Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA SEDANG

DI RUANG RBK RSUD BLAMBANGAN


TAHUN 2023

Disusun Oleh :

Herma Yanti - 202304015

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

TAHUN 2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Laporan Pendahuluan Keperawatan Gawat Darurat dengan kasus Cedera Kepala Sedang
ini telah disetujui dan disahkan pada

Hari :

Tanggal :

Mahasiswa

Herma Yanti

NIM : 202304015

Menyetujui,

Pembimbing Institusi/Dosen Pembimbing Lahan/CI

( ) ( )
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN

DENGAN CEDERA KEPALA SEDANG DI RUANG IGD RSUD BLAMBANGAN

Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada pasien dengan Cedera Kepala Sedang ini telah
disetujui dan disahkan pada

Hari :

Tanggal :

Mahasiswa

Herma Yanti
NIM : 202304015

Menyetujui,

Pembimbing Institusi/Dosen Pembimbing Lahan

( ) (____________________)
LEMBAR KONSULTASI LAPORAN PENDAHULUAN

No Hari/tanggal Pembimbing Perbaikan/masukan TTD


A. Anatomi Fisiologi

Kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu Skin atau kulit,
Connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponereutika,
loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. Kulit kepala
memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat liseran kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak – anak.
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis krani. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak
saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi
atas 3 fosa yaitu: fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis
dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak serebelum.
Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang
kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, diploe
dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan
diploe merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga
/ fosa: fosa anterior (didalamnya terdapat lobus frontalis), fosa tengah (berisi lobus
temporalis, parietalis, oksipitalis), fosa posterior (berisi otak tengah dan sereblum).
Lapisan pelindung otak (meninges) terdiri dari 3 lapisan yaitu durameter,
arachnoid, dan piameter. Durameter (lapisan sebelah luar) Selaput keras pembungkus
otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat. Durameter ditempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan darah vena ke otak. Arakhnoid (lapisan
tengah) Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter
membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf
sentral. Piameter (lapisan sebelah dalam) Merupakan selaput tipis yang terdapat pada
permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan araknoid melalui struktur –
struktur jaringan ikat yang disebut trabekel (Ganong, 2002).
Otak terbagi menjadi 3 bagian utama yaitu sereblum, otak Tengah dan otak
belakang. Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol. Disini
terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik, juga
mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia. Sereblum dibagi menjadi
hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau celah dalam yang disebut fisura
longitudinalis mayor. Bagian luar hemisferium serebri terdiri dari substansial grisea
yang disebut sebagai kortek serebri, terletak diatas substansial alba yang merupakan
bagian dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla. Kedua hemisfer saling
dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut korpus kalosum. Di dalam
substansial alba tertanam masa substansial grisea yang disebut ganglia basalis. Pusat
aktifitas sensorik dan motorik pada masingmasing hemisfer dirangkap dua, dan
biasanya berkaitan dengan bagian tubuh yang berlawanan.
1. Definisi
Cedera kepala merupakan bentuk trauma mekanik pada kepala yang terjadi
baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanen (Riskesdas, 2018).
Brain Injury Assosiation of America menyebutkan bahwa cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degenerative,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.
Menurut Hudak dan Gallo (2019) cidera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak. (Batticaca Fransisca,
2018).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnyakontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2018).
2. Klasifikasi
a. Cedera kepala minor / ringan
Dengan nilai GCS 13-15. Keadaan pasien sadar penuh, membuka mata
bila dipanggil. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit dan disorientasi. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia,
cerebral dan hematoma.
b. Cedera kepala sedang
Dengan nilai GCS 9-12. Pasien kehilangan kesadaran, namun masih
menuruti perintah yang sederhana atau amnesia lebih dari 30 mneit tetapi kurang
dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera kepala berat
Dengan nilai GCS 3-8 dimana pasien kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau
hematoma intracranial. Dengan perhitungan GCS sebagai berikut:
• Eye : nilai 1 atau 2
• Motorik : nilai 5 atau < 5
• Verbal : nilai 2 atau 1
Dengan penjabaran kategori nilai Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai berikut:
a) Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap rangsang suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
b) Respon Verbal
Orientasi baik 5
Orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
c) Respon Motorik
Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam penentuan derajat
kepala. Sedangkan menurut Wijara dan Putri (2018) jenis cedera kepala dapat
dibedakan menjadi :
a) Cedera kepala terbuka
Mampu menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak. Luka
kepala terbuka akibat cedera kepala pecahnya tengkorak atau luka penetrasi,
besarnya cedera pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari
benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan
masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak
akibat benda tajam/tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan
kuman/pathogen memiliki akses masuk langsung ke otak.
b) Cedera kepala tertutup
Disamakan dengan keluhan gagar otak ringan dan oedem serebral yang luas
3. Etiologi
Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam yang dapat
mengakibatkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local. Kerusakan local
meliputi Contosio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang
disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
Trauma tumpul merupakan jenis trauma oleh benda tumpul dan
menyebabkan cedera menyeluruh menyebabkan kerusakan secara luas dan terjadi
dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer,
cerebral, batang otak atau keduanya (Wijaya, 2018).
4. Manifestasi Klinis
a) Skull fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan hidung
(othorrea, rinhorhea), darah dibelakang membran timphani perobital ecimos (brill
haematoma), memar di daerah mastoid (battle sign), perubahan penglihatan,
hilang pendengaran, hilang indra penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya
gerakan mata dan vertigo.
b) Concussion
Tanda yang didapatkan dalam menurunnya Tingkat kesadaran kurang dari 5
menit, amnesia retrograde, pusing, nyeri kepala, mual dan muntah. Concussion
dibagi menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainstem contusion. Tanda yang
terdapat adalah sebagai berikut:
1. Pernapasan mungkin normal, hilang keseimbangan secara perlahan atau
cepat.
2. Pupil biasanya mengecil, equl, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak
bagian atas (saraf kranial ke III ) dapat menyebabkan keabnormalan pupil.
c) Cedera kulit kepala
Kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan
tempat masuknya infeksi intracranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi,
kontusio, laserasi atau avulsi.
d) Hemoragi cranial
1. Hematoma epidural (hematoma ekstradural), setelah terjadi cedera kepala,
darah berkumpul di dalam ruang epidural diantara tengkorak di dura. Keadaan
ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri
meningkat Tengah putus atau rusak (laserasi), Dimana arteri ini berada
diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang
temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
2. Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak,
yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi subdural lebih sering
terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang
menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub
akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan
jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut dihubungkan dengan
cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Sedangkan
hematoma subdural subakut yaitu sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai
pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala.
Hematoma subdural kronik dapat terjadi karena cedera kepala minor dan
terjadi paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini
karena atrofi otak yang diperkirakan akibat proses penuaan.
3. Hemoragi intra cerebral dan hematoma, hematoma intracerebral adalah
perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada
cedera kepala Dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil.
Hemoragi ini didalam menyebabkan degenerasi dan rupture pembuluh darah,
rupture kantong aneorima vascular, tumor infracamal, penyebab sistemik
gangguan perdarahan
e) Komosio
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neurologic
sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal terkena,
pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh Dimana keterlibatan lobus
temporal dapat menimbulkan amnesia disorientasi.
f) Kontusio
Kontusio cerebral merupakan CKB, Dimana otak mengalami memar dan
kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak
sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan kesadaran, denyut nadi lemah,
pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat.
5. Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan
dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian
besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak,
terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan
tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus
pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran
berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang
merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
a. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah
kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala,
derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang
bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer
menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan
regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
b. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari
berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang
paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga
mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan
otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak,
gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran
bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau
sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi
kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang
lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala
kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada
kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang
berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada
epilepsi lobus temporalis. Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita
cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan
dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika
berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air,
natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya
disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus
yang berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui
urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif.
Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan
pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder
akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan
pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi
pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi
pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap
ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan
batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal.
Kerusakankerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang
menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai
pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas
yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan
mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
6. Pathway
7. Komplikasi
a. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah edema
paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari
sindrom distress pernapasan dewasa edema paru dapat terjadi akibat dari cedera
pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing.
b. Kebocoran cairan serebral
Hal yang umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur tengkorak
untuk mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung. Ini dapat akibat dari
fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar
bagian petrous dari tulang temporal.
c. Kerusakan saraf kranial
1) Anosmia Kerusakan
nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika total
disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada
pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
2) Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera
(trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar mata, proptosis akibat
adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa
penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau
hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang
mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa
kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.
3) Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya
disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus
untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
4) Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan
pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong,
semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
5) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo
dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula
dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu
organtersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.
d. Disfasia
Secara ringkas, disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita
disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit
karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
e. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)
merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks,
subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala
adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
f. Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan
gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
g. Fistula karotiko-kavemosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis
interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar
tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat
didengar pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, disertai hyperemia dan
pembengkakan konjungtiva diplopia dan penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri
pada orbita, dan kelumpuhan otototot penggerak bola mata.
h. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama
pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu
minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul
dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan: tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
d. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
f. MRI (Magnetic Resonance Imaging): untuk mengevaluasi cedera vascular
serebral dengan cara noninvasive.
g. EEG (elektro ensefalogram): mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio
korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan
neurologis abnormal.
h. BAER (Brainsteam Auditory Evoked Responses) dan SSEP (Somatosensory
Evoked Potensial): pemeriksaan prognostic yang bermanfaat pada pasien cedera
kepala. Hasil abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu
menegakan diagnosis disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan
pemulihan fungsional yang bermakna.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala,
Adveanced Cedera Life Support (2018) telah menepatkan standar yang disesuaikan
dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara
lain: A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/
environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga
homeostasis otak.
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari
mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat
diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat
atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat,
bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah
mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan
mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat
biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya
dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang
adekuat. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan
resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua
jalur intra vena.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down
(kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala
dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan
keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah
stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka
mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s
eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks
okulo vestibuler) dan refleks kornea.
Pada Cedera kepala sedang, pasien yang menderita konkusi otak (komosio
otak), dengan skala korna Glasgow 15 dan CT-Scan normal, tidak pertu dirawat.
Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri
kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut
yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
B. Konsep Askep
1. Pengkajian
a. Identitas
Nama, Umur, Suku/Bangsa, agama, pedidikan pekerjaan, alamat, diagnosa
medis. Penangnggungjawab Nama, Umur, Suku/Bangsa, agama, pedidikan
pekerjaan, alamat, Hubungan dengan klien.
b. Riwayat penyakit sekarang
- Keluhan saat pengkajian, pasien dengan fraktur biasanya mengeluh nyeri di
area yang terdapat fraktur
- Riwayat penyakit sekarang, kronologi terjadinya fraktur sampai keluhan saat
masuk rumah sakit , kondisi fisik lemah, dan tidak bisa melakukan aktivitas
.
- Riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit pasien yang pernah dirawat
rumah sakit serta pengobatan yang pernah didapat dan hasilnya dan ada
tidaknya riwayat penyakit
- Riwayat penyakit keluarga, mengenai penyakit yang berhubungan dengan
yang diderita pasien saat ini dan penyakit herediter/keturunan
c. Pemeriksaan fisik
1) Tanda-tanda vital , pasien dengan cedera kepala ringan ttv lemah dan tingkat
nyeri tinggi
2) Sistem pernafsan (B1) Amati keadaan hidung adanya perlukaan ,keadaan
septum, adanya pernafan cuping hidung dan temuan lain saat melakukan
inspeksi
3) Sistem kardiovaskuler (B2) Amati ada tidaknya nyeri dada
4) Sistem Persyarafan (B3) Menghitung GCS , terdapat keluhan ousing ,pupil
isokor, sklera anikterus, konjugtiva ananemis,istirahat/tidur menurun
5) Sistem Perkemihan (B4) Terpasang kateter untuk mempertahankan
imobilisasi
6) Sistem Pencernaan (B5) Membran mukosa kering, nafsu makan menurun,
porsi makan menurun.
7) Sistem Muskoloskletal (B6) Pergerakan sendi terbatas ,kekuatan otot
menurun, terdapat fraktur, keluhan nyeri meningkat sesuai PQRST , terdapat
luka operasi
d. Pengkajian psikososial
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi bebera pa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada
klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmarnpuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh
2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif b/d penurunan suplai darah dan oksigen ke
jaringan oksigen.
b. Nyeri akut b/d agen cidera biologis.
c. Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan.
d. Pola nafas tidak efektif b/d hiperventilasi dan nyeri
e. Defisit perawatan diri b/d gangguan muskuluskeletal
3. Intervensi Keperawatan
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif b/d penurunan suplai darah dan oksigen ke
jaringan oksigen
Setelah dilakukan tindakan 1x 2 jam diharapkan risiko perfusi jaringan serebral
membaik dengan kriteria hasil:
• Tingkat kesadaran meningkat
• Sakit kepala menurun
• Gelisah menurun
Intervensi:
1) Identifikasi penyebab peningkatan TIK
2) Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
3) Monitor status pernapasan
4) Monitor intake dan output cairan.
5) Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
6) Berikan posisi semi fowler
7) Pertahankan suhu tubuh normal
8) Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan jika perlu
9) Kolaborasi pemberian diuretic osmosis jika perlu
b. Nyeri akut berhubungan dengan cedera biologis.
Setelah dilakukan tindakan 1x 2 jam diharapkan nyeri akut membaik dengan
kriteria hasil:
• Keluhan nyeri menurun
• Meringis menurun
• Gelisah menurun
• Kesulitan tidur menurun
Intervensi:
1) Identifikasi skala nyeri
2) Identifikasi respon nyeri non verbal
3) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
4) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
5) Fasilitasi istirahat dan tidur
6) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
7) Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.
Setelah dilakukan tindakan 1x 2 jam diharapkan risiko defisit nutrisi membaik
dengan kriteria hasil:
• Porsi makan yang dihabiskan meningkat
• Nafsu makan membaik
• Perasaan cepat kenyang menurun
• Berat badan membaik
Intervensi:
1) Monitor asupan dan keluarnya makanan dan cairan serta kebutuhan kalori
2) Timbang berat badan secara rutin
3) Diskusikan perilaku makan dan jumlah aktivitas fisik
4) Ajarkan pengaturan diet yang tepat
5) Ajarkan keterampilan koping untuk penyelesaian masalah perilaku
makanAnjurkan posisi duduk, jika perlu
6) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat badan, kebutuhan kalori dan
pilihan makanan
d. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi dan nyeri.
Setelah dilakukan tindakan 1x 2 jam diharapkan pola napas membaik dengan
kriteria hasil:
• Pernapasan dalam batas normal
• Tidak ada penggunaan otot bantu untuk bernapas
Intervensi:
1) Identifikasi pla napas
2) Monitor input dan output cairan
3) Atur posisi semi fowler
4) Anjurkan Tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik
5) Kolaborasi pemberian terapi
e. Defisit perawatan diri berkaitan dengan gangguan muskuluskeletal.
Setelah dilakukan tidakan 1 x 2 jam diharapkan defisit perawatan diri membaik
kriteria hasil :
• Kemampuan mandi meningkat
• Kemampuan mengenakan pakaian meningkat
• Kemampuan makan meningkat
• Kemampuan toilet (BAB/BAK) meningkat
Intervensi :
1) Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan dini sesuai usia
2) Monitor Tingkat kemandirian
3) Sediakan lingkungan yang terauptik
4) Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
5) Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan
4. Implementasi
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan meliputi pengumpulan data
berkelanjutan, mengobservasi respon pasien selama dan sesudah pelaksanaan
tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah & Walid, 2018).
Implementasi menurut teori adalah mengidentifikasi bidang bantuan situasi
yang membutuhkan tambahan beragam mengimplementasikan intervensi
keperawatan dengan praktik terdiri atas keterampilan kognitif, interpersonal dan
psikomotor (tekhnis). Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien cedera
cedera kepala, pada prinsipnya adalah menganjurkan pasien untuk banyak minum,
mengobservasi tanda-tanda vital, mengawasi pemasukan dan pengeluaran cairan,
mengajarkan Teknik relaksasi untuk mengatasi nyeri.
Mendokumentasikan semua tindakan keperawatan yang dilakukan ke dalam
catatann keperawatan secara lengkap yaitu: jam, tanggal, jenis tindakan, respon pasien
dan nama lengkap perawat yang melakukan tindakan keperawatan.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan
pasien dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Rohmah
& Walid, 2018).
Menurut teori evaluasi adalah tujuan asuhan keperawatan yang menentukan
apakah tujuan ini telah terlaksana, setelah menerapkan suatu rencana tindakan untuk
meningkatkan kualitas keperawatan, perawat harus mengevaluasi keberhasilan
rencana penilaian atau evaluasi diperoleh dari ungkapan secara subjektif oleh klien
dan objektif didapatkan langsung dari hasil pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA

Afnuhazi, R. 2019. Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen


Publishing.
Badan Pusat Statistik. 2019. Jumlah Kasus HIV/AIDS, IMS, DBD, Diare, TB, dan Malaria
Menurut Kabupaten / Kota di ProvinsiJawa Tengah. BPS.
Dermawan, 2020. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 12. Jakarta: EGG.
Herdman & Shigemi. 2019. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. 2015- 2017.
Jakarta: EGC. Hutahean, 2010. Buku panduan Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Mansjoer, et al. 2020. Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI: Media
Aescullapius.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2019.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI).Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2018.Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI). Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Anda mungkin juga menyukai