A. Latar Belakang
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi karena fraktur
tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang
berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan
membentuk periosteum tabula interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan
terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh
darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi
dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom.
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan
dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural
hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi
pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural,
bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan hematoma epidural dan sekitar 10%
mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka
kejadian di Amerika Serikat.Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan
dan sering jatuh.
60 % penderita hematoma epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang
dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan
lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.
B. Tujuan
1. Mampu melakukan pengkajian yaitu mengumpulkan data subyektif dan data obyektif pada pasien dengan EDH
C. Pengertian
Epidural hematom adalah adanya pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat
pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini
tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari.
Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
D. Etiologi
EDH sebagai akibat perdarahan pada lapisan otak yang terdapat pada permukaan bagian dalam dari
tengkorak.
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa keadaan yang bisa
menyebabkan epidural hematom adalah misalnya benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural
terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh
darah.
E. Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter. Perdarahan ini lebih
sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila
fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara
durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah
besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah
bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di medulla oblongata
menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada
saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan
naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat,
dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang berlawanan,
menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain
kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin
besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam
waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran
berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di
sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau
pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
G. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran
jaringan otak.
b. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan, trauma.
c. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen
tulang.
d. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
e. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.
H. Pathway
Edema
Nyeri akut
7. Pengkajian
1. BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola
napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,
stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas.
2. BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan
meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang
diselingi dengan bradikardia, disritmia).
3. BRAIN
a. Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala.
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal
pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus
cranialis, maka dapat terjadi :
b. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori).
c. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
d. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
e. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
f. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
g. menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
h. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga
kesulitan menelan.
4. BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
5. BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan
mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
6. BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi
kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu
dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral;
penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2. Resiko pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak).
3. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
4. Resiko injuri b.d peningkatan TIK : kejang
5. Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan
/kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
6. Nyeri akut b.d agen injuri fisik, biologis : trauma; peningkatan asam laktat di otak
7. Resiko infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.
Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup
(kebocoran CSS)
8. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien
(penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
9. Kecemasan keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidakpastian tentang hasil/harapan.
10. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang pemajanan, tidak mengenal
informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
J. Fokus Intervensi
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema
cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung).
Tujuan:
- Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
- Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi Rasional
2. Resiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan
otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
- mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
- bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi Rasional
Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, Kehilangan refleks menelan atau batuk
posisi miirng sesuai indikasi. menandakan perlunaya jalan napas buatan
atau intubasi.
3. Resiko terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.
Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid).
Tujuan
- Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
- Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi Rasional
Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, Cara pertama untuk menghindari terjadinya
pertahankan tehnik cuci tangan yang baik. infeksi nosokomial.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI – Traumatologi , Surabaya.
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html.
Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome Classifications, Philadelphia, USA