Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Early Exposure Mata Kuliah


Keperawatan Medikal Bedah III
Dosen Pengampu : Ns. Nur Isnaini, M.Kep

Disusun Oleh :
Nama : Rizki Cahyani
NIM : 1911020194
Kelas : 6D Keperawatan S1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN S1


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
TAHUN AJARAN 2021/2022
1. Pengertian
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu
tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering
kali terganggu. Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera
tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek,
saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi
komplikasi pemulihan klien (Black dan Hawks, 2014).
Fraktur atau patah tulang adalah kondisi dimana kontinuitas
jaringan tulang dan atau tulang rawan terputus secara sempurna atau
sebagian yang disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis (Smeltzer &
Bare, 2013).
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang rawan baik bersifat
total maupun sebagian, penyebab utama dapat disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitarnya (Helmi,
2012).
Fraktur dapat terjadi di bagian ekstremitas atau anggota gerak
tubuh yang disebut dengan fraktur ekstremitas. Fraktur ekstremitas
merupakan fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk lokasi
ekstremitas atas (tangan, lengan, siku, bahu, pergelangan tangan, dan
bawah (pinggul, paha, kaki bagian bawah, pergelangan kaki). Fraktur
dapat meimbulkan pembengkakan, hilangnya fungsi normal, deformitas,
kemerahan, krepitasi, dan rasa nyeri (Ghassani, 2016).

2. Etiologi

Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang


menyebabkan suat retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot
dan jaringan. Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan,
edema, dan hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang,
tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi
disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna
sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal
sebagai fraktur lengkap (Digiulio, Jackson dan Keogh, 2014).

Menurut helmi (2012), hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya


fraktur adalah:

a. Fraktur traumatik, disebabkan karena adanya trauma ringan atau berat


yang mengenai tulang baik secara langsung maupun tidak.

b. Fraktur stress, disebabkan karena tulang sering mengalami penekanan.

c. Fraktur patologis, disebabkan kondisi sebelumnya, seperti kondisi


patologis penyakit yang akan menimbulkan fraktur.

3. Tanda Gejala
Manifestasi Klinis menurut Black dan Hawks (2014). Mendiagnosis
fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat,
pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis.
Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:
a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada
lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai,
deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi
fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa
pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi
gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-
masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur
dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
g. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena
hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena.
Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
h. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau
gesekan antar fragmen fraktur.
i. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur
vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan
atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur
j. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.

4. Patofisiologi
Patofisiologi fraktur menurut Black dan Hawks (2014) antara lain :
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur.
Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang
mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem,
seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkepingkeping. Saat
terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot
dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi.
Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yangkuat bahkan
mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian
proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal
dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-
otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut
(membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga
dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta
sumsum dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat
menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi
karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada
saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen
tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur
akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan
terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan
leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan
tulang.

5. Pathways
Cidera

Kecelakaan, trauma, terjatuh,


osteoporosis

Fraktur

Merusak jaringan
lunak
Fraktur terbuka Pre operasi Fraktur tertutup

Nyeri akut Nyeri Operasi Adanya luka

Post operasi Resiko infeksi


Gangguan
aktivitas

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang (NIC NOC, 2015)
a. X-ray, menentukan lokasi/luasnya fraktur.
b. Scan tulang, memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak
c. Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler
d. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat,
menurun pada pendarahan, peningkatan leukosit sebagai respon
terhadap peradangan. Profil koagulasi, perubahan dapat terjadi
pada kehilangan darah, tranfusi atau cidera hati.
e. Kretinin trauma otot meningkatkan kreatinin untuk klirens ginjal.

7. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin (2013) konsep dasar penatalaksanaan fraktur
yaitu:
a) Fraktur terbuka.
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam
(golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
Pembersihan luka, eksisi jaringan mati atau debridement, hecting situasi
dan pemberian antibiotik.
b) Seluruh fraktur
Rekognisi (Pengenalan). Riwayat kejadian harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
i. Reduksi (Reposisi) terbuka dengan fiksasi interna (Open Reduction
and Internal Fixation/ORIF). Merupakan upaya untuk memanipulasi
fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimum. Dapat
juga diartikan reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajaran dan rotasi anatomis.
ii. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna (Open Reduction and
Enternal Fixation/ORIF), digunakan untuk mengobati patah tulang
terbuka yang melibatkan kerusakan jaringan lunak. Ekstremitas
dipertahankan sementara dengan gips, bidai atau alat lain. Alat
imobilisasi ini akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas
untuk penyembuhan tulang. Alat ini akan memberikan dukungan yang
stabil bagi fraktur comminuted (hancur dan remuk) sementara jaringan
lunak yanghancur dapat ditangani dengan aktif (Smeltzer & Bare,
2013).
iii. Retensi (Immobilisasi).
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus dimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksatoreksternal. Implant
logam dapat digunakan untuk fiksasi internal yang berperan sebagia
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
iv. Graf tulang, yaitu penggantian jaringan tulang untuk menstabilkan
sendi, mengisi defek atau perangsangan dalam proses penyembuhan.
Tipe graf yang digunakan tergantung pada lokasi yang terkena, kondisi
tulang, dan jumlah tulang yang hilang akibat cidera. Graft tulang dapat
berasal dari tulang pasien sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank
(allograft) (Smeltzer & Bare, 2013)
v. Rehabilitasi adalah upaya menghindari atropi dan kontraktur dengan
fisioterapi. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (missal: Pengkajian peredaran darah,
nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah orthopedi diberitahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan ansietas
dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (misalnya:
menyakinkan, perubahan posisi, stageri peredaan nyeri, termasuk
analgetik). Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.
Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian
bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutik.

8. Fokus Pengkajian
Menurut (Nurarif & Hardhi, 2015)
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalahmasalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap
tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini.
Tahap ini terbagi atas:
a. Data Subjektif
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat
beraktivitas / mobilisasi pada daerah fraktur tersebut
c) Riwayat Penyakit Sekarang

Pada klien fraktur / patah tulang dapat disebabkan oleh trauma /


kecelakaan, degeneratif dan pathologis yang didahului dengan
perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri,
bengkak, kebiruan, pucat / perubahan warna kulit dan kesemutan.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang atau
tidak sebelumnya dan ada / tidaknya klien mengalami pembedahan
perbaikan dan pernah menderita osteoporosis sebelumnya
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga klien ada / tidak yang menderita osteoporosis,
arthritis dan tuberkolosis atau penyakit lain yang sifatnya menurun
dan menular
2) Pola-pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan
penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain
itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain
itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak
dibantu oleh orang lain.
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya.
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
b. Data obyektif
1) keadaan Umum: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
2) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
3) pemeriksaan fisik :
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
I. Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
II. Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
III. Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
IV. Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
I. Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
II. Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
III. Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
I. Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
II. Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
III. Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
IV. Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.

9. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ( trauma, prosedur
operasi)
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang, gangguan neuromuskular, nyeri
c. Resifo infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (SDKI, 2017).
10. Intervensi Keperawatan (SIKI, 2018)

Diagnosa Keperawatan SIKI


Nyeri akut berhubungan Manajemen Nyeri (I.08238)
dengan agen pencedera Aktivitas-aktivitas :
fisik ( trauma, prosedur O:
operasi) (D. 0077) - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon nyeri non verbal
T:
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
( mis. hypnosis, teknik imajinasi terbimbing)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
E:
- Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
K:
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Gangguan mobilitas Pembidaian (I.05180)


fisik berhubungan Aktivitas-aktivitas :
dengan kerusakan O:
integritas struktur - Identifikasi kebutuhan dilakukan pembidaian (mis. fraktur)
tulang, gangguan - Monitor bagian distal area cedera
neuromuskular, nyeri - Monitor adanya perdarahan
(D. 0054) - Identifikasi material bidai yang sesuai
T:
- Tutup luka terbuka dengan balutan
- Atasi perdarahan sebelum bidai dipasang
- Meminimalkan pergerakan, terutama pada bagian yang cedera
- Berikan bantalan (padding) pada bidai
- Imobilisasi sendi diatas dan dibawah area cedera
- Topang kaki menggunakan penyangga kaki (footboard), jika
perlu
- Tempatkan ekstremitas yang cedera dalam posisi fungsional,
jika memungkinkan
- Pasang bidai pada posisi tubuh seperti saat ditemukan
- Gunakan kedua tangan untuk menopang cedera
- Gunakan kain gendongan (sling) secara tepat
E:
- Jelaskan tuuan dan langkah-langkah prosedur sebelum
pemasangan bidai
- Jelaskan tanda dan gejala sindrom kompartemen (5P :
pulseless, parastesia, pain, paralysis, palor)

- Anjurkan membatasi gerak pada area cedera

Resifo infeksi Perawatan Luka (I. 14564)


berhubungan dengan Aktivitas-aktivitas :
efek prosedur invasif O:
(D.0142) - Monitor karakteristik luka (mis. drainase, warna, ukuran, bau)
- Monitor tanda-tanda infeksi
T:
- Bersihkan jaringan nekrotik
- Pasang balutan sesuai jenis luka
- Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka
E:
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
K:
- Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Black, J.M., & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen

Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Medika.

DiGiulio Mary, Donna Jackson, Jim Keogh. (2014). Keperawatan Medikal bedah,

Ed. I. Yogyakarta: Rapha publishing

Ghassani, Z. (2016). Pengaruh Pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap

skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas di RS PKU

Muhammadiyah Gamping. Diakses dari https://www.repository.umy.ac.id

Helmi, N.Z.(2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : EGC

Nurarif & Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa

Medis & Nanda Nic-Noc Panduan penyusunan Asuhan Keperawatan

Profesional. Yogyakarta : Mediaction Jogja.

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan

Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria

Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator

Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner & Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai