0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
321 tayangan9 halaman
Laporan pendahuluan pasien menjelaskan kasus fraktur femur pada seorang pasien. Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang disebabkan trauma. Penatalaksanaan fraktur meliputi imobilisasi, reduksi, dan pengobatan komplikasi seperti syok dan emboli lemak.
Laporan pendahuluan pasien menjelaskan kasus fraktur femur pada seorang pasien. Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang disebabkan trauma. Penatalaksanaan fraktur meliputi imobilisasi, reduksi, dan pengobatan komplikasi seperti syok dan emboli lemak.
Laporan pendahuluan pasien menjelaskan kasus fraktur femur pada seorang pasien. Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang disebabkan trauma. Penatalaksanaan fraktur meliputi imobilisasi, reduksi, dan pengobatan komplikasi seperti syok dan emboli lemak.
ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MANDALA WALUYA KENDARI 2020 KONSEP DASAR MEDIS 1. Pengertian Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti generasi tulang / osteoporosis (Widya, 2009). Sedangkan menurut Hartanto (2011) fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang terjadi akibat trauma langsung dan umumnya sering dialami oleh laki-laki dewasa. Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa fraktur femur ialah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan oleh trauma fisik atau tanga fsisik uyang terjadi secara langsung. 2. Etiologi Menurut Rasjad (2007), bahwa penyebab terjadi fraktur adalah sebagai berikut : a. Fraktur fisiologis Suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan oleh kecelakaan, tenaga fisik dan trauma yaitu dapat disebabkan oleh : - Cedera langsung, yaitu pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan. - Cedera tidak langsung, yaitu pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan terjulur menyebabkan fraktur klavikula atau orang tua yang terjatuh menganai bokong dan berakibat fraktur kolom femur. b. Fraktur patologis Dalam hal ini kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur. Hal ini dapat terjadi pada berbagai keadaan, antara lain : tumor tulang (jinak dan ganas), infeksi seperti osteomielitis, scurvy (penyakit gusi berdarah), osteomalasia, rakhitis, osteoporosis. 3. Manifestasi Klinis Corwin (2009), menjelaskan bahwa manifestasi klinis dari fraktur adalah sebagai berikut : a. Nyeri biasanya patah tulang traumatik dan cedera jaringan lunak. Spasme otot dapat terjadi setelah patah tulang dan menimbulkan nyeri aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri. b. Posisi tulang atau ekstremitas yang tidak alami mungkin tampak jelas. c. Pembengkakan di sekitar tempat fraktur akan menyertai proses inflamasi. d. Gangguan sensasi atau kesemutan dapat terjadi, yang menandakan kerusakan saraf. Denyut nadi di bagian distal fraktur harus utuh dan sama dengan bagian nonfraktur. Hilangnya denyut nadi di sebelah distal dapat menandakan sindrom kompartemen. e. Krepitus (suara gemeretak) dapat terdengar saat tulang digerakkan karena ujung ujung patahan tulang bergeser satu sama lain. 4. Klasifikasi Smeltzer (2001) menyebutkan bahwa klasifikasi fraktur femur ada 6 (enam) tipe, antara lain : a. Fraktur Subtrochanter Femur Fraktur subtrochanter femur yaitu fraktur di mana garis patahnya berada 5 cm dari distal trochanter minor, fraktur ini dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi lebih sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding dan Magliato, yaitu : - Tipe I yaitu garis fraktur satu level dengan trochanter minor. - Tipe II yaitu garis patah berada 1-2 inch di bawah dari batas trochanter minor. - Tipe III yaitu garis patah berada 2-3 inch di distal dari batas atas trochanter minor. b. Fraktur Batang Femur (Dewasa) Fraktur batang femur biasanya terjadi karena truma langsung akibat kecelakaan atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan daerah yang patah, yaitu dengan 2 jenis antara lain: - Fraktur tertutup - Fraktur terbuka, ketentuan fraktur femur bila terdapat hubungan tulang yang patah dengan dunia luar dibagi dalam 3 (tiga) derajat, yaitu : o Derajat I, terjadi apabila hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil, biasanya diakibatkan oleh tusukan fragmen tulang dari dalam menembus keluar. o Derajat II, terjadinya luka lebih besar (> 1 cm) dan luka ini disebabkan karena benturan dari luar. o Derajat III, terjadinya luka lebih luas dari derajat kedua, lebih kotor dan jaringan lunak banyak yang ikut rusak. c. Fraktur Supracondyler Femur Fraktur supracondyler femur fragmen bagian distal selalu terjadi dislokasi ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot-otot gastrocnemius, bisanya fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial stres valgus atau varus disertai rotasi. d. Fraktur Intercondyler Femur Fraktur intercondyler femur biasanya diikuti oleh fraktur supercondyler, sehingga terjadi bentuk T atau Y pada fraktur. e. Fraktur Condyler Femur Mekanisme trauma fraktur condyler femur biasanya merupakan kombinasi dari gaya hiperabduksi dan abduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur ke atas. f. Fraktur Colum Femur Fraktur colum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung, misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Fraktur ini dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu : 1) Fraktur intrakapsuler yaitu fraktur femur yang terjadi di dalam sendi, panggul dan kapsula, melalui kepala femur (capital fraktur) dan melalui leher dari femur. 2) Fraktur ekstrakapsuler yaitu fraktur yang terjadi di luar sendi dan kapsul melalui trochanter femur yang lebih besar / kecil pada daerah intertrochanter dan terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 (dua) inch di bawah trochanter kecil. 5. Penatalaksanaan Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan yang dilakukan pada kasus fraktur, yaitu : a. Fraktur harus segera diimobilisasi untuk memungkinkan pembentukan hematoma fraktur dan meminimalkan kerusakan. b. Penyambungan kembali tulang (reduksi) penting dilakukan agar terjadi pemulihan posisi dan rentang gerak kembali normal. Sebagian besar reduksi dapat dilakukan tanpa intervensi bedah (reduksi tertutup). Apabila diperlukan pembedahan untuk fiksasi (reduksi terbuka), pin atau sekrup dapat dipasang untuk mempertahankan sambungan. Traksi dapat diperlukan untuk mempertahankan reduksi dan menstimulasi penyembuhan. c. Imobilisasi jangka panjang setelah reduksi penting dilakukan agar terjadi pembentukan kalus dan tulang baru. Imobilisasi jangka panjang biasanya dilakukan dengan pemasangan gips, atau penggunaan bidai. Smeltzer (2001), menjelaskan bahwa penatalaksanaan kedaruratan yang dilakukan pada kasus fraktur adalah sebagai berikut : a. Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah. Maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kenderaan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga di atas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut. b. Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindarkan gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang. c. Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah juga dapat dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ekstremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ekstremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. d. Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan reduksi fragmen, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka maka pasangkan bidai sesuai yang diterangkan diatas. e. Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh yang sehat dan kemudian dari sisi yang cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi yang cedera. Ekstremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. 6. Komplikasi Menurut Suratun (2008), komplikasi pada kasus fraktur adalah sebagai berikut : a. Komplikasi awal 1) Syok yaitu dapat berupa fatal dalam beberapa jam setelah odema 2) Emboli lemak yaitu dapat terjadi 24-72 jam b. Komplikasi lanjutan 1) Mal union / non union 2) Nekrosis avaskular tulang 3) Reaksi terhadap alat fiksasi interna 7. Pemeriksaan diagnostik Adapun pemeriksaan yang dilakukan pada klien fraktur adalah sebagai berikut : 1) Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi/ luasnya fraktur atau trauma. 2) Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur dan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. 3) Arteriogram : dilakukan apabila kerusakan vaskuler dicurigai. 4) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel), peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma. 5) Kreatin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal. 6) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel, atau cedera hati. DAFTAR PUSTAKA Hartanto, Andry, and Derek. 2011. Kamus Kedokteran Dorlan. Edisi-29, Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J.2000.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Rasjad. Chairuddin. 2007.Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Jakarta; PT.Watapone
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2001,Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo. (dkk), Jakarta : EGC
Suratun, SKM. et. al. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC