Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Pengetahuan
1. Definisi Pengetahuan
pengetahuan merupakan hasil tahu, yang ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Sebagian besar pengetahuan merupakan pedoman atau faktor yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behaviour)
(Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menuturkan apabila
seseorang mengenal tentang sesuatu. Suatu hal yang menjadi
pengetahuannya adalah selalu terdiri atas unsur yang mengetahui dan
diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahuinya itu. Oleh
karena itu pengetahuan selalu menuntut adanya subjek yang mempunyai
kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan
sesuatu yang dihadapi sebagai yang ingin diketahuinya. Jadi dapat dikatakan
pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala
perbuatan manusia untuk memahami suatu objek yang dihadapinya, atau
hasil untuk memahami suatu objek tertentu.
Sonny Keraf dan Michael Dua (2001) Menjelaskan tiga jenis pengetahuan
menurut polanya meliputi:
a. Tahu bahwa
b. Tahu bagaimana
c. Tahu akan atau mengenai
2. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan yang tercakup dalam domain
kognitif sangat penting menentukan tindakan seseorang . pengetahuan yang
termasuk dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu dapat diartikan sebagai suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya, termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami (comprehension)
diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan suatu meteri
tersebut dengan benar. Misalnya dapat mejelaskan mengapa harus
makan makanan yang bergizi.
c. Aplikasi (application)
diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau real (sebenarnya). Misalnya bisa
menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah kesehatan dari
kasus yang diberikan.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek kedalam komponen-komponen, tetapi masuk kedalam sruktur
organisasi dan masih ada kaitannya satu dengan yang lain. Kemampuan
analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja yang dapat
penggambarkan, membedakan, memisahkan dan mengelompokan.
e. Sisntesis
Sintesis adalah suatu kemampuan seseorang untuk menyusun atau
meletakan bagian-bagian didalam suatu bentuk yang baru atau logis.
Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan,
dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-
rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan atau melakukan justifikasi
dan nilai terhadap suatu materi atau objek. Evaluasi dilakukan dengan
menggunakan kriteria sendiri atau kriteria yang telah ada.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Menurut notoatmodjo (2007), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang yaitu:
a. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan didalam dan diluar sekolah berlangsung seumur hidup.
Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan tinggi, maka
orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu
ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti
mutlak berpengetahuan rendah juga.
b. Informasi
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non
formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact)
sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.
c. Sosial budaya dan ekonomi
Kebiasaan tradisional yang dilakukan orang-orang tanpa melalui
penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian
seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan.
Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersediannya suatu
fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial
ekonomi ini akan mempengaruhi ekonomi seseorang.
d. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar yang ada disekitar
individu, baik lingkungan fisik, biologis maupun sosial. Lingkungan
berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan kedalam individu
yang berada didalam lingkungan tersebut.
e. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan yang diperoleh dalam memecah
masalah yang dihadapi masa lalu.
f. Usia
Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap
dan pola pikirnya, sehingga pengetahuannya yang diperoleh semakin
membaik.
4. Pengukuran Pengetahuan
Menurut teori Lawrence Green (dalam Notoatmodjo, 2007) bahwa perilaku
seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan,
sikap, kepercayaan dan tradisi sebagai faktor predisposisi disamping faktor
pendukung seperti lingkungan fisik, prasarana atau faktor pendorong yaitu
sikap atau perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya.
Pengukuran pengetahuan menurut Arikunto (2006), dapat dilakukan dengan
wawancara atau angket yang menanyakan tentang yang ingin dengan objek
penelitian atau responden. Data yang bersifat kualitatif digambarkan dengan
kata-kata, sedangkan data yang bersifat kuantitatif terwujud angka-angka,
hasil perhitungan atau pengukuran, dapat diproses dengan cara dijumlahkan,
dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan dan diperoleh persentase,
setelah dipersentase, setelah dipersentasekan lalu ditafsirkan kedalam
kalimat yang bersifat kualitatif.
a. Kategori baik yaitu menjawab benar 76% - 100% dari yang diharapkan
b. Kategori cukup yaitu menjawab benar 56% - 75% dari yang diharapkan
c. Kategori kurang yaitu menjawab benar <56% dari yang diharapkan

B. Konsep Masyarakat Terhadap Gangguan Jiwa


1. Peran Serta Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggi disuatu tempat
dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga
merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan,
adopsi, kelahiran, yang bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan
budaya yang umum, meningkatkan perkembangan pisik, mental, emosionsl,
dan sosial dari tiap anggota.
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi
sosial yang diberikan, yang dimaksud dengan posisi sosial dan status adalah
posisi individu dalam masyarakat misalnya sebagai suami, istri, anak,dan
sebagainya.
Peran serta keluarga dalam upaya kesehatan jiwa adalah bagaimana keluarga
dapat melaksanakan perilaku mendukung salah satu anggota kerluarga yang
mengalami gangguan jiwa, dapat berkomunikasi dan berinteraksi secara
terbuka dan jujur, selalu menyelesaikan konflik, berpikiran positif dan tidak
mengulang-ulang isu dan pendapat sendiri.

2. Tipe keluarga
Bentuk tipe keluarga menurut Sudiharto (2007) antara lain terdiri dari
keluarga inti, keluarga besar, campuran, keluarga hidup bersama, serial,
gabungan dan sebagainya. Tipe keluarga ini merupakan tipe keluarga yang
lazim terjadi diberbagai Negara barat, untuk diindonesia, penyesuaian dengan
etika dan tatakrama sosial, sehingga tidak semua bentuk tipe keluarga ini ada
di Indonesia. Bentuk tipe keluarga ini sangat berpengaruh terhadap bentuk
dukungan yang akan diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa.

3. Fungsi keluarga
Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) dalam Sudiharto, (2007),
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Fungsi afektif (the affective function), fungsi keluarga yang utama untuk
mengajarkan segala seduatu untuk mempersiapkan anggota keluarga
berhubungan dengan orang lain, fungsi ini dibutuhkan untuk
perkembangan individu dan psikososial keluarga.
2. Fungsi sosialisasi dan penempatan sosial (cocialization and social
placement function), fungsi pengembangan dan tempat melatih anak
untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk
berhubungan dengan orang lain diluar rumah.
3. Fungsi reproduksi (reproductive function), untuk mempertahankan
generasi menjadi kelangsungan keluarga
4. Fungsi ekonomi (the economic function), keluarga berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan keluarga secara dan tempat untuk mengembangkan
kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
5. Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (the healthy care
function), fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota
keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi. Fungsi ini
dikembangkan menjadi tugas keluarga dibidang kesehatan.
4. Tugas kesehatan keluarga
Keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan yang terjadi pada
salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi seluruh system. Keluarga
juga sebagai suatu kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah,
mengabaikan atau memperbaiki masalah-masalah kesehatan dalam
kelompok.
Untuk itu, keluarga mempunyai beberapa tugas kesehatan yang harus
dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan anggota keluarga, yaitu
(Bailon & Maglaya, 1998 dalam Efendi & Makhfudli, 2009):
1. Mengenal gangguan kesehatan setiap anggota keluarga
2. Menggambil keputusan untuk tindakan yang tepat
3. Memberikan perawatan kepada anggota keluarga ketika sakit
4. Memodifikasi lingkungan sekitar untuk kesehatan
5. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

Peran keluarga sangat dibutuhkan dalam proses pengobatan pasien gangguan


jiwa karena keluarga merupakan kelompok kecil yang dapat berinteraksi
dengan pasien (Fitrrishia, 2008). Fungsi dan peran keluarga adalah sebagai
sistem pendukung dalam memberikan pertolongan dan bantuan bagi
anggotanya yang sedang sakit dan dan anggota keluarga memandang bahwa
orang yang bersifat mendukung, selalu siap diberikan pertolongan dengan
bantuan jika diperlukan (Nuraenah, 2014). Perilaku keluarga dalam
cenderung mencari pilihan pengobatan sangat terkait dengan tingkat
pendapatan, wilayah tempat tinggal dan sejarah sakit pada anggota keluarga
(Rohmansyah, 2010).

Theory of Planned Behavior (TPB) didasarkan pada asumsi bahwa perilaku


atau niat untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu, ditentukan oleh sikap
seseorang terhadap perilaku, norma subjektif dan persepsi control perilaku.
Teori ini menjelaskan tingkah laku seseorang dapat ditampilkan karena
alasan tertentu, yaitu dengan berpikir tentang konsekuensi tindakan dan
mengambil keputusan secara hati-hati guna mencapai hasil tertentu (Ajzen,
2005).

Persepsi gangguan jiwa adalah sebuah penyakit yang memalukan, aib serta
momok yang menakutkan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang
mengirimkan anggota keluarganya kerumah sakit diluar daerahnya karena
mereka malu dengan anggapan negatif dari tetangga sekitar (Alifathul, 2015).

Bagi sebagian keluarga, meninggalkan pasien gangguan jiwa dirumah sakit


jiwa adalah hal yang akan membuat mereka terlepas dari aib keluarga
(Retnowati, 2012). Masih banyak pasien dengan gangguan jiwa berat yang
mendapat penanganan secara medis atau yang drop out dari penanganan
medis dikarenakan oleh faktor-faktor seperti kekurangan biaya, rendahnya
pengetahuan keluarga dan mesyarakat sekitar terkait dengan gejala gangguan
jiwa (Lestari & Fauzia, 2014).

Sigma merupakan salah satu hambatan yang mencegah orang degan


gangguan jiwa mendapat perawatan (Cooper, Corrigan, & Watson, 2003).
Dalam kenyataannya, 50-60% orang dengan gangguan jiwa menghindari
perawatan karena takut mendapat stigma (Substance Abuse and Mental
Health Services Administration, 2003 dalam Park, et al, 2014).

Sigma tidak hanya terjadi pada pasien gangguan jiwa, namun juga pada
anggota keluarga yang terkait juga terkena dampaknya. Struktur budaya
dilingkungan masyarakat juga turut andil untuk mempengaruhi pembentukan
nilai didalam keluarga. Keluarga merasa adanya anggapan negatif labelling
dan deskriminasi yang mempengaruhi kehidupan mereka, sehingga
menumbuhkan keinginan menarik diri secara fisik dan sosial dan membatasi
diri untuk menggunakan kesempatan berbaur dengan llingkungan masyarakat
(Napolion, 2010).
Goffman (1963) mengungkapkan, “ stigma as a sign or a mark that
designates the bearer as “spoiled” and therefore as valued less than
“Normal” people ”.

Stigma merupakan tanda atau ciri yang menandakan pemiliknya membawa


sesuatu yang buruk dan oleh karena itu dinilai lebih rendah dibandingkan
dengan orang normal. Pengertian yang diberikan oleh Goffman ini sesuai
dengan kenyataan dimana banyak pasien skizofrenia dikucilkan,
dideskriminasi, dan dihilangkan haknya dalam mendapat pekerjaan. Menurut
penelitian yang dilakukan Moya (2010), menyebutkan bahwa stigma dapat
menyebabkan stress psikologis, depresi, ketakutan, masalah dalam
pernikahan pekerjaan dan menambah parahnya kondisi penyakit.

Sigma keluarga merupakan sikap keluarga dan masyarakat yang menganggap


bila salah seorang anggota keluarga menderita skizofrenia merupakan aib
bagi anggota keluarganya (Hawari, 2009). Stigma keluarga adalah orang lalin
atau masyarakat memiliki persepsi negatif, sikap, emosi dan penghindaran
dari masyarakat ke keluarga akibat ketidakbiasaan keluarga (memiliki
anggota keluarga yang sakit) sehingga menimbulkan konsekuensi emosional,
sosial dan interpersonal yang dapat menimbulkan kualitas keluarga (Park &
Park, 2014).

Hasil Riset Kondisi Masyarakat

Beban dan koping keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa:

Data deskriptif menunjukan hasil bahwa beban keluarga klien dengan


skizofrenia masih tergolong rendah. Beban subjektif dirasakan lebih
memberatkan keluarga dari pada beban objektif. Keluarga yang merasakan
beban subjektif kategori rendah 4%, sedang 48%, dan tinggi 48%. Keluarga
yang merasakan beban objektif kategori rendah 71,5% sedang 19% dan tinggi
9,5%. Beban subjektif yang paling banyak dirasakan keluarga adalah
perasaan stress, bingung, cemas dan merasa malu saat merawat klien. Beban
objektif yang paling banyak dirasakan keluarga adalah kurangnya
pendapatan, dan merasa penolakan dari masyarakat saat merawat klien
dirumah.

5. Peran Serta Masyarakat


Masyarakat dapat berperan serta dalam upaya kesehatan jiwa baik dilakukan
secara perseorangan atau berkelompok. Peran ini dapat dilakukan dengan cara;
a. Memberikan bantuan tenaga, dana, fasilitas serta sarana dan prasarana dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa
b. Melaporkan adanya ODGJ yang membutuhkan pertolongan
c. Melaporkan tindakan kekerasan yang dialami serta yang dilakukan ODGJ
d. Menciptakan iklim yang kondusif bagi ODGJ
e. Memberika pelatihan keterampilan khusus kepada ODGJ
f. Memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya peran
keluarga dalam penyembuhan ODGJ
g. Mengawasi fasilitas pelayanan di bidang kesehatan jiwa

Beberapa masyarakat masih mengkaitkan penyebab gangguan jiwa


diakibatkan oleh kekuatan ghoib.persepsi tersebut menyebabkan mereka
baru mendatangi pelayanan kesehatan atau kesehatan jiwa jika gangguan
jiwa yang dialami sudah berat atau bahkan mengganggu orang lain
(Directorate Of Mental Health, 2006). Keluarga yang memiliki anggota yang
gangguan jiwa, cenderung akan menyembunyikan dan mengucilkan anggota
keluarga tersebut agar tidak diketahui oleh masyarakat, sebab keluarga
mereka menganggap sebagai aib. Hal ini membuat pasien mengalami isolasi
sosial yang justru akan memberatkan gejala yang dialami pasien, sehingga
tentunya juga akan memberatkan keluarga yang merawat (Durand &
Barlow, 2007). Dukungan keluarga sangat diperlukan dalam mencegah
terjadinya skizofrenia yaitu dengan merawat secara langsung sehingga
keluarga lebih dapat memahami masalah yang dihadapi oleh pasien
gangguan jiwa (Minas & Diatri, 2008).

Hasil penelitian tentang keyakinan dan kepercayaan masyarakat terhadap


gangguan jiwa adalah masyarakat menganggap gangguan jiwa tidak dapat
sembuh, pasien menjadi tidak bisa menjaga diri, membahayakan, bahkan ada
yang mengatakan penyebab gangguan jiwa adalah adanya faktor lain diluar
medis, diguna-guna, dan sebagainya.

6. Keyakinan dan kepercayaan masyarakat tentang gangguan jiwa:


 Susceptibility & severity
tidak bisa sembuh, tidak bisa menjaga diri, membahayakan, penyebab
non medis
 Benefits
Percaya fasilitas layanan kesehatan dapat mengurangi tanda dan gejala,
apapun keadaan pasien diterima
 Self Efficaci
Percaya pasien bisa lebih baik, keluarga harus sabra, tabah dan
menerima, bahwa ini adalah cobaan dari tuhan.
 Barrier
Tidak bisa dilepas beraktivitas sendiri diluar, belum bisa mengendalikan
diri, khawatir mengganggu tetangga dan lain-lain.

Secara benefit, sebenarnya keluarga masih percaya bahwa fasilitas


layanan kesehatan dapat mengurangi tanda dan gejala, tetapi keluarga
hampir sudah tidak membedakan antara acceptance dan hopeless, antara
menerima atau putus harapan, sehingga kebanyakan keluarga hanya bisa
pasrah apapun keadaan pasien tetap akan diterima.

7. Stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa


Stigma dari masyarakat adalah label negatif yang didasarkan pada prasangka
dan diskriminasi yang diberikan kepada individu karena dianggap memiliki
penyimpangan perilaku. Stigma dari masyarakat merupakan phenomena
kelompok sosial yang luas tentang tindakan individu khususnya pada
individu dengan masalah kesehatan jiwa. Strategi yang dapat dilakukan untuk
membantu menurunkan stigma dari masyarakat yang dirasakan oleh keluarga
diantara dengan cara.
1. Protes, bentuk protes dapat dilakukan melalui media dengan memberikan
pesan pesan keras untuk menghentikan kekerasan pada ODGJ dan tidak
percaya pandangan negatif tentang gangguan jiwa tetapi gagal untuk
untuk mempromosikan sikap yang lebih positif yang didukung oleh fakta.
2. Edukasi, yaitu aktivitas memberikan informasi sehingga masyarakat
dapat membuat keputusan yang lebih tepat terkait gangguan jiwa.
Pemahaman yang benar tentang gangguan jiwa, membantu masyarakat
untuk menempatkan ODGJ dan keluarga dalam penilaian yang seimbang.
3. Kontak dengan ODGJ langsung yang memiliki kemampuan hidup
dimasyarakat akan mendorong keluarga untuk menurunkan stigma
masyarakat. Kontak dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan yang
tersedia dimasyarakat seperti pertemuan warga, pengajian, kerja bakti,
dan aktivitas lain yang melibatkan seluruh unsur masyarakat.

Stigma terhadap pasien dangan gangguan jiwa di Indonesia masih sangat


kuat akibatnya, orang yang mengalami gangguan jiwa menjadi terkucilkan,
diskriminatif dan dapat memperparah gangguan jiwa yang diderita. Pada
umumnya, pasien gangguan jiwa berat (Skizofrenia) dirawat dan diberi
pengobatan dirumah sakit. Setelah membaik dan dipulangkan kerumah,
tidak ada penanganan khusus yang berkelanjutan bagi pasien. Pasien dengan
gangguan jiwa sulit untuk langsung sembuh dalam satu kali perawatan,
namun membutuhkan proses yang penjang dalam penyembuhan, karena itu
dibutuhkan pendamping yang terus menerus sampai pasien benar-benar
sembuh dan dapat bersosialisasi dengan orang lain secara normal. Ketika
dirumah, dukungan dan perawatan diri keluarga dan lingkungan sekitar
sangat dibutuhkan agar pasien dapat menjalani proses penyembuhannya.
Apabila penanganan yang dilakukan tidak berlanjut sesuai dengan
perawatan, maka stigma terhadap gangguan jiwa akan semakin kompleks
(Hendriyana, 2013; Lestari & Wardhani, 2014).

C. Konsep Gangguan Jiwa


1. Definisi Gangguan Jiwa
Gangguan Jiwa adalah sindrom perilaku seseorang yang secara khas
berkaitan dengan suatu gejala penderitaan atau hendaya (keterbatasan atau
ketidakmampuan) Didalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia,
yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak hanya
terletak didalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat
(Muslim, 2002; Maramis, 2010).Gangguan jiwa secara umum ditandai oleh
adanya penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepi serta oleh adanya afek yang tidak wajar atau tumpul.

2. Proses terjadinya Gangguan Jiwa


Manusia adalah mahluk yang terdiri dari aspek biologis, psikologis, sosial,
spiritual dan kultural, bereaksi secara holistik dalam menjalani kehidupan.
Proses terjadinya gangguan jiwa tidak terlepas dari seluruh unsur penyebab
yang mengganggu, walaupun gejala gangguan jiwa yang menonjol adalah
unsur psikisnya. Oleh karena itu, paktor penyebab terjadinya ganguan jiwa
dapat berasal dari biologis, psikologis, sosial spiritual dan kultural. Faktor
biologis akibat gangguan pada neuroanatomi, neurofisiologi, dan
neurokimiawi, termasuk tingkat kematangan dan perkembangan organik,
serta faktor pre dan perinatal. Faktor psikologis terkait dengan interaksi ibu
dan anak, peranan ayah, persaingan antara saudara kandung, hubungan
dalam keluarga, pekerjaan dan tuntutan masyarakat.selain itu faktor
intelegensi, tingkat perkembangan emosi, konsep diri dan pola adaptasi juga
akan mempengaruhi kemampuan untuk menghadapi masalah.apabila
keadaan ini kurang baik dapat mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu
dan rasa bersalahyang berlebihan. Faktor sosial meliputi berbagai berbagai
faktor kesetabilan keluarga, pola asuh anak, tingkat ekonomi, perumahan
masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan pasilitas
kesehatan dan kesejahterahan yang tidak memadai, juga pengaruh budaya,
rasial dan keagamaan (Maramis, 2010).

3. Klasifikasi Gangguan Jiwa


Klasifikasi gangguan jiwa diindonesia pada umumnya menggunakan kriteria
dari pedoman pengggolongan dan diagnosa gangguan jiwa (PPDGJ). PPDGJ
telah mengalami berbagai penyempurnaan mulai PPDGJ I sampai PPDGJ III
dan akan terus ditelaah, diperbaiki setiap 5 sampai 10 tahun. Klasifiasi lain
seperti tampak pada ICD (International Classification of Desease) atau DSM
(Data Statistic of Mental Disorder). Klasifikasi diagnosis pada keperawatan
kesehatan jiwa dapat menggunakan NANDA (North American Nursing
Diagnosia Association). Lengkap dengan NIC-NOC (Nursing Intervention
Classification and Nursing Outcome Classification). Persatuan perawat nasional
Indonesia (PPNI) juga telah menyusun standart diagnose keperawatan Indonesia
(SDKI) tahun 2015, dengan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)
nya, guna dijadikan acuan standar dalam memberikan asuhan keperawatan
meskipun demikian, beberapa rujukan lain tetap jadi dipergunakan untuk
menyusun standar asuhan keperawatan.

PPDGJ III menggelompokan diagnosis gangguan jiwa kedalam 100 katagori


diagnosis, mulai dari F8OO sampai dengan F98. F99 untuk kelompok gangguan
jiwa yang tak tergolongkan (YTT), yaitu kelompok gangguan jiwa yang tidak
khas. Secara singkat, Klasifikasi PPDGJ III, meliputi hal berikut:

1. F00 – F09: gangguan mental organic (termasuk gangguan mental


simtomatik)
2. F10 – F19: gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif
3. F20 – F29: skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham
4. F30 – F39: gangguan suasana perasaan (mood/afektif)
5. F40 –F48: gangguan neurotic, gangguan somatoform, dan gangguan terkait
stress
6. F50 – F59: sindroma perilaku yang berhubungan dengan gangguan
pisiologis dan factor fisik
7. F60 – F69: gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
8. F70 – F79: retardasi mental
9. F80 – F89: gangguan perkembangan psikologis
10. F90 – F98: gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada
anak dan remaja

4. Gejala Gangguan Jiwa


a. Gangguan Pikiran diantaranya sulit kosentrasi, pikiran berulang, bingung,
kacau, ketakutan yang tidak beralasan, gangguan penerimaan pancaindera
yang ada objek atau sumbernya.
b. Gangguan perasaan diantaranya cemas berlebihan dan tidak masuk akal,
sedih yang berlarut, marah tidak beralasan.
c. Gangguan perilaku diantaranya menyendiri, gaduh gelisah, perilaku yang
terus berulang, perilaku kacau, hiperaktif.
d. Gejala fisik diantaranya gangguan tidur dan makan, pusing, tegang sakit
kepala, berdebar-debar, keringat dingin, sakit uluh hati, diare, mual,
kurangnya gairah kerja dan seksual.
e. Gangguan fungsi pekerjaan atau sosial diantaranya tidak mampu kerja atau
sekolah, sering bolos sekolah atau kerja, prestasi meurun, tidak mampu
bergaul, menarik diri dari pergaulan.

5. Skizofrenia

Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab, banyak


belum diketahui, perjalanan penyakit tidak selalu bersifat kronis. Skizofrenia
pada umumnya ditandai dengan penyimpangan yang fundamental dari
karakteristik persepsi, pikiran perasaan atau afek yang tidak wajar atau tumpul.
Kesadaran yang jernih dan kemampuan yang intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dadapat berkembang
kemudian. Istilah Skizofrenia pertama kali dicetuskan oleh Eugen Bleuler tahun
1911. Istilah skizofrenia digunakan untuk mengganti istilah sebelum yang
dicetuskan Emil Kraeplin yakni dementia praecox. Skizofrenia itu sendiri
berasal dari kata Yunani schizo yang berarti terpotong atau terpecah dan phrenos
yang berarti otak atau jiwa. Jadi Skizofrenia adalah berarti “ jiwa terpecah ”.

6. Tipe skizofrenia

Tipe Kriteria
Skizofrenia a. Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau
paranoid Halusinasi dengar yang menonjol secara
berulang-ulang
b. Tidak ada yang menonjol dari berbagai keadaan
berikut ini: pembicaraan yang terorganisasi,
perilaku yang tidak terorganisasi, atau
katatonik, atau efek yang datar atau tidak
sesuai.
Skizofrenia a. Dibawah ini semuanya menonjol: Pembicaraan
terdisorganiasi yang terorganisasi, perilaku yang tidak
terorganisasi, efek yang datar atau tidak sesuai
b. Tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik.
Skizofrenia Sekurang kurangnya dua hal berikut ini:
katatonik a. Imobilitas motorik, seperti di tunjukan adanya
katalepsi atau stupor
b. Negativism yang berlebihan (sebuah resistensi
yang tampak tidak adanya motivasi sebuah
bentuk perintah atau mempertahankan stupor
yang kaku dan menentang semua usaha untuk
menggerakannya) atau mutism
c. Aktivitas motoric yang berlebihan (tidak
bertujuan dan tidak di pengaruhi oleh stimulus
eksternal).
d. Gerakan-gerakan sadar yang aneh, seperti yang
di tujukan oleh posturing (mengambil postur
yang tidak lazim atau aneh secara disengaja),
gerakan stereotipik yang berulang-ulang
menerism yang menonjol, atau bermuka
menyeringai secara menonjol.
e. Ekolalia atau ekopraksia (pembicaraan yang
tidak bermakna).
Skizofrenia tidak Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria A, tetapi tidak
tergolongkan memenuhi kriteria untuk paranoid , terdisorganisasi
dan katatonik.
Skizofrenia residual a. Tidak adanya delusi, halusinasi, pembicaraan
yang tidak terorganisasi, dan perilaku yang
tidak terorganisasi atau katatonik yang tidak
menonjol
b. Terdapat terus tanda-tanda gangguan, seperti
adanya gejala negatif atau dua atau lebih gejala
yang terdapat dalam kriteria A, walaupun
ditemukan dalam bentuk lemah (misalnya,
keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi
yang tidak lazim).

7. Fase Terjadinya Skizofrenia


terdapat tiga fase utama dalam berkembangnya perjalanan skizofrenia,
diantaranya fase prodromal, gejala aktif dan residual. Perjalanan terjadinya
skizofrenia penting diketahui khususnya untuk deteksi dini, upaya mencari
pengobatan, pemulihan fasilitas pelayan kesehatan dan terapi yang diperlukan.
Keluarga sangat penting untuk deteksi dini yaitu mengidentifikasikan adanya
tanda dan gejala awal terjadinya skizofrenia, rencanakan tindak lanjut untuk
mencari bantuan dan pengobatan, pilih fasilitas pelayanan kesehatan yang tepat.
Dengan pengobatan yang tepat pada fase awal 33.3% pasien gangguan jiwa
dapat sembuh total, 33.3% sembuh sosial, hanya dapat makan, mandi dan tanpa
membebani anggota keluarga yang lain, meskipun belum bisa hidup produktif
dan 33.3% lainnya akan menjadi kronis (Maramis, 2010).
Gejala skizofrenia yang muncul pada fase aktif antara lain; gangguan perasaan,
perilaku, persepsi, pikiran, kognitif, dan motivasi.
a. Gangguan perasaan sangat bervariasi mulai dari emosi yang meningkat
(Meledak-ledak)hingga emosi yang kosong (Tanpa ekspresi). Respons
emosi yang ditunjukan juga bervariasi, bisa luas, menyempit, hingga
mendatar sehingga pasien terlihat seperti tanpa ekspresi. Ekspresi emosi
yang ditunjukan sesuai dengan situasi dan konteks, namun berlebihan
(tanpa kendali atau tanpa alasan yang jelas) atau tidak sesuai.
b. Gangguan perilaku
Pasien skizofrenia cenderung menarik diri secara sosial. Sering kali
pasien tidak memperhatikan penampilannya, tidak mampu merawat diri,
menjaga kerapian dan kebersihan diri.
c. Gangguan persepsi
Persepsi merupakan sensasi yang diterima oleh panca indera (Mata,
telinga, hidung, lidah, kulit).
d. Gangguan pikiran
Gangguan pikiran yang dialami antara lain berupa gangguan pada proses
pikir dan isi pikir. Gejala pada proses pikir biasanya dikenali dari
pembicaraannya, yang dilaporkan oleh keluarga atau masyarakat
diantaranya: “bicara ngaco (kacau)”, “bicara berputar-putar”, “bicara
muluk-muluk (Ketinggian)”, “berbicara tidak nyambung”, atau
“kesambet”.
e. Gangguan motivasi dan neurokognitif
Gejala lain pada ODS adalah gejala yang berhubungan dengan motivasi
dan kognitif (kemampuan berpikir), Gejala yang berhubungan dengan
motivasi diantaranya adalah tidak memiliki minat atau kehendak, tidak
melakukan kegiatan (aktivitas), dan tidak mampu menyusun rencana
sehingga menimbulkan disorganisasi (ketidakteraturan). Gejala yang
berhubungan dengan gangguan kognitif adalah gangguan kosenterasi,
atensi (perhatian), gangguan memori (daya ingat) terutama memori
jangka segera atau pendek, dan menurunkan kemampuan untuk
menyelesaikan masalah.

8. Terapi pada skizofrenia


a. Terapi Farmakologi
Pada pendekatan farmakologis, penderita skizofrenia biasanya diberikan
obat antipsikotik. Antipsikotik juga dikenang sebagai penenang mayor
atau neuroleptik (Nevid, et al 2005) pengobatan antipsikotik membantu
mengendalikan prilaku skizofrenia yang mencolok dan mengurngi
kebutuhan untuk perawatan rumah sakit jangka panjang apa bila
dikonsumsi pada saat pemeliharaan atau secara teratur setelah episode
akut. Prinsip pemberian farmako terapi pada skizofrenia adalah “ start
low, go low ” dimulai dengan dosis rendah ditingkatkan dengan sampai
dosis optimal kemudian diturunkan perlahan untuk pemeliharaan.
b. Terapi psikososial
Salah satu dampak yang terjadi pada penderita skizofrenia ada menjalin
hubungan sosial yang sulit. Hal ini dikarenakan dikarenakan skizofrenia
merusak fungsi sosial penderitanya. Untuk mengatasi hal tersebut,
penderita diberikan diberikan terapi psikososial yang bertujuan agar
dapat dapat kembali berpartisipasi dengan lingkungan sosialnya, mampu
merawat diri sendiri, tidak tergantung pada orang lain (Hawari, 2001).
c. Rehabilitasi
Program rehabilitasi biasanya diberikan dibagian lain rumah sakit jiwa
yang dikhususkan untuk rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan,
diantaranya terapi okupasional yang meliputi kegiatan membuat
kerajinan tangan, melukis, menyanyi dan lainnya. Pada umumnya
program rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan.
d. Program intervensi keluarga
Intervensi keluarga memiliki banyak variasi, namun pada umumnya
intervensi yang dilakukan dipokuskan pada aspek praktis dari kehidupan
sehari-hari, mendidik anggota keluarga tentang skizofrenia, mengajarkan
bagaimana cara berhubungan dengan cara yang tidak terlalu prontal
terhadap anggota keluarga yang menderita skizofrenia, meningkatkan
komunikasi dalam keluarga yang memacu pemecahan masalah dan
keterampilan koping yang tidak.

D. Kerangka Teori

Faktor-faktor yang
mempengaruhi:
Orang dengan
1. Pendidikan
Gangguan Jiwa 2. Informasi
3. Sosial budaya dan
ekonomi
4. Lingkungan
5. Pengalaman dan usia
Ciri-ciri:
-Marah tanpa sebab Pengetahuan
Keyakinan dan
-Mengurung Diri. kepercayaan Masyarakat:

-Tidak mengenal 1. Susceptibility dan


Persepsi severity
Orang lain.
2. Bebefits
-Bicara Kacau 3. Self Efficaci
4. Barrier
-Bicara Sendiri
-Tidak mampu
merawat diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
1. Tahapan studi, jenis kelamin,
usia
2. Keadaan stimulus: Berpengaruh
kepada ketepatan persepsi
3. Keadaan lingkungan:
Objek yang sama dengan situasi
sosial yang berbeda akan
berpengaruh terhadap persepsi
4. Keadaan individu:
Mempengaruhi hasil persepsi
yang datang dari dalam maupun

Anda mungkin juga menyukai