegiatan-
kegiatan tertentu.
c. Melalui sosialisasi pasien belajar tentang kegiatan-kegiatan atau
kemampuan yang baru dan dapat dilakukannya sesuai dengan
kemampuan dan minatnya pada waktu luang.

14
d. Penanganan gangguan jiwa harus dilakukan dengan tepat dan cepat
serta terencana terutama keluarga. Salah satu hal yang penting untuk
memulai pengobatan adalah keberanian keluarga untuk menerima
kenyataan. Mereka juga harus menyadari bahwa gangguan jiwa itu
memerlukan pengobatan sehingga tidak perlu dihubungkan
kepercayaan yang macam-macam. Terapi bagi penderita gangguan jiwa
bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan
peran keluarga dan masyarakat dibutuhkan guna resosialisasi dan
pencegahan kekambuhan.
Menurut Harmoko (2012), hal-hal yang perlu diketahui oleh keluarga
dalam perawatan gangguan jiwa:

a) Penderita yang mengalami gangguan jiwa adalah manusia yang sama


dengan orang lainnya, yakni mempunyai martabat dan memerlukan
perlakuan manusiawi.

b) Penderita yang mengalami gangguan jiwa mungkin dapat kembali ke


masyarakat dan berperan dengan optimal apabila mendapatkan
dukungan yang memadai dari seluruh unsur masyarakat. Pasien
gangguan jiwa bukan berarti tidak dapat “sembuh”.

c) Penderita dengan gangguan jiwa tidak dapat dikatakan “sembuh” secara


utuh, tetapi memerlukan bimbingan dan dukungan penuh dari orang lain
dan keluarga. Keluarga dapat meningkatkan kemandirian dan
pengoptimalan peran dalam masyarakat bagi penderita. Penderita
memerlukan pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari seperti makan,
minum dan berpakaian serta kebersihan diri dengan optimal. Keluarga
berperan untuk membantu pemenuhan kebutuhan ini sesuai tahap-tahap
kemandirian pasien.

d) Kegiatan sehari-hari seperti melakukan pekerjaan rumah (ringan),


membantu usaha keluarga atau bekerja (seperti orang normal lainnya)
merupakan salah satu bentuk terapi pengobatan yang mungkin berguna
bagi pasien.

15
e) Berperan secukupnya pada penderita sesuai dengan tingkat kemampuan
yang dimiliki. Pemberian peran yang sesuai dapat meningkatkan harga
diri klien gangguan jiwa.

f) Berilah motivasi sesuai dengan kebutuhan dalam rangka meningkatkan


moral dan harga diri. Kembangkan kemampuan yang telah dimiliki oleh
penderita pada waktu yang lalu. Kemampuan masa lalu berguna untuk
menstimulasi dan meningkatkan fungsi penderita sedapat mungkin.

F. Dampak Gangguan Jiwa


1. Gangguan aktivitas hidup sehari-hari
2. Gangguan hubungan bermasyarakat
3. Gangguan peran/sosial
G. Hal yang perlu diperhatikan oleh keluarga dan lingkungan dalam merawat
penderita gangguan jiwa di rumah
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh keluarga dan lingkungan dalam
merawat penderita gangguan jiwa di rumah :
1. Memberikan kegiatan/kesibukan dengan membuatkan jadwal sehari-hari.
2. Berikan tugas yang sesuai dengan kemampuan penderita dan secara
bertahap tingkatkan sesuai perkembangan.
3. Menemani dan tidak membiarkan penderita sendiri saat melakukan
kegiatan, misalnya makan bersama, rekreasi bersama dan bekerja bersama.
4. Minta keluarga dan teman menyapa saat bertemu penderita dan jangan
membiarkan penderita berbicara sendiri.
5. Mengajak dan mengikutsertakan penderita dalam kegiatan bermasyarakat,
misalnya kerja bakti.

16

Anda mungkin juga menyukai