A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan
luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer,
2001).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang
akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson,
2006).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudal paksa (Mansjoer, 2007).
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi
menahan tekanan yang diberikan kepadanya (Doenges, 2000:625)
B. ETIOLOGI
1. Trauma langsung/ direct trauma
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya
benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada
pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/
ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.
4. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
C. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan.
Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya.
Fraktur
Bergabung dengan
Hambatan Mobilitas Protein plasma hilang
trombosit
Fisik
Emboli
Edema
Laserasi Kulit
Menyumbat pembuluh
Penekanan pembuluh
darah
darah
Ketidakefektifan perfuusi
Kerusakan integritas
Putus vena kulit resiko infeksi jaringan perifer
arteri
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi fraktur secara umum :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
sama.
4. Berdasarkan posisi fragmen :
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar
trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2) Grade II :luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
3) Grade III :sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif.
6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu
tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang kearah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
Ataxim : membentuk sudut.
At lotus : fragmen tulang berjauhan.
At longitudinal : berjauhan memanjang.
At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
8. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
9. Fraktur Kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
10. Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur adalah:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bias
diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya
tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus
dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikutifraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam
atau hari setelah cedera.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
5. Pemeriksaan Darah Lengkap
F. KOMPLIKASI
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstermitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi
b. Kompartement Syndrom
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam oto kurang dari yang dibutuhkan
untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika
tidak ditangani segera.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka
jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat
diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak
menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara
pemasangan bidai atau gips.
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
b. Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips yang
ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan
pemasangan gips adalah :
1) Immobilisasi dan penyangga fraktur
2) Istirahatkan dan stabilisasi
3) Koreksi deformitas
4) Mengurangi aktifitas
5) Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah :
1) Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
2) Gips patah tidak bisa digunakan
3) Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien
4) Jangan merusak / menekan gips
5) Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
6) Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk
itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi
eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
a. Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan
segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara
lain :
1) Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan
emergency
2) Traksi mekanik, ada 2 macam :
a) Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal
otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
b) Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang
merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka
operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
1) Mengurangi nyeri akibat spasme otot
2) Memperbaiki & mencegah deformitas
3) Immobilisasi
4) Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
5) Mengencangkan pada perlekatannya
Prinsip pemasangan traksi :
1) Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik
2) Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat agar
reduksi dapat dipertahankan
3) Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus
4) Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
5) Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data menurut Gordon
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
6) Riwayat Psikososial
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi,
warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola
Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.
Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa
bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain
b. Pemeriksaan Fisik
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
i. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
ii. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
iii. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
i. Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
ii. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
iii. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
iv. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
v. Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan)
vi. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
vii. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
viii. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
ix. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
x. Paru
a. Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
b. Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c. Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
d. Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
xi. Jantung
a. Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
b. Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
c. Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
xii. Abdomen
a. Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b. Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
c. Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
d. Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
e. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
xiii. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu
Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
a. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
b. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,
baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal > 3 detik
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang.
Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
b. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a. Bayangan jaringan lunak.
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang
yang rusak.
2) Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
3) Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran
alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
3. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang
terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang
akurat/lengkapnya informasi yang ada
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
DIANGOSA
NO KEPERAWATAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
DX DAN
KOLABORASI
Nyeri akut b/d NOC NIC
1 spasme otot, Pain Level, Pain Management
gerakan fragmen Pain control, 1.1 Lakukan pengkajian nyeri secara
tulang, edema, Comfort level komprehensif termasuk lokasi,
cedera jaringan Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
lunak, pemasangan - Mampu mengontrol faktor presipitasi
traksi, nyeri (tahu penyebab nyeri, 1.2 Observasi reaksi nonverbal dari
stress/ansietas, luka mampu menggunakan ketidaknyamana
operasi. tehnik nonfarmakologi 1.3 Gunakan teknik komunikasi terapeutik
untuk mengurangi nyeri, untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
mencari bantuan) 1.4 Evaluasi pengalaman nyeri masa
- Melaporkan bahwa nyeri lampau
berkurang dengan 1.5 Evaluasi bersama pasien dan tim
menggunakan manajemen kesehatan lain tentang ketidakefektifan
nyeri kontrol nyeri masa lampau
- Mampu mengenali nyeri 1.6 Bantu pasien dan keluarga untuk
(skala, intensitas, frekuensi mencari dan menemukan dukungan
dan tanda nyeri) 1.7 Kurangi faktor presipitasi nyeri
- Menyatakan rasa 1.8 Ajarkan tentang teknik non
nyaman setelah nyeri farmakologi
berkurang 1.9 Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
- Tanda vital dalam 1.10 Tingkatkan istirahat
rentang normal 1.11 Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
1.12 Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Gangguan OC : NIC :
2 pertukaran gas b/d Respiratory Status : Gas Airway Management
perubahan aliran exchange 2.1 Buka jalan nafas, guanakan teknik chin
darah, emboli, Respiratory Status : lift atau jaw thrust bila perlu
perubahan ventilation 2.2 Posisikan pasien untuk memaksimalkan
membran Vital Sign Status ventilasi
alveolar/kapiler Kriteria Hasil : 2.3 Identifikasi pasien perlunya
(interstisial, edema - Mendemonstrasikan pemasangan alat jalan nafas buatan
paru, kongesti) peningkatan ventilasi dan 2.4 Lakukan fisioterapi dada jika perlu
oksigenasi yang adekuat Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
- Memelihara kebersihan 2.5 Auskultasi suara nafas, catat adanya
paru paru dan bebas dari suara tambahan
tanda tanda distress 2.6 Lakukan suction pada mayo
pernafasan 2.7 Atur intake untuk cairan
- Mendemonstrasikan mengoptimalkan keseimbangan.
batuk efektif dan suara 2.8 Monitor respirasi dan status O2
nafas yang bersih, tidak Respiratory Monitoring
ada sianosis dan dyspneu 2.1 Monitor rata rata, kedalaman, irama
(mampu mengeluarkan dan usaha respirasi
sputum, mampu bernafas 2.2 Catat pergerakan dada, amati
dengan mudah, tidak ada kesimetrisan, penggunaan otot tambahan,
pursed lips) retraksi otot supraclavicular dan intercostal
Tanda tanda vital dalam 2.3 Monitor suara nafas, seperti dengkur
rentang normal 2.4 Monitor pola nafas : bradipena,
takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne
stokes, biot
2.5 Monitor kelelahan otot diagfragma
(gerakan paradoksis)
2.6 Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan / tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
2.7 Tentukan kebutuhan suction dengan
mengauskultasi crakles dan ronkhi pada
jalan napas utama
2.8 Auskultasi suara paru setelah tindakan
untuk mengetahui hasilnya
Hambatan mobilitas NOC : Latihan Kekuatan
3 fisik b/d kerusakan Joint Movement : Active 3.1 Ajarkan dan berikan dorongan pada
rangka Mobility Level klien untuk melakukan program latihan
neuromuskuler, Self care : ADLs secara rutin
nyeri, terapi Transfer performance Latihan untuk ambulasi
restriktif Kriteria Hasil : 3.2 Ajarkan teknik Ambulasi &
(imobilisasi) Klien meningkat dalam perpindahan yang aman kepada klien dan
aktivitas fisik keluarga.
Mengerti tujuan dari 3.3 Sediakan alat bantu untuk klien seperti
peningkatan mobilitas kruk, kursi roda, dan walker
Memverbalisasikan 3.4 Beri penguatan positif untuk berlatih
perasaan dalam mandiri dalam batasan yang aman.
meningkatkan kekuatan Latihan mobilisasi dengan kursi roda
dan kemampuan berpindah 3.5 Ajarkan pada klien & keluarga tentang
Memperagakan cara pemakaian kursi roda & cara
penggunaan alat Bantu berpindah dari kursi roda ke tempat tidur
untuk mobilisasi (walker) atau sebaliknya.
3.6 Dorong klien melakukan latihan untuk
memperkuat anggota tubuh
3.7 Ajarkan pada klien/ keluarga tentang
cara penggunaan kursi roda
Latihan Keseimbangan
3.8 Ajarkan pada klien & keluarga untuk
dapat mengatur posisi secara mandiri dan
menjaga keseimbangan selama latihan
ataupun dalam aktivitas sehari hari.
Perbaikan Posisi Tubuh yang Benar
3.9 Ajarkan pada klien/ keluarga untuk
mem perhatikan postur tubuh yg benar
untuk menghindari kelelahan, keram &
cedera.
3.10 Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk
program latihan.
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta