“Status Epileptikus”
Disusun Oleh
1
LAPORAN PENDAHULUAN
STATUS EPILEPTIKUS
1. KONSEP TEORI
1.1 Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA), status epileptikus
didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus
(Franzon, 2011).
1.2 Etiologi
Status epileptikus tonik-klonik, banyak berasal dari insult akut pada otak
dengan suatu fokus serangan. Penyebab status epileptikus yang banyak diketahui
adalah, infark otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam gangguan
metabolisme, tumor otak, menghentikan kebiasaan minuman keras secara mendadak,
atau berhenti makan obat anti kejang. Jarang status epileptikus disebabkan oleh
penyakit degenerasi sel-sel otak, menghentikan penggunaan penenang dengan
mendadak, pasca anestesi dan cedera perinatal. Penderita yang sebelumnya tidak
mempunyai riwayat epilepsi, mungkin mempunyai riwayat trauma kepala, radang
otak, tumor, penyakit pembuluh darah otak. Kelainan-kelainan ini terutama yang
terdapat pada lobus frontalis, lebih sering menimbulkan status epileptikus,
dibandingkan dengan lokasi lain pada otak. Penderita yang mempunyai riwayat
epilepsi, dengan sendirinya mempunyai faktor pencetus tertentu. Umumnya karena
tidak teratur makan obat atau menghentikan obat sekehendak hatinya. Faktor pencetus
lain yang harus diperhatikan adalah alkohol, keracunan kehamilan, uremia dan lain-
lain.
1.3 Klasifikasi
2
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut (Turner, 2006) :
1.4 Patofisiologi
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima
fase.
3
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks
serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks
dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan
meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan
masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks sereprum
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang
otak umumnya tidak memicu kejang. Lombardo MC. Gangguan kejang (Price, 2005).
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
2) Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila
terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
4) Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
4
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aluran darah
otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi selama aktifitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di
antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus
melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi
eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus
menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan
penghambatan yang tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus
lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama berlangsungnya status. Davis LE,
King MK, Schultz JL. Fundamentals of neurological disease - an introductory text.
New york: Demos medical publishing; 2005.
5
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak
(Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak efek di
antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan mikroglia
- yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA)
receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja - yang
kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical.
Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat.
Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh
glutamat - glutamic-mediated excitotoxicity-khususnya di hipokampus. Sementara,
konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali
lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang, receptor-gated calcium channel
terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA. Peningkatan kalsium intraseluler yang
fluktuatif ini akan semakin meningkatkan keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini
terus menerus terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar. Hughes R.
Neurological emergencies. 4 ed. London: BMJ Publishing Group; 2003.
c) Hipertensi, hiperpireksia
2) Fase II (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
b) Depresi pernafasan
d) Hipoglikemia, hiponatremia
6
e) Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC
7
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien
menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya
takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan
penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang
sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
8
4) Status Epileptikus Mioklonik.
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-
konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
9
retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG
menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave
discharges dari status absens.
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi
otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.
Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi,
tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari
status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus
parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
10
tidak usah langsung memberi obat untuk menghilangkan kejang umum yang hebat itu.
Dengan tenang harus menyelidiki dahulu penyakit yang mendasarinya.
1) Anamnesis:
a) Tingkat Kesadaran
b) Pupil
e) Lateralisasi
Pemeriksaan fisik akan dipersulit oleh konvulsi umum, maka dari itu
anamnesa harus dilakukan secara mendalam.
3) Pemeriksaan Penunjang
11
Gambaran EEG status epileptikus Subtle generalized convulsive status
epilepticus with spike wave activity
Stabilisasi penderita
12
Menghentikan kejang
13
Menegakkan diagnosis
Dalam tahap ini bukan diagnosis epilepsi yang dicari, melainkan upaya untuk
mencari apa yang menjadi latar belakang timbulnya status epileptikus. Tahap ini
sedikit banyak tumpang tindih dengan tahap stabilisasi penderita. Selama dilakukan
usaha untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital, alloanamnesis dilakukan
untuk memperoleh keterangan mengenai riwayat penyakit sebelumnya. Adanya
kemungkinan riwayat epilepsi, penggunaan alkohol, obat penenang, trauma, radang
otak dan penyakit lain yang ada kaitannya dengan status epileptikus. Tahap ini sangat
penting untuk menentukan prognosis di samping keberhasilan tahap sebelumnya.
Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid
(GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di
bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil
menghentikan kejang sebanyak 65 persen.
1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
4. Fenitoin 18 44 %
14
dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah
dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi
maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar
10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan
alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia
rekuren, atau hipokalsemia persisten.
15
Pada : awal menit
1) Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu
intubasi)
1) Periksa tekanan darah
2) Mulai pemberian Oksigen
3) Monitoring EKG dan pernafasan
4) Periksa secara teratur suhu tubuh
5) Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2) Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar
glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan
darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3) Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4) Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100
mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s
encephalophaty
5) Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6) Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg).
Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena
dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang
berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau
intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau
NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
-atau-
16
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10
mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
17
18
1.8 Komplikasi
1) Asidosis
2) Hipoglikemia
3) Hiperkarbia
4) Hipertensi pulmonal
5) Edema paru
19
6) Hipertermia
1.9 WOC
Terlampir
20
g. Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh
anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain baik bersifat genetik maupun
tidak
h. Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi apakah disertai
aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar, adakah aura yang
mendahului serangan baik sensori, auditorik, olfaktorik
i. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Persistem
a) Sistem Persepsi dan Sensori
Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala, otot-otot
sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo, bibir dan muka
berubah warna, mata dan kepala menyimpang pada satu posisi, berapa lama
gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu
posisi/keduanya
b) Sistem Persyarafan
Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan? Kehilangan
kesadaran / lena? Disertai komponen motorik seperti kejang tonik,
klonik, mioklonik, atonik, berapa lama gerakan tersebut? Apakah
pasien jatuh kelantai
Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala,
gangguan bicara, hemiplegi sementara, ingatkah pasien apa yang
terjadi sebelum selama dan sesudah serangan, adakah perubahan
tingkat kesadaran, evaluasi kemungkinan terjadi cidera selama
kejang (memer, luka gores)
c) Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas yang dalam)
d) Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut jantung
e) Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses, nausea
f) Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g) Sistem Reproduksi
a) Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
21
Pemahaman klien tentang aktivitas yang aman untuk pasien (minimal
resiko cidera pada saat serangan)
3) Pola Nutrisi Metabolisme
Pasca serangan biasanya pasien mengalami nansea
4) Pola Eliminasi
Saat serangan dapat terjadi inkontinensia urin dan atau feses
5) Pola Tidur dan Istirahat
Salah satu faktor presipitasi adalah kurangnya istirahat/tidur
6) Pola kognitif dan Perseptual
Adakah gangguan orientasi, pasien merasa dirinya berubah
7) Persepsi diri atau konsep diri
Pentingnya pemahaman dengan berobat teratur dapat terbebas dari
epilesptikus
8) Pola toleransi dan koping stress
Adakah stress dan gangguan emosi
9) Pola sexual reproduksi
10) Pola hubungan dan peran
11) Pola nilai dan keyakinan
7) Pengkajian Primer
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk mengidentifikasi
dengan segera masalah aktual dari kondisi life treatening (mengancam
kehidupan). Pengkajian berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi jika hal memugkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal
2) Breathing dan ventilasi
3) Circulation dengan kontrol perdarahan
4) Disability
5) Eksposur
22
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus,
dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien
mengalami apneu
3) Circulation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya dalam
keadaan tidak sadar.
4) Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik
dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak
teringat kejadian saat kejang
5) Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada
cedera tambahan akibat kejang
8) Pengkajian Sekunder
1) Epidemiologi
Biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, lebih sering terjadi pada usia 2
tahun pertama. Pada anak usia 3 tahun lebih fator etiologi yang paling sering
di jumpai adalah penyakit epilepsi idiopatik.
Kebanyakan adalah anak laki-laki,Spasme infantil onset sebelum 1
tahun, puncaknya 3-7 bulan, sindroma west atipik onset sebelum 3 bulan.
Kejang neonatal familial benigna hari ke2 sampai 15 setelah lahir.Petit mal
terjadi pada anak-anak yang berumur 4-8 tahun.
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan pasien atau orang tua
membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kejang yang
berulang tanpa disertai atau disertai penurunan tingkat kesadaran.
23
Pernah menderita infeksi otak, odem serebri, trauma kepala, hipokalsemia,
hipoglikemia
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Ada keluarga dengan riwayat epilepsi.
6) Riwayat Persalinan
Prenatal : fetal distress,perdarahan pervagina,ketuban pecah dini, infeksi virus
TORCH.
Perinatal : Trauma persalinan, persalinan dengan vacuum, forcep, partus lama,
Seksio caesaria
Pasca natal: Asfeksia,hiperbilirubin,hipoglikemi
7) Pemeriksaan Fisik
B1: Breath
Dipnoe, sesak nafas, peningkatan frekuensi nafas sampai apnoe,slem banyak
karena hipersalivasi.
B2: Blood
Penurunan nadi, hipertensi, acral dingin, CT > dari 2 detik, sianosis, suhu
tubuh kadang tinggi bila pemicunya infeksi.
B3: Brain
Sakit kepala, migren, kejang berulang, penurunan kesadaran, gelisah,
gangguan sensori penglihatan (seperti melihat kilatan cahaya), dan sensori
penghidu (membau yang aneh)
B4: Blader
Inkontinensia urine, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter.
B5: Bowe
Inkontinensia feses, nyeri perut, resistensi terhadap makanan mual muntah
B6: Bone
Kejang, peningkatan tonus otot, penurunan tonus otot,nyeri otot dan
punggung, gerakan involunter, kerusakan jaringan lunak dan gigi.
25
meningkatkan resiko
jatuh
Pencegahan kejang
Aktivitas :
Menyediakan low-
high tidur, yang
sesuai
Mengawal pasien
selama off-ward
kegiatan, yang sesuai
Memantau regimen
obat
Monitor kepatuhan
dalam mengosumsi
obat antiepileptic
yang diambil dan
terjadinya kejang
Menginstruksikan
pasien untuk tidak
mengembudi
Menginstruksikan
pasien tentang
pengobatan dan efek
samping
Menginstruksikan
keluarga atau
signifcant kejang lain
tentang pertolongan
pertama
Monitor level obat
antiepileptic, yang
sesuai
Menginstruksikan
pasien untuk
membawa kartu obat
alert
Menghapus benda-
benda berpotensi
bahaya dari
lingkungan
Tetap suction di
samping tempat tidur
Ambu tas di samping
tempat tidur
Tetap menjaga oral
atau sanopharyngeal
airway di samping
tempat
Tidur menggunakan
26
sisi berjok rails
Menginstruksikan
pasien potensi faktor
pencetus
Menginstrusikan
pasien untuk
memanggil jika aura
terjadi
28
yang sesuai
DAFTAR PUSTAKA
BAG/SMF Ilmu Penyakit Saraf. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Edisi III. Hal 64,
Surabaya : Rumah Sakit Dokter Soetomo.
Dr. Harsono, DSS. 2009. Kapita Selekta Neurologi, Edisi II. Hal 132, Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.
Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi. 6 ed. Jakarta: EGC; 2005. p. 1158-1161.
Priguna Sidharta, M.D., Ph. D.2008. Neurologi Klinik Dalam Praktek Umum. Hal 320 - 321,
Jakarta : PT Dian Rakyat.
30
31