Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

TINJAUAN TEORI

1.1 Tinjauan Medis


1.1.1 Pengertian
1) Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya (Smelter & Bare, 2002).
2) Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Price, 1995)
3) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat
dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti
osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Barret dan
Bryant, 1990)
4) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa
nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan
krepitasi (Doenges, 2000).
5) Fraktur adalah teputusnya jaringan tulang/tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh ruda paksa

1.1.2 Etiologi
1) Kekerasan langsung
Terkena pada bagian langsung trauma
2)Kekerasan tidak langsung
Terkena bukan pada bagian yang terkena trauma
3)Kekerasan akibat tarikan otot
4)Pathologis ( osteoporosis )

1.1.3 Klasifikasi
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis ,
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena
kulit masih utuh) tanpa komplikasi.

1
2. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur.
1. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2. Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
a. Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b. Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c. Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme
trauma.
1. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:

2
a. Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
b. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan


jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.

1.1.4 Manifestasi Klinis


1. Nyeri
2. Perubahan bentuk
3. Bengkak
4. Peningkatan temperatur lokal
5. Pergerakan abnormal.
6. Krepitasi
7. Kehilangan fungsi

3
1.1.5 Patofisiologi

Trauma langsung / Tidak langsung


Jaringan tulang
Diskontinuitas tulang (fraktur)

Terbuka Tertutup

Gerakan fragmen tulang


yang patah Perubahan struktur Keruskan rangka
jaringan tulang neuromuskular

Pembuluh Penurunan fungsi


Imobilisasi Krepitasi Nyeri Spasme otot darah rusak gerak
Fragmen Tulang
Tembus Kulit
Gangg. Perfusi
Pergerakan jaringan
minimal Gangg. Mobilitas
fisik
Kontak dengan
dunia luar Gangg. Mobilitas
Decubitus Pemenuhan ADL <
fisik

Kontaminasi
Kerusakan integritas
Risti infeksi kulit
Gangg. Pemenuhan ADL

1.1.6 Komplikasi
1) Komplikasi Awal
1. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
2. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang

4
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan
dari luar seperti gips dan bebatan yang terlalu kuat.
3. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
4. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia.
6. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2) Komplikasi Dalam Waktu Lama


(1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
(2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini
juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.

5
(3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993).

1.1.7 Pemeriksaan penunjang


1. X.Ray
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot

1.1.8 Penatalaksanaan
1. Reduksi, untuk memperbaiki kesegarisan tulang (menarik)
2. Immobilisasi, untuk mempertahankan posisi reduksi dan memfasilitasi
union (eksternal  gips, traksi, fiksasi eksternal. Internal  nail &
plate).
3. Rehabilitasi, mengembalikan ke fungsi semula.

1.2 Asuhan Keperawatan


1.2.1 Pengkajian
1) Brething
Akibat dari nyeri yang dialami manifestasi klinis dari pasien akan
meningkatkan freuensi nafas. Pada keadaan fraktur terbuka dan terjadi
peningkatan jumlah perdarahan meningkatkan tingkat pernafasan pasien.
2) Blood
Hipertensi (kadang – kadanng terlihat sebagai respon terhadap nyeri /
ansietas) atau hipotensi. Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
Takikardia (respon stress, hipovolemia)
Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang cidera , pengisian
kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena.
Pembengkakan jaringan atau masa hematom pada sisi cidera.
Capilary refil melambat
Pucat pada bagian yang terkena
Masa hematoma pada sisi cedera
3) Brain
Hilang gerakan / sensori, spasme otot.

6
Kebas / kesemutan (parestesis).
Tanda : Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi, spasme otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi.
4) Blader
Sulit BAK karena menahan nyeri dan imobilisasi, kesulitan melakukan
kebutuhan ADL
5) Bowel
Normal, beberapa klien mengeluh sulit BAB karena konstipasi akibat bed
rest yang lama dan imobilisasi
6) Bone
Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna.
Deformitas lokal; angulasi abnomal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi
berderit), spasme otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi
Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri / ansietas atau trauma lain)
Pembengkakan lokal (dapat meningkatkan secara bertahap / tiba – tiba)

1.2.2 Pemeriksaan Fisik


1) Aktivitas
(1) Perubahan tonus otot atau kekuatan otot
(2) Gerakan involanter atau kontraksi otot atau
sekelompok otot
2) Integritas Ego
(1) Pelebaran rentang respon emosional
3) Eliminasi
(1) Iktal : penurunan tekanan kandung kemih dan tonus
spinter
(2) Posiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan
inkonmesia
4) Makanan atau cairan
(1) Kerusakan jaringan lunak (cedera selama febris)
(2) Hyperplasia ginginal
5) Neurosensori (karakteristik febris)
(1) Fase prodomal :
Adanya perubahan pada reaksi emosi atau respon efektifitas yang
tidak menentu yang mengarah pada fase area.
(2) Kenyamanan
a. Sikap atau tingkah laku yang berhati-hati

7
b. Perubahan pada tonus ott
c. Tingkah laku distraksi atau gelisah
(3) Keamanan
d. Trauma pada jaringan lunak
Penurunan kekuatan atau tonus otot secara menyeluruh

1.2.3 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


Diagnosa 1
Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan berkurangnya aliran darah
akibat adanya trauma jaringan/tulang
Data penunjang :
a. Daerah perifer pucat / sianosis.
b. Pengisian kapiler darah yang trauma  5 detik.
c. Daerah perifer dengin
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam perfusi
perifer dapat dipertahankan.
Kriteria Hasil :
a. HR. 60 - 100 x per menit.
b. Kulit hangat sensori normal.
c. Sistolik 100 - 140 mmHg.
d. RR. 16 - 24 x per menit.
e. Urine out put 30 - 50 cc per jam.
f. Pengisian kapiler 3 - 5 detik.
Intervensi
1. Observasi tanda-tanda vital.
R : Untuk mengetahui tanda-tanda syok sedini mungkin
2. Mengkaji sumber, lokasi, dan banyaknya perdarahan
R : Untuk menentukan tindak an
3. Memberikan posisi supinasi
R : Untuk mengurangi perdarahan dan mencegah kekurangan darah ke
otak
4. Memberikan banyak cairan (minum)
R : Untuk mencegah kekurangan cairan (mengganti cairan yang hilang)
5. Pemberian cairan per infus
R : Pemberian cairan per-infus
6. Pemberian obat koa-gulan sia (vit.K, Adona) dan penghentian perdarahan
dengan fiksasi.

8
R : Membantu proses pem-bekuan darah dan untuk menghentikan
perdarahan.
7. Pemeriksaan laborato- rium (Hb, Ht)
R : Untuk mengetahui kadar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.

Diagnosa 2
Nyeri berhubungan dengan geseran/pergerakan fragmen tulang.
Data penunjang :
a. Nyeri saat digerakkan
b. Bengkak pada lokasi fraktur.
c. Spasme otot
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam nyeri
berkurang, dan dapat diatasi.
Kriteria Hasil :
1. Klien tidak mengeluh nyeri.
2. Pembengkakan hilang atau berkurang.
3. Otot relaksasi
Intervensi Keperawatan
1. Observasi karakteristik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan
menggunakan skala nyeri (0-10)
R : Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat menentukan jenis
tindak annya
2. Mempertahankan immobilisasi (back slab)
R : Mencegah pergeseran tulang dan penekanan pada jaringan yang luka
3. Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.
R : Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan mengurangi nyeri
4. Menjelaskan seluruh prosedur di atas
R : Untuk mempersiapkan mental serta agar pasien berpartisipasi pada
setiap tindakan yang akan dilakukan
5. Pemberian obat-obatan analgesik
R : Mengurangi rasa nyeri

Diagnosa 3
Potensial infeksi berhubungan dengan adanya luka fraktur terbuka.
Data penunjang :
Adanya luka pada daerah fraktur.

9
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam infeksi
tidak terjadi.

Kriteria Hasil :
1. Penyembuhan luka sempurna.
2. Tidak ada tanda infeksi.
3. Bagian yang fraktur/luka dapat berfungsi seperti semula
Intervensi Keperawatan :
1. Observasi keadaan luka (kontinuitas dari kulit) terhadap adanya: edema,
rubor, kalor, dolor, fungsi laesa.
R : Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi
2. Anjurkan pasien untuk tidak memegang bagian yang luka.
R : Meminimalkan terjadinya kontaminasi
3. Merawat luka dengan menggunakan tehnik aseptic
R : Mencegah kontaminasi dan kemungkinan infeksi silang
4. Mewaspadai adanya keluhan nyeri mendadak, keterbatasan gerak, edema
lokal, eritema pada daerah luka.
R : Merupakan indikasi adanya osteomilitis
5. Pemeriksaan darah : leokosit
R : Lekosit yang meningkat artinya sudah terjadi proses infeksi
6. Pemberian obat-obatan :
antibiotika dan TT (Toksoid Tetanus)
R : Untuk mencegah kelanjutan terjadinya infeksi. dan pencegahan tetanus
7. Persiapan untuk operasi sesuai indikasi
R : Mempercepat proses penyembuhan luka dan dan penyegahan
peningkatan infeksi.

Diagnosa 4
Ansietas b/d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, klien
memiliki rentang respon adaptif
Kriteria Hasil :
1. Tampak relaks dan melaporkan ansietas menurun sampai dapat
ditangani.
2. Mengakui dan mendiskusikan rasa takut.
3. Menunjukkan rentang perasaan yang tepat.

10
Intervensi keperawatan :
1. Dorong ekspresi ketakutan/marah
R : Mendefinisikan masalah dan pengaruh pilihan intervensi.
2. Akui kenyataan atau normalitas perasaan, termasuk marah
R : Memberikan dukungan emosi yang dapat membantu klien melalui
penilaian awal juga selama pemulihan
3. Berikan informasi akurat tentang perkembangan kesehatan.
R : Memberikan informasi yang jujur tentang apa yang diharapkan
membantu klien/orang terdekat menerima situasi lebih evektif.
4. Dorong penggunaan manajemen stres, contoh : napas dalam, bimbingan
imajinasi, visualisasi.
R : membantu memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi,
dan meningkatkan penigkatan kemampuan koping

Diagnosa 5
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan fungsi gerak akibat
fraktur
Tujuan : Pasien dapat menunjukkan perbaikan mobilitas fisik
Kriteria Hasil :
1) Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
fraktur
2) Dapat melakukan aktivitas secara mandiri/bertahap
3) Menunjukkan perbaikan nilai MMT
Intervensi dan Rasional :
1) Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang, miring).
R : Menurunkan resiko terjadinya trauma atau iskemia jaringan.
2) Mulailah melakukan latihan rentang gerak pasif pada ekstremitas yang sakit
R : Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu
mencegah kontraktur.
3) Tempatkan bantal dibawah aksila untuk melakukan abduksi pada lengan
R : Mencegah adduksi bahu dan fleksi siku
4) Berikan tempat tidur dengan matras bulat (seperti tempat tidur listrik)
R : meningkatkan distribusi merata berat badan yang menurunkan tekanan
pada tulang-tulang tertentu
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat-obatan analgesik
R : Mengurangi rasa nyeri sehingga dapat merasa lebih nyaman dalam
melakukan mobilisasi.

11
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia Price, 1985, Pathofisiologi Konsep Klinik Proses-proses


Penyakit, Jakarta: EGC.

Barret dan Bryant. 1990. Asuhan Keperawatan Pada Anak/Bayi. Edisi 6.


Terjemahan oleh Linda Mariani. Jakarta : EGC

Black, J.M, et al, 1993. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3 Jakarta : EGC

Carpenitto.LJ. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis. Ed 6.


EGC. Jakarta.

Doengoes, Marylin E., 1989, Nursing Care Plans, USA Philadelphia: F.A Davis
Company.

Junadi, Purnawan, 1982, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Smelter & Bare, 2002). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 4. Jakarta : Rineka
Cipta

12

Anda mungkin juga menyukai