Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN CIDERA KEPALA RINGAN PADA

TN.K DI RUANG IGD RS BHAKTI ASIH BREBES

Disusun Oleh:

NENENG VITRIYAH (C1013064)

Pembimbing Klinik : Uus Usmanto, Amk


Pembimbing Akademik : Arif Rakhman MAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAMADA SLAWI

Jln.Cut Nyak Dhien No.16 Desa Kalisapu Kab TEGAL 52416

Telp. (0283) 6197570, 6197571

2016
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN CEDERA KEPALA


Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, otak, cedera paling
sering dan merupakan penyakit neuroligist yang serius diantara penyakit
neurologist dan merupakan proporsi epodemik sebagai hasil kecelakaan jalan
raya. (Bruner & Suddart, 2002).

Cedera kepala adalah cedera neurologik yang diakibatkan oleh suatu benda
atau serpihan tulang yang menembus atau merobek suatu jaringan otak oleh
pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke dalam otak dan
akhirnya oleh efek percepatan, perlambatan pada otak yang terbatas pada
kompartemen yang kaku.(Price. J. Wilson, 2006).

Cedera kepala atau (cedera otak) adalah gangguan fungsi otak normal karena
trauma (trauma tumpul atau trauma tusuk) (Sandra. M. Nettima, 2002).

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecatatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian terjadi akibat kecelakaan
lalulintas. (Arif Mansjoer, dkk. 1999).

Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau


penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan,
serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tindakan pencegahan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa cedera kepala merupakan suatu cedera atau
trauma pada kulit kepala, tengkorak, otak yang diakibatkan oleh suatu benda
atau serpihan tulang yang menembus atau merobek suatu jaringan otak,
merupakan penyakit neuroligis yang seirus diantara penyakit neurologis
karena menyebabkan kematian / kecacatan terutama pada kelompok usia
produktif.

B. ETIOLOGI
1. Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat, seperti luka tembus peluru, pisau.
2. Trauma oleh benda tumpul
Contoh : Pukulan, tabrakan mobil, terjatuh, cedera saat berolah raga, dan
lain-lain yang dapat menyebabkan cedera menyeluruh (difus). Kerusakan
terjadi ketika energi atau kekuatan diteruskan ke substansi otak. Energi
diserap oleh lapisan pelindung yaitu rambut, kulit, kepala, tengkorak dn
otak.

C. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


Klasifikasi cedera kepala dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Menurut jenis luka atau cedera
a) Cedera kepala terbuka
Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan otak
b) Cedera kepala tertutup
Dapat disamakan pada pasien dengan gagar otak ringan dengan edema
serebral yang luas
2. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Gaslow Coma Scale)
a) Cedera kepala ringan (CKR)
GCS 13 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang
dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur
tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma
b) Cedera kepala sedang: (CKS)
GCS 9 12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c) Cedera kepala berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral,
laserasi atau hematoma intracranial.
3. Menurut aktif tidaknya kepala
a) Akselerasi
Kepala diam, benda aktif mendekati kepala benda
b) Deselerasi
Kepala aktif mendekati kepala benda

D. MANIFESTASI KLINIS
Berdasarkan letak perdarahan tanda dan gejalanya sebagi berikut :
1. Epidural hematoma
Perdarahan di ruang epidural diantara tulang tengkorak dan durameter.
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah atau cabang-cabang arteri meningeal
media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat
menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa
jam sampai 1 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis
dan parietalis.
Gejala-gejala yang terjadi:
a) Penurunan kesadaran
b) Nyeri kepala
c) Muntah
d) Hemaparesis
e) Dilatasi pupil ipsilateral
f) Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irregular
g) Penurunan nadi
h) Peningkatan suhu
2. Subdural hematoma
Perdarahan di ruang subdural antara durameter dengan araknoid.
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.
Periode akut terjadi dalam 48 jam 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat
terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala yang terjadi yaitu :
a) Nyeri kepala
b) Bingung
c) Mengantuk
d) Menarik diri
e) Berpikir lambat
f) Kejang
g) Odem perut
3. Subaraknoid hematoma
Perdarahan di ruang subaraknoid antara araknoid dengan piameter.
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Gejala yang terjadi yaitu :
a) Nyeri
b) Penurunan kesadaran
c) Hemiparese
d) Dilatasi pupil ipsilateral
e) Kaku kuduk
4. Hematoma intraserebral
Perdarahan pada jangka otak karena pecahnya pembuluh darah arteri,
kapiler, vena. Gejala yang terjadi yaitu :
a) Nyeri kepala
b) Penurunan kesadaran
c) Perubahan tanda-tanda vital
E. PATOFISOLOGI
1. CEDERA KEPALA RINGAN
Cedera kulit kepala: Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh
darah, kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala
juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat
menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau avulsi.
2. CEDERA KEPALA SEDANG
Fraktur tengkorak: Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang
tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa
kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan
dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan
terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup
dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar
fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa
pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintas
sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang
temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau
telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak
dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.

Cidera otak: Kejadian cedera Minor dapat menyebabkan kerusakan


otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai
derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai
darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak
dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir
tanpa henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat
mengalami regenerasi.

3. CEDERA KEPALA BERAT


Komosio: Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase
neuologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus
frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana
keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.

Kontusio: Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami


memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada
periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut
nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.

Hemoragi cranial: Hematoma ( pengumpulan darah ) yang terjadi dalam


tubuh kranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam
hematoma:
a) Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)
Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural
(ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering
diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri
meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada
diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis
tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan
pada otak.
b) Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan
dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub
dural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya
pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma
subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada
ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera kepala mayor
yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut:
sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal
untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma
subdural kronik: dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi
paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini
karena atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan.
c) Hemoragi Intra cerebral dan hematoma
Hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak.
Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan
mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam
menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong
aneorima vasculer, tumor infracamal, penyebab sistemik gangguan
perdarahan.

F. KOMPLIKASI
1. Herniasi otak : akibat dari edema dan peningkatan TIK
2. Hidrosefalus : akibat peningkatan akumulasi cairan serebrospinal
3. Infeksi : terjadi pada cedera kepala terbuka
4. SIADH : terjadi bila lesi mengenai hipotalamus

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT-Scan : untuk menentukan tempat luka atau jejas, mengevaluasi
gangguan strukrutal
2. MRI : mengidentifikasi kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
3. X-Ray : mendeteksi dan mengidentifikasi fraktur
4. AGP : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan sirkulasi
5. Cerebral Anglography : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
6. Lumbal fungsi : untuk menentukan ada atau tidaknya darah dalam CSS.
7. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
9. EEG: untuk memperlihatkan keadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
10. BAER (Brain Auditory Evoked Respon: menentukan fungsi korteks
dan batang otak.
11. PET (Positron Emission Tomography: menunjukkan perubahan
aktivitas metabolisme pada otak
12. Pemeriksaan toksikologi: mendeteksi obat yang mungkin
bertanggungjawab terhadap penurunan kesadaran.

H. PENATALAKSANAAN
Semua terapi diarahkan untuk mempertahankan hemastatis otak dan
mencegah kerusakan otak sekunder. Tindakan ini mencakup stabilisasi
kardiovaskuler dan fungsi pernafasan untuk mempertahankan perfusi serebral
adekuat. Hemoragi terkontrol, hipovotemia diperbaiki, dan nilai - nilai gas
darah dipertahankan pada nilai yang diinginkan.
1. Pedoman Resusitasi dan Penilaian Awal
a) Menilai jalas nafas : Bersihkan jalas nafas dari debris atau muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
memasang kolar servikal, pasang guedel bila ditolerir, jika pasien
cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus
diintubasi.
b) Menilai pernafasan : tentukan apakah pasien bernafas spontan atau
tidak. Jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien
bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti
pneumotorak. Pasang oksimetri nadi jika tersedia dengan tujuan
menjaga saturasi oksigen minimun 95%.
c) Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.
Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya, perhatikan
secara khusus adanya cedera intraabdomen atau dada, ukur dan catat
frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan
EKG. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk
meperiksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glutosa dan
analisa gas darah arteri.
d) Menilai tingkat kesadaran : Cedera kepala ringan (GCS13-15), Cedera
kepala sedang (GCS 9-12), Cedera kepala berat (GCS 3-8).
e) Mengontrol TIK pada cedera kepala : Tinggikan kepala tempat tidur
sampai 30 derajat, pertahankan kepala dan leher pasien dalam
kesejajaran sentral (tidak memutar), memberikan medikasi yang
diserarkan untuk menurunkan TIK (misal : diuretik, kortikosteroid),
mempertahankan suhu tubuh normal, hiperventilasi pasien pada
ventilasi mekanik : memberikan O2, mempertahankan pembatasan
cairan, memberikan sedasi untuk menurunkan kebutuhan metabolik.
2. Glasgow Coma Scale (GCS)
a) Membuka mata (E)
4 : spontan atau membuka mata spontan.
3 : terhadap rangsang suara atau membuka mata bila dipanggil atau
diperintah.
2 : terhadap rangsang nyeri membuka mata bila ada tekanan pada jari.
1 : tidak ada atau mata tidak membuka terhadap rangsang apapun.
b) Respon verbal (V)
5 : orientasi baik : dapat bercakap-cakap, mengetahui siapa dirinya,
dimana berada, bulan dan tahun.
4 : bingung : dapat bercakap-cakap, tetapi ada disorientasi.
3 : kata-kata yang diucapkan tidak tepat : percakapan tidak dapat
bertahan, susunan kata-kata kacau atau tidak tepat.
2 : tidak dapat dimengerti atau mengeluarkan suara (msl : merintih)
tetapi tidak ada kata - kata yang dapat dikenal.
1 : tidak ada : tidak mengeluarkan kata-kata.
c) Respon motorik (M)
6 : mematuhi perintah misal angkat tangan
5 : melokalisasi nyeri : tidak mematuhi perintah tetapi berusaha
menunjukkan nyeri dan menghilangkan nyeri tersebut
4 : reaksi fleksi : lengan fleksi bila diberikan rangsang nyeri dan tanpa
posisi fleksi abnormal
3 : fleksi abnormal terhadap nyeri : lengan fleksi disiku dan pronasi
tangan mengepal (postur dekortitasi)
2 : ekstensi abnormal terhadap nyeri : ekstensi lengan disiku, lengan
biasanya adduksi dan bahu berotasi ke dalam (postur deserebrasi)
1 : tidak ada : tidak ada respon terhadap nyeri : flaksid.

3. Pemeriksaan sistem motorik


Mencakup pengkajian pada ukuran otot , tonus atot, kekuatan otot,
koordinasi dan keseimbangan. Pasien diintruksikan untuk berjalan
menyilang di dalam ruangan , sementara pengkaji mencatat postur dan
gaya berjalan. Lihat keadaan ototnya, dan bila perlu lakukan palpasi untuk
melihat ukuran dan keadaan simetris. Keadaan atrofi atau gerakan tidak
beraturan (tremor) perlu dicatat. Tonus otot dievaluasi dengan palpasi
yaitu dengan berbagai variasi pada saat otot istirahat dan selama gerakan
pasif. Pertahankan seuruh gerakan tetap dicatat dan didokumentasikan .
keadaan tonus yang tidak normal mencakup spastisitas (kejang), rigititas
(kaku atau fleksiditas).
a) Kekuatan otot
Kekuatan otot diuji melalui pengkajian kemampuan pasien untuk
melakukan fleksi dan ekstremitas sambil dilakukan penahanan.
Beberapa dokter mempunyai lima angka untuk menilai ukuran
kekuatan otot. Nilai 5 adalah indikasi terhadap kekuatan konstraksi
maksimal, nilai 4 untuk kekuatan sedang, nilai 3 indikasi kekuatan
hanya cukup untuk mengatasi kekuatan gravitasi, nilai 2 menunjukkan
kemampuan untuk menggerakkan tapi tidak dapat mengatasi kekuatan
gravitasi, nilai 1 mengindikasikan kekuatan kontraksiminimal, dan 0
mengindikasikan ketidakmampuan sama sekali dalam melakukan
kontraksi.
b) Keseimbangan dan koordinasi
Pengaruh serebelum pada sistem motorik terliaht pada kontrol
keseimbangan dan koordiasi. Koordinasi tangan dan ekstremitas atas
dikaji dengan cara meminta pasien melakukan gerakan cepat,
berselang-seling dan ini manunjuk satu titik ke titik lain. Pertama
pasien diminta untuk menepukkan tangan ke paha secepat mungkin ,
masing-masing tagan diuji secara terpisah. Kemudian pasien
diinstruksikan untuk membalikkan tangan dari posisi telentang ke
posisi telungkup dengan gerakan cepat. Selanjutnya pasien
diperintahkan untuk menyenyuh masing-masing jari dengan ibu
jarisecara berurutan.catat setiap gerakan cepat, simetris dan derajat
kesulitan.

Tes Romberg dilakukan dengan menginstruksikan pasien berdiri


dengan menggunakan satu kali dengan tangan diturunkan pada sisi
yang sama, sementara kaki yang satu diangkat dan tangan yang
satunya dinaikkan ke atas.

4. Pemeriksaan saraf kranial


a) Saraf olfaktorius.
Sensasi terhadap bau-bauan. Pemeriksaan dilakukan dengan mata
tertutup, pasien diperintahkan mengeidentifikasikan bau yang sudah
dikenal (kopi, tembakau). Masing-masing lubang hidung di uji secara
terpisah.
b) Saraf optikus
Ketajam penglihatan, pemeriksaan dengan kartu snellen, lapang
pandang, pemeriksaan oftalmoskopi.
c) Saraf Trigeminal
Sensasi pada wajah. Pemeriksaan : anjurkan pasien menutup kedua
mata, sentuhkan kapas pada dahi, pipi dan dagu, bandingkan kedua
sisi yang berlawanan. Sensitivitas terhadap nyeri daerah permukaan
diuji dengan menggunakan benda runcing dan diakhiri dengan spatel
lidah yang tumpul, lakukan pengkajian dengan benda tajam dan
tumpul secara bergantian.

Refleks kornea. Pemeriksaan : pada saat pasien melihat ke atas,


lakukan sentuhan ringan dengan sebuah gumpalan kapas kecil di
daerah temporal masing masing kornea, bila terjadi kedipan mata
keluarnya air mata adalah respons yang normal.
Mengunyah. Pegang daerah rahang pasien dan rasakan gerakan dari
sisi ke sisi.Palpasi otot maseter dan temporal, apakah kekuatannya
sama atau tidak sama.
d) Fasial
Gerakan otot wajah, ekspresi wajah, sekresi air mata dan ludah.
Observasi simetrisitas gerakan wajah saat : tersenyum, bersiul,
mengangkat alis, mengerutkan dahi, saat menutup mata rapat-rapat.
Rasa kecap : dua pertiga anterior lidah. Pasien mengekstensikan lidah,
kemampuan lidah membedakan rasa gula dan garam.
5. Vestibulokoklear (auditorius)
Keseimbangan dan pendengaran. Pemeriksaan : uji bisikan suara / bunyi
detak jam, uji untuk lateralisasi (weber), uji untuk konduksi udara dan
tulang (Rinne).
6. Glosofaringeus
Rasa kecap : sepertiga lidah bagian pasterior.
7. Vagus
Konstraksi faring dengan tekan spatel lidah pada lidah posterior, atau
menstimulasi faring posterior untuk menimbulkan refleks menelan.
Gerakan simetris dari pita suara, gerakan simetris palatum mole minta
pasien mengatakan ah, observasi terhadap peninggia ovula simetris dan
palatum mole.
8. Aksesorius spinal
Gerakan otot sternokleidomastoid dan trapezius. Palpasi dan catat
kekuatan otot trapezius pada saat pasien mengangkat bahu sambil
dilakukan penekanan. Palpasi dan catat kekuatan otot
sternokleidomastoid pasien saat memutar kepala sambil dilakukan
penahanan dengan tangan penguji ke arah yang berlawanan.
9. Hipoglosus
Gerakan lidah. Bila pasien menjulurkan lidah keluar, terdapat devlasi
atau tremor. Kekuatan lidah dikaji dengan cara pasien menjulurkan lidah
dan menggerakkan ke kiri atau kanan sambil diberi tahanan.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA

A. PENGKAJIAN
Data fokus yang perlu dikaji:
a) Riwayat kesehatan meliputi: keluhan utama, kapan cidera terjadi,
penyebab cidera, riwayat tak sadar, amnesia, riwayat kesehatan yang lalu,
dan riwayat kesehatan keluarga.
b) Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
2. Pemeriksaan persistem
1) Sistem persepsi dan sensori (pemeriksaan panca indera:
penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa)
2) Sistem persarafan (tingkat kesadaran/ nilai GCS, reflek bicara,
pupil, orientasi waktu dan tempat)
3) Sistem pernafasan (nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan
kepatenan jalan nafas)
4) Sistem kardiovaskuler (nilai TD, nadi dan irama, kualitas, dan
frekuensi)
5) Sistem gastrointestinal (nilai kemampuan menelan, nafsu makan/
minum, peristaltik, eliminasi)
6) Sistem integumen ( nilai warna, turgor, tekstur dari kulit, luka/ lesi)
7) Sistem reproduksi
8) Sistem perkemihan (nilai frekuensi b.a.k, volume b.a.k)
3. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan (termasuk adakah
kebiasaan merokok, minum alcohol, dan penggunaan obat obatan)
2) Pola aktivitas dan latihan (adakah keluhan lemas, pusing,
kelelahan, dan kelemahan otot)
3) Pola nutrisi dan metabolisme (adakah keluhan mual, muntah)
4) Pola eliminasi
5) Pola tidur dan istirahat
6) Pola kognitif dan perceptual
7) Persepsi diri dan konsep diri
8) Pola toleransi dan koping stress
9) Pola seksual dan reproduktif
10) Pola hubungan dan peran
11) Pola nilai dan keyakinan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan cidera
kepala adalah sebagai berikut:
1. Perfusi jaringan tidak efektif (spesifik serebral) berhubungan dengan aliran
arteri dan atau vena terputus.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
3. Hipertermi berhubungan dengan trauma (cidera jaringan otak, kerusakan
batang otak)
4. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan hipoventilasi
5. Kerusakan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kemampuan
kognitif, afektif, dan motorik)
6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kemampuan
kognitif, motorik, dan afektif.
7. Defisit perawatan diri: makan/ mandi, toileting berhubungan dengan
kelemahan fisik dan nyeri.
8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan penurunan kemampuan
kognitif, motorik, dan afektif.
9. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.
10. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status
hipermetabolik.
11. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma/ laserasi kulit kepala
12. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual, muntah.
C. RENCANA KEPERAWATAN

Diagnosa
No Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Keperawatan

1 Perfusi jaringan tak NOC: Monitor Tekanan Intra Kranial


efektif (spesifik serebral)
1. Status sirkulasi 1. Catat perubahan respon klien terhadap stimulus /
b.d aliran arteri dan atau
rangsangan
vena terputus, dengan 2. Perfusi jaringan serebral
2. Monitor TIK klien dan respon neurologis
batasan karak-teristik:
Setelah dilakukan tindakan terhadap aktivitas
- Perubahan respon keperawatan selama .x 24 jam, 3. Monitor intake dan output
motorik klien mampu mencapai : 4. Pasang restrain, jika perlu
- Perubahan status 5. Monitor suhu dan angka leukosit
1. Status sirkulasi dengan indikator:
mental 6. Kaji adanya kaku kuduk
- Tekanan darah sistolik dan
- Perubahan respon 7. Kelola pemberian antibiotik
diastolik dalam rentang yang
pupil 8. Berikan posisi dengan kepala elevasi 30-40O
diharapkan
- Amnesia retrograde dengan leher dalam posisi netral
- Tidak ada ortostatik hipotensi
9. Minimalkan stimulus dari lingkungan
(gang-guan memori) - Tidak ada tanda tanda PTIK 10. Beri jarak antar tindakan keperawatan untuk
2. Perfusi jaringan serebral, dengan meminimalkan peningkatan TIK
indicator : 11. Kelola obat obat untuk mempertahankan TIK
- Klien mampu berkomunikasi dalam batas spesifik
dengan jelas dan sesuai
Monitoring Neurologis (2620)
kemampuan
- Klien menunjukkan perhatian, 1. Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksi dan bentuk
konsentrasi, dan orientasi pupil
- Klien mampu memproses 2. Monitor tingkat kesadaran klien
informasi 3. Monitor tanda-tanda vital
- Klien mampu membuat 4. Monitor keluhan nyeri kepala, mual, dan muntah
keputusan dengan benar 5. Monitor respon klien terhadap pengobatan
- Tingkat kesadaran klien 6. Hindari aktivitas jika TIK meningkat
membaik 7. Observasi kondisi fisik klien

Terapi Oksigen (3320)

1. Bersihkan jalan nafas dari secret


2. Pertahankan jalan nafas tetap efektif
3. Berikan oksigen sesuai instruksi
4. Monitor aliran oksigen, kanul oksigen, dan
humidifier
5. Beri penjelasan kepada klien tentang pentingnya
pemberian oksigen
6. Observasi tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor respon klien terhadap pemberian
oksigen
8. Anjurkan klien untuk tetap memakai oksigen
selama aktivitas dan tidur

2 Nyeri akut b.d dengan NOC: Manajemen nyeri (1400)


agen injuri fisik, dengan
1. Nyeri terkontrol 1. Kaji keluhan nyeri, lokasi, karakteristik,
batasan karakteristik:
onset/durasi, frekuensi, kualitas, dan beratnya
2. Tingkat Nyeri
- Laporan nyeri kepala nyeri.
secara verbal atau 3. Tingkat kenyamanan 2. Observasi respon ketidaknyamanan secara
non verbal verbal dan non verbal.
- Respon autonom 3. Pastikan klien menerima perawatan analgetik dg
(perubahan vital sign, Setelah dilakukan asuhan tepat.
dilatasi pupil) keperawatan selama . x 24 jam, 4. Gunakan strategi komunikasi yang efektif untuk
- Tingkah laku eks- klien dapat : mengetahui respon penerimaan klien terhadap
presif (gelisah, me- nyeri.
1. Mengontrol nyeri, de-ngan
nangis, merintih) 5. Evaluasi keefektifan penggunaan kontrol nyeri
indikator:
- Fakta dari observasi 6. Monitoring perubahan nyeri baik aktual maupun
- Mengenal faktor-faktor
- Gangguan tidur (mata potensial.
penyebab
sayu, menye-ringai, 7. Sediakan lingkungan yang nyaman.
- Mengenal onset nyeri
dll) 8. Kurangi faktor-faktor yang dapat menambah
- Tindakan pertolong-an non
ungkapan nyeri.
farmakologi
9. Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi sebelum
- Menggunakan anal-getik
atau sesudah nyeri berlangsung.
- Melaporkan gejala-gejala
10. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
nyeri kepada tim kesehatan.
memilih tindakan selain obat untuk meringankan
- Nyeri terkontrol
nyeri.
2. Menunjukkan tingkat nyeri,
11. Tingkatkan istirahat yang adekuat untuk
dengan indikator:
meringankan nyeri.
- Melaporkan nyeri
- Frekuensi nyeri
- Lamanya episode nyeri Manajemen pengobatan (2380)
- Ekspresi nyeri; wa-jah
1. Tentukan obat yang dibutuhkan klien dan cara
- Perubahan respirasi rate
mengelola sesuai dengan anjuran/ dosis.
- Perubahan tekanan darah
2. Monitor efek teraupetik dari pengobatan.
- Kehilangan nafsu makan
3. Monitor tanda, gejala dan efek samping obat.
3. Tingkat kenyamanan, dengan
4. Monitor interaksi obat.
indicator :
5. Ajarkan pada klien / keluarga cara mengatasi
- Klien melaporkan kebutuhan
efek samping pengobatan.
tidur dan istirahat tercukupi
6. Jelaskan manfaat pengobatan yg dapat
mempengaruhi gaya hidup klien.

Pengelolaan analgetik (2210)

1. Periksa perintah medis tentang obat, dosis &


frekuensi obat analgetik.
2. Periksa riwayat alergi klien.
3. Pilih obat berdasarkan tipe dan beratnya nyeri.
4. Pilih cara pemberian IV atau IM untuk
pengobatan, jika mungkin.
5. Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgetik.
6. Kelola jadwal pemberian analgetik yang sesuai.
7. Evaluasi efektifitas dosis analgetik, observasi
tanda dan gejala efek samping, misal depresi
pernafasan, mual dan muntah, mulut kering, &
konstipasi.
8. Kolaborasi dgn dokter untuk obat, dosis & cara
pemberian yg diindikasikan.
9. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,
dan keparahan sebelum pengobatan.
10. Berikan obat dengan prinsip 5 benar
11. Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek
yang tidak diinginkan

3 Defisit self care b.d NOC:


NIC: Membantu perawatan diri klien Mandi dan
dengan kelelahan, nyeri
Perawatan diri : toiletting
(mandi, Makan Toiletting, Aktifitas:
berpakaian)
7. Tempatkan alat-alat mandi di tempat yang
Setelah diberi motivasi perawatan mudah dikenali dan mudah dijangkau klien
selama .x24 jam, ps mengerti cara 8. Libatkan klien dan dampingi
memenuhi ADL secara bertahap 9. Berikan bantuan selama klien masih mampu
sesuai kemam-puan, dengan kriteria : mengerjakan sendiri

- Mengerti secara seder-hana NIC: ADL Berpakaian


cara mandi, makan, toileting, dan
Aktifitas:
berpakaian serta mau mencoba se-
cara aman tanpa cemas 1. Informasikan pada klien dalam memilih pakaian
- Klien mau berpartisipasi dengan selama perawatan
senang hati tanpa keluhan dalam 2. Sediakan pakaian di tempat yang mudah
memenuhi ADL dijangkau
3. Bantu berpakaian yang sesuai
4. Jaga privacy klien
5. Berikan pakaian pribadi yg digemari dan sesuai
NIC: ADL Makan

1. Anjurkan duduk dan berdoa bersama teman


2. Dampingi saat makan
3. Bantu jika klien belum mampu dan beri contoh
4. Beri rasa nyaman saat makan

4 PK: peningkatan tekanan Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK
intrakranial b.d proses keperawatan selama .x 24 jam - Kaji respon membuka mata, respon motorik,
desak ruang akibat dapat mencegah atau meminimalkan dan verbal, (GCS)
penumpukan cairan / komplikasi dari peningkatan TIK, - Kaji perubahan tanda-tanda vital
darah di dalam otak dengan kriteria : - Kaji respon pupil
(Carpenito, 1999) - Catat gejala dan tanda-tanda: muntah, sakit
Kesadaran stabil (orien-asi baik)
kepala, lethargi, gelisah, nafas keras, gerakan
Batasan karakteristik :
Pupil isokor, diameter 1mm tak bertujuan, perubahan mental
- Penurunan kesadar- 2. Tinggikan kepala 30-40O jika tidak ada kontra
Reflek baik
an (gelisah, disori- indikasi
entasi) Tidak mual 3. Hindarkan situasi atau manuver sebagai berikut:
- Perubahan motorik - Masase karotis
dan persepsi sensasi Tidak muntah - Fleksi dan rotasi leher berlebihan
- Perubahan tanda vi- - Stimulasi anal dengan jari, menahan nafas,
tal (TD meningkat, dan mengejan
nadi kuat dan lambat) - Perubahan posisi yang cepat
- Pupil melebar, re-flek 4. Ajarkan klien untuk ekspirasi selama perubahan
pupil menurun posisi
- Muntah 5. Konsul dengan dokter untuk pemberian pe-lunak
- Klien mengeluh mual faeces, jika perlu
- Klien mengeluh 6. Pertahankan lingkungan yang tenang
pandangan kabur dan 7. Hindarkan pelaksanaan urutan aktivitas yang
diplopia dapat meningkatkan TIK (misal: batuk,
penghisapan, pengubahan posisi, meman-dikan)
8. Batasi waktu penghisapan pada tiap waktu
hingga 10 detik
9. Hiperoksigenasi dan hiperventilasi klien se-
belum dan sesudah penghisapan
10. Konsultasi dengan dokter tentang pemberian
lidokain profilaktik sebelum penghisapan
11. Pertahankan ventilasi optimal melalui posisi
yang sesuai dan penghisapan yang teratur
12. Jika diindikasikan, lakukan protokol atau
kolaborasi dengan dokter untuk terapi obat yang
mungkin termasuk sebagai berikut:
13. Sedasi, barbiturat (menurunkan laju meta-
bolisme serebral)
14. Antikonvulsan (mencegah kejang)
15. Diuretik osmotik (menurunkan edema serebral)
16. Diuretik non osmotik (mengurangi edema
serebral)
17. Steroid (menurunkan permeabilitas kapiler,
membatasi edema serebral)
18. Pantau status hidrasi, evaluasi cairan masuk dan
keluar)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume II.
Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan dan


Masalah Kolaborasi. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Marion Johnson, dkk. 2014. Nursing Outcomes Classification (NOC)


Second Edition. Mosby.

Mc. Closkey dan Buleccheck. 2014. Nursing Interventions Classification (NIC)


Second Edition. Mosby.

NANDA. 2014. Nursing Diagnosis: Definition and Classification. Philadelphia:


North American Nursing Diagnosis Association.

Anda mungkin juga menyukai