Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Muttaqin 2008).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik
dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala atau trauma kepala adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena
hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan otak. (B.Batticaca, 2008).
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,tengkorak dan otak. Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologik yangserius diantara penyakit neurologik dan
merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).
2. Jatuh
4. Kecelakaan kerja
6. Kecelakaan olahraga
7. Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)
C. Manifestasi Klinis
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di
bawah konjungtiva, memar diatas mastoid (tanda battle), otoreaserebro spiral ( cairan cerebros
piral keluar dari
6. Penurunan kesadaran.
8. Peningkatan TIK
Menurut Tarwoto (2007 : 127) adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur,
misalnya kerusakan pada paremkim otak, kerusakan pembuluh darah,perdarahan, edema dan
gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat,perubahan permeabilitas faskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera
kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi
secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala
primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi.
Kerusakan primer ini dapat bersifat ( fokal ) local, maupun difus. Kerusakan fokal yaitu
kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative
tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh
dari otak dan umumnya bersifat makroskopis.
Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia
dan perdarahan.Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu
adanya darah di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter,subdural
hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan
intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi dapat
dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala. (IKABI, 2004).
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda
tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi 7 dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak
didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.
b. Cedera tembus
(IKABI, 2004)
Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang meliputi
1) Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak
yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung
yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang
kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
2) Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang
mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang 8 kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi
dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa
sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
3) Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen dalam
satu area fraktur.
4) Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung
mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat
menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi
dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula
interna segmen tulang yang sehat.
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur
ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak.
Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur
fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis
kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria
dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria.
Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat
menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi
selaput otak (meningitis).
Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii
fossa anterior), atau ottorhea dan batles sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga
9 dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf
penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dan saraf pendengaran
(N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan
tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan
yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada
penderita dengan tanda-tanda bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi
terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus
Cedera otak fokal yang meliputi.
1) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) Epidural hematom (EDH) adalah
adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulangtengkorak dan
durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid
selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral
dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah,
kejang dan hemiparesis.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3
hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak
dibawahnya lebih berat dan 10 prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan
epidural.
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu
setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang
sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk
bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi
fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan
luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler
baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah
sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan
ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan
subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain
sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic
attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan
kejang.
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat
didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim
otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat
trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di
parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan
oleh ICH antara lain adanya 11 penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya
dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun
vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai
perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh
darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya
vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema
cerebri.
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000) dapat diklasifikasikan
penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai dengan
pernyataan yang di berikan
2) Muntah
3) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea
atau rinorea cairan serebro spinal)
4) Kejang
c. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
(mansjoer, 2000)
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999) pada cedera kepala
meliputi
1. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara khas
berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah 16 masa ini penderita akan terbangun,
sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita
masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state
lebih dari satu tahun jarang sembuh.
2. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali kejang
pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang
menjadi epilepsy
3. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen) sehingga
kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki
potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan
kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran.
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan
sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuatluka mudah dibersihkan
dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya
infeksi sebelumlaserasi ditutup.
1. .Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan;lepaskan gigi
palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgnmemasang collar cervikal,pasang
guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jikacedera orofasial mengganggu jalan nafas,maka pasien harus
diintubasi.
4. Obati kejang : Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan harusdiobati mula-
mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-lahan dandpt diulangi 2x jika masih kejang.
Bila tidak berhasil diberikan fenitoin15mg/kgBB.
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cederadan mungkin di
persulit oleh cedera tambahan pada organ vitala.
b. Hemiparese
e. cedera/trauma ortopedi
2. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yg diselingi bradikardia disritmiac.
3. Integritas ego
4. Eliminasi
5. Makanan/cairan
6. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, Perubahan status mental, Perubahan pupil,
Kehilangan penginderaan, Wajah tdk simetris, Genggaman lemah tidak seimbang, Kehilangfan
sensasi sebagian tubuhg.
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
8. Pernafasan
9. Keamanan
10. Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna, tanda batledi sekitar telinga, adanya aliran cairan
dari telinga atau hidung, Gangguan kognitif, Gangguan rentang gerak, Demam
I. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,
subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah,
GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral
terpelihara dengan baik atau fluktuasi
ditandai dengan tekanan darah sistemik,
penurunan dari autoregulator kebanyakan
merupakan tanda penurunan difusi local
vaskularisasi darah serebral. Dengan
peningkatan tekanan darah (diastolic) maka
dibarengi dengan peningkatan tekanan darah
intrakrinial. Adanya peningkatan tekanan
darah, bradikardi, disritmia, dispnea
merupakan tanda terjadinya peningkatan
TIK.
Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari
reaksi terhadap cahaya. bola mata merupakan tanda dari gangguan
nervus/saraf jika batang otak terkoyak.
Reaksi pupil diatur oleh saraf III cranial
(okulomotorik) yang menunjukkan
keseimbangan antara parasimpatis dan
simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan
kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III.
Monitor temperatur dan pengaturan suhu Panas merupakan refleks dari hipotalamus.
lingkungan.
Peningkatan kebutuhan metabolism dan
O2 akan menunjang peningkatan TIK/ICP
(Intracranial Pressure).
Pertahankan kepala/leher pada posisi yang Perubahan kepala pada satu sisi dapat
netral, usahakan dengan sedikit bantal. menimbulkan penekanan pada vena jugularis
Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada dan menghambat aliran darah otak
kepala. (menghambat drainase pada vena serebral),
untuk itu dapat meningkatkan tekanan
intracranial.
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa Memberikan suasana yang tenang (colming
nyaman seperti masase punggung, effect) dapat mengurangi respons psikologis
lingkungan yang tenang. Sentuhan yang dan memberikan istirahat untuk
ramah, dan suasana / pembicaraan yang tidak mempertahankan TIK yang rendah.
gaduh.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkat laku. Tingkah nonverbal ini dapat merupakan
indikasi peningkatan TIK atau memberikan
refleks nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri
yang tidak menurun dapat meningkatkan
TIK.
Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) Meningkatkan kerja sama dalam
dan keluarga tentang sebab-sebab TIK meningakatkan perawatan klien dan
meningkat. mengurangi kecemasan.
Kolaborasi :
Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah
darah dari dalam intracranial. dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda-
tanda deficit neurologis yang menandakan
peningkatan ntrakranial.
Berikan cairan intravena sesuai indikasi. Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk
mengurangi edema serebral, peningkatan
minimum pada pembuluh darah, tekanan
darah dan TIK.
Berikan obat osmosis diuretic contohnya : Diuretic mungkin digunakan pada fase akut
manitol, furoscide. untuk mengalirkan air dari sel otak dan
mengurangi edema serebral dan TIK.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali
efektif.
Intervensi Rasionalisasi
Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau Distress pernapasan dan perubahan pada tanda
perubahan tanda-tanda vital. vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi
dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya
syok sehubungan dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
dilakukan untuk menjamin keamanan. mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.
Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru. mengurangi ansietas dan mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk Membantu klien mengalami efek fisiologi
control diri dengan menggunakan pernapasan hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai
lebih lambat dan dalam. ketakutan/ansietas.
Periksalah alarm pada ventilator sebelum Ventilator yang memiliki alarm yang bias
difungsikan. Jangan mematikan alarm. dilihat dan didengar misalnya alarm kadar
oksigen, tinggi/rendahnya tekanan oksigen.
Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan Melatih klien untuk mengatur napas seperti
jika ventilator tiba-tiba berhenti. napas dalam, napas pelan, napas perut,
pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat
membantu memaksimalkan fungsi dan system
pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara Memerhatikan letak dan fungsi ventilator
rutin. sebagai kesiapan perawat dalam memberikan
tindakan pada penyakit primer setelah menilai
Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa
hasil diagnostik dan menyediakan sebagai
tekanan oksigen dalam tabung, monitor
cadangan.
manometer untuk menganalisis batas/kadar
oksigen.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
pengembangan parunya.
Pemberian antibiotik.
Pemberian analgesic.
Fisioterapi dada.
DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan
pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder
akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas
sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran
pernapasan.
Intervensi Rasionalisasi
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara Pergerakan dada yang simetris dengan suara
napas pada kedua paru (bilateral). napas yang keluar dari paru-paru menandakan
jalan napas tidak terganggu. Saluran napas
bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan menimbulkan
perubahan suara napas seperti ronkhi atau
wheezing.
Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam
tanda batas bibir. bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan
napas ke paru-paru kanan dan mengakibatkan
Lekatkan tube secara hati-hati dengan
klien mengalami pneumothoraks.
memakai perekat khusus.
Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, Selama intubasiklien mengalami refleks batuk
suara alarm dari ventilator karena tekanan yang yang tidak efektif, atau klien akan mengalami
tinggi, pengeluaran sekret melalui kelemahan otot-otot pernapasan
endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya (neuromuscular/neurosensorik), keterlambatan
bunyi ronkhi. untuk batuk. Semua klien tergantung dari
alternatif yang dilakukan seperti mengisap
lender dari jalan napas.
Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan
batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau terus-menerus, dan durasinya pun dapat
lebih. Gunakan kateter pengisap yang sesuai, dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia.
cairan fisiologis steril.
Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih
Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan dari 50% diameter endotracheal/tracheostomy
pengisapan dengan ambu bag (hiperventilasi). tube untuk mencegah hipoksia.
Anjurkan klien mengenai tekhik batuk selama Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret
pengisapan seperti waktu bernapas panjang, dari saluran napas.
batuk kuat, bersin jika ada indikasi.
Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi
2jam). segmen paru-paru, mengurangi risiko
atelektasis.
Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk Pengetahuan yang diharapkan akan membantu
efektif dan mengapa terdapat penumpukan mengembangkan kepatuhan klien terhadap
sekret di saluran pernapasan. rencana terapeutik.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan
pengontrolan batuk. dan tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.
Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
mungkin.
Tahap napas selama 3-5 detik kemudian secara Meningkatkan volume udara dalam paru,
perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mungkin mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
melalui mulut.
Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari Pengkajian ini membantu mengevaluasi
dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan keefektifan upaya batuk klien.
kuat.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan
batuk. dapat menyebabkan sumbatan mucus, yang
mengarah pada atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan Untuk menghindari pengentalan dari sekret
viskositas sekresi. : mempertahankan hidrasi atau mosa pada saluran napas pada bagian atas.
yang adekuat; meningkatkan masukan cairan
1000-1500 cc/hari bila tidak ada
kontraindikasi.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang Higine mulut yang baik meningkatkan rasa
baik setelah batuk. kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
Fisioterapi dada.
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan
postural drainage, perkusi/penepukan. pengeluaran sekret.
DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
pereda nyeri nonfarmakologi dan non-invasif. nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan
keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Ajarkan relaksasi :
Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal
yang menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat bala terasa Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan
nyeri dan berikan posisi yang nyaman sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
misalnya ketika tidur, belakangnya dipasang
bantal kecil.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d
minimalkan /distabilkan.
Intervensi Rasional
Monitor tekanan darah, catat adanya hipertensi Peningkatan tekanan darah sistemik yang
sistolik secara teratur dan tekanan nadi yang diikuti penurunan tekanan darah distolik (nadi
makin berat, obs, ht, pada klien yang yang
mengalami trauma multiple. membesar) merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, juga diikuti ( yang
berhubungan
dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht
(yang berhubungan dengan trauma multiples)
dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.
Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, Perubahan pada ritme (paling sering
takikardi atau bentuk disritmia lainya. bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang
encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak pada
pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung
sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, Nafas tidak teratur menunjukkan adanya
seperti periode apnea setelah hiperventilasi gangguan
(pernafasan cheyne stokes). serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan
intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.
Kaji perubahan pada penglihatan ( penglihatan Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh
kabur, ganda, lap. Pandang menyempit kerusakan mikroskopik pada otak,
dan kedalaman persepsi. merupakan konsekuensi terhadap keamanan
dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi
Pertahankan kepala / leher pada posisi tengah/ Kepala yang miring pada salah satu sisi
pada posisi netral. Sokong dengan handuk menekan vena jugularis dan menghambat
kecil / aliran darah lain yang selanjutnya akan
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar
meningkat TIK.
pada kepala
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 Meningkatkan aliran balik vena dari kepala,
45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi. sehingga mengurangi kongesti dan edema
/ resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : Untuk menurunkan air dari sel otak,
menurunkan edema otak
- Diuretik TIK.
Untuk mengendalikan
kegelisahan agitas
Kriteria hasil : mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperlihatkan kenaikan berat
badan sesuai dengan pemeriksaan laboratorium.
Intervensi Rasional
Observasi/timbang berat badan jika Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dan
memungkinkan. kekurangan intake nutrisi menunjang
terjadinya masalah katabolisme, kandungan
glikogen dalam otot, dan kepekaan terhadap
pemasangan ventilator.
Catat pemasukan peroral jika diindikasikan. Nafsu makan biasanya berkurang dan nutrisi
anjurkan klien untuk makan yang masuk pun berkurang. menganjurkan
klien memilih makanan yang di senangi dapat
dimakan ( bila sesuai anjuran).
Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan sistem persarafan.
Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8. Jakarta : EGC
http://www.scribd.com/doc/20357839/Cedera-Kepala
http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-cedera-kepala.html