I. Definisi
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan pada faktor dan penurunan kecepatan,
serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Rendi dan Margaret, 2012).
Cedera kepala sedang adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Padila, 2012).
Cidera otak sedang adalah cedera otak yang di pastikan dimana GCS 9-13, ost
Traumatic Amnesia (Takatelide, 2017).
II. Etiologi
Penyebab Cedera otak dapat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas (60%
kematian yang disebabkan kecelakaan lalu lintas merupakan akibat cedera
kepala); faktor kontribusi terjadinya kecelakaan sering kali adalah konsumsi
alcohol, terjatuh, kecelakaan industry, kecelakaan olah raga, luka pada persalinan
(Ginsberg, Lionel, 2005 dalam Tarwoto, 2013).
Sedangkan menurut Wijaya dan Putri (2013), Penyebab trauma kepala adalah:
a. Trauma Tajam
Trauma oleh benda tajam menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera
lokal. Kerusakan lokal meliputi Contosio serebral, hematom serebral, kerusakan
otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma Tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar hemorargic kecil multiple
pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang
otak atau kedua-duanya.
III. Klasifikasi
Menurut Patricia dkk (2012); Wijaya dan Putri (2013) derajat cedera kepala
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Cedera kepala ringan dengan karakteristik sebagai berikut:
1) Nilai GCS 13-15
2) Dapat mengalami hilang kesadaran atau menunjukkan amnesia selama 560
menit.
3)Tidak ditemukan abnormalitas pada CT scan dan lama rawat di rumah sakit
kurang dari 48 jam.
4) Pasien menunjukan sakit kepala, berat atau hanya pusing.
5) Keinginan untuk muntah proyektil atau pasien mengalami muntah proyektil
setelah mendapatkan trauma kepala.
6) Kesadaran pasien semakin menurun.
7) Tekanan darah pasien menurun (hipotensi), serta bradikardi adalah dimana
jantung berdenyut lambat kurang dari 60 kali permenit.
8) Mengalami hipertermi.
9) Tidak ada fraktur tengkorak
10) Ada konstusio serebri, hematoma
b. Cedera kepala sedang dengan karakteristik sebagai berikut:
1) Nilai GCS 9-12.
2) Kehilangan kesadaran sampai amnesia selama1-24 jam.
3) Dapat ditemukan abnormalitas pada CT scan.
4) Muntah
5) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
c. Cedera kepala berat dengan karakteristik sebagai berikut:
1) Nilai GCS 3-8.
2) Kehilangan kesadaran atau amnesia selama lebih dari 24 jam.
3) Dapat mengalami kontusio serebral laterasi atau hematoma intra kranial.
d. Menurut Jenis Cedera
1) Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan
jaringan otak.
2) Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan gagar otak ringan
dan odem serebral yang halus.
IV. Manifestasi Klinis
Menurut (Oman, 2008) Manifestasi klinik cedera otak sedang meliputi :
1. Gangguan kesadaran
2. Konfusi
3. Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
4. Tiba-tiba defisit neurologik
5. Perubahan TTV
6. Gangguan penglihatan
7. Disfungsi sensorik
8. Lemah otak
V. Patofisiologi
Tengkorak merupakan ruangan tertutup, sehingga jika terjadi peningkatan
volume intrakranial, tekanan di dalamnya akan meningkat dan cenderung
menyebabkan penurunan perfusi serebral. Penyebab utama peningkatan TIK pada
cedera kepala adalah edema otak dan pendarahan intrakranial. Edema otak terjadi
karena cairan berpindah ke ruang ekstraseluler melalui endotel vaskuler yang
rusak. Sedangkan pendarahan intrakranial dapat terjadi di ekstradural, subdural,
ruang subarahnoid, dan dapat pula terjadi di dalam otak atau di dalam system
ventrikel. Pendarahan subarahnoid dan pendarahan intraventrikel menyebabkan
gangguan pada sirkulasi dan penyerapan cairan serebrospinal, sehingga dapat
menyebabkan hidrosefalusn.Kerusakan otak iskemik disebabkan karena kontusio
fokal dengan infark yang menyertai cedera otak. Hal ini menyebabkan gangguan
perfusi jaringan otak. Otak yang normal dapat menjaga pasokan darah untuk
kebutuhan metabolismenya melalui myogenik autoregulasi dalam pembuluh darah
serebral. Kerusakan otak menyebabkan terganggunya kemampuan regulasi
pasokan darah, dan aliran darah serebral menjadi lebih pasif terhadap perubahan
tekanan darah sistemik (National Institut for Health and Care Excellence, 2007).
Autoregulasi serebrovaskular dan reaktivitas CO2 merupakan mekanisme
penting untuk menyediakan aliran darah serebral yang cukup setiap saat.
Demikian juga, kedua pola tersebut merupakan dasar manajemen tekanan
perfusi serebral dan tekanan intrakranial dan gangguan mekanisme regulator
mencerminkan peningkatan risiko kerusakan otak sekunder. Setelah terjadi
trauma cedera kepala, autoregulasi aliran darah serebri mengalami gangguan atau
tidak ada pada kebanyakan pasien. Keadaan sementara pada patologi ini
tidak sejalan dengan keparahan cedera untuk menghasilkan kegagalan
autoregulasi. Defek autoregulasi bisa muncul segera setelah trauma atau bisa
berkembang seiring perjalanan waktu, dan menjadi nyata atau persisten pada
bentuknya tidak selaras dengan kerusakan ringan, sedang, atau berat.
Autoregulasi vasokonstriksi juga sepertinya lebih resisten dibandingkan dengan
autoregulasi vasodilatasi yang mengindikasikan pasien lebih sensitif pada
kerusakan rendah daripada tekanan perfusi serebral tinggi (Warner, 2007).
VI. Komplikasi
Menurut Andra & Yessie (2012) cidera kepala memiliki beberapa komplikasi,
antara lain:
1. Edema pulmonal
Edema paru terjadi akibat tubuh berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Peningkatan tekanan intra kranial daapt menyebabkan
peningkatan tekanan darah sistemik meningkat untuk mempertahankan perfusi
otak secara adekuat. Vasokontriksi menyebabkan peningkatan aliran darah ke
paru sehingga perpindahan cairan ke alveolus juga terganggu.
2. Kejang
Kejang timbul karena adanya gangguan neurologis. Resiko ini muncul pada
fase akut cidera otak sedang. Sehingga perawat perlu waspada terjadi kejang
yang dapat menimbulkan penutupan jalan nafas akibat lidah yang jatuh
kebelakang.
3. Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur pada area tulang tengkorak dapat merobek meningen sehingga
cairan serebrospinal (CSS) akan keluar.
4. Infeksi
Luka terbuka pada area fraktur atau tanpa fraktur jika tidak dilakukan
perawatan luka secara benar akan menimbulkan infeksi sekunder pada cidera
otak sedang. Infeksi ini dapat terjadi pada area meningen yang disebut dengan
meningitis.
VII. Pemeriksaan penunjang
a. CT scan kepala adalah standart baku dalam penatalaksanaan cedera kepala.
Pemeriksaan CT scan kepala untuk memastikan adanya patah tulang, pendarahan,
pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di otak.
b. Untuk pemeriksaan laboratorium, dokter umumnya akan merekomendasikan
pemeriksaan darah tetapi lengkap, gula darah sewaktu, ureum-kreatinin, analisis
gas darah dan elektrolit.
c. Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah komponen penting
pada penilaian dan penatalaksanan cedera (Anurogo dan Usman, 2014).
d. MRI: digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
Serebral angiography: menunjukan anomalia sirkulasi serebral , seperti perubahan
jarigan otak sekunder menjadi udema, perubahan dan trauma.
e. Serial EEG: dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
f. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
g. BAER: mengoreksi bats fungsi corteks dan otak kecil
h. PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, lumbalis punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
j. ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
k. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial
l. Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran Rendi dan Margaret (2012).
VIII. Penatalaksanaan
2. Circulation
Rencana Tindakan
N Diagnosa
Tujuan dan
o Keperawatan Intervensi Rasional
kreteria hasil
1 2 3 4 5
1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1.Monitor status 1.Mengkaji adanya
jaringan serebral tindakan hemodinamik, kecenderungan pada
berhubungan keperawatan neurologi dan vital tingkat kesadaran dan
dengan edema selama 2x 24 jam sign tiap 4 jam potensi peningkatan TIK
serebral ( respon diharapkan dan bermanfaat dalam
2. monitor dan
local Atau umum perfusi jaringan menentukan lokasi,
irama pernafasan
pada cedera, serebral efektif perluasan dan
perubahan kriteria 3. Monitor, ukur, perkembangan kerusakan
dengan
mentabolik) hasil: bentuk, SSP
penurunan tekanan simetrifitasi pupil
a. tidak ada 2. nafas yang tidak teratur
darah/hipoksia
edema perifer 4. catat intake dan dapat menunjukkan
b. pertahankan output cairan lokasi adanya gangguan
4. bermanfaat sebagai
indicator dari cairan total
tubuh yang terintegrasi
dengan perfusi jaringan.
2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. auskultasi suara 1. untuk
pola nafas tindakan pernafasan mengidentifikasi
berhubungan keperawatan 2. monitor hasil adanya masalah paru
dengan pertukaran selama 2x24 jam rongent seperti kongesti atau
udara inspirasi dan diharapkan pola 3. monitor obstruksi jalan nafas
ekspirasi nafas efektif respirasi dan yang membahayakan
dengan kriteria status oksigen oksigenasu sereberal
hasil: 4. lakukan suction atau menandakan
jalan nafas terjadinya infeksi
a. tidak ada
5. posisikan paru.
sianosis dan
pasien untuk 2. Melihat kembali
dyspeu
memaksimalka ventilasi dan tanda-
b. frekuensi
n ventilasi tanda komplikasi
pernafasan
6. pertahankan yang berkembang
normal
jalan nafas (seperti atelectasis
yang paten atau
bronkopneumonia).
3. Memaksimalkan o2
pada darah arteri dan
membantu dalam
pencegahan hipoksia.
4. Penghisapan biasanya
dibutuhkan jika pasien
koma atau dalam
keadaan imobilisasi
dan tidak dapat
membersihkan jalan
nafasnya sendiri.
5. Untuk mengetahui
ekspansi paru/ ventilasi
paru dan menurunkan
adanya kemungkinan
lidah jatuh yang
menyumbat jalan
nafas.
6. Mencegah atau
menurunkan atelektasis
3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Kaji 1. Meningkatkan proses
nutrisi dari tindakan kemampuan pencernaan dan
kebutuhan tubuh keperawatan klien untuk toleransi pasien
berhubungan selama 2x24jam mendapatkan terhadap nutrisi yang
dengan intake diharapkan nutrisi yang di berikan dan dapat
nutrisi tidak cukup keseimbangan dibutuhkan meningkatkan
untuk metabolik nutrisi lebih dari 2. Monitor kerjasama pasien saat
kebutuhan tubuh lingkungan makan
dengan kriteris selama 2. Meskipun proses
hasil: makan pemilihan pasien
3. Monitor memerlukan bantuan
a. Adanya
kadar makanan atau
peningkatan
albumin, menggunakan alat
BB sesuai
total protein, bantu.
dengan tujuan
Hb 3. Mengidentifikasi
b. BB sesuai
4. Kolaborasi defesiensi
dengan TB
dengan ahli nutrisi,fungsi organ,
c. Tidak ada
gizi untuk dan respon terhadap
tanda-tanda
memenuhi nutrisi tersebut
malnutrisi
jumlah kalori 4. Merupakan sumber
dan nutrisi yang efektif untuk
yang mengidentifikasi
kebutuhan
kalori/nutrisi
tergantung pada usia,
BB.
5. Mengevaluai
dibutuhkan keefektifan atau
pasien kebutuhan mengubah
5. Timbang BB pemberian nutrisi
sesuai 6. Bermanfaat sebagai
indikasi indicator dari cairan
6. Catat total tubuh yang
perubahan terintegrasi dengan
BB perfusi jaringan
4. Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Cuci tangan 1. Cara pertama untuk
berhubungan tindakan sebelum dan mengindari terjadi
dengan peningkatan keperawatan sesudah nya infeksi
resiko masuknya selama 2x24 jam tindakan nosocomial
organism patogen diharapkan resiko keperawatan 2. Dapat
infeksi tidak 2. Kaji mengidentifikasikan
terjadi dengan temperature sepsis yang
kriteria hasil: tiap 4 jam selanjutnya
3. Tingkatkan memerlukan
a. Klien bebas
intake cairan tindakan segera
dari tanda dan
tubuh 3. Menurunkan
gejala infeksi
4. Berikan kemungkinan
b. Menunjukkan
terapi terjadinya
kemampuan
antibiotic pertumbuhan
untuk
sesuai bakteri atau infeksi
mencegah
indikasi yang menambah
timbulnya
naik
infeksi
4. Terapi profilaktif
c. Jumlah
digunakan pada
leokosit dalam
pasien yang
batas normal
mengalami trauma,
kebocoran CSS atau
setelah dilakukan
d. Menunjukkan pembedahan untuk
prilaku hidup menurunkan resiko
sehat terjadinya infeksi.
DAFTAR PUSTAKA