Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep fraktur femur

1. Definisi

Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya

kontinuitas tulang pangkal paha yang disebabkan oleh trauma

langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu seperti degenerasi

tulang atau osteoporosis (Muttaqin, 2008:203)

2. Etiologi

Menurut (Manurung, 2018:43) penyebab fraktur adalah:

a. Kekerasan langsung

Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik

terjadinya kekerasan. Fraktur demikian bersifat fraktur terbuka

dengan garis patah melintang atau miring.

b. Kekerasan tak langsung

Kekerasan tak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang

jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya

adalah bagian yang paling lemah alam jalur hantaran vektor

kekerasan.

c. Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan

pada pemuntiran, penekukan dan penekanan, kombinasi dari

ketiganya dan penarikan

6
7

3. Patofisiologi

Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh

trauma. Pada fraktur tertutup penekanan serabut saraf yang berkaitan

dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan

darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan perifer. Bila tidak

terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan

jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan

otot yang akan menyebabkan kontraktur serta mengakibatkan

terjadinya intoleransi dan jaringan nekrosis yang akan mengakibatkan

resiko infeksi (Brunner&Suddart, 2002)

Pada tindakan ORIF fraktur tulang dipertahankan dengan

pen, sekrup, pelat, paku. Namun dengan adanya luka mengakibatkan

gangguan rasa nyaman nyeri dan adanya luka memungkinkan

terjadinya infeksi dan perdarahan, perdarahan itu sendiri merupakan

trauma pada jaringan lunak dan struktur yang sebelumnya tidak

mengalami cedera mungkin akan mengalami kerusakan selama

tindakan operasi. Setelah dilakukan pembedahan didapatkan adanya

luka, luka menyebabkan gangguan fungsi dan struktur anatomi tubuh

sehingga dilakukan mobilisasi untuk menjaga kelenturan otot- otot

yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri saat dilakukan

pergerakan sehingga mobilitas fisik terganggu.


8

4. Pathway

Trauma

Fraktur Femur

Operasi (ORIF) Pemasangan Pen


Fraktur Tertutup

Terjadi bengkak
Keterbatasan
Asupan darah ke Adanya luka rentang gerak
ekstremitas
Koordinasi gerak
Nyeri Akut
Kerusakan saraf perifer

Gangguan
Gangguan rasa
Tekanan jaringan mobilitas fisik
nyaman

Anoksia jaringan

Terjadi iskemi Resiko Infeksi


dan Perdarahan

Kontraktur Jaringan Nekrosis

Intoleransi Aktivitas Resiko Infeksi

Gambar 2.1 Pathway Fraktur (Sylvia, 1995)

Keterangan : Merupakan diagnosa yang mungkin muncul


B

B Merupakan diagnosa yang di ambil penulis


9

5. Klasifikasi

Klasifikasi fraktur menurut Chairuddin (2003) dalamNur

Arif dan Kusuma (2013) : 225 mengatakan :

a. Klasifikasi etiologis

1) Fraktur traumatik

2) Fraktur patologis terjadi pada tulang karena adanya kelainan

atau penyakit yang menyebabkan kelemahan pada tulang

(infeksi, tumor, kelainan bawaan) dan dapat terjadi secara

spontan atau akibat trauma ringan.

3) Fraktur stress, terjadi karena adanya stress yang kecil dan

berulang-ulang pada daerah tulang yang menopang berat

badan. Fraktur stress jarang sekali ditemukan pada anggota

gerak atas.

b. Klasifikasi klinis

1) Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan

antara fragmen tulang dengan dunia luar.

2) Fraktur terbuka (compoun fraktur), bila terdapat hubungan

antara fragmen tulang dengan dunia luar. Karena adanya

perlukaan dikulit.

3) Fraktur dengan komplikasi, misal malunion, delayed, union,

nonumion,infeksi tulang.
10

c. Klasifikasi radiologis

1) Lokalisasi : diafisial, metafisial, intra-artikuler, fraktur dengan

dislokasi.

2) Konfigurasi: fraktur transfersal, fraktur oblik, fraktur spinal,

fraktur segmental, fraktur komunitif (lebih dari deaf ragmen),

fraktur baji biasa vertebra karena trauma, fraktur avulse,

fraktur depresi, fraktur pecah, dan fraktur epifisis.

3) Menurut ekstensi : fraktur total, fraktur tidak total, fraktur

buckle atau torus, fraktur garis rambut, dan fraktur green stick.

4) Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya :

tidak bergeser, bergeser (berdampingan, angulasi, rotasi,

distraksi, over-riding, dan impaksi).

d. Fraktur terbuka dibagi atas 3 derajat, yaitu :

1) Derajat I :

a) Luka < 1cm. Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada

tanda luka remuk.

b) Fraktur sederhana, transversal, atau komunitatif ringan.

c) Kontaminasi minimal.

2) Derajat II :

a) Laserasi> 1 cm

b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap atau avulasi.

c) Fraktur komunitif sedang.

d) Kontaminasi sedang.
11

3) Derajat III :

Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi

struktur kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat

tinggi.

e. Fraktur dapat dikategorikan berdasarkan :

1) Menurut jumlah garis fraktur

a) Simple fraktur : terdapat satu garis fraktur

b) Multiple fraktur : terdapat lebih dari satu garis fraktur

c) Comminutive fraktur: lebih banyak garis fraktur dan patah

menjadi fragmen kecil

2) Menurut luas garis fraktur

a) Fraktur inkomplit : tulang tidak terpotong secara

langsung

b) Fraktur komplit : tulang terpotong secara total

c) Hair line fraktur : garis fraktur hampir tidak tampak

sehingga tidak ada perubahan bentuk tulang

3) Menurut bentuk fragmen

a) Green Stick : retak pada sebelah sisi dari tulang

(sering pada anak- anak)

b) Fraktur transversal : bentuk fragmen melintang

c) Fraktur obligue : bentuk fragmen miring

d) Fraktur spiral : bentuk fragmen melingkar


12

6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis fraktur yaitu (Nur Arif dan Kusuma, 2016 hal. 226) :

a. Tidak dapat menggunakan anggota gerak.

b. Nyeri pembengkakan.

c. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,

atau jatuh di kamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa

benda berat, kecelakaan kerja, trauma olah raga).

d. Gangguan fungsio anggota gerak.

e. Deformitas.

f. Kelainan gerak

g. Krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut (Arif dan Kusuma, 2016)

a. X-Ray : menentukan lokasi/luasnya fraktur

b. Scan tulang : memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi

kerusakan jaringan lunak.

c. Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan

vaskular

d. Hitung darah lengkap : Hemokonsentrasi mungkin meningkat,

menurun pada perdarahan, peningkatan lekosit, sebagai respon

terhadap peradangan

e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens

ginjal
13

f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,

transfusi atau cedera hati.

8. Penatalaksanaan

Menurut Arif Muttaqin, 2010: 227

Pengkajian ini diperlukan oleh perawat sebagai peran

kolaboratif dalam melakukan asuhan keperawatan. Dengan mengenal

tindakanmedis, perawat dapat mengenal impliksi pada setiap tindakan

medis yang dilakukan.

a. Fraktur trokanter dan sub trokanter femur, meliputi:

1) Pemasangan traksi tulang selama 6-7 minggu yang dilanjutkan

dengan gips pinggul selama 7 minggu merupakan alternaltif

pelaksanaan pada klien usia muda. 

2) Reduksi terbuka dan fiksasi interna merupakan

pengobatan pilihan dengan mengunakan plate dan screw. 

b. Fraktur diafisis femur, meliputi:

1) Terapi konseratif

a) Traksi kulit

b) Traksi tulang berimbang dengan bagian pearson pada sendi

lutut. Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah

union fraktur secara klinis

2) Terapi Operasi

a) Pemasangan plate dan screw pada fraktur proksimal

diafisisatau distal femur


14

b) Mempengaruhi K-nail, AO-nail, atau jenis lain, baik

denganoperasi tertutup maupun terbuka. Indikasi K-nail, AO-

nailterutama adalah farktur diafisis

c) Fiksasi eksterna terutama pada fraktur segmental,

frakturkominutif, infected pseudoarthrosis atau fraktur

terbukadengan kerusakan jaringan lunak yang hebat.

c. Fraktur suprakondilar femur, meliputi:

a) Traklsi berimbang dengan menggunakan bidai Thomas

dan penahan lutut Pearson, cast bracing, dan spika panggul. 

b) Terapi operatif dilakukan pada fraktur yang tidak dapatdireduksi

secara konservatif. Terapi dilakukan denganmempergunakan

nail-phorcdare screw dengan berbagai tipe yang tersedia.

B. Konsep Pembedahan ORIF (Open Reduksi Internal Fixation)

1. Pengertian

ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi) adalah sebuah

prosedur bedah medis,yang tindakannya mengacu pada operasi

terbuka dan memasang pen, sekrup, kawat, paku, batang, dan atau

lempeng untuk mempertahankan reduksi (Muttaqin dan Sari,

2009:341)

2. Tujuan

Ada beberapa tujuan dilakukannya ORIF (Open Reduksi Internal

Fiksasi), antara lain:


15

a) Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan

stabilitas.

b) Mengurangi nyeri.

c) Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan

dalam lingkup keterbatasan klien.

d) Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang

terkena

e) Tidak ada kerusakan kulit

(T.M.Marrelli, 2007)

3. Indikasi

Indikasi reduksi terbuka dan fiksasi internal menurut Gruedemann

(2006:291) meliputi

a) Reduksi fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila

ditangani dengan metode lain terbukti tidak memberikan hasil

yang memuaskan

b) Fraktur leher femoralis , Fraktur lengan bawah distal dan

fraktur intra artikular disertai pergeseran.

c) Untuk fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan

signifikan pada struktur otot tendon.

4. Kontraindikasi

Kontraindikasi menurut Gruendemann (2006 : 291)meliputi

a) Pasien dengan penurunan kesadaran


16

b) Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan

tulang

c) Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)

5. Kondisi dilakukan ORIF (Open Reduksi Internal Fixation)

Menurut Gruendemann (2006 : 292) meliputi

a) Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi.

b) Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung

mengalami

pergeseran kembali setelah reduksi, selain itu juga fraktur yang

cenderung ditarik terpisah oleh kerja otot.

c) Fraktur yang penyatuannya kurang sempurna dan perlahan-

lahan terutama fraktur pada leher femur.

d) Fraktur patologik dimana penyakit tulang dapat mencegah

penyembuhan.

e) Fraktur multiple, bila fiksasi dini mengurangi resiko komplikasi

umum dan kegagalan organ pada bagian system.

f) Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya.

6. Metode Fiksasi Internal

Terdapat 5 metode fiksasi internal yang digunakan, antara lain:

a) Pemasangan kawat antar tulang

Biasanya digunakan untuk fraktur yang relatif stabil,

terlokalisasi dan tidak bergeser pada kranium. Kawat kurang

bermanfaat pada fraktur parah tak stabil karena kemampuan


17

tulang berputar mengelilingi kawat, sehingga fiksasi yang

dihasilkan kurang kuat.

b) Lag screw

Menghasilkan fiksasi dengan mengikatkan dua tulang

bertumpuk satu sama lain. Dibuat lubang-lubang ditulang bagian

dalam dan luar untuk menyamai garis tengah luar dan dalam

sekrup. Teknik yang menggunakan lag screw kadang-kadag

disebut sebagai kompresi antarfragmen tulang. Karena metode

ini juga dapat menyebabkan rotasi tulang, biasanya digunakan

lebih dari satu sekrup untuk menghasilkan fiksasi tulang yang

adekuat. Lag screw biasanya digunakan pada fraktur bagian

tengan wajah dan mandibula serta dapat digunakan bersama

dengan lempeng mini dan lempeng rekonstruktif

c) Lempeng mini dan sekrup

Digunakan terutama untuk cedera wajah bagian tengah dan atas.

Metode ini menghasilkan stabilitas tiga dimensi yaitu tidak

terjadi rotasi tulang. Lempeng mini (mini plate) difiksasi

diujung-ujungnya untuk menstabilkan secara relatif segmen-

segmen tulang dengan sekrup mini dan segmen-segmen tulang

dijangkarkan kebagian tengah lempeng juga dengan sekrup mini


18

d) Lempeng kompresi

Karena lebih kuat dari lempeng mini, maka lempeng ini serring

digunakan untuk fraktur mandibula. Lempeng ini menghasilkan

kompresi di tempat fraktur.

e) Lempeng konstruksi

Lempeng yang dirancang khusus dan dapat dilekuk serta

menyerupai bentuk mandibula. Lempeng ini sering digunakan

bersama dengan lempeng mini. Lag screw dan lempeng

kompresi.

(Barbara J. Gruendemann dan Billi Fernsebner,2005)

7. Keuntungan ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) yaitu :

a) Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.

b) Ketelitian reposisi fragmen-fragmen fraktur.

c) Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf di

sekitarnya.

d) Stabilitas fiksasi yang cukup memadai dapat dicapai

e) Perawatan di RS yang relatif singkat pada kasus tanpa

komplikasi.

f) Potensi untuk mempertahankan fungsi sendi yang mendekati

normal serta kekuatan otot selama perawatan fraktur.

8. Kerugian ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) yaitu :

a) Setiap anastesi dan operasi mempunyai resiko komplikasi

bahkan kematian akibat dari tindakan tersebut.


19

b) Penanganan operatif memperbesar kemungkinan infeksi

dibandingkan pemasangan gips atau traksi.

c) Penggunaan stabilisasi logam interna memungkinkan kegagalan

alat itu sendiri.

d) Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak,

dan struktur yang sebelumnya tak mengalami cedera mungkin

akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan

operasi.

Gambar 2.2 Open Reduction Internal Fixation


20

Gambar 2.3 X-Ray ORIF

Perbedaan Pembedahan OREF (Open Reduksi Enternal Fixation)

dengan Pembedahan ORIF(Open Reduction and Internal Fixation)

a. Pengertian

OREF adalah reduksi terbuka dengan Fiksasi eksternal. Fiksasi

eksternal adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan

fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus

menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan

pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal

bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada

tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan

pelvis (Mansjoer, 2000). .


21

b. Tujuan Open Reduction External Fixation (OREF)

1) Memungkinkan stabilitas fraktur sekaligus menilai jaringan lunak

sekitar dalam masa penyembuhan fraktur

2) Memberikan kenyaman bagi pasien yang mengalami kerusakan

fragmen tulang.

c. Manfaat Open Reduction External Fixation (OREF)

1) Ambulasi dan mobilisasi sendi bisa dilakukan dini

2) Mengurangi nyeri

3) Mempermudah perawatan luka disekitar fraktur

4) Meminimalkan pendarahan dibandingkan ORIF

d. Indikasi Open Reduction External Fixation (OREF)

1) Fraktur terbuka grade II dan III

2) Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau tulang yang

parah.

3) Fraktur yang sangat  kominutif ( remuk ) dan tidak stabil.

4) Fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf.

5) Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain.

6) Fraktur yang terinfeksi di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok.

Misal :  infeksi pseudoartrosis ( sendi palsu ).

7) Non union yang memerlukan kompresi dan perpanjangan.

8) Kadang – kadang pada fraktur tungkai bawah diabetes melitus.


22

Gambar 2.4 Open Reduction External Fixation

Gambar 2.5 Pasien OREF


23

C. Perawatan luka post operasi

1. Pengertian

Post operasi masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai

saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai

evaluasi selanjutnya (Uliyah & Hidayat, 2008). Salah satu efek yang

ditimbulkan pasca operasi yaitu rasa nyeri yang seringkali ditimbulkan

akibat jahitan atas tindakan medis berkaitan dengan pemulihan/tindakan

operasi tersebut.

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh.

Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma, benda tajam atau tumpul,

perubahan suhu, zat kimia, atau gigitan hewan (Sjamsuhidayat & Jong,

2004)

2. Etiologi

Menurut Karakata & Bachsinar (1995) penyebab terjadinya

luka ini termasuk dalam trauma mekanis yang disebabkan karena

tergesek, terpotong, terpukul,tertusuk, terbentur, terjepit.

3. Jenis luka

Menurut Bunner&Suddart (2001), berdasarkan tingkat

kontaminasi luka post operasi ORIF fraktur femur termasuk dalam Clean

Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang mana tidak

terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan,

pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya

menghasilkan luka yang tertutup, jika diperlukan dimasukkan drainase


24

tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%. Jenis

luka yang lainnya adalah

a) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi)

b) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi)

c) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi)

4. Prinsip – prinsip perawatan luka post operasi

Menurut Taylor (1997):

a) Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi

oleh luasnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang

b) Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap

dijaga

c) Respon tubuh secara sistemik pada trauma

d) Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka

e) Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis

pertama untuk mempertahankan diri dari mikroorganisme

f) Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda

asing tubuh termasuk bakteri.

5. Perawatan dan penatalaksanaan luka

Dasar dari perawatan luka adalah proses pembersihan dan

pembalutan (dressing). Luka mempunyai resiko sebagai tempat

berkembang biak bakteri yang akan membuat koloni, untuk itulah

perawatan luka harus menggunakan teknik yang steril yang berguna


25

untuk mencegah terjadinya penyebaran koloni bakteri (William&

Wilkins, 2003)

Tujuan utama dari membersihkan luka adalah untuk

mencegah luka terkena bakteri yang menimbulkan infeksi . Kuncinya

adalah, sealu menjaga secara rutin dan benar benar bersih sebelum

membalut luka tersebut. Fungsi dari membalut luka antara lain untuk

melindungi luka dari kontaminasi dan traumam bisa mengurangi

terjadinya bengkak ataupun perdarahan, melindungi kulit disekitar luka

(William& Wilkins, 2003)

D. Konsep Gangguan Rasa Nyaman Nyeri

a. Pengertian

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial

(Smatzler & Bare 2002 pada Judha 2017 : 1).

Nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang

nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia

merasakan nyeri (Mc Caffery dalam Potter & Perry 2007 : 1502)

b. Fisiologi Nyeri

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku.

Cara yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri , akan

membantu untuk menjelaskan 3 komponen fisiologi berikut yakni :

resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan


26

impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medula

spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya

sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medula spinalis. Terdapat

pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel sarafinhibitor, mencegah

stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau di transmisi tanpa

hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks

serebral, maka otak menginterpetasi kualitas nyeri dan memproses

informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi

kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri. ( Potter dan Perry,

2006:1504)

c. Faktor yang mempengaruhi nyeri

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri menurut Perry &

Potter (2005) dalam Judha (2012), antara lain:

1) Usia

Usia merupakan variabel penting yang memengaruhi

nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan

perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini

dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi

terhadap nyeri.

2) Jenis Kelamin

Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara

makna dalam respon terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis

kelaminsaja yang merupakan suatu faktor dalam mengekpresikan


27

nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subyek penelitian

yang melibatkan pria dan wanita, akan tetapi toleransi terhadap

nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal

yang unik pada setiap individu tanpa memperhatikan jenis kelamin.

3) Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara

individu mengatasi bahwa sosialisasi budaya menentukan perilaku

psikologi seseorang.

4) Makna Nyeri

Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi

terhadap nyeri. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara

berbeda-beda apabila nyeri tersebut memberikan kesan ancaman,

suatu kehilangan, hukuman atau tantangan.

5) Perhatian

Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri

yang meningkat sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan

respon nyeri menurun. Biasanya hal ini menyebabkan toleransi

nyeri individu meningkat, khusunya terhadap nyeri yang

berlangsung hanya selama waktu pengalihan.

6) Keletihan

Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan

menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan

kemampuan koping.
28

7) Pengalaman sebelumnya

Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa

individu akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang

akan datang. Apabila individu sejak lama sering mengalami

serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh maka rasa takut

akan muncul, dan juga sebaliknya. Akibatnya klien lebih siap untuk

melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk

menghilangkan nyeri.

d. Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi Nyeri menurut Mubarak dan Chayatin, 2007 : 209:

1) Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang berlangsung tidak lebih

dari enam bulan. Gejalanya mendadak dan biasanya penyebab

serta lokasi nyeri sudah diketahui. Biasanya ditandani dengan

peningkatan tegangan otot dan kecemasan yang keduanya

meningkatkan persepsi nyeri.

2) Nyeri Kronis

Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung lebih dari

enam bulan. Nyeri cenderung hilang timbul dan biasanya tidak

dapat disembuhkan. Dampak dari nyeri ini antara lain penderita

menjadi mudah tersinggung dan sering mengalami insomnia.

Akibatnya, mereka menjadi kurang perhatian, sering merasa putus


29

asa dan terisolir dari kerabat dan keluarga. Nyeri kronis biasanya

hilang timbul dalam periode waktu tertentu.

e. Skala Intensitas Nyeri

Skala intensitas nyeri numerik

Gambar 2. Skala intensitas nyeri numerik


KETERANGAN :

1-3 : Tipe nyeri ringan.

4-6 : Tipe nyeri sedang

7-9 : Tipe nyeri berat

10 : Tipe nyeri sangat berat.

Skala wajah
30

Skala intensitas nyeri wajah

   

Gambar 2. skala intensitas nyeri wajah

KETERANGAN : (Potter & Perry , 2006)

0 : Tidak ada nyeri.

1 : Nyeri seperti gatal, tersetrum atau nyut-nyutan

2 : Nyeri seperti meliiti atau terpukul.

3 : Nyeri seperti perih atau mules.

4 : Nyeri seperti kram atau kaku.

5 : Nyeri seperti tertekan atau bergerak

6 : Nyeri seperti terbakar atau ditusuk-tusuk

7,8,9 : Sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol oleh klien dengan

aktifitas yang bisa dilakukan. Sangat dan tidak dapat dikontrol oleh

klien.

10 : Nyeri tak tertahankan dan tak dapat diungkapkan . Nyeri

sangat berat sampai tidak sadarkan diri.


31

f. Penatalaksanaan Nyeri

1) Penatalaksanaan Farmakologis

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi

penggunaan obat analgesik, yang terbagi menjadi dua golongan

yaitu analgesik non narkotik dan analgesik narkotik, pilihan obat

tergantung dari rasa nyeri (Kee dan Hayes,1998 dalam judha 2017:

82)

2) Penatalaksanaan non farmakologis

Menurut Judha 2012 dan Mubarak 2008 :

a) Imaginery

Metode ini menggunakan memori tentang peristiwa peristiwa

yang menyenangkan atau mengembangkan pemikiran

pemikiran untuk mengembangkan nyeri.

b) TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation)

Metode ini dilakukan dengan stimulasi pada kulit dengan

arus listrik ringan yang dihantarkan oleh elektroda luar, terapi

ini dilakukan berdasarkan resep dokter.

(1) Teknik relaksasi

Teknik relaksasi dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan

ketegangan otot yang menunjang nyeri. Teknik relaksasi terdiri

dari nafas dalam.

(2) Distraksi
32

Distraksi merupakan tindakan dengam memfokuskan perhatian

pada sesuatu selain pada nyeri, misalnya melihat video,

membaca koran, bermain dan mendengarkan musik.

E. Konsep Asuhan Keperawatn Nyeri pada Pasien Post Operasi ORIF Fraktur

1. Pengkajian

Asuhan keperawatan pada klien yang mengalami nyeri (M Nasir,

2016: 89) Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses

keperawatan.Oleh karena itu, diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang

masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan

keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantung pada

tahap ini. Tahap ini terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.

1) Anamnesis

a. Identitas klien

Nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang

digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,

golongan darah, nomor rekam medis, tanggal masuk rumah sakit,

(tanggal MRS), dan diagnosis medis.

b. Keluhan utama

Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur yaitu rasa

nyeri, nyeri tersebut dapat menjadi akut atau kronis tergantung

lamanya sarangan. Menurut Brunner & Suddarth, (2002),


33

pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot dan sendi dapat

mengakibatkan nyeri yang hebat.

Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri

klien, maka digunakan pertanyaan berikut ini :

a) Provoking incident: apakah terdapat peristiwa yang menjadi

faktor pencetus nyeri.

b) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau

di gambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,

atau menusuk.

c) Region, radiation, relief: dimana rasa nyeri terjadi, apakah

rasa nyeri menjalar atau menyebar, dan apakah rasa nyeri

dapat reda.

d) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang

dirasakan klien, dapat berdasarkan skala nyeri atau klien

menerangkan seberapa jauh rasa nyeri mempengaruhi

kemampuan fungsinya.

e) Time : Berapa lama nyeri berlangsung dan kapan

terjadinya,apakah bertambah buruk pada malam hari atau

siang hari.

c. Riwayat penyakit sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan penyebab

fraktur yang nantinya dapat membantu dalam membuat rencana


34

tindakan terhadap klien. Data ini dapat berupa kronologi

terjadinya penyakit tersebut.

d. Riwayat penyakit dahulu

Pada pengkajian ini di temukan kemungkinan penyebab fraktur

dan memberikan petunjuk berapa lama tulang tersebut akan

menyambung. Penyakit tertentu, misalnya kanker tulang.

e. Riwayat penyakit keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang

merupakan salah satu faktor predispasisi terjadinya frakur.

f. Riwayat psikososial

Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang

dideritanya serta peran klien dalam keluarga dan masyarakat.

g. Pola presepsi dan tata laksana hidup sehat

Pada kasus fraktur akan timbul rasa ketakutan terjadilah

kecacatan pada diri klien dan harus menjalani penatalaksanaan

kesehatan untuk membantu penyembuhan tulang.

h. Pola nutrisi dan metabolisme

Klien yang mengalami fraktur harus mengkomsumsi nutrisi

melebihi kebutuhan sehari hari misalnya kalsium, zat besi, protein

dan vitamin C.

i. Pola eliminasi

Kaji apakah terdapat kesulitan atau tidak saat BAB dan BAK

j. Pola tidur dan istirahat


35

Pada semua klien fraktur timbul rasa nyeri dan keterbatasan gerak

sehingga dapat mengganggu pola serta kebutuhan tidur.

k. Pola aktivitas

Karna timbulnya nyeri dan keterbatasan gerak maka semua

bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien

memerlukan batuan dari orang lain.

l. Pola hubungan dan peran

Klien akan kehilangan dalam keluarga dan dalam masyarakat

karna harus menjalani rawat inap.

m. Pola persepsi dan konsep diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketakutan

terhadap kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa

ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal.

n. Pola sensori dan kognitif

Pada klien yang mengalami fraktur, daya rabanya akan berkurang

terutama pada bagian distal fraktur.

o. Pola reproduksi sesual

Dampak pada klien fraktur yaitu klien tidak dapat melakukan

hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap. Selain itu

juga perlu di kaji status pernikahannya termasuk jumlah anak dan

lama pernikahannya.
36

p. Pola tata nilai dan keyakinan

Untuk klien faktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan

beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini

dapat di sebabkan oleh nyeri dan keterbatasan gerak klien

2) Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Fisik

a) Pain = Adanya nyeri

b) Palor = Tampak pucat

c) Parestansia = Sensasi kulit abnormal seperti terbakar

atau menusuk-nusuk yang terjadi tanpa stimulus dari luar.

d) Pulse = Denyut nadi hilang

e) Penggerakan = Berkurang

b. Pemeriksaan Setempat

a) Inspeksi

Benjolan, pembengkakan, atau cekungan yang tidak biasa

(Abnormal)

b) Palpasi

(1) Teraba hangat di sekitar trauma dan perubahan

kelembapan kulit. Watu pengisian kapilar >3 detik.

(2) Otot: Tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi,

benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada

tulang.
37

c) Penggerakan tubuh

(1) Apakah terdapat nyeri saat penggerakan

(2) Lingkup gerak di catat agar dapat mengevaluasi keadaan

sebelum dan sesudah.

c. Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi terdiri dari Rontgen. Pemeriksa yang

penting untuk di jadikan sebagai penunjang yaitu pencitraan

menggunakan foto rontgen.

2. Diagnosa Keperawatan

Dari data-data pengkajian didapatkan: nyeri, luka pasca operasi, cemas.

Maka masalah keperawatan yang sering muncul pada post operasi adalah

masalah nyeri akut (D.0077)(SDKI DPP PPNI 2017: 172)

a. Definisi

Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan aktual atau fungsional , dengan onset mendadak

atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung

kurang dari 3 bulan.

b. Penyebab

1) Agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia, neoplasma) 

2) Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)


38

3) Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong,

mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik

berlebihan)

c. Batasan karakteristik

1) Gejala dan tanda mayor

a) Subjektif

Mengeluh Nyeri

b) Objektif

(1) Tampak meringis

(2) Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari

nyeri)

(3) Gelisah

(4) Frekuensi nadi meningkat

(5) Sulit tidur

2) Gejala dan tanda minor

a) Subjektif

(Tidak tersedia)

b) Objektif

(1) Tekanan darah meningkat

(2) Pola nafas berubah

(3) Nafsu makan berubah

(4) Proses berfikir terganggu

(5) Menarik diri


39

(6) Berfokus pada diri sendiri

(7) Diaforesis

d. Kondisi klinis terkait

1) Kondisi pembedahan

2) Cedera traumatis

3) Infeksi

4) Sindrom koroner akut

5) Glaukoma

3. Fokus Intervensi

Fokus intervensi keperawatan pada pasien ORIF menurut

M.Nasir dkk (2016: 95) adalah sebagai berikut:

Nyeri akut berhubungan dengan tindakan pembedahan.

a. Tujuan             : Nyeri dapat berkurang atau hilang

b. Kriteria hasil    : Pasien mengatakan nyeri berkurang atau hilang,

mampu menunjukan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas

terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual.

c. Intervensi        :

1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yang meliputi

lokasi, karakteristik, frekuensi/lamanya nyeri terjadi, onset/kapan

nyeri dimulai, kualitas/jenis nyeri yang dirasakan, skala nyeri , dan

faktor pencetus nyeri.


40

Rasional : Pengukuran nyeri ini dilkukan untuk mengetahui

bagaimana pasien dapat menjabarkan nyeri yang di alaminya dan

juga untuk mengetahui atau mengambil langkah yang harus

dilakukan.

2) Hindari hambatan sirkulasi akibat tekanan hebat yang terlalu ketat.

Rasional    : Hambatan yang terlalu ketat dapat menyebabkan

gangguan sirkulasi, jika gangguan terjadi seperti itu maka akan

mengalami gangguan suplay syaraf.

3) Motivasi klien untuk berdiskusi mengenai cedera yang di alaminya.

Rasional    : Mengurangi kecemasan.

4) Monitor tanda-tanda vital, observasi kondisi umum pasien dan

keluhan pasien.

Rasional    : Saat nyeri akut, denyut jantung, tekanan darah, dan

pernafsan meningkat.

5) Ajarkan penggunaan teknik menejemen nyeri ( latihan napas dalam

, imajinasi visual dan aktivitas diversional)

Rasional   : Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,

meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung

lama.

6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik sesuai

indikasi.

7) Rasional    : Meredakan nyeri melalui mekanisme penghambatan

rangsangan nyeri , baik secara sentral maupun perifer.


41

4. Implementasi

Implementasi merupakan proses keperawatan dengan

melaksanakan berbagai tindakan krpreawatan yang telah direncanakan

dalam rencana tindakan keperawatan (Hidayat, 2007 : 172)

Pada tahap ini penulis akan melaksanakan tindakan keperawatan

sesuai dengan intervensi untuk diagnosa gangguan pemenuhan kebutuhan

rasa nyaman nyeri yang terdiri dari :

a. Melakukan pengkajian nyeri

b. Menghindari hambatan sirkulasi akibat tekanan hebat yang terlalu ketat

c. Memotivasi klien untuk berdiskusi mengenai cedera yang dialaminya

d. Memonitor tanda tanda vital

e. Mengajarkan penggunaan teknik menejemen nyeri

f. Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik sesuai

indikasi

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan

dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana

keperawatan tercapai atau tidak (Hidayat, 2007 : 162).

a. Penulis mengobservasi respon klien setelah diberi tindakan

b. Penulis melihat kembali catat perkembangan (evaluasi formatif) yang

berupa SOAP (Subjektif, Objektif, Analisis, Planning) untuk

mengetahui hasil dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan.


42

Hasil tersebut memungkinkan masalah bisa teratasi, maupun masalah

belum teratasi. Hasil yang diharapkan pada kasus ini setelah klien

diberi tindakan keperawatan, maka masalah gangguan pemenuhan

kebutuhan rasa nyaman nyeri dengan kriteria hasil pasien dapat

melaporkan bahwa nyeri berkurang menjadi 0-1.

Anda mungkin juga menyukai