Anda di halaman 1dari 125

LAPORAN TUGAS AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA Nn. A DENGAN


APENDISITIS DI RUANG DAHLIA B RUMAH SAKIT UMUM
TARAKAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA

OLEH :

ISTIANI NAIMATUR ROHMAH


NPM: 1630702017

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2019
i

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA Nn. A DENGAN


APENDISITIS DI RUANG DAHLIA B RUMAH SAKIT UMUM
TARAKAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA

LAPORAN TUGAS AKHIR

DISUSUN DALAM RANGKA UJIAN AKHIR PROGRAM


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
TAHUN AKADEMIK 2018/2019

OLEH :

ISTIANI NAIMATUR ROHMAH


NPM: 1630702017

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2019
ii
iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

Laporan Tugas Akhir dengan judul “Asuhan Keperawatan Perioperatif Pada Nn.

A Dengan Apendisitis Di Ruang Dahlia B Rumah Sakit Umum Tarakan Provinsi

Kalimantan Utara”.

Penyusunan Laporan Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat dalam

menyelesaikan program pendidikan Diploma III Jurusan Keperawatan Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Borneo Tarakan. Laporan Tugas Akhir ini disusun

setelah mahasiswa mengikuti ujian akhir program tahap satu di rumah sakit,

dimana ujian tersebut mahasiswa diharuskan mengelola sebuah kasus dalam

bentuk asuhan keperawatan, selama penyusunan Laporan Tugas Akhir ini penulis

banyak mengalami hambatan dan kesulitan, namun berkat bimbingan dan bantuan

dari banyak pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Laporan

Tugas Akhir ini.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Drs. Adri Patton, M.Si selaku Rektor Universitas Borneo Tarakan.

2. Dr. Muhammad Hasbi Hasyim, Sp.PD selaku Direktur Rumah Sakit Umum

Tarakan beserta segenap jajarannya yang telah memberikan izin pada penulis

untuk melakukan praktik dan mengambil kasus di Rumah Sakit Umum

Tarakan.

3. Sulidah, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Borneo Tarakan.


iv

4. Yuni Retnowati, SST.,M.Keb, selaku wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Borneo Tarakan.

5. Alfianur, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Jurusan Keperawatan Universitas

Borneo Tarakan sekaligus dosen penasehat akademik dari semester I sampai

dengan sekarang yang telah membimbing dan memberikan serta motivasi

selama menuntut ilmu di Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Borneo Tarakan.

6. Maria Imaculata Ose, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Sekretaris Jurusan

Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Borneo Tarakan sekaligus

pembimbing I dan selaku dosen penguji II Laporan Tugas Akhir yang dengan

kesabaran dan keuletannya beliau dalam mengarahkan dan membimbing

penulis selama proses laporan tugas akhir ini.

7. Ramdya Akbar Tukan, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku koordinator Laporan Tugas

Akhir sekaligus dosen pembimbing II dan selaku dosen penguji III Laporan

Tugas Akhir yang dengan kesabaran dan keuletannya beliau dalam

mengarahkan dan membimbing penulis selama proses laporan tugas akhir ini.

8. Paridah, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku dosen di Jurusan Keperawatan Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Borneo Tarakan sekaligus penguji I Laporan

Tugas Akhir ini.

9. Seluruh Dosen dan Staf Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Borneo Tarakan.

10. Pasien Nn. A dan keluarga atas kerja samanya sehingga penulis tidak banyak

mendapat kendala dalam memperoleh data dan memberikan asuhan

keperawatan sebagai pasien binaan.


v

11. Kedua orangtua saya Bapak Saimin dan Ibu Nanik Prismiati, serta saudaraku

Dodik Muqaddimi Saputra, S.Pd yang tiada hentinya memberikan doa,

nasihat serta dengan penuh kesabaran dalam memberi semangat dan

dukungan baik moril maupun materi yang tidak ternilai harganya kepada

penulis selama menempuh pendidikan Diploma III Jurusan Keperawatan

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Borneo Tarakan.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang membantu

penulis dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir.

Penulis menyadari laporan tugas akhir ini terdapat banyak kekurangan, untuk

ini penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari banyak pihak yang bersifat

demi perbaikan laporan tugas akhir ini dimasa yang akan datang.

Penulis berharap semoga laporan tugas akhir ini bermanfaat bagi pembaca

dan pengembangan ilmu keperawatan.

Tarakan, 19 Juni 2019

Istiani Naimatur Rohmah


vi

ABSTRAK

Apendisitis merupakan peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau


umbai cacing (apendiks) yang disebabkan karena hyperplasia jaringan
limfoid, tumor apendiks, cacing askaris yang menyebabkan sumbatan pada
lumen apendiks, erosi mukosa karena parasit E.histolytica dan kebiasaan
makan makanan yang rendah serat. Tujuan umum laporan tugas akhir ini
agar penulis memperoleh gambaran nyata mengenai penerapan, pelaksanaan
dan pendokumentasian asuhan keperawatan pada Nn. A dengan Apendisitis
di ruang Dahlia B Rumah Sakit Umum Tarakan Provinsi Kalimantan Utara
dari tanggal 27-29 Mei 2019. Metode penulisan dengan tipe studi kasus
dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi,
pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi serta studi kepustakaan. Pemberi
asuhan keperawatan menggunakan langkah-langkah proses keperawatan
yang meliputi: pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan (intervensi),
implementasi, dan evaluasi. Hasil laporan didapatkan masalah keperawatan
yang ditemukan pada kasus Nn. A menjadi masalah pre operasi: nyeri akut,
dan ansietas; serta masalah post operasi: nyeri akut, risiko syok
(hipovolemik), gangguan mobilitas fisik, dan risiko infeksi. Intervensi yang
telah dilakukan dan kriteria hasil yang telah disusun berdasarkan prioritas
masalah. Evaluasi hasil tindakan keperawatan menunjukkan bahwa masalah
keperawatan yang penulis rumuskan dalam diagnosa keperawatan dapat
teratasi sesuai tujuan yang telah ditetapkan dari kriteria hasil yang
diharapkan. Dari enam diagnosa tersebut didapatkan satu diagnosa
keperawatan yang belum teratasi yaitu pada diagnosa keperawatan pre
operasi: nyeri akut, dan lima diagnosa keperawatan yang telah teratasi yaitu
diagnosa keperawatan: ansietas, dan diagnosa keperawata post operasi:
nyeri akut, risiko syok (hipovolemik), gangguan mobilitas fisik, dan risiko
infeksi karena pasien pulang sesuai dengan tujuan dan waktu yang telah
ditentukan.

Kata kunci: Apendisitis, studi kasus, asuhan keperawatan, masalah


keperawatan, nyeri.
vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….. i

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………... ii

KATA PENGANTAR ……………………………………………………... iii

ABSTRAK ………………………………………………………………….. vi

DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. vii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. x

DAFTAR TABLE ………………………………………………………….. xi

DAFTAR BAGAN …………………………………………………………. xii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xiii

DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………... xiv

BAB 1: PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………………………………………………….. 1

1.2 Tujuan Penulisan ……………………………………………….. 2

1.3 Ruang Lingkup …………………………………………………. 3

1.4 Metode Penulisan ……………………………………………….. 3

1.5 Sistematika Penulisan …………………………………………... 5

BAB 2: LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Medis ……………………………………………. 6

2.1.1 Definisi ………………………………………………….. 6

2.1.2 Anatomi Fisiologi ………………………………………. 7

2.1.3 Klasifikasi ………………………………………………. 15

2.1.4 Etiologi ………………………………………………….. 18


viii

2.1.5 Patofisiologi …………………………………………….. 19

2.1.6 Epidemiologi ……………………………………………. 20

2.1.7 Manifestasi Klinis ………………………………………. 20

2.1.8 Komplikasi ……………………………………………… 22

2.1.9 Penatalaksanaan ………………………………………… 23

2.1.10 Pemeriksaan Penunjang ………………………………… 25

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan …………………………… 26

2.2.1 Pengkajian ………………………………………………. 26

2.2.2 Diagnosa Keperawatan …………………………………. 29

2.2.3 Intervensi Keperawatan ………………………………… 31

BAB 3: LAPORAN KASUS

3.1 Pengkajian ………………………………………………………. 45

3.2 Klasifikasi Data ………………………………………………… 60

3.3 Analisa Data …………………………………………………….. 62

3.4 Penyimpangan KDM …………………………………………… 64

3.5 Diagnosa Keperawatan …………………………………………. 65

3.6 Intervensi Keperawatan ………………………………………… 65

3.7 Implementasi ……………………………………………………. 66

3.8 Evaluasi …………………………………………………………. 68

Data Post Operasi

3.1 Keluhan Utama …………………………………………………. 69

3.2 Pemeriksaan Sistemik …………………………………………... 69

3.3 Klasifikasi Data ………………………………………………… 69

3.4 Analisa Data …………………………………………………….. 71


ix

3.5 Diagnosa Keperawatan …………………………………………. 74

3.6 Intervensi Keperawatan ………………………………………… 75

3.7 Implementasi ……………………………………………………. 77

3.8 Evaluasi …………………………………………………………. 84

BAB 4: PEMBAHASAN

4.1 Pengkajian ………………………………………………………. 86

4.2 Diagnosa Keperawatan …………………………………………. 91

4.3 Intervensi Keperawatan ………………………………………… 95

4.4 Implementasi ……………………………………………………. 99

4.5 Evaluasi …………………………………………………………. 99

BAB 5: PENUTUP

5.1 Kesimpulan ……………………………………………………... 102

5.2 Saran ……………………………………………………………. 105

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 107

LAMPIRAN ………………………………………………………………... 109


x

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 2.1 Anatomi Usus Besar ………………………………………… 10


xi

DAFTAR TABEL

TABEL 2.1 Kelenjar Usus Halus …………………………………………… 8

TABEL 2.2 Alvarado Score ………………………………………………… 22

TABEL 3.1 Balance Cairan …………………………………………………. 51

TABEL 3.2 Aktivitas dan Gerak ……………………………………………. 52

TABEL 3.3 Kekuatan Otot ………………………………………………….. 57

TABEL 3.4 Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap (Tanggal 26 Mei 2019) …... 59

TABEL 3.5 Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap (Tanggal 27 Mei 2019) …... 60

TABEL 3.6 Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap (Tanggal 28 Mei 2019) …... 80
xii

DAFTAR BAGAN

BAGAN 2.1 Penyimpanga KDM Teori Kasus Apendisitis …………………. 29

BAGAN 3.1 Genogram Keluarga Nn. A ……………………………………. 48

BAGAN 3.2 Penyimpangan KDM pada Nn. A dengan Apendisitis ………... 64


xiii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN ……………………………………………………………….. 109

1.1. Lembar Bimbingan LTA Pembimbing 1

1.2. Lembar Bimbingan LTA Pembimbing 2

1.3. Standar Operasional Pelaksanaan Perawatan Luka


xiv

DAFTAR SINGKATAN

Amp : Ampul

ASEAN : Assosiation South East Asia Nation

BAB : Buang Air Besar

BAK : Buang Air Kecil

BB : Berat Badan

BBI : Berat Badan Ideal

BJ : Berat Jumlah

C : Celcius

Cm : Centimeter

CRT : Capillary Refill Time

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

EKG : Elektrokardiogram

F : Fahrenheit

GALT : Gut Associated Lymphoid Tissue

GCS : Glasgow Coma Scale

Gr : Gram

HGB/Hb : Hemoglobin

HCT/HT : Hematokrit

HR : Heart Rate

ICS : Intra Costa

IGD : Instalasi Gawat Darurat

IM : Intra Muskuler
xv

IMT : Indeks Massa Tubuh

IV : Intra Vena

IWL : Invisible Water Loss

Kg : Kilogram

MCH : Mean Corpusculor Hemoglobin

MCHC : Mean Cell Hemoglobin Concentration

MCV : Mean Corpusculor Volume

Mg : Miligram

Ml : Mililiter

Mm : Milimeter

mmHg : Mili Meter Hidrogen

N : Nadi

NGT : Nasogastrik Tube

Nn. : Nona

RND : Relaksasi Napas Dalam

RR : Resiratory Rate

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

S : Suhu

SMA : Sekolah Menengah Atas

TD : Tekanan Darah

Tpm : Tetes Per Menit

TTV : Tanda-Tanda Vital

USG : Ultrasonografi

VS : Vital Sign
xvi

WBC : White Blood Cell

WHO : World Health Organization

WITA : Waktu Indonesia Tengah


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis merupakan infeksi yang disebabkan karena hyperplasia jaringan

limfoid, tumor apendiks, dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan di

lumen apendiks, erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica dan

kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat mengakibatkan konstipasi

(Arifuddin, Salmawati, & Prasetyo, 2017). Apendisitis adalah peradangan akut

akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks) sehingga

memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi berbahaya (Wim

de Jong et al, 2005 dalam Nurarif & Kusuma, 2015).

Salah satu tindakan pengobatan terhadap apendisitis dapat dilakukan dengan

cara operasi. Operasi apendiks dilakukan dengan cara apendiktomi yang

merupakan suatu tindakan pembedahan dengan pengangkatan umbai cacing

(apendiks) yang telah terinfeksi untuk menurunkan risiko terjadinya komplikasi

yaitu perforasi (Wijaya & Putri, 2013).

Angka insidensi apendisitis di Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah

4,8% dan 2,6% dari total populasi penduduk, angka prevalansi cenderung

meningkat setiap tahunnya karena pola diitnya yang mengikuti budaya barat.

Negara maju seperti di Amerika Serikat, sekitar 7% penduduk atau sekitar

250.000 orang telah menjalani operasi apendiktomi setiap tahunnya dengan angka

insidensi 11 kasus per 10.000 orang per tahun. Selain itu, di Negara Inggris juga

memiliki angka kejadian apendisitis yang cukup tinggi sekitar 40.000 orang
2

masuk rumah sakit untuk menjalani pengobatan apendisitis dan dilakukan operasi

apendiktomi (WHO, 2004 dalam Amalina, Suchitra, & Saputra, 2018).

Kejadian apendisitis di Indonesia pada tahun 2009 dengan persentase 3,36%

dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 621.435 orang dengan persentase 3,53%.

(Depkes RI, 2010 dalam Arifuddin, Salmawati, & Prasetyo, 2017). Angka

kejadian apendisitis di Indonesia dilaporkan sebesar 95/1000 penduduk dengan

jumlah kasus mencapai 10 juta setiap tahunnya dan merupakan kejadian tertinggi

di Assosiation South East Asia Nation (ASEAN) dengan salah satu penyebab dari

akut abdomen yang dapat diidentifikasikan untuk dilakukan operasi apendiktomi

dengan menggunakan pemeriksaan Untrasonografi (USG) (Widarsa & Padmi,

2018).

Berdasarkan studi lapangan selama tiga hari di Ruang Perawatan Dahlia B

Rumah Sakit Umum Tarakan Provinsi Kalimantan Utara pada tanggal 27 Mei

2019 sampai dengan 29 Mei 2019 untuk melakukan asuhan keperawatan

perioperatif kepada Nn. A dengan kasus Apendisitis masuk dengan keluhan nyeri

didaerah perut semenjak ± 10 hari terakhir setelah mendapat rujukan dari Rumah

Sakit Malinau yang kemudian dikirim ke Rumah Sakit Umum Tarakan dilakukan

operasi apendiktomi. Oleh karena itu, penulis tertarik membuat asuhan

keperawatan untuk melaksanakan pemecahan masalah dan menguraikan

penatalaksanaan Asuhan Keperawatan perioperatif pada Nn. A dengan kasus

Apendisitis.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan laporan tugas akhir ini, dibagi menjadi dua yaitu :
3

1.2.1 Tujuan Umum

Mendapatkan gambaran nyata dan mengeksplorasi tentang penerapan dan

pelaksanaan asuhan keperawatan perioperatif pada Nn. A dengan Apendisitis

dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan secara holistic dan

komprehensif.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Melaksanakan proses keperawatan pada Nn. A dengan Apendisitis.

1.2.2.2 Membandingkan antara teori dan praktik Asuhan Keperawatan pada Nn. A

dengan Apendisitis.

1.2.2.3 Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam melaksanakan

proses keperawatan pada Nn. A dengan Apendisitis.

1.2.2.4 Melaksanakan pemecahan masalah pada Nn. A dengan Apendisitis.

1.3 Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian yang telah penulis ungkapkan pada latar belakang, maka

penulis dalam studi kasus secara komprehensif ini akan membahas tentang asuhan

keperawatan perioperatif pada Nn. A dengan Apendisitis di Ruang Dahlia B

Rumah Sakit Umum Tarakan Provinsi Kalimantan Utara dilakukan selama 3 hari,

mulai tanggal 27 Mei 2019 sampai dengan 29 Mei 2019.

1.4 Metode Penulisan

Dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir ini, penulis menggunakan metode

studi kasus, yaitu metode ilmiah yang menggambarkan suatu keadaan/peristiwa

yang sedang terjadi dan semua kegiatan hanya memusatkan perhatian pada satu

kasus secara intensif, dimulai dari pengumpulan data, analisa data, diagnosa
4

keperawatan, intervensi, implementasi serta evaluasi yang telah dilakukan dalam

pelaksanaan asuhan keperawatan.

Menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler (2014), data-data yang terhimpun

dalam laporan tugas akhir ini diperoleh dengan cara:

1.4.1 Pengamatan/Observasi

Mengamati perilaku dan keadaan klien untuk memperoleh data tentang

masalah kesehatan dan keperawatan klien.

1.4.2 Wawancara

Data yang didapatkan dari pasien dan orang terdekat lainnya melalui

percakapan dan pengamatan. Data dapat dikumpulkan selama satu periode kontak

atau lebih dan harus mencakup semua data yang relevan. Teknik pengumpulan

data ini dilakukan dengan cara tanya jawab langsung dengan klien dan keluarga

atau orang tertentu yang mengetahui pasti keadaan klien, sehingga dapat diperoleh

data yang akurat.

1.4.3 Pemeriksaan Fisik Head to Toe

Pengumpulan data dengan melakukan pemeriksaan fisik persistem secara

keseluruhan melalui empat tahap yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.

1.4.4 Pemeriksaan Penunjang

Data diperoleh dari dokumentasi yang terdapat pada catatan perawat dan

catatan tim kesehatan lainnya yang berhubungan dengan kasus klien.

1.4.5 Studi Literatur

Dapat berupa buku-buku, jurnal ilmiah, dan sumber lain yang berhubungan

dengan judul serta permasalahan dalam laporan tugas ilmiah ini.


5

1.5 Sistimatika Penulisan

Secara sistematis penulisan Laporan Tugas Akhir ini terdiri dari BAB 1

sampai dengan BAB 5. Setiap bab dijelaskan dengan uraian singkat dan bentuk

penyajian sebagai berikut:

Bab Satu Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan,

ruang lingkup, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab Dua Landasan Teori, yang terbagi menjadi dua bahasan yang pertama

yaitu Konsep Dasar Medis yang terdiri dari definisi, anatomi fisiologi, klasifikasi,

etiologi, patofisiologi, epidemiologi, manifestasi klinis, komplikasi,

penatalaksanaan, serta pemerikasaan penunjang, dan yang kedua yaitu Konsep

Dasar Asuhan Keperawatan yang terdiri dari pengkajian, penyimpangan KDM,

diagnosa keperawatan, perencanaan (intervensi keperawatan), implementasi, dan

evaluasi.

Bab Tiga Laporan Kasus, yang menguraikan tentang pengkajian, klasifikasi

data, pengelompokan data (analisa data), penyimpangan KDM, diagnosa

keperawatan, perencanaan (intervensi keperawatan), implementasi dan evaluasi

sesuai dengan kasus yang ada diruangan.

Bab Empat Pembahasan, yang berisi perbandingan atau perbedaan antara

proses keperawatan secara teoritis dengan aplikasi nyata dilapangan, dengan

kesenjangan tersebut nantinya akan dibahas berdasarkan hasil pengkajian,

diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.

Bab Lima Penutup, berisi kesimpulan dari seluruh penulisan laporan tugas

akhir ini dan saran yang ditunjukan untuk perbaikan selanjutnya.


BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Medis

2.1.1 Definisi

Apendisitis adalah peradangan akut akibat infeksi pada usus buntu atau

umbai cacing (apendiks) sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk

mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Wim de Jong et al, 2005 dalam

Nurarif & Kusuma, 2015). Apendiks (usus buntu) dalam Bahasa latin: Caecus

yang berarti buta dalam anatomi adalah suatu kantung yang berhubungan pada

usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini

ditemukan pada mamalia. Apendisitis atau infeksi usus buntu, dapat menyebar

sampai ke usus besar dan menyebabkan radang selaput rongga perut (Devi, 2017).

Apendisitis merupakan infeksi yang disebabkan karena hyperplasia jaringan

limfoid, tumor apendiks, dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan

dilumen apendiks, erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica dan

kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat mengakibatkan konstipasi.

Konstipasi ini akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya

sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon

biasa (Arifuddin, Salmawati, & Prasetyo, 2017).


7

2.1.2 Anatomi Fisiologi

2.1.2.1 Anatomi Usus Halus

Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah meter panjang

dalam keadaan hidup. Angka yang biasa diberikan, enam meter adalah penemuan

setelah setelah mati bila otot kehilangan tonusnya. Usus halus memanjang dari

lambung, sampai katup ileo-kolika, tempat bersambung dengan usus besar. Usus

halus terletak didaerah umbilicus dan dikelilingi usus besar (Pearce, 2017).

Menurut Kinanoro & Maryana (2016), usus halus (intestinum) merupakan

tempat penyerapan sari makanan dan tempat terjadinya proses pencernaan yang

paling panjang. Usus halus terdiri dari usus dua belas jari (duodenum), usus

kosong (jejunum), dan usus penyerap (ileum):

1) Usus dua belas jari (duodenum) adalah bagian pertama usus halus yang

panjangnya 25 cm, berbentuk seperti kuda, dan kepalanya mengelilingi

kepala pancreas, dimana terjadi proses pemecahan lemak dan karbohidrat.

Saluran empedu dan saluran pancreas masuk kedalam duodenum pada suatu

lubang yang disebut ampula hepatopankreatika, atau ampula veteri, sepuluh

sentimeter dari pylorus (Pearce, 2017).

2) Usus kosong (jejunum/yeyunum), menempati dua perlima sebelah atas dari

usus halus yang selebihnya (Pearce, 2017).

3) Usus penyerap (ileum), menempati tiga perlima akhir (Pearce, 2017).


8

Tabel 2.1 Kelenjar Usus Halus


Nama Sifat Kedudukan Fungsi
Krip Kelenjar tubuler Diseluruh selaput Barangkali
Lieberkuhn sederhana lendir usus halus mengeluarkan
getah usus, sukus
enterikus
Kelenjar Kelenjar Dilapisi submukosa Sekresi zat
Brunner bertandan kecil usus, terutama di pelindung alkali
duodenum untuk duodenum
Kelenjar Kelompok folikel Diseluruh selaput Perlindungan usus
Soliter atas nodul lendir mukosa usus terhadap serangan
jaringan limfe halus bakteri
Kelenjar Kelompok Dipermukaan
Peyer kelenjar soliter mukosa ileum
(Pearce, 2017)

Menurut Kinanoro & Maryana (2016), Usus dua belas jari bermuara pada

saluran getah pancreas dan saluran empedu. Pancreas menghasilkan getah

pancreas yang mengandung enzim-enzim sebagai berikut :

1) Amylopsin (amylase pancreas), yaitu enzim yang mengubah zat tepung

(amilum) menjadi gula lebih sederhana (maltosa).

2) Steapsin (lipase pancreas) atau enzim yang mengubah lemak menjadi asam

lemak dan gliserol.

3) Tripsinogen. Jika belum aktif, maka akan diaktifkan menjadi tripsin, yaitu

enzim yang mengubah protein dan pepton menjadi dipeptida dan asam

amino yang siap diserap oleh usus halus.

Empedu dihasilkan oleh hati dan ditampung didalam kantung empedu.

Selanjutnya, empedu dialirkan melalui saluran empedu ke usus dua belas jari.
9

Empedu mengandung garam-garam empedu dan zat warna empedu (bilirubin)

(Kirnanoro & Maryana, 2016).

Garam empedu berfungsi mengemulsi lemak, sedangkan zat warna empedu

(berwarna kecoklatan) dihasilkan dengan cara merombak sel darah merah yang

telah menua di hepar. Zat warna empedu memberikan ciri warna cokelat pada

feses. Selain enzim dari pancreas, dinding usus halus juga menghasilkan getah

usus halus yang mengandung enzim-enzim sebagai berikut :

1) Maltase, berfungsi mengubah maltose menjadi glukosa.

2) Laktase, berfungsi mengubah laktosa menjadi glukosa dan galaktoosa.

3) Sukrase, berfungsi mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.

4) Tripsin, berfungsi mengubah pepton menjadi asam amino.

5) Enterokinase, berfungsi mengaktifkan tripsinogen menjadi tripsin.

Di sisi lain, garam empedu yang telah masuk ke darah menuju ke hati untuk

dibuat empedu kembali. Vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E, K)

diserap oleh usus halus dan diangkat melalui pembuluh getah bening. Selanjutnya,

vitamin-vitamin tersebut masuk ke sistem peredaran darah. Umumnya sari

makanan diserap saat mencapai akhir usus halus. Sisa makanan yang tidak

diserap, secara perlahan-lahan bergerak menuju usus besar (Kirnanoro &

Maryana, 2016). Fungsi utama usus halus menurut Devi (2017) adalah:

1) Menerima zat-zat makanan yang mudah dicerna untuk diserap melalui

kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe.

2) Menyerap protein dalam bentuk asam amino.

3) Menyerap karbohidrat dalam bentuk emulsi lemak.


10

2.1.2.2 Anatomi Usus Besar

Usus besar merupakan saluran panjang dengan permukaan dinding yang

menngalami penyempitan dan penonjolan serta merupakan terusan dari usus

halus. Panjang usus besar ± 1½ m dengan lebar 5-6 cm (Devi, 2017).

Gambar 2.1 Anatomi Usus Besar


(Sherwood, 2015)

Makanan yang tidak dicerna di usus halus, misalnya selulosa, bersama

dengan lendir akan menuju ke usus besar menjadi feses. Didalam usus besar

terdapat bakteri Escherichia Coli. Bakteri ini membantu dalam proses

pembusukan sisa makanan menjadi feses. Selain membusukkan sisa makanan,

bakteri Escherichia Coli juga menghasilkan vitamin K. Vitamin K berperan

penting dalam proses pembekuan darah. Sisa makanan dalam usus besar yang

masuk banyak mengandung air (Kirnanoro & Maryana, 2016).

Tubuh sendiri memerlukan air, oleh karena itu sebagian besar air diserap

kembali ke usus besar. Penyerapan kembali air merupakan fungsi penting dari

usus besar. Usus besar terdiri dari bagian yang naik yaitu mulai dari usus buntu

(apendiks), bagian mendatar, bagian menurun, dan berakhir pada anus. Perjalanan

makanan sampai di usus besar dapat mencapai antara empat sampai lima jam.
11

Namun, di usus besar makanan dapat disimpan sampai 24 jam Didalam usus

besar, feses didorong secara teratur dan lambat oleh pergerakan peristalsis menuju

ke rectum (poros usus). Gerakan peristalsis ini dikendalikan oleh otot polos (otot

tidak sadar) (Kirnanoro & Maryana, 2016).

Menurut Devi (2017), bagian-bagian usus besar, yaitu:

1) Caecum/sekum merupakan pertemuan antara usus halus dan usus besar.

Pada bagian ujung sekum terdapat tonjolan kecil yang disebut umbai cacing

(apendiks) dengan panjang 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritoneum

mudah bergerak walaupun tidak mempunyai mesentenium dan dapat diraba

melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup. Fungsi peritoneum

adalah :

(1) Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.

(2) Membentuk pembatas yang halus antara organ dalam rongga

peritoneum.

(3) Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap

posterior abdomen.

(4) Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah.

2) Usus Buntu (apendiks)

Usus buntu (Bahasa Latin: Caecus yang berarti buta) dalam istilah anatomi

adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon

menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan mamalia, burung dan beberapa

jenis reptile. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan

karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya

digantikan oleh umbai cacing.


12

Bisa juga diartikan sebagai bagian dari usus besar yang muncul seperti

corong dari akhir sekum mempunyai pintu keluar yang sempit tapi masih

memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi usus.

Apendiks tergantung menyilang pada linea terminalis masuk ke dalam

rongga pelvis minor terletak horizontal di belakang sekum. Sebagai suatu organ

pertahanan terhadap infeksi kadang apendiks bereaksi secara hebat dan hiperaktif

yang bisa menimbulkan perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen.

3) Colon/kolon/usus tebal merupakan bagian yang lebih tebal dan menyempit

dengan banyak tonjolan pada bagian permukaannya.

(1) Kolon Asendens. Panjang kolon asenden yaitu 13 cm, terletak

dibawah abdomen sebelah kanan membujur ke atas dan ileum ke

bawah hati. Dibawah hati membengkok ke kiri, lengkungan ini

disebut Fleksura Hepatika, dilanjutkan sebagai kolon transversum.

(2) Kolon Transversum. Panjang kolon transversum yaitu 38 cm,

membujur dan kolon asendens sampai ke kolon desenden berada di

bawah abdomen, sebelah kanan terdapat Fleksura Hepatika dan

sebelah kiri terdapat Fleksura Lienalis.

(3) Kolon Desendens. Panjangnya ± 25 cm, terletak di bawah abdomen

bagian kiri membujur dari atas ke bawah dan Fleksura Lienalis

sampai ke depan ileum kiri, bersambung dengan kolon sigmoid.

(4) Kolon Sigmoid. Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak

miring, dalam rongga pelvis sebelah kiri bentuknya menyerupai huruf

S. Ujung bawahnya berhubungan dengan rectum.


13

4) Rectum/rektum/poros usus merupakan bagian terakhir dari usus besar.

Terletak dibawah kolon sigmoid uang menghubungkan intestinum mayor

dengan anus, terletak dalam rongga pelvis didepan os sacrum dan os

koksigis.

Proses ini terjadi di colon adalah adanya pencernaan secara biologis dengan

bantuan bakteri Escherichia coli yang bertugas membusukkan makanan,

membentuk vitamin K dan menghambat pertumbuhan bakteri yang bersifat

pathogen. Sisa makanan yang telah dibusukkan akan dibentuk menjadi feces dan

akan masuk dalam rectum. Proses yang terjadi di rectum adalah pergerakan feces

secara peristaltik yang dikendalikan oleh otot polos dan akhirnya akan menuju

anus (lubang pelepasan akhir). Proses perjalanan makanan untuk sampa di usus

besar membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam. Usus besar dapat menyimpan

makanan dalam kurun waktu 24 jam (Devi, 2017).

2.1.2.3 Anatomi dan Fisiologi Apendisitis

1) Anatomi Apendisitis

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (4

inci), lebar 0,3-0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat dibawah katup

ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan

posterior. Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney yaitu daerah 1/3

tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dengan

pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Namun

demikian, pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan

menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya

insidensi apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
14

intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak, dan ruang

geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungannya

(Sjamsuhidayat, 2013).

Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal yaitu dibelakang

sekum, dibelakang kolon asendens, atau tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis

apendisitis ditentukan oleh letak apendiks. Persarafan parasimpatis pada apendiks

berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan

arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis

X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula disekitar umbilicus.

Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri

tanpa kolateral. Jika arteri tersebut, misalnya thrombosit pada infeksi, apendiks

akan mengalami gangrene (Sjamsuhidayat, 2013).

2) Fisiologi Apendisitis

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam

apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Hambatan aliran lendir di

muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Diperkirakan

apendiks mempunyai peranan dalam mekanisme immunologic. Immunoglobulin

secret yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang

terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah Immunoglobulin A

(IgA) dimana IgA sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi. Namun

demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena

jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya

disaluran cerna dan diseluruh tubuh. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan
15

diri secara teratur kedalam sekum, karena pengosongannya tidak efektif dan

lumennya cenderung kecil, maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan

terutama rentan terhadap infeksi (Sjamsuhidayat, 2005 dalam Wijaya & Putri,

2013).

2.1.3 Klasifikasi

Menurut Nurarif & Kusuma (2015), klasifikasi apendisitis terbagi menjadi 3

yaitu, apendisitis akut, apendisitis rekurens, dan apendisitis kronik:

1) Apendisitis akut

Apendisitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteria, dan

faktor pencetusnya disebabkan oleh sumbatan lumen apendiks. Selain itu,

hyperplasia jaringan limfa, fikalit (tinja/batu), tumor apendiks, dan cacing askaris

yang dapat menyebabkan sumbatan dan erosi mukosa apendiks karena parasite

(E.histolytica).

2) Apendisitis rekurens

Apendisitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang diperut kanan

bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila

serangan yang apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis

tidak pernah kembali kebentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut.

3) Apendisitis kronik

Apendisitis kronik memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah

lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopis dan mikroskopis

(fibrosis menyeluruh di dinding apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks,

adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltrasi sel inflamasi

kronik), dan keluhan menghilang setelah apendiktomi.


16

Sedangkan menurut Sjamsuhidayat R & Jong W (2011), apendisitis

diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:

1) Apendisitis akut

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang

mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak

disertai rangsangan peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut adalah nyeri samar-

samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral didaerah epigastrium disekitar

umbilicus. Keluhan ini sering didasari mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu

makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc Burney.

Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan

nyeri somatik setempat.

Menurut Rukmono (2011), apendisitis akut dibagi atas apendisitis akut

sederhana, apendisitis akut purulenta, apendisitis akut gangrenosa, apendisitis

infiltrate, apendisitis abses:

(1) Apendisitis Akut Sederhana

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan submukosa disebabkan

obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks dan terjadi

peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa

apendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di

daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan.

(2) Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan

terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis.

Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme


17

yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi

serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.

Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan didalam lumen

terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal

seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri

pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh

perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.

(3) Apendisitis Akut Gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai

terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda

supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks

berwarna ungu, hijau 10 keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut

gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang

purulent.

(4) Apendisitis Infiltrat

Apendisitis infiltrate adalah proses radang apendiks yang penyebarannya

dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga

membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.

(5) Apendisitis Abses

Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),

biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan

pelvikal.
18

(6) Apendisitis Perforasi

Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang

menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis

umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan

nekrotik.

2) Apendisitis kronik

Diagnosa apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya:

riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks

secara makroskopis dan mikroskopis. Kriteria mikroskopis apendisitis kronik

adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen

apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan adanya sel

inflamasi kronik. Insiden apendiks kronik antara 1-5% (Amalina, Suchitra, &

Saputra, 2018).

Apendisitis kronik dibagi atas: apendisitis kronik fokalis atau parsial,

setelah sembuh akan timbul struktur lokal. Apendisitis kronik obliteritiva yaitu

apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua. Apendisitis kronik kadang-

kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi

akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat (Rukmono,

2011).

2.1.4 Etiologi

Apendisitis, penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah

kanan dari rongga abdomen, adalah penyebab paling umum untuk bedah abdomen

darurat. Kira-kira 7% dari populasi akan mengalami apendisitis pada waktu yang

bersamaan dalam hidup mereka; pria lebih sering dipengaruhi daripada wanita,
19

dan remaja lebih sering pada orang dewasa. Meskipun ini dapat terjadi pada usia

berapapun, apendisitis paling sering terjadi antara usia 10 dan 30 tahun.

Apendiks merupakan organ yang belum diketahui fungsinya tetapi

menghasilkan lendir 1-2 ml per hari yang normalnya dicurahkan kedalam lumen

dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir dimuara apendiks

tampaknya berperan dalam pathogenesis apendiks (Wim de Jong et al, 2005

dalam Nurarif & Kusuma, 2015).

2.1.5 Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, struktur karena fibrosis akibat

peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus

yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut

semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang

meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,

diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut

lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus yang terus

berlanjut dan tekanan akan terus meningkat, hal ini akan menyebabkan obstruksi

vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding apendiks.

Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga

menimbulkan nyeri abdomen didaerah kanan bawah, keadaan ini disebut dengan

apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi

infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene, stadium ini disebut dengan

apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah akan terjadi
20

apendisitis perforasi. Bila semua proses ini berjalan lambat, omentum dan usus

yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal

yang disebut infiltrate apendikularis. Pada anak-anak, kerena omentum lebih

pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis, keadaan

tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga

memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah

terjadi karena telah ada gangguan pada pembuluh darah (Wijaya & Putri, 2013).

2.1.6 Epidemiologi

Angka kejadian apendisitis 10 kali lebih rendah di Negara berkembang

seperti benua Afrika dan terjadi pada rentang usia antara 15-19 tahun dengan

angka kejadian 48,1/10000 populasi per tahun dan angka ini menurun sekitar

5/10000 populasi per tahun hingga mencapai usia 45 tahun. Laki-laki lebih

berisko terkena apendisitis dibanding wanita dengan rasio 1,4:1. Risiko terjadi

angka kekambuhan pada laki-laki 8,6% dan perempuan 6,7% (Sarosi, 2016).

2.1.7 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis menurut Baughman & Hackley (2016), yaitu:

1) Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual

dan sering kali muntah.

2) Pada titik Mc Burney (terletak dipertengahan antara umbilicus dan spina

anterior dari ilium) nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku

dari bagian bawah otot rektus kanan.

3) Nyeri alih mungkin saja ada, letak apendiks mengakibatkan sejumlah nyeri

tekan, spasme otot, dan konstipasi atau diare kambuhan.


21

4) Tanda rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah,

yang menyebabkan nyeri pada kuadran kiri bawah).

5) Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih melebar; terjadi

distensi abdomen akibat illeus paralitik dan kondisi memburuk.

Tanda awal nyeri mulai di epigastrium region umbilicus disertai mual dan

anoreksia (Wijaya & Putri, 2013).

1) Nyeri berpindah ke kanan bawah (yang akan menetap dan diperberat bila

berjalan atau batuk), menunjukkan tanda rangsangan peritoneum local

dititik Mc Burney: nyeri tekan, nyeri lepas defans muskuler dan nyeri

rangsangan peritoneum tidak langsung.

2) Nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah ditekan (Rovsing

Sign) dan nyeri kanan bawah bila tekanan disebelah kiri dilepas (Blumberg).

3) Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti napas dalam, berjalan,

batuk, dan mengedan.

4) Nafsu makan menurun, biasanya terdapat konstipasi, tapi kadang-kadang

terjadi diare.

5) Demamnya yang tidak terlalu tinggi.

Gejala awal apendisitis yang khas adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di

daerah epigastrium disekitar umbilicus atau periumbilikus. Keluhan biasanya

disertai dengan rasa mual, muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun.

Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke

titik Mc Burney. Dititik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga

merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya

nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa


22

memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa

mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan

demam derajat rendah sekitar 37,5 - 38,5 derajat celcius. Kemungkinan

apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan skor Alvaradz (Nurarif &

Kusuma, 2015).

Tabel 2.2 Alvarado Score


The Modified Alvarado Score Skor
Perpindahan nyeri dari ulu hati ke perut 1
Gejala
kanan bawah.
Mual-Muntah. 1
Anoreksia. 1
Tanda Nyeri di perut kanan bawah. 2
Nyeri lepas 1
Demam diatas 37,5°C 1
Pemeriksaan Leukositosis 2
Lab Hitung jenis leukosit shift to the left 1
Total 10
Interprestasi dari Modified Alvarado Score:
1 - 4: sangat mungkin bukan apendisitis akut.
5 - 7: sangat mungkin apendisitis akut.
8 - 10: pasti apendisitis akut.
Sumber: Shwartz’s Principles of Surgery

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi menurut Deden & Tutik (2010), yaitu:

2.1.8.1 Perforasi apendisitis: Tanda-tanda perforasi yaitu meningkatnya nyeri,

meningkatnya spasme dinding perut kanan bawah, ileus, demam, malaise,

dan leukositisis.

2.1.8.2 Peritonitis Abses: Bila terbentuk abses apendiks maka akan teraba massa

pada kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung pada rectum


23

atau vagina. Jika terjadi peritonitis umum tindakan spesifik yang dilakukan

adalah operasi untuk menutup asal perforasi tersebut.

2.1.8.3 Dehidrasi.

2.1.8.4 Sepsis.

2.1.8.5 Elektrolit darah tidak seimbang.

2.1.8.6 Pneumonia.

2.1.9 Penatalaksanaan

Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendiktomi.

Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi. Teknik

laparoskopis, apendiktomi laparoskopik sudah terbukti menghasilkan nyeri pasca

bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat dan angka kejadian infeksi

luka yang lebih rendah. Akan tetapi, terdapat peningkatan kejadian abses intra

abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi itu dikerjakan untuk

diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen, terutama pada wanita

(Bimbaum BA) (Nurarif & Kusuma, 2015).

Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan yang paling tepat adalah satu-

satunya pilihan terbaik adalah apendiktomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi,

biasa tidak perlu diberikan antibiotic kecuali pada apendisitis gangrenosa atau

apendisitis perfoata. Penundaan tindakan bedah sambil memberikan antibiotic

dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Apendiktomi bisa dilakukan secara

terbuka, insisi Mc Burney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita

yang didiagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu.

Pemeriksaan laboratorium dan USG dapat dilakukan bila dalam observasi masih

terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskopi, tindakan laparoskopi diagnostic


24

pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau

tidak.

Penatalaksanaan apendisitis menurut Sjamsuhidayat (2013), terbagi menjadi

tiga, yaitu sebelum operasi, operasi, dan pasca operasi:

2.1.9.1 Sebelum Operasi

1) Observasi

Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis

sering kali belum jelas, dalam keadaan observasi ketat perlu dilakukan. Pasien

diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan

bila dicurigai adanya apendisitis ataupun peritonitis lainnya. Pemeriksaan

abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang

secara periodik, foto abdomen dan thoraks tegak dilakukan untuk mencari

kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan

dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya

keluhan.

2) Antibiotik

Apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotic,

kecuali apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi. Penundaan tindakan

bedah sambil memberikan antibiotic dapat mengakibatkan abses perforasi.

2.1.9.2 Operasi (Apendiktomi)

Apendiks akan dibuang jika mengalami perforasi bebas, maka abdomen

dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika. Abses apendiks diobati dengan

antibiotika IV, massanya mungkin mengecil atau abses mungkin memerlukan


25

drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses

dilakukan operasi selektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.

2.1.9.3 Pasca Operasi

Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya

komplikasi pasca operasi, yaitu: syok, perdarahan, thrombosis vena prufunda,

retensi urine, infeksi luka operasi, sepsis, embolisme pulomal, komplikasi

gastrointestinal, hipertermia, atau gangguan pernapasan, bila pasien sudah sadar

angkat sonde lambung untuk mencegah aspirasi cairan lambung, dan baringkan

dalam posisi fowler, pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi

gangguan. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak selama 2

× 30 menit, hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk diluar kamar, dan hari

ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang (Mansjoer, 2012).

2.1.10 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Nurarif & Kusuma (2015), pemeriksaan penunjang apendisitis

meliputi:

2.1.10.1 Pemeriksaan fisik

1) Inspeksi: akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut

dimana dinding perut tampak mengencang (distensi).

2) Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila

tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana

merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.

3) Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat/tungkai di angkat

tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (psoas sign).


26

4) Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila

pemeriksaan dubur dan vagina menimbulkan rasa nyeri juga.

5) Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih

menunjang lagi adanya radang usus buntu.

6) Pada apendiks terletak pada retro sekal maka uji Psoas akan positif dan

tanda perangsangan peritoneum tidak begitu jelas, sedangkan bila apendiks

terletak di rongga pelvis maka Obturator sign akan positif dan tanda

perangsangan peritoneum akan lebih menonjol.

2.1.10.2 Pemeriksaan laboratorium

Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000-18.000/mm3.

Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah

mengalami perforasi (pecah).

2.1.10.3 Pemeriksaan radiologi

1) Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit (jarang membantu).

2) USG.

3) CT Scan.

4) Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG abdomen dan

apendikogram.

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

Menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler (2014) pengkajian mencakup

data yang dikumpulkan melalui wawancara dari riwayat kesehatan, pengkajian

fisik, pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, serta review catatan sebelumnya.

Adapun data dasar pengkajian apendiktomi pada klien praoperasi, yaitu:


27

2.2.1.1 Aktivitas/istirahat

Gejala: Malaise.

2.2.1.2 Sirkulasi

Tanda: Takikardia.

2.2.1.3 Eliminasi

Gejala: Konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang).

Tanda: Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, dan

penurunan atau tidak ada bising usus.

2.2.1.4 Cairan/makanan

Gejala: Anoreksia, mual/muntah.

2.2.1.5 Kenyamanan

Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat

berat dan terlokalisasi pada titik Mc Burney (setengah jarak antara

umbilicus dan tulang ileum kanan), meningkat karena berjalan,

bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba diduga

perforasi atau infark pada apendiks).

Tanda: Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau terlentang dengan

lutuk ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah

karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak, nyeri lepas

pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal.

2.2.1.6 Keamanan

Tanda: Demam (biasanya rendah).

2.2.1.7 Pernapasan

Tanda: Takipnea, pernapasan dangkal.


28

2.2.1.8 Penyuluhan/pembelajaran

Gejala: Riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan

nyeri abdomen contoh pielitis akut, batu uretra,

salpingitis akut, ileitis regional.

Pertimbangan: DRG menunjukkan rerata lama dirawat: 4,2 hari.

Rencana Pemulangan: Membutuhkan bantuan sedikit dalam transportasi,

tugas pemeliharaan rumah.

2.2.1.9 Pemeriksaan diagnostic

SDP: Leukositosis diatas 12.000/mm3, neutrofil meningkat

sampai 75%.

Urinalisis: Normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada.

Foto abdomen: dapat menyatakan adanya pengerasan material pada

apendiks (fekalit), ileus terlokalisir.


29

Bakteri, makanan,
Hipertermia
benda asing (masuk
kedalam tubuh)
Kenaikan suhu
Ansietas Obstruksi tubuh
lumen apendiks

Gangguan pada
Kurang terpajannya
Infeksi, pusat control suhu
informasi
inflamasi lumen terhadap inflamasi

Keterbatasan gerak
Peradagan pada
APENDISITIS
jaringan

Tindakan invasive Lumen pada


Peristaltik
usus menurun (apendiktomi/ apendiks pecah
laparatomi)
Peradangan
mengenai peritonium
Distensi abdomen
Pintu masuk
kuman
Aliran arteri
Tekanan intra
terganggu
luminal lebih dari Terputusnya
tekanan vena Risiko kontuinitas jaringan
infeksi Infark dinding
apendiks
Mual/muntah
Gangguan
integritas
jaringan Ganggren
Risiko
hipovolemia Nausea
Dinding apendiks
Merangsang mediator rapuh
Anoreksia (prostaglandin,
histamine)
Perforasi
Intake makanan
tidak adekuat Medulasi, persepsi
Peradangan
Tranduksi, transmisi mengenai peritonium
Disfungsi motilitas
gastrointestinal
Nyeri akut Respon local
terhadap inflamasi

Bagan 2.1 Penyimpangan KDM dengan kasus Apendisitis


(Nurarif & Kusuma, 2015 dalam SDKI, 2017)

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan, dan

mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respons terhadap masalah aktual dan

risiko tinggi. Label diagnosa keperawatan memberikan format untuk

mengekspresikan bagian identifikasi masalah dari proses keperawatan (Doenges,


30

Moorhouse, & Geissler, 2014). Diagnosis keperawatan merupakan penilaian

klinis terhadap pengalaman atau respon individu, keluarga, atau komunitas pada

masalah kesehatan, pada risiko masalah kesehatan atau pada proses kehidupan

dalam menentukan asuhan keperawatan yang sesuai untuk membantu klien

mencapai kesehatan yang optimal (SDKI, 2017). Diagnosa keperawatan adalah

suatu pernyataan yang menggambarkan respon manusia (kesehatan sehat atau

perubahan pola interaksi aktual/potensial) dari individu atau kelompok secara

legal dalam mengidentifikasi dan dapat memberikan intervensi secara pasti untuk

menjaga status kesehatan atau untuk mengurangi, menyingkirkan, atau mencegah

perubahan (Budiono & Pertami, 2016).

Penulis mengambil dari beberapa sumber buku terkait dengan penegakkan

diagnosis yaitu diagnosis menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler (2014),

namun pada sistem penulisan menggunakan sumber dari SDKI (2017), diagnosis

sebagai berikut:

2.2.2.1 Diagnosa Keperawatan Pre Operasi

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis, distensi jaringan

usus oleh inflamasi.

2) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (inflamasi

gastrointestinal).

3) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.

2.2.2.2 Diagnosa Keperawatan Post Operasi

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi:

apendiktomi).
31

2) Risiko hipovolemia berhubungan dengan kekurangan intake cairan,

pembatasan pasca operasi (puasa), status hipermetabolik (demam dan proses

penyembuhan), inflamasi peritoneum dengan cairan asing.

3) Disfungsi motilitas gastrointestinal berhubungan dengan pembedahan

abdomen atau usus.

4) Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan terputusnya jaringan

pasca insisi, perubahan pigmentasi, kelembaban.

5) Risiko infeksi ditandai dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh (prosedur

invasive), perforasi/rupture pada apendiks, peritonitis, dan pembentukan

abses.

2.2.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang

diharapkan dari pasien dan tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.

Intervensi dipilih untuk membantu pasien dalam mencapai hasil yang diharapkan

pasien dan tujuan persiapan pemulangan. Intervensi harus spesifik dan jelas

dengan menggunakan kata kerja aksi. Intervensi keperawatan ada beberapa

kategori yaitu mandiri (dilakukan oleh perawat) dan kolaboratif (dilakukan

beberapa petugas kesehatan seperti dokter dan perawat) (Doenges, Moorhouse, &

Geissler, 2014).

2.2.3.1 Intervensi Keperawatan Pre Operasi

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis, distensi jaringan

usus oleh inflamasi.

Kemungkinan dibuktikan oleh:

(1) Laporan nyeri.


32

(2) Wajah mengkerut, otot tegang, perilaku distraksi.

(3) Respon otomatis.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

(1) Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.

(2) Tampak rileks, dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.

Interensi:

(1) Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10) dan laporkan

perubahan nyeri dengan tepat.

Rasional: Pengkajian nyeri sangat berguna dalam pengawasan obat,

kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan

terjadinya abses/peritonitis, dan memerlukan upaya evaluasi medis dan intervensi.

(2) Pertahankan istirahat dengan posisi semi powler.

Rasional: Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah

atau pelvis, serta dapat menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan

posisi telentang.

(3) Anjurkan klien ambulasi dini.

Rasional: Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh: merangsang

peristaltic dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan pada abdomen.

(4) Berikan aktivitas hiburan.

Rasional: Berguna memberikan fokus perhatian kembali, meningkatkan

relaksasi, dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

(5) Lakukan puasa/penghisapan NGT pada awal.

Rasional: Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltic usus dini dan

iritasi gaster/muntah.
33

(6) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian analgesic sesuai

indikasi.

Rasional: Menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama dengan intervensi

terapi lain contoh: ambulasi, batuk.

(7) Berikan kantong es pada abdomen.

Rasional: Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa

ujung saraf. Catatan: jangan lakukan kompres panas karena dapat menyebabkan

kongesti jaringan.

2) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (inflamasi

gastrointestinal).

Kemunginan dibuktikan oleh:

(1) Peningkatan suhu tubuh lebih besar dari nilai normal.

(2) Kulit kemerahan, hangat waktu disentuh.

(3) Pernapasan mengalami peningkatan, takikardia.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

(1) Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan.

(2) Tidak mengalami komplikasi.

Intervensi:

(1) Pantau suhu klien (derajat dan pola); perhatikan apabila

menggigil/diaphoresis.

Rasional: Suhu 38,9-41,1°C menunjukkan proses penyakit infeksius akut.

Menggigil sering mendahului puncak suhu, dengan catatan: penggunaa antipiretik

dapat mengubah pola demam dan membatasi sampai diagnosis dibuat bila demam

tetap lebih besar dari 38,9°C.


34

(2) Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur (sesuai

indikasi).

Rasional: Suhu ruangan atau jumlah selimut harus diubah untuk

mempertahankan suhu dalam batas normal.

(3) Berikan kompres hangat; hindari penggunaan alcohol.

Rasional: Membantu mengurangi demam, dengan catatan: penggunaan air

es/alcohol mungkin dapat menyebabkan kedinginan, peningkatan suhu secara

aktual, serta alcohol dapat mengeringkan kulit.

(4) Berikan antipiretik, misalnya aspirin (ASA), asetaminofen (Tylenol).

Rasional: Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada

hipotalamus, meskipun demam mungkin dapat berguna dalam membatasi

pertumbuhan organisme dan meningkatkan autodestruksi dari sel-sel terinfeksi.

(5) Berikan selimut pendingin.

Rasional: Untuk mengurangi demam pada umumnya lebih besar dari 39,5-

40°C pada waktu terjadi kerusakan/gangguan pada otak.

3) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.

Kemungkinan dibuktikan oleh:

(1) Peningkatan rasa tegang/tidak ada harapan.

(2) Ketakutan, khawatir, ragu-ragu.

(3) Perasaan mau pingsan.

(4) Rangsangan simpatis, gelisah, fokus pada diri sendiri.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

(1) Menyatakan kesadaran terhadap perasaan dan cara yang sehat untuk

menghadapi masalah.
35

(2) Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.

(3) Tampak rileks.

Intervensi:

(1) Evaluasi tingkat ansietas, catat respons verbal dan non verbal klien. Dorong

ekspresi bebas akan emosi.

Rasional: Ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, meningkatkan

perasaan sakit, penting pada prosedur diagnostik dan kemungkinan pembedahan.

(2) Berikan informasi tentang proses penyakit dan antisipasi tindakan.

Rasional: Mengetahui apa yang diharapkan dapat menurunkan ansietas.

(3) Jadwalkan istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur.

Rasional: Membatasi kelemahan, menghemat energy serta dapat

meningkatkan kemampuan koping.

2.2.3.2 Intervensi Keperawatan Post Operasi

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi:

apendiktomi).

Kemungkinan dibuktikan oleh:

(1) Laporan nyeri.

(2) Wajah mengkerut, otot tegang, perilaku distraksi.

(3) Respon otomatis.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

(1) Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.

(2) Tampak rileks, dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.


36

Interensi:

(1) Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10) dan laporkan

perubahan nyeri dengan tepat.

Rasional: Pengkajian nyeri sangat berguna dalam pengawasan obat,

kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan

terjadinya abses/peritonitis, dan memerlukan upaya evaluasi medis dan intervensi.

(2) Pertahankan istirahat dengan posisi semi powler.

Rasional: Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah

atau pelvis, serta dapat menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan

posisi telentang.

(3) Anjurkan klien ambulasi dini.

Rasional: Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh: merangsang

peristaltic dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan pada abdomen.

(4) Berikan aktivitas hiburan.

Rasional: Berguna memberikan fokus perhatian kembali, meningkatkan

relaksasi, dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

(5) Lakukan puasa/penghisapan NGT pada awal.

Rasional: Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltic usus dini dan

iritasi gaster/muntah.

(6) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian analgesic sesuai

indikasi.

Rasional: Menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama dengan intervensi

terapi lain contoh: ambulasi, batuk.


37

(7) Berikan kantong es pada abdomen.

Rasional: Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa

ujung saraf. Catatan: jangan lakukan kompres panas karena dapat menyebabkan

kongesti jaringan.

2) Risiko hipovolemia berhubungan dengan kekurangan intake cairan,

pembatasan pasca operasi (puasa), status hipermetabolik (demam dan proses

penyembuhan), inflamasi peritoneum dengan cairan asing.

Kemungkinan dibuktikan oleh:

(1) Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala membuat diagnosis

aktual.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

(1) Mendemonstrasikan keseimbangan cairan dibuktikan oleh kelembaban

membrane mukosa, turgor kulit baik, tanda-tanda vital stabil, dan secara

individual haluaran urine adekuat.

Interensi:

(1) Observasi TD dan nadi.

Rasional: Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume

intravaskuler.

(2) Lihat membrane mukosa; kaji turgor kulit dan pengisian kapiler.

Rasional: Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.

(3) Awasi masukan dan haluaran; catat warna urine/konsentrasi, berat jenis.

Rasional: Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis

diduga dehidrasi/kebutuhan peningkatan cairan.


38

(4) Auskultasi bising usus. Catat kelancaran flatus, gerakan usus.

Rasional: Indikator kembalinya peristaltic, kesiapan untuk pemasukan per

oral.

(5) Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan per oral dimulai,

dan lanjutkan dengan diet sesuai toleransi.

Rasional: Menurunkan iritasi gaster/muntah untuk meminimalkan

kehilangan cairan.

(6) Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada perlindungan

bibir.

Rasional: Dehidrasi mengakibatkan bibir dan mulut kering dan pecah-pecah.

(7) Pertahankan pengisapan gaster/usus.

Rasional: Selang NGT dimasukkan pada praoperasi dan dipertahankan pada

fase segera pasca operasi untuk dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus,

serta mecegah muntah.

(8) Berikan cairan IV dan elektrolit.

Rasional: Peritonium bereaksi terhadap iritasi/infeksi dengan menghasilkan

sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah,

mengakibatkan hipovolemia, dehidrasi dan dapat terjadi ketidakseimbangan

elektrolit.

3) Disfungsi motilitas gastrointestinal berhubungan dengan pembedahan

abdomen atau usus.

Kemungkinan dibuktikan oleh:

(1) Penurunan berat badan; penurunan lemak subkutan/massa otot; tonus otot

buruk.
39

(2) Bunyi usus hiperaktif; steatorea.

(3) Konjungtiva dan membrane mukosa pucat.

(4) Menolak untuk makan.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

(1) Menunjukkan berat badan stabil atau peningkatan berat badan sesuai sasaran

dengan nilai laboratorium normal dan tidak ada tanda malnutrisi.

Interensi:

(1) Timabang berat badan setiap hari.

Rasional: Memberikan informasi tentang kebutuhan diet/keefektifan terapi.

(2) Anjurkan istirahat sebelum makan.

Rasional: Menenangkan peristaltic dan meningkatkan energy untuk makan.

(3) Berikan kebersihan oral.

Rasional: Mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makanan.

(4) Sediakan makanan dalam ventilasi baik, lingkungan menyenangkan, dengan

situasi tidak terburu-buru.

Rasional: Lingkungan menyenangkan dapat menurunkan stress dan lebih

kondusif untuk makan.

(5) Batasi makanan yang dapat menyebabkan kram abdomen, flatus (misalnya

produk susu).

Rasional: Mencegah serangan akut/eksaserbasi gejala.

(6) Pertahankan puasa sesuai indikasi.

Rasional: Istirahatkan usus menurunkan peristaltic dan diare dimana

menyebabkan malabsopsi/kehilangan nutrient.


40

(7) Mulai/tambahkan diet sesuai indikasi, misalnya cairan jernih maju menjadi

makanan yang dihancurkan, rendah serat sisa, kemudian protein tinggi,

tinggi kalori, dan rendah serat sesuai indikasi.

Rasional: Memungkinkan saluran usus untuk mematikan kembali proses

pencernaan. Protein sangat penting untuk proses penyembuhan integritas jaringan,

rendah bulk menurunkan respon peristaltic terhadap makanan.

(8) Berikan Vitamin B12 (Crystimin, Rubisol).

Rasional: Malabsorpsi B12 akibat kehilangan nyata dari fungsi ileum.

Penggantian mengatasi depresi sumsum tulang karena proses inflamasi lama,

meningkatkan produksi sel darah merah (SDM)/memperbaiki eritrosit.

(9) Berikan asam folat (Folvite).

Rasional: kekurangan folat umumnya terjadi pada penyakit Crohn

sehubungan dengan penurunan masukan/absorpsi, efek terapi obat (Azulfidine).

(10) Berikan nutrisi parenteral total, terapi IV sesuai indikasi.

Rasional: Program ini mengistirahatkan saluran gastrointestinal (GI)

sementara memberikan nutrisi penting.

4) Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan terputusnya jaringan

pasca insisi, perubahan pigmentasi, kelembaban.

Kemungkinan dibuktikan oleh:

(1) Kerusakan kulit/jaringan, adanya insisi, dan jahitan drain.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

(1) Meningkatkan penyembukan luka tepat waktu dan bebas tanda infeksi
41

Interensi:

(1) Observasi luka, catat karakteristik drainase.

Rasional: Perdarahan pasca operasi paling sering terjadi selama 48 jam

pertama, dimana infeksi dapat terjadi kapan saja tergantung pada tipe penutupan

luka (misalnya penyembuhan pertama atau kedua), penyembuhan sempurna

memerlukan waktu 6-8 bulan.

(2) Ganti balutan sesuai kebutuhan, gunakan teknik aseptic.

Rasional: Sejumlah besar drainase serosa menurut penggantian dengan

sering untuk menurunkan iritasi kulit dan jaringan dan potensial infeksi.

(3) Dorong posisi miring dengan kepala lebih tinggi. Hindari duduk terlalu

lama.

Rasional: Meningkatkan drainase dari luka perianal/drain menurunkan

risiko pengumpalan. Duduk lama dapat meningkatkan tekanan perianal,

menurunkan sirkulasi ke luka, dan dapat memperlambat penyembuhan.

(4) Irigasi luka sesuai indikasi, gunakan cairan garam faal, larutan idrogen

perioksida, atau larutan antibiotic.

Rasional: Diperlukan untuk mengobati inflamasi/infeksi praoperasi atau

kontaminasi intraoperasi.

(5) Berikan rendan duduk.

Rasional: Meningkatkan kebersihan dan memudahkan penyembuhan

khususnya setelah tampon diangkat (biasanya 3-5 hari).

5) Risiko infeksi ditandai dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh (prosedur

invasive), perforasi/rupture pada apendiks, peritonitis, dan pembentukan

abses.
42

Kemungkinan dibuktikan oleh:

(1) Tidak dapat diterapkan, adanya tanda dan gejala yang ada membuat

diagnosa actual.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

(1) Menigkatkan penyembuhan luka dengan benar; bebas tanda

infeksi/inflamasi, drainase purulent, eritema, dan demam.

Interensi:

(1) Awasi tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan

mental, meningkatnya nyeri abdomen.

Rasional: Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses, dan peritonitis.

(2) Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptic. Berikan

perawatan paripurna.

Rasional: Menurunkan risiko penyebaran bakteri.

(3) Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/drain (bila

dimasukkan), adanya eritema.

Rasional: Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan/atau

pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.

(4) Berikan informasi yang tepat, jujur pada pasien/orang terdekat.

Rasional: Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan

emosi, serta membantu menurunkan ansietas.

(5) Ambil contoh drainase bila diindikasikan.

Rasional: Kultur pewarnaan Garam dan sensitivitas berguna untuk

mengidentifikasi organisme penyebab dan pilihan terapi.


43

(6) Berikan antibiotic sesuai indikasi.

Rasional: Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah

oreganisme (pada infeksi yang ada sebelumnya), untuk menurunkan penyebaran

dan pertumbuhannya pada rongga abdomen.

(7) Bantu irigasi dan drainase bila diindikasikan.

Rasional: dapat diperlukan untuk mengalirkan isi abses terlokalisir.

2.2.4 Implementasi

Tindakan keperawatan (implementasi) adalah preskripsi untuk perilaku

positif yang diharapkan dari klien atau tindakan yang harus dilakukan oleh

perawat sesuai dengan apa yang direncanakan. Implementasi dari perencanaan

dicatat dalam catatan kemajuan dan/atau flow-sheet (Doenges, Moorhouse, &

Geissler, 2014).

Implementasi/pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai

tujuan yang telah anda tetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi

pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respons klien selama dan

sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru. Tahap implementasi

dimulai pada tahap persiapan yang meliputi: riview rencana tindakan keperawatan

analisis pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, antisipasi komplikasi

yang akan timbul, mempersiapkan peralatan (waktu, tenaga, alat),

mengidentifikasi aspek-aspek hukum dan etik, memperhatikan hak-hak pasien

antara lain hak atas pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan

kesehatan, hak atas informasi, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak atas

second opinion. Tahap pelaksanaan berfokus pada klien, berorientasi pada tujuan

dan kriteria hasil, memperhatikan keamanan fisik dan psikologis klien dan
44

kompeten. Tahap sesudah pelaksanaan yaitu menilai keberhasilan tindakan,

mendokumentasikan tindakan yang meliputi aktivitas/tindakan keperawatan,

hasil/respon pasien, tanggal/jam, nomor diagnosis keperawatan, dan tanda tangan

(Budiono & Pertami, 2016).

2.2.5 Evaluasi

Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-item atau

perilaku yang dapat diamati dan dipantau untuk menentukan apakah hasil sudah

tercapai atau belum dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Evaluasi dibagi

menjadi dua yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan setiap selesai

melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan

membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan tujuan umum yang telah

ditentukan (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2014).


BAB 3

LAPORAN KASUS

Pada bab ini, penulis akan mengemukakan hasil asuhan keperawatan pada

Nn. A dengan Apendisitis, di Ruang Perawatan Dahlia B Rumah Sakit Umum

Tarakan Provinsi Kalimantan Utara mulai Tanggal 27 Mei 2019 sampai dengan

29 Mei 2019.

Dalam memberikan ahuhan keperawatan pada kasus ini, penulis

menggunakan pendekatan proses keperawatan secara sistematis dalam

memecahkan masalah keperawatan. Pelaksanaan asuhan keperawatan dimulai dari

pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

3.1 Pengkajian

Pada tahap pengkajian ini, penulis mengumpulkan data dari klien, keluarga

klien, perawat ruangan, dokter dan catatan medik Nn. A dengan Apendisitis yang

dirawat di Ruang Perawatan Dahlia B Rumah sakit Umum Provinsi Kalimantan

Utara serta dengan melakukan wawancara, pemeriksaan fisik, observasi secara

langsung pada Nn. A pada tanggal 27 Mei 2019 pukul 10:00 WITA.

3.1.1 Pengkajian Identitas Diri Klien

Klien bernama Nn. A dirawat diruang Perawatan Dahlia pada tanggal 26

Mei 2019 pada pukul 10:00 WITA, klien lahir di Lombang pada tanggal 14 April

1996. Klien berumur 23 tahun. Jenis kelamin perempuan. Alamat rumah klien di

Malinau. Status perkawinan belum menikah, agama Islam, klien berasal dari suku

Dayak/Indonesia. Pendidikan klien SMA. Klien belum bekerja. Klien dirawat

dengan diagnosa medis Apendisitis, dengan Nomor Rekam Medis 236xxx.


46

3.1.2 Riwayat Keperawatan

Riwayat Kesehatan Pasien

3.1.2.1 Keluhan Utama

Keluhan Utama Pre Operasi

Pada saat pengkajian tanggal 27 Mei 2019 pukul 10:40 WITA, klien

mengatakan nyeri pada daerah perut, nyeri pada bagian perut bawah semenjak

beberapa minggu terakhir ± 10 hari, nyeri bertambah pada saat beraktivitas berat

seperti duduk dan mengangkat benda berat, nyeri akan berkurang ketika klien

beristirahat dan saat diberi obat antinyeri Ranitidine. Klien mengatakan nyeri yang

dirasakan seperti tertusuk-tusuk, nyeri tembus hingga punggung belakang dan

terjadi hilang timbul, namun kemarin pada tanggal 26 Mei 2019 nyeri yang

dirasakan terjadi terus-menerus. Skala nyeri 5 (sedang) dan nyeri dapat dirasakan

selama ± 5 menit.

Saat di palpasi terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas pada bagian abdomen

kuadran kanan bawah. Klien tampak meringis pada saat menekuk kaki kanan

hingga menyentuh dada. Klien tampak memegangi perutnya.

3.1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Klien datang dengan keluhan nyeri di daerah perut yang dirasakan

beberapa minggu terakhir ± 10 hari terakhir. Klien dirujuk dari Rumah Sakit di

Malinau dibawa ke IGD RSUD Kota Tarakan. Setelah dilakukan pemeriksaan

lanjutan oleh Dokter IGD, klien mengatakan di Diagnosa Medis Apendisitis dan

dirawat diruang Dahlia B pada tanggan 26 Mei 2019 pada jam 10:00 WITA. Klien

mengeluh badannya demam, S = 37,7° C. Klien mengalami anemia sehingga klien

harus di transfusi darah sebanyak 2 kantong darah dengan golongan darah O


47

dengan Hemoglobin (Hb) = 8,3 g/dL. Klien mengatakan pada tanggal 26 Mei

2019 telah diberikan transfusi darah pada pukul 17:00 WITA serta dilakukan

pemeriksaan darah dengan Hb = 9,2 g/dL pada tanggal 27 Mei 2019. Klien

mengatakan akan di transfusi darah yang kedua sebelum menjalani operasi namun

hingga saat ini belum ada di transfusi darah. Klien di transfusi darah ke dua pada

tanggal 28 Mei 2019 pada pukul 21:50 WITA. Klien mengatakan tidak

mengetahui penyebab penyakitnya, sering makan-makanan instan seperti mie

instan. Untuk berpindah klien dapat melakukan secara mandiri, namun saat nyeri

timbul aktivitas dibantu oleh keluarga dan adiknya. Klien terlihat dibantu

keluarganya saat ingin ke toilet. Klien mengatakan takut dioperasi, klien tampak

cemas. Klien terlihat hanya berbaring saja. Klien terlihat pucat, mukosa bibir klien

terlihat kering, konjungtiva tampak pucat, klien terlihat meringis menahan nyeri

daerah perutnya. Klien terlihat bertanya-tanya kepada dokter mengenai operasinya

apakah sakit. Klien diantar keruang operasi pukul 10:40 WITA.

3.1.2.3 Riwayat Penyakit Masa Lalu

Klien mengatakan pada masa kanak-kanak pernah mengalami penyakit

maag dan hingga sekarang masih dialaminya, penyakit maag sering timbul akibat

puasa, sehingga tidak kuat untuk melaksanakan puasa (dibatalkan). Klien

memiliki alergi terhadap obat Ranitidine dan obat Ketorolac dengan dampak yang

timbul bintik-bintik merah serta gatal.

Klien mengatakan tidak pernah mengalami kecelakaan, klien belum

pernah di operasi sebelumnya. Klien pernah dirawat di Rumah Sakit Malinau

sebelumnya pada bulan 10 tahun 2017 akibat penyakit maag dan mengalami

perdarahan akibat penebalan dinding rahim (anemia). Klien mengatakan


48

meminum obat rutin untuk penyakit maag yaitu Sanmex dan Antasida Doen

selama 3 minggu yang lalu.

3.1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Bagan 3.1 Genogram keluarga Nn. A

Harapan klien setelah menjalani perawatan yaitu segera pulang kerumah.

Klien berrharap agar sembuh dan pulih. Klien tinggal di rumah sendiri bersama

ayah, kakak, serta adiknya. Hubungan antar keluarga klien harmonis.

Pengambilan keputusan dalam keluarga adalah ayahnya.

3.1.3 Data Psiko-Sosial Ekonomi

Klien mengatakan peranannya pada saat dirumah yaitu sebagai anak dan

sebagai seorang kakak serta adik bagi saudara-saudarinya. Klien memiliki teman

dekat yaitu bernama Nn. I, Nn. L, dan Nn. N. Klien mengatakan memiliki

keluarga yang siap membantu pada saat keluarganya dalam keadaan sakit.
49

3.1.4 Data Spiritual

1) Sebelum sakit:

Klien menganut agama Islam, klien mengatakan rajin menjalankan

kewajibannya untuk melaksanakan sholat 5 waktu, klien berdoa untuk diberikan

kesehatan.

2) Saat sakit:

Klien mengatakan tidak dapat menjalankan sholat 5 waktu dikarenakan

setiap melakukan aktivitas perutnya terasa nyeri, klien tidak menjalankan ibadah

puasa di bulan Ramadhan. Klien hanya berdoa untuk diberikan kesembuhan

terhadap penyakitnya.

3.1.5 Pola Kebiasaan Sehari-hari

3.1.5.1 Nutrisi (Makan-Minum)

1) Sebelum sakit:

Klien mengatakan sebelum sakit selera makan baik. Frekuensi makan klien

3x sehari namun terkadang 4x dalam sehari. Menu makanan pada saat sarapan

pagi yaitu mie instan, menu makanan pada saat makan siang dan makan malam

nasi, sayur, dan lauk pauk, makanan yang tidak disukai klien adalah petai. Klien

menghindari makanan yang pedas, asam, dan bersantan. Klien makan dengan

menggunakan tangan. Sebelum makan klien selalu berdoa.

2) Saat sakit:

Saat dikaji klien sedang menjalankan puasa yang dianjurkan dokter untuk

menjalani operasi Apendiktomi mulai dari jam 03:00 WITA.


50

3.1.5.2 Cairan

1) Sebelum sakit:

Klien mengatakan sering minum air mineral, minum sekitar 1500 ml setiap

harinya. Selain itu, klien sering membeli jajanan minuman es seperti Thai Tea.

2) Saat sakit:

Klien mengatakan sewaktu sahur minum air mineral sekitar 750 ml, klien

sedang menjalankan puasa. Klien tampak terpasang cairan NaCL 0,9%. Jumlah

cairan melalui intravena per 24 jam = 3 kolf / 8 jam, dengan 1 kolf = 500 cc = 20

tetes/menit.

3.1.5.3 Eliminasi Urine dan Eliminasi Alvi

1) Eliminasi Urine

(1) Sebelum sakit:

Klien mengatakan BAK 5 x sehari dengan jumlah sekali BAK = 300 cc,

tidak memiliki kesulitan dalam BAK, warna kuning jernih, bau amoniak.

(2) Saat sakit:

Klien mengatakan BAK dalam sehari 5-6 x sehari dengan jumlah sekali

BAK = 300 cc, BAK berbau obat dengan warna urine kuning keruh, tidak

memiliki kesulitan dalam BAK.

2) Eliminasi Alvi

(1) Sebelum sakit:

Klien mengatakan BAB di Toilet dengan frekuensi BAB 2x sehari. Tidak

pernah menggunakan obat pencahar. Warna kuning kecoklatan, lunak, dan berbau

khas.
51

(2) Saat sakit:

Klien mengatakan selama dirawat di Rumah Sakit belum pernah BAB.

Tabel 3.1 Balance Cairan


Input Cairan Output Cairan
Air minum = 750 cc Urin = 1500 cc
Cairan infus: IWL = 15 cc/kg × BB/hari
NaCL 0,9% = 500 cc = (15 × 60) = 900 cc
(500 × 3) = 1500 cc Jadi, Output cairan = 1500 + 900
Obat injeksi: = 2400 cc
Ranitidine = 5 cc
Ceftriaxone sodium = 5 cc
Metamizole sodium = 10 cc
(5 + 5 + 10) = 20 cc
Jadi, Input cairan = 750 + 1500 + 20
= 2270 cc
Balance cairan = intake cairan – output cairan
= 2270 – 2400 = – 130 cc

3.1.5.4 Istirahat dan Tidur

1) Sebelum sakit:

Klien mengatakan pola istirahat teratur. klien tidur siang dari pukul 13:00 -

15:00 WITA dan tidur malam dari pukul 22:00 - 05:00 WITA, dengan waktu

setiap tidur siang 2 jam dan tidur malam 7 jam, klien tidak mengalami insomnia.

2) Saat sakit:

Klien mengatakan sulit tidur dikarenakan terlalu memikirkan tentang

operasinya. klien sering terbangun pada malam hari dan dapat tertidur pada pukul

01:00-03:00 WITA. Kemudian setelahnya klien tidak dapat tertidur kembali

sampai pagi. Klien mengeluh tidak puas serta istirahatnya tidak cukup karena
52

dapat tertidur ± 2 jam di malam hari, dan tidak dapat tidur siang. Mata klien

tampak layu, klien terlihat lemas, konjungtiva tampak pucat.

3.1.5.5 Aktivitas dan Gerak


Tabel 3.2 Aktivitas dan Gerak
Sebelum sakit Saat sakit
Kemampuan Perawatan Diri
0 1 2 3 4 0 1 2 3 4
Makan/Minum √ √
Mandi √ √
Berpakaian √ √
Mobilisasi ditempat tidur √ √
Berpindah √ √
Ambulasi/ROM √ √
Keterangan: 0: Mandiri; 1: Alat bantu; 2: Dibantu orang lain;
3: Dibantu orang lain dan alat; 4: Tergantung total

Kesimpulan: selama klien sebelum sakit dan saat sakit dirawat di ruang

Perawatan Dahlia klien dapat melakukan kemampuan perawatan diri secaca

mandiri.

3.1.5.6 Personal Hygience

1) Mandi

(1) Sebelum sakit: Klien mengatakan mandi 2x sehari dengan

menggunakan sabun mandi. Klien mandi secara mandiri tanpa ada

bantuan dari orang lain.

(2) Saat sakit: Klien mengatakan tidak ada mandi selama dirawat di

Rumah Sakit, namun hanya diseka setiap pagi dan sore hari, ingin

mandi namun takut melakukan aktivitas karena nyeri di perutnya.


53

2) Cuci Rambut

(1) Sebelum sakit: Klien mengatakan cuci rambut 3x seminggu dengan

menggunakan shampoo kebersihan rambut terjaga ditandai dengan

tidak adanya ketombe rambut.

(2) Saat sakit: Klien mengatakan tidak ada cuci rambut selama dirawat.

3) Gunting Kuku

(1) Sebelum sakit: Klien mengatakan tidak gunting kuku tetapi hanya

dibersihkan saja, kuku terlihat panjang namun bersih, kuku klien

diberi pewarna kuku.

(2) Saat sakit: Kuku klien tampak pendek, bersih, tidak terlihat pewarna

kuku pada kuku klien (dibersihkan).

4) Gosok Gigi

(1) Sebelum sakit: Klien mengatakan menggosok gigi 2x sehari setiap

mandi dan setelah makan dengan menggunakan pasta gigi dan sikat

gigi secara mandiri.

(2) Saat sakit: Klien mengatakan menggosok gigi 2x sehari secara

mandiri.

3.1.6 Pemeriksaan Fisik

3.1.6.1 Keadaan umum: klien tampak sakit sedang.

3.1.6.2 Tanda-tanda vital

1) Kesadaran: Composmentis

Glasgow Coma Scale (GCS): Motorik: 6, Bicara (Verbal): 5, Pembukaan

Mata: 4. Total GCS = 15.


54

2) Tekanan Darah: 100/60 mmHg

3) Nadi: 80 x/menit (Reguler)

4) Suhu: 36,2°C

5) Pernapasan: 20 x/menit

6) Antropometri:

6.1) Tinggi Badan (TB): 155 cm

6.2) Berat Badan (BB): 60 Kg

3.1.6.3 Pemeriksaan Sistemik

1) Kepala

Inspeksi: bentuk kepala normochepal, dapat digerakkan, persebaran rambut

merata diseluruh kepala, tidak mudah dicabut, tidak terdapat ketombe, warna

rambut hitam kemerahan (diberi pewarna rambut), rambut panjang dan lurus.

Palpasi: tidak terdapat deformitas, tidak ada benjolan serta lesi/luka.

2) Mata

Inspeksi: pembukaan kelopak mata simetris, persebaran bulu mata merata

kanan dan kiri. Distribusi alis merata kanan dan kiri. Sklera tidak ikterik, klien

tidak menggunakan kaca mata, konjungtiva pucat, pupil isokor dengan ukuran 3/3

mm, reaksi pupil miosis terhadap cahaya ketika didekatkan pada mata, kornea

mata berwarna coklat kehitaman. Palpasi: kelopak mata tidak terdapat massa,

pembengkakan, dan nyeri tekan.


55

3) Hidung

Inspeksi: lubang hidung simetris, tidak terdapat pernapasan cuping hidung,

warna membrane mukosa merah muda, tidak terdapat secret dan epitaksis,

terdapat silia, fungsi penciuman berfungsi dengan baik.

4) Mulut dan Tenggorokan

Inspeksi: bibir berwarna merah muda, bibir tampak kering, tidak terdapat

stomatitis, tidak ada palatoshizis, tidak terdapat karang gigi, tidak terdapat

pembesaran tonsil, klien tidak mengalami kesulitan/gangguan bicara, mengunyah

maupun menelan.

5) Telinga

Inspeksi: bentuk daun telinga simetris kanan dan kiri, keadaan daun telinga

bersih, terdapat sedikit serumen, fungsi pedengaran baik. Palpasi: Tidak terdapat

nyeri tekan.

6) Leher

Inspeksi: tidak ada pembengkakan, tidak terdapat peninggian vena jugularis,

dan tidak ada lesi. Palpasi: posisi trakea tepat ditengah, tidak terdapat pembesaran

kelenjar getah bening, dan tidak ada pembesaran kelenjar tiroid. Auskultasi: tidak

terdengar bunyi bruit.

7) Payudara

Inspeksi: bentuk payudara simetris kanan dan kiri, tidak terdapat lesi.

Palpasi: tidak terdapat massa, tidak ada nyeri tekan.

8) Thorax

Inspeksi: bentuk thoraks normo chest, pengembangan dada simetris kanan

dan kiri, pernapasan 20 x/menit. Palpasi: saat dilakukan vocal premitus terasa
56

getaran pada saat klien menyebutkan tujuh puluh tujuh pada lapang paru kanan

dan kiri. Perkusi: terdengar bunyi sonor pada seluruh lapang paru. Auskultasi:

terdengar suara vesikuler, tidak ada suara napas tambahan seperti ronchi dan

wheezing.

9) Jantung

Inspeksi: terdapat ictus cordis/denyutan detak jantung. Palpasi: nadi = 80

x/menit, ictus cordis teraba 2 cm dibawa areola mammae. Perkusi: terdengar

suara pekak, batas jantung dari ICS 3 sampai dengan ICS 5. Auskultasi: suara

jantung S1 lup dan suara jantung S2 dup, tidak terdengar bunyi jantung tambahan

seperti murmur dan gallop.

10) Abdomen

Pengkajian Pre Operasi

Inspeksi: pengembangan abdomen simetris kanan dan kiri, tidak ada

pembesaran, bentuk umbilicus tidak menonjol. Auskultasi: bising usus = 5

x/menit. Palpasi: terdapat nyeri tekan pada kuadran kanan bawah, tidak terdapat

adanya massa. Perkusi: terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas, terdengar bunyi

timpani, tidak ada bunyi tambahan.

11) Genetalia

Tidak dilakukan pengkajian.

12) Anus

Tidak dilakukan pengkajian.


57

13) Lengan dan Tungkai

Inspeksi: warna kulit sawo matang, klien dapat mengikuti perintah saat

diberikan instruksi oleh perawat. Palpasi: tidak adanya edema pada daerah

ekstremitas atas dan bawah.

Tabel 3.3 Kekuatan Otot


Kiri Kanan
0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5

14) Collumna Vertebralis

Inspeksi: tidak terdapat kelainan pada tulang belakang. Palpasi: tidak ada

nyeri tekan, tidak terdapat massa.

15) Uji saraf cranialis

(1) Nervus Olfaktorius: Klien dapat membedakan bau minyak kayu putih, kopi,

dan teh, dengan cara meminta klien utuk menutup mata dan membedakan

antara bau minyak kayu putih, kopi, dan teh.

(2) Nervus Optikus: Klien dapat membaca dari jarak 30 cm dan mata tidak

mudah beralih.

(3) Nervus Okulomotorius: Pembukaan kelopak mata simetris kanan dan kiri,

tidak terdapat ptosis, klien dapat mengikuti 4 arah jari tangan ke atas,

bawah, kanan, dan kiri. Saat diberi cahaya respon pupil mengecil.

(4) Nervus Troklearis: Klien mampu mengikuti gerakan arah tangan perawat.

Tidak terdapat penglihatan mata ganda, tidak ada strabismus.

(5) Nervus Trigeminus: Klien dapat merasakan goresan kapas wajah.

(6) Nervus Abdusen: Klien dapat mengikuti gerakan arah tangan perawat (8

arah utama).
58

(7) Nervus Fasialis: Klien dapat mengangkat kedua alis secara bersamaan, klien

tampak bersiul, senyum klien terlihat simetris.

(8) Nervus Vestibulokoklearis: Klien dapat mendengar suara detak jarum jam.

(9) Nervus Glosofaringeus: Klien mampu membedakan rasa asam, asin, manis,

dan pahit, serta dapat menelan dengan baik.

(10) Nervus Vagus: Pada saat klien dianjutkan mengucapkan “aaaaa”, uvula

klien tampak terangkat.

(11) Nervus Asesorius: Klien dapat menggerakkan kelapa ke kanan dan ke kiri,

klien dapat mengangkat kedua bahunya secara bersamaan dengan tahanan,

tidak terdapat nyeri tekan pada bahu klien.

(12) Nervus Hipoglosus: Klien dapat menjulurkan lidahnya kedepan.

16) Kulit

Inspeksi: warna kulit sawo matang, kulit klien tampak lembab (terjaga)

ditandai dengan klien sering memakai handbody. Palpasi: CRT < 2 detik, tidak

terdapat pitting edema.


59

3.1.7 Pemeriksaan Penunjang

3.1.7.1 Laboratorium

1) Pemeriksaan Hematologi pada Tanggal 26 Mei 2019 jam 10:44 WITA

Tabel 3.4 Pemeriksaan Darah Lengkap


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi lengkap
Hemoglobin L 8,3 g/dL 12,0 - 16,0
Leukosit 4,80 103/uL 4,00 - 12,00
Eritrosit 4,41 106/uL 4,00 - 5,50
Hematocrit L 28,5 % 37,0 - 43,0
3
Trombosit 170 10 /uL 150 - 450
Indeks Eritrosit
MCV L 64,6 fL 82,0 - 96,0
MCH L 18,8 pg 27,0 - 31,0
MCHC L 29,1 g/L 32,0 - 37,0
Hitung Jenis
Neutrofil L 42,6 % 50 - 70
Limfosit H 46,7 % 20,0 - 40,0
MXD H 10,7 % 2,0 - 8,0
Koagulasi
Masa perdarahan 2’30” menit <3
Masa pembekuan 4’30” menit 2,0 - 6,0
Kimia Darah
Gula Darah Sewaktu 88 mg/dL < 200 (Perkeni, 2000)
60

2) Pemeriksaan Hematologi pada Tanggal 27 Mei 2019 jam 06:08 WITA

Tabel 3.5 Pemeriksaan Darah Lengkap


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi lengkap
Hemoglobin L 9,2 g/dL 12,0 - 16,0
Leukosit 8,40 103/uL 4,00 - 12,00
Eritrosit 4,58 106/uL 4,00 - 5,50
Hematocrit L 30,5 % 37,0 - 43,0
3
Trombosit 209 10 /uL 150 - 450
Indeks Eritrosit
MCV L 66,6 fL 82,0 - 96,0
MCH L 20,1 pg 27,0 - 31,0
MCHC L 30,2 g/L 32,0 - 37,0
Hitung Jenis
Neutrofil H 80,9 % 50 - 70
Limfosit L 15,5 % 20,0 - 40,0
MXD 3,5 % 2,0 - 8,0

3.1.8 Penatalaksanaan/Terapi/Diet Saat Ini

3.1.8.1 NaCL 0,9 % = 20 tpm : intravena

3.1.8.2 Ranitidine 1 amp = 2 ml/12 jam : intravena

3.1.8.3 Ceftriaxone sodium 1 gr/12 jam : intravena

3.1.8.4 Metamizole sodium 1000 mg/12 jam : intravena

3.2 Klasifikasi Data

Klasifikasi Data Pre Operasi

3.2.1 Data Subjektif:

3.2.1.1 Klien mengatakan nyeri pada daerah perut.


61

3.2.1.2 Klien mengatakan nyeri pada bagian perut bawah semenjak beberapa

minggu terakhir ± 10 hari.

3.2.1.3 Klien mengatakan nyeri bertambah pada saat beraktivitas berat seperti

duduk dan mengangkat benda berat, nyeri akan berkurang ketika klien

beristirahat dan saat diberi obat antinyeri Ranitidine.

3.2.1.4 Klien mengatakan nyeri yang dirasakan seperti tertusuk-tusuk.

3.2.1.5 Klien mengatakan nyeri tembus hingga punggung belakang.

3.2.1.6 Klien mengatakan nyeri yang dirasakan hilang timbul, namun kemarin

pada tanggal 26 Mei 2019 nyeri yang dirasakan terjadi terus-menerus.

3.2.1.7 Skala nyeri 5 (sedang) dan nyeri dapat dirasakan selama ± 5 menit.

3.2.1.8 Klien mengatakan tidak mengetahui penyebab penyakitnya.

3.2.1.9 Klien mengatakan takut dioperasi.

3.2.1.10 Klien mengatakan belum pernah dioperasi sebelumnya.

3.2.2 Data Objektif:

3.2.2.1 Klien tampak meringis pada saat menekuk kaki kanan hingga menyentuh

dada.

3.2.2.2 Klien tampak memegangi perutnya.

3.2.2.3 Saat di palpasi terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas pada bagian abdomen

kuadran kanan bawah.

3.2.2.4 Klien terlihat hanya berbaring saja.

3.2.2.5 Klien terlihat cemas.

3.2.2.6 Klien terlihat bertanya-tanya mengenai operasinya apakah sakit.

3.2.2.7 Klien diantar keruang operasi pukul 10:40 WITA.


62

3.3 Analisa Data

Analisa Data Pre Operasi

3.3.1 Pengelompokan Data 1

3.3.1.1 Data Subjektif :

1) Klien mengatakan nyeri pada daerah perut.

2) Klien mengatakan nyeri pada bagian perut bawah semenjak beberapa

minggu terakhir ± 10 hari.

3) Klien mengatakan nyeri bertambah pada saat beraktivitas berat seperti

duduk dan mengangkat benda berat, nyeri akan berkurang ketika klien

beristirahat dan saat diberi obat antinyeri Ranitidine.

4) Klien mengatakan nyeri yang dirasakan seperti tertusuk-tusuk.

5) Klien mengatakan nyeri tembus hingga punggung belakang.

6) Klien mengatakan nyeri yang dirasakan hilang timbul, namun kemarin pada

tanggal 26 Mei 2019 nyeri yang dirasakan terjadi terus-menerus.

7) Skala nyeri 5 (sedang) dan nyeri dapat dirasakan selama ± 5 menit.

3.3.1.2 Data Objektif :

1) Klien tampak meringis pada saat menekuk kaki kanan hingga menyentuh

dada.

2) Klien tampak memegangi perutnya.

3) Saat di palpasi terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas pada bagian abdmen

kuadran kanan bawah.

4) Klien terlihat hanya berbaring saja.

3.3.1.3 Etiologi : Agen pencedera fisiologis (inflamasi)

3.3.1.4 Masalah : Nyeri akut


63

3.3.2 Pengelompokan Data 2

3.3.2.1 Data Subjektif :

1) Klien mengatakan tidak mengetahui penyebab penyakitnya.

2) Klien mengatakan takut dioperasi.

3) Klien mengatakan belum pernah dioperasi sebelumnya.

3.3.2.2 Data Objektif :

1) Klien terlihat cemas.

2) Klien terlihat bertanya-tanya mengenai operasinya apakah sakit.

3) Klien diantar keruang operasi pukul 10:40 WITA.

3.3.2.3 Etiologi : Kurang terpapar informasi

3.3.2.4 Masalah : Ansietas


64

3.4 Penyimpangan KDM

Bakteri, makanan,
benda asing (masuk
kedalam tubuh)

Obstruksi
lumen apendiks

Infeksi,
inflamasi lumen

Pre Operasi APENDISITIS Post Operasi

Lumen pada Tindakan invasive


apendiks pecah (apendiktomi)

Pintu masuk Terputusnya


Peradangan
kuman kontuinitas jaringan
mengenai peritonium

Merangsang mediator
Sekresi mucus Risiko (prostaglandin,
berlebihan pada Infeksi bradikinin, histamine)
lumen apendiks
Ansietas Keterbatasan gerak Medulasi, persepsi
Apendiks teregang
Kurang terpajannya Takut untuk Tranduksi, transmisi
informasi mengenai Spasme dinding melakukan aktivitas
prosedur operasi apendiks
Nyeri Akut
Gangguan
Perubahan status Respon local Mobilitas Fisik
kesehatan terhadap inflamasi
Perdarahan

Dampak
hospitalisasi Nyeri Akut
Sekresi eritropoietin
Risiko syok turun

Oksihemoglobin turun Produksi Hb turun

Bagan 3.2 Penyimpangan KDM pada


Nn. A dengan Apendisitis
65

3.5 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Pre Operasi

3.5.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi).

3.5.2 Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.

3.6 Intervensi/Perencanaan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Pre Operasi

3.6.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi).

Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 20 menit maka nyeri

akut akan berkurang dengan kriteria hasil:

1) Dapat menunjukkan tingkat nyeri.

2) Ekspresi wajah tenang.

3) Skala nyeri berkurang menjadi 3.

4) Klien dapat melakukan teknik rekalsasi napas dalam (RND).

Intervensi :

1) Kaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, durasi,

kualitas dan kuantitas, keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.

2) Anjurkan dan ajarkan teknik relaksasi napas dalam (RND).

3) Lakukan perubahan posisi untuk memenuhi rasa nyaman.

4) Kolaborasi dengan tim medis lain pemberian obat analgesic.

3.6.2 Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.

Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 20 menit maka ansietas

dapat berkurang ditandai dengan kriteria hasil:

1) TTV dalam batas normal.

2) Klien tampak tidak cemas.


66

3) Klien tampak tenang dan rileks.

4) Klien mengetahui tindakan operasi yang akan dilakukan.

Intervensi :

1) Kaji dan dokumentasi tingkat ansietas klien.

2) Sediakan informasi faktual menyangkut diagnosis terapi dan prognosis

penyakit.

3) Dorong klien untuk mengekspresikan ansietasnya.

4) Kurangi rangsangan yang berlebihan dengan menyediakan lingkungan yang

tenang.

3.7 Implementasi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Pre Operasi

Hari Senin, 27 Mei 2019

3.7.1 Diagnosa Keperawatan 1

Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi).

3.7.1.1 Pukul 10:00 WITA

Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik,

durasi, kualitas dan kuantitas, keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.

Data Subjektif: Klien mengatakan nyeri pada bagian perut kanan bawah, nyeri

yang dirasakan seperti tertusuk-tusuk, nyeri bertambah pada saat beraktivitas berat

seperti duduk dan mengangkat benda berat, nyeri akan berkurang ketika klien

beristirahat, skala nyeri 5 (sedang) dan nyeri dapat dirasakan selama ± 5 menit.

Data Objektif: Klien tampak memegangi perutnya, klien terlihat meringis.

3.7.1.2 Pukul 10:10 WITA

Menganjurkan dan mengajarkan teknik rekalsasi napas dalam (RND).


67

Data Subjektif: -

Data Objektif: Klien diajarkan teknik nafas dalam, klien dappat mengikuti serta

mempraktekkan teknik napas dalam.

3.7.1.3 Pukul 10:15 WITA

Melakukan perubahan posisi untuk memenuhi rasa nyaman.

Data Subjektif: -

Data Objektif: Memposisikan klien semi powler, klien terlihat nyaman.

3.7.2 Diagnosa keperawatan 2

Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.

3.7.2.1 Pukul 10:00 WITA

Melakukan pengkajian dan mendokumentasikan tingkat ansietas klien.

Data Subjektif: Klien mengatakan takut dioperasi dan belum pernah dioperasi

sebelumnya.

Data Objektif: Klien terlihat cemas, keluarga klien tampak menenangkan Nn. A

3.7.2.2 Pukul 10:05 WITA

Mendorong klien untuk mengekspresikan ansietasnya.

Data Subjektif: -

Data Objektif: Klien terlihat cemas, klien dianjurkan untuk mendengarkan lagu

kesukaannya, klien mendengarkan lagu.

3.7.2.3 Pukul 10:20 WITA

Mengurangi rangsangan yang berlebihan dengan menyediakan lingkungan yang

tenang.
68

Data Subjektif: -

Data Objektif: Klien terlihat mendengarkan lagu kesukaannya, klien terlihat

tenang.

3.8 Evaluasi

Diagnosa Keperawatan Pre Operasi

3.8.1 Diagnosa keperawatan 1

Hari Senin, 27 Mei 2019 pukul 10:35 WITA

Subjektif: Klien mengatakan masih merasakan nyeri pada bagian perut kanan

bawah seperti tertusuk-tusuk, nyeri bertambah pada saat beraktivitas berat seperti

duduk dan mengangkat benda berat, nyeri akan berkurang ketika klien

beristirahat, skala nyeri 5 (sedang) dan nyeri dapat dirasakan selama ± 5 menit.

Objektif: Klien tampak meringis, klien hanya berbaring di tempat tidur, klien

terlihat tidak nyaman.

Assasement: Nyeri akut belum teratasi.

Planning: Intervensi dipertahankan.

3.8.2 Diagnosa keperawatan 2

Hari Senin, 27 Mei 2019 pukul 10:50 WITA

Subjektif: Klien mengatakan cemas sedikit berkurang,

Objektif: Klien terlihat mendengarkan lagu kesukaannya, klien terlihat tenang.

Klien diantar keruang operasi pukul 10:40 WITA.

Assasement: Ansietas teratasi.

Planning: Intervensi dihentikan.


69

Data Post Operasi

3.1 Keluhan Utama Post Operasi

Pada saat pengkajian tanggal 27 Mei 2019 pukul 21:40 WITA, klien

mengatakan nyeri pada daerah operasi, nyeri bertambah pada saat berjalan, duduk,

serta jika bergerak kekanan dan kekiri, nyeri akan berkurang ketika klien tidur di

tempat tidur dan saat diberi obat analgesic Ranitidine. Klien mengatakan nyeri

yang dirasakan seperti tergigit semut, perih, serta panas. Skala nyeri 6 (sedang)

dan nyeri dapat dirasakan terjadi hilang timbul selama ± 3 menit, sulit beraktivitas

dikarenakan masih terasa nyeri pada daerah operasi. Klien tampak meringis pada

saat ingin duduk dan beraktivitas. Klien terlihat hanya berbaring ditempat tidur.

Klien terlihat masih lemah. Tekanan Darah (TD) = 110/60 mmHg, Nadi = 89

x/menit, Pernapasan = 20 x/menit, Suhu = 36,0°C. Post operasi apendiktomi H+0.

3.2 Pemeriksaan Sistemik

3.2.1 Abdomen

Pengkajian Post Operasi. Inspeksi: pengembangan abdomen simetris kanan

dan kiri, tidak ada pembesaran, bentuk umbilicus tidak menonjol, terdapat 4 luka

jahitan yang tertutup kassa dan plaster post operasi apendiktomi dengan panjang

balutan menggunakan kassa steril 4 × 5 cm. Auskultasi: bising usus = 28 x/menit.

Palpasi: terdapat nyeri tekan, tidak terdapat adanya massa. Perkusi: terdapat nyeri

tekan dan nyeri lepas, terdengar bunyi timpani, tidak ada bunyi tambahan.

3.3 Klasifikasi Data

Klasifikasi Data Post Operasi

3.3.1 Data Subjektif:

3.3.1.1 Klien mengatakan nyeri pada daerah operasi.


70

3.3.1.2 Klien mengatakan nyeri bertambah pada saat berjalan, duduk, serta jika

bergerak kekanan dan kekiri, nyeri akan berkurang ketika klien tidur di

tempat tidur dan saat diberi obat analgesic Ranitidine.

3.3.1.3 Klien mengatakan nyeri yang dirasakan seperti tergigit semut, perih, serta

panas.

3.3.1.4 Skala nyeri 6 (sedang).

3.3.1.5 Klien mengatakan nyeri yang dirasakan hilang timbul selama ± 3 menit.

3.3.1.6 Klien mengatakan harus ditransfusi darah sebanyak 2 kantong darah

dengan golongan darah O.

3.3.1.7 Klien mengatakan pada tanggal 26 Mei 2019 telah diberikan transfusi

darah pada pukul 17:00 WITA.

3.3.1.8 Klien pernah dirawat di Rumah Sakit Malinau sebelumnya akibat

mengalami perdarahan akibat penebalan dinding rahim (anemia).

3.3.1.9 Klien mengatakan tidak mengetahui penyebab penyakitnya.

3.3.1.10 Klien mengatakan sulit beraktivitas dikarenakan masih terasa nyeri pada

daerah operasi.

3.3.1.11 Klien mengatakan hanya berbaring di tempat tidur.

3.3.2 Data Objektif:

3.3.2.1 Klien tampak meringis pada saat ingin duduk dan beraktivitas.

3.3.2.2 Klien tampak memegangi perutnya.

3.3.2.3 Klien terlihat hanya berbaring ditempat tidur.

3.3.2.4 Klien terlihat masih lemah.

3.3.2.5 Klien terlihat dibantu keluarganya saat ingin ke toilet.

3.3.2.6 Klien terlihat pucat.


71

3.3.2.7 Mukosa bibir klien terlihat kering.

3.3.2.8 Konjungtiva tampak pucat.

3.3.2.9 Hasil tanda-tanda Vital (TTV) = TD = 110/60 mmHg, Nadi = 89 x/menit,

Pernapasan = 20 x/menit, Suhu = 36,0°C.

3.3.2.10 Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 26 Mei 2019 jam 10:44

WITA dengan Hb = 8,3 g/dL, Hematocrit (HCT) = 28,5%, MCV = 64,6

fL, MCH = 18,8 pg, MCHC = 29,1 g/L, dan Neutrofil = 42,6%.

3.3.2.11 Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 27 Mei 2019 jam 06:08

WITA dengan Hb = 9,2 g/dL, HCT = 30,5%, MCV = 66,6 fL, MCH =

20,1 pg, MCHC = 30,2 g/L, dan Neutrofil = 80,9%.

3.3.2.12 Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 28 Mei 2019 jam 09:10

WITA dengan Leukosit = 12,20 103/uL.

3.3.2.13 Terdapat 4 luka jahitan yang tertutup kassa dan plaster post operasi

apendiktomi.

3.3.2.14 Panjang balutan menggunakan kassa steril 4 × 5 cm.

3.3.2.15 Terdapat nyeri tekan pada daerah sekitar operasi.

3.3.2.16 Post operasi apendiktomi H+0.

3.4 Analisa Data

Analisa Data Post Operasi

3.4.1 Pengelompokan Data 1

3.4.1.1 Data Subjektif:

1) Klien mengatakan nyeri pada daerah operasi.


72

2) Klien mengatakan nyeri bertambah pada saat berjalan, duduk, serta jika

bergerak kekanan dan kekiri, nyeri akan berkurang ketika klien tidur di

tempat tidur dan saat diberi obat analgesic Ranitidine.

3) Klien mengatakan nyeri yang dirasakan seperti tergigit semut, perih, serta

panas.

4) Skala nyeri 6 (sedang).

5) Klien mengatakan nyeri yang dirasakan hilang timbul selama ± 3 menit.

3.4.1.2 Data Objektif:

1) Klien tampak meringis pada saat ingin duduk dan beraktivitas.

2) Klien tampak memegangi perutnya.

3) Klien terlihat masih lemah.

3.4.1.3 Etiologi : Agen pencedera fisik (prosedur operasi:

apendiktomi)

3.4.1.4 Masalah : Nyeri Akut

3.4.2 Pengelompokan Data 2

3.4.2.1 Data Subjektif:

1) Klien mengatakan harus ditransfusi darah sebanyak 2 kantong darah dengan

golongan darah O.

2) Klien mengatakan pada tanggal 26 Mei 2019 telah diberikan transfusi darah

pada pukul 17:00 WITA.

3) Klien pernah dirawat di Rumah Sakit Malinau sebelumnya akibat

mengalami perdarahan akibat penebalan dinding rahim (anemia).

4) Klien mengatakan tidak mengetahui penyebab penyakitnya.


73

3.4.2.2 Data Objektif:

1) Klien terlihat pucat.

2) Mukosa bibir klien terlihat kering.

3) Konjungtiva tampak pucat.

4) Klien terlihat masih lemah.

5) Hasil tanda-tanda Vital (TTV) = TD = 110/60 mmHg, Nadi = 89 x/menit,

Pernapasan = 20 x/menit, Suhu = 36,0°C.

6) Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 26 Mei 2019 jam 10:44 WITA

dengan Hb = 8,3 g/dL, Hematocrit (HCT) = 28,5%, MCV = 64,6 fL, MCH

= 18,8 pg, MCHC = 29,1 g/L, dan Neutrofil = 42,6%.

7) Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 27 Mei 2019 jam 06:08 WITA

dengan Hb = 9,2 g/dL, HCT = 30,5%, MCV = 66,6 fL, MCH = 20,1 pg,

MCHC = 30,2 g/L, dan Neutrofil = 80,9%.

3.4.2.3 Etiologi :-

3.4.2.4 Masalah : Risiko syok (hipovolemik) ditandai dengan

perdarahan intra uterine.

3.4.3 Pengelompokan Data 3

3.4.3.1 Data Subjektif:

1) Klien mengatakan sulit beraktivitas dikarenakan masih terasa nyeri pada

daerah operasi.

2) Klien mengatakan hanya berbaring di tempat tidur.

3.4.3.2 Data Objektif:

1) Klien terlihat hanya berbaring ditempat tidur.

2) Klien terlihat masih lemah.


74

3) Klien terlihat dibantu keluarganya saat ingin ke toilet.

3.4.3.3 Etiologi : Keenggangan untuk melakukan aktivitas

3.4.3.4 Masalah : Gangguan mobilitas fisik.

3.4.4 Pengelompokan Data 4

3.4.4.1 Data Subjektif : -

3.4.4.2 Data Objektif : -

3.4.4.3 Data Penunjang:

1) Terdapat 4 luka jahitan yang tertutup kassa dan plaster post operasi

apendiktomi.

2) Panjang balutan menggunakan kassa steril 4 × 5 cm.

3) Terdapat nyeri tekan pada daerah sekitar operasi.

4) Post operasi apendiktomi H+0.

5) Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 28 Mei 2019 jam 09:10 WITA

dengan Leukosit = 12,20 103/uL.

3.4.4.4 Etiologi :-

3.4.4.5 Masalah : Risiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invasive.

3.5 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Post Operasi

3.5.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi:

apendiktomi).

3.5.2 Risiko syok (hipovolemik) ditandai dengan perdarahan intra uterine.

3.5.3 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keenggangan untuk

melakukan aktivitas.

3.5.4 Risiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invasive.


75

3.6 Intervensi/Perencanaan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Post Operasi

3.6.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi:

apendiktomi).

Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2 × 24 jam maka nyeri

akut akan berkurang dengan kriteria hasil:

1) Dapat menunjukkan tingkat nyeri.

2) Ekspresi wajah tenang.

3) Skala nyeri berkurang menjadi 3.

4) Klien dapat mengontrol rasa nyerinya.

5) Klien dapat melakukan teknik rekalsasi napas dalam (RND).

Intervensi :

1) Kaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, durasi,

kualitas dan kuantitas, keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.

2) Anjurkan dan ajarkan teknik relaksasi napas dalam (RND).

3) Lakukan perubahan posisi untuk memenuhi rasa nyaman.

4) Kolaborasi dengan tim medis lain pemberian obat analgesic.

3.6.2 Risiko syok (hipovolemik) ditandai dengan perdarahan intra uterine.

Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2 × 24 jam maka tidak

ada tanda-tanda syok hipovolemik ditandai dengan peningkatan

konsentrasi Hemoglobin (Hb) dengan kriteria hasil:

1) Klien tidak tampak lelah.

2) TTV dalam batas normal TD= 120/80 mmHg; N = 60 - 100 x/menit; RR =

16 - 24 x/menit; S = 36,5 - 37,5°C.


76

3) Hb = 12,0 - 16,0 g/dL.

4) HCT = 37,0 - 43,0%

5) MCV = 82,0 - 96,0 fL

6) MCH = 27,0 - 31,0 pg

7) MCHC = 32,0 - 37,0 g/L

8) Neutrofil = 50 - 70%

Intervensi :

1) Observasi TTV.

2) Lakukan pemeriksaan Hb dan HCT.

3) Kolaborasi dengan tim medis lain pemberian cairan, elektrolit, koloid atau

darah/produk transfusi darah (jika perlu).

3.6.3 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keenggangan untuk

melakukan aktivitas.

Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2 × 24 jam maka

gangguan mobilisasi fisik ditandai dengan kriteria hasil:

1) Klien dapat meningkatkan aktivitas fisik.

2) Klien dapat meminta bantuan untuk mobilisasi.

3) TTV dalam batas normal.

Intervensi :

1) Observasi TTV

2) Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi

3) Bantu dan anjarkan klien bagaimana merubah posisi (jika perlu).


77

3.6.4 Risiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invasive.

Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2 × 24 jam maka tidak

ada tanda-tanda infeksi pada luka ditandai dengan kriteria hasil:

1) Tidak terdapat tanda dan gejala dari infeksi.

2) Klien dapat mencuci tangan dengan 6 langkah.

3) Kondisi luka insisi tampak kering.

Intervensi :

1) Kaji tanda dan gejala dari infeksi.

2) Ajarkan klien teknik mencuci tangan dengan benar 6 langkah.

3) Inspeksi kondisi luka pasca bedah.

4) Lakukan teknik perawatan luka dengan mempertahankan konsep steril.

3.7 Implementasi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Post Operasi

3.7.1 Diagnosa keperawatan 1

Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi:

apendiktomi).

Hari Selasa, 28 Mei 2019

1) Pukul 07:35 WITA

Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik,

durasi, kualitas dan kuantitas, keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.

Data Subjektif: Klien mengatakan nyeri pada daerah operasi, nyeri yang dirasakan

seperti tergigit semut, perih, serta panas, nyeri bertambah pada saat berjalan,

duduk, serta jika bergerak kekanan dan kekiri, nyeri akan berkurang ketika klien

tidur ditempat tidur, Skala nyeri 6 (sedang).


78

Data Objektif: Klien terlihat meringis, klien tampak berbaring saja.

2) Pukul 07:40 WITA

Menganjurkan dan mengajarkan teknik rekalsasi napas dalam (RND).

Data Subjektif: Klien mengatakan dapat melakukan teknik nafas dalam.

Data Objektif: Klien dapat mengulangi dan melakukan teknik nafas dalam secara

mandiri.

3) Pukul 07:45 WITA

Melakukan perubahan posisi untuk memenuhi rasa nyaman.

Data Subjektif: -

Data Objektif: Memposisikan klien powler, klien tampak nyaman.

4) Pukul 06:00 WITA

Melakukan kolaborasi dengan tim medis lain pemberian obat analgesic.

Data Subjektif: Klien mengatakan nyeri masih terasa.

Data Objektif: Klien diberikan obat injeksi metamizole sodium 1000 mg melalui

IV.

5) Pukul 15:00 WITA

Melakukan kolaborasi dengan tim medis lain pemberian obat analgesic.

Data Subjektif: Klien mengatakan nyeri masih terasa.

Data Objektif: Klien diberikan obat injeksi metamizole sodium 1000 mg melalui

IV.

6) Pukul 23.00 WITA

Melakukan kolaborasi dengan tim medis lain pemberian obat analgesic.

Data Subjektif: Klien mengatakan nyeri masih terasa.


79

Data Objektif: Klien diberikan obat injeksi metamizole sodium 1000 mg melalui

IV.

Hari Rabu, 29 Mei 2019

1) Pukul 07.00 WITA

Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik,

durasi, kualitas dan kuantitas, keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.

Data Subjektif: Klien mengatakan nyerinya berkurang, skala nyeri 3 (ringan).

Data Objektif: Klien terlihat rileks.

2) Pukul 06:00 WITA

Melakukan kolaborasi dengan tim medis lain pemberian obat analgesic.

Data Subjektif: Klien mengatakan nyerinya sedikit berkurang.

Data Objektif: Klien diberikan obat injeksi metamizole sodium 1000 mg melalui

IV.

3.7.2 Diagnosa keperawatan 2

Risiko syok (hipovolemik) ditandai dengan perdarahan intra uterine.

Hari Selasa, 28 Mei 2019

1) Pukul 05:30 WITA

Melakukan observasi TTV.

Data Subjektif: -

Data Objektif: Telah dilakukan pemeriksaan TTV dengan TD = 100/60 mmHg; N

= 92 x/menit; RR = 20x/menit; S = 36°C. Konjungtiva tampak pucat, mukosa bibir

kering.

2) Pukul 06:00 WITA

Melakukan pemeriksaan Hb dan HCT


80

Data Subjektif: -

Data Objektif: Dilakukan pengambilan darah lengkap untuk dilakukan

pemeriksaan.

Hasil Pemeriksaan Hematologi pada Tanggal 28 Mei 2019 jam 09:10 WITA

Tabel 3.6 Pemeriksaan Darah Lengkap


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi lengkap
Hemoglobin L 8,8 g/dL 12,0 - 16,0
Leukosit H 12,20 103/uL 4,00 - 12,00
Eritrosit 4,42 106/uL 4,00 - 5,50
Hematocrit L 29,5 % 37,0 - 43,0
Trombosit 194 103/uL 150 - 450
Indeks Eritrosit
MCV L 66,7 fL 82,0 - 96,0
MCH L 19,9 pg 27,0 - 31,0
MCHC L 29,8 g/L 32,0 - 37,0
Hitung Jenis
Neutrofil H 77,0 % 50 - 70
Limfosit L 17,0 % 20,0 - 40,0
MXD 6,0 % 2,0 - 8,0

3) Pukul 08:10 WITA

Mengajarkan pentingnya latihan fisik.

Data Subjektif: Klien mengatakan masih sulit untuk melakukan aktivitas.

Data Objektif: Klien terlihat meringis, klien hanya berbaring di tempat tidur.

4) Pukul 21:50 WITA

Melakukan kolaborasi dengan tim medis lain pemberian cairan, elektrolit, koloid

atau darah/produk transfusi darah (jika perlu).

Data Subjektif: -
81

Data Objektif: Klien di transfusi darah ke dua dengan jenis golongan darah O.

Hari Rabu, 29 Mei 2019

1) Pukul 08:00 WITA

Melakukan observasi TTV.

Data Subjektif: -

Data Objektif: Telah dilakukan pemeriksaan TTV dengan TD = 120/80 mmHg; N

= 86 x/menit; RR = 20 x/menit; S = 36°C. Konjungtiva tampak tidak pucat,

mukosa bibir lembab.

3.7.3 Diagnosa keperawatan 3

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keenggangan untuk melakukan

aktivitas.

Hari Selasa, 28 Mei 2019

1) Pukul 05:30 WITA

Melakukan observasi TTV

Data Subjektif: -

Data Objektif: Telah dilakukan pemeriksaan TTV dengan TD = 100/60 mmHg; N

= 92 x/menit; RR = 20 x/menit; S = 36°C.

2) Pukul 09.00 WITA

Melakukan pengkajian kemampuan klien dalam mobilisasi.

Data Subjektif: Klien mengatakan masih sulit untuk melakukan aktivitas karena

masih merasakan nyeri.

Data Objektif: Klien terlihat meringis, klien hanya berbaring di tempat tidur,

aktivitas klien sedikit dibantu oleh keluarga klien.


82

3) Pukul 09.05 WITA

Membantu dan menganjarkan klien bagaimana merubah posisi (jika perlu).

Data Subjektif: -

Data Objektif: Membantu klien miring kanan dan kiri.

Hari Rabu, 29 Mei 2019

1) Pukul 05:30 WITA

Melakukan observasi TTV

Data Subjektif: -

Data Objektif: Telah dilakukan pemeriksaan TTV dengan TD = 120/80 mmHg; N

= 86 x/menit; RR = 20 x/menit; S = 36°C.

2) Pukul 09.00 WITA

Melakukan pengkajian kemampuan klien dalam mobilisasi.

Data Subjektif: klien mengatakan dapat melakukan aktivitas yang ringan.

Data Objektif: Klien terlihat duduk, dan berjalan-jalan disekirar kamar.

3) Pukul 09.05 WITA

Membantu dan menganjarkan klien bagaimana merubah posisi (jika perlu).

Data Subjektif: Klien mengatakan dapat melakukan aktivitas dikarenakan nyeri

sedikit berkurang.

Data Objektif: Klien terlihat melakukan aktivitasnya.

3.7.4 Diagnosa keperawatan 4

Risiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invasive.

Hari Selasa, 28 Mei 2019

1) Pukul 10:00 WITA

Mengajarkan klien teknik mencuci tangan dengan benar 6 langkah.


83

Data Subjektif: -

Data Objektif: Klien diajarkan teknik mencuci tangan dengan 6 langkah

menggunakan handscraf, klien dapat mengikuti serta mempraktekkan teknik

mencuci tangan dengan 6 langkah.

Hari Rabu, 29 Mei 2019

1) Pukul 09:15 WITA

Mengkajian tanda dan gejala dari infeksi.

Data Subjektif: -

Data Objektif: Balutan perban tampak masih bersih, tidak ada tanda dan gejala

dari infeksi (tumor, calor, rubor, dolor, serta fungsiolesa), luka post operasi

apendiktomi H+3.

2) Pukul 09:10 WITA

Mengajarkan klien teknik mencuci tangan dengan benar 6 langkah.

Data Subjektif: Klien mengatakan dapat melakukan teknik mencuci tangan

dengan 6 langkah.

Data Objektif: Klien dapat melakukan teknik mencuci tangan dengan 6 langkah

menggunakan handscraf.

3) Pukul 09:20 WITA

Menginspeksi kondisi luka pasca bedah.

Data Subjektif: -

Data Objektif: Luka klien tampak kering, tidak terdapat pus/nanah, tidak ada

jaringan nekrotik, kulit disekitar luka tidak kemerahan.

4) Pukul 09: 25 WITA

Melakukan teknik perawatan luka dengan mempertahankan konsep steril.


84

Data Subjektif: -

Data Objektif: Melakukan perawatan luka post operasi apendiktomi H+3, klien

tampak nyaman dan tenang.

3.8 Evaluasi

Diagnosa Keperawatan Post Operasi

3.10.1 Diagnosa keperawatan 1

Hari Senin, 29 Mei 2019 pukul 10:35 WITA

Subjektif: Klien mengatakan nyerinya sedikit berkurang, dan skala nyeri 3

(ringan).

Objektif: Klien dapat mengulangi dan melakukan teknik RND, tampak tenang,

dan tidak meringis.

Assasement: Nyeri akut teratasi.

Planning: Intervensi dihentikan klien pulang.

3.10.2 Diagnosa keperawatan 2

Hari Senin, 29 Mei 2019 pukul 10:45 WITA

Subjektif: Klien mengatakan telah di transfusi darah yang ke dua

Objektif: Klien tidak tampak lemah, konjugtiva tidak pucat, mukosa bibir lembab,

hasil pemeriksaan TTV dengan TD = 120/80 mmHg; N = 86 x/menit; RR =

20x/menit; S = 36°C, hasil pemeriksaan darah lengkap dengan Hb = 8,8 g/dL,

Hematocrit (HCT) = 29,5%, MCV = 66,7 fL, MCH = 19,9 pg, MCHC = 29,8 g/L,

dan Neutrofil = 77,0%.

Assasement: Risiko syok (hipovolemik) teratasi sebagian.

Planning: Intervensi dihentikan klien pulang.


85

3.10.3 Diagnosa keperawatan 3

Hari Senin, 29 Mei 2019 pukul 10:55 WITA

Subjektif: Klien mengatakan dapat melakukan aktivitas yang ringan.

Objektif: Klien terlihat duduk dan berjalan-jalan disekitar kamar. TD = 120/80

mmHg; N = 86 x/menit; RR = 20x/menit; S = 36°C. Klien tampak bersiap pulang.

Assasement: Gangguan mobilitas fisik teratasi.

Planning: Intervensi dihentikan klien pulang.

3.10.4 Diagnosa keperawatan 4

Hari Senin, 29 Mei 2019 pukul 11:05 WITA

Subjektif: Klien mengatakan nyeri sedikit berkurang, klien mengatakan nyaman

setelah dilakukan perawatan luka.

Objektif: Klien terlihat tenang, luka klien tampak kering, tidak terdapat pus/nanah,

tidak ada jaringan nekrotik, kulit disekitar luka tidak kemerahan, dilakukan

perawatan luka dengan konsep steril menggunakan supratule.

Assasement: Risiko infeksi teratasi.

Planning: Intervensi dihentikan klien pulang.


BAB 4

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas tentang kesenjangan antara teori

dengan kasus pasien yang dikelola selama 3 hari di Rumah Sakit Umum Tarakan

Provinsi Kalimantan Utara. Setelah mempelajari landasan teori dengan

pelaksanaan asuhan keperawatan perioperatif pada klien Nn. A dengan Apendisitis

di Ruang Perawatan Dahlia B Rumah Sakit Umum Tarakan Provinsi Kalimantan

Utara mulai tanggal 27 Mei 2019 sampai dengan 29 Mei 2019, maka bab ini

penulis mengemukakan kesenjangan antara teori dengan pelaksanaan asuhan

keperawatan pada Nn. A dengan Apendisitis. Adapun kesenjangan tersebut akan

diuraikan sesuai dengan langkah-langkah proses keperawatan sebagai berikut:

4.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dari proses

keperawatan secara menyeluruh. Pengkajian mencakup data yang dikumpulkan

melalui wawancara dari riwayat kesehatan, pengkajian fisik, pemeriksaan

laboratorium dan diagnostik, serta catatan medis lainnya (Doenges, Moorhouse, &

Geissler, 2014).

Pengkajian dilakukan secara komprehensif dan menghasilkan kumpulan

data mengenai status kesehatan klien, kemampuan klien untuk mengelola

kesehatan meliputi bio, psiko, sosial dan spiritual. Pada tahap ini semua data atau

informasi tentang klien diutuhkan, dikumpulkan dan dianalisa untuk menentukan

diagnosa keperawatan. Dalam tahap ini, penulis tidak mengalami kesulitan dalam

berkomunikasi denga klien, sehingga penulis bisa mendapatkan data, baik data
87

subjektif dan data objektif dari klien dan keluarga klien. Klien dan keluarga sangat

kooperatif dan menerima kehadiran penulis dalam proses pengumpulan data.

Pada proses pengkajian pada Nn. A dengan Apendisitis di ruang Perawatan

Dahlia B Rumah Sakit Umum Tarakan Provinsi Kalimantan Utara tanggal 27 Mei

2019 di dapatkan beberapa kesenjangan antara teori Doenges, Moorhouse, &

Geissler (2014), dengan kasus Nn. A dengan Apendisitis. Kesenjangan terjadi

karena tidak sesuai dengan hasil pengkajian yang didapatkan penulis dengan

pengkajian menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler (2014). Data pengkajian

tersebut disesuaikan dengan kondisi pasien dengan sistem observasi dan

pemeriksaan yang dilakukan secara holistik dan kompherensif sehingga bisa

menghasilkan data yang akurat. Kesenjangan data dimulai dari proses asuhan

keperawatan yaitu pengkajian apendiktomi pada klien pra operasi, antara lain:

4.1.1 Sirkulasi

Dari data pengkajian Apendisitis menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler

(2014) yang terdapat pada teori ada yang tidak ditemukan pada pasien seperti:

takikardia. Takikardia akan terjadi pada pasien apendisitis dikarenakan apediks

yang mengalami obstruksi menjadi tempat bakteri untuk berkembangbiak

sehingga mengalami peningkatan tekanan intraluminal dan terjadi gangguan

aliran limfa dan edema yang akhirnya menyebabkan obstruksi vena yang

mengarah pada iskemia jaringan, selain itu juga disebabkan karena peningkatan

suhu tubuh yang melebihi batas normal dapat meningkatkan derajat metabolisme

nodus sinus sehingga eksitabilitas dan irama nadi meningkat (Nelson, 2012).

Takikardi adalah gangguan pada pusat kardiorespiratorik yang ditandai

dengan adanya denyut yang tidak teratur atau denyut yang melebihi batas normal.
88

Tanda-tanda takikardi muncul pada penderita apendisitis terjadi karena respon

dari peningkatan kebutuhan metabolisme tubuh seperti terjadinya demam, anemia,

serta adanya infeksi virus atau bakteri sehingga menyebabkan jantung

mengkompensasi dan berkontraksi lebih cepat (Fredy, 2017).

Berdasarkan pengkajian menurut hasil studi lapangan pada Nn. A adalah

tidak ditemukan adanya gejala seperti disebutkan diatas mengenai takikardia,

didapatkan hasil pemeriksaan Nn. A tidak memiliki riwayat penyakit jantung, dan

pemeriksaan TTV dengan TD = 110/60 mmHg, Nadi = 80 x/menit (reguler),

Pernapasan = 20 x/menit, Suhu = 36,2°C, selain itu pada Nn. A tidak terdapat

pemeriksaan penunjang yaitu Elektrokardiografi (EKG) sehingga tidak dapat

dipastikan namun pada pemeriksaan fisik Inspeksi, Palpasi, Perkusi, dan

Auskultasi (IPPA) tidak ditemukan kelainan pada Nn. A.

4.1.2 Cairan/makanan

Dari data pengkajian Apendisitis menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler

(2014) yang terdapat pada teori ada yang tidak ditemukan pada pasien seperti:

anoreksia, mual/muntah. Anoreksia adalah salah satu dari beberapa jenis

gangguan pada makan yang merupakan diagnosis medis berdasarkan pola makan

seseorang dan tes medis pada berat badan, darah, dan Indeks Massa Tubuh (IMT)

dan Berat Badan Ideal (BBI). Secara harfiah arti anoreksia adalah “kehilangan

nafsu makan” namun, pengertian anoreksia tersebut sering menyesatkan, karena

penderita mengalami lebih buruk dari kehilangan nafsu makan (Sumarsono,

2019).

Menurut Nurarif & Kusuma (2015), terdapat beberapa kondisi serius yang

menjadi penyebab mual dan muntah sehingga terjadinya penurunan nafsu makan,
89

yaitu meliputi: apendisitis (radang usus buntu). Penurunan nafsu makan serta

mual/muntah terjadi karena efek anastesi yang mengakibatkan peristaltic usus

menurun sehingga terjadi distensi abdomen. Mual dan muntah adalah suatu gejala

reaksi dari inflamasi pada apendiks, sehingga nervus vagus akan teraktivasi dan

merangsang pusat muntah di medulla oblongata maka akan terjadi mekanisme

mual dan muntah. Mual adalah kondisi perut yang tidak dapat dikontrol sehingga

menyebabkan perut mengeluarkan isinya secara paksa melalui mulut. Sedangkan

mual adalah perasaan yang sangat tidak menyenangkan dan memicu seseorang

untuk ingin muntah dengan mengeluarkan isi lambung yang dibantu dengan

kontraksi otot yang kuat.

Berdasarkan pengkajian menurut hasil studi lapangan pada Nn. A adalah

tidak ditemukan adanya gelaja seperti disebutkan diatas mengenai anoreksia,

mual dan muntah, didapatkan hasil Nn. A tidak mengalami mual muntah, nafsu

makan baik dengan frekuensi makan 3x sehari, menu makanan nasi, sayur, dan

lauk pauk, selain itu mengkonsumsi obat rutin untuk penyakit maag yaitu obat

sanmex dan antasida doen, serta mendapatkan terapi ranitidine 1 amp = 2 ml/12

jam.

4.1.3 Keamanan

Dari data pengkajian Apendisitis menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler

(2014) yang terdapat pada teori ada yang ditemukan pada pasien seperti: demam

(biasanya rendah). Demam adalah kenaikan suhu tubuh yang ditengahi oleh

kenaikan titik ambang regulasi hipotalamus. Pusat regulasi/pengaturan panas

hipotalamus mengendalikan suhu tubuh dengan menyeimbangkan sinyal dari

reseptor-reseptor neuronal perifer dingin dan panas. Faktor pengaturan lainnya


90

adalah suhu darah bersirkulasi dalam hipotalamus. Integrasi sinyal-sinyal ini

mempertahankan agar suhu tubuh normal pada titik ambang 37°C (98°F) dan

sedikit berkisar antara 1 - 1,5°C. Suhu aksila mungkin 1°C lebih rendah dari

dalam suhu tubuh, sebagian karena vasokontriksi kulit, dan suhu oral mungkin

rendah karena pernapasan yang cepat (Nelson, 2012).

Menurut Price & Wilson (2013), demam ringan yaitu 37,5°C muncul

sebagai tanda-tanda reaksi dari inflamasi pada tubuh sehingga pertahanan tubuh

berupa leukosit, magrofag, dan sel mast akan berkerja dan mengalami

peningkatan.

Berdasarkan pengkajian menurut hasil studi lapangan pada Nn. A adalah

tidak ditemukan adanya gelaja seperti disebutkan diatas mengenai demam,

didapatkan hasil Nn. A tidak mengalami demam selama perawatan. Klien

mengeluh demam sebelum dibawa ke RSUD Tarakan dengan suhu = 37,7°C,

klien mendapatkan terapi ceftriaxone sodium 1 gr/12 jam, dimana obat ceftriaxone

digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri dengan cara membunuh atau

menghambat pertumbuhan bakteri dalam tubuh.

4.1.4 Pernapasan

Dari data pengkajian Apendisitis menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler

(2014) yang terdapat pada teori ada yang ditemukan pada pasien seperti: takipnea,

pernapasan dangkal. Takipnea merupakan peningkatan frekuensi pernapasan

tanpa memerhatikan ada atau tidak adanya perubahan pada ventilasi paru secara

keseluruhan yang dapat timbul secara bersamaan dengan hiperpnea atau

hiperventilasi serta juga dapat terjadi secara bersamaan dengan hipoventilasi pada

keadaan ventilasi paru menurun secara keseluruhan sehubungan dengan


91

penurunan volum tidal (Muttaqin, 2012). Terjadinya takipnea pada penderita

apendisitis diakibatkan oleh metabolisme yang meningkat membuat kebutuhan O2

menjadi meningkat sehingga dapat meningkatkan frekuensi napas (Nelson, 2012).

Berdasarkan pengkajian menurut hasil studi lapangan pada Nn. A adalah

tidak ditemukan adanya gelaja seperti disebutkan diatas mengenai takipnea dan

pernapasan dangkal, didapatkan hasil saat di inspeksi tidak ada kelainan pada

thoraks dengan RR = 20 x/menit, palpasi didapatkan vocal premitus seimbang

kanan dan kiri, perkusi terdengar bunyi sonor pada seluruh lapang paru,

auskultasi tidak ditemukan suara napas tambahan.

4.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan

mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respons terhadap masalah aktual dan

risiko tinggi. Label diagnosis keperawatan memberikan format untuk

mengekspresikan bagian identifikasi masalah dari proses keperawatan (Doenges,

Moorhouse, & Geissler, 2014).

Pada proses menegakkan diagnosis keperawatan pada Nn. A dengan

Apendisitis di ruang Perawatan Dahlia B Rumah Sakit Umum Tarakan Provinsi

Kalimantan Utara didapatkan beberapa kesenjangan antara teori Doenges,

Moorhouse, & Geissler (2014), dengan kasus Nn. A Apendisitis. Kesenjangan

terjadi disebabkan karena dalam menegakkan diagnosis keperawatan harus

disesuaikan dengan kondisi atau masalah yang terdapat pada pasien. Diagnosis

pada Doenges, Moorhouse, & Geissler (2014), adalah diagnosis Praoperasi

menurut kasus Apendisitis sehingga memiliki banyak persamaan.


92

Berdasarkan hasil analisa data yang dilakukan maka penulis menyusun

diagnosa keperawatan pada Nn. A dengan Apendisitis. Terdapat enam diagnosa

keperawatan yang muncul yang terbagi dari 2 diagnosa pre operasi dan 4 diagnosa

post operasi pada Nn. A dengan Apendisitis, yaitu:

4.2.1 Diagnosa Keperawatan Pre Operasi:

4.2.1.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi).

4.2.1.2 Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.

4.2.2 Diagnosa Keperawatan Post Operasi:

4.2.2.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi:

apendiktomi).

4.2.2.2 Risiko syok (hipovolemik) ditandai dengan perdarahan intra uterine.

4.2.2.3 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keenggangan untuk

melakukan aktivitas.

4.2.2.4 Risiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invasif.

Penegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan dari beberapa sumber buku,

yaitu terkait dengan penegakkan diagnosa menggunakan dari sumber Doenges,

Moorhouse, & Geissler (2014), dan untuk sistem penulisan menggunakan sumber

dari SDKI (2017). Berikut empat diagnosa keperawatan yang terdapat pada teori

Doenges, Moorhouse, & Geissler (2014), tetapi tidak terdapat pada kasus Nn. A

dengan Apendisitis karena disesuaikan dengan kebutuhan dan keluhan klien

selama dilakukan perawatan di Ruang Dahlia B Rumah Sakit Umum Tarakan

Provinsi Kalimantan Utara, yaitu :


93

1) Pada Diagnosa Keperawatan Pre Operasi

(1) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (inflamasi

gastrointestinal).

Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal (SDKI,

2017). Dengan batasan karakteristik, konvulsi, kulit kemerahan, peningkatan suhu

tubuh ditas kisaran normal, kejang, takikardia, takipnea, kulit terasa hangat

(Nurarif & Kusuma, 2015). Diagnosis yang terdapat pada teori tidak terdapat pada

Nn. A karena tidak adanya peningkatan suhu tubuh dengan Suhu = 36,2°C, Nadi

= 80 x/menit (reguler), Pernapasan = 20 x/menit, kulit tidak kemerahan dan teraba

hangat.

2) Pada Diagnosa Keperawatan Post Operasi

(1) Hipovolemia berhubungan dengan kekurangan intake cairan.

Kekurangan volume cairan (hipovolemia) adalah penurunan cairan

intravaskuler, interstisial, dan/ atau intraseluler (SDKI, 2017). Menurut SDKI

(2017), menyatakan hipovolemia meliputi data mayor dan data minor seperti

frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, TD menurun, turgor kulit menurun,

membrane mukosa kering, suhu tubuh meningkat, dan berat badan turun tiba-tiba.

Diagnosis tidak ditegakkan karena Nn. A tidak adanya mual/muntah, nafsu makan

baik dengan frekuensi makan 3x sehari, menu makanan nasi, sayur, dan lauk

pauk, selain itu mengkonsumsi obat rutin untuk penyakit maag yaitu obat sanmex

dan antasida doen, serta mendapatkan terapi ranitidine 1 amp = 2 ml/12 jam

Tanda-tanda vital Nn. A dengan TD = 120/80 mmHg; N = 86 x/menit; RR = 20

x/menit; S = 36°C. Konjungtiva tampak tidak pucat, mukosa bibir lembab, turgor

kulit baik dan tidak mengalami penurunan berat badan, BB = 60 kg.


94

(2) Disfungsi motilitas gastrointestinal berhubungan dengan pembedahan.

Disfungsi motilitas gastrointestinal adalah peningkatan, penurunan,

ketidakefektifan, atau kurang aktivitas peristaltic didalam sistem gastrointestinal

(SDKI, 2017). Diagnosis yang terdapat pada teori tidak terdapat pada Nn. A

karena tidak mengalami peningkatan/penurunan residu lambung, muntah/muntah,

distensi abdomen, diare, kesulitan mengeluarkan feses, feses kering, dan feses

keras .

(3) Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan terputusnya jaringan

pasca insisi.

Gangguan integritas jaringan adalah kerusakan jaringan membrane mukosa,

kornea, fasia, integument, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi, ligament,

atau subkutan (SDKI, 2017). Diagnosis tidak ditegakkan karena Nn. A tidak

mengalami gangguan sirkulasi, tidak terkena iritasi zat kimia dan radiasi,

konjungtiva tampak tidak pucat, mukosa bibir lembab, turgor kulit baik.

Adapun terdapat 2 diagnosa keperawatan yang terdapat pada Nn. A namun

tidak ada terdapat pada teori menurut Doenges, Moorhouse, & Geissler (2014)

dengan intervensi praoperasi sebagai berikut:

1) Risiko syok (hipovolemik) ditandai dengan perdarahan intra uterine.

Risiko syok (hipovolemik) adalah ketidakcukupan aliran darah ke jaringan

tubuh sehingga mengakibatkan disfungsi seluler yang mengancam jiwa (SDKI,

2017). Diagnosis ini ditegakkan karena Nn. A pernah dirawat sebelumnya pada

tahun 2017 di rumah sakit Malinau karena mengalami perdarahan akibat

penebalan dinding rahim sehingga menyebabkan anemia. Data tersebut diperkuat

dengan adanya: hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 26 Mei 2019 jam
95

10:44 WITA dengan Hb = 8,3 g/dL, Hematocrit (HCT) = 28,5%, MCV = 64,6 fL,

MCH = 18,8 pg, MCHC = 29,1 g/L, dan Neutrofil = 42,6%. Hasil pemeriksaan

laboratorium pada tanggal 27 Mei 2019 jam 06:08 WITA dengan Hb = 9,2 g/dL,

HCT = 30,5%, MCV = 66,6 fL, MCH = 20,1 pg, MCHC = 30,2 g/L, dan

Neutrofil = 80,9%, sehingga diberikan transfusi darah yang pertama, dan

dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium pada tanggal 28

Mei 2019 dengan hasil Hb = 8,8 g/dL sehingga perlu dilakukan transfusi darah

yang kedua kalinya pada pukul 21:50 WITA sebelum pasien pulang pada hari

Rabu, 29 Mei 2019.

2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keenggangan untuk

melakukan aktivitas.

Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan fisik tubuh atau satu atau

lebih ekstremitas secara mandiri atau terarah yang diperkuat dengan nyeri saat

bergerak, enggan untuk melakukan pergerakan, serta merasa cemas saat bergerak

(SDKI, 2017). Diagnosis ini dapat ditegakkan karena Nn. A menggatakan takut

untuk melakukan aktivitas dikarenakan takut akan terlepasnya jahitan pasca

operasi, sulit beraktivitas dikarenakan nyeri yang dirasakan pada daerah operasi,

terlihat hanya berbaring di tempat tidur saja.

4.3 Intervensi/Perencanaan

Intervensi keperawatan adalah preskripsi spesifik yang diharapkan dari

pasien dan/atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat. Tindakan/intervensi

keperawatan dipilih untuk membantu pasien dalam mencapai hasil pasien yang

diharapkan dan tujuan pemulangan. Harapannya adalah bahwa perilaku yang

diperskripsikan akan menguntungkan pasien dan keluarga dalam cara yang dapat
96

diprediksi, yang berhubungan dengan masalah yang diidentifikasi dan tujuan yang

telah dipilih. Intervensi ini mempunyai maksud menginduvidualkan perawatan

dengan memenuhi kebutuhan spesifik pasien serta harus menyertakan kekuatan-

kekuatan pasien yang telah diidentifikasi bila memungkinan (Doenges,

Moorhouse, & Geissler, 2014).

Pada tahapan perencanaan ini penulis tidak menemukan banyak kesulitan

karena penulis memiliki sumber yang banyak. Semua tindakan disesuaikan

dengan perencanaan yang telah ditentukan sebelumnya dan disesuaikan dengan

kondisi klien. Adapun beberapa tindakan yang tidak dimasukkan dalam

perencanaan yaitu :

4.3.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi:

apendiktomi).

1) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena telah masuk intervensi di

pembahasan diagnosa tingkat kecemasan.

2) Tingkatkan istirahat/tidur

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena penulis tidak memenukan

data yang menyatakan bahwa klien mengalami kesulitan tidur dikarenakan nyeri

yang dirasakan setelah dilakukan operasi apendiktomi.

3) Tentukan pilihan analgesic tergantung tipe dan beratnya nyeri.

Penulis tidak mengambil intervensi tersebut karena pemberian obat yang

sesuai dengan apa yang dikeluhkan klien adalah wewenang dari dokter dan

pemberian obat dapat dikontrol oleh perawat dengan Nn. A diberikan terapi obat
97

metamizole sodium 1000 mg/12 jam pada jam 06:00 WITA, jam 15:00 WITA,

serta pada jam 23:00 WITA.

4) Observasi vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesic pertama kali.

Penulis tidak mengambil intervensi tersebut karena memonitor vital sign

atau pengukuran tanda-tanda vital dilakukan setiap per delapan jam.

4.3.2 Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.

1) Anjurkan keluarga klien untuk menemani klien agar dapat memberikan

keamanan dan mengurangi takut.

Penulis tidak mengambil intervensi tersebut karena waktu tidak memadai

dalam melakukan intervensi tersebut sehingga klien hanya ditemani dengan

keluarga dan adiknya selama dalam perawatan di ruangan.

2) Kaji tingkat kecemasan.

Penulis tidak mengambil intervensi tersebut karena penulis telah dilakukan

dipengkajian awal sebagai data untuk menegakkan diagnosa kecemasan.

3) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian obat untuk mengurangi

kecemasan.

Penulis tidak mengambil intervensi tersebut karena tidak ada instruksi dari

dokter untuk pemberian obat tingkat kecemasan, selain itu tingkat yang dirasakan

masih dalam tingkatan kecemasan ringan dan klien dapat mengalihkan kecemasan

dengan berbincang dengan keluarga, menonton video di youtube serta

mengalihkannya dengan mendengarkan lagu yang disukai sehingga klien tidak

diberikan obat untuk mengurangi kecemasan.


98

4.3.3 Risiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invasive.

1) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.

Penulis tidak mengambil intervensi tersebut karena dalam membersihkan

lingkungan yang telah dipakai oleh pasien lain seperti membersihkan dengan

mengelap ranjang tempat tidur adalah tugas dan tanggungjawab dari cleaning

service di rumah sakit.

2) Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena klien tidak terpasang kateter

urine, klien dapat BAK secara mandiri di toilet.

Dalam menerapkan intervensi keperawatan penulis dapat melakukan

intervensi asuhan keperawatan dengan baik langsung kepada klien dan keluarga,

walaupun terdapat penambahan atau pengurangan dari rencana tindakan dengan

teori yang ada dikarenakan penulis berusaha untuk meyesuaikan rencana tindakan

keperawayan dengan kondisi Nn. A.

Penulis menentukan tujuan dan kriteria hasil berdasarkan kebutuhan klien

dan hasil yang ingin dicapai dengan sarana dan prasarana yang ada, tidah adanya

standar yang baku untuk menetapkan waktu tujuan sehingga penulis

menentukannya berdasarkan tingkat keluhan klien dan disesuaikan dengan waktu

catatan perkembangan selama tiga hari yang telah ditetapkan.


99

4.4 Implementasi

Pada tahap pelaksanaan penulis akan melaksanakan perencanaan yang telah

disusun pada tahap pengumpulan data, pelaksanaan asuhan keperawatan yang

dilakukan penulis disesuaikan dengan rencana tindakan yang telah dibuat. Semua

perencanaan yang disusun sesuai dengan diagnosa keperawatan dapat

diimplementasikan hanya saja terdapat beberapa intervensi yang tidak dilakukan

secara maksimal dikarenakan kurangnya waktu yang penulis miliki dan kurangnya

ruang lingkup pembatas yang memadai antara pasien kelolaan dengan pasien

lainnya di dalam satu ruangan. Tahap melakukan implementasi penulis

menemukan hasil analisis selama proses perawatan ada beberapa faktor

pendukung dan penghambat. Faktor pendukung antara lain yaitu: semua intervensi

dapat terlaksana dengan melibatkan klien dan keluarganya, klien bersikap terbuka,

kooperatif dan mudah diajak kerjasama, sehingga mudah dalam menerima

penjelasan dan saran, dan klien sangat berpartisipasi aktif dalam tindakan

keperawatan. Sedangkan untuk faktor penghambatnya antara lain yaitu klien

kurang melakukan mobilisasi dikarenakan masih takut dan nyeri jika sewaktu-

waktu jahitan operasinya bisa terbuka dan juga mengeluh nyeri.

4.5 Evaluasi

Evaluasi adalah fase akhir dari proses keperawatan yang dilakukan dengan

ecaluasi sumatif untuk menilai asuhan keperawatan yang telah diberikan pada Nn.

A dengan Apendisitis selama tiga hari yaitu mulai tanggal 27 Mei sampai dengan

29 Mei 2019. Diagnosa-diagnosa yang ditemukan oleh penulis ada masalah yang

teratasi dan masalah yang belum teratasi selama melakukan asuhan keperawatan.
100

Terdapat enam diagnosa keperawatan yang ditemukan pada klien

didapatkan bahwa lima diagnosa keperawatan dapat teratasi sesuai dengan tujuan

dan kriteria hasil yang telah ditetapkan:

4.5.1 Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.

Masalah teratasi ditandai dengan: klien mengatakan cemasnya berkurang,

klien terlihat tenang, mendengarkan lagu kesukaannya. Klien diantar ke ruang

operasi pada pukul 10:40 WITA.

4.5.2 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (proses pembedahan:

apendiktomi).

Masalah teratasi ditandai dengan: klien mengatakan nyeri diperutnya telah

berkurang, skala nyeri 3 (ringan), dapat mengulangi dan melakukan teknik RND,

tampak tenang, dan tidak meringis.

4.5.3 Risiko syok (hipovolemik) ditandai dengan perdarahan intra uterine.

Masalah teratasi sebagian ditandai dengan: klien telah terpasang transfuse

darah kedua dengan golongan darah O pada pukul 21:50 WITA, tidak tampak

lemah, konjugtiva tidak pucat, mukosa bibir lembab, hasil pemeriksaan TTV

dengan TD = 120/80 mmHg; N = 86 x/menit; RR = 20x/menit; S = 36°C, hasil

pemeriksaan darah lengkap dengan Hb = 8,8 g/dL, Hematocrit (HCT) = 29,5%,

MCV = 66,7 fL, MCH = 19,9 pg, MCHC = 29,8 g/L, dan Neutrofil = 77,0%.

4.5.4 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keenggangan untuk

melakukan aktivitas.

Masalah teratasi ditandai dengan: klien dapat melakukan aktivitas yang

ringan, duduk dan berjalan-jalan disekitar kamar. TD = 120/80 mmHg; N = 86

x/menit; RR = 20 x/menit; S = 36° C.


101

4.5.5 Risiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invasive.

Masalah teratasi ditandai dengan: klien tampak nyaman saat dilakukan

perawatan luka, luka tampak kering, tidak terdapat pus/nanah, tidak ada jaringan

nekrotik, luka disekitar luka tidak kemerahan, dan dilakukan perawatan luka

dengan konsep steril menggunakan supratule sebelum klien pulang, hasil

pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 28 Mei 2019 dengan jumlah leukosit =

12,20 103/uL.
BAB 5

PENUTUP

Dari hasil pelaksanaan asuhan keperatawan perioperatif pada Nn. A dengan

Apendisitis dapat dilakukan beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan landasan

teori dan tujuan yang telah ditetapkan. Penulis juga mengemukakan saran demi

perbaikan asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan Apendisitis.

5.1 Kesimpulan

Setelah melaksanakan asuhan keperawatan perioperatif pada Nn. A dengan

Apendisitis selama tiga hari terhitung dari Tanggal 27 Mei 2019 sampai dengan 29

Mei 2019 Di Ruang Perawatan Dahlia B Rumah Sakit Umum Tarakan Provinsi

Kalimantan Utara, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

5.1.1 Penulis melakukan asuhan keperawatan melalui setiap tahap dari proses

keperawatan yang terangkai mulai dari pengkajian, perumusan diagnosa

keperawatan, perencanaan tindakan, pelaksanaaan keperawatan dan

evaluasi. Penulis dapat melaksanakan setiap tahapan sesuai dengan tingkat

pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh penulis. Pengkajian pada

Nn. A dengan Apendisitis penulis melakukan secara bertahap dengan

memperhatikan kondisi klien dan sarana yang tersedia. Pengkajian

dilakukan secara menyeluruh untuk mendapatkan data yang akurat. Setelah

melakukan pengkajian, penulis kemudian mengelompokkan data-data yang

diperoleh, menganalisa lalu merumuskan diagnosa yang tepat untuk setiap

data. Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, penulis kemudian

menyusun rencana tindakan yang tepat dengan memperhatikan kondisi


103

klien, fasilitas yang tersedia dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Tahap

selanjutnya penulis kemudian mengimplementasikan rencana yang telah

disusun. Setelah melakukan implementasi penulis melanjutkan dengan

mengevaluasi. Evaluasi yang dilakukan penulis terdiri dari dua kategori

yaitu evaluasi sumatif yang dilakukan disetiap tindakan dan evaluasi

formatif yang dilakukan diakhir pertemuan dengan klien.

5.1.2 Dengan melakukan beberapa tahapan dari proses keperawatan penulis

menemukan beberapa kesenjangan antara teori dan kasus yaitu :

1) Pada proses pengkajian penulis menemukan kesenjangan antara teori dan

kasus pada klien Nn. A adalah sebagai berikut: sirkulasi, eliminasi,

cairan/makanan, keamanan, dan pernapasan.

2) Adapun diagnosa keperawatan yang terdapat diteori namun tidak ditemukan

pada kasus, yaitu pada diagnosa keperawatan pre operasi: Hipertermia

berhubungan dengan proses penyakit (inflamasi gastrointestinal), dan

diagnosa keperawatan post operasi: Hipovolemia berhubungan dengan

kekurangan intake cairan, Disfungsi motilitas gastrointestinal berhubungan

dengan pembedahan, serta Gangguan integritas jaringan berhubungan

dengan terputusnya jaringan pasca insisi. Adapun diagnosa keperawatan

yang tidak ada diteori namun ditemukan pada kasus, yaitu pada diagnosa

keperawatan post operasi: Risiko syok (hipovolemik) ditandai dengan

perdarahan intra uterine dan Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan

keenggangan untuk melakukan aktivitas.


104

3) Pada perencanaan tindakan terdapat rencana tindakan yang tidak

dimasukkan ke dalam rencana tindakan kasus, yaitu: Bantu pasien dan

keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan, Tingkatkan

istirahat/tidur, Tentukan pilihan analgesic tergantung tipe dan beratnya

nyeri, Observasi vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesic

pertama kali, Anjurkan keluarga klien untuk menemani klien agar dapat

memberikan keamanan dan mengurangi takut, Kaji tingkat kecemasan,

Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian obat untuk mengurangi

kecemasan, Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain serta Gunakan

kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing.

5.1.3 Faktor pendukung dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien

adalah sikap klien dan keluarga yang ramah dan kooperatif pada setiap

tindakan yang dilakukan, izin yang diberikan pihak rumah sakit serta

tersedianya fasilitas dari institusi yang menunjang pelaksanaan asuhan

keperawatan pada klien. Sementara faktor penghambat dalam melaksanakan

asuhan keperawatan adalah keterbatasan waktu dalam melakukan perawatan

pada klien selama 24 jam sehingga penulis mendelegasikan perawatan

selanjutnya pada perawat ruangan dan keterbatasan dalam hal pengetahuan

serta keterampilan yang dimiliki penulis untuk melaksanakan beberapa

asuhan pada klien.


105

5.1.4 Adapun pemecahan masalah yang dilakukan pada klien yaitu dengan

memperdalam literatur-literatur mengenai penyakit klien sehingga dapat

dilaksanakan intervensi-intervensi yang telah direncanakan meliputi

tindakan promotif, preventif, kuratif, dan tindakan kolaboratif dengan tim

kesehatan lainnya.

5.2 Saran

Setelah melaksanakan asuhan keperawatan perioperatif pada Nn. A dengan

Apendisitis, diharapkan asuhan keperawatan dengan Apendisitis dapat dilakukan

secara menyeluruh. Penulis menyarankan kepada pembaca yaitu :

5.2.1 Bagi Klien dan Keluarga

Untuk Nn. A yang merupakan salah satu pasien dengan apendisitis yang

dirawat di Ruang Perawatan Dahlia B Rumah Sakit Umum Tarakan agar lebih

memperhatikan kesehatannya karea telah menjalani operasi dengan indikasi

apendisitis, untuk menghindari terjadinya komplikasi lebih lanjut maka sangat

diharapkan kepada Nn. A agar memperhatikan kesehatannya terutama agar makan

makanan yang mengandung protein seperti ikan dan telur agar kondisi luka

semakin membaik dan tidak melakukan aktivitas berat sebelum kondisi dirasa

belum membaik.

5.2.2 Bagi Mahasiswa

Diharapkan mahasiswa dapat menerapkan konsep teori tentang Asuhan

Keperawatan yang dilaksanakan pada Nn. A dengan apendisitis. Peluang untuk

mengatasi masalah seperti ini sangat terbatas oleh karena itu diharapkan

mahasiswa juga mampu membuka wawasan dan keterampilan dasar untuk

memperbaharui ilmu tentang proses keperawatan yang dinamis.


106

5.2.3 Bagi Institusi

Diharapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran Asuhan Keperawatan yang

sesuai dengan standar praktik keperawatan jika ini dilakukan pada Nn. A dengan

apendisitis.

5.2.4 Bagi Rumah Sakit

Diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan dan

mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim kesehatan maupun pada

klien serta rumah sakit mampu menyediakan fasilitas serta sarana dan prasarana

yang dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang optimal pada

umumnya dan khususnya bagi pasien apendisitis.


DAFTAR PUSTAKA

Amalina, A., Suchitra, A., & Saputra, D. (2018). Hubungan Jumlah Leukosit Pre
Operasi Dengan Kejadian Komplikasi Pasca Operasi Apendiktomi Pada
Pasien Apendisitis Perforasi di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, 491-497.

Arifuddin, A., Salmawati, L., & Prasetyo, A. (2017). Faktor Risiko Kejadian
Apendisitis Di Bagian Rawat inap Rumah Sakit Umum Anutapura Palu
Volume 8 Nomor 1. Jurnal Preventif; Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1-
58.

Baughman, D., & Hackley, J. (2016). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Budiono, & Pertami, S. B. (2016). Konsep Dasar Keperawatan Editor Suryani


Parman, Restu Damayanti Cetakan 1. Jakarta: Bumi Medika.

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: ECG.

Deden, D., & Tutik, R. (2010). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan.
Yogyakarta: Gosy en Publishing.

Devi, A. K. (2017). Anatomi Fisiologi dan Biokimia Keperawatan. Yogyakarta:


Pustakabarupress.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2014). Rencana Asuhan


Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Fredy, F. C. (2017). Takikardia. Retrieved Juni 15, 2019, from


http://www.kerjanya.net/faq/4360-takikardia.html

Kirnanoro, D. H., & Maryana, N. (2016). Anatomi Fisiologi. Yogyakarta: PT.


Pustaka Baru.

Mansjoer. (2012). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapus.

Mulya, L. (2014). Anoreksia. Retrieved Juni 2019, 15, from


http://www.kerjanya.net/faq/4404-anoreksia.html

Muttaqin, A. (2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Nasution, A. P. (2011). Hubungan antara Jumlah Leukosit dengan Apendisitis


Akut dan Apendisitis Perforasi di RSUD Dokter Soedarso Pontianak tahun
2011. Retrieved Juni 14, 2019
108

Nelson. (2012). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid 3. Jakarta: Interna
Publishing.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan NANDA NIS-NOC Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta:
Mediaction Publishing Jogja.

Pearce, E. C. (2017). Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama.

Prayogu, I. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Operasi Apendiktomi


Dalam Pemenuhan Kebutuhan Mobilitas Fisik Di Ruang Melati RSUD
Kota Kendari. Kendari: Politeknik Kesehatan Kendari.

Rukmono. (2011). Bagian Patologik Anatomik. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia.

Sarosi, G. (2016). Appendicitis in Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and


Liver Disease. Journal United States of America, 2112-2121.

SDKI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator


Diagnostik Edisi 1. Jakarta: PPNI.

Sherwood, L. (2015). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidayat R, & Jong W, D. (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidayat, R. (2013). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.

Sumarsono, B. (2019). Anoreksia. Retrieved Juni 15, 2019, from


https://www.halopsikolog.com/anoreksia-adalah-pengertian-gejala-
penyebab-dan-mengobati/

Walid, S. (2016). Proses Keperawatan: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz


Media.

Widarsa, I. T., & Padmi, C. I. (2018). Akurasi Total Hitung Leukosit dan Durasi
Simtom sebagai Prediktor Perforasi Apendisitis pada Penderita Apendisitis
Akut. Warmadewa Medical Journal, Volume 2 No. 2.

Wijaya, S. A., & Putri, M. Y. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan


Dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika.

Windy, C., & Sabir, M. (2016). Perbandingan Antara Suhu Tubuh, Kadar
Leukosit, Dan Platelet Distribution Width (PDW) Pada Apendisitis Akut
dan Apendisitis Perforasi Di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu Tahun
2014 Vol. 2 No. 2. Jurnal Kesehatan Tadulako, 24-32.

Anda mungkin juga menyukai